Flash
Disukai
0
Dilihat
13,211
Dalam Cekungan Kepasrahan
Drama

Nafas yang memburu kencang diiringi degup jantung seolah ingin mencelus keluar. Aku benci perasaan sialan ini!

Mataku berusaha memindai sosok itu. Sosok yang sangat tidak ingin kutemukan dalam keadaan tanpa daya. Adikku, adikku! Tangan dan kakiku benar-benar mengerahkan seluruh ototnya hingga kebal dengan dinginnya air. Pun, entah mengapa rasanya suara pergulatan dalam air ini begitu jelas terdengar di telingaku, di samping samar-samar teriakannya meminta tolong.

Rasanya seperti kegelapan ingin menelanku saja.

Lalu hening. Yang terdengar hanya deru nafas yang memburu, bahkan rasanya aku dapat mendengar degup jantungku sendiri. Seperti sebuah perintah, tangan dan kakiku berhenti melakukan tugas yang seharusnya mereka lakukan.

Benar saja, kulihat sesosok tubuh yang ingin kutemui, kini kudapati tengah mengapung ….

Tidak …!

###

“Kak?”

Dadaku masih naik-turun saat aku melihatnya. Mendadak mataku terasa panas. Rasa lega pun menyeruak dalam dadaku seiring dengan air mataku yang hendak menerobos pertahanan yang tak dapat kubendung.

“Dimas!”

Nafasku masih tersendat saat adikku ini menepuk pundakku. “Ada apa, Kak?”

Aku menggeleng meski tahu ia tak dapat melihatnya. “Tidak, hanya sebuah mimpi buruk.”

###

Matahari masih menantang di atas sana meski sebagian besar kekuatannya kini kian melemah. Pukul tiga sore. Orangtuaku belum juga pulang dan seluruh pekerjaan rumah telah kukerjakan sesuai perintah. Sebagai anak tertua, aku merasa tanggung jawab mengurus rumah berada di pundakku saat kedua orangtuaku masih sibuk bekerja.

Dimas masuk memberi salam kala aku meletakkan piring terakhir yang kucuci. “Kak, ayo main ke Batu Panggal!”

“Batu Panggal?”

Daerah itu adalah daerah yang menjorok jauh dari Kota Samarinda, tempat kami tinggal, nyaris masuk ke hutan. Sesungguhnya, dahulu tempat itu adalah pertambangan milik suatu perusahaan. Emas hitam lah yang mereka cari. Tetapi karena batu bara yang mereka cari itu telah habis dikeruk, jadilah tanah di sana tercipta cekungan di sana-sini. Beberapa di antaranya bahkan berukuran raksasa. Jangan harap perusahaan kaya itu mengurusnya. Pemerintah pun seolah menutup mata. Jadilah kini, tempat itu tertinggal begitu saja bahkan tanpa ada papan peringatan. Kami, anak-anak pinggir kota senang bermain di sana terlebih saat musim hujan. Tempat itu tercipta kolam renang yang menyenangkan bagi kami.

Aku hendak menjawab, namun memori akan mimpi semalam kembali terbersit dalam benakku.

“Ja-jangan!” Lagi-lagi irama jantungku menjadi lebih cepat. “Bahaya, Mas!”

Anak itu meneguk segelas air dengan cepat. “Tak apa, Kak. Aku bersama bubuhannya1 Genta, kok.” Aku menggeleng atas lawan bicaraku ini. Ia pun melengang pergi. Terburu-buru kukeringkan tanganku lantas menyusulnya.

Benar saja, di ruang tamu, Genta dan teman-temannya—anak para tetangga yang kerap bermain dengan kami—telah berkumpul dan tertawa-tawa. Kupikir mereka hendak pergi ke Batu Panggal, sebab sepeda mereka telah terparkir di halaman rumah kami.

“Hei, jangan ke Batu Panggal!” cecarku melarang mereka. Beberapa di antara mereka memang seumuran dengan adikku, dan akulah yang tertua. Sebab itulah aku cukup berani memperingati mereka.

Genta, yang cukup mendominasi dalam kelompok anak-anak ini, mengibaskan tangannya. “Tak apa, Kak. Kemarin kami juga ke sana, segar betul leh2 airnya!”

“Mau apa? Berenang?”

Mereka kembali terkikik heboh. “Ya, tentu. Kemarin Bang Hanan dapat ikan di sana.” Bang Hanan adalah seorang lelaki bujang tetangga kami.

Aku melengos kesal dengan kelakuan anak-anak ini. Merasa harus menjaga Dimas, akhirnya aku menyatakan, “Oke, aku ikut.”

###

Lambat-lambat aku mengayuh sepedaku. Sesekali Dimas yang kubawa di belakang asyik bercanda dengan yang lain. Tanpa sadar kuhela nafasku yang kesekian kalinya.

“Kakak kenapa sih? Kesal betul kelihatannya,” ucap Dimas menepuk pundakku.

Keningku terasa kaku sebab begitu lama mengkerut. “Kamu tahu, kenapa aku melarang kamu dan bubuhannya untuk pergi ke bekas tambang itu?”

“Kenapa?” tanyanya, “oh, mimpimu yang semalam, kah?”

“Ya!” Aku melengos kesal. Terang saja, bagaimana jika terjadi yang tidak-tidak dengan Dimas? Pun dengan Genta dan kawan-kawannya? Bagaimanapun, aku tak ingin!

“Maaf, maaf.” Dimas terkekeh pelan. “semoga tidak terjadi apapun, ya. Tapi aku jadi lebih lega untuk ikut, kan ada abangku ini.” Sudah dapat dipastikan, adikku ini tersenyum lebar sekali.

Sebaliknya, aku tersenyum kecut.

###

Tiba di lokasi, sebentuk danau luas menyambut kami dengan meganya. Langit biru cerah memayungi kami yang tengah memarkir sepeda. Lihat tempat yang lapang di sana! Tengahnya biru gelap meski pinggiran danau tampak keruh. Kontan pandanganku mengenai tempat ini jadi berbeda—hii, ngeri, rasanya. Perasaanku semakin tidak enak saja.

“Yuk, berenang!” Genta berteriak seraya melepas kausnya. Diikuti yang lain, mereka berlarian menuju danau dan menceburkan diri.

“Hei, jangan berenang!” Aku berteriak saat Dimas mengikuti mereka.

Beberapa dari mereka menyahut, “Di pinggir saja, Kak!”

Aku berdecak kesal saat seluruhnya telah asyik bermandikan air danau yang, kuakui, tampak menyegarkan di tengah sore yang panas ini. Setelah bertelanjang dada, perlahan kumasukkan kakiku di tepi danau. Airnya keruh kecoklatan meski semakin dalam, semakin biru warnanya sebab refleksi dari langit.

“Hei! Jangan ke tengah, Mas!” Tanganku berusaha menggapai kumpulan anak itu, terutama adikku, untuk tidak berenang ke tengah. Ah, rasanya aku semakin mirip ibuku dengan ceriwisnya ia akan larangan.

Sayang, kumpulan anak itu menjadi tersebar karena begitu asyik bermain. Kulihat Dimas semakin ke tengah saja—ah! Kontan rasa panik menyergapku. Rupanya kakiku tidak dapat lagi menggapai dasar dari danau sebab aku juga semakin ke tengah. Samar-samar, riuh rendah anak-anak bermain masih terdengar.

“T-tolong!” Tanganku melambai menggapai udara. Sekarang tak ada lagi suara yang ditangkap oleh telingaku. Dapat kurasakan banyaknya air yang terminum dan itu menyisakan rasa perih. Rasanya, entah mengapa seperti ada kekuatan yang menahanku untuk berada di atas. Medan itu seolah hendak menarikku ke dasar. “D-Dimas! Tolong!” Berusaha menyuplai paru-paruku dengan udara sekaligus mengangkat tubuh untuk tetap di permukaan rupanya benar-benar sulit … rasanya aku semakin lemas.

Kali ini, kerumunan anak-anak memperhatikanku yang bertingkah tak biasa—aku hanya dapat melihat gestur mereka dari sini, tampak semakin samar. Namun, aku sudah terlalu lemah untuk mengangkat tangan dan melambai …. Mataku terpejam menjemput kepasrahan.

Lalu, semuanya menjadi gelap.

1bubuhan                              : sekumpulan orang/anak.

2leh                                      : sekedar tambahan dalam tuturan yang bersifat memberi tahu, seperti “lho” dalam Bahasa Indonesia.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)