Masukan nama pengguna
Bab 1 – Nada Terakhir Sang Maestro
Cahaya senja yang temaram menyusup melalui jendela kaca patri perpustakaan arsip kampus, memendar di antara rak-rak tinggi yang berjejer rapat, dipenuhi oleh tumpukan naskah dan partitur tua yang menguning. Elio, seorang mahasiswa musik dengan rambut ikal sebahu dan kacamata bertengger di hidungnya, menghela napas panjang, debu-debu halus menari-nari di udara seiring setiap embusan. Seharusnya ia sudah pulang, menikmati sisa sore yang damai di kafe langganannya, tapi rasa penasaran yang tak bisa dijelaskan menahannya. Ia telah menghabiskan hampir seluruh waktu luangnya di sini, menelusuri katalog-katalog usang dan risalah-risalah yang nyaris tak pernah disentuh.
Ketertarikannya muncul dari bisikan-bisikan samar di antara para dosen dan sesama mahasiswa tentang Amadeo Veltz, seorang pianis dan komposer eksentrik dari abad ke-19. Nama Veltz jarang disebut dalam silabus resmi, seolah ada upaya sistematis untuk menghapusnya dari sejarah musik. Konon, karya-karyanya terlalu 'gelap', terlalu 'mengganggu'. Elio, dengan sifatnya yang selalu tertarik pada hal-hal yang tidak biasa, merasa terpanggil untuk menyelidiki. Ia menemukan beberapa artikel lama yang menyebutkan Veltz sebagai seorang jenius yang brilian namun terasing, dengan komposisi yang seringkali menantang batas-batas harmoni konvensional, bahkan dituduh menggunakan ritus-ritus okultisme untuk mencapai inspirasi.
Pencariannya membawa Elio ke sebuah bagian terpencil di arsip, area yang jarang dikunjungi, tempat naskah-naskah yang dianggap 'bermasalah' atau 'tidak signifikan' disimpan. Debu tebal menyelimuti setiap permukaan, dan udara terasa dingin, seolah waktu berhenti di sudut ruangan itu. Setelah hampir putus asa, matanya menangkap sebuah kotak kayu berukir sederhana, nyaris tersembunyi di balik tumpukan risalah keagamaan kuno. Di atasnya, terukir dengan tulisan tangan kaligrafi yang anggun namun tampak terburu-buru: "A. Veltz - Koleksi Pribadi". Jantung Elio berdebar. Ini dia.
Dengan hati-hati, ia membuka kotak itu. Aroma kertas tua dan tinta yang memudar langsung menyeruak, memenuhi rongga hidungnya. Di dalamnya, tergeletak beberapa lembar partitur yang terikat longgar dengan pita satin yang telah lusuh. Bagian atas halaman pertama tertulis, "Lamenta Nocturna" – sebuah judul yang terdengar begitu melankolis dan menggoda. Di bawahnya, nama "Amadeo Veltz" tertulis dengan guratan tegas. Elio tahu, ini adalah lagu yang sering disebut-sebut dalam desas-desus, sebuah komposisi yang konon tidak pernah diselesaikan atau dipublikasikan, sebuah karya yang terlalu personal bahkan bagi Veltz sendiri. Partitur itu tampak tidak lengkap, beberapa bar terakhir kosong, seolah sang komposer tiba-tiba berhenti menulis di tengah jalan.
Elio segera membawa partitur itu ke ruang latihan piano di lantai dasar. Ruangan itu kosong dan hening, hanya ada gemuruh samar sistem pendingin udara yang beroperasi di kejauhan. Sebuah grand piano klasik, Yamaha C7 yang usianya sudah cukup tua namun masih terawat, berdiri megah di tengah ruangan, memantulkan cahaya redup dari lampu gantung. Elio meletakkan partitur di atas sandaran not, jari-jarinya menelusuri tuts-tuts yang dingin, merasakan getaran antisipasi yang aneh.
Melodi "Lamenta Nocturna" dimulai dengan akor minor yang mendalam, perlahan dan merayap, seolah meniru hembusan angin di tengah malam. Setiap nada yang dimainkan Elio terasa seperti bisikan dari masa lalu, membawa nuansa kesedihan yang mendalam dan kegelapan yang menakutkan. Harmoni yang disajikan unik, tidak sepenuhnya disonan, namun menghasilkan ketegangan yang membuat bulu kuduk merinding. Ada bagian-bagian yang terdengar seperti tangisan yang tertahan, kemudian beralih ke deru badai yang mengamuk, lalu kembali mereda menjadi keheningan yang mencekam. Meskipun partitur itu tidak lengkap, Elio mampu mengimprovisasi bagian akhir dengan keahliannya, membiarkan emosinya membimbing jari-jarinya. Ketika nada terakhir memudar di udara, ruangan itu terasa lebih berat, seolah sesuatu telah terbangun.
Malam itu, Elio pulang ke apartemennya dengan perasaan campur aduk. Ada kepuasan karena telah menemukan sebuah karya yang langka, namun juga ada kegelisahan yang menggerogoti. Tidurnya tidak nyenyak. Sejak malam itu, ia mulai mengalami mimpi buruk berulang.
Mimpi itu selalu sama, namun setiap kali terasa lebih nyata, lebih mencekam. Ia berada di sebuah aula konser yang megah dan kuno, dihiasi dengan ukiran-ukiran rumit dan cahaya lilin yang berkelip. Di atas panggung, sebuah grand piano hitam legam berdiri sendiri. Elio tahu, ia sedang duduk di bangku pemain, tetapi ia tidak bisa mengendalikan jari-jarinya. Mereka menari di atas tuts, memainkan "Lamenta Nocturna" dengan kesempurnaan yang menakutkan.
Yang paling mengerikan adalah para penonton. Barisan kursi diisi penuh, namun setiap sosok yang duduk di sana adalah siluet gelap tanpa wajah, tanpa fitur. Mereka adalah tubuh-tubuh kosong, seolah jiwa mereka telah lenyap. Saat musik mencapai crescendo, siluet-siluet itu mulai bergerak. Mereka tidak bertepuk tangan, tidak bersuara, tetapi kepala mereka — atau lebih tepatnya, tempat seharusnya kepala mereka berada — mulai berguncang pelan, mengikuti irama lagu. Kemudian, satu per satu, 'kepala' itu mulai jatuh, bergulir di lantai panggung dengan suara gema yang menyeramkan. Darah hitam pekat mengalir dari leher-leher yang terputus, membentuk genangan di bawah panggung.
Elio terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhnya berlumuran keringat dingin. Jam menunjukkan pukul 3 pagi. Jendela kamarnya terbuka, dan angin malam masuk, membawa serta bisikan samar yang entah mengapa terdengar seperti melodi "Lamenta Nocturna" yang dimainkan dari kejauhan. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya mimpi, efek dari kelelahan dan imajinasi yang terlalu aktif. Namun, setiap kali ia memejamkan mata, bayangan aula konser tanpa kepala itu kembali menghantuinya. Ia mulai merasa, ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan dalam penemuan partitur itu. Nada-nada yang ia mainkan seolah membuka sebuah pintu, dan kini, sesuatu telah melangkah masuk.
Bab 2 – Simfoni Kematian
Mimpi buruk Elio tidak mereda. Setiap malam, ia kembali ke aula konser yang menakutkan itu, menyaksikan deretan penonton tanpa kepala yang semakin mengerikan. Rasa kantuk dan lelah mulai menggerogoti konsentrasinya di kampus. Pikirannya terus dihantui melodi "Lamenta Nocturna", seolah lagu itu telah mengukir dirinya ke dalam setiap serat otaknya.
Keesokan harinya, saat Elio berjalan gontai di koridor kampus, Clara, sahabatnya yang enerjik dan selalu ceria, menyambutnya dengan senyum lebar. Rambut merahnya berayun-ayun seiring langkah cepatnya. Clara adalah mahasiswa produksi musik yang berbakat, selalu membawa perekam digital kecil dan kamera kemanapun ia pergi, siap menangkap setiap momen yang ia anggap berharga.
"Eli, kamu kenapa? Matamu sembembam begitu," sapa Clara, nadanya penuh perhatian. "Seperti tidak tidur seminggu."
Elio hanya menghela napas. "Mimpi buruk, Cla. Mimpi yang sama, terus-menerus." Ia ragu sejenak, lalu memutuskan untuk berbagi bebannya. "Sejak aku memainkan lagu Veltz itu... 'Lamenta Nocturna'."
Mata Clara berbinar. "Oh, partitur yang kamu temukan di arsip itu? Yang kamu bilang misterius?" Ia adalah salah satu dari sedikit orang yang Elio ceritakan tentang penemuannya. "Astaga, aku lupa! Aku kan sudah bilang mau merekamnya. Aku penasaran sekali, Eli. Kamu bilang melodi itu sangat unik, bahkan menakutkan."
Elio mencoba menolak. "Jangan, Cla. Aku rasa ada yang tidak beres dengan lagu itu. Aku tidak ingin kamu terlibat." Ia ingat mimpi-mimpinya, darah hitam, kepala-kepala yang berguling. Ada firasat buruk yang mencengkeramnya.
Namun, Clara, dengan sifatnya yang keras kepala dan rasa ingin tahu yang besar, tidak gentar. "Ayolah, Eli. Kamu ini kenapa? Aku hanya ingin mendokumentasikan. Siapa tahu ini bisa jadi proyek keren untuk tugasku. Lagipula, apalagi yang bisa dilakukan sebuah lagu?" Ia tersenyum meyakinkan, meremehkan kekhawatiran Elio. "Anggap saja ini sebagai bagian dari terapi kejut untuk mengusir mimpi burukmu. Kita rekam, kita dengarkan, lalu kita buktikan kalau itu hanya sekadar lagu."
Akhirnya, Elio menyerah. Ia tahu tidak ada gunanya berdebat dengan Clara jika ia sudah mengambil keputusan. Malam itu, mereka kembali ke ruang piano di kampus. Elio duduk di bangku, merasakan tatapan Clara yang penuh semangat di belakangnya. Clara mengatur perekam digitalnya, memastikan semua pengaturan sudah tepat.
"Oke, Eli. Kapan saja kamu siap," kata Clara, mengacungkan jempol.
Elio menarik napas dalam-dalam, mencoba mengenyahkan firasat buruknya. Jari-jarinya menari di atas tuts, dan melodi "Lamenta Nocturna" kembali mengalun, memenuhi ruangan. Kali ini, setiap nada terasa lebih berat, lebih menyeramkan. Elio berusaha memainkannya seakurat mungkin dengan partitur yang ia temukan, mencoba menghidupkan kembali emosi yang terkandung di dalamnya. Clara merekam setiap detik dengan cermat, sesekali mengangguk-angguk, terpesona oleh melodi yang aneh namun memikat itu.
Ketika lagu itu selesai, keheningan menyelimuti ruangan, lebih pekat dari sebelumnya. Clara segera menghentikan rekaman. "Wow, Eli. Itu... luar biasa. Serius. Aku tidak pernah mendengar komposisi seperti itu. Benar-benar unik. Ada sesuatu yang sangat... gelap, tapi juga indah." Ia tampak bersemangat, sama sekali tidak menyadari aura mencekam yang dirasakan Elio. "Aku harus segera mengedit ini. Mungkin aku bisa menambahkan beberapa efek suara."
Elio hanya mengangguk, hatinya masih dipenuhi kegelisahan. Ia melihat Clara menyimpan perekamnya, wajahnya berseri-seri. "Hati-hati di jalan, Cla," ucapnya, entah kenapa, lebih serius dari biasanya.
"Pasti! Sampai besok, Eli!" Clara melambaikan tangan, kemudian bergegas pergi, meninggalkan Elio sendirian di ruangan yang terasa semakin dingin.
Dalam waktu 24 jam setelah mendengar rekaman itu, Clara mengalami kecelakaan mobil yang fatal.
Keesokan paginya, Elio dibangunkan oleh dering telepon yang panik dari temannya yang lain. Kabar itu menghantamnya seperti palu godam. Clara tewas. Mobilnya menabrak pembatas jalan di jalan tol, remuk tak berbentuk.
Elio bergegas ke lokasi kejadian, meskipun polisi sudah membatasi area itu. Ia melihat sisa-sisa mobil Clara, ringsek dan hangus. Hatinya mencelos. Rasa bersalah yang menusuk langsung menyerbu. Dia tahu. Jauh di lubuk hatinya, ia tahu ini ada hubungannya dengan lagu itu.
Polisi menyelidiki kasus ini dengan cermat. Mereka memeriksa rekaman CCTV, melakukan analisis forensik pada puing-puing mobil, dan mewawancarai saksi mata. Hasilnya membingungkan dan membuat mereka frustrasi. Tidak ada jejak pengereman. Tidak ada indikasi kegagalan teknis pada mobil. Ban dalam kondisi baik, mesin tidak menunjukkan tanda-tanda malfungsi. Bahkan tidak ada kendaraan lain yang terlibat. Clara hanya melaju lurus di jalan yang lengang, lalu tiba-tiba mobilnya berbelok tajam ke kiri dan menghantam pembatas dengan kecepatan tinggi. Seolah-olah Clara dengan sengaja membanting setir, namun tidak ada tanda-tanda upaya bunuh diri atau mengantuk. Laporan akhir menyatakan penyebabnya "tidak diketahui" atau "kecelakaan tunggal tanpa sebab jelas".
Bagi Elio, itu bukan kecelakaan. Itu adalah kutukan. Melodi yang dimainkan, mimpi buruk yang ia alami, kini telah merenggut nyawa orang yang ia sayangi. Rasa takut yang murni dan dingin mencengkeramnya. Ia segera teringat partitur "Lamenta Nocturna" yang masih tergeletak di meja belajarnya. Ia harus menghancurkannya. Ia harus menghentikan ini.
Dengan tangan gemetar, Elio mengambil partitur itu. Kertas yang menguning terasa dingin di tangannya, seolah ada aura kematian yang melekat padanya. Ia membawa partitur itu ke dapur, menyalakan kompor gas, dan tanpa ragu, ia membakar sudut lembaran pertama. Api menjalar perlahan, melahap kertas. Ia merasakan sedikit kelegaan saat melihat partitur itu berubah menjadi abu. Ia bahkan membakar partitur yang ia salin untuk latihan. Ia ingin memastikan tidak ada satu pun jejak lagu terkutuk itu yang tersisa.
Ia membersihkan abunya, meyakinkan dirinya bahwa segalanya sudah berakhir. Malam itu, Elio tidur dengan sedikit lebih tenang, meskipun bayangan Clara terus menghantuinya. Ia berharap mimpi buruk itu tidak akan datang lagi.
Namun, ketika matahari pagi mulai menyusup melalui celah gorden, Elio terbangun dengan kaget. Bukan oleh mimpi buruk, melainkan oleh sesuatu yang jauh lebih mengerikan. Di atas meja tidurnya, tepat di samping lampu baca yang selalu ia nyalakan, tergeletak setumpuk kertas yang akrab. Jantungnya berdegup kencang saat matanya menangkap tulisan tangan kaligrafi di halaman paling atas: "Lamenta Nocturna."
Salinan partitur yang ia bakar semalam, entah bagaimana, telah kembali. Terlihat baru, tidak ada sedikit pun bekas hangus atau kerutan. Seolah-olah tidak pernah disentuh api. Elio menggosok matanya, tidak percaya. Ia membalik-balik lembaran itu, memeriksa setiap detail. Semuanya sama.
Kepanikan menyelimuti Elio. Keringat dingin membasahi dahinya. Ia mencoba berpikir logis, mencari penjelasan. Apakah ia lupa membakar salinan ini? Tidak mungkin. Ia sangat yakin telah menghancurkan semuanya. Atau adakah seseorang yang dengan sengaja meletakkannya di sana? Tapi siapa? Dan bagaimana?
Ia merasa seolah ada tangan tak kasat mata yang menjulur dari bayang-bayang, memegang kendali atas hidupnya. Lagu itu, "Lamenta Nocturna," bukanlah sekadar kumpulan nada. Ia memiliki kekuatan, kekuatan yang menolak untuk dihancurkan, kekuatan yang membawa kematian. Kutukan itu belum berhenti, dan Elio tahu, ia terjebak di dalamnya. Lagu itu tidak hanya kembali; ia seolah tersenyum sinis padanya, menggodanya untuk memainkannya lagi, mengingatkannya bahwa ia belum selesai. Dan kini, Elio tidak hanya takut pada lagu itu, ia juga takut pada dirinya sendiri, pada keterkaitannya yang tak bisa diputuskan dengan melodi kematian itu.
Bab 3 – Legenda Sang Pianis Gila
Kembalinya partitur "Lamenta Nocturna" ke meja tidurnya menghantam Elio lebih keras daripada pukulan fisik manapun. Ia merasa terjebak, seperti ada benang tak terlihat yang melilit dirinya dan lagu terkutuk itu. Rasa bersalah atas kematian Clara semakin menggerogoti jiwanya, bercampur dengan ketakutan yang dingin dan meresap. Ia tahu, ia harus mencari tahu lebih banyak. Ini bukan sekadar kecelakaan atau kebetulan. Ini adalah kutukan.
Dengan tekad bulat, Elio memutuskan untuk menelusuri setiap jejak yang pernah ditinggalkan Amadeo Veltz. Ia tidak bisa lagi mengabaikan keanehan-keanehan yang terjadi. Perpustakaan kampus, yang tadinya hanya tempat untuk mencari bahan tugas, kini menjadi medan pertempuran pribadi Elio melawan kegelapan yang mulai merayapi hidupnya. Ia menghabiskan berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, mengubur dirinya di antara buku-buku usang, risalah-risalah yang nyaris hancur, dan koran-koran lama yang berbau apek. Ia mencari apa pun yang berhubungan dengan Veltz, menelusuri indeks-indeks yang jarang dibuka, bahkan menyisir arsip digital yang jarang diperbarui.
Sejarah resmi mencatat Veltz sebagai seorang pianis virtuoso dan komposer jenius dari era Romantik akhir. Namun, di balik catatan-catatan formal itu, Elio menemukan bisikan-bisikan, desas-desus, dan anekdot yang jauh lebih gelap. Veltz digambarkan sebagai seorang pria yang selalu menyendiri, tatapannya seringkali kosong namun penuh intensitas, dan perilakunya semakin eksentrik seiring berjalannya waktu. Ia jarang terlihat di acara-acara sosial, dan ketika ia tampil, ada aura suram yang selalu menyelimutinya.
Elio menemukan artikel-artikel lama dari surat kabar kecil yang tidak terkenal, serta memoar-memoar pribadi yang tidak pernah dipublikasikan, yang menggemakan teori yang lebih mengerikan. Banyak di antara mereka yang percaya bahwa obsesi Veltz untuk menciptakan "komposisi terindah sekaligus tergelap" telah membawanya ke jalan yang berbahaya. Ada yang menyebutkan Veltz melakukan perjalanan ke pelosok Eropa Timur, mencari pengetahuan kuno dari para okultis dan alkemis. Yang lain berspekulasi bahwa ia menghadiri ritual-ritual terlarang di bawah tanah, mencari kekuatan di luar pemahaman manusia.
Salah satu dokumen yang paling membuat Elio merinding adalah surat pribadi seorang kolega Veltz, yang menulis tentang perubahan drastis pada sang pianis. "Veltz berbicara tentang 'Simfoni Iblis', tentang 'nada-nada yang membangkitkan kebenaran paling gelap dalam jiwa manusia'," tulis kolega itu. "Ia seperti kerasukan. Matanya menyala dengan cahaya yang bukan miliknya. Aku takut, sungguh, bahwa ia telah membuat kontrak dengan kekuatan supranatural." Frasa "kontrak dengan kekuatan supranatural" berulang kali muncul dalam berbagai sumber, mengindikasikan bahwa Veltz telah menukarkan sesuatu yang berharga—mungkin jiwanya sendiri—demi inspirasi yang ia dambakan.
Namun, bagian paling mengerikan dari penelitian Elio adalah apa yang ia temukan tentang konser terakhir Veltz. Berita resmi mencatatnya sebagai "konser perpisahan yang megah dan menyentuh". Namun, di antara baris-baris berita itu, Elio menemukan catatan-catatan samar tentang insiden yang disensor ketat. Dalam sebuah jurnal pribadi seorang dokter yang hadir di konser itu, yang ditemukan Elio di sebuah rak tersembunyi, ada detail yang mengerikan.
Konser terakhir Veltz pada tahun 1883 adalah sebuah acara yang sangat dinantikan di sebuah teater megah di Wina. Aula penuh sesak oleh para bangsawan, kritikus musik, dan penggemar. Veltz tampil dengan performa yang luar biasa, memukau semua orang dengan keahliannya. Ia memainkan beberapa komposisi terkenalnya, sebelum akhirnya mengumumkan sebuah karya baru yang belum pernah dimainkan di depan umum: "Lamenta Nocturna."
Dokter itu menuliskan kesaksiannya dengan detail yang mengerikan. Pada awalnya, lagu itu memikat, seperti yang Elio rasakan. Namun, seiring melodi berkembang, suasana di aula berubah. Penonton yang tadinya terpukau, mulai menunjukkan tanda-tanda kegelisahan. Beberapa di antaranya tampak gelisah, menggaruk-garuk tangan atau leher mereka. Yang lain memegangi kepala mereka, seolah diserang oleh sakit kepala hebat. Mata mereka mulai kosong, tidak fokus, dan beberapa mulai menangis tanpa suara.
Dokter itu, yang duduk di barisan depan, awalnya mengira itu adalah efek dari emosi yang terlalu kuat akibat musik. Namun, ia segera menyadari bahwa ada sesuatu yang jauh lebih gelap yang terjadi. Penonton mulai berteriak, bukan karena kesakitan, tetapi karena semacam ekstase yang mengerikan. Kemudian, satu per satu, mereka mulai melakukan tindakan bunuh diri. Beberapa melompat dari balkon, yang lain mengeluarkan pisau kecil atau benda tajam dari saku mereka, dan ada pula yang mencekik diri sendiri.
"Ini bukan histeria massa biasa," tulis dokter itu dengan huruf yang nyaris tak terbaca, seolah tangannya gemetar saat menulis. "Ada kekuatan yang memanipulasi mereka, sebuah melodi yang memerintahkan kematian." Total 13 penonton tewas dalam bunuh diri massal pada malam itu. Angka 13, angka yang selalu dikaitkan dengan nasib buruk dan kekuatan gaib, membuat bulu kuduk Elio merinding.
Berita mengerikan itu, tentu saja, dikubur dalam sejarah karena tekanan dari kerajaan Eropa. Skandal semacam itu akan menghancurkan reputasi seni dan budaya di era tersebut. Media-media terkemuka dipaksa untuk mengubah narasi, melaporkan "kerusuhan mendadak" atau "tragedi tak terduga" tanpa menyebutkan detail mengerikan tentang bunuh diri massal. Catatan resmi teater dibakar, dan semua saksi mata utama diancam agar bungkam. Veltz sendiri menghilang setelah kejadian itu, tidak pernah terlihat lagi. Beberapa sumber mengatakan ia bunuh diri, yang lain berspekulasi ia diculik atau melarikan diri ke tempat terpencil.
Jurnal dokter itu juga menyebutkan spekulasi bahwa "Lamenta Nocturna" dianggap sebagai pemicunya. Bukan hanya sekadar musik, tetapi sebuah "kunci" yang membuka gerbang ke kegilaan dan kematian. Elio membaca ulang bagian itu berulang kali, kata-katanya berputar-putar di kepalanya: kekuatan yang memanipulasi mereka, sebuah melodi yang memerintahkan kematian.
Ini menjelaskan mengapa Clara tewas tanpa sebab yang jelas. Ini menjelaskan mengapa partitur itu terus muncul kembali. Lagu itu bukan hanya musik yang indah; itu adalah sebuah entitas, sebuah kutukan, yang mencari korban. Elio menyadari bahwa ia tidak hanya berhadapan dengan sebuah komposisi musik, tetapi dengan warisan gelap seorang pria yang telah membuat kesepakatan dengan iblis. Dan ia, Elio, telah menjadi pemain berikutnya dalam simfoni kematian ini.
Saat ia menutup jurnal tua itu, debu-debu kuno beterbangan di udara, seolah menghembuskan napas dari abad yang telah lama berlalu. Elio menatap partitur "Lamenta Nocturna" yang kini kembali tergeletak di tasnya, seolah mengejeknya. Ia tahu ia tidak bisa hanya membakarnya lagi. Lagu itu tidak akan membiarkan dirinya dihancurkan. Ia harus menemukan cara lain untuk menghentikan kutukan ini, sebelum ia sendiri menjadi salah satu penonton tanpa kepala di mimpi buruknya, atau lebih buruk lagi, menjadi bagian dari simfoni kematian yang terus mencari korban baru. Beban itu, berat dan dingin, kini bertengger di pundaknya.
Bab 4 – Lagu yang Tak Pernah Dimasukkan
Penemuan Elio tentang sejarah kelam "Lamenta Nocturna" dan insiden bunuh diri massal di konser terakhir Veltz mengukuhkan keyakinannya: lagu itu adalah sebuah entitas hidup, pembawa kutukan yang menolak untuk mati. Setiap salinan partitur yang kembali muncul ke meja tidurnya adalah bisikan dingin dari masa lalu, peringatan bahwa lagu itu belum selesai dengan dirinya. Ketakutan Elio kini bukan lagi sekadar paranoia mahasiswa; itu adalah kebenaran yang mengerikan. Ia tahu ia harus menemukan cara untuk menghentikan lagu itu, tapi bagaimana?
Di tengah kepanikannya, sebuah berita tak terduga mulai menyebar di kalangan komunitas musik indie dan kolektor. Sebuah label rekaman kecil di London, yang dikenal karena merilis kembali karya-karya klasik langka, mengumumkan proyek ambisius: mereka akan merilis ulang koleksi lengkap karya-karya Amadeo Veltz dalam bentuk CD edisi terbatas untuk para kolektor. Proyek ini dipimpin oleh seorang produser musik indie bernama Martha, yang dikenal karena kepekaannya terhadap musik klasik yang terlupakan dan kemampuannya menemukan bakat-bakat baru.
Martha, seorang wanita paruh baya dengan rambut pirang ikal dan kacamata tebal, telah menghabiskan bertahun-tahun meneliti arsip-arsip musik kuno. Ia terpesona oleh kejeniusan Veltz, meskipun ia juga mengakui adanya 'kegelapan' dalam komposisi sang maestro. Namun, ia tidak pernah menemukan partitur "Lamenta Nocturna" yang lengkap. Ia hanya menemukan fragmen-fragmen dan desas-desus. Oleh karena itu, ia memutuskan bahwa lagu itu tidak akan dimasukkan dalam koleksi resminya, menganggapnya tidak lengkap dan mungkin terlalu kontroversial untuk dirilis secara komersial.
Produksi CD berjalan lancar pada awalnya. Martha dan timnya bekerja keras, memastikan setiap komposisi Veltz diremaster dengan sempurna. CD-CD itu dicetak, dikemas, dan siap didistribusikan ke seluruh dunia. Namun, keanehan dimulai bahkan sebelum CD itu mencapai toko.
Seorang teknisi di pabrik replikasi CD menelepon Martha dengan nada panik. "Nona Martha, ada masalah aneh. Saya sudah memeriksa master file berulang kali, tapi setiap kali kami mencetak batch baru, ada track tambahan yang muncul. Sebuah melodi piano yang tidak ada di daftar tracklist."
Martha bingung. "Itu tidak mungkin. Kami sudah finalisasi tracklist. Pastikan tidak ada file tersembunyi atau ghost track yang tertinggal."
Namun, teknisi itu bersikeras. "Tidak ada, Nona! Saya sudah menghapus semua data, bahkan mencuci master disc kami. Tapi setiap CD yang diproduksi, tetap menyisipkan lagu itu secara misterius dalam track tersembunyi." Ia bahkan mengirimkan rekaman track tersembunyi itu. Saat Martha mendengarkannya, jantungnya mencelos. Itu adalah "Lamenta Nocturna," melodi yang ia kenal dari risetnya, melodi yang ia putuskan untuk tidak dirilis.
Fenomena ini tidak berhenti di sana. Ketika CD-CD itu akhirnya sampai di tangan para kolektor dan kritikus musik, laporan serupa mulai bermunculan. Banyak yang melaporkan menemukan track tersembunyi, sebuah komposisi piano yang aneh dan menghantui yang tidak tercantum dalam daftar. Awalnya, mereka mengira itu adalah bagian dari promosi gimmick atau sebuah easter egg yang disengaja.
Namun, keanehan ini segera meluas ke platform digital. Label rekaman besar yang bekerja sama dengan Martha untuk distribusi streaming digital juga mengalami hal serupa. Mereka telah mengunggah semua karya Veltz ke server mereka, tapi tiba-tiba, tanpa input dari server atau manusia, bahkan streaming digital dari label ternama tiba-tiba memainkan lagu itu sendiri tanpa input dari server. Pengguna melaporkan bahwa saat mereka sedang mendengarkan daftar putar karya Veltz, tiba-tiba "Lamenta Nocturna" akan menginterupsi, mengalun tanpa diminta.
Fenomena ini dengan cepat menjadi viral. Orang-orang di seluruh dunia mulai membicarakannya. "Lagu Hantu Veltz," "Melodi Tersembunyi," "Lagu yang Tak Pernah Dimasukkan" – berbagai julukan diberikan pada fenomena ini. Banyak yang menganggapnya sebagai urban legend modern, sebuah kisah misteri yang menarik untuk dibagikan di media sosial dan forum daring. Para influencer musik dan podcaster beramai-ramai membahasnya, memutarkan rekaman track tersembunyi itu untuk jutaan pendengar mereka.
Namun, di balik kegembiraan dan rasa ingin tahu yang meluas, muncul laporan-laporan yang mengganggu. Pendengar yang mendengarkan "Lamenta Nocturna" berulang kali, atau bahkan hanya sekali, mulai mengalami gejala aneh. Beberapa di antaranya melaporkan telinga berdarah secara tiba-tiba, tanpa rasa sakit atau cedera fisik lainnya. Yang lain mengalami hilang kesadaran, jatuh pingsan di tengah aktivitas mereka, hanya untuk terbangun tanpa ingatan tentang apa yang terjadi. Dan yang paling mengerikan, banyak yang ditemukan dalam kondisi tak wajar — bahkan mati.
Seorang mahasiswi di Tokyo ditemukan tewas di kamarnya, headphone masih terpasang di telinganya, dengan tablet yang memutar "Lamenta Nocturna" diulang-ulang. Wajahnya pucat pasi, dan ada sedikit darah mengering di lubang telinganya. Di sebuah kota kecil di Amerika Serikat, seorang kolektor musik tua ditemukan tewas di sofa, dikelilingi oleh tumpukan CD Veltz, salah satunya memainkan track tersembunyi itu. Dokter forensik tidak dapat menemukan penyebab kematian yang jelas. Mereka semua adalah orang-orang yang telah terpapar melodi terkutuk itu.
Elio, yang mengikuti berita-berita ini dengan ngeri, merasa semua potongan teka-teki itu bersatu. Ia tahu, dari pengalamannya sendiri, dan dari sejarah kelam Veltz. Ini bukan sekadar urban legend. Ini adalah kutukan yang menyebar, menemukan jalan ke setiap telinga yang terbuka, mengklaim korban baru dengan setiap nada yang dimainkan. Lagu itu memiliki kehendaknya sendiri, dan ia menggunakan teknologi modern untuk menyebarkan dirinya lebih cepat dan lebih luas dari yang pernah bisa dibayangkan Veltz.
Martha, awalnya skeptis, mulai merasa cemas. Laporan-laporan korban jiwa semakin banyak, dan meskipun tidak ada bukti langsung yang menghubungkan kematian itu dengan lagu, pola yang berulang sangat mengkhawatirkan. Ia mulai menarik CD-CD dari peredaran dan menghapus track tersembunyi dari server streaming. Namun, hal itu sia-sia. Bahkan setelah dihapus, lagu itu akan muncul lagi. Seolah-olah "Lamenta Nocturna" telah mengambil bentuk digitalnya sendiri, sebuah virus musik yang tak terhentikan.
Elio merasa kedinginan sampai ke tulang. Lagu itu telah lepas kendali, menyebar seperti wabah, dan ia adalah salah satu orang yang pertama kali membukanya. Ia tahu ia tidak bisa hanya menonton. Ia harus menemukan cara untuk menghentikan Simfoni Kematian yang kini mengalun di seluruh dunia. Pertanyaannya bukan lagi 'mengapa', melainkan 'bagaimana' ia bisa menghentikan sesuatu yang tampaknya hidup dan tak terkalahkan.
Bab 5 – Kutukan yang Menular
Kabar tentang "Lagu Hantu Veltz" yang menyebabkan berbagai insiden aneh, mulai dari mimisan hingga kematian misterius, menyebar seperti api. Media massa utama, yang awalnya mengabaikan cerita itu sebagai bualan internet, akhirnya tidak bisa lagi membendung gelombang laporan dan spekulasi yang membanjiri. Polisi di berbagai negara mulai mengaitkan kematian-kematian tak wajar dengan paparan lagu tersebut, meskipun mereka kesulitan mencari bukti langsung yang konklusif.
Tekanan publik meningkat. Para orang tua yang anaknya mendadak pingsan setelah mendengarkan lagu itu, pasangan yang kehilangan anggota keluarga tanpa sebab jelas, semua menuntut penjelasan. Para ahli kesehatan mental mengeluarkan peringatan, mengaitkan lagu itu dengan potensi efek psikologis yang merusak, meskipun mereka tidak bisa menjelaskan mengapa. Akhirnya, stasiun-stasiun radio dan platform streaming musik besar di seluruh dunia mengambil langkah drastis. Radio-radio mulai melarang lagu itu dari siaran mereka, menghapus semua file "Lamenta Nocturna" dari database mereka, dan mengeluarkan peringatan keras kepada pendengar agar tidak mencari atau memutar lagu tersebut.
Namun, kejadian aneh terus berlanjut. Pelarangan itu seolah hanya memicu kekuatan lagu itu untuk menemukan cara baru dalam menyebarkan dirinya. Laporan-laporan ganjil mulai berdatangan dari berbagai penjuru. Di sebuah stasiun radio berita di New York, saat siaran langsung tentang krisis politik global, tiba-tiba suara piano yang dingin dan melankolis menginterupsi, mengalun lembut di tengah-tengah laporan wartawan. Panik, teknisi segera memutus siaran, namun audio feed mereka menunjukkan bahwa tidak ada file atau sumber eksternal yang memutar lagu itu. Lagu tersebut muncul di siaran langsung, bahkan dari sumber audio yang mati. Seolah-olah "Lamenta Nocturna" memiliki kemampuan untuk menembus jaringan audio secara spontan.
Sebuah kasus lain terjadi di sebuah bioskop di London. Saat pemutaran film horor, suara piano yang mengganggu itu tiba-tiba mengalun dari speaker bioskop, membuat penonton menjerit ketakutan. Staf bioskop bersumpah tidak ada yang memutar musik lain. Kejadian serupa terjadi di rumah-rumah, di mana speaker pintar seperti Alexa atau Google Home tiba-tiba memutar "Lamenta Nocturna" tanpa perintah. Bahkan, ada yang melaporkan mendengarnya dari speaker mobil yang tidak terhubung ke sumber audio apapun, atau dari telepon yang sudah dimatikan.
Fenomena ini menarik perhatian Dr. Julian Vance, seorang pakar audio dan frekuensi terkemuka dari Universitas Oxford. Dr. Vance adalah seorang ilmuwan yang skeptis, percaya bahwa setiap fenomena pasti memiliki penjelasan ilmiah. Namun, laporan-laporan yang terus-menerus dan aneh tentang "Lamenta Nocturna" membuatnya penasaran. Ia mulai mengumpulkan berbagai rekaman lagu itu dari sumber-sumber yang berbeda—CD yang ditemukan, rekaman streaming ilegal, bahkan capture dari siaran langsung yang terinterupsi.
Dengan peralatan canggih di laboratoriumnya, Dr. Julian menyelidiki spektrum suara lagu itu. Ia menjalankan analisis frekuensi yang mendalam, mencari pola atau anomali yang mungkin tersembunyi di balik melodi yang terdengar indah namun menghantui. Apa yang ia temukan membuat tulang punggungnya merinding.
"Ini... ini tidak mungkin," gumam Dr. Vance, matanya terpaku pada layar monitor yang menampilkan visualisasi gelombang suara. Di bawah lapisan melodi piano yang terdengar oleh telinga manusia, ada lapisan frekuensi lain, jauh di bawah ambang pendengaran normal, yang berdetak dengan ritme yang aneh. "Ada sub-frekuensi yang tertanam di dalamnya. Sangat rendah, nyaris tidak terdeteksi."
Ia memperbesar grafik, dan pola yang muncul sangat familiar bagi seorang ahli seperti dirinya. "Frekuensi bawah sadar yang mirip dengan sinyal militer pengendali pikiran," bisiknya, nyaris tak terdengar. Ia telah mempelajari teknik-teknik pengendalian pikiran yang digunakan oleh beberapa militer dan agensi rahasia, yang menggunakan frekuensi sangat rendah untuk memengaruhi gelombang otak dan kondisi mental tanpa disadari oleh target.
"Lagu ini... bukan hanya musik," lanjut Dr. Vance, suaranya dipenuhi ketakutan. "Ini adalah semacam... kode bunuh diri musikal." Ia menemukan bahwa frekuensi bawah sadar itu dirancang untuk memicu respons tertentu di otak, seperti kecemasan ekstrem, paranoia, delusi, bahkan dorongan untuk menyakiti diri sendiri atau orang lain. Ini menjelaskan mengapa orang-orang tiba-tiba bertindak aneh, atau bahkan tewas tanpa sebab fisik yang jelas. Otak mereka, tanpa sadar, telah menerima perintah dari gelombang suara yang tersembunyi.
Dr. Vance segera mempublikasikan temuannya dalam sebuah jurnal ilmiah pracetak, berharap dapat memperingatkan dunia. Namun, ia disambut dengan skeptisisme. Banyak ilmuwan yang menuduhnya berkhayal atau mencari sensasi. Namun, ia tidak gentar. Ia tahu apa yang ia lihat. Ia bahkan mencoba memutar rekaman "Lamenta Nocturna" yang ia saring frekuensi bawah sadarnya, hanya untuk mendengar melodi piano yang normal. Namun, ketika ia memutar versi aslinya, ia merasakan gelombang mual dan pusing yang aneh.
Sementara itu, Elio, yang terus mengikuti berita tentang lagu itu, menemukan laporan Dr. Vance. Penjelasan ilmiah itu, anehnya, justru semakin mengukuhkan keyakinan mistiknya. Ini bukan sekadar gelombang suara; ini adalah cara entitas di balik lagu itu untuk memanipulasi pikiran manusia. Amadeo Veltz, dengan kontraknya dengan kekuatan supranatural, mungkin telah menemukan cara untuk menanamkan esensi iblis itu ke dalam setiap nada, menciptakan sebuah "senjata" yang mampu mengklaim jiwa.
Kini, pertanyaan "bagaimana menghentikannya" menjadi semakin mendesak dan mengerikan. Jika lagu itu bisa muncul dari sumber audio yang mati, jika ia bisa memanipulasi frekuensi bawah sadar, dan jika ia telah menyebar ke seluruh dunia, bagaimana mungkin ia bisa dihentikan? Elio merasa seperti seekor tikus dalam labirin, dan setiap langkah yang ia ambil hanya membawanya semakin dalam ke dalam perangkap yang tak terlihat. Ia harus menemukan Dr. Vance. Mungkin bersama-sama, mereka bisa menemukan cara untuk menghentikan Simfoni Iblis ini, sebelum seluruh dunia terseret ke dalam konser kematian yang telah dimulai oleh Amadeo Veltz.
Bab 6 – Simfoni Iblis
Penemuan Dr. Julian Vance tentang frekuensi bawah sadar yang tersembunyi di dalam "Lamenta Nocturna" menjadi semacam pembenaran yang menakutkan bagi Elio. Ini bukan lagi sekadar mitos atau kecelakaan; ada mekanisme di balik kutukan itu, meskipun sifatnya masih jauh melampaui pemahaman normal. Elio mencoba menghubungi Dr. Vance, berharap ilmuwan itu memiliki jawaban atau setidaknya arah untuk menghentikan bencana yang semakin meluas. Namun, Dr. Vance tampaknya menghilang setelah memublikasikan temuannya, atau mungkin ia terlalu kewalahan dengan gelombang skeptisisme dan ancaman yang mungkin diterimanya.
Sementara itu, "Lamenta Nocturna" terus menyebar, menemukan jalan ke telinga siapa saja yang berani mendengarkannya. Kini, fenomena ini tidak hanya terbatas pada pendengaran pasif. Laporan-laporan yang lebih mengerikan mulai bermunculan, melibatkan interaksi langsung dengan lagu tersebut.
Para musisi, pianis, dan komposer di seluruh dunia, yang penasaran atau tertantang oleh misteri lagu itu, mulai mencoba mengulik "Lamenta Nocturna" dengan piano. Beberapa mencoba memainkan melodi yang telah mereka dengar dari rekaman, yang lain mencoba menguraikan notasi dari fragmen partitur yang entah bagaimana berhasil mereka dapatkan, baik versi manual maupun menggunakan perangkat lunak MIDI digital. Mereka adalah orang-orang yang berani, atau mungkin bodoh, yang percaya bahwa mereka bisa menjinakkan melodi terkutuk itu.
Namun, hasilnya jauh dari yang mereka harapkan. Muncul laporan bahwa orang-orang yang mencoba mengulik lagu itu dengan piano, baik versi manual atau MIDI digital, mengalami halusinasi hingga cedera diri. Seorang pianis konser di Berlin, yang mencoba merekonstruksi "Lamenta Nocturna" dari rekaman streaming, tiba-tiba menjerit di tengah-tengah latihannya. Tetangganya yang mendengar segera datang dan menemukan pianis itu sedang memukul-mukul kepalanya sendiri ke tuts piano, darah mengucur dari dahinya, matanya melotot kosong seolah melihat sesuatu yang mengerikan. Ia terus bergumam tentang "bayangan di antara nada-nada" dan "wajah-wajah tanpa mata".
Di Amerika Serikat, seorang komposer musik elektronik yang mencoba memasukkan "Lamenta Nocturna" ke dalam software MIDI-nya untuk analisis, tiba-tiba ambruk dari kursinya. Ketika paramedis tiba, ia ditemukan dalam kondisi kejang-kejang hebat, tubuhnya membentur lantai berulang kali. Meskipun ia selamat, ia mengalami kerusakan otak permanen dan tidak pernah bisa berbicara atau berjalan lagi.
Kasus lain yang menggemparkan adalah seorang remaja di Korea Selatan yang mencoba mengunduh dan menganalisis file MIDI "Lamenta Nocturna" menggunakan software komposer AI (Artificial Intelligence) canggih miliknya. Ia percaya bahwa AI bisa menguraikan pola frekuensi bawah sadar yang ditemukan Dr. Vance. Namun, saat AI mulai memproses lagu itu, komputer remaja itu mulai mengeluarkan suara aneh, seperti erangan dan bisikan yang terdistorsi. Layar monitor berkedip-kedip tak terkendali, dan tiba-tiba, asap tebal mengepul dari casing komputer. Dalam hitungan detik, AI komposer yang mencoba menguraikan lagu itu terbakar secara misterius, api melalap seluruh perangkat keras, meninggalkan bau hangus yang menyengat. Seolah-olah lagu itu menolak untuk dianalisis, menolak untuk diuraikan oleh kecerdasan buatan.
Elio mendengar semua laporan ini dengan hati yang semakin berat. Ia tahu ini lebih dari sekadar frekuensi atau gelombang suara. Ini adalah kekuatan yang jauh lebih kuno dan jahat. Ia teringat kembali pada bisikan-bisikan tentang kontrak Veltz dengan kekuatan supranatural. Frasa "Simfoni Iblis" yang pernah disebut kolega Veltz kini terasa sangat nyata.
Perlahan-lahan, sebuah kesimpulan yang mengerikan terbentuk di benak Elio: Lagu tersebut diyakini tidak hanya menyampaikan suara, tapi mengundang entitas dari dimensi lain yang haus jiwa manusia. Setiap kali "Lamenta Nocturna" dimainkan, baik secara langsung, melalui rekaman, atau bahkan secara digital, ia bertindak sebagai sebuah portal, memanggil makhluk-makhluk tak terlihat dari alam lain. Makhluk-makhluk ini, yang tampaknya berinteraksi dengan frekuensi bawah sadar lagu, memengaruhi pikiran dan tubuh korban, mendorong mereka ke ambang kegilaan atau kematian. Mereka adalah "penonton tak berkepala" dari mimpi buruk Elio, jiwa-jiwa yang telah direnggut oleh simfoni terkutuk ini.
Para pianis yang mencoba mengulik lagu itu mungkin telah mengundang entitas-entitas ini ke dalam diri mereka sendiri, menyebabkan halusinasi dan cedera diri saat pikiran mereka dipenuhi dengan bisikan dan gambar-gambar yang mengerikan. AI yang terbakar mungkin telah dianggap sebagai ancaman oleh entitas itu, karena mencoba menguraikan esensinya, mencoba memahami rahasia di balik kekuatannya. Lagu itu tidak ingin dipahami, tidak ingin dihentikan. Ia hanya ingin terus beresonansi, terus mengklaim korban.
Elio mulai berpikir, bagaimana jika lagu itu bukan sekadar lagu, tetapi semacam wadah, atau bahkan manifestasi dari entitas itu sendiri? Veltz mungkin tidak hanya membuat kontrak, tetapi juga menjadi alat, pion dalam permainan yang jauh lebih besar. Dan kini, Elio, sebagai orang yang pertama kali membangkitkan lagu itu di era modern, telah menjadi target berikutnya.
Ia menyadari bahwa perjuangannya bukan lagi melawan sebuah melodi, tetapi melawan sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tidak bisa dilihat atau disentuh, sesuatu yang hanya bisa dirasakan dan dipercayai keberadaannya melalui bukti-bukti kekacauan yang ditinggalkannya. Beban ini terasa semakin berat. Ia harus menemukan cara untuk menutup portal ini, untuk menghentikan Simfoni Iblis ini, sebelum seluruh dunia menjadi panggung bagi konser bayangan yang tak terhindarkan.
Bab 7 – Konser Bayangan
Laporan tentang AI yang terbakar dan insiden mengerikan lainnya yang melibatkan "Lamenta Nocturna" semakin memperkuat keyakinan Elio bahwa ia sedang berhadapan dengan kekuatan supernatural. Lagu itu bukan sekadar melodi; ia adalah sebuah entitas, sebuah portal, yang haus akan jiwa manusia. Elio merasa terisolasi. Upayanya mencari Dr. Vance tidak membuahkan hasil, dan tak seorang pun di sekelilingnya yang benar-benar memahami kedalaman kengerian yang ia alami. Ia merasa seperti seorang nabi gila yang melihat datangnya kiamat, tetapi tidak ada yang mempercayainya.
Meskipun takut, Elio merasa ada daya tarik aneh yang terus menariknya ke dalam pusaran kutukan ini. Ia tidak bisa lari. Ia telah menjadi bagian darinya sejak ia pertama kali menyentuh tuts-tuts piano itu. Ketakutan itu bercampur dengan semacam kewajiban, sebuah dorongan untuk menghentikan apa yang telah ia mulai.
Suatu malam, saat ia menjelajahi forum-forum daring yang membahas fenomena "Lagu Hantu Veltz", matanya menangkap sebuah unggahan samar. Sebuah thread yang tersembunyi di sudut gelap internet, di forum yang hanya diakses oleh para pencari sensasi dan penganut teori konspirasi. Unggahan itu berisi poster digital yang buram, dengan desain kuno, mengumumkan sebuah pertunjukan. Tidak ada lokasi spesifik, hanya sebuah koordinat yang mengarah ke bagian pinggiran kota yang sudah tidak terpakai, dan tanggal yang hanya beberapa hari lagi. Judul acaranya? “Lagu Terlarang Veltz – Malam Lengkapnya.”
Jantung Elio berdegup kencang. Pertunjukan itu jelas diselenggarakan tanpa sepengetahuan pihak berwenang. Poster itu menjanjikan pengalaman "mendalam dan tak terlupakan" bagi para "jiwa yang berani." Ada daya tarik yang aneh, sekaligus peringatan bahaya, dalam undangan itu. Rasa ngeri bercampur dengan dorongan tak tertahankan untuk hadir. Ia tahu ini gila, tetapi intuisi terdalamnya mengatakan bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban, untuk menghadapi sumber kutukan itu secara langsung.
Malam yang ditentukan tiba. Elio mengenakan pakaian gelap, mencoba membaurkan diri dalam bayangan. Ia melangkah ke alamat yang tertera, sebuah gudang tua yang ditinggalkan di kawasan industri yang sunyi. Udara dingin dan lembap, dan hanya diterangi oleh lampu jalan yang redup dan beberapa obor yang ditempatkan di luar gudang. Suara angin berdesir di antara bangunan-bangunan kosong menciptakan suasana yang menyeramkan.
Ketika Elio masuk, ia terkejut dengan apa yang ia lihat. Gudang yang luas itu telah diubah menjadi semacam aula konser underground yang provokatif. Beberapa lusin kursi kayu tua berjejer rapi di depan panggung darurat yang terbuat dari palet. Di tengah panggung, sebuah grand piano hitam, tampak lebih tua dan lebih usang dari piano kampus, berdiri dengan aura suram. Pencahayaan sangat minim, hanya beberapa lampu sorot kecil yang menyoroti piano, meninggalkan sebagian besar ruangan dalam kegelapan. Udara dipenuhi aroma lumut dan debu yang menguap dari bangunan tua, bercampur dengan bau dupa yang menyengat.
Elio segera menyadari bahwa jumlah penonton tidak banyak. Ia menghitung cepat. Ada sekitar 12 orang yang sudah duduk di kursi, wajah-wajah mereka samar dalam remang-remang, tampak tegang dan penasaran. Mereka adalah para pencari sensasi, penggemar misteri, atau mungkin sama seperti Elio, yang merasa terpanggil oleh kekuatan tak terlihat dari "Lamenta Nocturna". Angka 12 itu mengusik Elio. Ia teringat kembali pada 13 korban bunuh diri di konser Veltz yang asli. Apakah ia, Elio, akan menjadi yang ketiga belas?
Tak lama kemudian, seorang wanita muda muncul dari bayang-bayang di belakang panggung. Ia adalah Nadia, seorang pianis muda dengan rambut hitam panjang yang tergerai, dan gaun hitam sederhana yang menutupi tubuhnya. Wajahnya pucat, bahkan di bawah lampu sorot, dan matanya... matanya tampak terlalu besar, terlalu gelap, dengan kilatan aneh yang membuat Elio merinding. Ia terlihat begitu rapuh, namun ada aura kekuatan yang memancar darinya.
Nadia membungkuk sedikit ke arah penonton, tanpa senyum, tanpa sepatah kata pun. Ia duduk di bangku piano, jari-jarinya yang panjang dan ramping bergerak perlahan di atas tuts-tuts. Keheningan mencengkeram ruangan. Semua mata tertuju padanya.
Kemudian, Nadia mulai memainkan "Lamenta Nocturna."
Berbeda dengan cara Elio memainkannya—dengan rasa takut dan kesedihan—Nadia memainkannya dengan keahlian yang menakutkan, seolah-olah lagu itu adalah bagian dari dirinya. Setiap nada mengalun dengan presisi sempurna, setiap harmoni membangun ketegangan yang menyesakkan. Elio bisa merasakan getaran di udara, seolah suara itu bukan hanya masuk ke telinganya, tetapi merasuk ke dalam tulangnya. Ini adalah versi lengkap, tidak ada jeda, tidak ada bagian yang tidak selesai. Nada-nada yang diimprovisasi Elio kini terungkap sebagai bagian dari komposisi yang mengerikan itu.
Musik itu membangun sebuah energi yang gelap, menarik semua orang yang hadir ke dalam pusaran yang tidak bisa dijelaskan. Elio merasa detak jantungnya semakin cepat, napasnya tersengal. Ia merasakan sensasi geli di tengkuknya, seolah ada sesuatu yang menyentuh kulitnya. Ia melihat para penonton lain. Wajah-wajah mereka, yang tadinya penuh penasaran, kini berubah. Mata mereka membelalak, lalu perlahan-lahan menjadi kosong. Tubuh mereka mulai kaku. Beberapa di antaranya tampak tersentak, seperti tersengat listrik, lalu kembali diam.
Nadia memainkan lagu itu hingga nada terakhir yang memudar di udara, menciptakan keheningan yang lebih berat dan mematikan daripada suara apapun.
Dan kemudian, kengerian yang sesungguhnya terungkap.
Seluruh penonton—kecuali Elio—menjadi diam membatu seperti patung. Mereka duduk tegak di kursi mereka, mata mereka terbuka lebar, namun tatapannya kosong, tak bernyawa. Kulit mereka tampak pucat, nyaris kebiruan, seolah seluruh darah telah mengering dari tubuh mereka. Mereka tidak bernapas, tidak bergerak. Mereka adalah boneka-boneka yang terbuat dari daging, dibiarkan begitu saja di sana, menjadi bagian dari sebuah "pertunjukan" yang mengerikan. Elio berusaha memanggil mereka, tetapi tidak ada jawaban. Keheningan itu begitu mutlak, begitu dingin, sampai ia merasa seperti satu-satunya orang hidup yang tersisa di ruangan itu.
Jantung Elio berpacu, menggedor-gedor di dadanya seolah ingin keluar. Ia merasa pusing, mual. Ia nyaris tidak bisa bernapas. Ia ingin menjerit, ingin lari, tetapi kakinya terasa terpaku di lantai.
Nadia perlahan mengangkat tangan dari tuts piano. Ia berbalik di bangkunya, tatapannya langsung mengunci mata Elio. Tidak ada ekspresi di wajahnya, hanya kehampaan yang tak terbatas. Dan yang paling mengerikan adalah matanya. Matanya yang tadinya gelap dan besar, kini benar-benar kosong, seperti lubang hitam yang tak berdasar. Seolah-olah jiwanya telah direnggut, sama seperti para penonton yang membatu di sekelilingnya.
Sebuah senyuman tipis, dingin, dan mengerikan tersungging di bibir Nadia. Suaranya, ketika ia berbicara, bukan lagi suara manusia, melainkan bisikan yang berdesir, seolah banyak suara yang berbicara sekaligus, bergema di telinga Elio. Kata-kata itu menusuk Elio sampai ke tulang.
"Tinggal kamu yang belum jadi bagian dari simfoni."
Kata-kata itu berputar-putar di kepala Elio. Ia tidak menjadi patung seperti yang lain. Mengapa? Apakah karena ia telah "memainkan" lagu itu sebelumnya? Apakah ia ditakdirkan untuk menjadi konduktor berikutnya dalam Simfoni Iblis ini? Ia merasa seperti telah lolos dari kematian, hanya untuk menemukan dirinya dijerat dalam takdir yang lebih buruk. Nadia, atau entitas yang kini merasukinya, telah memilihnya. Ia adalah pemain baru yang mereka cari. Kengerian yang murni dan absolut menyelimuti Elio. Ia bukan lagi seorang penonton; ia adalah target utama.
Bab 8 – Akor Terakhir
Kata-kata Nadia, atau lebih tepatnya, bisikan entitas yang merasukinya, masih bergaung di telinga Elio: "Tinggal kamu yang belum jadi bagian dari simfoni." Kalimat itu bukan sekadar ancaman; itu adalah sebuah penugasan, sebuah takdir yang telah menunggunya. Elio berdiri kaku di tengah aula konser yang kini dipenuhi patung-patung manusia, tubuh-tubuh kosong yang menjadi saksi bisu kengerian yang baru saja terjadi. Aroma dupa yang menusuk, bercampur dengan bau debu dan sesuatu yang tidak dapat dijelaskan—sesuatu yang dingin dan membusuk—membuatnya mual.
Ia adalah satu-satunya yang tersisa, satu-satunya yang tidak berubah menjadi manekin tak bernyawa. Mengapa? Apakah kutukan itu telah mengenali dirinya sebagai "pemain" yang berbeda, seorang yang telah membangkitkan lagu itu lagi? Atau apakah ada peran lain yang menunggu, sebuah posisi yang lebih mengerikan dalam "Simfoni Iblis" ini? Elio tahu, ia tidak bisa membiarkan ini terjadi. Ia tidak akan menjadi bagian dari simfoni kematian ini.
Dengan langkah gontai, Elio meninggalkan gudang itu, meninggalkan keheningan mencekam dan pandangan kosong dari para korban. Udara malam yang dingin terasa seperti tamparan di wajahnya, membangunkannya dari mimpi buruk yang paling mengerikan. Ia berjalan tanpa arah, pikirannya berkecamuk. Clara, Dr. Vance yang hilang, dan kini, Nadia dan para penonton yang membatu. Semua ini adalah konsekuensi dari rasa ingin tahu yang tidak terkendali.
Ia menyadari bahwa membakar partitur tidak akan berhasil. Lagu itu memiliki kehendaknya sendiri, sebuah kekuatan yang melampaui kertas dan tinta. Ia harus menghentikan lagu itu di sumbernya, di titik awal di mana ia pertama kali dibangkitkan di era modern.
Tujuan Elio adalah satu-satunya grand piano di kampus yang ia gunakan untuk memainkan "Lamenta Nocturna" untuk pertama kalinya. Piano klasik itu, yang dulunya hanyalah sebuah instrumen musik, kini menjadi semacam altar bagi sebuah ritual mengerikan. Di situlah ia membuka pintu bagi kutukan ini, dan di situlah ia harus menutupnya.
Malam itu, Elio kembali ke ruang musik kampus. Ruangan itu kosong dan gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang samar menembus jendela tinggi. Grand piano Yamaha C7 itu berdiri kokoh di tengah ruangan, memantulkan bayangan-bayangan panjang yang menari-nari di dinding. Elio mendekat, merasakan aura dingin yang memancar dari instrumen itu, seolah piano itu telah menjadi wadah bagi esensi jahat "Lamenta Nocturna".
Di saku jaketnya, Elio meraba. Ia membawa serta partitur asli "Lamenta Nocturna" yang terus muncul kembali. Ia tahu, meskipun ia membakarnya berulang kali, partitur itu akan selalu kembali. Ini adalah bagian yang tidak bisa dihancurkan secara fisik. Namun, Elio punya rencana lain.
Ia mengambil kaleng bensin kecil yang diam-diam ia bawa dari gudang perawatan kampus. Dengan tangan gemetar, ia mulai menuangkan bensin ke seluruh permukaan piano, cairan itu berkilauan di bawah cahaya rembulan. Aroma bensin yang menyengat memenuhi ruangan, bercampur dengan bau kayu tua dan debu. Elio tidak ragu. Ia tahu ini adalah satu-satunya cara.
Ia meletakkan partitur asli "Lamenta Nocturna" di atas tuts piano, membiarkan kertas yang menguning itu basah oleh bensin. Sebuah korek api ada di tangannya. Jari-jarinya gemetar, bukan karena ragu, tapi karena tekad.
"Ini berakhir di sini," bisik Elio, suaranya serak. Ia memikirkan Clara, semua korban tak bersalah yang telah jatuh karena lagu ini. Ia memikirkan Amadeo Veltz, seorang jenius yang mungkin telah menjadi korban pertama dari kontrak iblisnya sendiri.
Ia menggesekkan korek api. Sebuah percikan kecil melesat di kegelapan, lalu api kecil menyala, menerangi wajah Elio yang pucat dan dipenuhi keringat. Tanpa menunda, ia menjatuhkan korek yang menyala itu ke piano.
Api segera berkobar, menelan grand piano itu dalam sekejap. Kayu tua yang kering terbakar dengan cepat, menghasilkan suara retakan dan desisan yang mengerikan. Tuts-tuts piano meleleh, senar-senar putus dengan suara dentuman tajam. Partitur "Lamenta Nocturna" yang tergeletak di atasnya terbakar menjadi abu dalam hitungan detik, tetapi kali ini, Elio tidak melihatnya kembali. Api itu seolah membersihkan, mengonsumsi, dan menghancurkan setiap jejak.
Namun, Elio tidak hanya ingin menghancurkan piano dan partitur. Ia ingin memutuskan ikatan itu, ikatan antara dirinya dan kutukan ini. Ia ingin memastikan bahwa ia tidak akan menjadi pemain baru, bahwa ia tidak akan pernah bisa memainkan melodi itu lagi.
Maka, dalam sebuah tindakan putus asa yang ekstrem, Elio melangkah maju, membiarkan api menjilat ke arahnya. Ia menutup mata, merasakan panas yang menyengat, asap yang menyesakkan. Ia membayangkan tubuhnya sendiri, pikirannya, jiwanya, terbakar bersama dengan instrumen terkutuk itu. Jika lagu itu membutuhkan seorang pemain, ia akan memastikan tidak ada lagi pemain yang tersisa.
Ia tidak merasakan sakit yang luar biasa. Hanya kehangatan yang aneh, lalu kegelapan yang merayap. Tubuhnya ambruk di samping piano yang terbakar, dikelilingi oleh api yang membesar.
Api menjalar dengan cepat. Alarm kebakaran berbunyi, memekakkan telinga di seluruh gedung kampus. Dari kejauhan, sirine mobil pemadam kebakaran mulai terdengar, mendekat dengan cepat. Asap hitam tebal membubung ke langit malam, menyoroti kehancuran yang terjadi di dalam.
Ketika api akhirnya berhasil dipadamkan oleh tim pemadam kebakaran, ruang musik itu hanyalah tumpukan abu dan reruntuhan hangus. Grand piano itu telah lenyap, hanya menyisakan kerangka logam yang bengkok. Di antara puing-puing, mereka menemukan sisa-sisa jasad Elio yang terbakar, nyaris tak dikenali. Laporan resmi akan menyatakan ini sebagai kasus bunuh diri yang tragis, akibat tekanan akademik atau masalah pribadi.
Namun, saat mobil pemadam kebakaran mulai menjauh, asap masih mengepul dari reruntuhan, dan sirine sudah meredup di kejauhan, sebuah kejadian aneh terjadi. Di sebuah pos keamanan kampus yang nyaris kosong, sebuah radio tua yang sudah lama tidak dipakai, tiba-tiba mengeluarkan suara. Radio itu seharusnya mati, tidak terhubung ke sumber listrik apa pun.
Dengan static yang mengganggu, sebuah melodi yang familiar mulai mengalun lembut dari speaker radio yang usang itu. Nada-nada awal "Lamenta Nocturna" – akor minor yang mendalam, perlahan dan merayap, seolah meniru hembusan angin di tengah malam. Melodi itu terdengar samar, namun tak salah lagi. Ia mengalun di udara yang dingin, di tengah kehancuran, di tengah kesunyian yang menggantung setelah tragedi.
Lagu itu belum benar-benar selesai.
Kematian Elio, penghancuran piano, semua itu tidak cukup. Lagu itu adalah sebuah entitas yang lebih besar dari sekadar medium fisik. Ia menolak untuk dimusnahkan. Ia adalah sebuah kutukan yang abadi, sebuah melodi yang mencari wadah baru, seorang konduktor baru.
Di tengah puing-puing hangus dan kegelapan, melodi itu terus mengalun, sebuah janji yang mengerikan. "Lamenta Nocturna" kini mencari pemain baru. Dan di suatu tempat, di sebuah sudut dunia yang tidak diketahui, di sebuah piano yang belum ditemukan, di sebuah hati yang penuh rasa ingin tahu, kutukan itu akan menemukan mangsa berikutnya. Simfoni Terlarang itu akan terus berlanjut, abadi, menghantui, dan haus akan jiwa.
Bab 8 – Akor Terakhir
Kata-kata Nadia, atau lebih tepatnya, bisikan entitas yang merasukinya, masih bergaung di telinga Elio: "Tinggal kamu yang belum jadi bagian dari simfoni." Kalimat itu bukan sekadar ancaman; itu adalah sebuah penugasan, sebuah takdir yang telah menunggunya. Elio berdiri kaku di tengah aula konser yang kini dipenuhi patung-patung manusia, tubuh-tubuh kosong yang menjadi saksi bisu kengerian yang baru saja terjadi. Aroma dupa yang menusuk, bercampur dengan bau debu dan sesuatu yang tidak dapat dijelaskan—sesuatu yang dingin dan membusuk—membuatnya mual.
Ia adalah satu-satunya yang tersisa, satu-satunya yang tidak berubah menjadi manekin tak bernyawa. Mengapa? Apakah kutukan itu telah mengenali dirinya sebagai "pemain" yang berbeda, seorang yang telah membangkitkan lagu itu lagi? Atau apakah ada peran lain yang menunggu, sebuah posisi yang lebih mengerikan dalam "Simfoni Iblis" ini? Elio tahu, ia tidak bisa membiarkan ini terjadi. Ia tidak akan menjadi bagian dari simfoni kematian ini.
Dengan langkah gontai, Elio meninggalkan gudang itu, meninggalkan keheningan mencekam dan pandangan kosong dari para korban. Udara malam yang dingin terasa seperti tamparan di wajahnya, membangunkannya dari mimpi buruk yang paling mengerikan. Ia berjalan tanpa arah, pikirannya berkecamuk. Clara, Dr. Vance yang hilang, dan kini, Nadia dan para penonton yang membatu. Semua ini adalah konsekuensi dari rasa ingin tahu yang tidak terkendali.
Ia menyadari bahwa membakar partitur tidak akan berhasil. Lagu itu memiliki kehendaknya sendiri, sebuah kekuatan yang melampaui kertas dan tinta. Ia harus menghentikan lagu itu di sumbernya, di titik awal di mana ia pertama kali dibangkitkan di era modern.
Tujuan Elio adalah satu-satunya grand piano di kampus yang ia gunakan untuk memainkan "Lamenta Nocturna" untuk pertama kalinya. Piano klasik itu, yang dulunya hanyalah sebuah instrumen musik, kini menjadi semacam altar bagi sebuah ritual mengerikan. Di situlah ia membuka pintu bagi kutukan ini, dan di situlah ia harus menutupnya.
Malam itu, Elio kembali ke ruang musik kampus. Ruangan itu kosong dan gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang samar menembus jendela tinggi. Grand piano Yamaha C7 itu berdiri kokoh di tengah ruangan, memantulkan bayangan-bayangan panjang yang menari-nari di dinding. Elio mendekat, merasakan aura dingin yang memancar dari instrumen itu, seolah piano itu telah menjadi wadah bagi esensi jahat "Lamenta Nocturna".
Di saku jaketnya, Elio meraba. Ia membawa serta partitur asli "Lamenta Nocturna" yang terus muncul kembali. Ia tahu, meskipun ia membakarnya berulang kali, partitur itu akan selalu kembali. Ini adalah bagian yang tidak bisa dihancurkan secara fisik. Namun, Elio punya rencana lain.
Ia mengambil kaleng bensin kecil yang diam-diam ia bawa dari gudang perawatan kampus. Dengan tangan gemetar, ia mulai menuangkan bensin ke seluruh permukaan piano, cairan itu berkilauan di bawah cahaya rembulan. Aroma bensin yang menyengat memenuhi ruangan, bercampur dengan bau kayu tua dan debu. Elio tidak ragu. Ia tahu ini adalah satu-satunya cara.
Ia meletakkan partitur asli "Lamenta Nocturna" di atas tuts piano, membiarkan kertas yang menguning itu basah oleh bensin. Sebuah korek api ada di tangannya. Jari-jarinya gemetar, bukan karena ragu, tapi karena tekad.
"Ini berakhir di sini," bisik Elio, suaranya serak. Ia memikirkan Clara, semua korban tak bersalah yang telah jatuh karena lagu ini. Ia memikirkan Amadeo Veltz, seorang jenius yang mungkin telah menjadi korban pertama dari kontrak iblisnya sendiri.
Ia menggesekkan korek api. Sebuah percikan kecil melesat di kegelapan, lalu api kecil menyala, menerangi wajah Elio yang pucat dan dipenuhi keringat. Tanpa menunda, ia menjatuhkan korek yang menyala itu ke piano.
Api segera berkobar, menelan grand piano itu dalam sekejap. Kayu tua yang kering terbakar dengan cepat, menghasilkan suara retakan dan desisan yang mengerikan. Tuts-tuts piano meleleh, senar-senar putus dengan suara dentuman tajam. Partitur "Lamenta Nocturna" yang tergeletak di atasnya terbakar menjadi abu dalam hitungan detik, tetapi kali ini, Elio tidak melihatnya kembali. Api itu seolah membersihkan, mengonsumsi, dan menghancurkan setiap jejak.
Namun, Elio tidak hanya ingin menghancurkan piano dan partitur. Ia ingin memutuskan ikatan itu, ikatan antara dirinya dan kutukan ini. Ia ingin memastikan bahwa ia tidak akan menjadi pemain baru, bahwa ia tidak akan pernah bisa memainkan melodi itu lagi.
Maka, dalam sebuah tindakan putus asa yang ekstrem, Elio melangkah maju, membiarkan api menjilat ke arahnya. Ia menutup mata, merasakan panas yang menyengat, asap yang menyesakkan. Ia membayangkan tubuhnya sendiri, pikirannya, jiwanya, terbakar bersama dengan instrumen terkutuk itu. Jika lagu itu membutuhkan seorang pemain, ia akan memastikan tidak ada lagi pemain yang tersisa.
Ia tidak merasakan sakit yang luar biasa. Hanya kehangatan yang aneh, lalu kegelapan yang merayap. Tubuhnya ambruk di samping piano yang terbakar, dikelilingi oleh api yang membesar.
Api menjalar dengan cepat. Alarm kebakaran berbunyi, memekakkan telinga di seluruh gedung kampus. Dari kejauhan, sirine mobil pemadam kebakaran mulai terdengar, mendekat dengan cepat. Asap hitam tebal membubung ke langit malam, menyoroti kehancuran yang terjadi di dalam.
Ketika api akhirnya berhasil dipadamkan oleh tim pemadam kebakaran, ruang musik itu hanyalah tumpukan abu dan reruntuhan hangus. Grand piano itu telah lenyap, hanya menyisakan kerangka logam yang bengkok. Di antara puing-puing, mereka menemukan sisa-sisa jasad Elio yang terbakar, nyaris tak dikenali. Laporan resmi akan menyatakan ini sebagai kasus bunuh diri yang tragis, akibat tekanan akademik atau masalah pribadi.
Namun, saat mobil pemadam kebakaran mulai menjauh, asap masih mengepul dari reruntuhan, dan sirine sudah meredup di kejauhan, sebuah kejadian aneh terjadi. Di sebuah pos keamanan kampus yang nyaris kosong, sebuah radio tua yang sudah lama tidak dipakai, tiba-tiba mengeluarkan suara. Radio itu seharusnya mati, tidak terhubung ke sumber listrik apa pun.
Dengan static yang mengganggu, sebuah melodi yang familiar mulai mengalun lembut dari speaker radio yang usang itu. Nada-nada awal "Lamenta Nocturna" – akor minor yang mendalam, perlahan dan merayap, seolah meniru hembusan angin di tengah malam. Melodi itu terdengar samar, namun tak salah lagi. Ia mengalun di udara yang dingin, di tengah kehancuran, di tengah kesunyian yang menggantung setelah tragedi.
Lagu itu belum benar-benar selesai.
Kematian Elio, penghancuran piano, semua itu tidak cukup. Lagu itu adalah sebuah entitas yang lebih besar dari sekadar medium fisik. Ia menolak untuk dimusnahkan. Ia adalah sebuah kutukan yang abadi, sebuah melodi yang mencari wadah baru, seorang konduktor baru.
Di tengah puing-puing hangus dan kegelapan, melodi itu terus mengalun, sebuah janji yang mengerikan. "Lamenta Nocturna" kini mencari pemain baru. Dan di suatu tempat, di sebuah sudut dunia yang tidak diketahui, di sebuah piano yang belum ditemukan, di sebuah hati yang penuh rasa ingin tahu, kutukan itu akan menemukan mangsa berikutnya. Simfoni Terlarang itu akan terus berlanjut, abadi, menghantui, dan haus akan jiwa.