Flash
Disukai
0
Dilihat
7,765
Fauvi
Romantis

Percayakah hidup yang sempurna itu ada? Yah, mungkin tidak, tapi aku pernah mengalaminya. Hidup di tengah keluarga kecil yang tentram, dengan teman-teman kocak yang seru karena kami satu hobi: musik. Tapi, itu dulu. Ternyata hidupku tak lebih dari panggung sandiwara yang sempurna bagai dongeng. Biar kujelaskan ya. Drama pertama: papa yang kupikir berwibawa dan penuh tanggungjawab itu, menceraikan mama. Memang, awalnya hanya pertengkaran kecil. Namun semua itu berujung perkelahian fisik. Mengerikan. Mama bilang, pernikahan mereka adalah kesalahan. Lalu aku ini apa? Buah dari kesalahan? Drama kedua: teman-temanku pergi. Teman dalam band yang kuciptakan saat awal SMA dulu, mereka membuangku saat aku membutuhkan mereka.

Begitulah. Oh ya, namaku Heraldis Hanggara. Setengah malaikat setengah setan. Tapi sekarang hanya ada setannya. Salam kenal.

###

“… orangtuanya benar-benar cerai, kok. Malah katanya, kelahirannya itu tidak diinginkan.”

“Apa lihat-lihat?!” Gertakanku membuat empat kepala yang menghuni sebuah meja di kantin bergidik. “Minggir!” Tergopoh-gopoh, mereka beranjak pergi menyisakanku dan meja ini. Persetan dengan bisikan mengganggu dari mereka, yang kubutuhkan saat ini adalah mengisi perut. Ketika aku melahap nasi gorengku dengan tenang, seseorang mengisi bangku di hadapanku. Oh, siapa yang berani melawanku, ya? Sosok itu meletakkan sebuah brosur di hadapanku. “Apa-apaan?!” Suaraku meninggi, bermaksud mengusir gadis yang kelewat polos atau bodoh ini. “Mau ganggu orang makan?!”

Namun gadis berambut bob itu memamerkan senyumnya. “Ini pensi. Aku mau kamu ikut, Heraldis Hanggara.”

Jangan bayangkan wajahku yang terlipat dengan mulut penuh nasi goreng dan menguarkan aura setan. “Tunggu, tunggu dulu.” Sejenak aku terdiam, mengingat siapa gadis ini. “Aku bahkan nggak kenal kamu.”

Yang kuajak bicara hanya mengedikkan bahu. “Tapi aku kenal kamu,” katanya. “Panitia pensi, Fauvivian Asmara. Panggil aja Vivi. Salam kenal.” Aku tidak ingin menghitung ada berapa kerutan di keningku saat ini. Lelah berdebat, aku hanya menggelengkan kepala kemudian beranjak pergi. “Tunggu!” Sesaat aku terhenyak, gadis bernama Vivi ini memegang tanganku kuat sekali. Bahkan terasa dingin. “Aku tahu kamu suka musik. Gitaris band Veritas, kan? Kebetulan latihannya sekarang. Gabung, yuk!” cecarnya menarik tanganku, tanpa menunggu jawaban.

###

Saat ini aku mulai jinak karena di ruang musik, ternyata teman-teman bandku tidak ada. Setidaknya aku dapat bernafas lega. “Oke!” Vivi tersenyum puas melihatku mengalungkan sebuah gitar. “Jadi ... mana teman-temanmu?”

Aku mencibir. “Udah mati, kali. Mereka bukan teman-temanku.”

Alis Vivi bertautan, antara sedih dan kecewa. “Tapi kamu harus tampil, Dis.”

“Untuk apa, sih?!” Aku melengos kesal. Mulai gusar, aku melepas gitar dengan kasar. “Aku nggak mau main band lagi! Sudahlah, jangan ganggu aku!”

Kakiku siap melangkah pergi ketika Vivi berujar, “Bukan untuk apa-apa, tapi untuk kamu!” Sialnya, itu membuatku menimbang-nimbang. “Bahkan kamu nggak butuh teman-teman seperti mereka. Yang kamu butuhkan hanya musik, Dis.”

Sejenak, hening.

Kemudian, aku tertawa. Tertawa keras sekali. Lebih tepatnya, menertawakan diriku dan semua masalah ini. “Satu lagu aja, ya?” Oke, aku menyerah. Vivi mengembangkan senyumnya. “Aku yang menyanyi!”

###

“Aldis!” Sebuah tangan dingin meninju bahuku saat aku hendak memesan makanan.

“Hei!” Entah mengapa, kedua sudut bibirku terangkat melihatnya. Vivi. “Jadi gimana? Kita fix tampil, nih?”

Lawan bicaraku mengacungkan ibu jarinya. “Beres! Pokoknya, besok kamu tinggal datang.”

Obrolan kami berhenti ketika seseorang menyenggol bahuku dengan sengaja. Tidak, tepatnya ada tiga orang. Mereka, teman-teman munafik yang pergi meninggalkanku ketika aku membutuhkan mereka. “Eh, si Anak Broken Home.” Omong-omong, aku tak perlu mengenalkan mereka satu per satu, kan? “Kita tahu kamu stress karena broken home itu. Tapi tolong jangan bertingkah gila begitu, dong.” Apa coba maksudnya? Ingin kutinju saja mereka, namun Vivi mencegahku dan membiarkan mereka melengang pergi dengan tawa yang menyebalkan. Akhirnya kami mengambil tempat di sebuah meja.

“Aku paham perasaanmu. Masalah dalam hidup memang selalu ada—orang-orang datang dan pergi begitu saja. Tapi kamu tahu, musik nggak meninggalkanmu sendiri.”

Mendengar itu aku menyimpulkan senyum. Sedikit mendinginkan hatiku, sih. “Kita pesan makan ya? Biar aku saja.” Vivi lantas bangkit, memberiku ruang untuk menarik nafas. Kuceritakan padamu ya, sejak hadirnya Vivi dalam hidupku yang kacau ini, semuanya berubah. Kami semakin dekat. Meski gadis yang dasarnya tertutup itu terkadang, untuk beberapa hal, tidak ingin membaginya denganku. Tak lama, tampaklah gadis yang baru saja bersemayam dalam benakku ini dengan sepiring nasi goreng dan segelas es teh. Lihat kan, aku bahkan tidak pernah melihatnya makan. “Makanlah,” katanya. Awalnya aku ragu, tetapi biarlah. Aku juga butuh makan setelah ledakan emosi tadi.

“Aldis?” Gadis di hadapanku ini angkat bicara. “Hmm ... maaf, ya? Aku senang bisa kenal kamu, senang bisa main musik bersamamu.” Tepat setelah itu, tanganku menyenggol gelas es teh. Air dinginnya mengaliri celanaku. Ah sial. Inilah akibatnya jika kamu makan seperti singa dan tidak memperhatikan lingkungan sekitar. “Ah, maaf, maaf Vivi … kamu bicara apa tadi?” Rasa panikku bahkan hilang setelah menengadah. Vivi tidak ada lagi di tempatnya.

###

Tepat pukul tujuh malam. Inilah klimaks dari classmeeting semester ini: pensi! Kutatap layar ponsel yang sedari tadi menyala. Teleponku untuk Vivi bahkan tidak diangkat. Ke mana sih dia?! Merasa gemas dan tak sabar, aku berjalan mengarungi kerumunan manusia mendekati panggung. Ketika mataku menangkap beberapa orang dengan nametag panitia, aku mendatangi salah satu yang kukenal. “Dim? Hmm mau tanya, Vivi ke mana ya? Kuhubungi dari tadi nggak direspon.”

Namun lawan bicaraku ini mengerutkan kening. “Vivi? Maksudmu apa?” Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. “Itu, Fauvivian Asmara, panitia pensi ini menawariku tampil. Aku dan dia akan tampil duet malam ini, apa nggak diberitahu?” Giliran Dimas yang menggaruk kepalanya. Ia mengulas senyum seadanya bahkan tautan alisnya tidak sirna. “Hmm, maaf Aldis …. Vivi meninggal sebulan yang lalu. Kecelakaan.” 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)