Cerpen
Disukai
1
Dilihat
2,071
Siapa Tamu Rumahku
Misteri

Bab 1 – Rumah yang Sepi

Arman (38 tahun), seorang pria pendiam dengan sorot mata yang sering kali tampak kosong, menarik napas panjang, aroma debu dan apak menusuk hidungnya. Kunci berkarat di tangannya terasa dingin. Di depannya berdiri rumah warisan kakeknya, sebuah bangunan megah yang menjulang tinggi di antara pepohonan rindang di pinggiran kota. Cat putih yang dulunya bersih kini mengelupas, memperlihatkan lapisan kayu yang lapuk. Jendela-jendela yang tinggi dan sempit tampak seperti mata-mata gelap yang menatapnya. Dua minggu lalu, hidupnya jungkir balik. Pemberitahuan PHK dari perusahaan arsitektur tempat ia mengabdi selama lima belas tahun datang seperti sambaran petir di siang bolong, disusul tak lama kemudian oleh kabar duka meninggalnya sang ibu, satu-satunya keluarga dekat yang ia miliki. Rasa hampa yang sebelumnya hanya menjadi bisikan kini mengaum di dalam dadanya. Rumah ini, warisan terakhir yang tersisa, adalah pelariannya, atau setidaknya, itulah yang ia harap.

Memasuki ambang pintu yang berderit, Arman disambut oleh keheningan yang menyesakkan. Udara di dalam terasa berat, seolah menyimpan napas-napas masa lalu. Perabotan lama diselimuti kain putih, tampak seperti hantu-hantu yang menunggu untuk dibangkitkan. Ruang tamu luas dengan langit-langit tinggi, dihiasi lampu gantung kristal yang kusam, terasa sangat dingin. Di tengahnya, terdapat sebuah set kursi tamu antik dengan ukiran rumit, diselimuti kain batik lusuh. Arman menyentuh salah satu sandarannya; kayunya terasa dingin dan halus di bawah jemarinya. Ia teringat masa kecilnya, kunjungan-kunjungan singkat ke rumah ini saat kakeknya masih hidup. Kakeknya adalah sosok yang misterius, jarang bicara, dan selalu duduk di salah satu kursi itu, menatap ke luar jendela dengan ekspresi tak terbaca. Kenangan-kenangan itu, sayangnya, tidak semuanya menyenangkan. Ada bayangan samar tentang teriakan yang tak jelas asalnya, tentang bayangan gelap yang melintas cepat di koridor, dan perasaan cemas yang selalu menyertai setiap kunjungan.

Arman menghabiskan hari pertama membersihkan rumah, menyapu debu tebal yang melapisi setiap permukaan, membuka jendela-jendela agar udara segar masuk, meskipun udara yang masuk tetap terasa berat. Ia memindahkan koper-koper berisi sedikit barang pribadinya ke kamar tidur utama di lantai dua. Kamar itu luas, dengan ranjang berkanopi yang besar, namun terasa asing. Dindingnya berwarna krem kusam, dan satu-satunya hiasan adalah lukisan pemandangan hutan berkabut yang entah mengapa terasa menekan. Setiap sudut rumah ini seperti menyimpan rahasia, memancarkan aura melankolis yang sulit dijelaskan. Kesendiriannya di rumah ini terasa lebih pekat daripada di apartemennya yang dulu. Di sana, setidaknya, ia bisa mendengar hiruk pikuk kota, suara-suara kehidupan yang menenangkan. Di sini, hanya ada suara angin yang berdesir pelan di antara pepohonan dan sesekali suara daun kering yang bergesekan.

Malam pertama, Arman tidur dengan tidak nyenyak. Setiap derit lantai, setiap hembusan angin yang menyelinap masuk melalui celah jendela, terdengar begitu jelas, diperkuat oleh keheningan. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya sarafnya yang tegang, bahwa kesedihan dan perubahan besar dalam hidupnya telah membuatnya terlalu sensitif. Ia merindukan ibunya, suara lembutnya, dan masakan hangat yang selalu menantinya. Hati Arman terasa perih, diselimuti selubung kesedihan yang tak kunjung usai. Ia tidak pernah menyangka bahwa kesendirian akan terasa begitu dingin dan mencekam. Sebelum tidur, ia sempat menatap ke luar jendela kamar. Di kejauhan, lampu-lampu kota berkelip samar, seperti bintang-bintang yang terlalu jauh untuk dijangkau. Ia merasa terputus dari dunia, terisolasi dalam kepompong rumah tua ini. Rasa takut yang samar mulai menyelinap, bukan takut akan hantu, melainkan takut akan dirinya sendiri dalam keheningan yang begitu dalam.

Pagi harinya, ia terbangun dengan perasaan lebih segar, setidaknya secara fisik. Ia memaksa dirinya sarapan roti tawar dan kopi instan di dapur yang suram. Dapur itu terasa dingin, tidak ada jejak kehidupan yang berarti. Arman berpikir, mungkin dengan menata ulang perabotan, atau mengecat ulang dinding, rumah ini bisa terasa lebih hidup, lebih seperti miliknya. Namun, energi untuk melakukan hal-hal itu terasa jauh. Ia hanya ingin bersembunyi dari dunia, dari kegagalannya, dari kesedihan yang tak berkesudahan. Ia berjalan-jalan mengelilingi rumah, dari satu ruangan ke ruangan lain, mencoba menemukan koneksi, sesuatu yang bisa membuatnya merasa nyaman. Namun, yang ia temukan hanyalah kenangan-kenangan samar yang melintas, seperti bayangan yang tak bisa ditangkap. Rumah ini terasa seperti museum yang menyimpan relik-relik masa lalu, relik-relik yang tidak ingin ia sentuh.

Sore itu, saat senja mulai merayap, Arman duduk di salah satu kursi di ruang tamu. Ia menyalakan lampu gantung yang kusam, cahaya kuningnya memantul redup di dinding. Ia mengeluarkan buku usang dari tasnya, mencoba membaca untuk mengusir kesepian. Namun, pikirannya melayang-layang. Ia teringat kembali pada kakeknya, sosok yang misterius itu. Kakeknya adalah seorang kolektor seni, namun sebagian besar koleksinya sudah tidak ada. Hanya ada beberapa lukisan tua yang masih tergantung di dinding, lukisan-lukisan dengan tema pemandangan gelap dan potret-potret yang matanya seolah mengikuti gerakannya. Rumah ini menyimpan terlalu banyak masa lalu. Arman bertanya-tanya, apakah ada sesuatu yang salah dengan dirinya, mengapa ia merasa begitu terputus dari dunia? Mengapa kesendirian ini terasa begitu dalam, hingga membuatnya meragukan kewarasannya sendiri? Malam itu, keheningan terasa lebih pekat, dan Arman merasa dirinya semakin tenggelam dalam pusaran kesendirian yang tak berujung.

Bab 2 – Derit Malam

Malam pertama dan kedua berlalu dengan keheningan yang menyesakkan, hanya ditemani oleh irama detak jantung Arman yang kadang berpacu tak beraturan. Ia mencoba menyesuaikan diri dengan ritme baru, berharap setiap pagi akan membawa ketenangan yang lebih dalam. Namun, pada malam ketiga, ketenangan itu terusik. Setelah membaca beberapa halaman buku dan mencoba untuk tidur, sekitar pukul dua dini hari, sebuah suara samar menariknya dari ambang kesadaran. Sebuah derit yang halus, seperti gesekan kayu di lantai. Arman menahan napas, menajamkan pendengarannya. Derit itu berulang, lebih jelas kali ini, seolah ada beban yang bergeser. Suara itu berasal dari lantai bawah, dari ruang tamu.

Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya angin, atau pergeseran struktur rumah tua. Namun, derit itu disusul oleh suara lain, yang lebih mengganggu: suara gesekan ringan, seperti seseorang sedang menyeret kakinya, atau mungkin, seperti kain yang bergesekan dengan bantalan kursi. Kemudian, hening. Arman menelan ludah, jantungnya mulai berpacu. Ia memejamkan mata, berharap itu hanya mimpi, atau imajinasinya yang terlalu liar. Setelah beberapa menit yang terasa seperti jam, ia membuka mata. Keheningan kembali meraja, namun ketegangan di udara terasa begitu nyata. Ia bangkit dari tempat tidur, kakinya melangkah hati-hati menuju pintu kamar.

Arman perlahan membuka pintu, mengintip ke koridor yang gelap. Udara terasa dingin. Ia memutuskan untuk turun. Langkah kakinya memantul samar di anak tangga kayu yang berderit. Sesampainya di ruang tamu, ia menyalakan lampu utama. Cahaya kuning yang redup langsung menyapu ruangan. Matanya menyusuri setiap sudut, memeriksa setiap bayangan. Tidak ada apa-apa yang terlihat mencurigakan. Namun, saat pandangannya jatuh pada set kursi tamu antik di tengah ruangan, sesuatu menarik perhatiannya. Salah satu kursi, kursi yang paling dekat dengan jendela, tampak sedikit bergeser dari posisinya semula. Hanya beberapa sentimeter, namun cukup untuk membuat Arman terpaku.

Ia mendekat, jantungnya berdegup kencang di dadanya. Ia menyentuh sandaran kursi itu. Dingin. Ia mengamati jejak-jejak di lantai. Di karpet yang usang, memang ada guratan samar yang menunjukkan pergeseran. Arman mencoba menenangkan dirinya. Mungkin ia yang tak sengaja menggesernya saat membersihkan rumah. Atau mungkin, saat ia duduk membaca sore itu, ia tanpa sadar mendorong kursi itu. Logika-logika itu berusaha membenarkan apa yang ia lihat, namun instingnya berteriak lain. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Ia kembali ke kamar, namun tidur tak kunjung datang. Derit itu terus terngiang, berulang-ulang di telinganya.

Malam berikutnya, Arman mencoba mengabaikan kejadian itu. Ia membaca buku lebih lama, mencoba mengalihkan pikirannya. Ia meminum secangkir teh herbal yang katanya bisa menenangkan saraf. Namun, lagi-lagi, sekitar jam yang sama, suara itu kembali. Kali ini lebih jelas, lebih ritmis. Derit, gesekan, derit, gesekan. Suara-suara itu terdengar seolah-olah seseorang sedang duduk dan berdiri dari kursi itu, berulang kali, dengan irama yang aneh. Rasa dingin menjalar di punggung Arman. Ia merasakan sensasi bulu kuduknya berdiri. Ia memaksakan dirinya untuk tetap di tempat tidur, menarik selimut hingga dagu, berharap suara-suara itu akan berhenti. Namun, suara itu terus berlanjut, semakin lama semakin intens, seolah mengolok-olok ketakutannya.

Arman akhirnya tak tahan lagi. Ia bangkit, kali ini dengan tekad yang lebih kuat untuk mencari tahu. Ia meraih senter di nakas dan perlahan turun tangga. Setibanya di ruang tamu, ia menyalakan senter, sorot cahayanya menyapu gelapnya ruangan. Ia melihatnya lagi. Kali ini, tidak hanya satu kursi yang bergeser, tetapi dua kursi kini tampak sedikit menjauh dari posisi semula, seolah baru saja diduduki dan ditinggalkan. Dan yang lebih mengerikan, di salah satu bantalan kursi, ia melihat lekukan samar, seolah-olah ada beban yang baru saja menekannya. Rasanya seperti ada orang lain di sana, persis di hadapannya, beberapa detik yang lalu.

Keringat dingin membasahi pelipis Arman. Ia tahu, ini bukan halusinasi. Ini nyata. Ia tidak sendirian di rumah ini. Perasaan takut yang samar kini berubah menjadi ketakutan yang mencekam. Ia menelan ludah, tenggorokannya tercekat. Siapa? Atau apa? Siapa yang duduk di kursi-kursi itu? Apakah ini hantu? Pikiran-pikiran itu berkelebat di benaknya, namun ia segera menepisnya. Arman tidak percaya hantu. Ia adalah seorang yang rasional, seorang arsitek yang terlatih untuk melihat dunia dengan logika. Pasti ada penjelasan ilmiah. Mungkin ada hewan pengerat yang cukup besar untuk menggeser kursi. Namun, lekukan di bantalan kursi itu, itu tidak bisa dijelaskan oleh hewan pengerat.

Ia menghabiskan sisa malam itu di ruang tamu, duduk di sofa dengan senter di tangan, menatap kursi-kursi itu, mencoba menangkap pergerakan sekecil apa pun. Namun, tidak ada lagi suara, tidak ada lagi pergerakan. Hanya keheningan yang mencekam, dan bayangan-bayangan yang menari-nari di dinding. Ia merasa konyol, namun pada saat yang sama, ia merasa sangat rentan. Rasa kantuk tidak bisa mengalahkan ketakutannya. Ia bahkan tidak berani memejamkan mata. Setiap bayangan, setiap derit lantai di lantai atas, membuat jantungnya melonjak. Pagi hari tiba dengan kelegaan yang luar biasa. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela terasa seperti penyelamat. Namun, pengalaman malam itu meninggalkan bekas yang dalam. Rumah ini, yang tadinya ia anggap sebagai tempat berlindung, kini terasa seperti sangkar yang perlahan menutupinya. Arman tahu, ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia tidak bisa hidup dalam ketidakpastian ini.

Bab 3 – Penanda Kosong

Kepanikan malam sebelumnya masih melekat kuat di benak Arman. Rasa takutnya bukan lagi bisikan, melainkan raungan yang tak henti. Ia mencoba berpegang pada rasionalitasnya, namun bukti-bukti fisik di hadapannya terlalu kuat untuk diabaikan. Kursi-kursi yang bergeser, lekukan samar di bantalannya, dan suara-suara aneh itu—semua menunjuk pada satu kesimpulan yang tak masuk akal: ia tidak sendiri. Ia mulai berpikir, apakah ia mulai kehilangan akal sehatnya? Depresi dan kesedihan memang bisa menyebabkan halusinasi, tetapi ini terasa sangat nyata.

Pada siang hari itu, ia pergi ke toko perkakas. Bukan untuk membeli alat pertukangan, melainkan sesuatu yang jauh lebih sederhana: bedak tabur dan beberapa benda kecil seperti kancing dan penjepit kertas. Rencananya sudah matang di benaknya, sebuah eksperimen sederhana namun efektif untuk menguji kewarasannya. Sekembalinya ke rumah, ia segera menuju ruang tamu. Dengan tangan sedikit gemetar, ia menaburkan bedak tipis-tipis di seluruh permukaan dudukan kursi-kursi antik itu. Bubuk putih itu kontras dengan warna gelap kain kursi, membuatnya mudah terlihat jika ada sentuhan. Kemudian, ia meletakkan satu benda kecil di tengah setiap sandaran kursi. Kancing di kursi pertama, penjepit kertas di kursi kedua, dan seterusnya. Ini akan menjadi penanda yang jelas. Jika ada yang bergerak atau duduk di kursi-kursi itu, bedak pasti akan menempel, dan benda-benda kecil itu pasti akan jatuh atau bergeser.

"Ini cuma untuk meyakinkan diriku sendiri," gumamnya, mencoba meyakinkan diri. Ia mengambil beberapa foto posisi awal kursi dan penanda-penanda itu dengan ponselnya, sebagai bukti yang tak terbantahkan. Setelah selesai, ia duduk di sofa, memandangi kursi-kursi itu seolah mereka adalah saksi bisu dari percobaan gilanya. Keheningan rumah terasa semakin mencekam, setiap bayangan tampak lebih gelap, setiap sudut tampak lebih misterius. Ia mencoba membaca, mencoba bekerja, namun pikirannya terus kembali pada kursi-kursi di ruang tamu. Ia bahkan mempertimbangkan untuk tidur di sofa, mengawasi langsung, tetapi rasa takut akan apa yang mungkin ia lihat secara langsung terlalu besar.

Malam tiba. Arman naik ke kamar tidur dengan hati-hati, meninggalkan pintu kamar terbuka sedikit. Ia bahkan meninggalkan lampu koridor menyala. Ia berbaring di tempat tidur, mencoba memejamkan mata, namun sensasi bulu kuduknya berdiri tak kunjung hilang. Ia mendengar setiap derit angin, setiap gesekan daun di luar jendela. Setiap lima belas menit, ia melirik jam. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Sekitar pukul 02.00 dini hari, suara itu kembali. Derit. Gesekan. Derit. Gesekan. Kali ini, suaranya terdengar lebih dekat, lebih jelas, seolah-olah ada beberapa "entitas" yang bergerak di ruang tamu. Jantung Arman berdegup kencang, memukul-mukul rusuknya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ia harus menunggu. Ia harus melihat buktinya.

Suara-suara itu berlanjut selama kurang lebih dua puluh menit, kemudian hening kembali. Keheningan kali ini terasa lebih menakutkan daripada suara-suara itu sendiri. Arman menunggu hingga matahari mulai terbit, mengisi kamar dengan cahaya keperakan yang samar. Ia tidak tidur sama sekali. Dengan langkah ragu, ia turun ke ruang tamu. Nafasnya tercekat saat melihat apa yang ada di depannya.

Semua berubah posisi.

Di dudukan kursi pertama, jejak bedak menempel dengan jelas, membentuk pola seperti cetakan bokong seseorang yang baru saja duduk. Kancing yang ia letakkan di sandaran kursi itu sudah tidak ada. Ia mencari-cari, dan menemukannya tergeletak di lantai, sekitar satu meter dari kursi. Di kursi kedua, bedak juga menempel, dan penjepit kertas sudah jatuh, tergelincir ke samping. Di kursi ketiga, bedak sedikit lebih tipis, dan benda kecil di sandarannya tergeser, namun tidak jatuh. Kursi keempat dan kelima juga menunjukkan tanda-tanda yang sama, bedak yang menempel dan benda-benda yang bergeser. Bukan hanya satu kursi, melainkan semua kursi yang ia berikan penanda!

Arman merasakan seluruh tubuhnya lemas. Ia melangkah mundur, menabrak meja kopi di belakangnya. Ini bukan halusinasi. Ini bukan angin. Ini bukan hewan pengerat. Ada sesuatu, atau seseorang, di rumah ini yang ia tidak bisa lihat. Pikiran tentang hantu kembali melintas, namun otaknya menolak mentah-mentah. Itu tidak mungkin. Itu tidak rasional. Lalu, apa? Apa yang bisa membuat bedak menempel seperti cetakan tubuh dan menjatuhkan benda-benda kecil tanpa ada wujud yang terlihat?

Ia mengambil ponselnya, membandingkan foto-foto yang ia ambil tadi malam dengan kondisi kursi saat ini. Tidak diragukan lagi. Perubahan itu nyata, dan signifikan. Ia mulai merasa dingin dari dalam, bukan karena suhu ruangan, melainkan karena rasa takut yang merayap. Ia mulai merasa rumah itu tidak hanya dihuni olehnya. Ada kehadiran lain, yang tak terlihat, namun sangat nyata. Sebuah kehadiran yang bergerak, yang duduk, yang mungkin mengawasinya.

Arman duduk di lantai, bersandar di dinding, mencoba memproses semua ini. Pikirannya kalut. Apakah ini kutukan? Apakah rumah ini berhantu? Atau apakah ia benar-benar gila? Perdebatan batin itu berkecamuk di kepalanya. Ia tidak bisa lagi mengabaikan apa yang terjadi. Ia tidak bisa lagi menenangkan dirinya dengan logika. Bukti-bukti ini terlalu jelas. Ia harus mencari tahu. Ia harus memahami apa yang ia hadapi. Rasa ingin tahu bercampur ketakutan mulai merasuki dirinya. Ia tahu, dari titik ini, ia tidak bisa mundur lagi.

Bab 4 – Mata-Mata Tak Terlihat

Kondisi psikologis Arman semakin memburuk setelah eksperimen bedak. Tidurnya terganggu, nafsu makannya menghilang, dan bayangan-bayangan di setiap sudut rumah terasa semakin nyata. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya di ruang tamu, duduk di sofa, memandangi kursi-kursi yang kini terasa menakutkan, seperti kumpulan penonton yang menunggu pertunjukan dimulai. Ia tahu ia tidak bisa terus-menerus hidup dalam ketidakpastian ini. Rasa takutnya bercampur dengan dorongan untuk membuktikan apa yang terjadi, atau setidaknya, merekamnya.

Ide itu datang begitu saja: kamera CCTV. Jika ada entitas tak kasatmata yang bergerak, mungkin kamera bisa menangkap sesuatu. Teknologi tidak berbohong. Dengan tekad bulat yang bercampur keputusasaan, Arman segera menuju toko elektronik terdekat. Ia membeli satu set kamera CCTV nirkabel dengan kemampuan merekam dalam gelap dan deteksi gerakan. Pemasangannya relatif mudah. Ia memilih sudut pandang terbaik di ruang tamu, sebuah sudut yang bisa menangkap seluruh set kursi dan sebagian besar ruangan. Kamera pertama ia letakkan di rak buku, mengarah ke kursi-kursi. Kamera kedua di sudut atas ruangan, untuk pandangan yang lebih luas.

Malam itu, setelah memastikan semua kamera berfungsi dan terhubung ke ponselnya, Arman duduk di sofa, menatap layar ponselnya. Ia melihat siaran langsung dari kamera-kamera itu. Ruangan tampak kosong, kursi-kursi tetap pada tempatnya, bedak sudah ia bersihkan. Perasaan cemas bercampur antisipasi memenuhi dirinya. Ia berharap tidak ada yang terjadi, namun pada saat yang sama, ia sangat ingin melihat sesuatu.

Ia mencoba tidur di kamar, tetapi seperti malam-malam sebelumnya, tidur itu tak kunjung datang. Ia terus-menerus memeriksa rekaman di ponselnya. Beberapa jam pertama, tidak ada yang aneh. Hanya keheningan. Namun, sekitar pukul 01.30 dini hari, tepat pada jam-jam di mana kejadian aneh sering terjadi, ia melihat sebuah aktivitas yang membuat jantungnya berhenti berdetak.

Rekaman malam pertama memperlihatkan Arman sedang berbicara dan tertawa seperti menjamu orang lain, padahal ia sendirian.

Di layar ponselnya, ia melihat dirinya sendiri di ruang tamu, duduk di salah satu kursi, berbicara dengan penuh semangat. Tangannya bergerak-gerak seolah menjelaskan sesuatu, dan di sela-sela kalimat, ia tertawa. Tawa yang asing, tawa yang tidak pernah ia kenal sebagai miliknya. Matanya membelalak, ngeri. Ia tidak ingat sama sekali melakukan hal itu. Ia yakin seratus persen bahwa ia tidur di kamar saat itu. Siapa yang ada di rekaman itu? Itu jelas-jelas dirinya, namun perilakunya sama sekali bukan dirinya.

Ia menonton rekaman itu berulang kali, mencoba mencari celah, mencari penjelasan yang logis. Mungkin ia berjalan dalam tidur? Tapi ia tidak pernah punya riwayat itu. Dan tawa itu, mengapa ia tidak bisa mengingatnya sama sekali? Yang lebih mengerikan adalah interaksinya. Wajahnya pun berubah ekspresi seolah mendengarkan seseorang berbicara. Kadang ia mengangguk, kadang ia mengerutkan kening seolah tidak setuju, kadang ia tersenyum lebar seolah mendengar lelucon. Matanya, di rekaman itu, memancarkan kehidupan dan interaksi yang sama sekali tidak ada di Arman yang menyedihkan dan pendiam saat ini.

Kemudian, ia melihat adegan yang paling menakutkan. Di rekaman itu, Arman yang "lain" itu bangkit dari kursinya, berjalan ke salah satu kursi yang kosong, dan menariknya sedikit, seolah memberi ruang bagi seseorang untuk duduk. Ia bahkan menuangkan air dari teko kosong ke cangkir-cangkir kosong di meja kopi. Gerakannya luwes, alami, seperti menjamu tamu sungguhan. Tapi tidak ada siapa-siapa di sana! Hanya kursi-kursi kosong, cangkir-cangkir kosong, dan dirinya yang aneh.

Arman merasakan mual. Ini bukan hantu. Ini lebih buruk. Ini adalah dirinya. Tapi bukan dirinya. Ia merasakan kepalanya pusing, seolah ada suara-suara berbisik di dalam benaknya. Ia tidak bisa lagi menipu dirinya sendiri dengan penjelasan rasional. Ini melampaui logika. Malam itu, ia tidak tidur. Ia terus memutar ulang rekaman itu, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Kehadiran di rumah itu bukan entitas eksternal, melainkan sesuatu yang jauh lebih dekat, sesuatu yang ada di dalam dirinya. Ini adalah horor yang lebih dalam dari sekadar rumah berhantu. Ini adalah horor psikologis. Ia mulai mempertanyakan siapa dirinya, siapa yang mengendalikan tubuhnya saat ia tidur.

Hari-hari berikutnya, Arman menjadi lebih terobsesi dengan rekaman CCTV. Ia membiarkan kamera terus merekam sepanjang waktu. Ia menemukan bahwa fenomena ini tidak hanya terjadi di malam hari, tetapi juga sesekali di siang hari, saat ia tidur siang atau hanya melamun. Ia melihat dirinya berbicara, tertawa, bahkan marah pada sesuatu yang tidak ada. Ia melihat dirinya menyajikan makanan, menata ulang kursi, seolah ada pertemuan rahasia yang ia adakan tanpa sepengetahuannya sendiri.

Yang paling membuat Arman ngeri adalah melihat ekspresi wajahnya sendiri di rekaman itu. Senyum lebar yang tak wajar, tatapan mata yang tajam dan hidup, gestur tubuh yang ekspresif—semua itu sangat bertolak belakang dengan dirinya yang sekarang. Terkadang, ia bahkan melihat dirinya di rekaman itu mengangkat tangan seolah menyentuh bahu seseorang yang duduk di kursi kosong, atau menepuk punggung "tamunya" dengan akrab. Rasanya seperti melihat orang asing menggunakan tubuhnya, melakukan hal-hal yang ia tidak pernah bayangkan bisa ia lakukan. Rasa takutnya berubah menjadi kebingungan yang mendalam, dan sedikit rasa putus asa. Ia merasa terkunci di dalam tubuhnya sendiri, menjadi penonton pasif dari kehidupan yang ia tidak kendalikan. Pertanyaan besar yang kini menghantuinya adalah: jika itu bukan dia, lalu siapa? Dan mengapa?

Bab 5 – Mereka yang Duduk

Setelah berhari-hari mengamati rekaman CCTV, Arman mulai melihat pola yang lebih mengerikan. "Dirinya" yang lain tidak hanya sekadar berbicara pada kursi-kursi kosong. Ia menyebutkan nama-nama. Nama-nama yang asing di telinga Arman, namun "dirinya" di rekaman itu tampak mengenal mereka sangat dekat, berinteraksi dengan mereka seolah mereka adalah teman lama, atau bahkan anggota keluarga.

"Oh, Bu Lina, lama tak jumpa. Bagaimana kabar cucu-cucu Ibu?"

"Guntur, kau selalu saja datang terlambat. Kopi atau teh?"

"Damar, jangan diam saja. Ayo cerita, ada apa dengan pekerjaanmu?"

"Nanda, kau tampak lesu malam ini. Ada masalah?"

Perekaman demi perekaman, Arman melihat dirinya menyapa, bercanda, terkadang berdebat, dan bahkan menghibur sosok-sosok tak terlihat itu. Ia menyajikan teh dan makanan ke kursi-kursi kosong itu dengan ketelatenan seorang tuan rumah yang ramah. Ada senyum di wajahnya yang di dunia nyata tak pernah ia kenali. Ada kehangatan dalam suaranya yang kini hanya dipenuhi kesunyian.

Arman mulai mencari tahu. Siapa Bu Lina? Siapa Om Guntur? Damar? Nanda? Ia bertanya pada tetangga-tetangga sekitar yang sudah lama tinggal di sana, apakah mereka mengenal nama-nama tersebut, apakah ada kenalan kakeknya dengan nama-nama itu. Jawaban mereka selalu sama: tidak. Mereka tidak pernah mendengar nama-nama tersebut terkait dengan rumah atau keluarga kakeknya. Ia memeriksa catatan-catatan lama ibunya, surat-surat lama kakeknya, mencoba menemukan petunjuk. Nihil. Nama-nama itu sama sekali tidak ia temukan dalam sejarah hidupnya atau keluarganya.

Keputusasaan mulai merangkak naik di dada Arman. Ia merasa terjebak dalam teka-teki yang ia sendiri adalah bagian darinya, namun tidak memiliki kunci untuk memecahkannya. Setiap kali ia melihat dirinya di rekaman, berbicara dan berinteraksi dengan "tamu-tamu" tak kasatmata ini, rasa takutnya semakin mendalam. Ini bukan sekadar delusi visual, ini adalah interaksi yang kompleks, dengan emosi, dialog, dan keintiman yang mengerikan.

Ia mencoba berbicara pada dirinya sendiri saat ia sadar. "Siapa mereka, Bu Lina? Guntur? Damar? Nanda?" Namun, yang ia dapatkan hanyalah keheningan, dan rasa pusing yang kadang melandanya. Seolah-olah ada bagian dari dirinya yang menolak untuk mengungkapkan rahasia itu. Ia mulai merasa ada tembok tebal di antara dirinya yang sadar dan dirinya yang "lain" itu.

Suatu malam, Arman memutuskan untuk tetap terjaga. Ia menatap kamera, menatap kursi-kursi kosong itu, menunggu. Ia minum kopi pahit berulang kali, mencoba melawan kantuk. Namun, ia tak bisa. Sekitar pukul tiga dini hari, rasa kantuk yang tak tertahankan menyerangnya seperti beban berat. Matanya terasa pedih, kelopak matanya terasa sangat berat. Ia mencoba untuk melawan, namun tubuhnya menyerah. Ia tertidur di sofa, dengan ponsel yang masih menampilkan rekaman CCTV di tangannya.

Ketika ia terbangun di pagi hari, ponselnya masih menyala. Rekaman semalam sudah otomatis tersimpan. Ia segera memutar ulang rekaman dari saat ia tertidur. Dan lagi-lagi, ia melihatnya. Dirinya yang "lain" bangkit dari sofa, berjalan dengan tenang ke ruang tamu. Kali ini, ia terlihat lebih bersemangat. Ia menyalakan lampu, menyetel musik klasik yang lembut, dan kemudian, ia melihatnya menyusun kursi-kursi itu menjadi formasi melingkar, seolah-olah ada sebuah pertemuan rahasia yang akan dimulai.

Kemudian, ia melihat "dirinya" berbicara pada kursi yang kosong, suaranya terdengar lembut namun penuh otoritas. "Sudah lama kita tidak berkumpul seperti ini. Bu Lina, apakah tehnya sesuai selera Ibu?" Ia kemudian mengambil teko dan menuangkan teh ke cangkir yang kosong. "Guntur, kau tahu aku selalu menyiapkan yang terbaik untukmu." "Damar, Nanda, apakah kalian siap?"

Yang paling membuat Arman merinding adalah saat "dirinya" yang lain itu mengulurkan tangan, seolah bersalaman dengan udara kosong, dan kemudian, ia melihat "tangannya" bergerak seolah-olah ada genggaman tangan yang membalas. Ia bahkan melihat "dirinya" menepuk-nepuk punggung kursi, seolah ada seseorang yang duduk di sana dan ia sedang menepuk punggungnya dengan akrab.

Arman merasakan seluruh tubuhnya merinding. Ini bukan hanya halusinasi visual, ini adalah pengalaman multisensori. Sentuhan yang tidak terlihat, percakapan yang hidup, dan emosi yang nyata. Ini terasa sangat, sangat nyata bagi "dirinya" yang lain. Dan ia, Arman yang asli, adalah penonton yang tak berdaya. Ia merasa terjebak dalam sebuah mimpi buruk yang ia tidak bisa bangun darinya.

Pada satu titik, "dirinya" yang lain di rekaman itu bahkan menatap langsung ke arah kamera, dan tersenyum, seolah tahu ia sedang diawasi. Senyum itu, meskipun terlihat ramah, mengirimkan getaran dingin di tulang punggung Arman. Itu adalah senyum yang penuh rahasia, penuh pemahaman, seolah-olah ia tahu segalanya dan Arman tidak tahu apa-apa.

Arman merasa pikirannya akan pecah. Ia tidak bisa lagi membedakan antara kenyataan dan delusi. Rumah ini, yang tadinya tempat pelarian, kini menjadi penjara pikiran. Ia tahu, ia tidak bisa lagi membiarkan ini berlarut-larut. Ia harus mencari bantuan. Ia harus menemukan jawaban. Rasa takut yang murni kini berubah menjadi kebutuhan mendesak untuk memahami apa yang menggerogoti dirinya dari dalam.

Bab 6 – Diri yang Terbelah

Setelah berhari-hari mengamati rekaman CCTV dan merasakan cengkeraman ketakutan yang semakin erat, Arman menyadari satu hal yang mengerikan: ia tidak bisa lagi hidup dalam penyangkalan. Perilakunya yang aneh, suara-suara di malam hari, dan interaksi dengan "tamu-tamu" tak terlihat itu bukan lagi sekadar halusinasi. Ini adalah masalah yang jauh lebih dalam, dan ia tahu ia tidak bisa menghadapinya sendirian. Dengan sisa-sisa keberanian dan akal sehatnya, Arman membuat janji temu dengan seorang psikiater.

Dr. Rina, seorang wanita paruh baya dengan tatapan mata yang tenang dan penuh pengertian, menyambut Arman di ruang praktiknya yang hangat. Arman merasa sedikit canggung pada awalnya, tidak yakin bagaimana harus memulai cerita yang terdengar sangat tidak masuk akal. Namun, desakan batin untuk mencari bantuan jauh lebih besar daripada rasa malunya. Ia mulai menceritakan segalanya, dari kepindahannya ke rumah kakeknya, derit kursi, penanda bedak, hingga rekaman CCTV yang menunjukkan dirinya berinteraksi dengan sosok-sosok tak terlihat. Ia bahkan membawa ponselnya untuk menunjukkan beberapa klip rekaman yang paling mengganggu.

Dr. Rina mendengarkan dengan seksama, sesekali menulis di buku catatannya. Ekspresinya tetap tenang, tidak menghakimi. Setelah Arman selesai bercerita, dan menunjukkan bukti-bukti visual yang ada, Dr. Rina mengangguk perlahan. "Arman, dari apa yang Anda ceritakan dan bukti yang Anda tunjukkan, ada kemungkinan Anda mengalami kondisi yang disebut Gangguan Identitas Disosiatif, atau yang dulu dikenal sebagai kepribadian ganda."

Dunia Arman seolah runtuh. Kepribadian ganda? Itu adalah sesuatu yang ia hanya dengar di film-film horor atau berita kriminal. Rasanya seperti sebuah tamparan keras di wajahnya. "Kepribadian ganda? Tapi... saya tidak merasa seperti itu," gumam Arman, suaranya serak.

"Tidak semua orang yang mengalami ini menyadarinya secara langsung," jelas Dr. Rina dengan nada menenangkan. "Biasanya, ada amnesia di antara episode-episode yang diambil alih oleh kepribadian lain. Gejala yang Anda alami—perilaku yang tidak Anda ingat, interaksi dengan sosok-sosok yang terasa nyata bagi kepribadian lain, dan bahkan nama-nama spesifik yang muncul—sangat konsisten dengan kondisi ini."

Dr. Rina melanjutkan penjelasannya. "Kepribadian ganda sering kali merupakan mekanisme pertahanan psikologis yang kompleks, seringkali muncul sebagai respons terhadap trauma masa kecil yang parah atau kesepian berkepanjangan. Pikiran bawah sadar Anda menciptakan kepribadian-kepribadian alternatif ini sebagai cara untuk mengatasi rasa sakit, ketakutan, atau kebutuhan yang tidak terpenuhi."

Penjelasan itu menghantam Arman seperti gelombang. Trauma masa kecil? Ia memang memiliki masa kecil yang berat, penuh tekanan dari kedua orang tuanya yang selalu menuntut kesempurnaan. Ia adalah anak tunggal yang sering merasa kesepian dan terisolasi. Ingatan samar tentang pertengkaran orang tuanya, dan perasaan takut yang tak bisa dijelaskan di rumah kakeknya, mulai terangkai dalam benaknya. Apakah itu pemicunya?

Dr. Rina menyarankan Arman untuk mulai menyimpan jurnal harian. "Tuliskan apa pun yang Anda rasakan, apa pun yang Anda alami, dan jika Anda menemukan hal-hal yang tidak Anda ingat, tuliskan juga. Ini akan membantu kita melacak aktivitas kepribadian lain dan menemukan pola." Ia juga menjelaskan tentang proses terapi, yang akan melibatkan eksplorasi trauma masa lalu, pengenalan terhadap kepribadian-kepribadian lain, dan pada akhirnya, upaya untuk mengintegrasikan mereka.

Arman pulang dari sesi terapi dengan perasaan campur aduk. Ada rasa lega karena ia akhirnya memiliki penjelasan, namun juga ketakutan yang mendalam akan apa yang telah ia temukan di dalam dirinya. Malam itu, ia mulai menulis di jurnalnya. Ia menuliskan semua yang ia ingat tentang masa kecilnya, tentang kakeknya, tentang perasaannya setelah kehilangan ibu dan pekerjaannya. Ia menuliskan ketakutannya, kebingungannya, dan rasa putus asanya.

Selama beberapa minggu berikutnya, Arman secara ketat mengikuti instruksi Dr. Rina. Ia terus merekam dengan CCTV, dan ia dengan cermat menulis jurnal. Perlahan namun pasti, sebuah gambaran mulai terbentuk. "Tamu-tamu" yang ia ajak bicara di rekaman itu, Bu Lina, Om Guntur, Damar, dan Nanda, mulai terasa lebih dari sekadar nama. Melalui rekaman dan sedikit ingatan samar yang mulai muncul, Arman mulai menyadari bahwa "tamu-tamu" yang ia ajak bicara ternyata adalah manifestasi kepribadian ganda akibat trauma masa kecil dan kesepian berkepanjangan.

Bu Lina, misalnya, sering muncul ketika "dirinya" di rekaman berbicara tentang masa kecil, tentang kebutuhan akan figur ibu yang lembut dan penuh perhatian. Om Guntur, seringkali muncul dengan nada suara yang lebih tegas, lebih protektif, seolah-olah ia adalah figur ayah atau pelindung. Damar, tampak lebih muda, seringkali ceria dan penuh ide, mungkin representasi dari sisi Arman yang lebih bebas dan kreatif yang tertekan. Dan Nanda, seringkali melankolis dan introspektif, mungkin adalah manifestasi dari kesedihan dan kerapuhan Arman.

Kesadaran ini sangat menghantam Arman. Ia bukan sendirian di rumah itu, melainkan ia membawa "mereka" di dalam dirinya. Kursi-kursi itu bukan berhantu, melainkan panggung bagi drama internal yang ia tidak sadari. Horor yang ia rasakan bukan berasal dari luar, melainkan dari dalam jiwanya sendiri. Pemahaman ini, meskipun menakutkan, juga membawa secercah harapan. Ada jalan keluar. Ada proses penyembuhan. Namun, perjalanan itu akan panjang, dan Arman tahu, ia harus berani menghadapi dirinya yang terpecah-pecah itu.

Bab 7 – Kepribadian yang Menguat

Penemuan bahwa ia mengidap Gangguan Identitas Disosiatif, meskipun menakutkan, membawa Arman ke dalam fase yang lebih proaktif. Ia rajin menghadiri sesi terapi dengan Dr. Rina, mencoba memahami lebih dalam akar dari kondisinya. Namun, seiring dengan pemahaman yang meningkat, ada juga fenomena baru yang mulai terjadi: salah satu kepribadiannya, "Om Guntur", mulai mengambil alih lebih sering.

Om Guntur adalah kepribadian yang lebih tegas, dominan, dan seringkali impulsif. Di rekaman CCTV, Arman yang menjadi Om Guntur akan terlihat lebih percaya diri, bicaranya lebih lugas, dan gerak-geriknya lebih berani. Ia sering berbicara tentang rencana-rencana besar, tentang hal-hal yang ingin ia lakukan, dan bahkan terkadang menunjukkan kemarahan atau frustrasi yang tidak pernah Arman rasakan.

Awalnya, "pengambilalihan" ini terjadi di malam hari, saat Arman tidur, atau saat ia merasa sangat lelah dan stres. Namun, seiring waktu, durasinya semakin panjang, dan frekuensinya semakin sering. Arman mulai menemukan dirinya melakukan hal-hal yang tidak ia ingat.

Pagi itu, Arman terbangun dengan rasa aneh di mulutnya. Ia merasa tidak segar, seolah baru saja melakukan sesuatu yang berat. Saat ia melihat ke meja, tergeletak di sana sebungkus rokok baru dan asbak yang terisi beberapa puntung. Arman tidak merokok. Ia tidak pernah merokok. Otaknya berputar, mencoba memproses pemandangan aneh ini. Ia segera memeriksa rekaman CCTV dari semalam.

Dan di sana, ia melihatnya. Dirinya, namun dengan gestur yang lebih gagah, dengan raut wajah yang lebih keras, duduk di sofa, mengisap rokok dengan santai. Itu adalah Om Guntur. Di rekaman itu, Om Guntur bahkan berbicara pada dirinya sendiri, atau lebih tepatnya, pada salah satu kursi kosong, "Ah, rokok ini memang paling enak setelah hari yang panjang. Kau mau, Damar?" Setelah beberapa saat, Om Guntur bangkit, mengambil kunci mobil Arman, dan keluar rumah.

Arman terkesiap. Ia segera memeriksa mobilnya di garasi. Ya, mobilnya ada di sana. Tapi ia menemukan kunci mobil tergantung di pintu, yang tidak pernah ia lakukan. Ia tidak ingat mengemudi. Ia tidak ingat pergi ke toko. Ia tidak ingat membeli rokok. Ini bukan hanya percakapan dan imajinasi lagi. Ini adalah tindakan nyata yang dilakukan oleh "mereka".

Kejadian serupa terus berulang. Suatu sore, Arman menemukan sebuah buku baru di meja, sebuah novel detektif yang sama sekali bukan seleranya. Rekaman CCTV menunjukkan Om Guntur yang membelinya. Di lain waktu, ia menemukan meja makan tertata rapi dengan dua piring, dua set sendok garpu, seolah Om Guntur baru saja makan malam bersama seseorang yang tak terlihat. Arman tidak ingat makan malam itu.

Yang paling membuat Arman khawatir adalah ketika ia menemukan sebuah surat di mejanya. Surat itu ditulis dengan tulisan tangan yang sama sekali bukan miliknya, tulisan yang lebih tebal dan tegas. Surat itu ditujukan untuk dirinya sendiri.

"Arman, jangan khawatir. Aku di sini untuk melindungimu. Mereka tidak akan menyakitimu. Aku akan memastikan kau baik-baik saja."

Isi surat itu, meskipun dimaksudkan untuk menenangkan, justru membuat Arman semakin takut. Itu adalah Om Guntur yang berkomunikasi dengannya. Seolah-olah, Om Guntur mulai mengambil alih kendali, tidak hanya di malam hari atau saat Arman lemah, tetapi juga dalam bentuk interaksi langsung, meninggalkan jejak-jejak nyata.

Arman menceritakan ini kepada Dr. Rina. Dr. Rina menjelaskan bahwa ini adalah fase yang wajar dalam Gangguan Identitas Disosiatif, di mana kepribadian-kepribadian alternatif mulai mendapatkan otonomi lebih besar, terutama jika mereka merasa perlu untuk melindungi kepribadian utama. "Om Guntur mungkin merasa Anda terlalu rapuh, terlalu sedih, sehingga ia merasa perlu untuk mengambil alih dan memastikan kelangsungan hidup Anda, Arman. Ini adalah mekanisme perlindungan."

Meskipun penjelasan Dr. Rina menenangkan, Arman tetap merasakan kekhawatiran yang mendalam. Bagaimana jika Om Guntur melakukan sesuatu yang berbahaya? Bagaimana jika ia kehilangan kendali sepenuhnya atas hidupnya? Rasa terperangkap mulai merangkak di benaknya. Ia merasa seperti boneka yang talinya ditarik oleh entitas yang tidak ia kenal, yang ada di dalam dirinya sendiri.

Kian hari, ia merasa semakin sulit untuk membedakan kapan ia adalah Arman yang asli dan kapan ia adalah Om Guntur. Amnesia mulai meluas. Terkadang, ia akan menemukan dirinya di tempat yang ia tidak ingat pernah ke sana, atau berbicara dengan orang asing yang ia tidak kenal. Dunia nyata dan dunia internalnya mulai menyatu, menjadi kabur dan membingungkan. Ia merasa seperti terpecah menjadi serpihan-serpihan kecil, dan serpihan-serpihan itu mulai memiliki kehendak mereka sendiri.

Bab 8 – Kursi Terisi

Keadaan Arman semakin memburuk. Pengambilalihan oleh kepribadian lain, terutama Om Guntur, menjadi semakin sering dan tak terduga. Rasa amnesia yang ia alami juga kian meluas, membuat Arman kesulitan membedakan mana realita dan mana yang merupakan "aksi" dari alter-egonya. Ia merasa seperti terperangkap dalam tubuhnya sendiri, menjadi penonton yang pasif dalam drama yang ia tidak inginkan.

Keputusasaan merajalela. Arman memutuskan untuk mengambil tindakan drastis, tindakan yang ia harap bisa menghentikan semua ini, menghentikan "mereka" yang duduk di kursi-kursi itu, menghentikan dirinya yang terbelah. Pada suatu pagi, setelah menyaksikan rekaman Om Guntur menghabiskan seluruh malam di ruang tamu, berbicara dengan "tamu-tamunya", Arman meledak.

"Cukup!" teriaknya. "Aku harus menghentikan ini!"

Ia berlari ke ruang tamu. Matanya tertuju pada kursi-kursi antik yang menjadi panggung bagi drama internalnya. Dengan pikiran yang kacau, ia menyeret salah satu kursi ke halaman belakang. Ia menemukan kaleng bensin lama di gudang dan sebatang korek api. Dengan tangan gemetar, ia menyiram kursi itu dengan bensin dan menyulutnya. Api menjilat-jilat, melahap kain dan kayu, mengeluarkan asap hitam pekat. Arman berdiri di sana, menatap api dengan tatapan kosong, berharap dengan membakar kursi-kursi itu, ia juga bisa membakar keberadaan "mereka".

Namun, tindakan putus asanya itu justru memicu reaksi yang lebih mengerikan. Ketika ia kembali ke dalam rumah, ia menemukan kursi-kursi yang tersisa di ruang tamu sudah kembali ke posisi semula, bahkan terlihat lebih rapi dari sebelumnya. Seolah-olah "mereka" menertawakan usahanya. Yang lebih aneh, di salah satu kursi yang tidak ia bakar, ia menemukan sebuah kertas kecil dengan tulisan tangan Om Guntur: "Kau tidak bisa menyingkirkan kami semudah itu, Arman."

Kengerian mencengkeramnya. Bagaimana bisa? Ia sudah membakar satu kursi. Bagaimana bisa yang lain kembali ke posisi semula? Apakah ini sihir? Atau apakah ia benar-benar gila?

Malam itu, Arman mencoba langkah ekstrem lainnya: mematikan kamera CCTV. Ia mencabut semua kabel, melepas semua unit kamera dari dinding. Ia tidak ingin lagi melihat dirinya yang lain, tidak ingin lagi menjadi saksi bisu dari kehidupan yang ia tidak ingat. Ia juga memutuskan untuk tidak tidur. Ia memaksa dirinya terjaga, minum kopi bergelas-gelas, berjalan mondar-mandir di ruang tamu, memastikan tidak ada yang bisa mengambil alih saat ia tak sadarkan diri.

Namun, kepribadian lain tak membutuhkan kegelapan malam atau ketidaksadaran Arman. Kepribadian lain mengambil alih di siang hari.

Saat ia sedang duduk di sofa, meminum kopi ke-sepuluh, Arman tiba-tiba merasakan sensasi aneh. Seluruh tubuhnya terasa berat, pandangannya kabur, seolah ia baru saja terbangun dari tidur yang sangat panjang. Ketika pandangannya kembali jernih, ia mendapati dirinya berdiri di depan cermin besar di lorong. Ada yang berbeda. Postur tubuhnya terasa lebih tegap, senyum di bibirnya terasa asing. Ia menyentuh wajahnya. Ini adalah wajahnya, namun tatapan matanya... itu bukan tatapan matanya.

Dalam cermin, ia mulai melihat dirinya berubah jadi orang lain. Senyum itu semakin lebar, mata itu semakin tajam. Untuk sesaat, ia melihat garis wajahnya sedikit berubah, tulang pipinya menonjol, rahangnya lebih tegas. Itu adalah Om Guntur. Om Guntur yang sedang tersenyum padanya, di dalam cermin.

"Hai, Arman," suara itu keluar dari mulutnya, namun itu bukan suaranya. Itu suara Om Guntur, dalam, sedikit serak, dan penuh keyakinan. "Kau lelah, ya? Biarkan aku yang mengambil alih. Kita tidak bisa terus-terusan seperti ini."

Arman mencoba berteriak, namun suaranya tercekat. Ia mencoba melawan, menggerakkan tangannya, namun tangannya tidak patuh. Ia merasa seperti terikat di dalam tubuhnya sendiri, menjadi penonton yang tak berdaya. Ia melihat Om Guntur di cermin mengambil kendali penuh. Om Guntur berjalan kembali ke ruang tamu, menyalakan kembali kamera CCTV yang tadi dicabut Arman, dan bahkan menyusun kembali kursi-kursi yang Arman pindahkan, bahkan kursi yang terbakar pun seperti sudah tergantikan, seolah tidak pernah ada yang terjadi.

Pada titik itu, sebuah kebenaran mengerikan menghantam Arman. Ia menyadari: ia bukan lagi Arman yang utama. Ia adalah "Arman yang lama", yang terkunci di dalam. Om Guntur, atau mungkin kepribadian-kepribadian lain, telah menjadi penghuni utama tubuhnya. Ia telah kalah. Ia telah kehilangan kendali atas dirinya sendiri, atas hidupnya.

Rasa putus asa yang mendalam merasukinya. Ia hanyalah sebuah kesadaran yang terperangkap, sebuah suara yang tidak didengar, sebuah memori yang perlahan memudar. Ia adalah "tamu" di tubuhnya sendiri, dan "mereka" kini menjadi tuan rumah. Kursi-kursi di ruang tamu itu, yang dulunya kosong dan menakutkan, kini terasa sepenuhnya terisi. Terisi oleh "mereka", oleh bagian-bagian dari dirinya yang telah mengambil alih. Dan Arman yang asli, hanya bisa menatap dari kegelapan di dalam.

Bab 9 – Tak Ada Lagi yang Kosong

Musim berganti. Rumah kakek Arman yang megah, namun suram, kini diselimuti oleh keheningan yang lebih pekat dari sebelumnya. Tetangga-tetangga mulai bertanya-tanya. Arman, pria pendiam yang baru pindah itu, tidak lagi terlihat keluar rumah. Lampu-lampu sering padam, dan tidak ada lagi tanda-tanda aktivitas. Mereka sesekali mencoba mengetuk pintu, namun tidak pernah ada jawaban. Surat-surat dan koran menumpuk di depan pintu, menjadi saksi bisu akan absennya penghuni.

Setelah berbulan-bulan tanpa kabar, dan khawatir akan kondisi Arman, salah seorang tetangga yang lebih tua dan memiliki kunci cadangan (karena dulunya sering membantu kakek Arman), memutuskan untuk masuk. Dengan perasaan cemas, ia membuka pintu depan yang berderit. Aroma apak dan debu menyambutnya. Rumah itu terasa dingin, kosong, namun anehnya, ada aura yang terasa aneh, seolah ada kehidupan yang tersembunyi di dalamnya.

Ruang tamu adalah yang pertama ia periksa. Di sana, pemandangan itu membuat tetangga itu terdiam. Kursi-kursi di ruang tamu tersusun rapi. Lima kursi antik itu, yang dulunya sering ia lihat berserakan atau tergeser, kini tersusun dalam formasi setengah lingkaran, menghadap ke satu titik. Titik itu adalah sebuah kamera CCTV yang masih menyala, berkedip-kedip merah.

Perasaan aneh merayapi sang tetangga. Ia merasa ada yang tidak beres. Ia melangkah mendekat, matanya tertuju pada kamera itu. Layar kecil di samping kamera menunjukkan bahwa ia masih merekam. Penasaran, dan sedikit takut, ia memencet tombol putar ulang, mencari rekaman terakhir.

Monitor kecil di kamera mulai memutar rekaman. Gambar-gambar bergulir cepat: hari-hari, minggu-minggu, bulan-bulan berlalu. Ada momen-momen Arman yang dulu, murung dan ketakutan. Ada momen-momen Arman yang lain, yang tertawa dan berbicara sendiri. Lalu, rekaman berhenti pada sebuah malam yang sunyi.

Rekaman terakhir:

Layar menunjukkan ruang tamu yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya remang-remang dari luar. Terdengar suara pintu dibuka, dan kemudian, sesosok bayangan memasuki ruangan. Bayangan itu adalah Arman, namun ini bukan Arman yang pendiam dan pemalu yang dikenal para tetangga. Postur tubuhnya tegap, langkahnya mantap. Ia menyalakan lampu gantung, dan cahaya memenuhi ruangan. Senyum lebar terukir di wajahnya. Mata itu, yang dulunya penuh kesedihan, kini memancarkan keceriaan yang aneh.

Ia berjalan menuju lima kursi yang tersusun rapi. Kursi-kursi itu, yang dulunya terlihat kosong dan sunyi, kini terasa hidup, seolah menunggu kehadiran seseorang. Arman menyentuh sandaran kursi pertama, seolah menyentuh bahu seseorang yang duduk di sana.

"Bu Lina," suaranya, suara Om Guntur, dalam dan hangat, "Senang sekali Anda bisa datang."

Lalu, hal yang paling membuat tetangga itu tercengang terjadi. Satu per satu, kelima kursi itu mulai bergerak sendiri. Bukan geseran kecil seperti yang dialami Arman di awal cerita, melainkan pergerakan yang jelas, seolah-olah ada seseorang yang duduk dan sedikit membetulkan posisi duduknya. Kursi pertama sedikit bergeser ke kanan. Kursi kedua sedikit maju. Kursi ketiga berputar sedikit ke kiri. Kursi keempat dan kelima juga menunjukkan pergerakan halus, seolah-olah penonton yang tak terlihat itu sedang menyesuaikan diri.

Arman, atau lebih tepatnya, Om Guntur, memandangi kursi-kursi itu dengan senyum puas. Ia kemudian berjalan ke tengah lingkaran kursi, seolah menjadi pusat perhatian bagi "mereka" yang duduk. Ia mengangguk-angguk, seolah mendengarkan tanggapan dari setiap kursi.

"Oh, tentu saja. Aku tahu kalian semua merindukan pertemuan seperti ini," ucapnya lagi, dengan nada ramah.

Kemudian, ia menatap langsung ke arah kamera. Matanya berkilat, penuh pengertian dan sedikit kegilaan. Bibirnya tersenyum lebar, senyum yang sama sekali bukan milik Arman yang asli.

Dan dari mulutnya, keluar sebuah kalimat yang sangat menakutkan, diiringi dengan tawa kecil yang pelan, namun dingin dan penuh kemenangan:

"Silakan duduk. Sudah lama kita tidak berbincang."

Layar rekaman itu membeku, menunjukkan wajah tersenyum "Arman" yang menatap langsung ke kamera, sementara di sekelilingnya, lima kursi terlihat rapi, seolah terisi penuh oleh kehadiran yang tak terlihat. Tetangga itu terhuyung mundur, napasnya tercekat. Ia tidak lagi melihat Arman yang ia kenal. Yang ia lihat adalah sesuatu yang lain, sesuatu yang telah mengambil alih. Rumah itu tidak lagi sepi. Tak ada lagi yang kosong. Setiap kursi terisi, dan penghuninya adalah bagian dari Arman yang telah sepenuhnya menyatu, mengambil alih, dan kini, entah di mana Arman yang asli berada.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)