Masukan nama pengguna
Malam di Jakarta selalu punya dua sisi. Gemerlap lampu kota yang tak pernah padam dan kegelapan yang menelan pinggiran-pinggiran jalan, di mana suara bising lalu lintas tak mampu meredam bisikan-bisikan lain. Bisikan-bisikan yang tak terdengar, tentang orang-orang yang tiba-tiba lenyap. Inilah dunia Alex, seorang wartawan investigasi dengan obsesi yang melampaui batas. Meja kerjanya, di sudut sempit sebuah redaksi, lebih mirip sarang penampungan berkas kasus. Tumpukan kertas yang nyaris roboh, coretan-coretan acak di papan tulis, dan aroma kopi dingin yang menusuk hidung—semua menjadi saksi bisu betapa jauh ia telah melangkah dalam kegelapan.
Alex sedang menyelidiki serangkaian kasus penculikan berantai. Para korban, yang semuanya wanita muda, ditemukan tewas dengan tanda-tanda ritual aneh. Di media, kasus ini dijuluki "The Whisperer Murders" karena para korban terakhir kali terlihat saat menerima telepon dari nomor tak dikenal, sebuah bisikan yang mematikan. Alex menemukan sebuah pola: setiap korban memiliki satu kesamaan kecil yang tersembunyi—mereka semua pernah bekerja atau memiliki hubungan dengan sebuah panti asuhan tua di pinggiran kota. Sebuah panti asuhan yang telah lama tutup.
Di balik semua pekerjaannya, ada sebuah pita rekaman yang terus berputar, mengisi kesunyian ruangannya dengan suara yang pecah. Suara dari radio tua yang tidak disetel dengan baik. Alex jarang memperhatikannya, menganggapnya sebagai bagian dari latar belakang, seperti suara hujan yang monoton di luar jendela. Tapi kadang-kadang, di sela-sela desisan, ada suara bisikan samar yang nyaris tak terdengar. Bisikan yang terasa familiar, tapi Alex tak bisa mengingat di mana ia pernah mendengarnya.
Alex memfokuskan pandangannya pada foto-foto korban yang tertempel di papan tulis. Setiap wajah memiliki ceritanya sendiri, dan setiap cerita berakhir dengan cara yang sama. Semua korban ditemukan di lokasi-lokasi yang berbeda, tapi dengan satu kesamaan: catatan-catatan aneh yang ditulis tangan. Catatan yang berisi perpaduan antara simbol-simbol kuno dan kalimat-kalimat yang terdengar seperti sebuah doa. Alex sudah mengirimkan salinan catatan itu ke beberapa ahli bahasa, tapi tidak ada yang bisa memecahkan maknanya.
Ia mendesah, meraih cangkir kopinya yang sudah dingin. Ia merasa seperti sedang berlari di labirin yang tidak berujung. Setiap kali ia menemukan satu petunjuk, sepuluh petunjuk baru muncul, membawa ia semakin jauh dari kebenaran. Ia mulai merasa lelah, fisiknya terasa berat, dan otaknya terasa penuh. Ia bahkan tak menyadari bahwa ia sudah bekerja selama dua puluh jam non-stop.
Tiba-tiba, ia merasakan sakit kepala yang menusuk. Sebuah gambaran singkat melintas di benaknya: ruangan gelap, suara isak tangis, dan bisikan yang memanggil namanya. Ia mengusap dahinya, mencoba mengusir bayangan itu, tapi bayangan itu tetap ada, menempel di otaknya seperti kenangan buruk. Ia tidak ingat pernah mengalami kejadian seperti itu. Namun, perasaan takut dan cemas begitu nyata. Ia memutuskan untuk berhenti sejenak, meninggalkan tumpukan berkas dan menenggelamkan dirinya di sofa kumal di sudut ruangan, berharap bisa mendapatkan istirahat.
Ketika ia terbangun, pagi sudah menyambut dengan cahayanya yang terang. Alex terkejut, ia tidak ingat kapan ia tidur. Ia merasa seperti ia baru saja memejamkan mata, tapi ternyata ia telah tidur selama beberapa jam. Yang paling aneh, ia menemukan secarik kertas di sampingnya, dengan tulisan tangan yang sama dengan yang ada di catatan-catatan korban. Tulisan itu berbunyi, "Sudah waktunya untuk bangun." Alex melihat kertas itu dengan bingung. Ia yakin tidak ada orang lain di ruangannya selain dirinya. Siapa yang menaruh catatan ini? Dan bagaimana bisa tulisan tangan itu begitu mirip dengan tulisan tangan pelaku?
Jantungnya berdegup kencang. Ia mengambil kertas itu, menatapnya, dan mencoba memecahkan teka-teki yang baru saja muncul. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Sesuatu yang ia lupakan. Sesuatu yang ia coba sembunyikan. Dan bisikan di radio tua itu, sekarang terasa lebih jelas, seolah-olah ia mencoba memberitahunya sesuatu. Sebuah pesan rahasia yang hanya bisa didengar olehnya.
Alex berdiri, berjalan ke arah radio tua itu, dan mematikan putaran pitanya. Hening. Keheningan yang aneh dan mencekam. Di dalam keheningan itu, ia bisa mendengar suaranya sendiri, suaranya yang berbisik, "Sudah waktunya untuk bangun." Ia tertegun. Ia tidak menyadarinya sampai sekarang, tapi ia merasa sudah mendengarkan bisikan itu selama ini. Bisikan yang selalu mengikutinya, bisikan yang selalu ada di dalam kepalanya, bisikan yang selalu mengarahkannya ke setiap petunjuk. Alex tidak tahu apa artinya. Tapi ia tahu, ia sudah terlalu jauh untuk kembali. Ia harus menemukan kebenaran, bahkan jika itu berarti ia harus menghadapi sisi tergelap dari dirinya sendiri.
Sesuatu telah bergeser. Alex tahu itu. Setelah menemukan catatan aneh di mejanya, garis antara kenyataan dan mimpi terasa semakin tipis. Siang itu, Alex menghabiskan waktunya dengan mengamati ulang semua berkas kasus. Dia menatap foto-foto korban, catatan-catatan yang ditemukan, dan laporan otopsi. Semuanya berputar-putar di kepalanya seperti teka-teki yang sulit dipecahkan. Ia merasa seperti sedang berada di dalam sebuah ilusi, di mana setiap petunjuk yang ia temukan adalah bagian dari sebuah jebakan yang dirancang khusus untuknya.
Pagi itu, Alex menerima sebuah paket aneh tanpa pengirim. Di dalamnya, ada beberapa foto polaroid. Foto-foto itu menunjukkan lokasi kejadian dari setiap kasus pembunuhan, tapi dengan sudut pandang yang berbeda, lebih intim, seolah-olah diambil oleh seseorang yang berada di sana, melihat semuanya. Setiap foto memiliki kode samar di belakangnya. Kode-kode ini terlihat seperti kombinasi dari huruf, angka, dan simbol-simbol aneh yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Dan yang paling mengganggu, salah satu foto menunjukkan sebuah simbol kuno yang pernah ia lihat di sebuah buku sejarah, sebuah buku tentang sekte-sekte misterius.
Alex mencoba untuk tetap tenang. Ia mengambil foto-foto itu dan membandingkannya dengan foto-foto yang ada di berkas kasus. Ia menemukan bahwa foto-foto polaroid itu lebih detail. Ia bisa melihat hal-hal kecil yang tidak terlihat di foto-foto polisi. Dan kode-kode di belakangnya, entah bagaimana, terasa seperti sebuah pesan yang ditujukan langsung kepadanya.
Ia memutuskan untuk mencari bantuan. Ia menghubungi Profesor Antonius, seorang ahli linguistik yang terkenal di Jakarta. Profesor itu adalah satu-satunya orang yang mungkin bisa memecahkan kode-kode ini. Profesor Antonius adalah seorang pria tua yang bijaksana dengan kacamata tebal dan rambut putih. Ia mendengarkan cerita Alex dengan sabar, meneliti foto-foto dan kode-kode itu dengan penuh minat.
Setelah beberapa saat, Profesor Antonius berkata, "Ini bukan hanya kode, ini adalah bahasa. Perpaduan dari bahasa-bahasa kuno dan simbol-simbol ritual. Ini mengarah ke sebuah sekte, tapi bukan sekte biasa. Ini adalah sekte yang percaya pada kekuatan bisikan. Mereka percaya bahwa bisikan dapat mengubah kenyataan."
Alex tertegun. Ia teringat pada bisikan-bisikan yang ia dengar dari radio tua di kantornya. Ia bertanya kepada Profesor Antonius tentang bisikan-bisikan itu. Profesor Antonius menjawab, "Bisikan adalah cara mereka berkomunikasi, cara mereka mengendalikan. Mereka menggunakan bisikan untuk memanipulasi pikiran orang lain, untuk membuat mereka melakukan hal-hal yang tidak akan mereka lakukan."
Alex mulai merasa tidak nyaman. Ia merasa seperti ada sesuatu yang salah. Ia merasa seperti ia sedang dikendalikan. Ia bertanya kepada Profesor Antonius, "Apakah ada cara untuk menghentikan bisikan-bisikan itu?"
Profesor Antonius menatap Alex dengan serius dan berkata, "Satu-satunya cara untuk menghentikan bisikan-bisikan itu adalah dengan menemukan sumbernya. Dengan menemukan orang yang mengirimkan bisikan-bisikan itu."
Alex pulang ke kantornya dengan perasaan campur aduk. Ia tidak tahu apakah ia harus percaya pada Profesor Antonius. Ia tidak tahu apakah ia sedang diburu oleh sebuah sekte misterius, atau apakah ia hanya gila. Ia merasa lelah, dan ia memutuskan untuk tidur sebentar.
Namun, ia tidak bisa tidur. Ia mulai bermimpi aneh lagi. Mimpi tentang seorang wanita yang menangis dan berteriak minta tolong di sebuah ruangan yang gelap. Mimpi itu terasa begitu nyata, ia bisa merasakan kesedihan wanita itu, ia bisa mendengar suaranya yang parau. Dan kemudian, ia melihat dirinya sendiri di dalam mimpi itu. Ia melihat dirinya mengenakan topeng, melakukan ritual aneh pada wanita itu. Ia melihat dirinya berbisik, bisikan yang sama dengan yang ia dengar dari radio.
Ia terbangun dengan keringat dingin. Jantungnya berdebar kencang. Ia mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa itu hanya mimpi, tapi ia tidak bisa. Ia merasa seperti ia telah melakukan sesuatu yang mengerikan. Ia melihat tangannya, dan ia melihat bercak-bercak darah. Ia tidak tahu dari mana asalnya. Ia panik, mencoba membersihkan tangannya, tapi bercak-bercak itu tidak hilang. Bercak-bercak itu adalah bukti dari sebuah kejahatan. Bukti dari sebuah mimpi yang menjadi kenyataan.
Alex mulai menyadari bahwa ia sering mengalami "blackout" di mana ia tidak bisa mengingat apa yang telah ia lakukan. Ia sering bangun dengan pakaian kotor dan memar-memar di tubuhnya, tanpa tahu bagaimana ia mendapatkannya. Ia mencoba untuk mengingat, tapi ingatannya kosong. Ia merasa seperti ada bagian dari otaknya yang terhapus, dan ia tidak tahu mengapa.
Ia memutuskan untuk mencari tahu apa yang terjadi. Ia tidak bisa lagi mengabaikan hal-hal aneh yang terjadi di sekitarnya. Ia tidak bisa lagi berpura-pura bahwa semuanya normal. Ia harus menemukan kebenaran, bahkan jika itu berarti ia harus menghadapi monster yang ada di dalam dirinya.
Alex kembali menatap foto-foto polaroid dan catatan-catatan aneh itu. Ia melihat satu persatu, mencoba mencari makna tersembunyi. Dan kemudian, ia melihat sesuatu yang ia lewatkan sebelumnya. Di salah satu foto, di sudut yang gelap, ada sebuah cermin kecil. Dan di dalam cermin itu, ada pantulan dirinya sendiri. Pantulan dirinya yang mengenakan topeng. Pantulan dirinya yang sedang berbisik. Alex tidak bisa bernapas. Ia tidak bisa bergerak. Ia hanya bisa menatap foto itu, dan ia merasa seperti ia sedang menatap ke dalam jurang yang gelap dan tak berujung. Dan ia tahu, ia sudah berada di sana, di dalam jurang itu. Hanya masalah waktu sebelum ia menyadarinya.
Kehidupan Alex berubah menjadi labirin yang semakin gelap. Setiap bangun tidur, ia merasa seperti terbangun dari mimpi yang tidak ia sadari. Catatan-catatan aneh, foto polaroid, dan mimpi buruk yang semakin nyata—semua itu seperti potongan-potongan teka-teki yang sengaja diletakkan untuk membingungkannya. Ia mulai mempertanyakan kewarasannya sendiri. Apakah semua ini nyata, atau hanya ilusi yang diciptakan oleh pikirannya yang lelah?
Mimpi-mimpi aneh itu terus menghantuinya. Mimpi di mana ia melihat seorang wanita berteriak minta tolong, dan ia melihat dirinya mengenakan topeng, melakukan ritual aneh. Mimpi itu terasa begitu nyata, ia bisa merasakan sentuhan dingin dari topeng yang ia kenakan, ia bisa mendengar bisikan yang keluar dari mulutnya sendiri. Alex terbangun dengan napas terengah-engah, keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia merasakan sakit di kepalanya, seperti ada sesuatu yang mencoba keluar dari dalam otaknya.
Alex merasa ia tidak bisa lagi menghadapi semua ini sendirian. Ia membutuhkan seseorang yang ia percaya, seseorang yang bisa membantunya membedakan antara kenyataan dan ilusi. Ia memutuskan untuk menghubungi Eva, seorang detektif polisi senior yang merupakan sahabat lamanya. Eva adalah satu-satunya orang yang tahu tentang obsesinya terhadap kasus-kasus kriminal dan satu-satunya orang yang bisa menempatkannya di jalur yang benar.
Awalnya, Eva enggan membantu Alex. Ia tahu betapa obsesifnya Alex, dan ia tidak ingin Alex terlibat dalam masalah yang bisa membahayakan dirinya sendiri. Tapi, setelah mendengar suara Alex yang terdengar panik dan putus asa, Eva akhirnya setuju untuk bertemu.
Mereka bertemu di sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Eva terkejut melihat penampilan Alex. Wajah Alex terlihat pucat dan lelah, matanya cekung, dan rambutnya berantakan. Eva mencoba menanyakan apa yang terjadi, tapi Alex hanya bisa menceritakan semua hal aneh yang telah ia alami, tentang catatan-catatan aneh, foto-foto polaroid, dan mimpi buruk yang menghantuinya.
Eva mendengarkan cerita Alex dengan sabar. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan Alex. Alex terlihat lelah dan obsesif, tapi ia juga melihat ada ketakutan di mata Alex. Ketakutan yang sama yang sering ia lihat di mata para korban. Eva mencoba meyakinkan Alex untuk beristirahat, untuk melupakan kasus ini, tapi Alex menolak.
"Aku tidak bisa," kata Alex. "Aku harus menemukan kebenaran. Aku harus tahu siapa yang melakukan ini."
Eva menghela napas. "Alex, kamu terlalu dalam. Ini bukan lagi tentang kasus, ini tentang kamu. Kamu butuh istirahat."
"Tidak," bantah Alex. "Ini tentang kebenaran. Ini tentang menemukan keadilan untuk para korban."
Eva menatap Alex dengan serius, lalu ia bertanya, "Apakah kamu yakin kamu adalah wartawan, Alex? Atau kamu adalah bagian dari kasus ini?"
Alex tertegun. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Ia tidak tahu lagi siapa dirinya. Ia tidak tahu apakah ia adalah wartawan yang berjuang untuk kebenaran, atau apakah ia adalah monster yang ia coba kejar. Ia merasa seperti ia sedang jatuh ke dalam jurang yang gelap dan tak berujung.
Eva mencoba menenangkan Alex. Ia berkata, "Dengarkan aku, Alex. Aku akan membantumu. Tapi kamu harus berjanji padaku, kamu harus berhenti bekerja. Kamu harus istirahat. Aku akan melihat bukti-bukti yang kamu miliki, tapi aku akan mengerjakannya sendiri."
Alex mengangguk. Ia tahu Eva benar. Ia tidak bisa lagi bekerja dalam kondisi seperti ini. Ia merasa seperti ia sedang kehilangan dirinya sendiri.
Ketika Alex kembali ke kantornya, ia merasa sedikit lebih tenang. Ia telah menyerahkan semua bukti-bukti yang ia miliki kepada Eva, dan ia merasa seperti beban berat telah terangkat dari pundaknya. Tapi, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Ia mulai merasa ada sesuatu yang aneh. Ia mulai melihat hal-hal yang tidak ada, ia mulai mendengar bisikan-bisikan yang semakin jelas. Bisikan yang memanggil namanya, bisikan yang menyuruhnya untuk melanjutkan pekerjaannya.
Alex menyadari bahwa ia sering mengalami "blackout" di mana ia tidak bisa mengingat apa yang telah ia lakukan. Ia sering bangun dengan pakaian kotor dan memar-memar di tubuhnya, tanpa tahu bagaimana ia mendapatkannya. Ia mencoba untuk mengingat, tapi ingatannya kosong. Ia merasa seperti ada bagian dari otaknya yang terhapus, dan ia tidak tahu mengapa. Ia mencoba untuk mencari tahu apa yang terjadi, tapi ia tidak bisa. Ia merasa seperti ia sedang terperangkap di dalam sebuah sangkar yang tidak terlihat.
Suatu malam, Alex terbangun di sebuah ruangan yang gelap. Ia tidak tahu di mana ia berada. Ia merasa ketakutan. Ia mencoba untuk berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Ia melihat sekeliling, dan ia melihat seorang wanita berbaring di sebuah altar ritual. Wanita itu adalah salah satu korban yang ia "selidiki". Alex mencoba untuk mendekat, tapi ia tidak bisa. Tubuhnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang mengendalikannya.
Dan kemudian, ia melihat dirinya sendiri di dalam mimpi itu. Ia melihat dirinya mengenakan topeng, melakukan ritual aneh pada wanita itu. Ia melihat dirinya berbisik, bisikan yang sama dengan yang ia dengar dari radio. Ia melihat tangannya, dan ia melihat bercak-bercak darah. Bercak-bercak darah yang sama yang ia lihat di tangannya saat ia terbangun dari mimpi anehnya.
Alex terbangun dengan napas terengah-engah. Ia merasakan sakit di kepalanya. Ia merasakan ketakutan yang mendalam. Ia melihat tangannya, dan ia melihat bercak-bercak darah. Bercak-bercak darah yang sama yang ia lihat di mimpinya. Alex tidak tahu lagi apa yang nyata dan apa yang tidak. Ia merasa seperti ia sedang kehilangan dirinya sendiri. Ia merasa seperti ia adalah monster yang ia coba kejar.
Alex tahu ia harus memberitahu Eva tentang hal ini. Ia harus memberitahu Eva bahwa ia adalah bagian dari kasus ini. Ia harus memberitahu Eva bahwa ia adalah pelakunya. Tapi ia tidak bisa. Suara di kepalanya menyuruhnya untuk diam. Suara itu menyuruhnya untuk terus bersembunyi. Suara itu menyuruhnya untuk terus berbohong. Alex tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia merasa seperti ia sedang berada di persimpangan jalan, dan ia tidak tahu jalan mana yang harus ia ambil.
Ketenangan yang coba Alex raih setelah berbicara dengan Eva hanyalah ilusi. Malam-malamnya tetap diisi oleh mimpi buruk, dan siang harinya dihiasi oleh bisikan-bisikan yang semakin kuat. Ia mencoba untuk mengabaikannya, tapi suara-suara itu seperti lintah yang menempel di otaknya, menguras energinya. Ia merasa lelah, bukan hanya secara fisik, tapi juga secara mental. Ia merasa seperti ia sedang perlahan-lahan kehilangan dirinya sendiri.
Suatu hari, Alex menerima sebuah paket anonim. Di dalamnya, ada sebuah buku catatan tua yang sudah lusuh. Alex tidak tahu mengapa ia merasa buku catatan ini begitu penting. Ia membukanya, dan di dalamnya, ia menemukan tulisan tangan ibunya. Tulisan yang sama dengan yang ada di catatan-catatan yang ia temukan di meja kerjanya. Jantungnya berdegup kencang. Ia membaca buku catatan itu, dan ia menemukan sebuah cerita tentang seorang wanita yang melahirkan seorang "monster". Wanita itu mencoba untuk membunuh "monster" itu, tapi ia gagal. Wanita itu kemudian dikirim ke sebuah rumah sakit jiwa tua.
Alex terkejut. Ia tidak tahu apa yang harus ia pikirkan. Ia selalu berpikir bahwa ibunya adalah wanita yang baik, wanita yang mencintainya. Tapi buku catatan itu mengatakan hal yang berbeda. Buku catatan itu mengatakan bahwa ibunya takut padanya. Bahwa ibunya menganggapnya sebagai monster.
Alex mencoba untuk mengingat kembali masa lalunya. Ia ingat ibunya sering bersikap aneh. Ia ingat ibunya sering berteriak padanya, memanggilnya "monster". Tapi Alex selalu berpikir bahwa ibunya hanya sakit. Ia tidak pernah berpikir bahwa ibunya serius.
Alex merasa bingung. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tidak tahu siapa yang harus ia percayai. Ia memutuskan untuk pergi ke rumah sakit jiwa tua itu. Ia merasa seperti ada sesuatu yang memanggilnya kembali. Sesuatu yang ia lupakan, sesuatu yang ia coba sembunyikan.
Rumah sakit jiwa tua itu sudah terbengkalai. Dinding-dindingnya ditumbuhi oleh lumut, dan jendela-jendelanya pecah. Alex berjalan masuk, dan ia merasakan hawa dingin yang menusuk. Ia berjalan menyusuri koridor-koridor yang gelap, dan ia mendengar suara-suara aneh. Suara-suara tangisan, suara-suara bisikan. Ia mencoba untuk mengabaikannya, tapi suara-suara itu semakin kuat, semakin jelas.
Alex menemukan arsip rumah sakit. Ia mencari nama ibunya, dan ia menemukan sebuah file lama. Di dalam file itu, Alex menemukan sebuah foto masa kecilnya. Foto itu adalah foto dirinya yang sedang tersenyum, memegang sebuah boneka. Tapi di belakang foto itu, ada tulisan tangan ibunya, "Dia bukan anakku, dia adalah monster."
Alex merasa seperti dunianya runtuh. Ia tidak bisa percaya apa yang ia baca. Ia tidak bisa percaya bahwa ibunya membencinya. Ia tidak bisa percaya bahwa ibunya menganggapnya sebagai monster.
Alex merasakan sakit kepala yang menusuk. Sebuah gambaran singkat melintas di benaknya: ia melihat dirinya sedang mencekik ibunya. Ia melihat ibunya berteriak, memanggilnya "monster". Ia melihat dirinya mendorong ibunya dengan kuat hingga ibunya terjatuh. Dan setelah itu, ibunya dibawa ke rumah sakit jiwa.
Alex tidak tahu apakah ingatannya benar atau tidak. Ia tidak tahu apakah ia benar-benar melakukan hal itu. Ia merasa seperti ia sedang kehilangan dirinya sendiri. Ia merasa seperti ia adalah monster yang ia coba kejar.
Alex panik. Ia menelepon Eva, yang mencoba menenangkannya dan mengingatkannya bahwa ibunya memiliki masalah mental. Namun, Alex tidak bisa mengabaikan kata-kata ibunya. Ia merasa seperti ada kebenaran di balik semua itu.
Alex pulang ke kantornya dengan perasaan campur aduk. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tidak tahu siapa dirinya. Ia tidak tahu apakah ia adalah wartawan yang berjuang untuk kebenaran, atau apakah ia adalah monster yang ia coba kejar. Ia merasa seperti ia sedang jatuh ke dalam jurang yang gelap dan tak berujung. Dan ia tahu, ia sudah berada di sana, di dalam jurang itu. Hanya masalah waktu sebelum ia menyadarinya.
Tepat ketika Alex berpikir ia telah mencapai titik terendah, ia menemukan jurang lain yang lebih dalam. Kata-kata ibunya, "Dia bukan anakku, dia adalah monster," bergema di kepalanya. Setiap bisikan yang ia dengar, setiap mimpi yang ia alami, terasa seperti pengulangan dari ucapan itu. Ia mulai melihat dirinya dalam setiap cermin, bukan sebagai Alex, wartawan yang berdedikasi, melainkan sebagai bayangan gelap yang menakutkan, sosok yang ia kejar mati-matian.
Suatu sore, saat ia sedang mengumpulkan sisa-sisa kewarasannya di kantor, sebuah surel anonim masuk ke kotak masuknya. Tidak ada subjek, tidak ada pengirim, hanya sebuah tautan ke sebuah video. Jantung Alex berdegup kencang. Ia ragu sejenak, tapi rasa penasaran yang mematikan mengalahkan rasa takutnya. Dengan tangan bergetar, ia mengeklik tautan itu.
Video itu buram dan diambil dari sudut yang aneh, seperti kamera tersembunyi. Alex melihat seorang pria mengenakan topeng aneh, bergerak dengan lincah di sebuah ruangan yang gelap. Di altar, berbaring seorang wanita. Alex mengenali wanita itu. Ia adalah salah satu korban yang ia selidiki. Pria bertopeng itu melakukan ritual aneh, mengucapkan bisikan-bisikan yang terdengar familiar di telinga Alex. Pria itu menyentuh wanita itu dengan sebuah pisau. Wanita itu berteriak, suaranya parau, dan Alex merasakan sakit yang menusuk di dadanya.
Alex menekan tombol jeda. Ia melihat pria bertopeng itu dengan lebih detail. Ia melihat jaket yang dikenakan pria itu. Jaket itu memiliki sebuah logo kecil di lengan kirinya. Alex melihat jaketnya sendiri yang tergantung di belakang pintunya. Jaket itu memiliki logo yang sama. Bukan hanya itu, ia melihat sebuah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan pria bertopeng itu. Jam tangan itu memiliki goresan kecil di kaca, goresan yang sama yang ada di jam tangan Alex.
Alex tidak bisa bernapas. Ia tidak bisa percaya apa yang ia lihat. Ia memutar kembali video itu, mencoba menemukan bukti lain, tapi setiap detail mengarah kepadanya. Pria bertopeng itu adalah dia. Bisikan itu adalah suaranya. Ritual itu adalah kejahatannya. Alex merasakan mual yang luar biasa. Ia berlari ke kamar mandi, dan ia muntah. Ia muntah, bukan hanya karena mual, tapi juga karena rasa jijik yang luar biasa terhadap dirinya sendiri.
Alex tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tidak tahu siapa dirinya. Ia tidak tahu apakah ia adalah wartawan yang berjuang untuk kebenaran, atau apakah ia adalah monster yang ia coba kejar. Ia merasa seperti ia sedang jatuh ke dalam jurang yang gelap dan tak berujung.
Ia memutuskan untuk menunjukkan video itu kepada Eva. Ia harus. Ia harus menghadapi kebenaran, bahkan jika itu berarti ia harus kehilangan semua yang ia miliki. Ia menelepon Eva, dan Eva datang ke kantornya.
Eva melihat video itu dengan mata terbelalak. Ia menatap Alex, lalu ia berkata, "Alex, ini..."
Alex memotongnya, "Ini aku, Eva. Aku adalah pria bertopeng itu. Aku adalah monster yang kamu cari."
Eva menggelengkan kepalanya. "Tidak, Alex. Itu tidak mungkin."
"Itu mungkin, Eva," kata Alex. "Aku sudah melihatnya. Aku melihat diriku sendiri di dalam video itu."
Eva melihat video itu lagi, kali ini dengan mata yang lebih tajam. Ia melihat detail-detail kecil yang tidak ia lihat sebelumnya. Ia melihat jaket itu, jam tangan itu. Dan kemudian, ia mengeluarkan sebuah folder dari tasnya. Folder itu berisi laporan forensik. Eva membuka folder itu dan menunjukkannya kepada Alex.
"Aku menemukan ini di tempat kejadian perkara terakhir," kata Eva. "Ada sidik jari di sebuah gelas. Aku membandingkannya dengan sidik jarimu, dan mereka cocok."
Alex menatap laporan itu. Tangannya gemetar. Sidik jarinya ada di sana. Di tempat kejadian perkara. Di tempat di mana korban terakhir ditemukan. Alex merasa seperti ia sedang hancur berkeping-keping.
"Aku tidak melakukan ini," kata Alex, suaranya bergetar. "Aku tidak melakukannya. Aku tidak bisa."
"Lalu, bagaimana kamu menjelaskan ini?" tanya Eva, menunjuk ke laporan forensik.
Alex tidak bisa menjawab. Ia tidak bisa menjelaskan. Ia tidak bisa menjelaskan mengapa ia terus bangun dengan memar-memar di tubuhnya, ia tidak bisa menjelaskan mengapa ia terus mendengar bisikan-bisikan aneh, ia tidak bisa menjelaskan mengapa ia terus bermimpi tentang ritual-ritual yang mengerikan. Ia hanya bisa menatap Eva, matanya penuh dengan air mata.
"Aku... aku adalah korban," kata Alex, suaranya parau. "Aku adalah korban dari seseorang yang mencoba menjebakku."
Eva menatap Alex dengan sedih. Ia tidak tahu apakah ia harus percaya pada Alex. Ia tidak tahu apakah Alex benar-benar korban, atau apakah ia hanya menyangkal kebenaran yang mengerikan. Ia memutuskan untuk memberikan Alex satu kesempatan lagi.
"Dengarkan aku, Alex," kata Eva. "Aku akan membantumu. Tapi kamu harus jujur padaku. Kamu harus menceritakan semua yang kamu tahu."
Alex mengangguk. Ia tidak tahu apa lagi yang harus ia sembunyikan. Ia tidak tahu apa lagi yang bisa ia ceritakan. Ia hanya bisa berharap, bahwa dengan menceritakan semua hal yang ia alami, ia bisa menemukan kebenaran. Kebenaran yang akan membebaskannya dari sangkar yang ia buat sendiri.
Darah. Itu satu-satunya kata yang bisa Alex pikirkan saat ia menatap laporan forensik yang diberikan Eva. Bukan darah korban yang ia bayangkan, tapi darahnya sendiri yang seolah menodai setiap kata dalam dokumen itu. Sidik jari itu, bukti tak terbantahkan, terasa seperti belenggu yang mengikatnya pada sebuah kejahatan yang ia sendiri tidak ingat pernah melakukannya. Ia merasa dunianya runtuh, bukan dengan ledakan, melainkan dengan bisikan-bisikan yang tak henti-hentinya.
“Aku… aku adalah korban,” ia mengulangi, suaranya nyaris tak terdengar. Ia berharap Eva akan mempercayainya, bahwa sahabat lamanya itu bisa melihat kebingungan di matanya, bukan kegilaan.
Eva menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran antara simpati dan kecurigaan. “Alex, aku ingin percaya padamu. Tapi bukti ini… dan video itu… Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi padamu.”
Alex merasakan sakit kepala yang menusuk, lebih parah dari sebelumnya. Kilas balik yang terpotong-potong mulai muncul, bukan seperti mimpi, melainkan seperti adegan-adegan dari sebuah film horor yang diputar paksa di kepalanya. Ia melihat sebuah rumah, bukan rumahnya sekarang, tapi rumah masa kecilnya. Ia melihat ibunya, wajahnya pucat dan matanya penuh ketakutan. Ibunya berbisik, "Dia adalah monster... monster..."
Kilas balik itu melompat. Ia melihat dirinya, seorang anak kecil yang ketakutan, berdiri di atas ranjang. Ibunya mencoba mencekiknya. Cengkeraman tangan ibunya di lehernya begitu kuat, ia nyaris tak bisa bernapas. Ia panik, mendorong ibunya dengan sekuat tenaga. Ibunya terjatuh. Kepalanya terbentur. Dan kemudian, hanya ada keheningan. Keheningan yang menakutkan.
Alex tersentak dari ingatannya. Ia menggenggam kepalanya, seolah mencoba menahan potongan-potongan ingatan itu agar tidak tumpah keluar. Ia terengah-engah, matanya terbelalak.
“Aku… aku…,” ia tergagap.
“Alex, apa yang kamu lihat?” tanya Eva, mendekat dengan hati-hati.
“Aku… ibuku…,” Alex berbisik. “Aku mendorongnya. Aku tidak tahu apakah aku membunuhnya atau tidak… tapi aku mendorongnya.”
Eva memegang pundak Alex. “Alex, tenanglah. Ibumu tidak meninggal. Dia hanya... dirawat di rumah sakit.”
“Bukan, Eva. Dia memanggilku monster. Dia mencoba membunuhku.” Air mata mengalir di pipi Alex. “Aku adalah monster.”
Eva menggelengkan kepalanya. “Tidak, Alex. Ibumu sakit. Dia sakit mental. Dia tidak tahu apa yang dia katakan.”
“Tapi aku yang membuat dia sakit!” teriak Alex. “Aku melihatnya. Aku mendorongnya!”
Eva memeluk Alex, mencoba menenangkannya. “Itu masa lalu, Alex. Dan itu bukan salahmu. Dia sakit. Bukan salahmu.”
Alex tidak bisa menerima kata-kata Eva. Ia merasa seperti ada dua orang di dalam dirinya. Satu adalah wartawan yang berjuang untuk kebenaran, dan yang lainnya adalah monster yang membunuh. Ia tidak tahu mana yang nyata dan mana yang tidak.
Dalam pelukan Eva, Alex tiba-tiba teringat pita rekaman di kantornya. Bisikan-bisikan itu, yang ia pikir berasal dari radio, adalah bisikannya sendiri. Ia sekarang bisa mendengarnya dengan jelas, seperti sebuah rekaman ulang dari suara hatinya yang paling gelap.
“Sudah waktunya untuk bangun… waktunya untuk melanjutkan pekerjaan…”
Itu bukan bisikan dari radio. Itu bisikan dari dirinya sendiri, yang mengingatkannya pada setiap tindakan yang ia lakukan. Bisikan itu seperti buku harian dari kejahatannya, yang selama ini ia dengar tanpa menyadari maknanya.
Tiba-tiba, Alex mendorong Eva menjauh. Matanya penuh dengan rasa bersalah dan keputusasaan yang mendalam. “Aku harus menghentikan ini,” katanya dengan suara parau. “Aku harus menghentikan ini.”
“Menghentikan apa, Alex?” tanya Eva, bingung.
“Menghentikan diriku sendiri,” jawab Alex. “Aku tidak bisa melanjutkan ini. Aku tidak bisa menjadi monster.”
Ia menatap Eva dengan mata memohon. “Eva… tolong… tembak aku.”
Eva terkejut. “Alex, jangan bicara seperti itu!”
“Aku mohon,” kata Alex. “Aku tidak bisa hidup dengan semua ini. Aku tidak bisa hidup dengan monster di dalam diriku.”
Eva menggelengkan kepalanya. “Aku tidak akan melakukan apa yang kamu lakukan pada para korban. Aku tidak akan membunuh.”
Alex merasa putus asa. Ia tahu ia tidak bisa melarikan diri dari dirinya sendiri. Ia tahu ia harus menghadapi monster itu. Ia harus mengakhirinya. Ia harus menghentikan bisikan-bisikan itu.
Dalam keputusasaannya, Alex membuat keputusan yang mengejutkan. Ia tidak lagi peduli apakah ia akan ditangkap, apakah ia akan mati. Ia hanya ingin mengakhiri penderitaan ini. Ia berlari keluar dari kantornya, meninggalkan Eva yang bingung dan cemas.
Di bawah remang-remang lampu jalan Jakarta, Alex berjalan tanpa arah. Ia merasa seperti sedang melayang di antara kenyataan dan mimpi. Ia mendengar bisikan-bisikan itu semakin jelas, semakin mendesak. Bisikan yang menyuruhnya untuk kembali ke tempat asalnya. Bisikan yang menyuruhnya untuk kembali ke rumah sakit jiwa tua.
Alex tahu ia harus pergi ke sana. Ia harus menghadapi masa lalunya. Ia harus menghadapi ibunya. Dan ia harus mengakhiri semua ini, sekali dan untuk selamanya. Ia tidak tahu apa yang akan ia temukan di sana, tapi ia tahu, ia sudah tidak punya apa-apa lagi untuk ia sembunyikan. Dan ia tahu, ia sudah terlalu jauh untuk kembali.
Alex berjalan menyusuri jalanan kota yang basah. Hujan telah berhenti, tapi aroma tanah basah dan aspal yang dingin menyelimuti udara. Kepalanya terasa kosong, namun di saat yang sama, dipenuhi oleh suara. Bisikan-bisikan itu, yang dulu samar, kini terdengar jelas dan mendesak. Bukan lagi bisikan, melainkan perintah. Mereka menuntunnya kembali ke rumah sakit jiwa tua yang telah terbengkalai, tempat kenangan pahit ibunya terkunci.
Eva mencoba meneleponnya berulang kali, tapi Alex mengabaikan panggilan itu. Ia tahu ia harus pergi sendiri. Ia harus menghadapi monster itu di tempat kelahirannya. Ia tidak peduli jika itu berarti akhir dari dirinya. Ia hanya ingin kebenaran.
Rumah sakit itu tampak lebih menakutkan di malam hari. Bayangan pohon-pohon rindang tampak seperti tangan-tangan raksasa yang mencoba meraihnya. Jendela-jendela yang pecah menatapnya seperti mata-mata kosong. Alex melangkahkan kakinya ke dalam, dan ia merasakan udara dingin yang menusuk. Dinding-dinding yang ditumbuhi lumut dan aroma apak menguar di udara. Ia berjalan menyusuri koridor-koridor yang gelap, dan ia mendengar suara-suara aneh. Suara-suara tangisan, suara-suara bisikan. Bisikan yang memanggil namanya, bisikan yang menyuruhnya untuk terus berjalan.
Alex akhirnya sampai di ruang bawah tanah. Udara di sana lebih dingin, dan kegelapan terasa lebih pekat. Ia menyalakan senter di ponselnya, dan ia melihat sebuah altar ritual di tengah ruangan. Di atas altar, ada sebuah buku catatan kecil yang sudah lusuh. Buku catatan itu memiliki simbol-simbol aneh di sampulnya. Simbol-simbol yang sama dengan yang ia temukan di foto-foto polaroid.
Jantung Alex berdebar kencang. Ia tahu ia telah menemukan sesuatu yang penting. Ia mendekati altar itu, dan ia melihat sekeliling. Dinding-dinding di sekitarnya dipenuhi dengan gambar-gambar aneh. Gambar-gambar wanita yang diculik, gambar-gambar ritual, dan gambar-gambar dirinya yang mengenakan topeng. Semua gambar itu terlihat seperti sebuah buku harian yang dibuat oleh seorang pembunuh.
Alex mengambil buku catatan itu, dan ia membukanya. Di dalamnya, ia menemukan tulisan tangan yang ia kenal. Tulisan tangan itu adalah tulisan tangannya sendiri. Buku catatan itu berisi semua detail kasus yang ia "selidiki". Tanggal penculikan, nama korban, lokasi penemuan mayat, dan detail ritual yang ia lakukan. Semuanya ditulis tangan olehnya.
Alex tertegun. Ia tidak bisa bernapas. Ia tidak bisa bergerak. Ia hanya bisa menatap buku catatan itu. Ia menyadari bahwa ia tidak pernah menyelidiki kasus-kasus ini. Ia menciptakan mereka. Ia adalah sang Whisperer. Ia telah membunuh dan menculik semua wanita ini. Ia telah melakukannya selama bertahun-tahun, tapi ia tidak menyadarinya.
Ia melihat ke sudut ruangan, dan ia melihat sebuah cermin besar. Cermin itu kotor, berdebu, dan retak. Alex mendekat, dan ia menatap pantulannya di cermin. Ia melihat dirinya sendiri, wajahnya pucat, matanya cekung. Tapi di dalam pantulan itu, ia melihat bayangan lain. Bayangan pria bertopeng. Bayangan dirinya yang sedang berbisik. Bayangan dirinya yang sedang tertawa.
Alex merasakan campuran antara horor dan rasa lega. Ia akhirnya mengerti. Semua ingatannya, semua mimpinya, semua hal yang ia pikir adalah petunjuk, adalah kenangan yang tertekan. Kenangan tentang kejahatan yang ia lakukan. Ia tidak pernah dikejar oleh seorang pembunuh. Ia adalah pembunuhnya. Ia adalah monster yang ia cari.
Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Ia berbalik, dan ia melihat Eva. Eva menatapnya, matanya penuh dengan kekhawatiran.
"Alex... apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Eva, suaranya bergetar.
Alex hanya bisa menatap Eva, matanya penuh dengan air mata. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia tidak tahu bagaimana ia harus menjelaskan semua ini. Ia hanya bisa menunjuk ke buku catatan itu, dan ia berkata, "Ini... aku yang melakukannya. Aku adalah sang Whisperer."
Eva melihat buku catatan itu, dan ia melihat tulisan tangan Alex. Ia melihat gambar-gambar di dinding. Ia melihat altar ritual. Eva tidak bisa mempercayai matanya. Sahabatnya, pria yang ia percaya, adalah seorang psikopat.
"Alex... kenapa?" tanya Eva, suaranya parau.
Alex hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ia tidak tahu. Ia tidak tahu mengapa ia melakukannya. Ia tidak tahu mengapa ia menjadi monster. Ia hanya bisa menatap Eva, dan ia berkata, "Aku... aku tidak tahu lagi siapa aku."
Eva merasakan air mata mengalir di pipinya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Haruskah ia menangkap Alex? Haruskah ia memanggil bala bantuan? Atau haruskah ia membantunya? Eva melihat wajah Alex, dan ia melihat seorang pria yang putus asa, seorang pria yang telah kehilangan dirinya sendiri.
Alex menatap cermin lagi, dan ia melihat pantulannya. Ia melihat dirinya sebagai pria bertopeng, dan ia melihat dirinya sebagai Alex. Ia tidak tahu mana yang nyata. Ia tidak tahu siapa dirinya. Ia merasa seperti ia sedang terperangkap di antara dua dunia.
Eva mendekat, dan ia memeluk Alex. "Kamu adalah Alex," katanya, suaranya lembut. "Kamu adalah Alex."
Alex merasakan air mata mengalir di pipinya. Ia tidak tahu apakah Eva benar. Ia tidak tahu apakah ia benar-benar Alex. Ia hanya bisa membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan Eva, dan ia memejamkan matanya, berharap semua ini hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir.
Hembusan angin dingin dari jendela yang pecah menyapu wajah Alex, membangunkannya dari pelukan Eva. Ia membuka mata, dan hal pertama yang dilihatnya adalah pantulan dirinya di cermin besar yang retak. Wajahnya pucat, matanya cekung, dan di belakangnya, bayangan gelap seorang pria bertopeng tampak jelas. Pria itu mengangkat tangannya, seolah ingin menyentuh pantulan Alex. Alex refleks mengangkat tangannya sendiri, dan ia merasa ada sensasi aneh yang menjalar dari jari-jarinya. Itu bukan tangannya. Itu adalah tangan pria bertopeng.
Alex tersentak, menjauh dari cermin. Ia merasakan mual yang luar biasa. Ia tidak tahu siapa dirinya lagi. Apakah ia adalah Alex, wartawan yang berdedikasi? Atau apakah ia adalah monster, pria bertopeng yang bersembunyi di balik bayang-bayang? Ia merasa seperti ia sedang terperangkap di antara dua dunia, dan ia tidak tahu jalan mana yang harus ia ambil.
Eva berdiri di belakangnya, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran antara simpati dan ketakutan. Ia telah menelepon bala bantuan, dan ia tahu, sebentar lagi, semuanya akan berakhir. Ia tidak tahu apakah ia harus merasa lega atau sedih. Sahabatnya, pria yang ia kenal selama bertahun-tahun, adalah seorang pembunuh berantai.
"Alex… mereka akan datang," kata Eva, suaranya parau.
Alex menatap Eva, matanya penuh dengan air mata. "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan," katanya, suaranya bergetar. "Aku tidak tahu siapa aku."
Eva mendekat, dan ia mencoba memeluk Alex lagi. "Kamu adalah Alex," katanya, suaranya lembut. "Kamu adalah Alex. Kamu harus percaya padaku."
Alex tidak bisa percaya pada kata-kata Eva. Ia melihat buku catatan di atas altar, dan ia melihat tulisan tangannya sendiri, tulisan tangan seorang pembunuh. Ia melihat gambar-gambar di dinding, dan ia melihat gambar-gambar dirinya yang mengenakan topeng. Semua bukti mengarah kepadanya. Semua bukti mengatakan bahwa ia adalah monster.
Tiba-tiba, Alex mendengar suara sirene di kejauhan. Sirene itu semakin dekat, semakin keras. Ia tahu, sebentar lagi, ia akan ditangkap. Sebentar lagi, ia akan dibawa pergi. Sebentar lagi, semuanya akan berakhir. Tapi ia tidak merasa takut. Ia merasa lega. Lega karena semua ini akan segera berakhir. Lega karena ia tidak perlu lagi hidup dalam kebingungan.
Alex berbalik, dan ia melihat Eva. "Terima kasih," katanya, suaranya parau. "Terima kasih telah menjadi temanku."
Eva hanya bisa menangis. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia hanya bisa membiarkan air matanya mengalir.
Alex berjalan ke cermin lagi, dan ia menatap pantulannya. Ia melihat dirinya, dan ia melihat pria bertopeng. Ia mengangkat tangannya, dan ia menyentuh cermin. Cermin itu dingin, dan ia merasakan sensasi aneh. Ia merasa seperti ia sedang jatuh, jatuh ke dalam jurang yang gelap dan tak berujung.
Suara sirene semakin dekat. Cahaya lampu polisi menerangi jendela yang pecah. Eva mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Ia berbalik, dan ia melihat beberapa polisi. Mereka menodongkan senjata ke arah Alex.
"Jatuhkan tanganmu!" teriak salah satu polisi.
Alex hanya bisa menatap cermin. Ia tidak bisa mendengar suara-suara di sekitarnya. Ia hanya bisa mendengar bisikan-bisikan di dalam kepalanya. Bisikan-bisikan yang menyuruhnya untuk terus bersembunyi. Bisikan-bisikan yang menyuruhnya untuk terus berbohong.
Polisi mendekat, dan mereka mencoba menangkap Alex. Tapi Alex tidak bergerak. Ia hanya berdiri di depan cermin, menatap pantulannya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya. Ia tidak tahu apakah ia akan berakhir di penjara atau di rumah sakit jiwa. Ia hanya tahu, ia sudah tidak punya apa-apa lagi untuk ia sembunyikan. Dan ia tahu, ia sudah terlalu jauh untuk kembali.
Eva hanya bisa melihat, air matanya mengalir. Ia melihat sahabatnya, pria yang ia cintai, ditangkap. Ia melihat sahabatnya, pria yang ia percaya, menjadi monster. Ia tidak tahu apa yang harus ia rasakan. Ia hanya merasa kosong.
Polisi membawa Alex pergi. Eva berdiri di sana, di ruang bawah tanah yang gelap, dan ia menatap cermin yang retak. Ia melihat pantulan dirinya sendiri, dan ia melihat bayangan seorang wanita yang menangis. Wanita yang ia kenal. Wanita yang ia cintai. Dan di belakangnya, ia melihat bayangan pria bertopeng, yang sedang tersenyum.
Cerita berakhir dengan Eva yang memanggil bala bantuan, dan Alex yang menatap pantulannya di cermin. Apakah dia benar-benar Alex? Atau apakah dia adalah "The Whisperer" yang sekarang sudah sadar? Atau apakah semua ini hanya ilusi di dalam pikirannya? Ambigu.