Masukan nama pengguna
Bab 1: Klinik Tanpa Waktu
Kilatan kamera Yosiana menyambar wajah-wajah di layar monitor, mencari jejak, merajut benang-benang samar yang terentang dari setiap berita kehilangan. Sudah tiga bulan terakhir, ia tenggelam dalam investigasi kasus ini, kasus yang oleh sebagian besar media hanya dianggap "orang hilang biasa". Tapi naluri wartawan investigasi Yosiana berkata lain. Ia tahu ini bukan kasus biasa.
Kecurigaan Yosiana bermula dari pola yang terlalu mencolok: semua gadis muda yang menghilang belakangan ini memiliki rentang usia 18 hingga 25 tahun, berparas jelita, dan yang paling mencurigakan, semua pernah tercatat melakukan konsultasi di Leon Aesthetic, klinik operasi estetika eksklusif yang sangat tertutup. Klinik itu bagai benteng, hanya menerima klien tertentu, dengan reputasi dr. Leon yang bak dewa, mampu menyulap "kekurangan" menjadi "kesempurnaan" dengan sentuhan pisau bedahnya. Namun, di balik kemegahan itu, Yosiana mencium bau anyir misteri.
Pukul sebelas malam, Yosiana masih di kantor, ruang kerjanya berantakan oleh tumpukan berkas dan catatan tempel. Cahaya temaram monitor laptop memantulkan kacamata bacanya. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, mencari data, menelusuri jejak digital. “Leon Aesthetic,” bisiknya, membaca alamat klinik yang tertera di layar. Sebuah bangunan megah bergaya art deco di pusat kota Makassar, berdiri kontras dengan bangunan-bangunan modern di sekelilingnya. Foto-foto di internet menunjukkan interior yang steril, mewah, dan dingin, seolah tak ada jejak manusia di sana.
Beberapa kali Yosiana mencoba menghubungi klinik itu sebagai calon pasien, namun selalu ditolak dengan alasan "daftar tunggu penuh" atau "tidak memenuhi kriteria khusus klinik". Frasa "kriteria khusus" itu selalu mengusik pikirannya. Kriteria seperti apa yang dimaksud? Hanya orang-orang tertentu? Mengapa? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, membangun dinding kecurigaan yang semakin tinggi. Ia pernah mencoba menyamar sebagai sales produk kecantikan, bahkan sebagai jurnalis dari majalah gaya hidup elit, tapi setiap kali ia mendekat, ada semacam dinding tak terlihat yang memblokirnya. Leon Aesthetic seolah punya sistem pertahanan yang sangat rapi dan ketat.
Yosiana meraih cangkir kopinya yang sudah dingin. Aroma pahit kopi hitam menyebar di udara, seolah merefleksikan rasa frustrasinya. Ia memejamkan mata, memutar kembali rekaman wawancara dengan beberapa keluarga korban yang sempat ia temui secara diam-diam. Mereka semua bercerita tentang anak gadis mereka yang awalnya begitu bersemangat ingin mempercantik diri, lalu tiba-tiba lenyap tanpa jejak setelah kunjungan pertama atau kedua ke klinik itu. Salah satu ibu bahkan bersumpah, anak gadisnya menerima telepon misterius setelah pulang dari klinik, sebuah telepon yang tampaknya meyakinkan sang anak untuk kembali, sendirian.
Ponselnya bergetar. Sebuah nomor tak dikenal. Yosiana ragu sejenak, menatap layar yang berkedip-kedip di kegelapan kantor yang sepi. Sudah sering ia menerima ancaman atau panggilan iseng dalam kariernya sebagai wartawan investigasi. Namun, nalurinya mendorongnya untuk mengangkat kali ini.
“Halo?” suaranya tegas, meskipun ada sedikit getaran antisipasi.
Suara di seberang sana berbisik, serak dan penuh ketakutan, nyaris seperti bisikan angin di malam hari. “Nona Yosiana? Saya… saya telah membaca artikel-artikel Anda tentang hilangnya gadis-gadis di Makassar. Saya punya informasi tentang Leon Aesthetic. Adik saya… Tasya… dia menghilang setelah konsultasi di sana.”
Jantung Yosiana berdebar kencang. Ini dia, benang merah yang dicari-carinya. Sebuah koneksi langsung, sebuah harapan. “Bisa kita bertemu? Saya butuh detail lebih lanjut. Identitas Anda akan saya rahasiakan sepenuhnya.” Yosiana berusaha meyakinkan, suaranya lembut namun penuh keyakinan.
Suara itu terdiam sejenak, diselingi tarikan napas berat, seolah orang di seberang sana sedang berjuang melawan ketakutan yang mencekik. “Bahaya, Nona. Mereka… mereka mengawasi saya. Saya merasakannya setiap saat. Sejak Tasya hilang, saya tidak pernah merasa aman.”
“Siapa ‘mereka’?” desak Yosiana, mencoba mendapatkan informasi lebih banyak. “Klinik itu? Dr. Leon?”
“Klinik itu… dr. Leon… dia bukan hanya dokter bedah biasa,” suara itu putus-putus, disusul suara napas tercekat yang nyaris tak terdengar. “Dia punya koneksi. Dia punya pengaruh. Temui saya di kafe ‘Senja’ di jalan Ratulangi, besok pagi, jam sembilan. Jangan sampai ada yang tahu. Hanya Anda. Sendirian.”
Sambungan terputus tiba-tiba, meninggalkan Yosiana dalam keheningan yang lebih pekat dari sebelumnya. Ia menatap layar ponselnya. Identitas penelepon anonim ini bisa jadi kunci, atau justru jebakan berbahaya. Namun, risikonya sepadan. Informasi ini terlalu penting untuk diabaikan. Ia mematikan laptop, pikirannya dipenuhi skenario terburuk yang mungkin terjadi di balik dinding klinik Leon Aesthetic. Esok hari akan menjadi awal dari perjalanan yang berbahaya, sebuah penyelaman ke dalam kegelapan yang tak terduga. Malam itu, Yosiana tak bisa tidur. Setiap bayangan di kamarnya terasa seperti pengawasan, setiap suara dari luar jendela terdengar seperti jejak kaki yang mengintai.
Bab 2: File Hilang dan Wajah Beku
Pertemuan dengan narasumber anonimnya, yang belakangan diketahui bernama Rina, berlangsung tegang di sudut kafe yang ramai. Aroma kopi dan roti panggang yang seharusnya menenangkan, justru terasa asing di tengah kegelisahan mereka. Rina, dengan wajah pucat dan mata sembab yang memerah, tampak seperti orang yang tidak tidur berhari-hari. Tangannya gemetar saat memegang cangkir teh. Ia bercerita bagaimana adiknya, Tasya, seorang penari balet berusia 20 tahun dengan kecantikan yang menawan dan masa depan cerah, menghilang setelah datang ke Leon Aesthetic untuk konsultasi pra-operasi. Tasya hanya ingin sedikit merapikan hidungnya, sesuatu yang menurut Rina sama sekali tidak perlu karena adiknya sudah sangat sempurna di matanya.
“Tasya sangat antusias. Dia bilang dr. Leon itu ahli seni, bukan hanya dokter,” ujar Rina, suaranya bergetar, “Dia mengisi formulir, menjalani pemeriksaan awal, lalu… menghilang. Ponselnya mati. Tidak ada jejak. Polisi bilang mereka akan menyelidiki, tapi mereka tidak menemukan apa-apa. Seolah Tasya lenyap begitu saja dari muka bumi.”
Yosiana mencatat setiap detail, bahkan nada suara Rina, kegelisahan di matanya. Ia menunjukkan foto-foto gadis-gadis hilang lainnya kepada Rina, foto-foto yang ia kumpulkan dari laporan polisi yang diabaikan dan postingan media sosial keluarga yang putus asa. “Apakah Anda tahu mereka? Ada kemiripan fisik di antara mereka semua.”
Rina menatap foto-foto itu, matanya membelalak kaget, ketakutan semakin jelas di wajahnya. “Astaga… ya. Salah satu dari mereka, dia pernah jadi model di majalah kecantikan yang sama dengan Tasya. Dan yang itu… saya pernah melihatnya di iklan televisi.”
Yosiana mengangguk, dugaannya semakin kuat. “Semua korban memiliki ciri khas yang sama: cantik, usia 18-25 tahun, dan sempat mengisi formulir konsultasi di klinik itu. Ini bukan kebetulan, Rina. Ini sebuah pola.”
Rina menyerahkan selembar brosur Leon Aesthetic yang diambilnya dari barang-barang Tasya sebelum Tasya pergi ke klinik. “Ini… saya menemukan ini di tas Tasya. Saya tidak tahu artinya, tapi… ini aneh. Rasanya tidak seperti brosur klinik biasa.”
Brosur itu dicetak di atas kertas tebal dengan desain minimalis, bertekstur kasar namun elegan. Tidak ada nomor telepon atau alamat email. Hanya ada logo Leon Aesthetic yang artistik dan sebuah kalimat Latin di bagian bawah: “Aeterna pulchritudo, aeternum manet.” (Kecantikan abadi, tetap abadi). Di bagian dalam, terdapat beberapa foto artistik, bukan foto hasil operasi, melainkan foto-foto patung klasik dengan proporsi sempurna—patung Venus, David, dan beberapa figur mitologi Yunani. Brosur ini lebih menyerupai pamflet seni elit daripada brosur klinik medis. “Mereka menyebut diri mereka ahli seni,” gumam Yosiana, mengamati brosur itu. “Bukan dokter, tapi seniman.” Itu adalah petunjuk penting.
Yosiana memutuskan untuk melakukan penyelidikan lebih dalam. Ia mencoba mencari data pasien yang hilang di database rumah sakit atau catatan polisi, namun hasilnya nihil. Seolah-olah mereka tidak pernah ada, atau jejak mereka sengaja dihapus. Ia juga menghubungi beberapa kenalan di dunia kepolisian, namun tidak ada yang bisa memberikan informasi signifikan. Mereka semua mengatakan Leon Aesthetic adalah klinik yang sangat tertutup dan dilindungi oleh orang-orang berkuasa. Salah satu kenalannya bahkan memperingatkan Yosiana, “Hati-hati, Yosiana. Klinik itu punya bekingan kuat. Jangan sampai kamu jadi target mereka.”
Peringatan itu bukannya membuat Yosiana mundur, justru semakin memicu semangatnya. Ia merasa tertantang. Jika polisi tidak bisa berbuat apa-apa, maka wartawanlah yang harus turun tangan. Ia menghabiskan hari-hari berikutnya menyisir internet, mencari ulasan tentang Leon Aesthetic. Hampir tidak ada ulasan negatif, yang ada hanyalah pujian setinggi langit dari para sosialita dan selebriti yang mengaku pernah melakukan perawatan di sana. Namun, Yosiana melihat ada yang janggal. Ulasan-ulasan itu terasa terlalu sempurna, terlalu seragam, hampir seperti dikarang.
“File hilang, wajah beku,” gumam Yosiana saat ia melihat foto-foto korban yang ia tempel di papan visualisasinya di kantor. Frasa itu terus terngiang di benaknya, sebuah firasat buruk yang mulai terbentuk, gambaran tentang apa yang mungkin terjadi pada gadis-gadis itu. Ia yakin, para gadis itu tidak hanya menghilang. Mereka ada di suatu tempat, mungkin… diawetkan. Gila, pikirnya, tapi tidak ada penjelasan lain yang masuk akal. Ia harus masuk ke dalam klinik itu, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik pintu-pintu tertutup Leon Aesthetic. Risiko memang besar, tapi demi mengungkap kebenaran, Yosiana takkan mundur. Tekadnya membaja, ia siap menghadapi apapun.
Bab 3: Di Balik Ruang Operasi
Sudut Pandang: Dr. Leon
Di jantung Leon Aesthetic, di balik dinding-dinding yang tebal dan kedap suara, bersembunyi rahasia paling kelam. Sebuah ruangan yang dulunya adalah ruang operasi modern, kini telah bertransformasi menjadi studio seni yang mengerikan. Hawanya dingin, berbau eter dan semacam cairan kimia yang manis, seperti wewangian bunga yang membusuk. Dr. Leon menatap karyanya dengan tatapan memuja, sorot mata yang dipenuhi kombinasi gairah seorang seniman dan kegilaan seorang diktator. Di atas meja baja yang bersih, terbaring seorang gadis muda, tubuhnya pucat namun wajahnya sempurna, seolah baru saja tertidur pulas dalam mimpi abadi. Ini adalah "Pasien N", proyek terbarunya, sebuah kanvas hidup yang telah ia ubah menjadi keabadian.
“Sempurna, bukan?” suara dr. Leon yang tenang namun berotoritas mutlak memecah keheningan yang mencekam. Suaranya rendah, nyaris seperti bisikan seorang pendeta di hadapan jemaatnya. Ia berbicara kepada lima staf setianya yang berdiri mengelilingi meja, mengenakan seragam putih bersih dan masker yang menyembunyikan sebagian besar ekspresi mereka. Mereka adalah Lena, asisten seniornya yang berparas dingin dan selalu patuh; Dion, ahli anestesi yang cekatan namun memiliki pandangan mata yang aneh, seolah melihat sesuatu yang tak kasat mata; Maya, perawat bedah yang teliti dan selalu mencatat setiap detail dengan presisi; serta dua teknisi, Rio dan Sarah, yang bertanggung jawab atas peralatan khusus mereka, keduanya memiliki bekas tato di lengan yang samar terlihat dari balik seragam mereka.
“Kecantikan ini… tak pantas memudar oleh waktu,” lanjut dr. Leon, mengelus lembut pipi gadis di meja dengan sarung tangan lateksnya. Sentuhannya terasa seperti sentuhan seorang pematung pada karyanya yang baru selesai. “Kita telah ‘menyelamatkan’ dia. Menyelamatkannya dari kehancuran, dari penuaan, dari kematian yang lambat. Dia akan abadi, sebuah monumen keindahan yang tak lekang oleh zaman.”
Prosesnya sudah mereka lakukan berkali-kali, berulang-ulang, dengan presisi yang mengerikan. Pertama, para wanita cantik itu diculik setelah konsultasi, biasanya saat mereka sedang dalam perjalanan pulang atau saat sedang lengah. Mereka tidak pernah berteriak, tidak pernah melawan. Racun halus yang diracik khusus akan disuntikkan, dirancang untuk menghentikan fungsi organ vital secara perlahan, tanpa merusak integritas sel atau jaringan tubuh. Setelah kematian yang damai, barulah proses pembalseman dimulai. Bukan pembalseman konvensional yang biasa dilakukan, melainkan sebuah teknik ilmiah yang mereka kembangkan sendiri, rahasia yang tersimpan rapat di dalam tembok Leon Aesthetic. Teknik ini melibatkan cairan khusus yang menjaga elastisitas kulit tetap sempurna, kilau mata tetap hidup, dan bahkan warna rambut tetap seperti semula. Mereka mengawetkan setiap detail, setiap lekukan, setiap ekspresi, membuat tubuh-tubuh itu seolah hidup dalam tidur abadi, sebuah ilusi yang sempurna.
“Bawa dia ke Museum Hidup,” perintah dr. Leon, suaranya dipenuhi kepuasan.
Rio dan Sarah dengan hati-hati memindahkan tubuh gadis itu ke brankar khusus, yang dirancang sedemikian rupa agar tubuh tetap tegak. Mereka membawanya menuruni lorong rahasia yang tersembunyi di balik sebuah dinding bergerak, menuju ruang bawah tanah. Di sanalah, koleksi mereka tersimpan. Ratusan tubuh wanita muda, berdiri di dalam kubah kaca transparan, diterangi cahaya kebiruan lembut, masing-masing dengan ekspresi damai yang sama, seolah mereka semua adalah boneka manekin dari surga. Ini adalah "Museum Hidup" mereka, sebuah makam keindahan yang abadi, sebuah simfoni bisu dari keabadian, melodi kematian yang tak pernah usai.
Dr. Leon memandang puas ke arah Lena. Lena membalas tatapan itu dengan senyum tipis, menunjukkan kekaguman yang mendalam. “Proyek kita berkembang, Lena. Setiap ‘pasien’ adalah mahakarya baru, sebuah not baru dalam simfoni kita.”
Lena mengangguk. “Pengabdian kami takkan pernah luntur, Dokter. Kami adalah alat di tangan Anda untuk menciptakan keindahan yang abadi.”
Ia melirik jam di dinding. Sebentar lagi, waktunya untuk pertemuan rutin dengan para staf, sebuah sesi "motivasi" yang selalu diberikan dr. Leon untuk memperkuat ideologi gila mereka. Ia sudah menyiapkan presentasi terbaru, sebuah presentasi yang akan memantapkan keyakinan mereka, menjerat mereka lebih dalam ke dalam jaring obsesinya.
Bab 4: Motif Sempurna
Ruang rapat dr. Leon terasa berat oleh keheningan yang mencekam, hanya dipecahkan oleh dengungan proyektor. Ia duduk di kepala meja, mengenakan setelan jas abu-abu yang elegan, penampilannya sempurna dan berwibawa, kontras dengan kegelapan pikiran yang ia sembunyikan. Di depannya terhampar proyeksi slide yang menampilkan foto-foto wanita-wanita muda yang cantik dan berbinar, lalu disusul foto-foto mereka di usia tua, dengan kerutan yang dalam, kulit kendur, dan mata yang redup. Gambar-gambar itu, di mata dr. Leon, adalah representasi dari kehancuran, sebuah kegagalan alam semesta.
“Lihatlah kehancuran ini,” suara dr. Leon terdengar seperti khotbah yang dingin, namun penuh keyakinan, “Kecantikan… adalah anugerah termahal. Sebuah hadiah dari Tuhan, dari alam semesta. Namun, alam semesta kejam. Ia merenggutnya, mengikisnya, mengubahnya menjadi sesuatu yang… menjijikkan. Sebuah parodi dari keindahan yang pernah ada.” Ia menunjuk gambar-gambar keriput itu dengan ujung pulpennya, seolah menunjuk aib besar.
Kelima stafnya mendengarkan dengan saksama. Mata mereka terpaku pada gambar-gambar di layar, sebagian menunjukkan ekspresi jijik yang serupa dengan dr. Leon, sebagian lagi menunjukkan semacam rasa takut akan masa depan. Mereka semua adalah individu-individu yang, dengan cara mereka sendiri, telah terperangkap dalam obsesi dr. Leon.
“Saya… kita semua… adalah penjaga keabadian,” lanjut dr. Leon, berdiri dan berjalan mengelilingi meja, langkahnya tenang dan terkontrol. “Kita tidak membiarkan kecantikan ini mati. Kita ‘menyelamatkan’ mereka dari kehancuran waktu. Kita mengabadikan mereka di puncak kesempurnaan mereka. Mereka tidak mati, mereka hanya… beristirahat dalam keabadian. Sebuah mahakarya yang takkan pernah lekang oleh zaman, takkan pernah disentuh oleh tangan busuk penuaan.”
Ia berhenti di depan Liana, staf magang baru yang bergabung sebulan terakhir, seorang gadis muda dengan mata cerdas namun masih tampak sedikit gugup, seolah baru saja terbangun dari mimpi buruk. “Liana, kamu adalah salah satu dari kita sekarang. Kamu telah melihat kebenaran. Kamu telah melihat visi saya yang agung. Bukankah ini lebih baik daripada membiarkan mereka membusuk dan hancur?”
Liana mengangguk pelan, tatapan matanya sulit diartikan, sebuah konflik batin yang tersembunyi di balik topeng kepatuhan. Ia memang melihat kebenaran, tapi kebenaran yang dilihatnya jauh lebih mengerikan dari apa yang diucapkan dr. Leon.
Dr. Leon lalu menatap staf-stafnya yang lain, satu per satu, wajahnya memancarkan kharisma yang manipulatif. Lena, mantan pasien yang pernah diselamatkan dr. Leon dari depresi akut akibat penuaan dini, kini menjadi pengikutnya yang paling fanatik, percaya bahwa kecantikan adalah satu-satunya tujuan hidup, bahkan lebih penting dari nyawa itu sendiri. Ia melihat dr. Leon sebagai penyelamat pribadinya, dan karenanya, ia akan melakukan apapun untuknya. Dion, seorang pecandu estetika ekstrem yang pernah menghabiskan seluruh warisannya untuk operasi plastik dan merasa jiwanya terlahir kembali berkat dr. Leon. Ia bahkan menganggap dr. Leon sebagai guru spiritualnya, sosok yang memberinya pencerahan tentang keabadian fisik. Maya, mantan perawat di klinik lain yang dipecat karena praktik ilegal dan kehilangan lisensinya, menemukan "pencerahan" dalam filosofi dr. Leon tentang "penyempurnaan tubuh" dan "keadilan estetika". Ia merasa dr. Leon memberinya tujuan baru, sebuah kesempatan untuk kembali "berkarya" tanpa terikat aturan yang ia anggap kolot. Rio dan Sarah, keduanya adalah seniman pahat yang frustasi dengan seni modern yang dianggapnya tak lagi menghargai keindahan klasik dan proporsi ideal. Mereka menemukan medium baru dalam "Museum Hidup" dr. Leon, sebuah museum di mana tubuh manusia menjadi patung hidup, sebuah bentuk seni yang ekstrem dan tak tertandingi. Mereka bertanggung jawab atas proses pembalseman yang rumit, menganggap setiap tubuh sebagai kanvas agung.
“Kita adalah para penjaga. Para penyelamat. Para seniman. Dan karya kita… akan dikenang abadi, sebuah warisan keindahan yang takkan pernah pudar,” pungkas dr. Leon, tatapannya menyala-nyala, matanya berkilat gila. “Sekarang, mari kita siapkan ‘Simfoni Keabadian’ yang baru. Saya sudah punya beberapa kandidat yang sangat menjanjikan.”
Meskipun para staf mengangguk setuju dan terlihat antusias, Liana merasakan ada sesuatu yang mengganjal. Filosofi itu terdengar… salah. Ia melihat kembali keindahan yang beku di Museum Hidup, dan sebuah pertanyaan mulai tumbuh di hatinya: apakah ini benar-benar penyelamatan, atau justru sebuah kejahatan paling keji yang dibalut dengan retorika indah? Ketakutan mulai merayap di benaknya, bukan lagi takut pada dr. Leon, tapi takut pada dirinya sendiri, pada fakta bahwa ia telah menjadi bagian dari kegilaan ini.
Bab 5: Yosiana Jadi Target
Setelah berhari-hari menyusun rencana dengan detail, Yosiana akhirnya memutuskan untuk menyusup ke Leon Aesthetic. Ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan bukti yang tak terbantahkan. Dengan bantuan Rina yang memberinya foto Tasya dan informasi tentang detail konsultasi adiknya, Yosiana menyamar sebagai calon pasien yang sangat kaya, terobsesi dengan kesempurnaan. Ia menggunakan identitas palsu, memilih nama "Anastasya", berpakaian modis dan mahal dari butik-butik paling elit di Makassar, dan memancarkan aura arogansi yang membuatnya terlihat meyakinkan—seorang wanita yang terbiasa mendapatkan apa pun yang diinginkannya, bahkan kecantikan abadi.
Awalnya, semuanya berjalan lancar, nyaris terlalu mudah. Ia berhasil lolos dari pemeriksaan ketat di resepsionis. Petugas resepsionis, seorang wanita muda berwajah tegang, menyambutnya dengan senyum palsu yang terlalu lebar. Suasana klinik terasa dingin dan mewah, nyaris tidak ada pasien lain yang terlihat, hanya keheningan yang menyesakkan, seolah klinik ini adalah sebuah mausoleum modern. Lampu-lampu kristal di langit-langit memantulkan cahaya putih steril, menciptakan bayangan panjang di lantai marmer yang mengkilap.
Seorang perawat dengan seragam kaku mengantarnya ke ruang konsultasi dr. Leon. Di sana, dr. Leon menyambutnya dengan senyum profesional namun matanya tajam dan menyelidik, seolah sedang memindai jiwanya. “Selamat datang, Nona Anastasya,” sapa dr. Leon, suaranya halus seperti sutra, namun Yosiana merasakan ada sesuatu yang licik di baliknya. “Apa yang bisa saya bantu untuk menyempurnakan diri Anda? Keinginan apa yang membawa Anda kemari?”
Yosiana berusaha menahan gugupnya, bibirnya sedikit bergetar saat ia menjawab. “Saya dengar Anda adalah yang terbaik, Dokter. Saya ingin… keabadian. Saya tidak ingin kecantikan saya pudar. Saya ingin tetap muda, sempurna, selamanya.” Ia sengaja menggunakan kata kunci yang dr. Leon ucapkan di brosurnya, berharap itu akan memancing reaksi darinya.
Dr. Leon tersenyum tipis, sorot matanya menyala. “Sebuah tujuan yang luhur, Nona Anastasya. Sebuah pemahaman yang mendalam tentang esensi kehidupan. Hanya sedikit orang yang benar-benar memahami nilai keabadian estetika.” Ia mengambil sebuah tablet elektronik dan mulai mencatat, sesekali melirik Yosiana dengan tatapan menilai, seolah ia adalah sebuah patung yang akan dipahat.
Selama konsultasi, Yosiana berusaha mencari celah, melihat-lihat detail ruangan, mencari tanda-tanda yang mencurigakan. Ia melirik pintu yang menuju ke area staf, yang tampaknya tidak dikunci, hanya tertutup rapat. Ada sedikit celah di bawah pintu itu, dan Yosiana bisa melihat seberkas cahaya redup di baliknya. Ia juga memperhatikan sebuah lukisan abstrak besar di dinding, yang, jika diperhatikan lebih dekat, tampak seperti kumpulan garis-garis tubuh manusia yang samar, membentuk siluet yang aneh.
“Maaf, Dokter, saya harus ke toilet sebentar,” kata Yosiana, berdiri dari kursinya, mencoba terdengar santai. Ia melirik jam tangannya, berusaha mengulur waktu.
“Tentu, Nona Anastasya. Perawat akan mengantar Anda,” kata dr. Leon, meraih interkom di mejanya.
Yosiana menolak dengan sopan, tersenyum manis namun memaksa. “Tidak perlu, Dokter. Saya bisa sendiri. Saya suka privasi.” Ia bersikeras ingin sendirian. Ia memanggang waktu sebentar di toilet mewah itu, lalu diam-diam menyelinap ke area staf. Lorong itu remang-remang, jauh berbeda dari area pasien yang terang benderang. Lantainya dilapisi karpet tebal yang meredam setiap langkah, menambah kesan menyeramkan. Ia berjalan hati-hati, melewati beberapa pintu tertutup. Salah satu pintu sedikit terbuka, menampilkan sekilas ruangan yang dipenuhi peralatan aneh, tabung-tabung berisi cairan berwarna-warni, dan bau kimia yang menyengat. Jantung Yosiana berdebar kencang. Ia tahu ia mendekati sesuatu.
Tiba-tiba, sebuah tangan membekap mulut Yosiana dari belakang, dengan kekuatan yang tak terduga. Sebuah lengan kekar melingkar di pinggangnya, mengangkatnya sedikit dari lantai. Ia berontak, meronta-ronta dengan seluruh kekuatannya, menendang ke belakang, namun kekuatan pria itu terlalu besar. Pandangannya mulai kabur, aroma klorofom yang kuat menyeruak dari kain yang membekap hidungnya. Sebuah suara familiar berbisik dingin di telinganya, sebuah suara yang ia kenali dari telepon dr. Leon sebelumnya. “Nona Yosiana… Anda seharusnya tidak datang ke sini. Anda terlalu ingin tahu.”
Suara itu adalah Lena. Yosiana sadar, ia sudah dikenali. Penyamarannya gagal. Dunia berputar, lalu gelap.
Saat sadar kembali, Yosiana merasakan pusing yang luar biasa, kepalanya berdenyut-denyut. Matanya mengerjap, berusaha menyesuaikan diri dengan kegelapan yang pekat. Ia terbaring di atas meja baja yang dingin, tangan dan kakinya terikat erat dengan tali kulit. Ruangan itu dingin, berbau tajam, dan dikelilingi oleh kubah-kubah kaca transparan yang tinggi, seperti etalase raksasa. Matanya membelalak kaget saat ia melihat lebih jelas. Di dalam setiap kubah, berdiri tegak, adalah tubuh-tubuh wanita muda yang diawetkan. Wajah mereka pucat, namun sempurna, dengan mata terbuka yang kosong, seolah mereka hanya patung lilin yang sangat realistis. Ini adalah Museum Hidup yang sesungguhnya. Kengerian itu nyata.
Di salah satu kubah, ada wajah yang sangat dikenalnya: Tasya, adik Rina. Air mata Yosiana menetes, bercampur dengan rasa takut yang luar biasa yang menjalar di setiap sel tubuhnya. Ia adalah target, ia akan menjadi koleksi berikutnya.
Tidak jauh dari Yosiana, di meja operasi lain, seorang gadis lain tergeletak, kulitnya mulai membiru di beberapa bagian, napasnya tersengal-sengal, nyaris tak terdengar. Gadis itu belum sepenuhnya diawetkan, racun halus mulai merenggut nyawanya di hadapan Yosiana, sebuah proses yang lambat dan menyakitkan. Yosiana mencoba berteriak, memanggil, memperingatkan, namun suaranya hanya berupa rintihan yang tercekat di tenggorokan. Teror yang sesungguhnya baru saja dimulai. Ia harus kabur, atau ia akan menjadi salah satu dari "karya seni" abadi dr. Leon.
Bab 6: Sekutu Tak Terduga
Dalam keputusasaan yang mencekam, Yosiana mendengar suara langkah kaki mendekat. Jantungnya berdebar kencang, ia mengira itu adalah dr. Leon atau Lena yang akan memulai proses pengawetan dirinya. Namun, yang muncul dari balik kegelapan adalah Liana, staf magang yang pernah ia lihat sekilas di koridor, gadis muda yang terlihat polos namun kini wajahnya pucat dan tegang, matanya memancarkan rasa bersalah dan ketakutan yang dalam.
Liana mendekat dengan hati-hati, kakinya gemetar. “Anda harus pergi dari sini,” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar, namun dipenuhi urgensi. Ia mengeluarkan pisau lipat kecil dari sakunya dan mulai membuka ikatan tangan Yosiana dengan tergesa-gesa. Tangannya dingin dan basah oleh keringat. “Ini gila. Apa yang mereka lakukan… saya tidak tahan lagi. Saya tidak bisa membiarkan ini berlanjut.”
Yosiana terkejut, menatap Liana dengan tak percaya. “Kamu… kamu mau membantu? Kenapa?”
Liana mengangguk, air mata menggenang di pelupuk matanya, mencerminkan penderitaan batin yang ia alami. “Saya melihat apa yang mereka lakukan. Setiap hari. Mereka bukan menyelamatkan, mereka… mereka membunuh. Dan mengawetkan mayat-mayat itu. Saya tidak bisa diam saja. Saya tidak bisa menjadi bagian dari ini lagi. Saya ingin keluar.” Liana menatap tubuh Tasya di dalam kubah kaca, wajahnya berkerut menahan rasa mual. “Itu Tasya, bukan? Saya ingat dia. Dia sangat cantik.”
Yosiana bangkit perlahan, tubuhnya masih lemah dan mati rasa akibat bius, namun adrenalin mulai mengalir di nadinya. “Kita harus kabur. Tapi kita butuh bukti. Bukti kuat agar mereka tidak bisa mengelak. Polisi tidak akan percaya begitu saja tanpa bukti fisik.”
Liana mengangguk, matanya menunjukkan secercah harapan. “Saya punya ide. Ada alat perekam video mikro di ruang kendali. Sangat kecil, ukurannya seperti kancing baju biasa. Saya sering menggunakannya untuk merekam proses pembalseman secara detail, sesuai perintah dr. Leon. Saya bisa menyelipkannya. Saya akan merekam proses pengawetan ‘pasien’ berikutnya. Saya sudah tidak tahan dengan kegilaan ini.”
Mereka menyusun rencana pelarian dengan cepat, berbisik-bisik di tengah keheningan yang menyeramkan. Liana akan menciptakan keributan kecil di area dapur staf untuk mengalihkan perhatian para staf lain yang sedang berjaga, sementara Yosiana akan berusaha mencapai ruang kendali. Setelah mendapatkan rekaman, mereka akan berusaha menghubungi polisi, menggunakan sistem komunikasi darurat yang Liana tahu persis letaknya.
“Bagaimana kita akan keluar dari sini?” tanya Yosiana, matanya menyapu sekeliling, mencari celah, melihat ke pintu baja tebal di ujung lorong yang tampak mustahil ditembus.
Liana menunjuk sebuah pintu baja di ujung lorong bawah tanah. “Itu pintu darurat. Terhubung langsung ke jalan belakang, tapi kodenya sangat rahasia, hanya diketahui dr. Leon dan Lena. Dan selalu diganti setiap minggu. Tapi… saya tahu celahnya. Saya akan mencoba meretas sistemnya. Beri saya waktu. Biasanya saya butuh sekitar sepuluh menit untuk mem-bypass sistem penguncian itu.”
Beberapa jam kemudian, ketegangan terasa di udara. Yosiana bersembunyi di balik rak-rak penyimpanan peralatan yang tinggi, napasnya tertahan, jantungnya berdebar keras di dadanya. Ia menunggu sinyal dari Liana. Terdengar suara keributan dari area dapur, disusul suara pecahan piring dan teriakan marah Lena. Itu sinyalnya. Yosiana bergerak cepat, menyelinap ke ruang kendali yang pintunya memang tidak terkunci. Ruangan itu penuh dengan monitor dan panel kontrol, berkedip-kedip dalam cahaya hijau redup.
Dengan tangan gemetar, ia menemukan alat perekam mikro yang dimaksud Liana, disembunyikan di dalam laci kecil di bawah konsol utama. Bentuknya memang seperti kancing baju biasa, sangat mudah disamarkan. Ia segera menyalakannya. Tidak lama kemudian, dr. Leon dan Lena masuk ke ruangan, tampak kesal dengan keributan di dapur. Mereka mulai mempersiapkan proses pembalseman gadis yang terbaring di meja, yang untungnya masih hidup, meskipun sangat lemah.
Yosiana dengan jantung berdebar kencang, menyelinapkan alat perekam itu ke celah kecil di dekat peralatan, memastikan lensanya mengarah ke meja operasi. Ia bersembunyi di balik sebuah lemari arsip, menyaksikan adegan mengerikan itu dengan mata kepala sendiri: dr. Leon dan stafnya yang lain—Dion, Maya, Rio, dan Sarah—dengan tenang dan teliti melakukan prosedur "pengawetan" itu, seolah mereka sedang melukis sebuah karya seni yang agung. Mereka menyuntikkan cairan ke pembuluh darah gadis itu, mengurut tubuhnya, dan menyeka cairan yang keluar. Yosiana merekam semuanya, setiap detail mengerikan, setiap sentuhan dingin yang mengubah kehidupan menjadi keabadian semu. Ia bahkan merekam percakapan mereka, suara dr. Leon yang menjelaskan setiap langkah dengan bangga, suara Lena yang penuh kekaguman.
Setelah proses selesai, dan tubuh gadis itu dipindahkan ke salah satu kubah kaca, Yosiana mengambil kembali alat perekamnya. Ia segera menuju pintu darurat, tempat Liana menunggunya dengan cemas. Liana berhasil meretas sistem, dan pintu baja itu sedikit terbuka, memperlihatkan celah kecil yang cukup untuk dilewati.
“Cepat!” bisik Liana, wajahnya semakin pucat. “Aku akan mengirimkan sinyal darurat ke polisi dari komputerku. Dengan rekaman ini, mereka tidak akan bisa mengabaikannya. Aku akan kirimkan ke semua email wartawan investigasi yang aku tahu, termasuk kontakmu.”
Yosiana memeluk Liana erat-erat. “Terima kasih. Kamu menyelamatkan banyak orang, Liana. Kamu berani.”
“Kita akan selamat,” balas Liana, air mata membasahi pipinya. “Aku tidak bisa hidup dengan ini lagi.”
Yosiana menyelinap keluar melalui celah itu, melarikan diri dari neraka Leon Aesthetic. Ia berlari sekuat tenaga menjauhi klinik terkutuk itu, di bawah langit Makassar yang gelap. Di belakangnya, Liana kembali masuk ke dalam, yakin bahwa ia harus memastikan bukti terkirim, dan menghadapi konsekuensinya sendirian.
Bab 7: Penggerebekan dan Penangkapan
Sirene polisi meraung di kejauhan, memecah kesunyian malam di sekitar Leon Aesthetic, suaranya semakin mendekat dan menggetarkan tanah. Yosiana, yang telah mencapai pos polisi terdekat dengan napas tersengal-sengal dan menunjukkan rekaman mengerikan itu—sebuah video yang tak terbantahkan, lengkap dengan suara dan detail prosedur—berhasil meyakinkan aparat. Wajah-wajah polisi yang menonton rekaman itu tampak berubah pucat pasi, beberapa di antaranya terlihat mual. Sebuah tim pasukan khusus berseragam hitam, lengkap dengan senjata berat, segera dikerahkan untuk mengepung klinik.
“Serbu!” perintah komandan, suaranya menggelegar melalui pengeras suara.
Pintu utama Leon Aesthetic didobrak dengan paksa, menciptakan suara dentuman keras yang memekakkan telinga. Di dalam, dr. Leon dan stafnya terkejut. Mereka tidak menyangka akan digerebek secepat ini. Bahkan sistem keamanan canggih mereka tak mampu menahan serbuan yang mendadak ini. Panik merebak. Lena, dengan wajah geram dan mata menyala seperti singa betina yang terluka, mencoba melawan, menyerang polisi dengan pisau bedah yang tajam, melukai beberapa petugas sebelum ia berhasil dilumpuhkan. Dion dan Maya berusaha melarikan diri melalui lorong belakang yang tersembunyi, namun sudah ada tim polisi yang menunggu di sana. Rio dan Sarah, di ruang kendali, mencoba menghancurkan data di komputer, memukul-mukul keyboard dan monitor, namun semuanya sia-sia. Data sudah terkirim, dan polisi sudah memegang bukti.
Dr. Leon, dengan tatapan kosong, langkahnya gontai, berjalan menuju lemari kaca di ruang bawah tanah. Ia tahu, akhir dari "Simfoni Keabadian" telah tiba. Proyek agungnya telah terbongkar. Di tangannya, ia memegang sebotol kecil cairan bening yang ia keluarkan dari balik jasnya. Racun yang sama yang ia gunakan untuk para "pasien"nya. Ia mengangkatnya ke bibirnya, mencoba menenggak untuk mengakhiri segalanya dan bergabung dengan "karyanya" di Museum Hidup, menjadi bagian dari keabadian semu yang ia ciptakan.
Namun, seorang polisi sigap menerjangnya, menjatuhkan botol itu sebelum sempat terminum. Botol itu pecah di lantai, cairan beningnya tumpah dan menguap. Pergulatan sengit terjadi. Dr. Leon melawan dengan kekuatan putus asa yang tak terduga dari seorang dokter tua, matanya memancarkan kegilaan murni, namun akhirnya berhasil dilumpuhkan dan diborgol. Ia terus meracau tentang "keindahan abadi" dan "menyelamatkan jiwa-jiwa cantik".
Sementara itu, di ruang bawah tanah, tim polisi menemukan "Museum Hidup" yang mengerikan. Ratusan tubuh wanita muda yang diawetkan, berdiri dalam kubah kaca, diterangi cahaya kebiruan, menjadi saksi bisu kejahatan yang tak terbayangkan. Beberapa petugas muntah, yang lain terdiam syok melihat pemandangan itu. Beberapa calon korban yang masih terbaring di meja operasi, nyaris tidak sadarkan diri namun masih hidup—tubuh mereka mulai kaku, namun organ vital mereka masih berfungsi lemah—berhasil diselamatkan dan segera mendapatkan pertolongan medis darurat. Salah satunya adalah gadis yang Yosiana lihat di Bab 5, yang berhasil diselamatkan tepat waktu.
Liana, yang berhasil mengirimkan sinyal dan rekaman bukti, ditemukan oleh polisi di ruang kendali, wajahnya pucat pasi namun selamat, gemetar ketakutan namun juga lega. Ia segera memberikan kesaksiannya, dengan suara bergetar namun jelas, memperkuat bukti-bukti yang ditemukan dan menjelaskan setiap detail mengerikan dari praktik dr. Leon.
Seluruh anggota sindikat—dr. Leon, Lena, Dion, Maya, Rio, dan Sarah—ditangkap. Lena didakwa dengan percobaan pembunuhan terhadap petugas, sementara yang lain didakwa dengan penculikan, pembunuhan berencana, dan berbagai kejahatan keji lainnya. Leon Aesthetic, klinik yang selama ini menjadi kedok kejahatan mengerikan, akhirnya terbongkar dan disegel. Malam itu, cahaya lampu sorot polisi dan kamera jurnalis menyinari bangunan itu, mengungkap kegelapan yang selama ini tersembunyi. Bau anyir formalin bercampur dengan bau darah dan keringat, sebuah aroma yang tak akan pernah bisa dilupakan oleh siapa pun yang hadir di sana.
Bab 8: Dosa dan Duka
Berita tentang Leon Aesthetic meledak bagai bom di seluruh negeri, bahkan mendunia. Stasiun televisi berita utama di Jakarta menghentikan siaran rutin mereka untuk melaporkan detail kasus ini secara breaking news. Foto-foto Museum Hidup yang buram namun mengerikan beredar luas di media sosial, memicu gelombang kemarahan dan kengerian. Publik marah, terkejut, dan jijik. Kasus ini menjadi sorotan utama, memicu perdebatan sengit tentang etika kedokteran, obsesi kecantikan yang tak sehat, dan sisi gelap ambisi manusia yang melampaui batas moralitas.
Yosiana, sebagai wartawan yang berhasil membongkar kasus ini, menjadi pahlawan nasional. Wajahnya menghiasi sampul majalah terkemuka, ia diundang ke berbagai acara talk show di televisi, dan banjir pujian mengalir deras dari kolega, atasan, dan masyarakat luas. Keberaniannya diakui, dan ia dianggap sebagai simbol jurnalisme investigasi sejati, yang berani mempertaruhkan nyawa demi mengungkap kebenaran. Pimpinan redaksinya bahkan memberikan promosi dan bonus besar.
Namun, di balik semua sorotan itu, Yosiana merasa hampa. Sukses yang ia raih terasa pahit, diselimuti bayang-bayang dosa dan duka para korban. Kenangan akan wajah-wajah cantik yang dibekukan selamanya menghantuinya. Setiap malam, ia melihat tatapan kosong dari mata-mata yang diawetkan, mendengar rintihan tak bersuara dari mereka yang telah direnggut kehidupannya. Ia berusaha tidur, namun setiap kali memejamkan mata, ia kembali melihat Museum Hidup, sebuah galeri kematian yang takkan pernah pudar dari ingatannya. Ia dihantui pertanyaan: apa gunanya keindahan jika itu hanya sebuah cangkang tanpa jiwa? Apa arti hidup jika bukan untuk dijalani dan menua secara alami?
Dengan hati yang berat dan jiwa yang terluka, Yosiana memutuskan untuk menuliskan kisah investigasinya. Artikelnya, yang berjudul "Simfoni Keabadian: Kisah Horor di Balik Obsesi Kecantikan", mengguncang dunia. Ia menuliskan setiap detail, dari awal kecurigaannya hingga momen penggerebekan, dari bisikan ketakutan Rina hingga wajah pucat Liana. Ia tidak hanya melaporkan fakta, tetapi juga merangkai narasi yang menyentuh jiwa, sebuah refleksi mendalam tentang makna kecantikan, kehidupan, dan kerapuhan moral manusia. Artikel itu viral, memicu diskusi global tentang nilai kemanusiaan, batas-batas ambisi, dan bahaya obsesi.
Setelah artikelnya terbit, Yosiana tidak bisa lagi bekerja. Ia merasa jiwanya terkuras habis. Ia memutuskan untuk mengambil cuti panjang dari pekerjaannya. Ia membutuhkan waktu untuk menyembuhkan diri, untuk memulihkan jiwanya dari kengerian yang ia saksikan, dari bayangan-bayangan yang terus menghantuinya. Ia pergi ke sebuah desa kecil di pinggir pantai di Sulawesi, jauh dari hiruk pikuk kota, mencoba menemukan kembali makna hidup, menemukan kembali kedamaian di balik semua kegelapan yang telah ia alami. Ia duduk di tepi pantai, memandangi ombak yang datang dan pergi, berharap ombak itu bisa menghanyutkan sebagian dari beban di hatinya.
Bab 9: Bayangan di Kota Lain
Tiga bulan kemudian, dunia perlahan mulai melupakan kasus Leon Aesthetic. Media beralih ke berita lain, tragedi baru, skandal baru, dan publik menemukan sensasi baru untuk dibicarakan. Yosiana masih dalam masa cutinya, berusaha membangun kembali kehidupannya yang sempat hancur, mencari kedamaian yang sejati. Terkadang ia masih terbangun di malam hari, berteriak, melihat wajah-wajah beku di depannya. Trauma itu akan selalu ada, mungkin selamanya.
Namun, di sebuah kota kecil yang tenang, jauh dari Makassar, sebuah bayangan baru mulai menyelimuti, sebuah melodi baru dari simfoni yang sama. Pukul sebelas malam, seorang gadis muda bernama Sarah, seorang mahasiswi seni yang baru pulang dari les tambahan menggambar, berjalan sendirian di jalanan yang sepi. Lampu jalan yang remang-remang berkelip-kelip, menciptakan bayangan panjang yang menari-nari di depannya, menambah kesan misterius pada malam itu. Ia sedang mendengarkan musik dari earphone-nya, tidak menyadari bahaya yang mengintai.
Tiba-tiba, sebuah mobil hitam mewah, dengan kaca film gelap yang nyaris tak tembus pandang, berhenti perlahan di sampingnya. Mobil itu tidak mengeluarkan suara, seolah meluncur di atas angin. Jendela belakang terbuka sedikit, memperlihatkan secuil kegelapan di dalamnya. Sarah sempat melirik, merasa sedikit tidak nyaman. Pintu belakang kemudian terbuka. Dari dalamnya, terlihat tangan seorang pria mengenakan jas dokter berwarna gelap, sarung tangan putih bersih yang mencolok di kegelapan, dan sebuah cincin perak berkilau dengan ukiran aneh di jari manisnya. Wajahnya tidak terlihat jelas dalam kegelapan, hanya siluet samar.
Sarah mencoba berteriak, instingnya menjerit, namun sebuah kain berbau tajam membekap mulutnya sebelum ia sempat mengeluarkan suara. Aroma klorofom yang kuat menyeruak, menusuk hidungnya. Pandangannya langsung kabur, tubuhnya lunglai, otot-ototnya tak bisa digerakkan. Pria itu dengan sigap dan terampil mengangkat tubuh Sarah yang tak berdaya, memasukkannya ke dalam mobil, seolah ia adalah barang ringan. Pintu mobil tertutup, dan mobil itu melaju pergi, menghilang ditelan kegelapan malam, tanpa jejak, tanpa saksi.
Mobil itu melaju pelan, menuju sebuah rumah bergaya klasik yang terpencil di pinggir kota. Rumah itu tampak kosong dan tak terawat dari luar, namun ada aura aneh yang memancar darinya. Lampu di dalamnya padam, namun terlihat jelas sebuah pintu ruang bawah tanah yang sedikit terbuka, memancarkan cahaya redup dari dalamnya, sebuah cahaya kebiruan yang familiar. Pria berjas dokter itu tersenyum tipis di balik kegelapan. Ia telah menemukan inspirasi barunya, kanvas barunya.
Kejahatan itu… belum berakhir. Simfoni Keabadian baru saja menemukan konduktor baru, di panggung yang berbeda, di kota yang berbeda. Dan di suatu tempat, di antara tumpukan arsip kasus lama di kantor polisi, nama dr. Leon terukir, sebuah pengingat bahwa obsesi terhadap keindahan, ketika diiringi dengan kegilaan dan kekuatan, bisa menjadi kegilaan yang tak pernah mati, sebuah melodi yang akan terus dimainkan, selamanya.