Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,722
Streamer Yang Tragis
Horor

Bab 1 – Persiapan Streaming

Pukul 22.00 WIB, malam di Balikpapan terasa sedikit lembap, namun udara di dalam mobil van hitam yang dikendarai Rizal terasa kering dan dingin berkat AC yang diatur maksimal. Rizal, atau lebih dikenal dengan nama panggungnya, “Rizal Ghost Hunter,” menyeka keringat di dahinya. Bukan karena hawa panas, melainkan karena antusiasme yang membakar. Rambutnya yang dicat pirang acak-acakan, kemeja flanel longgar menutupi kaus hitam bergambar tengkorak, dan cincin perak besar di jari tengahnya semua menegaskan identitasnya sebagai seorang streamer horor yang sedang naik daun.

Di sampingnya, duduklah Lita, asisten pribadinya. Ia memegang tablet dan sesekali menggesernya dengan gerakan cepat. Wajah Lita yang biasanya ceria kini tampak sedikit tegang, matanya sesekali melirik peta digital di layar tablet, lalu ke arah jalanan pedesaan yang semakin gelap. Lita adalah otak di balik logistik dan teknis tim "Rizal Ghost Hunter." Ia lah yang mengatur jadwal, memeriksa peralatan, dan memonitor chat para penonton. Di kursi belakang, duduklah Bima, asisten kedua mereka, seorang mahasiswa semester akhir yang magang untuk memenuhi syarat kelulusan. Bima bertugas sebagai juru kamera kedua dan pengumpul data. Ia terlihat sedikit lebih santai, sesekali meminum kopi instan dari termosnya.

"Gimana, Lit? Sudah siap semua?" tanya Rizal, suaranya terdengar bersemangat, terlalu bersemangat untuk jam segini. Ia sesekali tersenyum ke arah kamera kecil yang terpasang di dashboard, merekam persiapan mereka untuk vlog singkat sebelum live streaming.

Lita mengangguk tanpa mengangkat pandangan dari tablet. "Semua sudah dicek, Zal. Koneksi internet, baterai kamera, power bank, semuanya penuh. Bima, cek lagi mic-nya, jangan sampai ada feedback."

Bima mengacungkan jempol. "Beres, Kak Lita. Udah dites berkali-kali."

Malam ini, mereka punya misi baru: menjelajahi Terowongan Angker Mitos, sebuah lokasi yang baru-baru ini viral di media sosial lokal. Menurut cerita warga, terowongan peninggalan Belanda itu sering "memakan orang" atau setidaknya membuat mereka menghilang tanpa jejak. Konon, suara-suara aneh dan penampakan hantu sering dilaporkan di sana. Bagi Rizal, ini adalah tambang emas. Konten horor mistis adalah jaminan view tinggi, apalagi jika dikemas dengan gaya live streaming yang interaktif.

"Lokasinya memang cukup terpencil, Zal," kata Lita, akhirnya mengangkat kepalanya. "Warga desa di sana benar-benar memperingatkan kita. Katanya, kalau tidak ada urusan penting, jangan mendekati terowongan itu. Apalagi masuk."

Rizal tertawa. "Justru itu yang kita cari, Lit. Semakin banyak larangan, semakin besar potensinya. Lagipula, itu kan cuma mitos dan hoax belaka untuk menarik perhatian. Anggap saja ini hiburan horor yang kita sajikan untuk para viewer." Rizal melirik kamera dashboard lagi, seringai terbentuk di bibirnya. "Kita akan buktikan bahwa semua itu cuma omong kosong. Cuma suara angin, pantulan cahaya, atau mungkin ulah iseng warga setempat."

Bima yang semula diam, kini memberanikan diri. "Tapi, Kak Rizal, beberapa cerita itu terdengar... nyata. Ada yang bilang pernah melihat bayangan hitam melayang, ada juga yang dengar suara orang menangis dari dalam terowongan padahal tidak ada siapa-siapa."

Rizal mengibaskan tangannya, meremehkan. "Itu namanya efek sugesti, Bim. Otak kita suka menghubung-hubungkan hal yang tidak ada. Makanya orang jadi percaya mitos. Tugas kita kan membongkar itu semua. Kita akan tunjukkan bahwa terowongan ini hanyalah terowongan tua biasa."

Mereka terus melaju, melewati jalanan desa yang semakin sempit dan berliku. Pohon-pohon besar menjulang tinggi di sisi jalan, ranting-rantingnya menciptakan bayangan seram yang menari-nari di bawah sorotan lampu mobil. Aroma tanah basah dan dedaunan busuk memenuhi udara. Sesekali, lampu mobil menyinari rumah-rumah tua yang tampak gelap dan sunyi.

Setelah sekitar setengah jam perjalanan dari jalan utama, Lita menunjuk ke depan. "Itu dia, Zal. Di ujung jalan sana."

Rizal menginjak rem perlahan. Sebuah gapura batu tua berdiri di depan mereka, nyaris tertutup semak belukar. Di baliknya, terlihat mulut terowongan yang gelap, seperti lubang menganga di perut bumi. Udaranya tiba-tiba terasa dingin, meskipun mereka masih di dalam mobil. Suara jangkrik dan serangga hutan terdengar memekakkan telinga.

"Wih, mantap!" seru Rizal, matanya berbinar. "Ini baru namanya lokasi angker! Langsung aura horornya terasa."

Lita memutar matanya. "Atau cuma sugesti, Zal?"

Rizal terkekeh. "Itu dia bedanya kita, Lit. Kamu skeptis, aku berani. Dan viewer suka yang berani."

Mereka memarkir mobil agak jauh dari mulut terowongan, memastikan tidak menghalangi jalan dan agar mobil tidak terlalu terlihat dari kejauhan. Lita dan Bima mulai mengeluarkan peralatan dari bagasi: tripod, lampu sorot LED portabel, kamera utama Sony Alpha A7S III yang dilengkapi lensa wide-angle, kamera kedua GoPro Hero 12, mikrofon shotgun, dan beberapa power bank cadangan. Rizal sendiri mengeluarkan gimbal untuk kamera ponselnya, memastikan stabilisasi gambar yang sempurna saat ia bergerak.

"Ingat, Lit," kata Rizal sambil memasang mikrofon lavalier di kerah kemejanya. "Kita akan live selama minimal satu jam. Jangan sampai ada kendala teknis sedikit pun. Kalau ada apa-apa, langsung infokan lewat earpiece."

"Siap, Bos. Aku akan pantau chat dan koneksi dari sini," jawab Lita, sambil mengatur laptop yang terhubung ke modem satelit portabel. Jaringan seluler di area ini memang sangat buruk, jadi modem satelit adalah satu-satunya pilihan untuk live streaming yang stabil.

Bima, yang biasanya pendiam, kini tampak sedikit pucat. Ia menelan ludah sebelum bertanya, "Kak Rizal, kita benar-benar harus masuk ke dalam?"

Rizal menepuk pundak Bima. "Tentu saja, Bim. Namanya juga ghost hunter. Kita kan sudah sering ke tempat angker lain yang jauh lebih seram dari ini. Tenang saja, ada aku dan Lita. Kita bertiga ini tim yang solid, kan?"

Meskipun Rizal mencoba meyakinkan, ada sedikit keraguan di mata Bima. Namun, ia mengangguk patuh. Bagaimanapun, ini adalah bagian dari magangnya.

Sebelum memulai live streaming, Rizal merekam beberapa story Instagram dan TikTok singkat, mengumumkan lokasi mereka dan meminta para pengikutnya untuk bergabung dalam live stream nanti malam. Dengan jutaan pengikut di berbagai platform, ia tahu ini akan jadi tayangan yang meledak.

"Baiklah, Lit. Lima menit lagi kita mulai," kata Rizal, suaranya menggebu-gebu. "Bima, kamu siap dengan GoPro-mu?"

Bima mengacungkan jempol. "Siap, Kak."

Lita memberikan isyarat dengan tangannya, menghitung mundur dari lima. Rizal menarik napas dalam-dalam, mengatur ekspresinya menjadi campuran antara serius dan antusiasme. Ia tersenyum ke arah kamera utama yang dipegang Lita.

Ini dia, malam ini akan jadi sejarah. Sejarah bagi Rizal Ghost Hunter, dan mungkin, sejarah bagi mereka bertiga.

Bab 2 – Memulai Live di Mulut Terowongan

Tepat pukul 22.30 WITA, Lita memberikan isyarat. Lampu ring light mini yang terpasang di kamera utama menyala, menerangi wajah Rizal. "Halo, para ghost hunter di seluruh Indonesia! Selamat malam!" seru Rizal, suaranya penuh energi, memenuhi keheningan malam. "Malam ini, kami dari tim Rizal Ghost Hunter ada di sebuah lokasi yang sangat spesial, yang digadang-gadang sebagai salah satu tempat paling angker di Kalimantan Timur!"

Komentar langsung membanjiri layar laptop Lita. "WOOOOOW!" "KEMANA KAK RIZAL?!" "AKHIRNYA LIVE LAGI!" "SALAM DARI BALIKPAPAN!"

Rizal melanjutkan, "Ya, benar sekali! Kita sedang berada di mulut Terowongan Angker Mitos! Terowongan peninggalan zaman Belanda yang katanya... sering memakan korban! Serem banget kan? Tapi jangan khawatir, kita di sini bukan untuk mencari hantu, tapi untuk membuktikan apakah mitos-mitos itu benar adanya, atau hanya sekadar cerita pengantar tidur." Ia menyeringai ke arah kamera, ekspresi berani yang menjadi ciri khasnya.

Lita mengarahkan kamera perlahan, menunjukkan pemandangan di sekitar mulut terowongan. Lampu sorot LED yang dipasang di tripod menerangi sebagian kecil dinding batu yang ditumbuhi lumut tebal. Udara terasa dingin dan lembap, membawa aroma tanah dan sesuatu yang aneh, seperti bau karat bercampur bau apek.

"Sebelum kita masuk, aku mau sedikit menjelaskan tentang terowongan ini," lanjut Rizal. "Menurut cerita warga, terowongan ini dibangun paksa oleh pribumi pada zaman Belanda. Banyak pekerja yang tewas di sini, entah karena kecelakaan kerja, penyakit, atau kelaparan. Roh-roh mereka konon bergentayangan, mencari keadilan. Dan yang paling terkenal, ada penampakan sosok wanita berbaju putih yang sering muncul di sini, katanya mencari anaknya yang hilang." Rizal berhenti sejenak, memberikan jeda dramatis. "Kalian percaya?"

Komentar di chat semakin heboh. "MERINDING!" "JANGAN PERCAYA MITOS, KAK!" "ITU CUMA HOAX!" "KALO ADA CEWEK PUTIH, SIKAT, KAK!"

Rizal tersenyum. "Nah, itu dia. Ada yang percaya, ada yang tidak. Tugas kami di sini untuk memecahkan misteri itu. Aku ditemani oleh tim setia ku, Lita di kamera utama, dan Bima dengan kamera GoPro di belakang!" Rizal menunjuk ke Lita, lalu Bima yang mengacungkan jempol sambil memegang GoPro.

"Oke, guys, sudah siap? Ini akan jadi live streaming paling menegangkan yang pernah kalian lihat!" Rizal berbalik menghadap mulut terowongan. "Kita akan masuk perlahan-lahan. Lita, steady cam ya. Bima, kamu rekam dari belakang, perhatikan sekeliling."

Mereka mulai melangkah. Suara langkah kaki mereka menggema di dalam terowongan yang gelap, menciptakan sensasi aneh yang membuat bulu kuduk merinding. Cahaya dari lampu sorot dan senter yang mereka bawa seolah ditelan oleh kegelapan yang pekat.

"Wow, udaranya langsung beda di sini," kata Rizal, sengaja mengeraskan suaranya agar terdengar di mikrofon. "Dingin banget, guys! Dan ada bau aneh. Kayak bau besi tua campur bau tanah lembap."

Lita, meskipun fokus pada kamera, tidak bisa menyembunyikan raut wajahnya yang tegang. Ia sesekali melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada hal aneh yang luput dari penglihatannya. Bima, di belakang, tampak semakin pucat. Ia terus-menerus menengok ke belakang, seolah ada sesuatu yang mengikutinya.

"Para viewer, kalian bisa dengar suara napasku? Ini bukan karena takut ya, tapi karena saking dinginnya di sini. Kalian bisa lihat, dinding-dindingnya ini semua terbuat dari batu bata merah yang sudah sangat tua. Bahkan ada lumut-lumut tebal menempel di mana-mana. Kayak lorong waktu!" Rizal mencoba tetap santai, mengeluarkan lelucon ringan untuk mengurangi ketegangan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk para penonton.

"Komentar apa saja, guys? Ada yang sudah pernah ke sini?" tanya Rizal, mencoba berinteraksi dengan penonton.

Komentar terus mengalir deras. "GILA KAK RIZAL BERANI BANGET!" "AKU SUDAH PERNAH LIHAT TAYANGAN HOROR DI SINI!" "JANGAN SAMPAI ADA YANG NGE-PRANK YA KAK!"

Rizal tertawa. "Tenang saja, ini bukan prank, guys. Ini real! Kita akan buktikan semua mitos itu."

Mereka berjalan semakin dalam. Cahaya dari luar terowongan sudah tidak terlihat lagi. Hanya cahaya dari lampu sorot mereka yang menerangi jalur sempit di depan. Suara tetesan air dari langit-langit terowongan terdengar ritmis, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Jam menunjukkan pukul 22.33 WITA. Sudah sekitar tiga menit mereka memasuki terowongan.

"Di sini lumayan bersih, ya," komentar Rizal, mencoba membuat suasana lebih ringan. "Tidak ada sampah berserakan. Mungkin memang jarang ada orang yang berani masuk sejauh ini."

Tiba-tiba, Lita menyenggol lengan Rizal. "Zal, itu... apa itu?"

Rizal menoleh ke arah yang ditunjuk Lita. Di dinding batu di sebelah kanan mereka, ada beberapa simbol aneh yang terukir. Garis-garis tidak beraturan, lingkaran-lingkaran, dan beberapa gambar yang mirip manusia dengan tangan terentang. Simbol-simbol itu tampak sangat tua, seolah sudah ada di sana sejak terowongan ini dibangun.

"Wah, ini menarik!" seru Rizal, mendekat untuk memotretnya dengan kamera ponselnya. "Guys, lihat ini! Ada ukiran aneh di dinding. Ini mirip seperti simbol-simbol kuno. Mungkin ini pesan dari... arwah-arwah penasaran?" Ia mencoba membuat lelucon, meskipun ada sedikit nada ketegangan di suaranya.

Bima, di belakang, masih sibuk merekam sekeliling. Ia memutar GoPro-nya perlahan, berusaha menangkap setiap detail. Tangannya sedikit gemetar.

Mereka terus melangkah, semakin dalam ke jantung terowongan. Setiap langkah terasa berat, seolah udara di sana menjadi lebih padat. Suara napas mereka sendiri terdengar keras. Sudah hampir lima menit mereka berada di dalam. Suasana masih sunyi, kecuali suara tetesan air dan langkah kaki mereka. Rizal terus mengobrol, berusaha menjaga interaksi dengan penonton dan menutupi kegugupan yang mulai merayapi dirinya.

Lita sesekali melirik layar kamera, memeriksa frame dan ekspresi Rizal. Ia tahu bahwa meskipun Rizal terlihat berani, ia juga bisa merasakan aura aneh di tempat ini. Bima, di sisi lain, sudah tidak berusaha menyembunyikan ketegangan di wajahnya. Ia hanya fokus pada tugasnya, sesekali melirik ke arah belakang dengan ekspresi khawatir.

Malam ini, mereka akan membuktikan sesuatu. Entah itu bahwa mitos adalah hoax, atau justru sebaliknya.

Bab 3 – Lima Menit Pertama

Lima menit pertama di dalam terowongan terasa seperti gabungan antara eksplorasi dan sandiwara. Rizal, dengan pembawaannya yang ceria dan penuh percaya diri, terus-menerus berinteraksi dengan penonton, menjelaskan setiap detail yang ia lihat. "Lihat, guys, dinding-dinding ini kokoh banget, padahal sudah ratusan tahun umurnya. Benar-benar arsitektur zaman dulu yang luar biasa!" katanya sambil menyentuh lumut yang menempel di dinding batu. "Dinginnya... ampun deh! Mungkin lebih dingin dari hati mantan kalian!" Ia tertawa, dan beberapa emoticon tertawa muncul di kolom komentar.

Lita, di belakang kamera utama, berusaha menjaga frame agar tetap stabil. Ia juga mencoba untuk tidak terlalu fokus pada suara-suara kecil atau bayangan yang menari di sudut pandang matanya. Namun, ia tidak bisa mengabaikan aura dingin yang merambat, terasa berbeda dari sekadar suhu rendah. Ada semacam kehampaan yang mencekam, seolah terowongan itu adalah lorong menuju kekosongan.

Bima, yang memegang GoPro, jauh lebih sensitif terhadap atmosfer di tempat itu. Ia terus-menerus menoleh ke belakang, matanya menyapu kegelapan di luar jangkauan cahaya senter. Raut wajahnya tegang, giginya sesekali bergemeletuk. "Kak Rizal, apa kita nggak terlalu jauh masuknya?" tanyanya lirih, nyaris berbisik.

Rizal menoleh, tersenyum. "Belum, Bim. Ini baru pemanasan. Kalau mau dapat jump scare yang asli, kita harus lebih dalam lagi!" Ia sengaja berbicara sedikit lebih keras, agar suaranya terdengar meyakinkan bagi penonton.

"Kak Lita, coba senter ke atas," pinta Rizal. Lita mengarahkan senter ke langit-langit terowongan. Kilauan air menetes dari beberapa retakan, menciptakan genangan kecil di lantai tanah yang lembap. "Lihat, guys, ada stalaktit mini juga! Keren banget, kan?" Rizal mencoba mempertahankan kesan bahwa ini hanyalah sebuah eksplorasi biasa, bukan perburuan hantu.

Namun, di balik layar, suasana di antara tim mulai sedikit berubah. Meskipun Rizal masih menunjukkan profesionalismenya, ada semacam ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka. Lita sesekali melirik layar laptopnya, melihat chat yang terus-menerus bergerak. Awalnya, komentar didominasi oleh antusiasme dan lelucon. Namun, perlahan-lahan, nada komentar mulai berubah.

"Kok kayak ada yang lewat ya di belakang Kak Bima?" "Perasaan aku doang atau emang ada bayangan?" "Kak Rizal, hati-hati! Aku ngerasa nggak enak nih."

Rizal, yang tidak melihat layar chat secara langsung, hanya bisa mengandalkan Lita untuk memfilter komentar. Lita, yang melihat komentar-komentar itu, hanya mengabaikannya. Ia berpikir mungkin itu hanyalah efek psikologis dari penonton yang terbawa suasana, atau mungkin sekadar troll yang ingin menakuti mereka.

"Baiklah, kita akan coba masuk lebih dalam lagi, guys," kata Rizal, suaranya tetap riang. "Lita, maju dikit, ya. Bima, jangan jauh-jauh dari kita."

Mereka terus melangkah, sepatu bot mereka berderak di atas tanah yang lembap. Udara semakin dingin, dan keheningan di dalam terowongan semakin mencekam. Bahkan suara tetesan air pun seolah teredam. Rizal mulai merasa sedikit aneh. Bukan takut, tapi ada semacam perasaan tidak nyaman yang merayapi. Ia mencoba mengabaikannya, fokus pada live streaming.

"Oke, guys, di sini ada percabangan!" seru Rizal. "Ada dua jalur. Kita pilih yang mana, nih? Kanan atau kiri? Kalian yang pilih!" Ia mengarahkan kamera ke dua lorong gelap yang bercabang.

Komentar di chat langsung heboh. "KIRI! KIRI AJA KAK!" "KANAN LEBIH MENANTANG!" "JANGAN PISAH!"

Rizal tersenyum. "Baiklah, voting terbanyak... kita pilih yang... kiri!" Ia menunjuk ke lorong kiri yang terlihat lebih gelap dan sempit.

Mereka mulai berbelok ke kiri. Lorong itu terasa lebih sempit, dan dinding-dindingnya lebih kasar. Lumut di sana juga lebih tebal. Aura dingin semakin menusuk. Bima, yang berjalan di belakang, menelan ludah. Ia merasa bulu kuduknya berdiri.

"Aku nggak tahu kenapa, tapi aku ngerasa... ada yang ngawasin kita," bisik Bima, suaranya gemetar. Ia berbicara cukup pelan, berharap Rizal tidak mendengarnya. Namun, mikrofon GoPro-nya cukup sensitif.

Rizal tidak mendengarnya. Ia terlalu sibuk dengan live streaming. "Kalian bisa lihat sendiri, guys, jalur ini jauh lebih gelap. Dan aku kayaknya mencium bau aneh lagi. Bau amis, tapi bukan bau darah. Kayak bau... tanah basah yang sudah lama tergenang." Rizal berusaha menjelaskan.

Lita mengernyitkan dahi. Ia juga mencium bau itu. Bau yang aneh, tidak familiar, dan sedikit membuat mual. Tapi ia mengabaikannya, berusaha tetap fokus.

"Kita sudah hampir lima menit di dalam, guys. Sejauh ini aman terkendali," kata Rizal, mencoba meyakinkan dirinya sendiri dan para penonton. "Tidak ada hantu, tidak ada penampakan, tidak ada suara-suara aneh. Mungkin terowongan ini memang cuma mitos!"

Ia tersenyum ke arah kamera, ekspresi bangga terpancar di wajahnya. Namun, senyum itu sedikit memudar ketika ia merasakan hembusan angin dingin yang tiba-tiba. Bukan hembusan angin biasa, melainkan hembusan yang terasa sangat dekat, seolah ada sesuatu yang lewat di sampingnya. Ia menoleh, tetapi tidak ada apa-apa.

"Hmm, mungkin cuma perasaan," gumam Rizal, meskipun ia sedikit merasa tidak nyaman.

Para penonton di chat mulai melihat sesuatu yang Rizal tidak lihat. Kamera GoPro Bima, meskipun tidak disadari oleh Rizal, menangkap bayangan cepat yang melintas di latar belakang saat mereka berbelok ke lorong kiri. Bayangan itu terlalu cepat untuk dikenali, tetapi cukup untuk membuat beberapa penonton mulai merasa gelisah.

"KAYAK ADA YANG LEWAT DEH," "PASTIKAN PINTU DI BELAKANG KALIAN NUTUP!" "AKU MERASA ADA YANG NGISENGIN MEREKA."

Komentar-komentar itu semakin intens, namun Lita masih menganggapnya sebagai troll atau penonton yang berlebihan. Ia tidak ingin mengganggu konsentrasi Rizal.

Pukul 22.38 WITA. Tepat lima menit sejak mereka memasuki terowongan. Suasana semakin hening, dan kegelapan di depan mereka seolah tak berujung. Rizal masih mencoba untuk tetap ceria, namun ada sedikit kegelisahan yang mulai terasa di hatinya. Mereka tidak tahu bahwa live streaming mereka baru saja akan memasuki babak yang berbeda.

Bab 4 – Menit ke-6: Suara Aneh

Tepat di menit ke-6, keheningan yang mencekik di dalam terowongan tiba-tiba pecah. Awalnya, itu hanya bisikan samar, terdengar seperti desiran angin yang berbisik di antara bebatuan. Namun, bisikan itu perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih mengerikan: suara tangisan. Tangisan yang terdengar pilu, seperti suara seorang wanita yang sedang menderita, lalu disusul dengan lolongan panjang yang membuat bulu kuduk meremang.

Para penonton di chat langsung heboh. "APA ITU?! ADA SUARA!" "AKU DENGER ADA YANG NANGIS!" "CEK BELAKANG KAK RIZAL! ADA SUARA CEWEK!" "MERINDING BANGET SUMPAH!"

Namun, Rizal, Lita, dan Bima tidak mendengar apa pun. Bagi mereka, terowongan itu tetap sunyi, hanya diisi oleh suara tetesan air yang monoton dan napas mereka sendiri. Rizal berhenti sejenak, mengangkat telinganya. "Kalian dengar sesuatu, guys?" tanyanya kepada Lita dan Bima, meskipun sebenarnya ia tidak mendengar apa-apa. Ia hanya merasa ada semacam perubahan tekanan di udara, semacam firasat aneh.

Lita menggeleng. "Tidak ada, Zal. Kenapa?"

Bima juga menggeleng, matanya menyapu kegelapan. "Tidak ada suara apa-apa, Kak Rizal."

Rizal mengernyitkan dahi. Ia melihat ke layar kamera yang dipegang Lita. Layar komentar berkedip-kedip dengan kecepatan luar biasa, dipenuhi dengan kata-kata seperti "SUARA!" "NANGIS!" "CEK BELAKANG!"

"Para viewer pada heboh nih," kata Rizal, tersenyum kecut. "Katanya ada suara bisikan dan tangisan. Kalian serius, guys? Jangan-jangan itu cuma noise dari aplikasi kalian atau prank dari tim ghost hunter lain, nih?" Ia mencoba bersikap santai, meskipun ia merasa sedikit tidak nyaman. Ini adalah kali pertama mereka tidak mendengar apa yang didengar oleh para penonton.

Lita menoleh ke layar laptopnya, mencoba memastikan tidak ada feedback audio dari peralatan mereka. "Tidak ada feedback, Zal. Audio normal."

"Berarti memang tidak ada apa-apa," tegas Rizal, meyakinkan dirinya sendiri. "Mungkin itu cuma efek sugesti dari lokasi ini. Otak kita suka banget nge-prank diri sendiri, kan?" Ia tertawa, meskipun suaranya terdengar sedikit hambar.

Namun, suara itu semakin jelas di telinga para penonton. Lolongan itu berubah menjadi jeritan, lalu disusul dengan suara gemerincing rantai yang seolah diseret di lantai batu. Suara itu terdengar sangat nyata bagi mereka yang menonton, namun tetap tidak terdengar oleh tim di dalam terowongan.

"KOK MEREKA GA DENGER SIH?!" "ITU JELAS BANGET SUARANYA!" "INI BUKAN PRANK KAK! SUMPAH!" "CEK BELAKANG KALIAN SEKARANG JUGA!"

Beberapa penonton mulai panik, bahkan ada yang menyuruh mereka untuk segera keluar dari terowongan. Mereka merasakan ketegangan yang nyata, sementara Rizal dan timnya tetap tidak sadar.

"Oke, guys, tenang," kata Rizal, berusaha meredakan kepanikan di kolom komentar. "Kita akan terus berjalan. Mungkin suara itu cuma imajinasi kalian. Atau mungkin ada hewan liar di dalam sini yang bersuara." Ia mencoba mencari penjelasan logis, meskipun ia tahu bahwa suara-suara yang digambarkan penonton terdengar terlalu... manusiawi.

Rizal terus berjalan, sementara Lita tetap fokus pada kamera. Bima, yang biasanya lebih mudah terpengaruh, kini merasa sedikit bingung. Ia terus mengarahkan GoPro-nya ke sekeliling, tetapi ia benar-benar tidak mendengar apa pun selain suara napasnya sendiri dan langkah kaki mereka. Ia mulai bertanya-tanya, apakah penonton memang berhalusinasi, atau ada sesuatu yang salah dengan pendengaran mereka.

Ketegangan di live chat semakin memuncak. Para penonton saling berdebat, ada yang percaya, ada yang tidak. Namun, mayoritas dari mereka yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

"Aku merinding banget ini," kata salah satu penonton. "Jelas banget suara cewek nangisnya."

"Mungkin Rizal Ghost Hunter punya alat penangkap suara gaib?" komentar yang lain, mencoba mencari penjelasan.

Namun, Rizal tidak membawa peralatan khusus untuk menangkap suara gaib. Mereka hanya mengandalkan mikrofon standar yang terhubung ke kamera.

"Oke, guys, kalau kalian masih dengar suara aneh, coba like dan share live streaming ini ya," kata Rizal, mencoba mengalihkan perhatian dan mendapatkan lebih banyak engagement. "Biar makin banyak yang jadi saksi!"

Ia tidak tahu bahwa para penonton memang sudah jadi saksi. Saksi dari sesuatu yang tidak bisa mereka lihat atau dengar secara langsung.

Suara tangisan itu perlahan memudar, digantikan oleh keheningan yang lebih pekat dari sebelumnya. Keheningan yang terasa berat, seolah udara di sekitar mereka telah menelan semua suara. Rizal menghela napas lega, meskipun ia tidak yakin apakah ia harus lega atau justru semakin khawatir. Ini adalah kali pertama mereka menghadapi fenomena di mana hanya penonton yang bisa merasakannya. Ini adalah hal yang baru, bahkan bagi seorang ghost hunter berpengalaman seperti Rizal.

Pukul 22.39 WITA. Mereka telah melewati batas enam menit di dalam terowongan. Batas yang ternyata menjadi titik awal bagi sesuatu yang jauh lebih mengerikan.

Bab 5 – Menit ke-8: Penampakan Pertama

Tepat di menit ke-8, saat keheningan kembali menyelimuti terowongan, tiba-tiba kamera yang dipegang Lita mulai glitch. Layar berkedip-kedip, gambar menjadi pecah, dan warna-warna digital muncul sesaat, seperti gangguan pada sinyal televisi lama. Lita mengernyitkan dahi, mencoba menstabilkan kamera. "Zal, kameranya agak error nih," katanya, sedikit panik.

Rizal menoleh. "Error? Kok bisa? Tadi kan sudah dicek semua?"

"Aku nggak tahu, tiba-tiba saja," jawab Lita, jarinya sibuk menekan tombol-tombol di kamera. "Kayak ada gangguan sinyal."

Namun, bagi para penonton di live stream, glitch itu bukan hanya sekadar gangguan teknis. Di antara kedipan dan pecahan gambar, beberapa penonton melihat sesuatu yang membuat darah mereka membeku. Sebuah siluet wanita berambut panjang, dengan baju putih yang lusuh, terlihat berjalan melintas dengan sangat cepat di belakang Rizal dan Lita. Sosok itu nyaris tidak terlihat karena glitch yang parah, namun cukup jelas bagi mereka yang jeli.

"ADA CEWEK DI BELAKANG KAK RIZAL!" "AKU LIHAT! SUMPAH! SOSOK PUTIH!" "SCREENSHOT CEPETAN!" "INI BUKAN EDITAN KAN?!"

Seseorang berhasil melakukan screenshot pada saat yang tepat, meskipun gambarnya buram dan pecah-pecah. Gambar itu segera diunggah ke kolom komentar, dan chat langsung meledak. Ribuan penonton membanjiri dengan komentar panik, memperingatkan Rizal dan timnya.

Rizal sendiri, yang tidak melihat layar live stream dan hanya fokus pada kamera Lita yang glitch, tidak menyadari apa pun. "Mungkin karena di dalam terowongan ini, Lit. Sinyal jadi agak jelek," ujarnya santai, mencoba menenangkan Lita. "Coba reboot saja kameranya, atau pindah ke kamera cadangan."

Lita mengangguk, berusaha memperbaiki kamera utama. Ia tidak menyadari bahwa glitch itu adalah portal bagi penampakan yang hanya terlihat oleh penonton.

"Guys, sepertinya ada sedikit gangguan teknis nih," kata Rizal ke kamera. "Maklum, lokasi di dalam terowongan, jadi sinyalnya agak terganggu. Tapi jangan khawatir, kita akan terus live sampai misteri ini terungkap!" Ia mencoba tertawa, namun hatinya mulai diselimuti keraguan. Pertama suara-suara aneh, sekarang kamera glitch. Ini terlalu banyak kebetulan.

Sementara itu, Bima, yang memegang GoPro di belakang, sesekali melirik ke arah Rizal dan Lita. Ia tidak melihat glitch pada kamera utama, namun ia merasakan aura dingin yang semakin menusuk. Ia juga merasakan hembusan angin yang aneh, seolah ada sesuatu yang bergerak cepat di sekelilingnya.

"Kak Rizal, aku ngerasa nggak enak," bisik Bima, suaranya bergetar. "Kayak ada yang lewat di sebelahku."

Rizal menoleh, tersenyum kecut. "Perasaanmu saja, Bim. Mungkin cuma angin." Ia mencoba meyakinkan Bima, namun ia sendiri mulai meragukan perkataannya.

Kamera GoPro Bima, yang tidak mengalami glitch separah kamera utama, menangkap penampakan kedua. Kali ini, sosok itu terlihat lebih jelas. Seorang wanita berambut panjang menutupi wajahnya, mengenakan baju putih yang kotor, berdiri diam di sudut terowongan, mengamati mereka. Sosok itu hanya terlihat selama sepersekian detik sebelum Bima memutar kamera.

Lagi-lagi, penonton heboh. "LEBIH JELAS! LIHAT DI SUDUT KIRI BELAKANG!" "DIA ADA DI SANA!" "MEREKA GAK LIHAT?!"

Rizal mencoba mengabaikan komentar-komentar itu. "Oke, Lit, kalau kameranya masih glitch, pakai kamera ponselku saja. Yang penting kita terus live," katanya. Ia tidak ingin kehilangan momentum.

Lita akhirnya berhasil menstabilkan kamera utama. Glitch itu berhenti, dan gambar kembali normal. Ia menghela napas lega. "Sudah normal lagi, Zal."

"Nah, bagus!" seru Rizal. "Mungkin cuma gangguan sesaat. Kalian lihat, guys? Teknologi zaman sekarang sudah canggih, jadi gangguan kayak gitu mah gampang diatasi!" Ia kembali bersemangat, mencoba mengembalikan suasana ceria.

Namun, beberapa penonton yang sudah melihat penampakan itu tidak bisa lagi bersikap santai. Mereka terus memperingatkan Rizal dan timnya, menyuruh mereka untuk segera keluar. Beberapa bahkan mencoba menelpon nomor kontak Rizal, tetapi nomor itu sudah diatur ke mode hening.

Rizal mengabaikan semua peringatan itu. Ia percaya bahwa penampakan itu hanyalah trik cahaya atau efek dari glitch kamera. Ia tidak percaya pada hantu. Bagi Rizal, semua itu hanyalah mitos yang bisa ia eksploitasi untuk konten.

Ia tidak tahu, bahwa kali ini, mitos itu akan memakan dirinya sendiri.

Pukul 22.41 WITA. Terowongan itu kembali sunyi, namun keheningan itu terasa lebih berat, lebih mencekam dari sebelumnya. Penampakan itu hanyalah awal.

Bab 6 – Menit ke-10: Kerasukan

Keheningan setelah glitch kamera dan penampakan yang hanya terlihat oleh penonton terasa semakin menekan. Tepat di menit ke-10, saat Rizal sedang menjelaskan detail ukiran di dinding terowongan kepada para penonton, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Bima, yang semula berdiri di belakang, tiba-tiba berhenti bergerak. Matanya kosong, pandangannya lurus ke depan, seolah-olah jiwanya telah meninggalkan raganya. Rizal yang sedang berbicara di depan kamera, awalnya tidak menyadarinya. Lita, yang memegang kamera utama, sesekali melirik Bima, tetapi ia terlalu fokus pada Rizal dan komentar-komentar yang terus mengalir.

Namun, di live chat, penonton langsung panik. "BIMA KENAPA TUH?!" "MATA BIMA KOSONG!" "DIA DIAM AJA!"

Rizal melanjutkan penjelasannya, "Ukiran ini kayaknya punya arti tersembunyi, guys. Mungkin semacam ritual atau peringatan..."

Tiba-tiba, Bima mengeluarkan suara. Bukan suaranya yang biasa, melainkan tawa yang aneh dan melengking, tawa yang tidak wajar dan membuat bulu kuduk meremang. Tawa itu terdengar seperti campuran tawa seorang wanita dan seorang pria, beresonansi aneh di dalam terowongan yang sunyi.

Rizal dan Lita langsung menoleh. Mata mereka membulat. Rizal mencoba tersenyum, meskipun ada sedikit kecemasan di wajahnya. "Wah, Bima ini lagi ngelawak ya?" ujarnya, mencoba tetap santai. "Guys, kalian lihat kan? Asisten saya ini punya sense of humor yang aneh!"

Namun, Bima tidak berhenti tertawa. Tawanya semakin keras, semakin melengking, dan ekspresinya semakin liar. Matanya melebar, urat-urat di lehernya menonjol, dan ia mulai bergumam dalam bahasa yang tidak dikenal. Suara-suara itu terdengar seperti campuran bahasa Jawa Kuno dan bahasa yang tidak pernah didengar manusia.

"APA YANG TERJADI SAMA BIMA?!" "DIA KESURUPAN!" "KELUAR KAK RIZAL! KELUAR!" "PANGGIL ORANG PINTAR!"

Komentar-komentar panik membanjiri chat. Beberapa penonton bahkan mulai menangis.

Rizal mencoba tetap profesional. "Guys, tenang. Ini mungkin cuma trik Bima untuk menakuti kita. Kan dia suka prank!" Ia mendekati Bima, mencoba menepuk pundaknya. "Bim, jangan bercanda, ini lagi live!"

Namun, saat Rizal mendekat, Bima tiba-tiba melolong. Lolongan itu terdengar seperti jeritan binatang buas yang terluka, kemudian disusul dengan tawa yang lebih mengerikan dari sebelumnya. Matanya menatap tajam ke arah Rizal, seolah-olah ada makhluk lain yang bersembunyi di balik tatapan itu.

"Dia bukan Bima, Kak Rizal! Itu bukan dia!" teriak Lita, suaranya bergetar. Ia menurunkan kameranya sedikit, tangannya gemetar.

Rizal mencoba untuk tidak panik. "Ini cuma akting, Lit. Kan kita sudah sering kayak gini."

Namun, ia tahu ini berbeda. Aura dingin yang ia rasakan semakin kuat, menusuk tulangnya. Dan tawa Bima, tawa itu terlalu nyata, terlalu menakutkan untuk sekadar akting.

Bima tiba-tiba menunjuk ke arah belakang mereka, ke arah lorong yang mereka lewati. Jarinya gemetar, menunjuk ke dalam kegelapan. "DIA... DIA DI SANA... DIA TIDAK SUKA DIFOTO..." gumamnya, suaranya serak dan berat, bukan suara Bima. "Kalian... kalian merusak ketenangannya..."

Rizal mengernyitkan dahi. "Siapa, Bim? Siapa yang tidak suka difoto?" Ia mencoba berbicara dengan Bima, meskipun ia tahu bahwa Bima yang sesungguhnya sudah tidak ada di sana.

Bima tidak menjawab. Ia hanya terus menunjuk ke belakang, lalu tiba-tiba ia menjatuhkan GoPro-nya ke tanah. Kamera itu terlempar ke samping, namun masih merekam. Gambar di layar GoPro menjadi miring, menunjukkan lantai terowongan yang kotor dan sesekali memperlihatkan kaki Rizal dan Lita yang panik.

"APA YANG HARUS KITA LAKUKAN, ZAL?!" teriak Lita, suaranya histeris.

Rizal mencoba berpikir jernih. "Kita harus tenang, Lit. Ini pasti ada penjelasannya. Mungkin Bima cuma sakit."

Namun, di chat, penonton terus menerus membanjiri dengan komentar. "JELAS-JELAS DIA KESURUPAN!" "KABUR KAK RIZAL! KABUR SEKARANG!" "JANGAN DIDEKATI!"

Bima tiba-tiba bangkit, dengan gerakan yang kaku dan tidak alami. Ia mulai berjalan perlahan, mundur ke arah yang mereka lewati, masih sambil tertawa dan bergumam dalam bahasa yang tidak dikenal. Kakinya menyeret, seolah-olah ada beban berat yang menahannya.

Rizal mencoba menangkap Bima. "Bim, jangan pergi! Kita harus keluar dari sini bersama!"

Namun, Bima mengabaikannya. Ia terus berjalan mundur, menembus kegelapan. Rizal mencoba mengejarnya, namun Lita menahannya.

"Jangan, Zal! Jangan dekati dia! Dia bukan Bima!" teriak Lita.

Rizal menoleh ke Lita, wajahnya pucat. "Lalu kita harus bagaimana, Lit?"

Lita tidak menjawab. Ia hanya menatap Bima yang perlahan-lahan menghilang dalam kegelapan. Di live chat, penonton menjerit histeris. Mereka melihat Bima yang bergerak tidak wajar, lalu menghilang di dalam kegelapan. Ada beberapa penonton yang bersaksi melihat bayangan hitam besar mengikuti Bima dari belakang.

Ini bukan lagi prank. Ini bukan lagi gangguan teknis. Ini nyata. Dan mereka terperangkap di dalamnya.

Pukul 22.43 WITA. Suara tawa Bima yang mengerikan masih menggema di telinga Rizal dan Lita, bahkan setelah Bima tidak terlihat lagi. Ketakutan yang sesungguhnya baru saja dimulai.

Bab 7 – Menit ke-11: Kekacauan Total

Suara tawa Bima yang aneh masih menggema di dalam terowongan, meskipun ia sudah menghilang dalam kegelapan. Rizal dan Lita berdiri terpaku, saling menatap dengan ekspresi panik. Rizal mencoba memanggil nama Bima, namun suaranya bergetar. "Bima! Bima, di mana kamu?!"

Lita menunduk, gemetar. Ia tidak bisa lagi menahan air matanya. "Zal, kita harus pergi dari sini! Aku takut!"

"Tapi Bima..." Rizal ragu, menoleh ke arah kegelapan tempat Bima menghilang. Ia adalah kapten tim, ia merasa bertanggung jawab atas Bima.

Namun, di saat itu, sesuatu yang lebih mengerikan terjadi. Tiba-tiba, Lita terhuyung ke belakang, tangannya mencengkeram lehernya sendiri. Matanya melebar, wajahnya memerah, seolah ada sesuatu yang mencekiknya. Ia terkesiap, mencoba menarik napas, namun tidak bisa.

"Lita! Ada apa?!" seru Rizal, panik. Ia mencoba mendekat, namun ia melihat Lita menunjuk ke arah belakangnya, ke arah kegelapan di belakang mereka. Matanya penuh ketakutan.

Di live chat, penonton menjerit histeris. Mereka melihatnya. Sebuah sosok bayangan hitam besar, menyerupai wanita dengan rambut panjang tergerai, berdiri di belakang Lita, seolah memeluknya dari belakang. Tangan-tangan tak terlihat mencengkeram leher Lita, membuatnya tercekik. Wajah sosok itu tidak terlihat jelas, hanya siluet hitam pekat yang menakutkan.

"ADA DI BELAKANG LITA!" "ITU HANTUNYA! DIA DATANG!" "LITA DICEKIK!" "KABUR KAK RIZAL! KABUR!"

Rizal tidak melihat bayangan itu. Ia hanya melihat Lita yang tersiksa, berjuang untuk bernapas. Ia meraih lengan Lita, mencoba membantunya. Namun, seolah ada kekuatan tak kasat mata yang menarik Lita, membuatnya terpental ke belakang. Kamera utama yang dipegang Lita terlepas dari tangannya, jatuh ke tanah dengan suara berdebam.

Gambar di live stream langsung kacau balau. Layar menjadi miring, hanya menunjukkan lantai terowongan yang kotor dan gelap. Sesekali, lampu kamera yang jatuh ke samping memperlihatkan kaki-kaki yang bergerak panik, dan bayangan-bayangan samar yang melintas. Suara-suara desahan Lita yang tercekik terdengar jelas di mikrofon kamera yang masih menyala.

Rizal berteriak. Ia mencoba meraih Lita yang sudah tergeletak di tanah, namun ia merasa kakinya tiba-tiba kaku, seolah terpaku pada tanah. Ia tidak bisa bergerak. Ketakutan yang luar biasa merayapi seluruh tubuhnya. Ia mencoba meronta, namun tidak ada gunanya.

Suara tangisan dan jeritan penonton di chat semakin memekakkan telinga. Mereka melihat Rizal yang tidak bisa bergerak, Lita yang tercekik di lantai, dan bayangan hitam besar yang bergerak di sekitar mereka. Beberapa penonton bahkan bersumpah melihat mata merah menyala di antara kegelapan.

"ADA WANITA DI BELAKANGMU KAK RIZAL!" "DIA MENGHADAPMU!" "JANGAN MELAWAN!" "KALIAN SUDAH DIINCAR!"

Rizal terus berusaha melawan kekuatan tak kasat mata yang menahannya. Ia merasa seolah ada tangan-tangan dingin yang mencengkeram kakinya, menariknya ke bawah. Udara di sekitarnya terasa semakin dingin, seolah ia berada di dalam freezer. Lalu, ia mencium aroma aneh lagi. Kali ini, bukan bau amis, melainkan bau melati yang sangat pekat, menusuk hidung.

Ia mendengar suara bisikan di telinganya. Bisikan itu terdengar seperti suara wanita yang bernyanyi dalam bahasa yang tidak ia mengerti. Suara itu terasa dingin dan menusuk, seolah langsung masuk ke otaknya.

"Kalian tak dengar dia bernyanyi semalam?"

Kalimat itu terucap begitu saja dari bisikan itu, diikuti dengan tawa kecil yang mengerikan.

Rizal tidak bisa melihat apa-apa di depannya, karena kamera yang jatuh hanya merekam lantai. Namun, penonton melihatnya. Sosok wanita berbaju putih itu kini berdiri tepat di belakang Rizal, rambutnya yang panjang tergerai menutupi wajahnya. Tangan-tangannya yang pucat terulur, menyentuh pundak Rizal.

Rizal merasakan sentuhan dingin itu. Ia tahu itu bukan Lita, dan itu bukan Bima. Ia berteriak, sebuah teriakan panik yang memilukan. Ia mencoba melepaskan diri, namun cengkeraman itu semakin kuat.

Kamera GoPro Bima, yang masih tergeletak di lantai, sesekali menangkap bayangan-bayangan yang bergerak cepat di sekitar Rizal dan Lita. Cahaya dari lampu sorot yang masih menyala pun berkedip-kedip, seolah ada gangguan energi yang kuat.

"Dia bilang... dia sekarang penjaganya..." suara bisikan itu kembali, lebih jelas kali ini.

Rizal tidak bisa lagi bernapas. Ia merasa dadanya sesak, seolah ada beban berat yang menekannya. Ia melihat ke arah Lita yang tergeletak di tanah, tidak bergerak. Matanya mulai berkunang-kunang.

Ini bukan lagi konten horor. Ini adalah neraka.

Pukul 22.44 WITA. Live streaming itu berubah menjadi tayangan horor sesungguhnya, di mana para penonton menjadi saksi bisu dari tragedi yang mengerikan. Kamera terus merekam, menunjukkan kegelapan, suara-suara panik Rizal, dan kemudian... keheningan.

Bab 8 – Pagi Hari: Tragedi Terungkap

Mentari pagi di Balikpapan menyelinap di antara dedaunan hutan, menerangi jalanan desa yang semalam diselimuti kegelapan. Namun, cahaya itu tidak mampu menghapus kengerian yang tersembunyi di dalam Terowongan Angker Mitos. Suara sirene polisi dan mobil ambulans memecah kesunyian, mengundang perhatian warga sekitar.

Pukul 06.00 WITA, tim SAR gabungan bersama warga desa yang sudah dihubungi Lita sebelum live streaming itu dimulai, tiba di mulut terowongan. Mereka menerima laporan tentang live streaming horor yang tiba-tiba terputus dan laporan warga yang melihat ada sebuah mobil van hitam terparkir tidak jauh dari mulut terowongan. Di dalam terowongan, mereka menemukan pemandangan yang mengerikan.

Rizal, sang streamer terkenal, ditemukan tergeletak tak bernyawa di lantai tanah yang lembap. Matanya terbuka lebar, menatap kosong ke langit-langit terowongan yang gelap, seolah masih melihat sesuatu yang tak kasat mata. Wajahnya pucat pasi, bibirnya kebiruan, dan ekspresinya membeku dalam ketakutan yang tak terlukiskan. Di sebelahnya, Lita, asisten pribadinya, juga ditemukan tewas. Posisinya sedikit tertekuk, lehernya membiru dan ada bekas cekikan yang jelas. Matanya juga terbuka lebar, menunjukkan kengerian yang sama seperti Rizal.

Tubuh mereka terasa dingin, sudah kaku, menunjukkan bahwa mereka telah meninggal beberapa jam sebelumnya. Tidak ada luka fisik yang terlihat jelas pada tubuh mereka, kecuali bekas cekikan di leher Lita. Namun, ekspresi wajah mereka cukup untuk membuat petugas kepolisian dan tim SAR merasa merinding.

"Ini... ini aneh," ujar seorang petugas polisi, sambil memotret TKP. "Tidak ada tanda-tanda perlawanan atau kekerasan. Seolah-olah mereka mati karena ketakutan."

Warga desa yang ikut dalam rombongan penyelamatan hanya bisa menghela napas, saling pandang dengan ekspresi sedih dan ketakutan. "Sudah kami peringatkan," bisik seorang sesepuh desa kepada seorang polisi. "Terowongan itu memang berhantu. Dia tidak suka diganggu."

Tim pencari terus menyisir terowongan, mencari Bima, asisten kedua. Mereka menemukannya beberapa puluh meter lebih dalam dari lokasi Rizal dan Lita. Bima tidak tewas. Ia ditemukan duduk bersila di sudut terowongan yang paling gelap, tubuhnya kotor oleh tanah, dan matanya menatap kosong ke depan. Ia terus-menerus bergumam, bicara ngawur dalam bahasa yang tidak jelas.

"Dia tidak suka difoto... dia bilang... dia akan datang..." gumam Bima, suaranya serak dan putus-putus. "Kalian tak dengar dia bernyanyi semalam? Suaranya sangat indah..."

Petugas medis mencoba memeriksa kondisi Bima. Ia tampak sangat syok, detak jantungnya cepat, dan ia tidak merespons pertanyaan apa pun. Ia hanya terus bergumam, mengulang-ulang kalimat aneh itu.

"Dia bilang aku sekarang penjaganya... Aku harus menjaga dia... Dia kesepian..." Bima tiba-tiba tersenyum, senyum yang aneh dan mengerikan, senyum yang sama sekali tidak seperti senyum Bima yang mereka kenal.

Di dekat tubuh Rizal, tim menemukan kamera utama yang dipegang Lita. Kamera itu tergeletak di tanah, penuh lumpur, namun anehnya, masih menyala. Baterainya, yang seharusnya sudah habis setelah berjam-jam merekam, masih penuh. Begitu pula dengan GoPro milik Bima yang ditemukan tak jauh darinya. Kedua kamera itu masih merekam, menunjukkan rekaman terakhir dari live stream yang mengerikan itu.

Rekaman itu menunjukkan detik-detik terakhir Rizal dan Lita sebelum mereka tewas. Suara panik Rizal, Lita yang tercekik, suara bisikan-bisikan aneh, dan kemudian... keheningan. Rekaman itu adalah bukti nyata dari apa yang terjadi di dalam terowongan itu. Namun, yang lebih mengejutkan adalah komentar-komentar yang membanjiri live chat. Ribuan komentar panik, peringatan, dan jeritan histeris dari para penonton.

"Ini rekaman apa, ini?" tanya seorang polisi, melihat layar kamera dengan ngeri. "Mereka melihat sesuatu yang tidak kita lihat?"

Seorang petugas forensik mencoba menganalisis rekaman itu. Setelah menontonnya beberapa kali, ia menyadari sesuatu yang aneh. Di beberapa bagian rekaman, terutama saat kamera glitch, terlihat samar-samar sosok bayangan hitam yang melintas atau berdiri di belakang korban. Namun, sosok itu tidak terlihat jelas di rekaman, hanya semacam anomali visual.

"Ini bisa jadi bukti, Pak," ujar petugas forensik itu kepada polisi. "Tapi juga bisa jadi tidak. Gambarnya terlalu buram. Tapi para penonton... mereka semua melihatnya."

Berita kematian Rizal Ghost Hunter dan asistennya langsung menyebar cepat. Live streaming yang mereka lakukan, yang tadinya ditonton oleh jutaan orang, menjadi viral. Ribuan komentar, screenshot, dan rekaman ulang video bertebaran di media sosial. Banyak yang percaya bahwa mereka menjadi korban hantu terowongan. Beberapa lainnya masih skeptis, mencoba mencari penjelasan logis.

Namun, bagi para penonton live stream itu, bagi mereka yang menjadi saksi bisu dari kengerian di dalam terowongan, tidak ada keraguan. Mereka melihat sosok itu. Mereka mendengar suara-suara itu. Dan mereka tahu, bahwa ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan di Terowongan Angker Mitos daripada sekadar mitos belaka.

Kasus kematian Rizal dan Lita ditutup dengan kesimpulan "kematian tidak wajar karena syok yang ekstrem," meskipun penyebab pastinya tetap menjadi misteri. Sementara Bima, yang selamat, dibawa ke rumah sakit jiwa. Ia terus-menerus mengulang-ulang kalimat-kalimat aneh itu, hidup dalam dunianya sendiri yang dihantui oleh kenangan mengerikan di dalam terowongan.

Terowongan Angker Mitos itu pun kembali sunyi, namun kini diselimuti oleh aura yang lebih gelap dan mengerikan. Kisah Rizal Ghost Hunter menjadi legenda baru, sebuah peringatan bagi siapa pun yang berani mengusik ketenangan makhluk di dalamnya. Dan di suatu tempat, sosok wanita berbaju putih itu mungkin masih berdiri, menunggu penjaga barunya untuk memenuhi janjinya.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)