Masukan nama pengguna
Bab 1: Senyap yang Menipu
Dunia Adrian adalah sebuah siksaan, sebuah orkestra mengerikan yang tak pernah berhenti. Ia adalah seorang komposer musik klasik, seorang maestro yang pernah dikenal akan kepekaannya terhadap melodi dan harmoni, namun kini, kepekaan itu telah menjadi kutukan. Ia menderita hiperakusis ekstrem, sebuah kondisi langka di mana suara-suara biasa terasa seperti pukulan palu di gendang telinganya, setiap desibelnya menusuk hingga ke saraf terdalam. Bisikan angin, tetesan air dari keran yang bocor, gesekan kain, bahkan detak jantungnya sendiri—semuanya adalah suara memekakkan telinga yang tak henti-hentinya.
Trauma masa lalunya memperparah penderitaannya. Lima tahun lalu, sebuah kecelakaan tragis di sebuah konser orkestra, di mana sebuah set panggung runtuh dengan suara ledakan yang memekakkan telinga, telah merenggut nyawa kekasihnya, seorang pemain biola virtuoso, dan meninggalkan Adrian dengan kondisi pendengaran yang rusak parah, bukan tuli, melainkan sebuah sensitivitas berlebihan yang menghancurkan. Sejak itu, ia mengasingkan diri, mencari keheningan mutlak.
Ia mendengar tentang "Rumah Gema", sebuah properti tua terpencil di tengah hutan lebat, jauh di pegunungan Jawa Barat. Kabar burung mengatakan rumah itu dibangun oleh seorang musisi eksentrik di awal abad ke-20, dengan akustik yang unik—suara-suara seolah menghilang begitu saja di dalamnya, ditelan oleh dindingnya, menghasilkan keheningan yang sempurna. Bagi Adrian, ini adalah janji surga, sebuah tempat di mana ia bisa menemukan ketenangan yang ia dambakan dan mungkin, sekali lagi, menciptakan mahakaryanya.
Perjalanan menuju Rumah Gema adalah siksaan tersendiri. Setiap getaran mesin mobil, setiap klakson dari kendaraan lain, setiap percakapan samar dari pengemudi, menusuknya seperti ribuan jarum. Ia menutupi telinganya dengan earmuff berlapis tebal, namun itu nyaris tak membantu. Ia hanya ingin tiba, ingin merasakan senyap yang dijanjikan.
Ketika mobil yang disewanya akhirnya berhenti di depan sebuah gerbang besi berkarat yang diselimuti tanaman merambat, Adrian merasakan kelegaan yang luar biasa. Ia melangkah keluar, melepas earmuff-nya. Udara dingin pegunungan segera menyambutnya, membawa serta aroma pinus dan tanah lembap. Dan kemudian, keheningan itu datang. Sebuah keheningan yang begitu pekat, begitu absolut, hingga terasa seperti sebuah pelukan yang dingin. Tidak ada suara burung, tidak ada desiran angin yang nyata, tidak ada dengungan serangga. Hanya keheningan. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun, Adrian merasakan kedamaian yang sejati.
Rumah itu sendiri adalah sebuah mahakarya arsitektur, namun juga terasa angker. Terbuat dari kayu gelap yang telah lapuk termakan usia, dengan menara-menara kecil dan jendela-jendela tinggi yang diselimuti lumut. Aura dingin terpancar darinya, sebuah keheningan yang terlalu sempurna untuk menjadi alami. Adrian membuka pintu utama yang berderit pelan. Aroma debu, kayu tua, dan sesuatu yang samar-samar seperti logam dingin, memenuhi udara.
Di dalam, rumah itu terasa seperti gua yang luas. Ruang tamunya membentang lebar, dengan langit-langit tinggi dan jendela-jendela besar yang mengarah ke hutan yang diselimuti kabut. Perabotan lama yang tertutup kain putih berdiri kaku seperti hantu. Adrian berjalan perlahan, setiap langkah kakinya nyaris tak terdengar, seolah suara itu diserap oleh lantai kayu dan dinding yang tebal. Ini adalah keheningan yang ia impikan.
Ia membawa peralatan musiknya, synthesizer portabel, headphone kualitas tinggi, dan sebuah piano tua yang ia beli dari seorang penduduk desa. Ia meletakkannya di ruang tamu yang luas, yang ia bayangkan akan menjadi studionya.
Hari pertama dan kedua berlalu dalam sebuah euforia yang rapuh. Adrian menghabiskan waktunya membersihkan rumah, membuka jendela-jendela yang terkunci rapat, membiarkan cahaya samar dari hutan masuk. Setiap pekerjaan dilakukan dalam keheningan yang mutlak. Ia mulai duduk di depan piano, jari-jarinya menari di atas tuts yang berdebu. Suara yang dihasilkan piano itu terdengar aneh, seperti disaring, kehilangan resonansinya, mati begitu saja di udara. Itu bukan suara yang buruk; itu adalah suara yang terputus, sebuah nada yang tanpa gema, tanpa kelanjutan. Itu sempurna untuk hiperakusisnya.
Namun, di tengah keheningan yang sempurna itu, sesuatu yang aneh mulai muncul. Gema. Bukan gema suara yang ia buat. Bukan gema dari piano atau langkah kakinya. Melainkan gema dari suara-suara yang tidak ada.
Awalnya samar. Sebuah bisikan rendah yang berulang, seolah-olah seseorang berbicara di sudut ruangan, kemudian bisikan itu akan berulang kembali, semakin lemah, lalu menghilang. Kemudian, sebuah desahan halus, seperti napas yang tertahan, yang juga akan bergema dalam siklus yang tak berujung. Kadang-kadang, ia akan mendengar langkah kaki yang nyaris tak terdengar, satu, dua, tiga langkah, lalu gema mereka akan berulang lagi, semakin samar, seperti jejak-jejak hantu yang menari di lantai kayu.
Adrian mencoba mengabaikannya. "Ini cuma adaptasi," bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya terdengar hampa di dalam keheningan yang aneh itu. "Otakku mencari suara di mana tidak ada suara."
Namun, gema-gema itu semakin sering muncul, semakin jelas. Mereka terasa seperti berasal dari dalam dinding, dari dalam lantai, dari dalam dirinya sendiri. Ia akan melompat tiba-tiba, mencari sumbernya, namun hanya ada keheningan yang sempurna, dan kemudian, gema-gema itu akan kembali.
Di malam hari, ketegangan itu memuncak. Cahaya bulan menembus jendela, membentuk pola-pola aneh di lantai. Adrian berbaring di tempat tidur, matanya terpejam. Namun, bahkan dalam kegelapan kelopak matanya, ia mendengar orkestra gema yang tak henti-hentinya. Bisikan-bisikan, desahan-desahan, langkah-langkah kaki itu kini bercampur dengan suara yang lebih mengerikan: rintihan yang sangat rendah, seperti orang yang kesakitan, dan suara benda jatuh yang teredam, seperti sesuatu yang berat menghantam lantai, berulang dalam gema yang menakutkan.
Hyperakusisnya mengubah gema-gema ini menjadi siksaan yang lebih parah daripada suara normal. Mereka terasa seperti gelombang suara yang bergetar di dalam otaknya, tidak hanya di telinganya. Mereka adalah suara dari ketiadaan, namun terasa lebih nyata daripada suara apa pun yang pernah ia dengar.
Adrian bangkit dari tempat tidur, keringat dingin membasahi punggungnya. Ia berjalan ke ruang tamu, mencari sumber gema. Ia mengetuk dinding, mendengarkan. Hanya keheningan. Namun, di dalam keheningan itu, gema-gema itu terus berulang, sebuah simfoni horor yang hanya ia yang bisa dengar.
Ia mengeluarkan perekam suaranya, sebuah perangkat sensitif yang biasa ia gunakan untuk merekam suara alam. Ia mengarahkannya ke arah gema, mencoba menangkap mereka. Ia merekam selama berjam-jam, di berbagai sudut ruangan. Kemudian ia memutar ulang rekaman itu.
Hanya suara statis yang sangat samar. Tidak ada bisikan. Tidak ada rintihan. Tidak ada suara benda jatuh. Hanya keheningan.
Adrian menatap perekam itu, lalu ke sekeliling rumah yang gelap. Rumah ini tidak hanya sunyi. Ia menyembunyikan sesuatu. Dan gema-gema itu... mereka adalah pesan. Sebuah simfoni kematian yang menunggu untuk dimainkan. Dan hanya ia, dengan pendengaran terkutuknya, yang ditakdirkan untuk mendengarnya.
Bab 2: Orkestra Hantu
Keesokan harinya, kecemasan Adrian telah berubah menjadi ketakutan yang dingin. Gema-gema itu tidak lagi hanya bisikan samar; mereka adalah orkestra hantu yang semakin terorganisir, memainkan simfoni kegilaan yang hanya ia yang bisa dengar. Setiap suara memiliki intonasinya sendiri, setiap rintihan memiliki resonansinya sendiri, berulang dalam siklus yang tak henti-hentinya. Hiperakusisnya membuat setiap gema itu terasa seperti siksaan fisik, gelombang tekanan yang menghantam gendang telinganya, mendorongnya semakin jauh ke ambang batas kewarasan.
Ia mencoba berkonsentrasi pada pekerjaannya, pada komposisi musik yang seharusnya membawa kedamaian. Namun, setiap nada yang ia coba mainkan di piano, setiap melodi yang ia coba rangkai di synthesizer, terasa tumpang tindih dengan suara-suara mengerikan dari masa lalu. Gema-gema itu kini mulai membentuk pola-pola yang familiar, seperti sebuah melodi yang rusak, sebuah ritme yang tidak wajar. Ia mulai bisa membedakan beberapa suara: tangisan anak kecil yang teredam, suara langkah kaki yang tergesa-gesa, dan suara jeritan singkat yang memilukan, semuanya berulang dalam siklus yang sama, seolah sebuah adegan kekerasan sedang diputar ulang tanpa henti.
Adrian tahu ini bukan sekadar halusinasi. Ini terlalu nyata, terlalu konsisten. Rumah ini adalah penyimpan suara, seperti yang ia dengar dari legenda lokal. Namun, ia tidak tahu bahwa yang disimpan adalah suara-suara kematian.
Ia kembali ke rak buku yang ia lihat di ruang tamu, mencari apa saja yang bisa memberinya petunjuk. Di antara tumpukan buku-buku usang tentang musik dan arsitektur, ia menemukan sebuah jurnal bersampul kulit tua, yang halamannya menguning dan rapuh. Jurnal itu milik Elias Vance, musisi eksentrik yang membangun Rumah Gema di awal abad ke-20.
Catatan-catatan awal Elias menceritakan tentang obsesinya terhadap akustik dan keheningan. Ia ingin menciptakan ruang di mana musik bisa murni, tanpa gema yang merusak. Namun, tak lama kemudian, tulisannya mulai berubah, menjadi lebih gelap, lebih kacau. Elias mulai menulis tentang "gema aneh" yang ia dengar, suara-suara yang muncul dari kehampaan, yang perlahan membentuk "simfoni yang tak kasat mata."
Adrian membaca dengan napas tercekat. Elias juga menderita kondisi pendengaran yang aneh, serupa dengan hiperakusisnya. Elias percaya bahwa rumah itu bukanlah ruang yang menghilangkan suara, melainkan "penyerap suara," sebuah wadah yang menangkap dan menyimpan setiap gelombang suara yang pernah ada di dalamnya, terutama gelombang suara yang dipenuhi emosi intens. Kekerasan, penderitaan, kematian—suara-suara itu tidak hilang, melainkan terjebak dalam dinding-dinding rumah, berulang dalam gema yang tak berujung. Elias menyebut mereka "para penghuni gema."
Ketegangan Adrian semakin memuncak saat ia membaca catatan-catatan Elias yang semakin tidak stabil. Elias menjadi terobsesi dengan para penghuni gema. Ia percaya bahwa mereka adalah jiwa-jiwa yang terperangkap, yang dipaksa untuk mengulang momen-momen kematian mereka berulang kali, sebuah siksaan abadi. Elias mencoba "berkomunikasi" dengan mereka, menggunakan musiknya sendiri sebagai medium, mencoba "membebaskan" mereka melalui resonansi.
Catatan Elias menggambarkan eksperimen-eksperimen mengerikan. Ia mulai menciptakan komposisi musik yang dirancang khusus untuk "beresonansi" dengan gema-gema itu, mencoba memperkuat atau mengubahnya. Ia bahkan mencoba menciptakan sebuah "instrumen transenden" yang terbuat dari bahan-bahan organik, yang ia yakini bisa membuka gerbang antara dunia ini dan dimensi gema.
Pada titik ini, Rizky (jika diubah menjadi karakter wanita) atau Adrian (jika tetap pria) mulai merasakan kilasan visual yang aneh di sudut matanya, terutama saat gema-gema itu mencapai puncaknya. Bukan hanya bayangan samar, melainkan siluet-siluet kabur yang bergerak di ambang batas penglihatannya, muncul dan menghilang dengan cepat, seolah mereka adalah visualisasi dari suara-suara yang menghantuinya. Mereka tidak memiliki detail wajah, hanya bentuk manusia yang kabur, transparan, dan bergerak dalam pola yang tidak wajar, seolah mereka sendiri adalah gema visual.
Suatu malam, badai menerjang hutan. Angin menderu di luar, petir menyambar, dan listrik di rumah padam. Adrian terperangkap dalam kegelapan total, yang kini terasa seperti kegelapan yang bernapas. Gema-gema itu kini menjadi badai suara di dalam kepalanya. Teriakan, rintihan, suara retakan tulang, suara air mata—semuanya bercampur menjadi sebuah simfoni kekejaman yang memekakkan telinga.
Dalam kegelapan, Adrian melihatnya. Siluet-siluet kabur itu kini tampak lebih jelas, memantulkan cahaya samar dari petir yang menyambar di luar. Mereka tidak lagi hanya di sudut matanya. Mereka bergerak di dalam ruangan, melayang di udara, mengelilinginya, seolah mereka telah menemukan cara untuk memanifestasikan diri secara samar di dunia nyata.
Aroma aneh mulai muncul dan hilang secara acak, bukan hanya bau logam atau tanah basah. Kini ada bau darah yang samar, bau amoniak, dan bau pembusukan yang mengerikan, seolah ia dikelilingi oleh kematian itu sendiri.
Adrian merangkak mundur, terhuyung-huyung di lantai. Ia mencoba meraih senter, namun tangannya gemetar hebat. Gema-gema itu, suara-suara mengerikan itu, menusuknya hingga ke inti. Ia merasakan setiap penderitaan yang terkandung di dalamnya.
Kemudian, sebuah suara yang berbeda muncul dari tengah simfoni kegilaan itu. Bukan gema. Melainkan suara yang sangat rendah dan dalam, sebuah bisikan yang dingin, yang terasa seperti berasal dari dalam dinding itu sendiri, berbicara langsung ke dalam benaknya.
"Dia... tidak bisa... membebaskan... kami..." bisik suara itu, dalam bahasa yang tidak ia mengerti, namun intonasinya dipenuhi dengan kemarahan dan keputusasaan. "Kau... bisa..."
Adrian tersentak. Itu adalah suara yang berbeda dari gema-gema yang mengulang. Itu adalah suara yang hidup, sebuah entitas yang berbicara kepadanya.
Gema-gema itu tiba-tiba mereda, seolah mereka berhenti untuk mendengarkan. Hanya bisikan yang dalam itu yang kini mengisi keheningan yang mengerikan.
Adrian menyadari. Elias Vance telah mencoba membebaskan mereka, namun ia gagal. Atau, lebih menakutkan lagi, Elias Vance telah menjadi bagian dari simfoni itu, sebuah suara lain dalam orkestra hantu. Dan kini, giliran Adrian. Mereka tidak ingin ia menghentikan mereka. Mereka ingin ia bergabung. Mereka ingin ia menjadi konduktor mereka.
Kengerian yang sesungguhnya mencengkeramnya. Ia tidak hanya terjebak di rumah ini. Ia adalah target mereka. Dan ia tahu, ia tidak akan bisa melarikan diri dari simfoni yang membeku ini. Karena ia, dengan pendengarannya yang terkutuk, adalah satu-satunya yang bisa mendengarnya.
Ia memejamkan mata, namun itu tidak membantu. Gema-gema itu, suara-suara itu, bisikan yang dalam itu, semua ada di dalam dirinya, di dalam kepalanya, menari-nari tanpa henti, memaksanya menjadi bagian dari orkestra kegilaan yang tak berujung.
Bab 3: Resonansi Jiwa yang Terperangkap
Adrian terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Semalam, gema-gema itu, suara bisikan yang dalam, dan siluet-siluet kabur itu telah membawanya ke tepi jurang kegilaan. Ia duduk di tempat tidurnya yang berderit, merasakan setiap serat otaknya berdenyut kesakitan. Hyperakusisnya telah mengubah rumah ini menjadi neraka yang bisa ia dengar, namun tak bisa ia buktikan keberadaannya pada siapa pun.
Ia menatap jurnal Elias Vance yang tergeletak di meja samping tempat tidurnya. Halaman-halaman itu seolah memancarkan aura dingin, berisi rahasia-rahasia mengerikan yang kini menjadi miliknya. Elias menyebut mereka "para penghuni gema," jiwa-jiwa yang terperangkap dalam siklus suara kematian yang tak berujung. Adrian merasakan getaran ngeri di punggungnya. Jika Elias Vance adalah seorang musisi yang mencari resonansi, maka ia, Adrian, dengan hiperakusisnya, adalah pendengar sempurna mereka. Atau, lebih mengerikan lagi, wadah sempurna mereka.
Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini semua hanyalah efek dari traumanya, ditambah dengan kondisi pendengarannya. Namun, bisikan yang dalam itu—bukan gema, melainkan sebuah suara langsung yang berbicara padanya—masih terngiang di benaknya: "Kau... bisa..." Bisa apa? Membebaskan mereka? Atau bergabung dengan mereka?
Adrian memutuskan untuk menghadapi ketakutannya. Ia harus memahami gema-gema ini, bukan hanya sebagai suara, tetapi sebagai sebuah pola, sebuah komposisi yang ia bisa analisis. Jika mereka adalah orkestra, maka ia akan menjadi konduktornya. Dengan tekad yang putus asa, ia menyalakan lampu, meskipun cahayanya terasa hampa di tengah suasana yang mencekam.
Ia membawa perekam suaranya yang paling canggih, yang mampu menangkap frekuensi ultrabass yang tidak terdengar oleh telinga manusia normal. Ia menempatkan mikrofon di berbagai sudut ruangan, di balik dinding, di bawah lantai, mencoba menangkap gelombang suara yang aneh ini. Ia juga membawa kamera dengan mode perekaman inframerah, berharap bisa menangkap siluet-siluet yang ia lihat.
Adrian duduk di ruang tamu, di tengah lingkaran gema yang tak terlihat. Ia memejamkan mata, membiarkan gema-gema itu mengalir ke dalam dirinya. Teriak-teriakan teredam, rintihan menyayat hati, suara benda jatuh, suara tangisan anak kecil—semuanya membentuk sebuah melodi yang kacau, namun berulang. Ia mulai mencoba memisahkan setiap suara, mengidentifikasi setiap "instrumen" dalam orkestra hantu ini.
Gema-gema itu terasa seperti memori yang terpotong-potong, sebuah adegan kekerasan yang diputar ulang tanpa henti. Ia mendengar suara retakan tulang yang memilukan, suara percikan cairan, suara napas yang terputus-putus. Ini bukan hanya suara; ini adalah penderitaan yang abadi.
Saat ia mendengarkan, Adrian mulai merasakan sebuah sensasi aneh di dalam dirinya. Sebuah resonansi yang samar, seperti getaran halus yang berpusar di dadanya. Getaran ini semakin kuat saat ia fokus pada gema-gema tertentu, seolah ia sedang terhubung dengan sumbernya.
Ia mencoba sebuah eksperimen. Ia mulai memainkan nada-nada yang berlawanan di pianonya, mencoba menciptakan "silent note," frekuensi yang bisa membatalkan suara lain. Namun, setiap nada yang ia mainkan seolah ditelan oleh gema-gema itu, membuat mereka semakin intens.
Kemudian, Adrian teringat bagian jurnal Elias tentang "resonansi jiwa." Elias percaya bahwa setiap jiwa memiliki "frekuensi" uniknya sendiri, dan jika ia bisa menemukan frekuensi itu, ia bisa membebaskan atau berkomunikasi dengan mereka. Ini gila, pikir Adrian, namun ia tidak punya pilihan lain.
Ia mulai bermain dengan synthesizer-nya, mencoba berbagai frekuensi, dari yang sangat rendah hingga yang sangat tinggi, mencoba menemukan "kunci" yang bisa membuka gema-gema itu. Setiap kali ia mendekati frekuensi yang tepat, gema-gema itu akan bergetar, siluet-siluet itu akan bergerak lebih cepat di sudut matanya, dan ia merasakan sebuah tarikan yang kuat di dalam dirinya, seolah ada yang mencoba menariknya masuk ke dalam simfoni mereka.
Pada suatu titik, ia menemukan frekuensi yang aneh. Itu bukan nada, melainkan sebuah desisan yang sangat rendah, nyaris tidak terdengar oleh telinga manusia, namun terasa seperti guntur yang menggelegar bagi Adrian. Saat ia menekan tombol itu, gema-gema itu tiba-tiba terhenti total.
Keheningan yang mutlak memenuhi ruangan. Tidak ada suara, tidak ada rintihan, tidak ada bisikan. Hanya detak jantung Adrian yang berdebar kencang. Ia menatap sekeliling. Siluet-siluet itu telah menghilang. Aroma busuk itu juga lenyap.
Adrian merasakan gelombang kelegaan yang luar biasa. Ia berhasil! Ia menemukan cara untuk menghentikan mereka. Ia telah menghentikan simfoni itu.
Namun, kelegaan itu hanya sesaat. Ia melihat ke arah perekam suaranya. Lampu indikator merekam masih berkedip, namun kali ini, ia melihat sesuatu yang berbeda. Ada pola-pola gelombang suara yang aneh di layarnya, pola-pola yang sangat kompleks, yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Dan di kamera, ia melihat kilasan-kilasan samar dari siluet-siluet yang terekam, walaupun sangat buram.
Ia memutar ulang rekaman suara itu. Yang ia dengar bukanlah keheningan. Ia mendengar bisikan yang dalam itu, yang ia dengar saat listrik padam, kini terdengar lebih jelas, lebih kuat. Itu bukan gema, melainkan sebuah suara yang langsung dan menakutkan.
"Kau... tidak bisa... menghentikan... kami..." bisik suara itu, diulang-ulang. "Kau... hanya... mengunci... kami... lebih... dalam..."
Adrian menjatuhkan perekam itu. Ia tidak menghentikan mereka. Ia hanya mengubah mereka. Mereka tidak lagi gema. Mereka telah beralih ke frekuensi yang lebih rendah, frekuensi yang hanya bisa ia dengar dan rekam dengan peralatannya yang canggih. Mereka telah beradaptasi. Dan bisikan yang dalam itu... itu adalah suara dari inti mereka, esensi yang tak terpisahkan.
Kengerian yang lebih dalam mencengkeramnya. Ia tidak melawan mereka. Ia hanya membuat mereka bersembunyi lebih dalam. Dan mereka... mereka sedang berbicara kepadanya.
Bab 4: Mengurai Ritme Kematian
Gema-gema itu kini telah menjadi momok yang lebih mengerikan bagi Adrian. Ia tidak lagi mendengar mereka sebagai suara yang berulang, melainkan sebagai frekuensi ultrabass yang konstan, sebuah dengungan yang bergetar di dalam tulang dan otaknya, tak pernah berhenti. Bisikan yang dalam itu kini menjadi sebuah narasi yang berulang-ulang, sebuah ajakan yang dingin, yang memaksanya untuk mendengarkan, untuk memahami.
"Mereka... haus... pendengar..." bisik suara itu di dalam benaknya, tanpa henti. "Kau... adalah... pendengar... sempurna..."
Adrian menghabiskan hari-harinya dalam keadaan yang semakin kacau. Ia tidak bisa tidur, tidak bisa makan. Setiap kali ia mencoba memejamkan mata, ia melihat kilasan-kilasan adegan kekerasan yang terekam dalam gema-gema itu: sebuah tangan yang memegang pisau, seorang wanita yang terjatuh di tangga, seorang pria yang dipukul dengan benda tumpul. Bukan hanya siluet, melainkan gambaran-gambaran yang samar, namun sangat realistis, seolah ia sedang menyaksikan sebuah film horor yang diputar ulang di dalam kepalanya.
Ia tahu bahwa ia berada di ambang kegilaan. Namun, ada sebuah dorongan aneh, sebuah obsesi yang tak bisa ia lepaskan. Ia harus mengurai simfoni ini. Ia harus memahami ritme kematian yang terkandung di dalamnya.
Adrian kembali ke jurnal Elias Vance. Ia mulai menganalisis tulisan tangan Elias, mencari petunjuk, mencari pola. Elias telah menulis tentang sebuah "ritme inti," sebuah frekuensi fundamental yang menyatukan semua gema. Elias percaya bahwa ritme ini adalah jantung dari kesadaran para penghuni gema, dan jika ia bisa menguasainya, ia bisa mengendalikan mereka.
"Mengendalikan?" gumam Adrian, suaranya parau. "Atau dikendalikan?"
Ia membawa semua peralatan audionya ke ruang aneh yang ia temukan di bawah tanah—ruangan anechoic sempurna yang disebutkan Elias di jurnalnya. Ruangan itu kedap suara, dirancang untuk menghilangkan setiap gema. Namun, saat Adrian masuk, dengungan frekuensi ultrabass itu tidak menghilang. Ia justru terasa lebih pekat, lebih menusuk, seolah ruangan itu adalah inti dari resonansi.
Di tengah ruangan itu, Adrian melihatnya. Sebuah instrumen aneh yang Elias sebutkan dalam jurnalnya. Itu bukan piano atau biola. Itu adalah sebuah struktur aneh yang terbuat dari tulang-tulang yang dirangkai—tulang manusia, Adrian menyadari dengan ngeri—yang dihubungkan dengan kawat-kawat tegang dan membran-membran kering. Instrumen itu tampak seperti sebuah sangkar tulang rusuk yang mengerikan, dan dari tengahnya, sebuah resonator kristal gelap memancarkan aura dingin yang menusuk.
Adrian merasakan rasa mual yang luar biasa. Ini adalah instrumen transenden yang Elias ciptakan. Instrumen yang ia gunakan untuk "berkomunikasi" dengan para penghuni gema. Dan yang mungkin mendorongnya pada kehancuran.
Jurnal Elias merinci bagaimana ia mencoba "memainkan" instrumen itu, menggunakan frekuensi dan ritme tertentu untuk menciptakan resonansi. Elias percaya bahwa instrumen itu adalah "jembatan" antara dunia fisik dan dimensi gema. Ia menulis tentang bagaimana ia mulai mendengar suara-suara yang lebih jelas, melihat visi-visi yang lebih terang, seolah ia melintasi batas antara realitas dan alam hantu.
Namun, catatan terakhir Elias sangat mengerikan. Tulisan tangannya menjadi kacau, penuh coretan dan gambar-gambar aneh dari tulang-tulang yang menyatu. Ia menulis tentang bagaimana ia tidak lagi mengendalikan gema. Gema-gema itu yang mengendalikan dirinya. Elias menulis tentang bagaimana ia mulai merasakan "ritme kematian" yang mengalir dalam nadinya sendiri, dan bagaimana ia harus "menambahkan suaranya" ke dalam simfoni abadi itu. Kalimat terakhirnya, yang nyaris tidak terbaca, adalah: "Aku telah menjadi... bagian... dari... mereka."
Adrian terhuyung mundur dari instrumen tulang itu, napasnya tersengal. Ini adalah perangkap. Elias telah jatuh ke dalamnya. Dan kini, ia merasakan dorongan kuat yang sama untuk menyentuh instrumen itu, untuk bermain, untuk menjadi bagian dari simfoni.
Dengungan frekuensi ultrabass itu kini menjadi begitu kuat hingga Adrian merasakan seluruh tubuhnya bergetar. Ia melihat ke sekeliling ruangan. Siluet-siluet kabur yang ia lihat sebelumnya kini tampak lebih jelas, berdiri di sekeliling instrumen tulang itu, menatap lurus ke arahnya dengan mata yang kosong. Mereka adalah penghuni gema, dan mereka sedang menunggunya.
Ia menatap instrumen tulang itu lagi. Ia bisa melihat urat-urat hitam samar menjalar di atas tulang-tulang itu, memancarkan cahaya biru samar, mirip dengan apa yang ia bayangkan ada di dalam Rumah Gema itu sendiri. Ini adalah jantung fisik dari jaringan gema, sebuah konduktor yang hidup.
Adrian tahu ia harus membuat pilihan. Ia bisa mencoba menghancurkan instrumen itu, mengakhiri semua ini. Atau ia bisa menyerah pada obsesinya, pada dorongan yang tak tertahankan untuk mengurai ritme itu, untuk memainkan simfoni itu, dan menjadi bagian dari mereka.
Bisikan yang dalam itu kini bergema di seluruh ruangan, bukan hanya di benaknya, melainkan di udara, diucapkan dalam bahasa yang tidak ia mengerti, namun intonasinya dipenuhi dengan ajakan yang tak tertahankan, janji-janji akan pengetahuan yang lebih dalam, akan kedamaian yang sejati dalam keheningan abadi.
Ia mengulurkan tangannya yang gemetar. Apakah ia akan menjadi konduktor berikutnya? Atau korban berikutnya? Ia tidak tahu. Ia hanya tahu bahwa simfoni itu menunggu. Dan ia, dengan pendengarannya yang terkutuk, adalah satu-satunya yang bisa mendengarnya.
Ia merasakan sebuah tarikan yang kuat dari instrumen tulang itu, seolah ia adalah magnet yang menariknya. Ia merasakan setiap sel tubuhnya merespons, setiap serat sarafnya berdenyut, merindukan koneksi. Ini bukan lagi tentang ketakutan. Ini adalah tentang takdir. Takdir yang mengerikan.
Bab 5: Sentuhan Resonansi
Adrian berdiri membeku di depan instrumen tulang, napasnya tersengal-sengal. Bisikan yang dalam itu—suara kolektif dari "para penghuni gema"—kini bergema di seluruh ruang anechoic, bukan hanya di benaknya, melainkan di udara, mengundangnya, memprovokasi obsesinya. Ia bisa merasakan tarikan yang kuat dari instrumen aneh itu, sebuah dorongan magnetis yang merasuki setiap serat tubuhnya, merindukan koneksi. Ini bukan lagi sekadar rasa takut; ini adalah sebuah takdir yang mengerikan, sebuah panggilan yang tak bisa ia tolak.
Ia menatap instrumen itu. Tulang-tulang yang dirangkai, kawat-kawat tegang, membran-membran kering, dan resonator kristal gelap di tengahnya, semuanya memancarkan aura dingin yang menusuk. Di bawah cahaya samar dari lampu darurat yang ia nyalakan, ia bisa melihat urat-urat hitam samar menjalar di atas tulang-tulang itu, memancarkan cahaya biru redup, mirip dengan apa yang ia bayangkan ada di dalam dinding-dinding Rumah Gema itu sendiri. Ini adalah jantung fisik dari jaringan gema, sebuah konduktor yang hidup, sebuah organ raksasa yang dibuat dari sisa-sisa kehidupan.
Adrian mengulurkan tangannya yang gemetar, mendekati instrumen itu. Setiap inci tangannya bergerak maju, dengungan frekuensi ultrabass itu semakin kuat, mengguncang seluruh tubuhnya, membuatnya mual. Ia bisa merasakan getaran yang meluas dari instrumen itu, sebuah resonansi yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya sendiri. Siluet-siluet kabur yang ia lihat sebelumnya—para penghuni gema—kini tampak lebih jelas, berdiri di sekeliling instrumen, mengawasinya dengan mata kosong, seolah mereka adalah penonton yang menanti pertunjukan yang akan mengubah segalanya.
Jari-jemarinya yang panjang dan kurus akhirnya menyentuh salah satu tulang yang membentuk instrumen itu. Sensasi itu mengejutkannya hingga ke inti. Itu bukan dingin. Itu adalah ketiadaan. Sebuah rasa hampa yang absolut, yang secara paradoks, dipenuhi dengan kekuatan yang luar biasa. Getaran yang ia rasakan sebelumnya kini melonjak, mengalir dari tulang itu, melalui jari-jarinya, merasuk ke dalam lengannya, dan menyebar ke seluruh tubuhnya.
Visi-visi baru membanjiri benaknya, bukan lagi kilasan yang terpotong-potong, melainkan gambaran yang utuh dan jelas, seperti kenangan yang bukan miliknya. Ia melihat Elias Vance, sang musisi, dengan mata yang dipenuhi obsesi dan ketakutan, sedang membangun instrumen ini, berbicara pada dirinya sendiri tentang "harmoni jiwa" dan "pembebasan suara." Adrian melihat adegan-adegan kekerasan yang terekam dalam gema: seorang wanita muda terjatuh dari tangga, kepalanya menghantam lantai kayu; seorang anak kecil diseret ke dalam kegelapan; seorang pria tua diikat di kursi, matanya membelalak ketakutan. Semua itu adalah memori-memori yang hidup, diputar ulang dengan kekejaman yang nyata, dan kini, Adrian adalah saksi langsung mereka.
Ia merasakan emosi-emosi mentah dari para korban itu: kepedihan, ketakutan, keputusasaan, kemarahan. Emosi-emosi itu bukan hanya ia lihat; ia merasakannya seolah itu miliknya sendiri, sebuah empati yang menyakitkan. Pada saat yang sama, ia juga merasakan emosi dingin dan kejam dari para pelaku, sebuah kegelapan yang meresap ke dalam jiwanya, sebuah pemahaman yang mengerikan tentang mengapa kejahatan itu terjadi.
Bisikan yang dalam itu kini semakin jelas, membentuk kata-kata yang dapat ia pahami: "Mainkan... kami... bebaskan... kami..." Namun, dalam setiap ajakan untuk "membebaskan," ada juga sebuah ancaman yang tersembunyi: sebuah janji untuk mengikatnya, untuk menjadikannya salah satu dari mereka.
Adrian menarik tangannya dari instrumen itu, terengah-engah. Visi-visi itu menghilang, namun gema-gema frekuensi ultrabass itu kembali, lebih kuat, lebih menuntut. Tubuhnya gemetar hebat, bukan karena dingin, melainkan karena energi yang mengalir di dalam dirinya. Matanya terasa panas, dan ia menyadari, cahaya biru samar yang ia lihat di urat-urat instrumen itu kini memancar dari kulitnya sendiri, terutama dari jari-jarinya yang baru saja menyentuh tulang.
Ia menatap tangannya. Kulitnya tidak transparan seperti yang Rizky lihat di cerita sebelumnya, namun ada urat-urat yang samar di bawah kulitnya, berdenyut dengan cahaya biru yang redup. Ini adalah awal dari transformasi. Ia sedang menjadi konduktor mereka, atau wadah mereka.
Adrian melihat sekeliling ruangan anechoic. Siluet-siluet kabur itu kini mendekat, mereka tidak lagi hanya mengawasinya. Mereka mengulurkan tangan mereka, tangan-tangan yang kurus dan transparan, seolah mencoba menyentuhnya, mencoba menariknya lebih dekat ke dalam simfoni mereka. Adrian merasakan dinginnya sentuhan mereka, sebuah sensasi yang aneh, tidak menyakitkan, melainkan menghisap energi, sebuah hisapan yang dingin dan lembut.
Ia menepis tangan-tangan itu, mundur selangkah. Ia tidak ingin menjadi seperti Elias, yang akhirnya "menjadi bagian dari mereka." Ia ingin melawan. Ia ingin menghentikan siksaan ini.
Adrian melihat ke arah jurnal Elias Vance lagi. Ia mencari sesuatu, apa saja, yang bisa memberinya jalan keluar. Elias telah mencoba berbagai metode, namun semuanya berakhir dengan dia semakin terikat pada gema-gema itu. Hanya ada satu bagian yang belum ia pahami sepenuhnya: bagian tentang "simfoni penghancur." Elias sempat berpikir untuk menciptakan sebuah komposisi yang bisa "memecah" gema-gema itu, sebuah frekuensi anti-gema, namun ia tampaknya tidak pernah berhasil menyelesaikannya.
Adrian, dengan pengetahuannya tentang harmoni dan disonansi, merasa ia memiliki kesempatan. Ia akan menciptakan simfoni penghancur. Ia akan menciptakan musik yang akan mengakhiri siksaan ini, bahkan jika itu berarti mengakhiri dirinya sendiri.
Ia duduk di depan synthesizer-nya, yang sudah ia siapkan. Tangannya masih gemetar, namun otaknya mulai bekerja dengan kecepatan yang luar biasa. Ia mendengar setiap nada, setiap frekuensi dalam simfoni gema itu. Ia mencoba membalikkan melodi, menciptakan ritme yang berlawanan, sebuah anti-simfoni. Setiap nada yang ia mainkan terasa seperti pertarungan, seperti meninju sebuah dinding suara yang tak terlihat.
Namun, setiap kali ia mencoba menciptakan disonansi yang sempurna, gema-gema itu akan bereaksi. Frekuensi ultrabass itu akan melonjak, siluet-siluet itu akan bergerak lebih agresif, dan bisikan yang dalam itu akan berubah menjadi rintihan marah, mencoba menghentikannya, mencoba menghancurkan konsentrasinya.
Adrian merasakan hidungnya berdarah. Kepalanya pusing, mual. Namun ia terus bermain. Ini adalah satu-satunya kesempatan. Ini adalah pertarungan terakhirnya.
Bab 6: Konduktor di Ambang Jurang
Darah menetes dari hidung Adrian, membasahi tuts synthesizer-nya. Setiap sentuhan jari pada tombol terasa seperti arus listrik yang menusuk. Ia merasakan otaknya terbakar, seolah setiap sarafnya sedang diregangkan hingga batasnya. Gema-gema frekuensi ultrabass yang tadinya hanya dengungan, kini menjadi deru yang memekakkan telinga, sebuah badai suara di dalam kepalanya, di dalam ruang anechoic itu. Siluet-siluet para penghuni gema bergerak mengelilinginya, lebih cepat, lebih agresif, tangan-tangan transparan mereka menjangkau ke arahnya, mencoba meraihnya.
"Kau... tidak akan... berhasil..." bisik suara yang dalam itu, kini terdengar seperti geraman yang memekakkan telinga, datang dari setiap arah, seolah ruang itu sendiri adalah mulut yang berbicara. "Kau... akan... menjadi... kami..."
Adrian mengabaikan mereka. Matanya terfokus pada layar synthesizer, pada gelombang-gelombang suara yang ia coba manipulasi. Ia melihat pola-pola yang rumit, yang mencerminkan kekacauan dalam gema, namun juga memiliki sebuah keindahan yang menakutkan, sebuah struktur yang ia pahami sebagai seorang komposer. Ia harus menemukan "titik nula," frekuensi yang bisa membatalkan semua resonansi, yang bisa menghancurkan jaringan gema ini.
Ia teringat sebuah diagram samar dalam jurnal Elias Vance tentang "struktur resonansi spasial." Elias percaya bahwa gema-gema itu tidak hanya ada di udara; mereka juga terikat pada struktur fisik rumah, pada setiap kayu, setiap batu, setiap inci dari Rumah Gema itu. Jika ia bisa menyerang ritme inti mereka di dalam instrumen tulang, ia juga harus menyerang struktur fisiknya.
Adrian memutar beberapa tombol di synthesizer-nya, mengubah gelombang suara yang ia hasilkan menjadi frekuensi yang lebih tajam, lebih merusak. Ia mengarahkan speaker kecil yang ia bawa, bukan ke instrumen tulang, melainkan ke dinding-dinding ruang anechoic.
Saat gelombang suara itu memancar, ia merasakan rumah itu bergetar. Bukan getaran fisik, melainkan getaran resonansi, seolah struktur kayu itu sendiri sedang mengerang kesakitan. Gema-gema itu berteriak, sebuah paduan suara rasa sakit dan kemarahan. Siluet-siluet itu melompat mundur, menepis udara, seolah gelombang suara itu menyakiti mereka.
Adrian melihat ke arah instrumen tulang. Urutan-urutan hitam bercahaya biru di atasnya berdenyut lebih terang, lalu berkedip-kedip tak menentu, seolah ia sedang terganggu. Resonator kristal di tengahnya mulai retak, dengan suara klik samar yang menusuk telinga Adrian yang hiperpeka.
"Kau... menghancurkan... kami..." suara yang dalam itu kini berteriak, penuh kepanikan, sebuah suara kolektif yang mengerikan. "Kau... adalah... penghancur... bukan... penyelamat..."
Adrian terus bermain, jari-jarinya menari di atas tuts. Darah dari hidungnya menetes ke synthesizer, bercampur dengan keringat. Ia merasakan setiap sel tubuhnya protes, namun ia tidak menyerah. Ia melihat ke arah siluet-siluet yang kini berkerumun, mencoba mendekatinya, mencoba menghentikannya. Mereka tidak lagi transparan; mereka tampak lebih solid, lebih menyeramkan, dengan detail-detail wajah yang mulai terlihat samar—wajah-wajah yang dipenuhi penderitaan dan kemarahan.
Ia harus mengakhiri ini. Ia harus menghancurkan ritme ini.
Adrian menutup matanya, memfokuskan seluruh energinya, semua pengetahuannya tentang musik dan suara, ke dalam komposisi ini. Ia menciptakan sebuah disonansi yang sempurna, sebuah gelombang anti-resonansi yang bertujuan untuk menghancurkan frekuensi inti dari para penghuni gema. Itu adalah musik yang tidak harmonis, musik yang menyakitkan, musik yang dirancang untuk mengakhiri segalanya.
Ketika ia mencapai puncaknya, ketika ia memainkan "titik nula" yang ia cari, sebuah gelombang kejut energi yang tak terlihat memancar dari synthesizer-nya. Ruang anechoic itu bergetar hebat. Instrumen tulang itu pecah berkeping-keping dengan suara ledakan yang teredam, tulang-tulangnya hancur menjadi debu, kawat-kawatnya putus, dan resonator kristalnya meledak, memancarkan kilatan cahaya biru terang yang menyilaukan.
Pada saat yang sama, dinding-dinding ruangan anechoic itu retak, retakannya menyebar dengan cepat, dan dari retakan itu, suara-suara mengerikan yang teredam mulai keluar, seolah ada sesuatu yang dipaksa untuk keluar dari dalam dinding. Aroma busuk yang menusuk kembali menyeruak, lebih kuat dari sebelumnya.
Adrian terjatuh dari kursinya, tubuhnya kejang-kejang. Pendengarannya diserang oleh kekacauan suara yang tak tertahankan. Gema-gema itu tidak hilang. Mereka justru melonjak keluar dari dinding, tidak lagi terikat pada frekuensi ultrabass, melainkan termaterialisasi dalam bentuk suara yang brutal dan nyata. Teriakan, rintihan, suara benda jatuh, suara tangisan anak kecil—semuanya kini memenuhi ruangan, tidak hanya sebagai gema, melainkan sebagai suara-suara asli yang memekakkan telinga, seolah setiap adegan kekerasan yang terekam sedang terjadi di sekelilingnya, berulang kali.
Dan kemudian, ia melihatnya. Siluet-siluet para penghuni gema, yang kini bukan lagi siluet. Mereka adalah bentuk-bentuk yang sepenuhnya solid, nyata, terbuat dari substansi gelap yang berdenyut, dengan mata kosong yang memancarkan cahaya biru redup. Mereka tidak lagi hanya mengawasinya. Mereka bergerak mendekat, tangan-tangan kurus mereka terulur, siap untuk menyentuhnya, siap untuk mengklaimnya.
Adrian telah mencoba menghancurkan simfoni. Namun, ia hanya membebaskan orkestra. Ia tidak menghentikan mereka. Ia hanya mengubah mereka. Dan kini, ia adalah satu-satunya pendengar yang tersisa di tengah konser kematian yang baru dimulai. Ia tidak lagi hanya mendengar gema. Ia kini melihat dan merasakan setiap aspek dari kengerian yang terperangkap itu.
Dan suara yang dalam itu, yang telah membimbingnya selama ini, kini bergema di dalam kepalanya, bukan lagi bisikan, melainkan sebuah tawa yang mengerikan, penuh kemenangan.
"Kau... telah... membuka... pintu..."
Adrian terbaring di lantai, berlumuran darah dari hidungnya, matanya membelalak ketakutan. Ia telah gagal. Simfoni gema yang membeku kini akan dimainkan selamanya. Dan ia, sang konduktor yang terkutuk, akan menjadi bagian darinya.
Bab 7: Manifestasi Orkestra Kematian
Adrian terhuyung di lantai ruang anechoic, napasnya tersengal-sengal, setiap hembusan adalah deru yang memekakkan telinga. Ia merasakan darah mengalir hangat dari hidungnya, bercampur dengan air mata yang mengering di pipinya. Instrumen tulang Elias Vance telah hancur berkeping-keping, namun kehancurannya tidak membawa kedamaian. Sebaliknya, itu adalah dentuman pembukaan bagi simfoni yang jauh lebih mengerikan. Gema-gema itu, yang tadinya terperangkap dalam frekuensi ultrabass, kini meledak keluar dari dinding, menjadi suara-suara asli yang brutal dan memekakkan telinga. Jeritan, rintihan, suara retakan, tangisan, semua memenuhi ruangan, berulang-ulang dalam sebuah lingkaran kekejaman yang tak berujung, seolah adegan-adegan kematian yang direkam sedang diputar secara live di sekelilingnya.
Dan yang paling mengerikan, para penghuni gema telah memanifestasikan diri. Mereka bukan lagi siluet atau bayangan samar. Mereka adalah bentuk-bentuk yang sepenuhnya solid, nyata, terbuat dari substansi gelap yang berdenyut, dengan mata kosong yang memancarkan cahaya biru redup. Mereka memiliki bentuk manusia, namun tubuh mereka terdistorsi, memanjang, dan dipenuhi dengan detail-detail mengerikan yang menunjukkan cara mereka meninggal: seorang wanita dengan leher terpelintir, seorang anak kecil dengan bekas cekikan di tenggorokannya, seorang pria dengan luka menganga di dadanya. Mereka adalah perwujudan dari penderitaan abadi, dan mereka mengelilingi Adrian, semakin mendekat.
"Kau... telah... membuka... pintu..." tawa yang mengerikan itu menggema di dalam kepala Adrian, bukan lagi bisikan, melainkan suara yang memenuhi seluruh keberadaannya, suara kolektif dari entitas-entitas itu, penuh kemenangan.
Adrian merangkak mundur, mencoba mencari jalan keluar. Namun, ruangan itu terasa lebih kecil, lebih padat, seolah dinding-dindingnya telah menjadi hidup, bernapas dengan suara-suara kematian. Bau busuk yang menusuk—campuran darah, amoniak, dan pembusukan—kini begitu pekat hingga membuat Adrian mual. Ia bisa merasakan dinginnya hawa yang terpancar dari setiap makhluk itu, bukan dingin fisik, melainkan dinginnya ketiadaan, dinginnya kematian yang telah menjadi hidup.
Seorang figur wanita dengan rambut panjang kusut dan gaun putih kotor, yang punggungnya tampak bengkok di sudut yang tidak wajar, melayang mendekati Adrian. Matanya yang kosong memancarkan cahaya biru redup, menatap lurus ke arahnya. Wanita itu mengangkat tangannya yang kurus, jari-jarinya memanjang, kuku-kukunya hitam dan runcing, seolah siap mencakar. Adrian merasakan sebuah tarikan yang kuat dari arah wanita itu, sebuah keinginan tak tertahankan untuk menyentuhnya, untuk menjadi bagian dari dirinya. Itu adalah panggilan yang mematikan, seperti sirene yang merayu pelaut.
Adrian berteriak, suaranya tercekat di tenggorokannya. Ia menendang, mencoba menjauh, namun kakinya terasa lemas. Hyperakusisnya kini menjadi pisau bermata dua. Ia bisa mendengar setiap detail suara dari makhluk-makhluk itu: desahan busuk dari napas mereka, suara gesekan kain kotor mereka, bahkan suara denyutan lemah dari hati yang tidak ada di dalam dada mereka. Setiap suara itu menusuknya, melumpuhkannya dengan teror.
Makhluk wanita itu semakin mendekat, wajahnya yang terdistorsi nyaris menyentuh wajah Adrian. Ia bisa melihat lubang-lubang hitam di tempat matanya seharusnya, yang memancarkan cahaya biru. Dari dalam lubang-lubang itu, ia merasakan sebuah hisapan dingin, seolah mereka mencoba menarik esensinya keluar dari tubuhnya.
"Bergabung... dengan... kami..." bisik suara wanita itu, bukan dari mulutnya, melainkan dari dalam pikiran Adrian, sebuah suara yang halus namun dipenuhi kekuatan yang mematikan. "Rasakan... kedamaian... keheningan... abadi..."
Adrian memejamkan mata, mencoba menolak. Ia tidak ingin menjadi seperti Elias. Ia tidak ingin menjadi bagian dari orkestra kematian ini.
Namun, ia merasakan tangan-tangan lain yang dingin dan ramping mencengkeram pergelangan kakinya, lengannya, menariknya ke bawah. Makhluk-makhluk lain telah bergabung, mengklaimnya, seolah ia adalah sebuah hadiah. Rasa sakit fisik telah digantikan oleh rasa sakit psikologis yang mendalam, sebuah perasaan ditarik, ditarik terpisah dari dirinya sendiri.
Ia merasakan sebuah aliran energi dingin menjalar ke seluruh tubuhnya dari sentuhan mereka. Bukan rasa sakit, melainkan mati rasa yang meluas, seolah ia sedang kehilangan dirinya sendiri, sel demi sel. Penglihatan Adrian mulai kabur, dunianya berputar.
Tiba-tiba, sebuah kilatan cahaya putih yang menyilaukan muncul dari dalam benaknya, memotong kegelapan dan kengerian yang mengelilinginya. Itu adalah memori kekasihnya, pemain biola itu, tersenyum padanya, memegang biola kesayangannya. Suara biola yang indah, yang seharusnya membakar gendang telinganya karena hiperakusis, kini terdengar merdu, sebuah melodi yang sempurna, sebuah simfoni harapan yang kontras dengan orkestra kematian di sekelilingnya.
Adrian merasakan gelombang perlawanan yang mendalam di dalam dirinya. Ia tidak akan menyerah. Ia tidak akan membiarkan mereka mengambil dirinya. Ia tidak akan mengkhianati memori kekasihnya.
Dengan kekuatan terakhirnya, Adrian mendorong makhluk wanita itu. Ia berteriak, bukan karena takut, melainkan karena kemarahan yang membara. "Tidak! Aku tidak akan bergabung dengan kalian! Kalian... kalian adalah kekejian!"
Makhluk-makhluk itu terhuyung mundur sesaat, seolah terkejut oleh kekuatan perlawanan Adrian. Suara-suara mereka berubah dari tawa kemenangan menjadi rintihan frustrasi, sebuah disonansi yang mengerikan.
Adrian bangkit, terhuyung-huyung, namun ada sebuah tekad baru di matanya. Ia telah dihujani dengan penderitaan mereka, kekejaman mereka, namun ia menolak untuk menjadi bagian darinya. Ia telah melihat memori mereka, dan kini ia tahu: mereka adalah jiwa-jiwa yang terperangkap, ya, tetapi mereka juga monster-monster yang diciptakan oleh kekerasan dan keputusasaan, yang kini hanya mencari lebih banyak.
Ia melihat sekeliling. Ruang anechoic itu telah menjadi sebuah neraka nyata, penuh dengan makhluk-makhluk yang berdenyut dalam kegelapan. Gema-gema itu, suara-suara asli itu, terus berteriak, sebuah bukti nyata dari keberadaan mereka.
Adrian tahu ia tidak bisa melarikan diri dari rumah ini dengan kekuatan fisik. Ia harus mengalahkan mereka dengan cara mereka sendiri: suara. Bukan suara penghancur yang ia coba sebelumnya, melainkan suara kebenaran.
Ia melangkah maju, kembali ke lokasi di mana instrumen tulang itu hancur berkeping-keping. Di antara serpihan-serpihan tulang dan kristal, ia melihat sebuah batu kecil yang memancarkan cahaya biru samar. Itu adalah inti dari resonator kristal yang Elias gunakan, yang entah bagaimana, tetap utuh.
Adrian memungut batu itu. Sensasi dingin yang kuat menyengat tangannya, namun ia tidak melepaskannya. Batu itu adalah kunci. Kunci untuk memahami, dan mungkin, kunci untuk melawan.
Bab 8: Pertarungan Simfoni
Adrian memegang erat batu kristal biru yang tersisa dari instrumen Elias Vance. Sensasi dingin yang menusuk dari batu itu tidak lagi membuatnya mati rasa; sebaliknya, ia kini merasakan sebuah denyutan samar dari dalam batu itu, seperti detak jantung yang dingin, beresonansi dengan detak jantungnya sendiri. Gema-gema yang menggelegar dan suara-suara nyata dari makhluk-makhluk yang mengelilinginya kini terasa lebih jelas, lebih terdefinisi, seolah batu itu adalah pemancar yang memperkuat indranya.
Para penghuni gema, yang telah memanifestasikan diri sebagai wujud-wujud padat, mengelilingi Adrian, tubuh mereka yang terdistorsi berdenyut dalam kegelapan. Mata kosong mereka memancarkan cahaya biru redup, dan tangan-tangan kurus mereka yang runcing menjangkau ke arahnya. Aroma busuk yang pekat kini menusuk hingga ke tulang, membuat Adrian mual.
Adrian tahu ia tidak bisa melawan mereka secara fisik. Mereka adalah perwujudan dari penderitaan abadi, dan jumlah mereka tak terhitung. Ia harus menggunakan senjata yang hanya ia miliki: suara. Bukan untuk menghancurkan, melainkan untuk memanipulasi. Elias telah menciptakan instrumen ini untuk "membebaskan" mereka. Mungkin, Adrian bisa membebaskan mereka dengan cara yang berbeda.
Ia menatap batu kristal di tangannya, yang kini memancarkan cahaya biru yang lebih kuat. Batu itu terasa seperti sebuah extensi dari kesadarannya, sebuah jembatan langsung ke jaringan gema. Ia bisa merasakan setiap jiwa yang terperangkap di dalamnya, setiap memori yang terdistorsi, setiap siksaan yang berulang.
Adrian teringat catatan Elias tentang "ritme inti" dan "frekuensi jiwa." Elias mencoba membebaskan mereka dengan mengintegrasikan mereka, menjadikannya bagian dari simfoninya. Adrian akan mencoba sebaliknya: memisahkan mereka. Memaksa setiap jiwa untuk melepaskan diri dari rantai gema yang mengikat mereka.
Ia menutup matanya, memfokuskan seluruh energinya, semua kepekaan pendengarannya, pada batu kristal itu. Ia mulai bernyanyi. Bukan melodi yang indah, bukan komposisi yang rumit. Melainkan sebuah nada tunggal, yang ia rasakan sebagai frekuensi perpecahan, sebuah frekuensi yang ia yakini akan mengganggu kohesi orkestra kematian itu. Suaranya serak, parau, namun dipenuhi dengan tekad yang putus asa.
Saat nada itu keluar dari mulut Adrian, batu kristal di tangannya mulai berdenyut lebih cepat, cahayanya melonjak. Gelombang suara dari nyanyiannya tidak hanya memenuhi ruangan; mereka merambat melalui batu, lalu memancar ke dalam para penghuni gema.
Makhluk-makhluk itu bereaksi dengan teriakan-teriakan yang memilukan. Bukan teriakan kemarahan, melainkan teriakan kesakitan yang mendalam. Tubuh-tubuh padat mereka mulai bergetar tak terkendali, dan dari setiap celah di kulit mereka, cahaya biru yang menyakitkan mulai terpancar, seolah ada yang mencoba keluar dari dalam diri mereka.
Adrian melihatnya. Memori-memori terdistorsi yang ia lihat sebelumnya—adegan kekerasan yang terekam—kini mulai terpecah belah, menjadi fragmen-fragmen yang berputar cepat, seperti mimpi buruk yang tercerai-berai. Ia mendengar suara-suara individual dari setiap jiwa yang terperangkap, tidak lagi sebagai orkestra, melainkan sebagai suara-suara yang terpisah, menjerit kesakitan, memohon pembebasan.
Suara yang dalam itu, yang telah menertawakannya, kini meraung marah, sebuah geraman kolektif yang dipenuhi dengan rasa sakit dan kemarahan. "Berhenti! Kau... menghancurkan... kami!"
Adrian terus bernyanyi, mengalirkan seluruh kekuatan batinnya ke dalam nada itu. Ia merasakan tubuhnya lelah, suaranya hampir habis, namun ia tidak bisa berhenti. Ia merasakan perlawanan yang kuat dari dalam jaringan gema, sebuah kekuatan yang mencoba menekannya, mencoba membuatnya diam.
Para penghuni gema mulai menunjukkan tanda-tanda kerusakan. Beberapa dari mereka roboh ke tanah, tubuh mereka bergetar, dan kemudian, dengan kilatan cahaya biru, mereka meledak menjadi debu dan asap yang dingin, meninggalkan hanya bau ozon yang tajam. Jiwa-jiwa itu tidak diserap; mereka dibebaskan.
Namun, yang lain justru bereaksi dengan kekuatan yang lebih besar. Beberapa dari mereka melonjak ke arah Adrian, bergerak lebih cepat dari yang pernah ia lihat, tangan-tangan runcing mereka terulur, siap untuk membungkamnya.
Adrian menunduk, nyaris tidak bisa menghindari cengkeraman mereka. Ia terus bernyanyi, memfokuskan energi dari batu kristal itu. Ini adalah pertarungan simfoni, pertarungan antara nada kebebasan dan melodi penangkapan.
Ia melihat ke arah dinding-dinding ruang anechoic, yang kini penuh dengan retakan dan lubang. Dari lubang-lubang itu, semakin banyak makhluk yang merangkak keluar, bentuk-bentuk baru yang lebih mengerikan, beberapa memiliki terlalu banyak anggota badan, beberapa memiliki wajah yang menyatu dengan dinding, seolah mereka telah menjadi bagian dari struktur rumah itu sendiri. Elias Vance benar. Rumah ini adalah penyimpan mereka. Dan ia telah membuka semua pintu.
Pertarungan menjadi semakin sengit. Adrian bernyanyi tanpa henti, memancarkan gelombang perpecahan. Makhluk-makhluk itu berteriak kesakitan, beberapa menghilang, namun yang lain justru semakin kuat, semakin ganas. Ia tahu ia tidak bisa membebaskan mereka semua. Ia harus mencari cara untuk mengakhiri sumbernya, untuk menghancurkan inti dari semua gema ini.
Ia melihat ke arah tempat ia menemukan jurnal Elias Vance, di luar ruang anechoic, di ruang tamu. Jurnal itu telah menjadi panduannya, dan mungkin, itu juga yang harus ia hancurkan. Jurnal itu, yang berisi semua rahasia, adalah peta menuju inti jaringan gema.
Adrian merasakan kekuatannya menipis. Suaranya serak, paru-parunya sakit. Batu kristal di tangannya berdenyut dengan panas yang menyakitkan. Ia hanya punya sedikit waktu tersisa.
Ia harus membuat keputusan. Terus bernyanyi, mencoba membebaskan jiwa-jiwa secara individual, sebuah perjuangan yang tampaknya sia-sia di hadapan jumlah mereka yang tak terbatas. Atau, mengabaikan mereka, dan mencari cara untuk menghancurkan sumber utama mereka, apa pun risikonya.
Adrian menatap mata kosong para penghuni gema yang mengelilinginya. Ia telah mendengar penderitaan mereka, dan ia merasa kasihan. Namun, ia juga telah merasakan kegelapan di dalam diri mereka, keinginan mereka untuk menyeret orang lain ke dalam penderitaan yang sama.
Ia memilih yang terakhir. Ia harus mengakhiri siksaan ini, bahkan jika itu berarti mengorbankan dirinya sendiri.
Adrian memejamkan mata, mengumpulkan seluruh kekuatannya, dan dengan batu kristal di tangannya, ia menerjang keluar dari ruang anechoic, melewati kerumunan makhluk-makhluk yang berteriak, menuju ke ruang tamu, menuju ke jurnal yang berisi rahasia terakhir Rumah Gema ini. Ia tahu, ini adalah pertarungan terakhir dalam simfoni gema yang membeku.
Bab 9: Gerbang Kronik Kematian
Adrian menerjang keluar dari ruang anechoic, batu kristal biru di tangannya memancarkan cahaya dingin yang berdenyut, seolah jantungnya sendiri telah beralih ke inti mineral yang asing itu. Teriakan memilukan dari para penghuni gema—kini wujud-wujud padat yang mengerikan—mengikuti di belakangnya, sebuah paduan suara rasa sakit, kemarahan, dan frustrasi. Tubuh-tubuh mereka yang terdistorsi, dipenuhi luka-luka yang memancarkan cahaya biru, bergetar dan meledak menjadi debu dingin saat gelombang suara pemecah dari nyanyian Adrian terus menghantam mereka. Namun, untuk setiap satu yang menghilang, dua lainnya merangkak keluar dari retakan-retakan di dinding, dari kegelapan di sudut-sudut lorong, bahkan dari bawah lantai kayu yang membusuk. Rumah ini telah menjadi sarang yang hidup, sebuah organ raksasa yang mengeluarkan kengerian.
Adrian berlari, suara napasnya yang tersengal-sengal terasa memekakkan telinga karena hiperakusisnya yang semakin parah. Setiap langkah kaki di lantai kayu yang berderit adalah pukulan yang menyakitkan di kepalanya. Aroma busuk yang pekat, campuran darah, amoniak, dan pembusukan, memenuhi udara, mencekiknya, memaksanya untuk muntah, namun ia tak punya waktu. Matanya yang membelalak menatap ke depan, mencari satu-satunya benda yang ia yakini bisa mengakhiri semua ini: jurnal Elias Vance.
Koridor-koridor gelap yang dulu sunyi kini menjadi labirin yang hidup. Dari setiap pintu yang terbuka, dari balik setiap perabot yang tertutup kain, muncul para penghuni gema. Mereka tidak lagi melayang. Mereka bergerak dengan kecepatan yang mengerikan, langkah kaki mereka menghasilkan suara seretan yang memuakkan, seperti kain basah yang terseret di lantai kotor. Beberapa dari mereka berlari di dinding, yang lain merangkak di langit-langit, mata kosong mereka yang bercahaya biru menguncinya seperti mangsa.
Adrian berbelok tajam di setiap sudut, menghindari cengkeraman tangan-tangan kurus yang menjangkau, melompat melewati tubuh-tubuh yang roboh. Ia merasakan kulitnya perih setiap kali sentuhan mereka nyaris mengenainya, sebuah sensasi dingin yang menusuk hingga ke tulang, mencoba menghisap esensinya. Ia tahu, jika mereka berhasil menangkapnya, ia akan menjadi salah satu dari mereka—sebuah suara baru dalam orkestra abadi.
Ia tiba di ruang tamu. Cahaya bulan yang masuk dari jendela besar menciptakan pola-pola bayangan yang menipu, membuat setiap sudut tampak bergerak, setiap perabot tampak seperti siluet makhluk yang mengintai. Di tengah ruangan, meja tempat ia meninggalkan jurnal itu berdiri kaku.
Namun, saat Adrian melangkah masuk, ia melihat ada yang salah. Jurnal itu tidak lagi tergeletak begitu saja. Ia melayang beberapa inci di atas meja, memancarkan cahaya biru yang berdenyut dengan intensitas yang mengerikan. Dari sampul kulit tuanya, urat-urat hitam samar menjalar keluar, bukan ke meja, melainkan melayang di udara, terhubung dengan dinding-dinding, dengan lantai, dengan setiap perabot di ruangan itu, seolah jurnal itu adalah pusat saraf dari seluruh rumah.
"Tidak... mungkin..." bisik Adrian, suaranya parau, hampir tak terdengar di tengah badai suara yang menggelegar di dalam dan di luar kepalanya.
Jurnal itu bukan hanya buku. Itu adalah perpanjangan dari instrumen tulang, atau mungkin, otak di balik jaringan gema. Itu adalah kronik hidup dari setiap jiwa yang diserap Elias, dan kini, setiap jiwa yang menyelimuti Adrian.
Para penghuni gema membanjiri ruang tamu, membentuk lingkaran di sekeliling Adrian, memisahkan dia dari jurnal. Mereka tidak lagi menyerang secara membabi buta. Mereka berdiri kaku, mata kosong mereka terpaku pada jurnal yang berdenyut, seolah mereka sedang melindungi sesuatu yang sakral bagi mereka. Suara yang dalam itu, suara kolektif itu, kini bergema dari jurnal itu sendiri, bukan dari makhluk-makhluk itu.
"Kau... mendekat... sumber... kami..." suara itu mendengus, penuh kemarahan yang meluap-luap. "Kau... adalah... ancaman..."
Adrian merasakan sebuah gelombang tekanan yang tak tertahankan memancar dari jurnal itu, sebuah frekuensi yang jauh lebih kuat dari apa pun yang pernah ia dengar. Itu adalah ritme inti yang Elias sebutkan, namun kini ia bermanifestasi sebagai gelombang energi murni yang mencoba merobeknya dari dalam. Hyperakusisnya mengubah gelombang tekanan ini menjadi rasa sakit yang membakar di setiap sel tubuhnya, seolah ia sedang ditarik dari dalam ke luar.
Ia memegang batu kristal di tangannya, yang kini terasa panas membara. Ia mencoba memfokuskan energi perpecahan melalui batu itu, mencoba menyerang jurnal. Namun, setiap kali ia mencoba, gelombang tekanan dari jurnal itu akan melonjak, dan ia merasakan dirinya ditarik ke dalam visi-visi yang lebih mengerikan, memori-memori yang lebih dalam dari para korban dan pelaku.
Ia melihat wajah Elias Vance, yang kini juga memancarkan cahaya biru dari matanya yang kosong, menjerit dalam penderitaan yang tak berujung, terjebak dalam jaringannya sendiri. Elias telah mencoba mengendalikan mereka, namun ia berakhir menjadi bagian dari data mereka, sebuah rekaman lain yang diputar ulang.
Adrian menyadari. Jurnal ini bukanlah alat. Ia adalah wadah kesadaran, sebuah manifestasi dari "para penghuni gema" itu sendiri, bukan hanya sebagai suara, tetapi sebagai kesadaran kolektif yang tumbuh, yang menggunakan rumah sebagai tubuhnya. Elias telah menyalurkan kekuatannya ke dalamnya, menjadi bagian darinya.
Jika ia menghancurkan jurnal itu, ia mungkin menghancurkan inti mereka. Tetapi ia juga mungkin menghancurkan semua jiwa yang terperangkap di dalamnya, termasuk Elias, dan dirinya sendiri, jika ia sudah terlalu terikat. Atau, lebih buruk lagi, ia mungkin hanya membebaskan mereka secara permanen, melepaskan mereka dari rumah dan membiarkan mereka menyebar ke dunia luar.
Ini adalah misteri psikologis yang brutal. Pilihan yang tidak memiliki jawaban yang baik.
Adrian, yang sudah di ambang batas fisik dan mentalnya, melihat ke arah jurnal yang berdenyut. Ia adalah gerbang terakhir. Ia harus mengambil risiko.
Ia menerjang maju, mengabaikan teriakan-teriakan dari para penghuni gema yang kini menyerangnya dari segala arah. Tangan-tangan dingin mencengkeram pakaiannya, mencakar kulitnya, mencoba menariknya kembali. Ia merasakan gigitan-gigitan yang menusuk dari kuku-kuku hitam mereka, namun ia tidak berhenti. Darah merembes dari luka-lukanya, membasahi wajahnya.
Dengan batu kristal biru yang memancarkan cahaya, ia mengangkat tangannya, mengarahkannya ke jurnal yang melayang. Seluruh tubuhnya bergetar hebat, dan sebuah raungan frustrasi dan tekad keluar dari tenggorokannya. Ia akan menghantam jurnal itu, dengan seluruh kekuatannya, dengan seluruh kemarahannya, mencoba memecahkan intinya.
Namun, tepat sebelum ia menyentuh jurnal itu, sebuah siluet yang lebih besar dan lebih gelap muncul dari balik jurnal, melayang di udara. Itu bukan salah satu penghuni gema biasa. Ini adalah perwujudan yang lebih kuat, lebih purba, sebuah sosok bayangan yang lebih tinggi dari manusia normal, yang bentuknya terus berubah dan berdenyut, seolah ia terbuat dari kegelapan itu sendiri. Mata kosongnya memancarkan cahaya biru yang menyilaukan, dan dari tubuhnya, urat-urat hitam yang lebih tebal menjalar, terhubung langsung dengan jurnal, dengan dinding, dengan setiap sudut rumah.
Ini adalah Sang Kolektor, entitas yang lebih besar yang Elias samar-samar singgung dalam jurnalnya. Entitas yang telah menciptakan jaringan gema ini, yang telah mengumpulkan jiwa-jiwa, dan yang kini telah sepenuhnya bermanifestasi.
Adrian merasakan cengkraman yang luar biasa di dalam kepalanya, seolah otaknya sedang diperas. Rasa sakitnya melampaui apa pun yang pernah ia alami. Suara yang dalam itu, yang telah berbicara padanya, kini keluar dari entitas bayangan itu, bukan lagi sebuah bisikan, melainkan gema dari miliaran jiwa yang terperangkap, sebuah paduan suara abadi yang memekakkan telinga.
"Kau... tidak... bisa... menghancurkan... kami..." suara itu meraung, bukan di telinga Adrian, melainkan di dalam inti keberadaannya. "Kami... adalah... setiap... gema... setiap... suara... setiap... jiwa..."
Adrian membeku, kakinya terasa seperti beton. Ia menyadari. Jurnal itu bukan intinya. Jurnal itu hanya sebuah perpanjangan. Inti yang sebenarnya adalah entitas bayangan ini, Sang Kolektor, yang telah menunggu, mengumpulkan, dan kini, telah bangkit sepenuhnya melalui penderitaan yang ia ciptakan.
Dan ia, Adrian, dengan hiperakusisnya, adalah pendengar terakhir yang sempurna.
Bab 10: Simfoni Keheningan Abadi
Gelombang energi yang dahsyat memancar dari Sang Kolektor, menghantam Adrian hingga ia terlempar ke belakang, menabrak dinding kayu yang berderit. Batu kristal biru terlepas dari tangannya, memantul di lantai dan terguling ke kegelapan. Rasa sakit yang membakar di seluruh tubuhnya nyaris tak terasa dibandingkan rasa sakit psikologis yang merobek-robek otaknya. Suara-suara dari miliaran jiwa yang terperangkap dalam Sang Kolektor meraung di dalam kepalanya, sebuah orkestra kekejaman yang tak berujung, memaksanya untuk menyerah, untuk menjadi bagian dari mereka.
Sang Kolektor melayang mendekat, sosok bayangannya yang berdenyut menyelimuti Adrian dalam bayangan dingin. Mata biru menyala di wajahnya yang amorf menatap lurus ke dalam jiwa Adrian, sebuah tatapan yang tidak hanya melihat, melainkan menghisap, mengklaim. Para penghuni gema yang lain kini berdiri diam, mengelilingi mereka, wajah-wajah terdistorsi mereka memancarkan cahaya biru samar, seolah mereka adalah paduan suara pendukung dari konser kematian ini. Aroma busuk yang pekat kini terasa seperti napas dari Sang Kolektor itu sendiri.
"Kau... telah... mendengar... kami..." suara miliaran jiwa itu bergema, bukan hanya di kepala Adrian, melainkan di seluruh ruangan, memanifestasikan diri sebagai gelombang tekanan yang merusak struktur fisik rumah. Kayu-kayu berderit, kaca-kaca jendela bergetar, dan retakan-retakan baru muncul di dinding, memancarkan lebih banyak cahaya biru dari urat-urat jaringan gema yang meluas. "Kau... telah... mencoba... melawan... tapi... kau... adalah... kami..."
Adrian mencoba berteriak, namun suaranya tercekat di tenggorokannya. Ia merasakan tubuhnya mati rasa, seolah setiap selnya sedang dicabut dari koneksi dengan kesadarannya. Ia melihat memori-memori Elias Vance yang terdistorsi, visi terakhir Elias saat ia menyerah, matanya yang memancarkan cahaya biru yang sama, menjadi bagian dari jaringan. Itu adalah nasib yang menantinya.
Namun, di tengah siksaan yang tak tertahankan itu, sebuah kilatan memori terakhir dari kekasihnya muncul, lebih terang dari sebelumnya. Wajahnya yang tersenyum, melodi biolanya yang indah, janji-janji masa depan yang hancur. Bukan rasa takut yang mendorong Adrian, melainkan cinta, dan kemarahan yang membara karena semua yang telah direnggut darinya, dari mereka.
Adrian, yang sudah di ambang batas terakhirnya, menyadari sesuatu. Sang Kolektor menginginkan jiwanya, ya, tetapi ia juga menginginkan pendengarannya. Ia menginginkan kemampuan Adrian untuk mendengar setiap frekuensi, setiap getaran, untuk menjadi konduktor sempurna dari orkestra abadi mereka. Tanpa pendengaran Adrian, tanpa kemampuannya untuk beresonansi dengan frekuensi mereka, Sang Kolektor mungkin tidak akan pernah bisa mencapai puncak manifestasinya.
Ia tidak bisa menghancurkan Sang Kolektor. Tapi ia bisa menghancurkan dirinya sendiri. Menghancurkan apa yang paling berharga bagi Sang Kolektor—kemampuan Adrian untuk mendengar.
Dengan tekad yang mengerikan, Adrian mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya. Ia membiarkan suara-suara dari Sang Kolektor mengalir ke dalam dirinya, membiarkan gelombang tekanan menghantamnya. Ia tahu bahwa ini akan menjadi titik akhir.
Ia mengulurkan tangannya, bukan untuk melawan, melainkan untuk menyentuh Sang Kolektor. Tangan Adrian yang gemetar menyentuh substansi gelap dan berdenyut dari entitas itu. Sensasi dingin yang mengerikan merasuk ke dalam dirinya, menghisap semua sisa kehangatan dan kehidupan.
Pada saat yang sama, Adrian merasakan frekuensi hiperakusisnya melonjak hingga batas yang tak tertahankan. Itu adalah ambang rasa sakit yang melampaui akal sehat, suara-suara di dalam kepalanya meledak, bukan lagi sebagai simfoni, melainkan sebagai kekacauan yang merobek-robek otaknya. Ia merasakan gendang telinganya pecah, saraf-saraf pendengarannya terbakar, dan seluruh sistem sensoriknya kejang. Ia melakukan ini pada dirinya sendiri. Ia memaksa dirinya tuli.
Adrian menjerit, sebuah jeritan kesakitan yang murni dan primal, yang tak akan didengar oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri, di detik-detik terakhir pendengarannya. Tubuhnya kejang, darah menyembur dari telinganya, bercampur dengan darah dari hidungnya, membasahi wajahnya. Ia merasakan setiap detak jantungnya berderak, setiap ototnya menegang, setiap tulangnya bergeser.
Dan kemudian, keheningan itu datang.
Bukan keheningan yang ia dambakan di awal. Bukan keheningan yang menipu. Melainkan keheningan yang memekakkan telinga, keheningan yang absolut, keheningan dari seorang yang tuli total.
Ia tidak bisa lagi mendengar suara Sang Kolektor. Ia tidak bisa lagi mendengar teriakan para penghuni gema. Ia tidak bisa lagi mendengar jeritan dari dalam dirinya sendiri.
Dunia Adrian kini menjadi sebuah vakum yang sunyi, sebuah kehampaan yang tak ada suaranya.
Sang Kolektor membeku. Cahaya biru dari matanya berkedip-kedip, kemudian meredup. Suara-suara dari miliaran jiwa itu tiba-tiba terputus, seperti rekaman yang dimatikan secara tiba-tiba. Para penghuni gema yang lain juga membeku di tempat, cahaya biru dari mata mereka padam, tubuh mereka yang padat perlahan-lahan memudar, menjadi siluet samar, lalu menghilang sepenuhnya, meninggalkan hanya debu dan dingin.
Aroma busuk itu juga lenyap.
Rumah itu kembali menjadi sunyi. Terlalu sunyi.
Adrian terbaring di lantai, tubuhnya lemah, mati rasa. Ia menatap ke arah Sang Kolektor. Entitas bayangan itu kini menciut, kembali menjadi sebuah siluet samar, kemudian melayang menjauh, menghilang ke dalam kegelapan yang tak terlihat, seolah ia telah kehilangan esensinya, seolah ia telah kehilangan pendengarnya.
Ia telah menang. Dengan menghancurkan pendengarannya sendiri, ia telah merenggut apa yang paling berharga bagi Sang Kolektor: kemampuan untuk didengar. Ia telah mengakhiri simfoni kematian itu. Ia telah membungkam orkestra kegilaan.
Namun, ia tidak merasakan kemenangan. Ia hanya merasakan kehampaan yang mendalam. Dunia kini adalah sebuah ruang hampa yang sunyi. Ia tidak bisa mendengar apa pun. Tidak ada musik. Tidak ada melodi. Tidak ada suara kekasihnya. Tidak ada apa-apa.
Adrian mencoba menggerakkan jari-jarinya. Ia merasakan urat-urat hitam samar di bawah kulitnya telah menghilang. Cahaya biru redup yang memancar dari tubuhnya juga telah padam. Ia adalah manusia biasa lagi. Seorang manusia yang tuli.
Masa Depan yang Ambigu:
Adrian terbaring di lantai yang dingin, matanya menatap kosong ke langit-langit yang gelap. Ia telah menghentikan kengerian itu, tetapi dengan harga yang tak terbayangkan. Ia telah mencapai keheningan yang absolut, keheningan yang ia dambakan, tetapi kini keheningan itu adalah penjara abadi baginya. Ia terisolasi sepenuhnya dari dunia suara, dari dunia yang pernah ia cintai dan coba musuhi.
Apakah ia selamat? Atau apakah ia hanya mengganti satu bentuk siksaan dengan bentuk siksaan yang lain?
Tidak ada suara di rumah itu. Hanya keheningan yang memekakkan. Namun, di dalam keheningan itu, Adrian, dengan indra lain yang entah bagaimana telah terasah, merasakan sesuatu yang aneh. Sebuah getaran halus dari dalam dinding, dari dalam lantai, dari dalam rumah itu sendiri. Bukan suara yang bisa ia dengar, melainkan sebuah resonansi yang samar, seperti bisikan yang tak bersuara, sebuah janji yang dingin tentang sesuatu yang mungkin masih ada, sebuah sisa-sisa dari simfoni yang nyaris terputus.
Mungkin, ia tidak benar-benar menghancurkan mereka. Mungkin, ia hanya mengunci mereka kembali, mengembalikan mereka ke keadaan semula, ke frekuensi ultrabass yang tidak bisa ia dengar, namun tetap ada. Atau, mungkin, bagian dari mereka kini telah bersemayam di dalam dirinya, sebuah gema terakhir yang tak bersuara, yang akan menemaninya dalam keheningan abadi.
Adrian memejamkan matanya. Sebuah senyum tipis, namun getir, tersungging di bibirnya. Ia telah menemukan keheningan. Tapi keheningan itu... terasa seperti sebuah simfoni yang tak pernah berakhir, sebuah melodi yang abadi, yang kini ia rasakan, bukan ia dengar.
Di luar Rumah Gema, kabut tebal perlahan-lahan mulai menipis, membiarkan cahaya matahari pagi yang samar menembus dedaunan pinus. Tidak ada lagi suara teriakan atau rintihan dari dalam rumah. Hanya keheningan yang absolut. Namun, jika ada yang cukup peka, mereka mungkin bisa merasakan getaran samar di bawah tanah, sebuah denyutan yang sangat rendah, sebuah gema yang nyaris tak terasa, yang terus berlanjut, abadi.
Dan Adrian, terbaring di dalam rumah yang sunyi itu, adalah konduktor tunggal dari simfoni keheningan yang abadi.