Flash
Disukai
0
Dilihat
11,919
Alunan Luna
Drama

Jemari lentik Luna menekan tuts terakhir, tanda berakhirnya lagu. Saat itu juga, aku bertepuk tangan.

“Bagus! Kamu benar-benar siap untuk lomba besok lusa, ya,” komentarku.

Sahabatku itu tersenyum, memperlihatkan wajah manisnya. “Benarkah? Terima kasih. Setidaknya … lebih baik dari latihan kemarin, kan?”

Membalasnya, aku mengangguk mantap. “Tenang saja, kamu kan sudah rajin berlatih selama ini.”

Apa yang kuucapkan tadi memang benar. Luna, sobat masa kecilku yang hobi bermain piano itu, berniat untuk mengikuti lomba akustik tingkat kabupaten, mewakili sekolah kami. Dia memintaku untuk menemaninya berlatih, tentu saja aku tak menolak. Aku benar-benar mendukungnya.

“Terima kasih untuk hari ini, Salma,” tutur Luna di ambang pintu, ketika aku siap berpamitan.

“Seharusnya aku yang berkata begitu,” balasku seraya tersenyum kuda.

Lawan bicaraku pun terkikik. “Tapi aku serius, terima kasih karena kamu sudah menemaniku berlatih selama ini.”

“Tidak masalah. Aku selalu mendukungmu,” ucapku sembari tersenyum tulus. “Ah, sudah dulu ya. Assalamu ‘alaikum!”

Tangan Luna melambai. “Wa ‘alaikum salam.”

###

Anak baru itu mengerlingkan matanya pada kami, teman-teman barunya. Terlihat cantik.

“Perkenalkan, namaku Dellia Wallington. Senang bertemu dengan kalian, Teman-teman,” katanya, membuat kami takjub. Terang saja, suaranya lembut dan wajahnya terlihat sangat cantik. Kupikir dia berdarah campuran.

“Dellia memang keturunan Inggris, dan baru kali ini ia kembali ke Indonesia mengikuti ayahnya. Ibu harap kalian dapat berteman dengannya,” ujar Bu Emi, wali kelas kami.

Kemudian, Bu Emi pun mengizinkan Dellia duduk tepat di samping Luna, karena hanya kursi itu yang tersisa.

“Hei, anak baru itu duduk di sampingku,” bisik Luna padaku. Aku ikut senang melihatnya tersenyum senang.

Selama pelajaran berlangsung, tampaknya Luna sibuk bercengkerama dengan Dellia.

“Ssstt, Luna,” bisikku yang duduk tepat di belakangnya. “Nanti bisa tertinggal catatan biologi, lho. Mengobrolnya saat istirahat saja.”

Aku sih berniat untuk menegur, karena obrolan mereka menggangguku. Aku jadi tidak dapat mencatat materi di papan tulis dengan tenang. Namun, Luna justru menggubris, “Ada apa? Hei, Salma tahu tidak? Ternyata, ayah Dellia seorang musisi, lho! Dia juga hobi bermain piano sepertiku, seru sekali!”

Alisku terangkat. “Iya, pasti seru. Tapi jangan mengobrol saat ….”

Belum selesai aku menyelesaikan kalimatku, Luna sudah berbalik dan kembali melanjutkan obrolannya. Ugh.

###

Istirahat tiba. Buru-buru aku mengeluarkan kotak bekalku, lalu mengajak Luna untuk makan bekal bersama. Namun, aku melihatnya bersama Dellia, berjalan keluar kelas.

“Luna … hmm, mau makan bekal bersamaku, tidak?” tawarku, merasa canggung. Entah kenapa, aku merasa kurang suka pada anak baru itu.

“Makan bekal?” Luna menghentikan langkahnya, dia menanggapiku dengan senyuman manisnya. Diam-diam aku bersyukur dia masih menghargaiku. “Tidak bisa. Aku sudah ada janji dengan Dellia untuk makan di kantin. Maaf, ya.”

Belum sempat aku membalasnya lagi, mereka sudah melangkah pergi. Aku hanya dapat melihat punggung Luna yang pergi menjauhiku.

###

Bel pulang berbunyi. Baiklah, hari ini terakhir kalinya aku menemani Luna berlatih karena lombanya akan diselenggarakan besok. Namun lagi-lagi, aku melihatnya berjalan beriringan bersama Dellia.

“Luna,” sapaku, berusaha terlihat biasa saja—mengurangi rasa tidak sukaku pada Dellia. “Hari ini kamu berlatih lagi, kan? Aku langsung ke rumahmu saja, ya?”

Luna tersenyum lebar padaku. Aku harap itu pertanda bagus. Namun kemudian, dia membalas dengan jawaban yang tidak kupercaya, “Salma! Ya ampun, kamu tahu tidak? Dellia juga mengikuti lombanya, lho! Bahkan, ayahnya yang merupakan musisi itu akan mengajari kami. Ya, aku akan berlatih bersama Dellia. Aku tidak percaya, aku akan dilatih oleh musisi yang berasal dari London!”

Aku mengatupkan mulut. Mendengar itu, dadaku terasa nyeri.

“Be-begitu?” Aku berusaha tersenyum. Bahkan kepada Dellia yang kini tersenyum padaku, dan itu memperjelas wajah cantiknya.

Tanpa berkata lagi, mereka melangkah pergi, meninggalkanku seorang diri. Entah kenapa, aku merasakan dinding yang membatasi antara aku dan Luna. Aku memang tidak banyak mengerti tentang musik, tidak dapat bermain piano seperti Dellia, namun tetap saja. Aku mendukung Luna dengan tulus.

Namun, tidak.

Sepertinya Luna telah menemukan teman sehatinya. Yang sama-sama menaruh minat pada musik. Yang sama-sama jago bermain piano. Memang, aku yang tidak mengerti banyak tentang musik ini, sebaiknya tidak ikut campur.

Aku memutuskan untuk segera pulang, sebelum cairan di mataku mengalir lebih deras.

###

Jam menunjukkan pukul sepuluh. Masih pagi memang, tapi aku sudah disergap rasa cemas. Lebih tepatnya, cemas pada Luna. Kira-kira acaranya sudah selesai, belum ya? batinku.

Setelah merasa yakin, aku memutuskan untuk mengunjungi gedung serba guna di pusat kota, tempat di mana lomba itu diselenggarakan. Walaupun kejadian kemarin cukup membuatku sungkan, aku tetap berharap Luna menang. Begitu juga dengan Dellia.

Begitu sampai, sepertinya acara sudah selesai. Tampak tiga orang berdiri di panggung—para pemenang. Dan di antara mereka, aku melihat Dellia. Tepuk tangan para penonton pun menggema.

“Luna?” Aku melihatnya di sudut ruangan. “Ada apa? Kamu … hei, kenapa menangis?”

“Salma!” Kontan, Luna memelukku. “Maafkan aku. Aku tidak tahu kalau … Dellia curang. Aku kalah.”

“Curang?” Mataku membesar. Aku melepas pelukan Luna. “Maksudmu?”

“I-iya. Tadi, Dellia tampil tepat sebelum aku. Sesaat sebelum naik ke panggung, Dellia memberitahuku bahwa dia sudah memperbaiki stem pada piano karena kurang tepat. Aku percaya saja. Tapi saat aku bermain, permainanku kacau. Suara piano itu jadi kacau. Penonton bahkan menertawakanku. Aku sangat malu, a-aku ... merasa bersalah padamu, Sal!”

Aku kembali menerima pelukan hangat dari Luna, mendengarkan ungkapan hatinya dan membiarkan air matanya jatuh.

“Maaf jika selama ini aku tidak mempedulikanmu. Kupikir lebih mengasyikkan bersama Dellia, karena kami sehati. Ta-tapi ternyata … dia ....” Dan tangisan Luna kembali meledak.

Aku mengusap punggungnya seraya menenangkan, “Sudahlah, tidak apa-apa. Walaupun tidak menang, aku selalu mendukungmu kok. Itulah gunanya sahabat, bukan?”

Luna melepas pelukannya, mengusap matanya yang sembab. “Terima kasih. Kalau begitu … ayo, ke rumahku sekarang! Aku akan memainkan sebuah lagu sebagai permintaan maaf. Khusus untuk sahabatku, Salma.”

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)