Cerpen
Disukai
0
Dilihat
5,282
Nyawa Kesembilan
Horor

BRAK!

“A-apa itu?”

Pukul 00.00. Rintik hujan yang memukuli atap mobil bersuara nyaring dengan irama yang serentak. Tak dapat dipungkiri, dingin pun cukup menusuk.

“Sudahlah Yah, itu hanya kucing! Ini sudah jam berapa? Ayo jalan!” Seorang ibu yang duduk tepat di samping suaminya berdalih ingin cepat pulang. “Kinan juga, tidur saja lagi! Manfaatkan perjalanan pulang ini untuk tidur, jika di sekolah besok mengantuk bagaimana?”

Seorang gadis yang duduk di belakang seorang diri, kembali memeluk boneka kucing kesayangannya, tidak ingin memperpanjang urusan dengan omelan ibunya. Namun ekor matanya tidak dapat lepas dari jendela mobil yang berhiaskan beberapa bulir air hujan yang hinggap, dan hanya menampilkan kabut keputihan akibat hujan.

Dia melihatnya. Di aspal yang basah di tengah hujan, tergeletak seorang gadis tak berdaya. Mustahil ayah menabrak orang! Gadis itu sudah ketakutan saat itu, namun setelah matanya berkedip dan hanya melihat sebuah bangkai kucing di sana, setidaknya dia merasa sedikit lebih lega.

Namun, tidak. Hujan deras malam itu menjadi saksi bisu dari kejadian tersebut.

###

“Hai, namaku Nesha. Senang berkenalan dengan kalian.”

Teman-teman di kelas Kinan tampak takjub dengan anak baru di depan. Terang saja, wajahnya cantik—rambut panjang kecoklatan, mata besar, ditambah sepasang gingsul yang menyembul di bibir tipisnya.

Bu Siti, wali kelas mereka, mempersilakan Nesha duduk untuk mengikuti pelajaran. Kinan pun tidak dapat melepaskan matanya dari anak baru tersebut. Yah, memang cantik sih …. Tapi, kok, mirip cat woman ya?

Untuk sesaat mereka bertemu mata. Keduanya tiada yang tahu, akan ada sesuatu di antara mereka.

###

Bel pulang berbunyi. Sembari berkemas, Kinan melirik Nesha untuk memastikan dia masih di tempat atau tidak. Setidaknya, dia ingin mengobrol sedikit saja dengan si anak baru pada hari pertama.

“Kinan, ayo pulang bersama!” ajak Dewi, teman sebangku Kinan.

 “Oh, kali ini aku tidak bisa. Duluan saja, aku ingin menemui Nesha dulu.”

Dewi mengangkat alis. “Tahu tidak, aku mendengar bahwa Nesha, si aneh itu, bukan anak orangtuanya.”

Perkataan Dewi membuat Kinan menghentikan aktivitasnya. “Maksudmu?”

“Ya, adopsi. Entahlah, tapi aku mendengar itu tanpa sengaja dari Bu Siti, saat melewati ruang guru pada jam istirahat tadi,” lanjutnya. “Sikapnya juga aneh, selalu menghilang saat istirahat maupun pulang sekolah seperti saat ini.”

Kinan hanya mengangkat bahu, lalu menautkan tas pada punggungnya. “Aku tidak peduli tentang itu. Dia anak baru di sini, kita tidak tahu  banyak tentangnya. Walaupun gosip bahwa Nesha adalah anak adopsi itu benar, lalu mengapa? Tidak masalah, kan?” jelasnya tanpa maksud menggurui, karenanya Kinan tetap memasang senyum manisnya.

Setelah berpamitan pada Dewi, Kinan menemukan bahwa Nesha sudah melengang.

Sepertinya Dewi benar, cepat sekali dia menghilang, pikir Kinan. Sudahlah, besok saja kan bisa, batinnya lagi menepis rasa kecewa, lalu melangkah pulang.

###

“Panas sekali.” Kinan menyeka keningnya. Dia sudah terbiasa berangkat dan pulang sekolah dengan berjalan kaki. Tapi untuk kali ini, panasnya sang pemilik siang terasa menggigit kulit.

Meong ….

Langkah Kinan terhenti. Dia selalu suka suara itu. Suara kucing mengeong dengan iba dan berharap diberi makan, atau sekedar ingin dielus. Kinan menajamkan pendengarannya di tengah jalan raya yang padat. Suara itu terdengar lebih keras di sebuah lorong antara sebuah minimarket dan sebuah kios koran.

“Puss …?” Kinan memanggil, dan kucing itu membalasnya. Kinan berjalan mendekati sebuah kardus. Ketika dia membukanya, ada sepasang mata yang menyala di sana.

###

“Boleh aku merawatnya?”

Ibu menghela napas. Ini yang ketiga kalinya Kinan memohon seperti itu, selama tiga belas tahun ini. Yang pertama saat Kinan pulang bermain tujuh tahun lalu, dia membawa seekor anak kucing yang kehujanan. Dia juga pernah membawa pulang seekor kucing yang terluka karena terserempet motor, tiga tahun lalu. Dan jawaban ibu selalu sama, tidak. Ibu berpikir Kinan belum cukup umur untuk diberi tanggung jawab merawat hewan.

Namun untuk kali ini, berbeda.

Ibu menatap seekor kucing yang kini berada dalam gendongan Kinan.

Akhirnya, ibu menyunggingkan senyumnya. “Ambillah sepotong ikan yang ada di kulkas, berikan padanya.”

Senyum Kinan melebar, lalu dia memekik senang. “Terima kasih, Bu!”

“Dengan syarat,” kata ibu menambahkan. “Bertanggungjawablah merawatnya, jangan sampai lalai.”

###

“Kamu juga menyukai kucing, ya?”

Kinan berdiri di samping Nesha saat jam istirahat, di halaman sekolah. Kinan merasa senang akhirnya dapat mengobrol lebih banyak dengan anak baru itu. Dia tak peduli tentang gosip yang beredar. Dan beruntungnya, Kinan merasa nyaman saat mengobrol dengan Nesha—gadis itu sangat ramah.

Yang diajak berbicara tersenyum, lalu menjawab, “Sangat.” Nesha mengelus seekor kucing tanpa pemilik yang sering berkeliaran di sekolah, setelah memberinya sepotong sosis. “Bagiku, kucing sudah seperti keluarga.”

“Aku juga,” timpal Kinan dengan senyum lebar. “Sejak aku kecil, ibu tidak pernah memberiku izin untuk memelihara hewan. Tapi kemarin, aku menemukan seekor kucing dewasa dengan bulu putih bercorak hitam, matanya berwarna biru. Dia lucu sekali.”

Mendengarnya, Nesha terdiam. Dia menunggu Kinan melanjutkan ceritanya.

“Lalu, tebak apa? Ibu memberiku izin untuk merawatnya! Aku senang sekali! Aku bahkan sudah menamainya, Miu.”

Nesha berdiri, lalu membalikkan badannya. “Wah, senangnya!” Dia ikut tersenyum.

Kinan terkikik. “Ternyata susah juga, ya, merawat kucing? Apalagi saat memandikannya. Lihat, koleksi cakaran Miu sudah sebanyak ini,” katanya lagi seraya memperlihatkan beberapa jemarinya yang dibalut perban.

Mata Nesha menangkap sebuah bekas cakaran yang sudah kering di pergelangan tangan Kinan. “Termasuk ini?”

“Eh?” Kinan merasa heran, dia baru menyadari keberadaan luka itu di sana. Tiga buah goresan dengan jarak yang cukup lebar, dan ukurannya yang panjang—tidak terlihat seperti cakaran kucing. “Tidak, tuh. Miu hanya menyerangku di bagian jari.”

Mendengar itu, air muka Nesha berubah dingin.

###

Pukul 01.42 dini hari.

Seperti malam-malam biasanya, keadaan di rumah Kinan sunyi senyap. Termasuk si gadis yang baru saja mendapatkan hewan peliharaan yang lucu itu, tertidur pulas di kamarnya.

Namun siapa yang tahu, di suatu sudut, ada yang berbeda.

Krieet. Sebuah bayangan membuka pintu kamar Kinan. Siapapun tahu bahwa di tangannya terdapat kuku panjang, dengan rambut yang panjang pula. Gadis mengerikan itu melihat Kinan tertidur pulas di ranjangnya. Dua taring pun menyembul saat dia tersenyum penuh dendam.

Perlahan sosok itu berjalan mendekati Kinan. Matanya menyala di tengah kegelapan—di sana tersirat dendam yang mendalam. Dan dia tahu, dia dapat melakukannya. Malam ini juga. Kuku-kuku panjang itu sudah menyentuh leher Kinan. Senyumnya semakin lebar, semakin menonjolkan kedua taringnya pula. Sedikit lagi, dia hanya butuh mengiris nadi itu saja.

KRIIING …!

Kinan terbangun dari tidurnya. Dengan menahan kantuk, dia meraba-raba mencari ponselnya. “Halo?”

“Kinan, bahaya! Cepat nyalakan lampu kamarmu! Sekarang!”

Seketika, rasa kantuk penerima telepon itu hilang. “Nesha? A-apa maksudmu?”

Klik. Gelap pun lenyap ketika Kinan menyalakan lampu.

Ya, dia melihatnya. Sosok gadis pucat pasi dengan kuku dan rambut yang panjang.

Ssshhh!

Deg.

“AAAA …!”

###

“Kumohon, jangan mencari korban karena keegoisanmu sendiri.”

Angin senja berembus, memainkan rambut kedua gadis yang dengan cepat berteman baik itu—Kinan dan Nesha. Warna jingga mendominasi langit saat itu, namun tidak membuat keduanya ingin segera pulang. Tidak, Nesha tidak berbicara dengan Kinan. Ada sesuatu diantara mereka.

“Kamu mudah berbicara seperti itu, karena kamu tidak mengalami apa yang kualami sekarang,” jawab suara dingin itu tak ingin mengalah, dengan tetap memasang wajah penuh dendam seperti semalam. “Ah, maksudku belum. Kamu belum mengalaminya.”

Mendengar itu, Nesha tak mampu menyahut. Sedangkan Kinan dari awal tidak bersuara karena tidak percaya apa yang dilihatnya sekarang. Tentu saja, baru kali ini Kinan melihat makhluk tembus pandang, dan parahnya lagi, salah satu temannya memperkenalkan makhluk itu dengannya!

Namun, dia terdorong oleh rasa penasarannya. “Kenapa … kenapa kamu melakukan ini padaku?”

Gadis berambut panjang itu tertawa. Mengerikan. Dan itu lebih mengerikan ketika angin menyapu lembut leher Kinan. Suasana senja di atas bukit yang sepi menambah keseraman yang ada.

“Kenapa? Terang saja, itu karena kamu mengambil sesuatu yang berharga bagiku.” Dapat jelas dilihat sepasang gigi taring gadis itu ketika dia menarik ujung bibirnya. Menampakkan seulas senyum penuh kebencian. “Kehidupanku.”

Menanggapinya, Kinan mengelak tak percaya, “Ta-tapi aku tidak ….”

“Kamu melakukannya!” jerit makhluk itu, yang entah mengapa kini terdengar pilu. “Hanya kamu yang melihatku malam itu! Malam dimana hidupku, kesempatan terakhirku yang berharga, melayang begitu saja!”

Sebuah memori mendarat di otak Kinan. Ya, beberapa hari yang lalu. Suatu malam ketika keluarganya yang baru saja pulang dari luar kota, menabrak sesuatu. Hujan yang deras kala itu membuat Kinan tak begitu jelas melihat. Seperti seorang gadis, namun ….

“Sudahlah Meiza, inilah takdir! Kita terlahir sebagai kucing, hanya reinkarnasi yang ….”

“DIAM …!”

Srak! Segaris luka tercipta di pipi Nesha ketika makhluk yang rupanya bernama Meiza itu, mengibaskan tangannya tak keruan. Darah segar pun menetes dari sana.

“Kamu tidak mengerti! Selama tujuh kali kita mengalami reinkarnasi dari wujud kucing menjadi manusia, aku tidak pernah bahagia!” Entah mengapa, perlahan kesan menyeramkan dari gadis pucat pasi itu hilang, berganti pilu. Beberapa tetes air mata turun ketika dia melanjutkan, “Orang-orang yang mengadopsiku tidak pernah merawat dan menyayangiku! Aku berusaha memperbaikinya dalam kesempatan dengan nyawa terakhirku, namun itu sia-sia ….”

Reinkarnasi tujuh kali? Nyawa terakhir? pikir Kinan penuh tanya. Tunggu dulu, sepertinya ada mitos ….

“Hei, kamu.” Meiza yang kembali mendapatkan aura menyeramkannya, menatap Kinan tajam. Suaranya menjadi seperti semula. “Kamu tahu kan, usia harapan hidup kucing adalah tiga belas tahun?”

Kinan menelan ludah dihujam tatapan itu. “I-iya.”

“Dan saat itulah, kami yang terlahir sebagai kucing mengalami reinkarnasi menjadi manusia berusia tiga belas tahun,” terang Meiza, kali ini tatapannya kosong. “Kami menjalani kehidupan manusia yang nikmat sebisa mungkin. Namun, jika sudah saatnya, kami mengalami reinkarnasi kembali menjadi kucing. Begitu seterusnya hingga kesembilan nyawa kami habis.”

“Me-Meiza ….” Nesha berusaha mengingatkan, namun tak digubris.

“Namun syukurlah, aku mendapat tawaran karena aku meninggal dengan menyedihkan. Ini tidak adil untukku!” lanjutnya lagi, kini tatapan kosongnya menyiratkan dendam yang membara. “Aku diperintahkan untuk membalas dendam kepada pembunuhku … agar aku dapat menikmati hidup sebagai manusia kembali.”

Kinan dapat merasakan dengan jelas debaran jantungnya menjadi lebih cepat.

“Karenanya, kamulah ….” Pandangan Meiza hanya tertuju pada Kinan dengan matanya yang membesar, penuh kebencian. “…. Kamulah yang harus mati …!”

Kuku-kuku itu siap untuk menggores leher Kinan. Namun ….

“Sudah, cukup! Kumohon!” Nesha sergap menghalangi kibasan tangan Meiza. “Kumohon, pergilah … pergilah ke alammu dengan tenang.”

Yang diminta menengadahkan lehernya. Sedangkan Kinan sendiri sibuk mengatur napas, tahu akan bahaya di depan mata yang bisa saja sewaktu-waktu mencelakakan dirinya.

“Baik.”

Kontan saja Nesha dan Kinan menatap Meiza tak percaya, semudah itu meminta arwah pembalas dendam untuk kembali ke dunianya.

“Dengan syarat.” Tangan Meiza menunjuk pada Nesha. “Kamu … harus ikut denganku.”

Kinan tersentak. “Ti-tidak! Kumohon jangan ….”

Cahaya putih berpendar menyelubungi tubuh Nesha dan Meiza. Nesha menatap Kinan dengan seulas senyum sendu. “Maafkan aku, Kinan. Aku hanya … tidak ingin kamu menjadi korban.”

Gadis pecinta kucing itu tak peduli air mata yang kini membasahi pipinya. “Tidak, Nesha. Ini salahku, seharusnya aku yang ….”

 Cahaya itu semakin terang, dan ….

“Nesha …!”

Terlambat.

Angin senja kembali memainkan rambut gadis yang kini sendiri itu. Entahlah, ada banyak penyesalan yang membuat dadanya sesak. Nyawa yang nyaris melayang di tangan hantu pembalas dendam tak dipikirkannya—yang terpenting, bukan temannyalah yang menjadi korban.

Perhatian Kinan tersita pada seekor anak kucing yang tiba-tiba mendekati kakinya dan mengusapnya manja. Kemudian gadis itu berjongkok untuk mengelus kucing mungil itu. Dia mengusap air matanya, lalu tersenyum.

“Halo,” katanya. “Apakah kamu Nesha?”

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)