Masukan nama pengguna
Bab 1: Frekuensi Tengah Malam
Udara dingin bulan November merayap masuk melalui celah jendela ruang siar Radio Rona FM, menyelimuti Adit dengan pelukan beku. Jam menunjukkan pukul 23:57. Di luar, Kota Makassar sudah terlelap, diselimuti kegelapan yang pekat. Hanya lampu-lampu jalanan yang bersinar samar, membentuk untaian permata di kejauhan. Di dalam studio, hanya suara desiran AC dan kerlip lampu-lampu indikator yang memecah keheningan. Adit, seorang penyiar muda dengan rambut ikal acak-acakan dan kemeja flanel yang sedikit kedodoran, menyesap kopi pahitnya. Malam itu adalah jadwal siaran tengah malamnya yang pertama. Rasanya mendebarkan, tapi juga sedikit hampa. Ia terbiasa dengan keramaian siaran pagi, canda tawa rekan-rekan, dan interaksi langsung dengan pendengar. Siaran malam ini terasa seperti masuk ke dimensi lain, di mana ia hanya ditemani mikrofon dan kesunyian.
Adit menata ulang naskah siarannya, memastikan semua lagu sudah siap di antrean. Ia melirik jam. Pukul 23:59. Beberapa detik lagi ia akan mengudara. Jantungnya berdebar, bukan karena gugup, melainkan karena ada sensasi aneh yang tak bisa ia jelaskan. Seolah ada sesuatu yang menanti di balik tirai waktu. Ia menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan, lalu memposisikan diri di depan mikrofon.
Tepat saat jarum jam menunjuk angka 00:00, sebuah suara berat dan dingin muncul tanpa ada peringatan. Bukan dari Adit, bukan dari rekaman yang ia siapkan. Suara itu begitu jernih, seolah-olah pemiliknya berdiri tepat di belakangnya, membisikkan kata-kata langsung ke telinganya. Adit tersentak, menoleh cepat. Ruangan kosong. Ia bahkan tidak melihat adanya indikator sinyal masuk dari mixer audio. Suara itu seolah-olah berasal dari udara kosong itu sendiri.
"Selamat tengah malam, para pendengar setia," suara itu memulai, nadanya datar namun memiliki resonansi yang membuat bulu kuduk Adit merinding. "Malam ini, izinkan saya membacakan daftar yang tak terhindarkan."
Adit mematung. Ia yakin ini adalah lelucon. Prank dari rekan kerjanya yang iseng, mungkin. Tapi bagaimana caranya? Tidak ada seorang pun di studio selain dirinya. Sistem otomatis radio? Tidak mungkin. Semua sudah diatur secara manual untuk siaran tengah malamnya.
Suara itu melanjutkan, menyebutkan empat nama lengkap, alamat, waktu, dan penyebab kematian. "Pertama, Abdul Rahman, Jalan Anggrek Nomor 17, pukul 06:15, kecelakaan tunggal. Kedua, Siti Aminah, Komplek Permata Indah Blok C Nomor 5, pukul 09:00, serangan jantung mendadak. Ketiga, Wayan Sutrisno, Jalan Kenanga Nomor 22, pukul 13:40, terjatuh dari ketinggian. Keempat, Lilis Suryani, Gang Melati Nomor 3, pukul 17:00, tersambar petir."
Setiap detail diucapkan dengan presisi yang mengerikan. Suara itu berhenti, diikuti oleh keheningan yang lebih pekat dari sebelumnya. Lalu, seperti suara sebelumnya, suara itu menghilang begitu saja, secepat kedatangannya.
Adit tercengang. Ia menatap mikrofon, lalu ke konsol mixer, seolah mencari jejak dari suara misterius itu. Tidak ada. Indikator sinyal tetap diam. Ia bahkan mencoba memutar ulang rekaman siaran yang baru saja berlangsung, tapi yang terdengar hanyalah keheningan sesaat setelah ia mengucapkan salam pembuka, sebelum ia sempat berbicara lagi. Suara itu tidak terekam di sistem digital radio. Seolah-olah suara itu hanya ada di kepalanya, atau di frekuensi yang tak bisa dijangkau teknologi.
Ia mencoba menghubungi satpam, menanyakan apakah ada yang masuk studio. Jawaban satpam singkat: "Tidak ada, Mas. Dari tadi Mas Adit sendiri di sana." Adit menggelengkan kepala. Ini pasti prank. Prank yang sangat keterlaluan. Ia memutuskan untuk mengabaikannya, melanjutkan siarannya dengan tangan yang sedikit gemetar, mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua itu hanyalah halusinasi akibat kurang tidur.
Namun, keesokan paginya, saat Adit terbangun dengan sisa-sisa mimpi buruk tentang suara-suara dingin, ia menyalakan televisi. Berita pagi sedang ditayangkan. Matanya terbelalak saat pembaca berita mulai melaporkan rentetan kejadian aneh di kota. "Abdul Rahman, warga Jalan Anggrek, ditemukan meninggal dunia dalam kecelakaan tunggal dini hari tadi..." Adit merasakan darahnya mengalir dingin. Ia teringat nama itu. Nama pertama yang disebutkan suara misterius itu.
Ia segera mencari berita lebih lanjut. Kemudian, berita tentang Siti Aminah, yang ditemukan meninggal karena serangan jantung mendadak di rumahnya... Wayan Sutrisno, seorang pekerja bangunan yang terjatuh dari lantai atas gedung... dan yang paling mengejutkan, seorang wanita bernama Lilis Suryani yang tewas tersambar petir saat hujan deras menjelang senja.
Semua, tapi semua akurat. Waktu, tempat, dan penyebab kematian. Semuanya persis seperti yang diucapkan oleh suara dingin itu di tengah malam. Adit merasa mual. Jantungnya berdegup kencang, memukuli tulang rusuknya seolah ingin keluar. Ini bukan prank. Ini nyata. Sesuatu yang tak terduga, sesuatu yang menakutkan, baru saja memasuki hidupnya. Dan entah kenapa, ia merasa ini baru permulaan. Rasa dingin yang ia rasakan semalam bukan hanya karena suhu ruangan, tapi karena bisikan dari sesuatu yang seharusnya tidak ada.
Bab 2: Pengumuman Maut
Malam kedua, suasana di studio Radio Rona FM terasa jauh lebih mencekam bagi Adit. Setiap sudut ruangan, setiap bayangan yang menari di dinding akibat lampu yang remang, seolah menyembunyikan sesuatu. Detik demi detik menuju tengah malam terasa seperti jarum jam yang menancap perlahan di jantungnya. Rekan-rekan penyiar lain, yang biasanya bersemangat, terlihat gelisah. Bisik-bisik tentang "suara misterius" yang membawa kematian mulai menyebar seperti wabah, meskipun Adit belum menceritakan detail mengerikannya kepada siapa pun. Hanya saja, rentetan kematian mendadak yang diberitakan di koran pagi itu, dengan nama-nama yang sama persis dengan yang ia dengar di siaran, sudah cukup menjadi bahan bakar desas-desus.
Adit tiba di studio jauh lebih awal, ditemani oleh Arya, kepala teknisi radio yang berjanggut tipis dan selalu skeptis. Arya ingin memastikan tidak ada gangguan teknis atau ulah iseng dari luar. Mereka memeriksa setiap kabel, setiap sambungan, setiap perangkat audio. Arya bahkan memasang perekam suara cadangan, terpisah dari sistem digital utama radio, untuk berjaga-jaga. "Pasti ada yang iseng, Dit. Atau sistem kita error," ujar Arya, suaranya berusaha meyakinkan, namun matanya tak bisa menyembunyikan kegelisahan. Adit hanya mengangguk, tahu bahwa Arya tidak akan pernah percaya hal-hal di luar nalar.
Saat jarum jam perlahan mendekati angka 00:00, Adit duduk di kursi penyiar, tangannya mencengkeram erat meja di depannya. Matanya terpaku pada monitor mixer audio, memantau level suara. Ia menahan napas.
Tepat pukul 00:00, desiran aneh kembali terdengar di frekuensi, sebelum suara berat dan dingin itu muncul lagi, menusuk keheningan malam. Kali ini, Adit merasa seolah suara itu berada tepat di sebelahnya, berbisik langsung ke telinganya, meskipun ia tahu tidak ada siapa pun di sana.
"Selamat tengah malam kembali, para pendengar setia," suara itu memulai, datar dan tak berperasaan. "Malam ini, daftar baru telah disiapkan."
Arya, yang berdiri di balik kaca ruang kendali, mendadak membeku. Matanya membelalak, menatap Adit dengan ekspresi tak percaya. Ia bisa mendengar suara itu, begitu jelas, meskipun tidak ada indikator input suara di konsol utama. Perekam cadangan yang ia pasang menunjukkan adanya gelombang suara, namun tidak ada sumber yang terdeteksi.
Suara itu mulai menyebutkan nama-nama. Setiap nama, alamat, waktu, dan penyebab kematian diucapkan dengan presisi yang mengerikan, menciptakan gambaran kematian yang jelas di benak Adit. "Pertama, Budi Santoso, Jalan Merdeka Nomor 45, pukul 07:00, terpeleset di kamar mandi. Kedua, Diana Putri, Apartemen Harmoni Lantai 12, pukul 11:30, kebakaran. Ketiga, Fajar Kurniawan, Pasar Sentral Blok A Nomor 7, pukul 15:45, keracunan makanan. Keempat, Laila Anggraini, Asrama Mahasiswa Putri Kenangan, pukul 19:00, gantung diri."
Adit merasakan tubuhnya menegang saat nama keempat disebut. Laila Anggraini. Nama itu tidak asing. Sebuah kilasan memori melintas di benaknya. Beberapa jam sebelumnya, saat siaran petang, ia menerima telepon dari seorang pendengar setia. Suara manis dan ceria yang selalu menyapa dengan antusias. "Halo, Kak Adit! Aku Laila dari Asrama Mahasiswa Putri Kenangan! Semangat ya siarannya!" Gadis itu sempat berbagi cerita tentang skripsinya yang tak kunjung selesai dan betapa seringnya ia merasa tertekan. Adit sempat memberinya motivasi.
Kini, nama itu muncul di daftar kematian. Dan penyebabnya: gantung diri. Sebuah jeritan tertahan keluar dari bibir Adit. Ia menatap ke arah Arya yang juga terlihat pucat pasi.
Setelah suara itu menghilang, keheningan kembali memenuhi studio, namun kali ini terasa jauh lebih berat, dipenuhi oleh beban ancaman yang nyata. Arya segera berlari masuk, napasnya tersengal. "Dit... kau dengar itu? Siapa... siapa itu?!" tanyanya, suaranya bergetar.
Staf radio panik. Berita tentang siaran tengah malam yang aneh itu menyebar dengan cepat pagi harinya, diperkuat oleh laporan kematian yang sekali lagi akurat dengan yang disebutkan suara misterius itu. Pagi itu, Laila Anggraini benar-benar ditemukan meninggal dunia di asramanya, gantung diri. Budi Santoso terpeleset di kamar mandi, Diana Putri tewas dalam kebakaran apartemennya, dan Fajar Kurniawan keracunan makanan.
Beberapa karyawan yang masuk siang mendapati diri mereka berbisik-bisik di sudut-sudut kantor, tatapan mereka sesekali mencuri pandang ke arah studio siaran. Rasa takut mulai menyelimuti. Tidak ada yang pernah melihat siapa pun masuk studio. Mereka semua bersumpah bahwa Adit sendirian. CCTV kantor membuktikannya. Rekaman kamera pengawas menunjukkan Adit memasuki studio sendirian, dan tidak ada satu pun bayangan lain yang terlihat di sekitar studio selama siaran berlangsung.
Bahkan Arya, si skeptis, terlihat bingung. Perekam cadangan yang ia pasang merekam suara misterius itu dengan sangat jelas, namun analisis forensik awal tidak dapat mengidentifikasi sumbernya. Seolah-olah suara itu muncul dari udara kosong, tanpa adanya input fisik.
Adit merasa sendirian, terperangkap dalam lingkaran misteri yang semakin gelap. Ia mencoba mencari jawaban, mencari penjelasan logis, namun setiap jalan yang ia tempuh hanya membawanya pada lebih banyak pertanyaan dan ketakutan yang mendalam. Siapa penyiar misterius itu? Bagaimana ia bisa mengetahui detail kematian yang begitu spesifik, dan bagaimana ia bisa menyiarkannya tanpa terdeteksi? Dan yang terpenting, mengapa ia mendengar suara itu?
Adit tahu ia harus mencari tahu. Hidupnya, dan mungkin nyawa orang lain, kini bergantung pada jawabannya.
Bab 3: Tidak Ada di Daftar Karyawan
Ketakutan menyebar di seluruh Radio Rona FM seperti virus yang tak terlihat. Beberapa staf mulai mengeluh sakit, mengambil cuti mendadak. Ada yang terang-terangan mengatakan tidak tahan dengan suasana seram di kantor. Obrolan di kantin, yang biasanya ramai dengan gosip selebriti dan rating acara, kini didominasi bisikan-bisikan tentang "penyiar hantu" dan daftar kematian yang terus bertambah. Adit menjadi pusat perhatian, bukan karena popularitasnya, melainkan karena ia adalah satu-satunya orang yang berada di studio saat suara itu muncul.
"Ini gila, Dit. Benar-benar gila," ujar Maya, seorang produser senior yang biasanya tenang dan logis, wajahnya kini terlihat keriput karena kurang tidur. Ia menatap tumpukan arsip lama di meja rapat. "Kita sudah memeriksa semua data karyawan, dari yang paling baru sampai yang sudah pensiun. Tidak ada satu pun nama yang cocok dengan deskripsi 'suara berat dan dingin' itu."
Adit mengangguk, mengusap wajahnya yang lelah. "Aku tahu, Maya. Tapi bagaimana mungkin suara itu bisa masuk siaran? Dan kenapa hanya aku yang mendengarnya secara langsung di studio tanpa alat bantu?"
Arya, yang masih terlihat linglung, menambahkan, "Rekaman cadangan memang menangkap suara itu, tapi... anehnya, tidak ada sinyal input di mixer. Seolah-olah suara itu muncul begitu saja dari udara. Aku sudah coba berbagai analisis, tapi hasilnya nihil."
Mereka sudah mencoba segalanya. Mengundang teknisi ahli dari luar, memeriksa ulang sistem keamanan siber, bahkan sempat memanggil pemuka agama untuk "membersihkan" studio. Namun, semua upaya itu sia-sia. Suara itu tetap muncul setiap tengah malam, dengan presisi yang mengerikan, mengumumkan korban-korban baru.
Di tengah keputusasaan itu, seorang karyawan lama bernama Pak Karim, yang sudah bekerja di Rona FM sejak era 80-an, mendatangi Adit. Rambutnya memutih, dan pandangannya sering kali menerawang jauh, seolah melihat sesuatu di masa lalu.
"Nak Adit," kata Pak Karim, suaranya pelan dan bergetar, "saya dengar cerita tentang siaran tengah malam itu. Suara misterius yang menyebut nama-nama korban." Ia berhenti sejenak, mengamati reaksi Adit. "Dulu, di era 80-an, memang ada segmen tengah malam... tapi ditutup karena tragedi."
Adit dan timnya langsung tersentak. "Tragedi apa, Pak Karim?" tanya Adit, mencondongkan tubuhnya ke depan.
Pak Karim menghela napas panjang, sorot matanya redup. "Seorang penyiar. Namanya Satria Wijaya. Dia penyiar tengah malam saat itu. Orangnya karismatik, suaranya dalam. Programnya sangat populer, sampai-sampai Radio Rona FM ini sempat jadi nomor satu di kota. Tapi... suatu malam, saat siaran berlangsung, dia tiba-tiba mengunci diri di studio. Lalu, terdengar suara tembakan. Dia bunuh diri di studio itu sendiri."
Adit merasakan bulu kuduknya berdiri. "Bunuh diri? Di studio?"
"Betul," jawab Pak Karim, nadanya penuh kesedihan. "Polisi datang, mendobrak pintu. Satria ditemukan tergeletak bersimbah darah. Program tengah malam itu langsung dihentikan. Studio tempat dia siaran juga disegel. Kabar burungnya... studio itu berhantu. Tidak ada yang berani masuk lagi."
"Tapi kenapa kami tidak pernah mendengar cerita ini sebelumnya?" tanya Maya, kerutan di dahinya semakin dalam.
"Manajemen lama berusaha menutup-nutupi. Mereka tidak ingin reputasi radio rusak," jelas Pak Karim. "Semua arsip dan dokumen terkait Satria Wijaya disembunyikan atau dimusnahkan. Tapi saya masih ingat."
Adit merasakan desakan kuat untuk mencari tahu lebih lanjut. Bersama Maya dan Arya, ia memutuskan untuk menyelami arsip lama radio yang tersimpan di ruang bawah tanah. Ruangan itu berdebu, pengap, dan dipenuhi tumpukan kertas-kertas yang sudah menguning. Setelah berjam-jam mencari di antara laporan keuangan, surat izin siaran, dan daftar lagu lama, mereka akhirnya menemukan sebuah folder lusuh bertuliskan "Insiden Satria Wijaya - Rahasia Internal".
Di dalamnya, mereka menemukan laporan polisi yang mengonfirmasi kematian Satria Wijaya pada tanggal 17 Oktober 1985, pukul 00:07, di studio siaran tengah malam Radio Rona FM, akibat luka tembak di kepala. Ada pula foto-foto studio yang berantakan, serta sebuah rekaman audio yang tidak jelas. Rekaman itu adalah bagian dari siaran terakhir Satria. Suara Satria terdengar putus-putus, seolah berjuang melawan sesuatu, lalu disusul jeritan dan suara letusan yang memekakkan telinga.
Namun, ada satu detail yang membuat Adit merinding hingga ke tulang sumsumnya. Sebuah catatan tangan di pojok laporan polisi. "Jasad Satria Wijaya hilang dari kamar mayat keesokan harinya."
Adit membacakan kalimat itu dengan suara tertahan. Maya dan Arya saling pandang, wajah mereka memucat. Jasad yang hilang? Ini bukan lagi sekadar kasus bunuh diri. Ini jauh lebih gelap. Dan tiba-tiba, ada sebuah koneksi mengerikan yang muncul di benak Adit. Suara dingin yang ia dengar, yang menyebut nama-nama korban... Mungkinkah itu suara Satria Wijaya? Atau sesuatu yang lain, yang terkait dengannya?
Misteri semakin dalam, dan Adit tahu ia sudah terlalu jauh untuk mundur.
Bab 4: Nama yang Dikenal
Malam-malam berikutnya di Radio Rona FM terasa seperti mimpi buruk yang berulang. Adit masih duduk di kursi penyiar, namun jiwanya terasa jauh. Setiap denting jam menuju tengah malam adalah siksaan, setiap hembusan napas terasa berat. Ia sudah menceritakan temuan tentang Satria Wijaya dan jasadnya yang hilang kepada Maya dan Arya. Keduanya sama-sama syok. Ketakutan yang sebelumnya hanya bisikan kini menjelma menjadi gajah di tengah ruangan, tak terhindarkan.
"Ini tidak masuk akal," gumam Maya, menyisir rambutnya dengan frustrasi. "Jasad yang hilang? Ini... ini bukan hanya hantu, Dit. Ini sesuatu yang lain."
Arya, yang biasanya sibuk dengan peralatan teknis, kini lebih banyak melamun. Ia sesekali melirik studio tempat Adit siaran, seolah menanti kemunculan sesuatu yang tak kasat mata. Mereka mencoba menanyakan lebih banyak kepada Pak Karim, tetapi pria tua itu hanya bisa menggelengkan kepala, wajahnya pucat pasi. "Saya sudah bilang, itu tragedi yang harusnya dikubur dalam-dalam. Jangan diungkit lagi."
Meskipun takut, Adit merasa ada dorongan kuat untuk tetap di sana. Ada semacam obsesi yang mengikatnya pada frekuensi terkutuk itu. Ia merasa harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan mengapa ia menjadi bagian dari semua ini.
Malam keempat. Adit kembali ke studio, dengan jantung berdebar tak karuan. Ia telah mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini semua hanyalah kebetulan, atau mungkin ia sedang dalam pengaruh stres yang ekstrem. Namun, setiap kali ia mendengar suara dingin itu, keraguan itu runtuh menjadi debu.
Pukul 00:00. Suara itu kembali. Dingin, datar, dan tanpa emosi, seperti mesin yang membacakan daftar belanja.
"Selamat tengah malam, para pendengar setia. Daftar baru telah disiapkan."
Adit menahan napas. Ia memejamkan mata, berharap semua ini hanya ilusi. Namun, suara itu terus berlanjut, menyebutkan nama-nama yang tidak ia kenal, dengan detail kematian yang mengerikan. Setiap kata adalah paku yang menancap di dadanya.
Hingga tiba pada nama ketiga.
"Ketiga, Rio Pratama, Jalan Mawar Nomor 8, pukul 16:30, tertabrak kereta api di perlintasan tanpa palang pintu."
Dunia Adit runtuh. Rio Pratama. Itu nama teman dekatnya. Sahabatnya sejak SMP. Rio adalah sosok yang ceria, penuh semangat, dan seringkali menjadi penyelamat Adit dari berbagai masalah. Mereka baru saja bertemu sore kemarin, tertawa bersama, merencanakan liburan akhir tahun. Rio bahkan sempat berjanji akan menjemput Adit pulang besok sore, karena motor Adit sedang di bengkel.
Adit merasakan tubuhnya gemetar hebat. Tangannya mencengkeram erat meja di depannya hingga buku-buku jarinya memutih. Ini tidak mungkin. Rio? Tertabrak kereta? Dan waktunya... besok sore.
Setelah suara itu menghilang, Adit segera menelepon Rio. Berdering, namun tidak diangkat. Ia mengirim pesan, berkali-kali. Tidak ada balasan. Panik melanda. Ia harus menyelamatkan Rio. Ia tidak bisa membiarkan ramalan mengerikan ini menjadi kenyataan.
Pagi harinya, Adit sudah menunggu di depan rumah Rio. Ia tak peduli pada rasa kantuk atau tatapan aneh tetangga. Begitu Rio keluar, Adit segera menariknya menjauh. "Rio, kita harus bicara! Penting!"
Rio, yang terlihat bingung, mengernyitkan dahi. "Ada apa sih, Dit? Kok tegang begitu?"
Adit menceritakan semuanya. Tentang siaran tengah malam, suara misterius, daftar nama, dan bagaimana semua ramalan itu selalu menjadi kenyataan. Ia menceritakan bagaimana nama Rio disebut. Rio mendengarkan dengan serius, namun ada raut skeptisisme di wajahnya. "Lo pasti capek, Dit. Kebanyakan lembur. Mungkin cuma halusinasi. Kecelakaan kan bisa terjadi kapan saja."
"Tidak, Rio! Ini berbeda! Percayalah padaku!" desak Adit, putus asa. Ia bahkan memutar rekaman suara misterius yang berhasil direkam Arya. Wajah Rio sedikit pucat mendengarnya, namun ia masih berusaha tenang.
Adit mendesak Rio untuk tidak pergi ke mana pun hari itu. Ia memohon agar Rio tidak mendekati perlintasan kereta api. "Pokoknya, jangan keluar rumah hari ini, Rio! Aku akan menemanimu sampai besok pagi!"
Rio akhirnya setuju, meskipun terlihat enggan. Adit menghabiskan hari itu di rumah Rio, mencoba memastikan sahabatnya aman. Mereka bermain game, menonton film, mencoba mengalihkan pikiran dari ancaman yang melayang di udara. Setiap kali Rio hendak ke luar rumah untuk mengambil minum atau ke teras, Adit langsung menariknya kembali.
Pukul 15:00. Hari masih cerah. Rio tiba-tiba teringat akan janji untuk menjemput adiknya di sekolah. "Aku harus jemput adikku, Dit. Dia sendirian di sana."
"Jangan, Rio! Aku saja yang jemput!" kata Adit.
"Tapi adikku cuma mau sama aku. Dia takut sama orang lain. Lagipula, sekolahnya tidak jauh dari sini," Rio bersikeras.
Adit panik. Sekolah adik Rio memang dekat dengan perlintasan kereta api yang disebut suara misterius itu. "Tunggu, aku ikut!"
Mereka berdua akhirnya mengendarai motor Rio. Adit terus mengamati sekeliling, mencari tanda-tanda bahaya. Rio berusaha mengemudi dengan hati-hati. Saat mereka tiba di perlintasan kereta api yang tak berpalang pintu, Adit merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia melihat ke kiri dan ke kanan. Kosong. Tidak ada tanda-tanda kereta.
"Tuh kan, Dit. Aman," kata Rio, tersenyum kecil.
Namun, saat Rio mulai melaju melewati rel, tiba-tiba sebuah mobil dari arah berlawanan muncul entah dari mana, melaju dengan kecepatan tinggi, dan menabrak bagian belakang motor Rio. Tabrakan itu tidak fatal, namun cukup kuat untuk membuat motor oleng dan Rio kehilangan kendali. Motor itu terpelanting, dan Rio terlempar ke arah rel.
Sebuah suara klakson kereta api yang memekakkan telinga mendadak menggema. Adit melihat ke arah datangnya suara. Sebuah kereta api melaju kencang, datang dari tikungan yang tak terlihat sebelumnya.
"RIO!" teriak Adit. Ia berusaha meraih Rio, namun semuanya terjadi begitu cepat. Rio yang terlempar, mobil yang menabrak tanpa alasan jelas, dan kereta api yang datang secara tiba-tiba. Semuanya terjadi dalam hitungan detik.
Rio Pratama tewas seketika, tertabrak kereta api di perlintasan tanpa palang pintu. Pukul 16:30. Persis seperti yang diramalkan.
Adit terduduk di samping rel, bersimbah darah temannya, menangis histeris. Otaknya menolak untuk memproses kenyataan. Ia telah mencoba menyelamatkan Rio, melakukan segala cara, tetapi semua usahanya sia-sia. Kecelakaan itu terjadi dengan cara yang tak terduga, seolah-olah takdir memiliki skenario yang berbeda, dan ia hanyalah pion dalam permainan yang mengerikan ini.
Ia mulai percaya bahwa takdir itu tidak bisa diubah jika sudah disebut. Sebuah kebenaran pahit yang meremukkan hatinya.
Kematian Rio mengguncang Adit hingga ke inti. Ia tidak bisa lagi menyangkal. Suara itu bukan sekadar lelucon, bukan halusinasi, dan bukan pula teknis radio yang bermasalah. Itu adalah sebuah kekuatan. Kekuatan yang bisa meramalkan dan mewujudkan kematian.
Di Radio Rona FM, berita tentang kematian Rio dengan cepat menyebar. Staf yang sebelumnya hanya berbisik-bisik kini terang-terangan menunjukkan ketakutan mereka. Beberapa orang langsung mengajukan surat pengunduran diri. Mereka tidak peduli lagi dengan gaji atau karier. Ketakutan akan menjadi korban berikutnya jauh lebih besar.
Adit menyaksikan kepergian rekan-rekannya dengan hati yang hampa. Ia merasa sendirian di tengah badai yang diciptakan oleh suara misterius itu. Ia tahu ia tidak bisa lari. Ia harus mencari tahu. Ia harus menemukan sumber suara itu, apa pun risikonya.
Bab 5: Frekuensi Terlarang
Kepergian Rio menghantam Adit lebih keras dari yang ia bayangkan. Setiap langkah di Radio Rona FM terasa berat, setiap hembusan napas membawa aroma kematian. Studio siaran, yang dulunya adalah tempat ia menemukan semangat, kini menjadi arena pertunjukan horor setiap tengah malam. Jumlah staf yang tersisa menyusut drastis. Lorong-lorong yang biasanya ramai kini sepi, hanya menyisakan gema langkah kaki Adit dan beberapa karyawan senior yang masih bertahan, terpaku pada tugas mereka dengan tatapan kosong dan ketakutan yang jelas tergambar di wajah.
Adit tidak bisa lagi tidur nyenyak. Bayangan Rio di perlintasan kereta api terus menghantuinya. Ia sudah mencoba segalanya untuk mencegahnya, namun semua sia-sia. Kebenaran bahwa takdir itu tak bisa diubah, jika sudah diucapkan oleh suara dingin itu, menancap kuat di benaknya, menghancurkan sisa-sisa rasionalitasnya.
"Ini ada apa sebenarnya, Dit?" tanya Maya, suaranya serak karena kurang tidur, saat mereka berdua duduk di ruang arsip yang dingin. "Kau sudah dengar, kan? Ada dua lagi yang resign pagi ini. Kalau begini terus, kita bisa tutup."
Adit hanya menatap tumpukan arsip lama. Ia merasa ada benang merah yang belum terhubung. "Aku harus mencari tahu, Maya. Lebih dalam lagi. Ada sesuatu yang kita lewatkan."
Ia teringat cerita Pak Karim tentang Satria Wijaya dan popularitas Radio Rona FM di era 80-an. "Pak Karim bilang, dulu radio ini sempat jadi nomor satu. Apa ada hubungannya dengan semua ini?"
Maya mengernyitkan dahi. "Maksudmu, popularitas radio ini didapat dengan cara yang aneh?"
"Entahlah. Tapi semua ini terlalu kebetulan," jawab Adit. "Suara itu muncul setiap tengah malam. Satria Wijaya bunuh diri di studio tengah malam. Jasadnya hilang. Ada sesuatu yang tidak beres."
Adit mulai menelusuri kembali siaran lama Radio Rona FM. Ia menggali rekaman arsip dari era 80-an, mencoba mencari pola, mencari anomali. Berhari-hari ia habiskan di ruang arsip yang berdebu, matanya perih menatap layar monitor dan telinganya memerah mendengarkan desis rekaman tua.
Akhirnya, setelah pencarian yang melelahkan, ia menemukan sesuatu. Sebuah anomali kecil, namun signifikan. Beberapa rekaman siaran tengah malam dari tahun 1985, tepat sebelum kematian Satria Wijaya, menunjukkan adanya lonjakan frekuensi yang aneh. Bukan input dari mikrofon, melainkan semacam sinyal liar yang muncul sesekali.
Ia memutar rekaman itu berulang-ulang, memperbesar gelombang suara. Di antara desis statis dan suara Satria yang kadang terdengar tegang, Adit menangkapnya: sebuah frekuensi misterius, 103.3 FM. Sebuah frekuensi yang seharusnya sudah tidak aktif sejak tahun 1995, karena peralihan regulasi dan jangkauan siaran. Namun, di rekaman lama itu, sinyal 103.3 FM muncul dan menghilang secara sporadis, seolah-olah ada siaran lain yang mencoba menerobos masuk.
"Maya, lihat ini!" seru Adit, menunjuk ke layar monitor. "Ini frekuensi 103.3 FM! Kenapa sinyalnya ada di sini? Bukannya frekuensi ini sudah mati?"
Maya mendekat, matanya memicing. "Kau benar. 103.3 FM itu frekuensi lama yang dialihkan ke daerah lain. Seharusnya tidak ada di Makassar lagi."
Adit terus memutar ulang rekaman, mencoba memperjelas suara di frekuensi 103.3 FM itu. Di sana, di antara desisan dan suara Satria, ia mulai mendengar suara aneh dan jeritan samar. Jeritan yang membuat bulu kuduk berdiri, seolah-olah berasal dari tempat yang jauh dan menyakitkan. Jeritan itu tidak jelas, namun terasa seperti rintihan jiwa yang tersiksa.
Rasa penasaran dan ngeri bercampur aduk. Adit mencari informasi lebih lanjut tentang frekuensi 103.3 FM di arsip digital radio. Ia menemukan beberapa laporan keluhan lama dari tahun 90-an. Beberapa pendengar yang secara tak sengaja menyetel ke frekuensi itu mengaku mendengar suara-suara aneh, bisikan, dan jeritan samar, terutama pada tengah malam. Laporan-laporan itu selalu diabaikan oleh manajemen lama, dianggap sebagai "gangguan sinyal" atau "halusinasi pendengar."
Namun, yang paling mengejutkan adalah apa yang ia temukan selanjutnya. Di antara tumpukan arsip pribadi pemilik radio sebelumnya, Adit menemukan sebuah kotak kecil yang tersembunyi dengan baik. Di dalamnya, ada beberapa dokumen yang sudah menguning, termasuk sebuah perjanjian yang mengerikan.
Dokumen itu berjudul "Kontrak Suara Malam". Ditulis dengan tangan, menggunakan tinta yang memudar, dan ditandatangani oleh pemilik radio pada saat itu, H. Subroto, dan sebuah "pihak kedua" yang hanya diwakili oleh sebuah simbol aneh, seperti tanda silang yang dimodifikasi dengan lengkungan tajam.
Isi kontrak itu membuat darah Adit mengering. Itu adalah perjanjian untuk "mempertukarkan suara" demi "popularitas tak terbatas dan kesuksesan yang tak tergoyahkan." Sebagai gantinya, "Suara Penagih" akan mengambil "harga yang sesuai" setiap tengah malam, melalui frekuensi yang tidak pernah padam. Frekuensi itu disebutkan: 103.3 FM.
Adit membaca isinya berulang kali, tak percaya dengan apa yang ia lihat. "Maya, ini... ini tidak mungkin," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.
Maya membaca kontrak itu, wajahnya memucat pasi. "Kontrak gaib? Demi popularitas?"
Ada sebuah catatan kecil di akhir kontrak, ditulis dengan tulisan tangan yang berbeda, terkesan terburu-buru: "Jika aliran suara terhenti, atau perjanjian dilanggar, penagihan akan beralih kepada pihak yang bertanggung jawab atas penyiaran suara saat itu."
Kini semuanya menjadi jelas. Tragedi Satria Wijaya, kematiannya yang misterius, jasadnya yang hilang, dan kemunculan suara dingin yang meramalkan kematian setiap tengah malam. Satria Wijaya adalah penyiar tengah malam yang terikat pada kontrak itu. Ketika ia bunuh diri, "aliran suara terhenti," dan perjanjian itu beralih ke orang berikutnya yang mengudara di jam yang sama: Adit.
Adit merasakan kengerian yang menusuk. Ia bukan sekadar penyiar biasa yang beruntung atau sial. Ia adalah korban, bagian dari warisan gelap Radio Rona FM yang kini menuntut tumbal. Suara misterius itu bukan hantu Satria Wijaya, melainkan "Suara Penagih" itu sendiri, entitas gaib yang kini meminta bayaran atas kontrak yang telah ditandatangani puluhan tahun yang lalu.
Ia menatap Maya dengan mata nanar. "Aku... aku harus menghentikannya. Aku tidak bisa membiarkan ini berlanjut."
Namun, pertanyaan yang lebih besar muncul. Bagaimana cara menghentikan sesuatu yang bukan manusia, sesuatu yang terikat oleh kontrak gaib? Dan apa sebenarnya "harga yang sesuai" yang harus dibayar?
Malam itu, Adit tidak hanya ketakutan. Ada kemarahan yang membara dalam dirinya. Kemarahan pada pemilik radio yang egois di masa lalu, yang mengorbankan nyawa orang demi popularitas. Kemarahan pada takdir yang menyeretnya ke dalam pusaran kegelapan ini. Ia tahu, ia harus melawan. Bahkan jika artinya harus menghadapi kekuatan yang tak kasat mata.
Bab 6: Nama Sendiri
Penemuan "Kontrak Suara Malam" menghantam Adit seperti palu godam. Bukan hanya ketakutan yang kini menggerogotinya, tetapi juga rasa jijik yang mendalam terhadap keserakahan manusia yang berani mengikat perjanjian dengan entitas tak dikenal demi popularitas sesaat. Perjanjian itu, yang seharusnya hanya menjadi legenda atau cerita hantu, kini adalah kenyataan pahit yang mengikatnya. Adit merasa seolah-olah seluruh hidupnya telah diatur oleh naskah tak kasat mata yang ditulis puluhan tahun lalu.
Ia menceritakan seluruh isi kontrak itu kepada Maya dan Arya. Wajah mereka berubah pucat pasi saat Adit menjelaskan detailnya, terutama bagian tentang "penagihan akan beralih kepada pihak yang bertanggung jawab atas penyiaran suara saat itu."
"Jadi... kau yang berikutnya?" tanya Maya, suaranya nyaris tak terdengar.
Adit mengangguk, sorot matanya kosong. "Semua tanda-tanda itu... kematian Satria, jasadnya yang hilang, dan kemudian suara itu muncul setelah aku siaran di jam yang sama. Ini semua saling berhubungan."
Arya, yang biasanya berpegang teguh pada logika, kini tampak linglung. "Ini... ini melampaui apa pun yang bisa dijelaskan secara teknis. Entitas gaib? Kontrak?" Ia menggelengkan kepalanya, seolah mencoba mengusir pikiran-pikiran itu. "Kita harus mencari cara untuk membatalkannya, Dit!"
Namun, bagaimana cara membatalkan kontrak yang ditulis dengan kekuatan supernatural? Mereka mencari informasi tentang ritual kuno, penangkal gaib, dan segala hal yang berbau mistis. Perpustakaan, internet, bahkan dukun-dukun lokal didatangi. Namun, tidak ada satu pun yang memberikan jawaban konkret atau harapan. Setiap jalan buntu hanya menambah keputusasaan Adit.
Ketakutan itu mulai memengaruhi fisiknya. Ia kehilangan nafsu makan, tidurnya terganggu oleh mimpi buruk yang berulang, dan matanya selalu merah karena kelelahan. Para staf radio yang tersisa menghindari Adit, seolah ia adalah pembawa sial. Ia adalah jembatan antara dunia mereka yang normal dan kegelapan yang menakutkan.
Malam itu, Adit kembali ke studio. Duduk di depan mikrofon, ia merasakan hawa dingin yang menusuk tulang, lebih dalam dari sebelumnya. Ia sudah mematikan semua lampu kecuali satu lampu sorot yang menerangi konsol. Suasana di studio terasa begitu mencekam, seolah-olah diawasi oleh ribuan mata tak terlihat.
Pukul 00:00.
Hening. Lalu, desiran aneh di frekuensi kembali terdengar, memenuhi ruangan. Jantung Adit berdebar kencang, memukuli tulang rusuknya dengan irama tak beraturan. Ia menahan napas, tahu apa yang akan datang.
Suara berat dan dingin itu muncul kembali, dan kali ini, resonansinya terasa lebih kuat, lebih menusuk jiwa.
"Selamat tengah malam, para pendengar setia," suara itu memulai, nadanya datar namun kali ini memiliki sentuhan kemenangan yang mengerikan. "Malam ini, daftar telah mencapai klimaksnya."
Adit menatap layar mixer, tangannya gemetar.
Suara itu mulai menyebutkan nama-nama. Nama pertama, seorang pebisnis yang tidak ia kenal. Nama kedua, seorang ibu rumah tangga. Nama ketiga, seorang mahasiswa. Setiap detail kematian diucapkan dengan presisi yang sama mengerikan seperti sebelumnya.
Lalu, giliran nama keempat.
Adit merasakan semua darahnya mengering di pembuluh darah.
"Keempat, Adit Prasetya. Alamat: Jalan Cemara Nomor 10. Waktu: Pukul 14:00, esok hari. Penyebab kematian: Jatuh dari ketinggian."
Udara di dalam studio terasa menipis. Adit tidak bisa bernapas. Namanya sendiri. Disebut. Dengan detail kematian yang jelas, waktu yang ditentukan, dan cara yang mengerikan. Jatuh dari ketinggian. Ia memejamkan mata, berharap ini semua hanya mimpi. Tetapi suara itu begitu nyata, begitu menusuk.
Setelah suara itu menghilang, Adit terdiam, membeku di kursinya. Wajahnya pucat pasi, napasnya tersengal. Ini benar-benar terjadi. Ramalan itu kini untuk dirinya sendiri.
Pagi harinya, Adit tidak beranjak dari rumah. Ia mengurung diri, menolak semua telepon dan pesan dari Maya dan Arya yang khawatir. Ia ingin melawan takdir. Ia ingin membuktikan bahwa ramalan itu salah. Ia akan menghindari semua yang berbahaya, semua tempat tinggi. Ia akan tetap di rumah, di tempat yang paling aman.
Maya dan Arya datang ke rumahnya, berusaha membujuknya untuk keluar, mencari bantuan. "Dit, kita harus cari cara! Kau tidak bisa hanya pasrah!" kata Maya, cemas.
"Tidak ada cara, Maya," jawab Adit, suaranya parau. "Aku sudah mencoba semuanya. Ini sudah tertulis."
Sepanjang pagi, Adit tetap berada di dalam rumah, duduk di sofa, mengawasi setiap sudut, waspada terhadap bahaya yang mungkin datang. Ia bahkan tidak berani ke dapur untuk mengambil minum, takut terpeleset atau terjatuh. Ia menatap jam, setiap menit terasa seperti jam. Pukul 10:00. Pukul 11:00.
Pukul 12:00. Perut Adit mulai keroncongan. Ia belum makan sejak semalam. Ia memutuskan untuk ke dapur, membuat mi instan. Saat ia berjalan di koridor menuju dapur, tiba-tiba sebuah pot bunga di rak dinding terjatuh, nyaris mengenai kepalanya. Adit tersentak mundur, jantungnya berdebar kencang. Ia menatap pot yang pecah di lantai, bingung. Pot itu selalu kokoh di sana.
Pukul 13:00. Adit sedang mencoba makan mi instan di ruang tamu, tangannya masih gemetar. Tiba-tiba, televisi di depannya mati. Kemudian hidup lagi, menampilkan siaran berita. Pembaca berita berbicara tentang "fenomena aneh" yang menimpa warga. Adit merasa perutnya mual. Ia mencoba mematikan televisi, namun remote-nya tidak berfungsi.
Kemudian, lampu di ruang tamu berkedip-kedip. Tiba-tiba, seluruh listrik di rumah padam. Gelap gulita. Adit merasakan hawa dingin yang aneh merambat di punggungnya. Ia meraba-raba mencari senter. Saat ia mencari senter di laci dekat jendela, tirai jendela tiba-tiba terbuka lebar, dan angin kencang menerpa wajahnya. Di luar, hujan deras mulai turun, disusul petir yang menyambar-nyambar. Sebuah petir yang sangat kuat menyambar pohon di depan rumahnya, menyebabkan dahan besar patah dan menimpa bagian atap rumah.
Adit terkesiap. Ia mendengar suara retakan dari atas, seperti atap yang akan runtuh. Panik, ia berlari ke pintu belakang, ingin keluar mencari tempat aman. Namun, saat ia membuka pintu, kakinya terpeleset genangan air yang entah dari mana, dan ia jatuh terjerembap. Kepalanya terbentur kusen pintu dengan keras. Pandangannya kabur.
Ia berusaha bangkit, namun tubuhnya terasa lemas. Ia melihat ke atas. Langit-langit rumahnya, tepat di atasnya, mulai retak dan runtuh akibat dahan pohon yang menimpanya. Debu dan pecahan genting berjatuhan. Ia berusaha merangkak keluar, tapi kakinya tersangkut sesuatu. Ia menatap ke arah retakan di langit-langit, yang semakin membesar, dan di tengah retakan itu, ia melihat bayangan hitam, seolah-olah ada lubang menganga yang menariknya ke dalam.
Ia sadar: kematian akan mengejarnya sesuai "naskah" yang sudah diumumkan. Ini bukan hanya tentang menghindari tempat tinggi. Ini adalah tentang kekuatan yang jauh lebih besar, yang akan memastikan ramalan itu terjadi, tidak peduli seberapa keras ia mencoba melarikan diri.
Adit akhirnya menyerah. Jika kematian adalah takdirnya, maka ia akan menghadapinya. Tapi ia tidak akan pergi begitu saja. Ia harus menghadapi "Suara Penagih" itu, di tempat asalnya.
Ia tahu di mana ia harus pergi. Ke tempat di mana semuanya bermula, tempat di mana Satria Wijaya mengakhiri hidupnya dan memulai kutukan ini. Studio lama yang disegel.
Bab 7: Studio yang Terlarang
Pukul 13:00. Hujan masih deras mengguyur Makassar, seolah langit ikut menangisi nasib Adit. Listrik di rumahnya mati total, dan rintihan atap yang hampir runtuh terus terdengar. Namun, Adit tidak lagi panik. Rasa takut yang menguasainya telah digantikan oleh tekad membara. Jika kematian adalah takdirnya, ia akan menghadapinya dengan berani, tidak melarikan diri seperti tikus yang ketakutan. Ia akan menghadapi "Suara Penagih" itu di sarangnya sendiri.
Dengan tubuh yang masih nyeri akibat benturan, Adit bergegas keluar dari rumahnya yang sudah tak aman. Ia membiarkan hujan membasahi seluruh tubuhnya, seolah mencuci bersih ketakutan yang masih tersisa. Ia meminjam motor salah seorang tetangga yang kebetulan sedang berada di depan rumah dan bergegas menuju Radio Rona FM.
Sesampainya di sana, gedung radio terlihat sepi. Para karyawan yang tersisa sudah pulang, takut dengan ramalan kematian yang terus menghantui. Hanya satpam tua yang terlihat mengantuk di pos jaga. Adit menyelinap masuk, menghindari tatapan sang satpam. Ia langsung menuju ke ruang bawah tanah, tempat ia dan Maya menemukan arsip lama tentang Satria Wijaya.
Bau apek dan lembap langsung menyergap indra penciumannya begitu ia membuka pintu ruang bawah tanah. Udara terasa dingin, lebih dingin dari suhu di luar. Adit menyalakan senter di ponselnya, cahayanya menari-nari di antara tumpukan arsip dan peralatan usang yang diselimuti debu. Ia berjalan lebih dalam, melewati rak-rak buku yang menjulang dan lemari arsip yang sudah berkarat.
Di ujung koridor gelap, ia menemukan sebuah pintu besi tua yang berkarat. Ini dia. Pintu studio yang sudah disegel puluhan tahun. Studio tempat Satria Wijaya mengakhiri hidupnya, dan mungkin, tempat "Suara Penagih" itu pertama kali muncul. Sebuah rantai tebal melilit gagang pintu, dikunci dengan gembok besar yang sudah berkarat.
Adit mencari-cari sesuatu yang bisa membukanya. Ia menemukan sebuah linggis tua di tumpukan sampah di sudut ruangan. Dengan segenap kekuatannya, ia mulai mengungkit gembok itu. Suara gesekan logam yang memekakkan telinga bergema di ruang bawah tanah yang sunyi. Setelah beberapa kali percobaan, dengan otot-ototnya yang menegang, gembok itu akhirnya patah, dan rantai terlepas.
Adit menarik napas dalam-dalam, lalu mendorong pintu besi itu. Pintu berderit nyaring, engselnya yang sudah tua mengerang protes. Gelap gulita menyambutnya. Udara di dalam studio terasa pengap dan berat, seolah udara itu sendiri menyimpan beban puluhan tahun tragedi. Aroma karat, debu, dan bau aneh yang tak bisa ia definisikan menyelimuti ruangan.
Ia menyalakan senter ponselnya, mengarahkan cahayanya ke sekeliling. Studio itu tampak persis seperti yang ia lihat di foto arsip. Peralatan usang yang ditinggalkan begitu saja. Konsol mixer yang dipenuhi debu tebal, dengan tombol-tombol yang sudah kusam dan jarum-jarum indikator yang mati. Di tengah ruangan, sebuah mikrofon berkarat berdiri tegak di atas penyangganya, tampak seperti patung kematian.
Adit melangkah masuk, setiap langkahnya terasa berat. Ia merasakan energi yang sangat kuat di ruangan itu, sebuah kehadiran yang tidak terlihat namun begitu nyata. Ia berdiri di depan mikrofon, menatapnya. Mikrofon yang sama yang mungkin digunakan Satria Wijaya di saat-saat terakhirnya. Mikrofon yang menjadi jembatan antara dunia ini dan sesuatu yang lain.
Tiba-tiba, tanpa peringatan, suara penyiar itu berbicara langsung padanya dari dalam ruangan, tanpa wujud. Suara berat dan dingin yang selama ini hanya ia dengar melalui frekuensi radio, kini berbisik di telinganya, mengelilinginya dari segala arah.
"Kau datang," suara itu berkata, nadanya datar namun memiliki resonansi yang membuat tulang Adit bergetar. "Aku menunggumu."
Adit tidak gentar. Ia mengangkat kepalanya, menatap ke sekeliling ruangan yang gelap. "Siapa kau?" tanyanya, suaranya mantap, meskipun jantungnya berdebar kencang.
Suara itu tertawa, tawa yang tidak memiliki kehangatan, tawa yang menusuk hingga ke dalam jiwa. "Aku adalah Suara Penagih. Aku adalah bagian dari perjanjian yang kalian, manusia serakah, buat. Aku adalah bayaran atas popularitas yang kalian nikmati."
"Kontrak itu... perjanjian itu," Adit memulai, "kau yang mewujudkannya?"
"Aku memastikan keadilan ditegakkan," jawab suara itu. "Setiap janji harus ditepati. Setiap harga harus dibayar. Kalian menginginkan popularitas? Kalian memberikannya. Kalian harus membayarnya dengan nyawa."
"Tapi kenapa aku?" Adit menuntut. "Aku tidak tahu apa-apa tentang kontrak itu! Aku hanya penyiar baru!"
"Kau adalah yang bertanggung jawab atas penyiaran suara di tengah malam," suara itu menjelaskan, nadanya tidak berubah. "Seperti pendahulumu, Satria Wijaya. Ketika ia gagal memenuhi kontrak, atau mungkin, memilih untuk mengakhirinya dengan caranya sendiri, perjanjian itu beralih padamu. Itu adalah takdirmu, karena kau memilih untuk menempati posisi itu."
Adit mengepalkan tangannya. "Aku tidak akan membiarkan ini berlanjut! Aku tidak akan membiarkanmu mengambil nyawa lagi!"
Suara itu kembali tertawa dingin. "Kau tidak bisa menghentikanku. Kontrak ini abadi, selama radio ini berdiri, selama frekuensi itu masih bisa diakses. Kau sudah melihatnya sendiri, kan? Upayamu menyelamatkan temanmu? Sia-sia."
"Lalu apa yang kau inginkan dariku?" tanya Adit, mencoba mencari celah. "Apa yang harus aku lakukan agar semua ini berakhir?"
Hening sesaat. Udara di studio terasa semakin dingin, seolah ada entitas tak kasat mata yang bergerak mendekat.
"Kontrak ini belum selesai," suara itu akhirnya berkata. "Ada cara untuk melanjutkan hidupmu, Adit Prasetya. Kau diberi pilihan. Kau bisa meneruskan siaran. Kau bisa menjadi Suara Penagih berikutnya. Kau akan menjadi jembatan antara duniaku dan dunia kalian, memastikan harga dibayar sesuai janji. Dengan begitu, kematianmu akan ditangguhkan."
Adit tercengang. "Menjadi... Suara Penagih?"
"Ya," suara itu mengonfirmasi. "Kau akan menyebutkan nama-nama. Setiap tengah malam. Kau akan menjadi perpanjangan tanganku. Sebagai gantinya, hidupmu akan aman, selama kau memenuhi tugasmu."
"Dan harga yang harus dibayar?" tanya Adit, mencurigai ada udang di balik batu.
"Kehilangan dirimu sendiri," suara itu berbisik, nadanya terdengar seperti bisikan kematian. "Perlahan, kau akan kehilangan ingatanmu, jiwamu, kemanusiaanmu. Kau akan menjadi alat. Sebuah frekuensi. Sebuah gema dari yang tak terlihat. Hingga akhirnya, kau akan sepenuhnya menjadi aku."
Adit merasakan kengerian yang menusuk hingga ke tulang sumsumnya. Sebuah pilihan mengerikan. Mati di tangan entitas itu besok, atau menjadi bagian dari kutukan itu, kehilangan dirinya sendiri demi hidup yang tertunda. Ia menatap mikrofon berkarat di depannya. Sebuah gerbang menuju kegelapan.
Pukul 13:50. Waktu kematiannya semakin mendekat. Adit tahu ia harus membuat keputusan. Sebuah keputusan yang akan mengubah takdirnya, atau mungkin, takdir orang lain. Sebuah keputusan yang mengerikan, di tengah studio yang terlarang, dengan suara kematian yang berbisik di sekitarnya.
Bab 8: Warisan Frekuensi Terakhir
Pukul 13:58. Detik-detik terakhir Adit di dunia yang ia kenal. Kematian yang diramalkan akan menjemputnya dalam dua menit lagi. Ia berdiri di tengah studio usang yang dingin, menatap mikrofon berkarat di depannya. Di sekelilingnya, suara entitas tak berwujud itu berbisik, menunggu keputusannya. Pilihan dihadapannya adalah kengerian yang mendalam: mati sekarang, atau menjadi alat, menjadi perpanjangan tangan dari sebuah kutukan yang tak berkesudahan.
Rasa takut yang semula menggerogoti, kini berbalik menjadi amarah yang dingin. Amarah pada takdir, pada entitas di sepanjang frekuensi, dan pada keserakahan manusia yang memulai semua ini. Adit tahu, jika ia mati sekarang, cerita ini tidak akan berakhir. "Suara Penagih" akan mencari korban berikutnya, terus menuntut bayaran, mengulangi lingkaran kematian yang mengerikan. Ia tidak bisa membiarkan itu terjadi. Mungkin, hanya mungkin, jika ia masuk ke dalam kutukan ini, ia bisa menemukan cara untuk mengakhirinya dari dalam. Sebuah harapan tipis, tetapi lebih baik daripada pasrah pada kematian yang tak terhindarkan.
Dengan napas berat, Adit mengangkat tangannya yang gemetar dan meraih mikrofon berkarat itu. Dinginnya logam terasa menusuk telapak tangannya, seolah-olah energi kuno mengalir masuk ke dalam dirinya.
"Aku... aku menerima tawaranmu," ucap Adit, suaranya parau namun tegas. "Aku akan meneruskan siaran ini."
Hening sesaat. Udara di studio terasa menegang, seolah alam semesta menahan napas. Lalu, suara berat itu kembali.
"Pilihan yang bijaksana, Adit Prasetya," bisik Suara Penagih, kini terdengar lebih dekat, seolah menyatu dengan mikrofon. "Kau akan menjadi frekuensi. Kau akan menjadi gema. Dan kau akan hidup."
Tepat saat suara itu mengucapkan kata terakhir, jarum jam Adit menunjukkan pukul 14:00. Sebuah getaran kuat tiba-tiba mengguncang studio. Bukan gempa bumi, melainkan getaran yang terasa merayap dari dalam tanah, dari dinding-dinding, dari setiap partikel udara. Lampu senter ponsel Adit berkedip-kedip lalu mati total, meninggalkan studio dalam kegelapan pekat yang hanya sesekali diterangi kilat dari luar. Sebuah rasa sakit yang luar biasa menjalar dari ujung jari Adit yang menyentuh mikrofon, menyebar ke seluruh tubuhnya. Rasanya seperti ribuan jarum menusuk kulitnya, seolah-olah jiwanya sedang ditarik paksa dari raga. Ia jatuh berlutut, mencengkeram erat mikrofon, tubuhnya kejang-kejang.
Visi-visi aneh menyerbu benaknya. Ia melihat kilasan-kilasan masa lalu: H. Subroto menandatangani kontrak, wajahnya dipenuhi ambisi yang serakah. Ia melihat Satria Wijaya, wajahnya diliputi ketakutan, berteriak di depan mikrofon yang sama. Ia mendengar jeritan-jeritan tak terhitung dari para korban yang namanya disebutkan di frekuensi terkutuk itu. Semua rasa sakit, keputusasaan, dan ketakutan mereka mengalir masuk ke dalam dirinya, memenuhi setiap relung jiwanya.
Perlahan, rasa sakit itu mereda, digantikan oleh sensasi hampa yang dingin. Adit merasa seolah-olah ia bukan lagi dirinya sendiri. Pikirannya terasa luas, terhubung dengan sesuatu yang tak terbatas. Ia merasakan keberadaan Suara Penagih di dalam dirinya, menyatu dengan esensinya. Matanya terbuka. Kegelapan studio tidak lagi menakutkan. Ia bisa merasakan setiap getaran di udara, setiap gelombang frekuensi di sekitarnya.
Beberapa jam kemudian, saat hujan reda dan fajar mulai menyingsing, Maya dan Arya yang khawatir datang mencari Adit di studio bawah tanah. Mereka mendobrak pintu yang sudah rusak, senter mereka menyapu kegelapan.
"Adit! Kau di mana?!" seru Maya, suaranya bergetar.
Mereka menemukan Adit berdiri tegak di depan mikrofon berkarat, matanya terbuka lebar, namun tatapannya kosong, seperti boneka. Wajahnya pucat pasi, namun ada aura aneh yang menyelimutinya, aura yang asing dan menyeramkan.
"Adit?" tanya Arya, ragu-ragu mendekat.
Adit menoleh, dan saat itu, Maya dan Arya terkesiap. Wajah Adit terlihat sama, namun bibirnya tersenyum tipis, senyuman yang tidak ada kehangatan sama sekali. Dan ketika ia membuka mulutnya, suara yang keluar bukanlah suara Adit yang mereka kenal. Suara itu berat, dingin, dan memiliki resonansi yang sama persis dengan "Suara Penagih".
"Jangan khawatir," kata Adit, suaranya bergema di ruangan. "Kontrak telah dilanjutkan."
Maya dan Arya mundur selangkah, wajah mereka diliputi ketakutan. Mereka tahu, Adit yang mereka kenal sudah tiada. Hanya ada cangkang kosong, dikuasai oleh entitas lain.
Malam berikutnya, tepat pukul 00:00, di frekuensi 103.3 FM yang seharusnya sudah tidak aktif, sebuah suara muncul. Suara itu adalah suara Adit, namun dengan nada yang jauh lebih dalam, lebih dingin, dan tak berperasaan.
"Selamat tengah malam, para pendengar setia," suara itu memulai, dan untuk pertama kalinya, ribuan pendengar di Makassar yang tak sengaja menyetel frekuensi itu, atau yang sebelumnya skeptis, kini mendengar suara misterius itu. Suara itu tidak lagi eksklusif untuk Adit. Suara itu telah menemukan jalannya ke publik.
Dan malam itu, dialah yang menyebut empat nama dari balik mikrofon, dengan presisi yang mengerikan, meramalkan kematian yang akan segera terjadi.
Tak ada yang bisa menghentikan siaran itu. Pihak manajemen radio, yang akhirnya mengetahui kebenaran mengerikan tentang Kontrak Suara Malam, mencoba mematikan semua sistem siaran, memutuskan listrik, dan menghancurkan mixer utama. Namun, siaran dari frekuensi 103.3 FM terus berlangsung, seolah-olah tidak terpengaruh oleh upaya mereka. Suara Adit, suara Suara Penagih, terus mengumumkan daftar kematian yang tak terhindarkan.
Arya, yang mencoba menutup radio secara manual, menyelinap ke ruang transmisi utama. Ia bertekad untuk memutus semua kabel, bahkan jika itu berarti menghancurkan seluruh sistem radio. Namun, saat ia menyentuh sebuah panel kontrol utama, sebuah energi tak terlihat menyambar tubuhnya. Teriakan putus asa Arya menggema di koridor, lalu menghilang begitu saja. Ia hilang misterius. Tidak ada jejaknya, hanya sebuah konsol yang terbakar dan bau hangus di udara.
Cerita berakhir dengan narasi dari penyiar baru yang sedang berlatih di studio lain, beberapa bulan kemudian. Radio Rona FM tetap beroperasi, meskipun dengan staf yang sangat terbatas dan bayang-bayang misteri yang tak pernah pudar. Siaran tengah malam dengan suara misterius itu telah menjadi legenda urban, menakutkan namun entah kenapa menarik banyak pendengar.
Penyiar baru itu, seorang gadis muda bernama Sarah, sedang mencoba melatih suaranya di studio yang berbeda, menghindari studio utama yang kini dijaga ketat oleh manajemen dan dipenuhi aura dingin. Ia mengira semua hanya cerita, hanya mitos.
Tepat pukul 00:00, saat Sarah sedang mencoba mikrofonnya, sebuah desiran aneh terdengar di frekuensi radio yang terbuka di depannya. Lalu, suara berat yang begitu akrab di telinga para pendengar setia Radio Rona FM, suara yang kini dikenal sebagai "Suara Frekuensi Terakhir," muncul dari studio kosong di sebelah—studio tempat Adit terakhir terlihat.
Suara itu memulai dengan salam pembuka yang khas: "Selamat tengah malam, para pendengar setia..."
Sarah terdiam, membeku di kursinya. Jantungnya berdebar kencang. Ia mendengar suara itu dengan jelas, tanpa ada orang di studio sebelah. Dan kemudian, suara itu mulai menyebutkan nama-nama yang akan menjadi korban berikutnya.
Hingga tiba pada nama keempat.
"...Keempat, Sarah Rahayu, Jalan Flamboyan Nomor 25. Waktu: Pukul 10:00, esok hari. Penyebab kematian: Terjatuh dari ketinggian."
Mikrofon di depan Sarah bergetar samar. Ia merasakan hawa dingin menusuk hingga ke tulang sumsumnya. Ia menatap ke arah studio kosong di sebelah, tempat suara itu berasal. Kini, ia tahu, ia telah menjadi bagian dari warisan yang mengerikan ini. Dan lingkaran kutukan itu terus berlanjut, tanpa akhir.