Masukan nama pengguna
Apa kalian pernah merasa kehilangan?
Jika di antara kalian ada yang memiliki sanak saudara atau teman yang telah tiada, pasti mengerti perasaan ini. Rasa sakit yang menjalar, begitu menekan, bagai rantai besi yang menahanmu untuk mengejar seseorang itu agar tidak pergi. Namun kenyataannya, kamu tak akan bisa membiarkannya untuk tetap tinggal. Yah, aku juga pernah mengalami ini.
Kamu pikir aku ditinggal mati? Bukan.
“Assalamu ’alaikum.”
“Oh, Gita?”
Begitu kubuka pintu, papa berada di hadapanku. Tampaknya dia baru akan keluar rumah, terlihat dari sepasang sepatu yang dibawa dan sebuah ransel yang dipanggul dengan sebelah tangan. Aku meletakkan sepatu di rak, lantas masuk ke kamar untuk ganti baju.
Sebelum aku memasuki kamar, papa menyahut dari ruang tamu, “Hari ini masih UAS, ya? Bagaimana ujianmu?”
Aku berhenti sejenak, kemudian menjawab, “Hmm, alhamdulillah … Matematika sih, cukup lancar.”
Papa mengulum senyum. “Mamamu masih menjemput adikmu, ya?” katanya. “Oh iya, Papa meninggalkan uang untuk bulan ini di atas meja di kamar mamamu, jangan lupa untuk memberitahu dia, ya.”
Menjawabnya, aku hanya mengangguk, kemudian masuk ke kamar. Papa juga pergi tanpa salam dan tidak memberitahu ke mana dia akan pergi—hal itu sudah biasa selama beberapa bulan terakhir—walaupun aku tahu dia akan bekerja siang ini.
Lalu aku sendiri di sini. Rasanya kosong. Aku tahu ia berada di dekatku, namun kurasakan sosoknya menjauh. Pergi. Tiada lagi dalam kehidupanku, sosoknya sebagai ayah.
###
Maret 2013.
“Selamat ulang tahun, Sayang.”
Puk, puk. Tangan besar papa menepuk puncak kepalaku yang dibalut kerudung dengan lembut. Aku menikmati hal yang jarang kudapatkan itu selama beberapa waktu terakhir ini. Kudekap bungkusan yang baru saja papa beli itu. Sebuah kubus berisi kamera digital yang telah lama kuimpikan.
Kami pun berjalan beriringan menuju mobil di mana mama dan adikku telah menunggu. Perasaan gembira menari dalam anganku, tak sabar rasanya memulai hobi baruku ini—mengkristalkan segala kenangan agar tidak lengang, walau hanya dengan kamera digital, bukan kamera DSLR canggih seperti milik teman-temanku yang lain.
“Kameranya jangan sampai rusak, ya,” pesan papa kala mobil melaju seraya menatapku dari spion tengah. “Kredit kamera itu kan belum lunas, masa sudah rusak?” Lelaki berkumis itu mengeluarkan tawanya.
Aku ikut tertawa walau merasa tak enak hati. Aku paham, kondisi ekonomi keluargaku beberapa waktu ini sedang tidak stabil, makanya aku tak begitu berharap mendapatkan apa yang kuinginkan saat ulang tahunku hari ini. Namun mamalah yang memintanya kepada papa.
Ekor mataku menangkap air muka mama yang duduk di sampingku, tampak tidak enak. Aku tak begitu mengerti, namun siapa sangka, jalan hidupku akan berubah setelah ini.
###
September 2013.
Sepinya tengah malam tidak menghalangi kami untuk bergadang, menonton film favorit di ruang keluarga. Kakak perempuanku, Mbak Citra, memutuskan untuk pulang ke Kalimantan karena sakit. Yah, dia memang berkuliah di Yogyakarta, kampung halaman kami, namun sering kali sakit hingga membolos beberapa minggu. Akhirnya, atas izin mama, perempuan yang terpaut 5 tahun dariku itu memutuskan untuk beristirahat dari segala aktivitas padatnya di kampus untuk beberapa bulan ke depan—dengan kata lain, cuti.
Setelah film selesai pun, kami tidak kunjung tidur dan terus mengobrol sembari berbaring. Hoho, biarkan kami menikmati liburan kali ini. Liburan yang tidak begitu panjang ini harus kunikmati sepuasnya sebelum bertempur untuk UN bulan Mei tahun depan. Terlebih kakak perempuanku ini akan tinggal lebih lama, kurasa ini akan lebih menyenangkan.
Kemudian, cuap-cuap kami terhenti karena lelah tertawa. Senang rasanya dapat bercengkrama bersama saudara terdekat yang telah lama tidak berjumpa. Kali ini suara jarum jam yang terdengar keras mengisi ruangan. Perlahan rasa kantuk memelukku.
“Gita.” Mbak Citra memanggil. “Biasanya papa memang belum pulang, ya, jam segini?” Tatapannya tertuju pada pintu kamar papa yang masih terbuka.
Kulirik jam yang menggantung di sebelah vas bunga. Pukul satu dini hari. “Mungkin,” jawabku sekenanya. “Ah, ya, aku pernah terbangun karena ingin ke toilet, papa belum pulang. Padahal saat itu sudah nyaris subuh.”
“Kamu ….” Rasanya risih juga ditatap Mbak Citra sedari tadi. “… tahu mengapa papa sering tidak pulang?”
Deg. Ada apa ini? Mendadak saja jantungku berdegup lebih cepat. Kutatap wajah Mbak Citra yang terbaring di sebelahku. Air mukanya tampak … sedih.
“Kamu tahu mengapa papa dan mama tidak satu kamar lagi?”
Ugh, hentikan. Aku tidak ingin dengar.
“Kamu tahu mengapa papa dan mama tidak saling bicara lagi?”
Aku mengatur nafasku. Bayangan papa mengambang dalam pikiran—sosok yang kusayangi dan kubanggakan; dialah satu-satunya lelaki yang kuizinkan menepuk kepalaku dengan lembut, susah payah mengajariku matematika sampai aku menangis, atau melontarkan candaan yang perlu memutar otak dahulu agar dapat mengerti. Entahlah, memang beberapa waktu ini, aku merasa bahwa sosok itu … menjauh.
“Mengapa ….” Aku bahkan tidak tahu kekuatan dari mana yang kudapatkan untuk berbicara, namun jelas saja nada getir terdengar di dalamnya. “Mengapa papa jadi terus bersikap aneh?”
Calon psikolog di hadapanku itu justru tersenyum. “Bersikap aneh seperti apa?”
“Seperti ….” Otakku berputar, mencari perubahan sikap papa akhir-akhir ini. “Sering tidak pulang, sering pergi walau hari libur, selalu menjauhi kita saat sedang berkumpul bersama dengan pergi entah ke mana ….”
“Nah.” Kedua sudut bibir Mbak Citra tertarik. Namun aku tahu, senyum itu berbeda, ada gurat sedih yang terlihat. “Kamu memang harus tahu yang sebenarnya. Keluarga kita memang sudah berubah,” ujarnya seraya menggamit tanganku.
Keluargaku berubah? Memang, sudah kubilang ini terjadi beberapa bulan terakhir. Aku termasuk tipe orang yang tidak begitu peduli dengan lingkungan, makanya aku lebih memilih mengurung diri di kamar untuk bermain dengan duniaku sendiri—itulah caraku untuk melarikan diri dari kenyataan, berharap semua masalah itu tak pernah ada.
Tanganku mencengkeram boneka beruang besar kesayanganku, berharap tidak mendengar yang tidak kuharapkan.
“Papa telah menikah lagi.”
A-apa?
“Papa hanya menceritakannya padaku, namun mama mengetahui ini sejak lama—maksudku, perbuatan papa yang bermain dengan perempuan lain. Seorang janda beranak dua, dan papa telah menikahinya.”
Tanpa kusadari, pipiku sudah basah oleh air mata. Bayangan papa semakin jauh saja. Namun kali ini, aku benar-benar tidak dapat mengejarnya. Membayangkan papa berkumpul dengan keluarga selain kami … membuat dadaku sesak. Sakit.
Mbak Citra mendekapku. Saat itulah tangisanku pecah. “Ti-tidak …. Bohong! Kenapa harus ….”
Entah apa yang kuucapkan saat itu, aku benar-benar merasa gila. Tak terbayang rasanya jika orangtua akan berpisah. Kupikir selama ini aku hidup bahagia dengan orangtua lengkap, tanpa masalah, walau kadang dihiasi beberapa debat kecil papa dan mama. Tidak sanggup rasanya jika harus berpisah dengan papa.
“Mama lebih memilih untuk diam, bertahan demi kita. Tentu kamu tidak ingin membuatnya lebih sengsara, kan?” Mbak Citra mengusap air mataku. Ah, yang kuinginkan adalah membuat keduanya bahagia bersama. “Rencananya, rumah dan mobil akan dijual untuk biaya kita pulang ke Yogyakarta, dan memulai hidup baru di sana. Tenang saja, keluarga besar kita kan ada di sana. Apalagi, ini kita lakukan saat kamu sudah lulus SMA.”
Membayangkan hidup tanpa papa rasanya sulit. Beberapa memoriku bersamanya berputar. Ah, rupanya selama ini aku selalu manja padanya. Apa karena itu papa pergi meninggalkanku? Kami akan menopang hidup tanpa papa, berarti aku harus berjuang keras. Tentu saja pil pahit ini harus kami telan. Jika kamu pernah merasakan rasanya patah hati, maka perasaanku lebih dari itu.
Kehilangan seorang ayah tentu lebih menyakitkan, bukan?
###
Aku mengusap mataku yang berair. Oh, rupanya aku tertidur. Terang saja, UAS matematika tadi pagi cukup menyita tenagaku. Jarum jam menunjukkan pukul empat sore, namun jendelaku menampilkan langit di luar yang berwarna kelabu. Rupanya hujan siap mengguyur bumi.
“Kenapa selalu begitu, sih?!”
Langkahku berhenti, mengurungkan niat untuk membuka pintu. Itu suara mama.
“Begitu apanya? Aku tidak salah! Bukankah kamu yang ….”
Kemudian adu bentak itu berlanjut. Kudengar mama mengungkit perbuatan papa, padahal selama ini mama lebih memilih untuk bungkam. Papa pun selalu dapat mengelak dari kesalahannya. Mama yang sesenggukan, menetapkan dirinya akan berpisah dengan papa. Rencana itu sudah bulat.
Berpisah dengan papa, ya?
Aku menatap keluar jendela. Kacanya telah basah oleh rintik hujan. Tanpa sadar pipiku pun telah basah oleh air mata. Saat ini memang papa berada di dekatku, namun rasanya sosoknya menjauh. Ini saja rasanya sakit, bagaimana jika benar-benar berpisah? Bayangan untuk hidup bahagia dengan orangtua lengkap seperti teman-teman terus menghantui, namun tentu saja aku tak dapat mengejar.
Gita sayang Papa, batinku, dengan bodohnya berharap dia akan mendengar. Gita mohon, jangan pergi, Pa.