Cerpen
Disukai
2
Dilihat
2,104
Siapa Dia
Horor

Bab 1 – Tetangga Baru

Nara menghela napas panjang, buku-buku tebal tentang semiotika dan filsafat bahasa tergeletak pasrah di meja belajarnya. Sore itu, semilir angin membawa hawa gerah Makassar, menembus celah jendela kamarnya yang sedikit terbuka. Sebagai mahasiswi tingkat akhir, tugas akhir sudah seperti hantu yang tak kasat mata, selalu mengintai di balik setiap lembar kertas dan setiap sudut pikiran. Namun, ada hantu lain yang kini menarik perhatiannya—hantu yang nyata, setidaknya di matanya.

Sudah berminggu-minggu rumah kosong di sebelah, yang selama ini menjadi pemandangan usang dengan cat mengelupas dan jendela pecah, mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Bukan, bukan kehidupan dalam arti perbaikan atau renovasi. Lebih seperti... kehidupan yang salah tempat. Lampu-lampu mulai menyala secara sporadis di malam hari, dan kadang, terdengar suara gesekan samar dari dalam, seolah-olah ada yang bergerak di antara debu dan sarang laba-laba.

Awalnya, Nara hanya menganggapnya sebagai halusinasi akibat kelelahan. Mungkin ada orang iseng yang masuk, atau hewan tersesat. Tapi kemudian, penampakan itu dimulai. Pertama kali, ia melihatnya saat sedang menyeruput kopi di beranda, mencoba mencari inspirasi untuk bab pendahuluan skripsinya. Sebuah siluet kurus tinggi, tampak dari balik jendela lantai dua rumah itu, menatap lurus ke arah rumahnya. Siluet itu diam, kaku, seolah terpaku di sana. Nara mengucek matanya, mengira itu hanya pantulan cahaya atau ilusi optik dari dedaunan rimbun yang menutupi sebagian jendela. Namun, ketika ia melihat lagi, siluet itu masih ada, tak bergeming. Jantungnya berdesir aneh, seperti ada sesuatu yang dingin merayapi tulang punggungnya.

Beberapa hari kemudian, saat ia hendak pergi kuliah, ia melihatnya lagi. Kali ini, sosok itu lebih jelas. Pria itu berdiri di ambang jendela ruang tamu di lantai bawah, tangannya bertumpu pada kusen yang lapuk. Wajahnya samar tertutup bayangan, namun Nara bisa merasakan tatapannya. Tatapan yang bukan sekadar penasaran, melainkan tajam dan menusuk, seolah ia sedang dipindai, dianalisis, bahkan mungkin... dikenali. Yang membuat Nara merinding adalah arah tatapan pria itu: lurus ke arah jendela kamarnya. Kamar tidurnya, tempat ia tidur, tempat ia belajar, tempat ia merasa paling aman.

Nara mulai merasa tidak nyaman. Rasa itu berkembang menjadi kewaspadaan, lalu kecemasan. Setiap kali ia berada di kamarnya, ia merasa seolah ada mata yang mengawasinya dari seberang. Jendela kamarnya, yang dulu menjadi sumber cahaya dan pemandangan luar, kini terasa seperti celah berbahaya yang menghubungkan dunia nyatanya dengan dunia asing di rumah sebelah. Ia mulai menutup gorden kamarnya lebih rapat, bahkan di siang hari.

Suatu malam, ketika ia sedang asyik mengetik di laptopnya, tiba-tiba ia merasa dingin yang menusuk di punggungnya, seolah ada seseorang yang berdiri tepat di belakangnya. Ia menoleh dengan cepat, namun tidak ada siapa-siapa. Hanya gorden yang bergoyang pelan, seolah baru saja disentuh angin. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya sugesti, kelelahan, atau mungkin memang angin yang masuk. Namun, setelah kejadian itu, ia tidak bisa lagi sepenuhnya mengabaikan bayangan di rumah sebelah. Bayangan itu bukan hanya ada di rumah itu, melainkan mulai merayap masuk ke dalam pikirannya, membangun sarang kecemasan yang perlahan membesar. Tantenya, Ibu Dina, seorang wanita paruh baya yang tenang dan praktis, sesekali bertanya mengapa Nara tampak begitu gelisah. Nara hanya menjawab bahwa skripsinya yang membuatnya stres. Ia tidak berani menceritakan apa yang ia lihat, takut dianggap berlebihan atau bahkan gila. Terlebih, rumah itu memang sudah kosong bertahun-tahun lamanya. Siapa yang akan percaya?

Malam-malam berikutnya, Nara semakin sering terbangun dari tidurnya dengan perasaan diawasi. Ia akan berbalik dan menatap jendela, gorden yang tertutup rapat pun tak bisa menghapus bayangan pria itu dari benaknya. Kadang, ia akan melihat kilasan bayangan di sudut matanya, seolah pria itu melintas di antara dedaunan. Ia mulai mencatat setiap penampakan dalam buku hariannya, berharap bisa menemukan pola atau penjelasan logis. Namun, yang ia temukan hanyalah pola ketakutan yang semakin dalam, menggali lubang gelap di dalam dirinya.

Ia mencoba mencari tahu tentang rumah itu dari tetangga-tetangga lama. Mereka semua mengatakan hal yang sama: rumah itu sudah lama kosong, pemiliknya pindah setelah terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Tapi tidak ada yang mau menjelaskan lebih lanjut, hanya mengakhiri percakapan dengan ekspresi canggung dan pandangan menghindar. Nara semakin merasa terisolasi dalam pengetahuannya tentang rumah itu. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang tidak seharusnya ada di sana. Dan ia tahu, pria itu, bayangan itu, masih ada di sana, menatapnya, menunggu. Dan ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Bab 2 – Tatapan dari Jendela

Kecemasan Nara yang samar kini menjelma menjadi ketakutan yang nyata. Setiap pagi, ritualnya pergi kuliah terasa seperti berjalan di atas bilah pisau. Ia merasa terekspos, rentan. Langkah kakinya dipercepat, pandangannya terus menjelajahi sekeliling, mencari sosok kurus tinggi itu. Ia yakin, atau setidaknya perasaannya mengatakan demikian, bahwa pria itu mengikutinya. Bukan dengan langkah kaki yang terdengar jelas, melainkan dengan kehadiran yang tak terlihat, seperti embusan napas dingin di tengkuknya. Di persimpangan jalan, di dalam angkutan umum, bahkan di koridor kampus yang ramai, ia merasa seolah tatapan pria itu menembus keramaian, menancap tepat di punggungnya.

Beberapa kali, saat ia berbalik secara mendadak, ia merasa menangkap siluet bergerak di antara pepohonan atau di balik mobil yang terparkir. Tapi setiap kali ia fokus, siluet itu lenyap, digantikan oleh kekosongan yang menyesakkan. Ini bukan sekadar delusi kelelahan, pikirnya. Ini adalah perburuan. Ia adalah mangsanya, dan pria itu adalah pemburu yang sabar, yang tak pernah terburu-buru.

Malam hari menjadi puncaknya. Jika siang hari ketakutan itu bersifat psikis, malam hari ia menjadi fisik. Suara-suara mulai muncul. Awalnya samar, seperti gesekan daun kering atau tetesan air dari keran yang bocor. Namun perlahan, suara-suara itu bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih mengerikan. Ia mulai mendengar langkah kaki berat, menyeret di lantai atas rumah sebelah. Terkadang cepat, tergesa-gesa, seolah ada yang mengejar atau dikejar. Terkadang lambat, menyeret, seolah ada yang pincang atau terbebani. Suara itu selalu berakhir di dekat dinding yang berbatasan langsung dengan kamarnya, kemudian sunyi.

Setelah langkah kaki, lampu rumah sebelah akan mulai menyala dan mati sendiri. Kedipan yang ritmis, seperti kode Morse yang tak ia pahami. Atau kadang, kedipan yang sporadis dan gila, seperti mata orang yang sedang sekarat. Nara akan mematikan lampunya, mengintip dari balik gorden yang sedikit terbuka, berharap melihat sesuatu yang bisa menjelaskan fenomena ini. Namun yang ia lihat hanyalah kegelapan yang menelan dan kedipan lampu yang tak beraturan, yang seperti denyut nadi menakutkan di kegelapan malam.

Puncaknya terjadi saat ia sedang mandi. Air hangat membasahi tubuhnya, uap memenuhi kamar mandi, menciptakan suasana yang seharusnya menenangkan. Namun, ia merasakan sensasi aneh di punggungnya, seperti ada aliran udara dingin yang menembus kehangatan. Samar-samar, dari sudut matanya, ia merasa melihat perubahan warna di ventilasi kamar mandi. Seperti ada sesuatu yang menghalangi cahaya rembulan yang masuk. Jantungnya berdebar kencang. Ia menghentikan aliran air, memejamkan mata, dan mencoba menenangkan diri. "Ini hanya imajinasiku," bisiknya pada diri sendiri. "Aku terlalu lelah."

Namun, ketika ia membuka matanya, ia melihatnya dengan jelas. Di ventilasi kamar mandi, sebuah bayangan gelap memenuhi kisi-kisi. Bayangan itu tidak bergerak, hanya diam, seolah-olah mengawasinya. Bukan bayangan daun, bukan bayangan serangga. Ini adalah bayangan mata, dua titik gelap yang memantulkan sedikit cahaya, seperti mata predator di kegelapan. Ketakutan murni menyergap Nara. Ia berteriak, jeritan tertahan yang tercekat di tenggorokan. Ia refleks membasuh matanya, berharap ilusi itu lenyap. Ketika ia melihat lagi, ventilasi itu kembali seperti semula: kosong, gelap, hanya udara yang masuk.

Nara meloncat keluar dari kamar mandi, jantungnya berdebar kencang, napasnya terengah-engah. Ia buru-buru memakai pakaian, tangannya gemetar. Sejak saat itu, ia tidak pernah mandi dengan tenang lagi. Ia merasa privasinya dilanggar, benteng terakhirnya telah jebol. Rumahnya, yang dulu menjadi tempat perlindungan, kini terasa seperti sangkar kaca, di mana setiap gerakannya bisa diawasi oleh sepasang mata tak terlihat.

Ia mulai tidur dengan lampu menyala, bahkan memutar musik klasik dengan volume rendah untuk menutupi suara-suara aneh dari rumah sebelah. Ia selalu mengecek ventilasi kamar mandi sebelum masuk, memeriksa setiap sudut kamarnya sebelum tidur. Ia bahkan meletakkan pisau kecil di bawah bantalnya, meskipun ia tahu itu tidak akan banyak membantu jika apa yang ia hadapi adalah sesuatu yang tidak bisa disentuh. Ia merasa sendirian, terjebak dalam labirin ketakutannya sendiri. Setiap malam adalah pertarungan dengan bayangan, dengan suara-suara, dengan tatapan yang ia rasakan menembus dinding. Ia tahu, ia harus melakukan sesuatu, sebelum ketakutan itu benar-benar menelannya hidup-hidup.

Bab 3 – Tidak Ada Siapa-siapa

Nara tidak bisa lagi menahan diri. Sensasi diawasi, suara-suara aneh, dan insiden di kamar mandi telah mendorongnya ke ambang batas. Pada suatu pagi, dengan keberanian yang terkumpul, ia memutuskan untuk berbicara dengan Ibu Dina. Ia menjelaskan semua yang ia alami, mulai dari penampakan pria kurus tinggi, suara langkah kaki, lampu yang menyala-mati, hingga bayangan di ventilasi kamar mandi. Ia berharap tantenya akan percaya, menawarkan dukungan, atau setidaknya mengambil tindakan.

Ibu Dina mendengarkan dengan sabar, ekspresinya dipenuhi kekhawatiran yang tulus. Namun, di matanya, Nara bisa melihat keraguan. "Nara, sayang," kata Ibu Dina lembut, setelah Nara selesai bercerita, "kamu yakin? Rumah itu sudah kosong belasan tahun. Tidak ada siapa-siapa di sana."

"Aku yakin, Tante!" Nara bersikeras, suaranya sedikit bergetar. "Aku melihatnya. Aku mendengarnya. Ini bukan cuma imajinasi."

Meskipun ragu, Ibu Dina akhirnya setuju untuk mencoba meyakinkan ketua RT. Malam harinya, di balai RT, dengan Nara di sampingnya, Ibu Dina menyampaikan keluhan keponakannya. Ketua RT, Pak Budi, seorang pria paruh baya yang tenang dan bijaksana, mendengarkan dengan seksama. Setelah mendengar cerita Nara yang penuh kecemasan, Pak Budi mengangguk-angguk. "Baiklah, demi kenyamanan bersama," katanya, "kita akan cek rumah itu besok pagi. Beberapa warga juga bisa ikut, biar lebih banyak mata yang melihat."

Keesokan paginya, Nara berdiri di depan rumah kosong itu bersama Pak Budi, Ibu Dina, dan beberapa tetangga lain yang ikut karena rasa ingin tahu atau simpati. Matahari pagi menyinari rumah yang suram itu, menyoroti lumut di dinding, jendela yang pecah, dan taman depan yang ditumbuhi ilalang. Nara merasa sedikit lega. Di siang hari, di bawah tatapan banyak orang, hantu apa pun akan bersembunyi.

Pak Budi mencoba membuka pintu depan, yang ternyata tidak terkunci. Sebuah bau apak dan lembap menyambut mereka. Udara di dalam terasa dingin dan pengap, seolah tidak pernah tersentuh sinar matahari. Mereka melangkah masuk, senter di tangan Pak Budi menyoroti setiap sudut yang gelap. Nara berjalan di belakang, jantungnya berdebar kencang. Ia berharap mereka akan menemukan bukti, setidaknya sisa makanan, jejak kaki, atau bahkan barang pribadi pria itu.

Namun, yang mereka temukan hanyalah kekosongan yang sempurna. Ruangan-ruangan berdebu tebal, lantai kayu berderit di bawah langkah mereka. Perabot rumah tangga hanya berupa siluet-siluet tertutup kain putih yang sudah menguning. Tidak ada tanda-tanda kehidupan baru. Dapur kosong, kamar mandi kotor dan berlumut. Mereka naik ke lantai dua. Kamar yang seharusnya menjadi tempat pria itu mengintip dari jendela pun kosong. Hanya debu dan sarang laba-laba. Bahkan loteng pun mereka periksa, namun hasilnya sama. Nihil.

Ketika mereka keluar dari rumah itu, Nara menatap Pak Budi, matanya penuh permohonan. "Tapi Pak, aku yakin ada sesuatu..."

Pak Budi tersenyum tipis, senyum yang Nara tafsirkan sebagai simpati bercampur keraguan. "Nara, Nak," katanya lembut, "tidak ada apa-apa di dalam. Rumah ini sudah lama kosong. Mungkin kamu terlalu banyak begadang untuk tugas kuliah. Skripsi memang bisa bikin stres. Lebih baik istirahat saja."

Para tetangga lain juga mengangguk setuju. "Iya, Nara. Kamu butuh istirahat," kata salah satu ibu-ibu. "Mungkin cuma sugesti."

Hati Nara mencelos. Ia merasa terpukul dan tidak dipahami. Mereka semua menganggapnya gila, atau setidaknya stres berat. Ibu Dina memegang tangannya, tatapannya menyiratkan kekhawatiran yang sama. "Nara, mungkin memang begitu. Kita pulang saja, ya?"

Kembali ke rumah, Nara merasa terisolasi. Mereka tidak percaya padanya. Mereka tidak melihat apa yang ia lihat, tidak mendengar apa yang ia dengar. Ia merasa seperti seorang nabi yang mencoba memperingatkan dunia tentang bencana yang akan datang, namun diabaikan. Namun, penolakan itu tidak menggoyahkan keyakinannya. Sebaliknya, itu hanya memperkuatnya. Ia tahu pria itu nyata. Ia tahu bayangan itu nyata. Dan fakta bahwa orang lain tidak bisa melihatnya tidak berarti mereka tidak ada. Itu hanya berarti Nara adalah satu-satunya yang cukup peka untuk merasakannya.

Rasa frustrasi dan kemarahan mulai bercampur dengan ketakutannya. Ia menolak anggapan bahwa ia stres. Ia menolak anggapan bahwa ia berhalusinasi. Ia tahu apa yang ia alami. Dan ia akan membuktikannya. Ia tidak akan menyerah begitu saja, tidak setelah semua yang ia rasakan. Pertarungan ini belum berakhir. Justru, ini baru permulaan. Ia harus menemukan cara untuk membuktikan keberadaan pria itu, meskipun semua orang menganggapnya gila. Ia harus berjuang sendiri, karena tidak ada seorang pun yang akan percaya padanya.

Bab 4 – Gangguan yang Meningkat

Penolakan dari ketua RT dan warga tidak membuat Nara menyerah. Sebaliknya, itu memicu tekadnya. Jika tidak ada yang percaya padanya, ia akan membuktikan kebenarannya sendiri. Ia akan menjadi saksinya sendiri, dan ia akan mengumpulkan bukti yang tak terbantahkan. Ia memutuskan untuk merekam segalanya. Ponselnya menjadi perpanjangan tangannya, kamera menjadi matanya yang selalu waspada.

Ia mulai merekam setiap malam, menempatkan ponselnya di ambang jendela kamarnya, menghadap langsung ke rumah kosong itu. Ia merekam suara-suara, lampu yang menyala-mati, dan setiap gerak-gerik mencurigakan yang mungkin terekam. Ia juga memasang kamera tersembunyi di beberapa titik di sekitar rumahnya, terutama yang menghadap ke arah rumah sebelah dan ventilasi kamar mandi. Nara tidak tidur. Matanya yang merah dan lingkaran hitam di bawahnya menjadi bukti nyata perjuangannya.

Beberapa malam berlalu tanpa hasil yang signifikan, hanya rekaman statis dan suara angin. Nara mulai merasa putus asa, namun ia tidak menyerah. Sampai suatu malam, tepatnya pada jam 02.17 dini hari, sesuatu terekam.

Dengan napas tertahan, Nara memutar rekaman video malam hari yang ia ambil. Pada awalnya, hanya ada kegelapan dan suara jangkrik. Namun, tiba-tiba, di jendela lantai dua rumah kosong itu, yang selalu ia curigai sebagai tempat pria itu mengintip, sebuah bayangan hitam muncul. Bukan bayangan yang bergerak karena angin atau cahaya. Bayangan itu diam, kaku, dan membentuk siluet seorang pria kurus tinggi. Ia berdiri di sana, di balik kaca yang kotor, menghadap langsung ke arah kamera Nara. Selama beberapa detik yang terasa abadi, bayangan itu tetap ada, seolah menatap langsung ke dalam jiwanya. Kemudian, sama tiba-tibanya dengan kemunculannya, bayangan itu lenyap, seolah ditarik kembali ke dalam kegelapan.

Jantung Nara berdegup kencang. Ia menghentikan video, menekan tombol rewind, dan memutar ulang adegan itu berkali-kali. Ini dia! Bukti yang ia butuhkan! Ia tidak gila! Ini nyata! Sebuah gelombang kegembiraan bercampur ketakutan membanjiri dirinya.

Keesokan harinya, dengan tangan gemetar namun penuh semangat, Nara segera menunjukkan video itu kepada Ibu Dina. "Tante, lihat! Aku tidak bohong! Ada bayangan di jendela itu!" serunya, menunjuk layar ponselnya.

Ibu Dina mengambil ponsel itu, ekspresinya dipenuhi harapan bercampur kecemasan. Ia memutar video. Awalnya, ia melihat adegan yang sama seperti yang Nara lihat. Kegelapan. Lalu, tepat di bagian di mana bayangan itu muncul, layar tiba-tiba berkedip dan kemudian berubah menjadi piksel-piksel acak yang rusak. Video itu korup, tidak bisa diputar lagi.

"Apa-apaan ini?" gumam Ibu Dina, mencoba menekan tombol play lagi. Namun hasilnya sama. Video itu rusak total.

Nara merebut ponselnya kembali, matanya membelalak tak percaya. "Tidak! Ini tidak mungkin! Tadi masih bisa!" Ia mencoba memutar video itu berkali-kali, namun selalu gagal. Video yang merekam bukti paling kuatnya kini hilang, seolah dihapus oleh kekuatan tak terlihat.

Rasa putus asa yang mendalam menyergapnya. Ini bukan hanya sebuah kebetulan. Ini adalah serangan. Sesuatu atau seseorang tidak ingin ia membuktikan kebenarannya. Ketika ia mencoba memperlihatkan rekaman dari kamera tersembunyinya, hasilnya sama. Beberapa file video hilang, yang lain rusak tak bisa diputar. Seolah-olah ada kekuatan yang sengaja menggagalkan usahanya.

Setelah kejadian itu, kesehatan mental Nara mulai terganggu secara serius. Malam-malam tanpa tidur semakin parah. Ia akan terbangun dengan keringat dingin, jantung berdebar, merasa ada yang mengawasinya dari setiap sudut kamarnya. Ia sering mendengar bisikan-bisikan samar yang tak jelas sumbernya, seolah ada yang memanggil namanya dari kejauhan.

Pikirannya dipenuhi paranoia. Ia mulai mencurigai setiap bayangan, setiap suara. Suara mesin motor dari jalanan terdengar seperti langkah kaki yang mendekat. Desiran angin di pepohonan terdengar seperti bisikan menakutkan. Ia sulit makan, sering muntah, dan berat badannya menurun drastis. Matanya cekung, kulitnya pucat.

Ibu Dina sangat khawatir. Ia melihat keponakannya yang ceria dan pintar kini menjadi bayangan dirinya sendiri, terperangkap dalam ketakutan yang tak terlihat. Nara sering berbicara sendiri, berargumen dengan suara-suara yang tak didengar orang lain. Ia akan melompat kaget hanya karena suara bel pintu.

Ketakutan itu kini bukan hanya tentang pria di rumah sebelah, melainkan telah merambah ke dunia internalnya. Ia merasa seperti kewarasannya terkikis, sedikit demi sedikit. Setiap kali ia mencoba memejamkan mata, bayangan pria itu muncul, menatapnya dengan tatapan kosong. Ia mulai mempertanyakan realitasnya sendiri. Apakah ia benar-benar melihat semua ini? Atau apakah ia memang sudah gila, seperti kata orang-orang? Pertanyaan itu menghantuinya, memperparah kegelisahannya, mendorongnya lebih jauh ke dalam jurang keputusasaan. Ia tahu ia tidak bisa terus seperti ini. Ia harus menemukan jawaban, sebelum ia benar-benar kehilangan dirinya.

Bab 5 – Menjadi Paranoid

Gangguan mental Nara mencapai puncaknya. Jika sebelumnya ia hanya merasa takut dan gelisah, kini ia benar-benar menjadi paranoid. Dunia di sekitarnya terasa seperti jaring laba-laba yang menjerat, setiap benangnya adalah ancaman yang nyata. Realitasnya melengkung, batas antara apa yang nyata dan yang tidak nyata menjadi kabur.

Ia mulai menunjukkan perilaku yang aneh dan mengkhawatirkan. Cermin-cermin di rumah menjadi musuhnya. Ia percaya bahwa pria itu bisa melihatnya melalui pantulan cermin, menggunakannya sebagai portal untuk mengawasinya. Setiap kali ia melihat pantulannya, ia merasa seperti ada sosok lain yang berdiri di belakangnya, sebuah bayangan tipis yang hanya bisa dilihatnya. Maka, satu per satu, ia mulai menutup semua cermin di rumah dengan kain atau koran. Cermin di kamar tidur, di ruang tamu, bahkan cermin kecil di kamar mandi. Rumah itu kini dipenuhi kain-kain gelap yang menutupi permukaan reflektif, menciptakan suasana yang lebih suram dan menyesakkan.

Kemudian, datanglah insiden dengan bajunya. Suatu pagi, ia menemukan salah satu blusnya yang ia yakini baru saja dicuci, tergeletak di lantai kamar tidurnya, sedikit kotor dan kusut. Aroma aneh, seperti bau tanah lembap, tercium dari kain itu. Serta-merta, ia teringat bagaimana pria itu selalu mengawasi kamarnya. Pikirannya langsung melompat pada kesimpulan yang mengerikan: pria itu pasti masuk ke kamarnya dan mencuri bajunya, lalu mengembalikannya dengan cara aneh ini. Amarah dan ketakutan yang meluap-luap membuat Nara mengambil keputusan ekstrem. Ia mengumpulkan semua bajunya, yang menurutnya sudah "ternoda" oleh kehadiran pria itu, dan membawanya ke halaman belakang. Dengan tangan gemetar, ia menyiram tumpukan baju itu dengan minyak tanah dan membakarnya. Api melahap kain-kain itu, membumbung tinggi, seolah membakar habis ketakutan yang menggerogoti dirinya. Ibu Dina terkejut melihat asap mengepul dari halaman belakang, dan menemukan Nara sedang duduk di samping kobaran api, tatapannya kosong, seperti boneka.

Di malam hari, suasana psikologisnya semakin memburuk. Ia seringkali terbangun dari tidurnya dengan jeritan. Bukan jeritan panik, melainkan jeritan yang parau dan tidak jelas, seperti orang yang sedang dicekik atau disiksa. Ia akan berteriak tentang "mata itu" atau "dia datang!", lalu terdiam, napasnya terengah-engah, mata terbelalak ketakutan. Tidur telah menjadi medan perang, di mana ia berhadapan langsung dengan terornya.

Nara mulai mengunci dirinya di kamar. Ia hanya keluar untuk makan atau ke kamar mandi, dan itu pun dengan kecepatan tinggi, seolah menghindari sesuatu yang mengejarnya. Ia membawa pisau kecil ke mana pun ia pergi, bahkan saat tidur. Pisau itu menjadi satu-satunya sumber rasa aman yang ia miliki, meskipun ia tidak yakin akan menggunakannya untuk apa atau siapa. Setiap bayangan yang bergerak di dinding, setiap suara dari luar, memicu refleksnya untuk menggenggam pisau itu erat-erat.

Ibu Dina, yang telah menyaksikan semua ini, merasa hatiinya hancur. Keponakannya, yang dulu begitu bersemangat dan penuh kehidupan, kini hanya bayangan yang ketakutan dan terisolasi. Ia telah mencoba berbicara dengan Nara, membujuknya untuk tenang, tetapi Nara hanya menjadi lebih marah dan defensif, menuduh tantenya tidak percaya padanya.

Dalam keputusasaan, Ibu Dina teringat pada salah satu warga, Ibu Widya, yang kebetulan seorang psikiater. Tanpa sepengetahuan Nara, Ibu Dina menghubungi dr. Widya dan menceritakan semua yang terjadi. Dr. Widya mendengarkan dengan serius, dan ekspresinya semakin mengeras seiring cerita Ibu Dina. Ia setuju untuk datang berkunjung, menyamar sebagai teman lama Ibu Dina yang datang menjenguk.

Meskipun Ibu Dina merasa bersalah karena melakukan ini tanpa sepengetahuan Nara, ia tahu ini adalah satu-satunya jalan. Ia tidak bisa melihat Nara terus-menerus tenggelam dalam kegelapan ini. Sesuatu harus dilakukan, sebelum Nara benar-benar kehilangan dirinya, sebelum ia tenggelam sepenuhnya dalam jurang paranoia yang tak berujung. Pertemuan dengan dr. Widya adalah secercah harapan terakhirnya.

Bab 6 – Diagnosis

Pertemuan pertama Nara dengan dr. Widya tidak berjalan mulus. Nara awalnya curiga, menolak berbicara banyak, dan terus-menerus melirik ke arah jendela, seolah takut ada yang mengawasi dari luar. Namun, dr. Widya, dengan kesabarannya yang luar biasa dan pertanyaan-pertanyaan yang tenang namun mendalam, perlahan-lahan berhasil membuka diri Nara.

Selama beberapa hari berikutnya, dr. Widya rutin datang ke rumah, melakukan pemeriksaan dan observasi yang cermat. Ia mengajak Nara berbicara tentang pengalamannya, tentang pria di rumah sebelah, tentang suara-suara, tentang perasaan diawasi. Nara, meskipun awalnya ragu, akhirnya mencurahkan semua yang ia rasakan, detail-detail mengerikan yang selama ini hanya ia simpan sendiri. Ia berharap dr. Widya akan melihat kebenaran yang ia lihat, memvalidasi ketakutannya.

Namun, yang ia dapatkan adalah tatapan penuh simpati yang terasa seperti belas kasihan, bukan pengakuan. Dr. Widya mendengarkan dengan saksama, sesekali mencatat di buku kecilnya. Ia mengajukan pertanyaan tentang riwayat kesehatan mental keluarga, tingkat stres Nara, dan pola tidurnya.

Setelah beberapa sesi observasi, dr. Widya meminta Ibu Dina untuk berbicara di luar kamar, meninggalkan Nara sendirian. Dengan suara pelan dan serius, dr. Widya menyampaikan diagnosisnya. "Berdasarkan observasi saya, Bu Dina," katanya, tatapannya penuh penyesalan, "Nara menunjukkan gejala delusi paranoid dengan halusinasi visual."

Ibu Dina terdiam, kata-kata itu terasa seperti pukulan telak. Delusi paranoid. Halusinasi visual. Artinya, semua yang Nara lihat, semua yang ia rasakan, tidak nyata. Itu hanya produk dari pikirannya yang sakit. Hatinya mencelos, namun di saat yang sama, ada juga rasa lega yang pahit. Setidaknya, ada penjelasan medis untuk semua ini.

Dr. Widya menjelaskan lebih lanjut. "Kondisi ini seringkali dipicu oleh tingkat stres yang sangat tinggi, ditambah dengan kurang tidur dan isolasi sosial. Pikiran Nara menciptakan ancaman yang tidak ada untuk mengatasi tekanan yang ia rasakan. Pria di rumah sebelah, suara-suara, dan perasaan diawasi itu adalah manifestasi dari delusi dan halusinasinya."

Ibu Dina menunduk, air mata mulai menggenang di matanya. "Lalu, apa yang harus kami lakukan, Dok?" tanyanya, suaranya tercekat.

"Kondisi Nara saat ini membutuhkan penanganan serius, Bu Dina," jawab dr. Widya. "Jika tidak segera ditangani, kondisinya bisa memburuk, bahkan membahayakan dirinya sendiri. Saya menyarankan agar Nara dibawa ke rumah rehabilitasi jiwa yang memiliki fasilitas dan tenaga ahli yang memadai. Di sana, ia akan mendapatkan terapi yang tepat, pengawasan medis, dan lingkungan yang kondusif untuk pemulihan."

Keputusan itu berat bagi Ibu Dina. Membayangkan Nara, keponakannya yang cerdas dan penuh potensi, harus dirawat di rumah sakit jiwa, adalah hal yang menyakitkan. Namun, ia juga melihat kondisi Nara yang semakin mengkhawatirkan. Nara sudah tidak lagi bisa berfungsi normal. Ia makan dengan enggan, tidur tidak teratur, dan perilakunya semakin tidak terkontrol. Ia sering berbicara dengan dinding, tertawa sendiri, atau tiba-tiba menangis tanpa sebab. Ia tidak lagi bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak.

Dengan berat hati, setelah berdiskusi dengan anggota keluarga lainnya, Ibu Dina akhirnya memutuskan untuk mengikuti saran dr. Widya. Mereka mengatur segala keperluan untuk membawa Nara ke sebuah rumah rehabilitasi jiwa yang cukup jauh dari kota, di daerah pegunungan yang tenang.

Saat hari keberangkatan tiba, Nara awalnya menolak. Ia berteriak, meronta, menuduh tantenya bersekongkol dengan "mereka" untuk menjebaknya. Ia menggenggam pisaunya erat-erat, matanya liar ketakutan. Namun, dengan bantuan perawat yang didatangkan dr. Widya, Nara akhirnya bisa ditenangkan. Ia dibawa pergi dalam keadaan yang menyedihkan, tatapannya kosong, namun di matanya masih tersisa percikan ketakutan yang mendalam.

Bagi Nara, ini bukan pemulihan. Ini adalah pembuangan. Ia merasa dikhianati oleh orang-orang yang ia cintai, dijebloskan ke tempat di mana suaranya tidak akan didengar, kebenaran yang ia yakini akan dianggap sebagai omong kosong. Ia terpaksa meninggalkan rumahnya, jendelanya, dan yang paling penting, bayangan di rumah sebelah, yang ia tahu masih ada di sana, mengawasinya, bahkan dari kejauhan. Kehidupan barunya akan dimulai di tempat asing, dikelilingi oleh orang-orang yang dianggap sakit, sementara ia, dalam benaknya, adalah satu-satunya yang waras.

Bab 7 – Rumah Baru, Bayangan Lama

Rumah rehabilitasi jiwa itu, atau panti, seperti sebutan yang lebih disukai para staf dan penghuninya, terasa seperti penjara yang disamarkan. Meskipun bangunannya modern, bersih, dan terletak di tengah taman yang hijau asri di lereng bukit, Nara tetap merasakan aura pengurungan yang menyesakkan. Di luar, ia berusaha menampilkan ketenangan. Ia makan, mengikuti sesi terapi kelompok, dan sesekali berbincang dengan perawat atau sesama penghuni. Namun, di dalam benaknya, ketakutan itu tetap hidup, terkubur di bawah lapisan kepura-puraan.

Ia seringkali terbangun di malam hari, meraba-raba di bawah bantalnya mencari pisau kecil yang dulu selalu bersamanya. Ia masih mendengar bisikan-bisikan samar di sudut telinganya, dan kadang, saat menatap kosong ke dinding kamar, ia merasa melihat siluet hitam melintas di tepi penglihatannya. Ia tidak pernah menceritakan hal ini kepada siapa pun. Ia tahu, jika ia melakukannya, ia hanya akan semakin menguatkan diagnosis mereka, dan ia tidak akan pernah bisa keluar dari tempat ini. Ia harus berpura-pura sembuh agar bisa bebas.

Suatu sore, untuk mengisi waktu luang yang terasa tak berujung, Nara memutuskan untuk menjelajahi perpustakaan kecil di dalam panti. Ruangan itu sunyi, dipenuhi rak-rak buku tua yang berbau apek. Ia mencari-cari sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya, sesuatu yang tidak berhubungan dengan psikologi atau kesehatan mental. Pandangannya jatuh pada tumpukan majalah lama di sudut ruangan, yang sepertinya sudah bertahun-tahun tidak disentuh.

Ia mengambil salah satu majalah yang paling atas. Sampulnya sudah lusuh dan menguning, bertuliskan "Warta Kriminal" dengan edisi delapan tahun lalu. Sebuah majalah berita investigasi. Nara tertarik. Ia selalu punya ketertarikan pada kasus-kasus kriminal, dan ia berharap ini bisa membantunya melarikan diri dari pikirannya sendiri, meski hanya untuk sesaat.

Ia duduk di sofa yang empuk namun berdebu, mulai membolak-balik halaman majalah itu. Artikel-artikel tentang perampokan, penipuan, dan kecelakaan memenuhi halaman-halaman awal. Ia membaca sekilas, tidak terlalu fokus. Sampai akhirnya, di sebuah halaman yang sedikit robek di bagian atas, matanya tertuju pada sebuah judul yang dicetak tebal:

"TEWAS DITEMBAK SAAT KABUR: PELAKU KEKERASAN SEKSUAL DI RUMAH KOSONG"

Nara merasakan sebuah debaran aneh di dadanya. Ada sesuatu dalam judul itu, dalam kata-kata "rumah kosong", yang langsung menarik perhatiannya. Sebuah firasat buruk merayapi punggungnya, namun ia tetap melanjutkan membaca. Artikel itu menceritakan tentang kasus kekerasan seksual yang mengerikan yang terjadi bertahun-tahun lalu di sebuah rumah kosong yang tak disebutkan namanya secara spesifik. Tersangka, seorang pria dengan riwayat kejahatan serupa, tewas ditembak polisi saat mencoba melarikan diri dari tempat kejadian.

Kemudian, ia melihat gambar kecil yang menyertai artikel tersebut. Sebuah foto buram, hasil jepretan kamera polisi atau wartawan. Meskipun kualitasnya buruk dan gambarnya agak samar, Nara langsung mengenalinya.

Jantungnya seolah berhenti berdetak. Napasnya tercekat di tenggorokan.

Wajah di foto itu... Itu adalah wajah pria itu. Wajah kurus, mata cekung, dan ekspresi kosong yang telah menghantui mimpinya selama berbulan-bulan. Wajah yang selalu ia lihat di balik jendela rumah sebelah.

Tubuhnya menegang, majalah di tangannya bergetar. Ia menatap gambar itu, membandingkannya dengan bayangan di benaknya. Tidak ada keraguan sedikit pun. Itu dia. Sosok yang selama ini dianggapnya delusi, halusinasi, kini terpampang nyata di hadapannya, di halaman majalah berita kriminal.

Nara terus membaca artikel itu dengan mata yang membelalak. Setiap kata terasa seperti palu yang menghantam kepalanya, menghancurkan fondasi kewarasannya yang rapuh. Artikel itu menjelaskan bahwa tubuh pria itu ditemukan di loteng rumah kosong tersebut. Rumah itu kemudian disegel oleh polisi sebagai bagian dari penyelidikan dan barang bukti.

Dan yang paling mengejutkan, artikel itu menyatakan dengan jelas: peristiwa itu terjadi delapan tahun lalu.

Delapan tahun lalu.

Delapan tahun lalu, pria itu sudah tewas. Tewas tertembak. Tubuhnya ditemukan di loteng rumah kosong yang kini ada di sebelah rumahnya. Dan rumah itu sempat disegel.

Nara menutup majalah itu perlahan, pikirannya berputar. Semua yang ia alami, semua ketakutan yang ia rasakan, semua yang dianggap orang lain sebagai delusi—apakah itu semua benar? Jika pria itu tewas delapan tahun lalu di rumah itu, lalu siapa yang ia lihat? Siapa yang mengawasinya?

Sebuah pemahaman yang mengerikan menyergapnya. Jika pria itu tewas, dan ia masih melihatnya, mendengar suaranya, merasakan kehadirannya... itu hanya bisa berarti satu hal. Dia bukan manusia.

Keringat dingin membasahi tubuhnya. Perpustakaan yang tadinya sunyi kini terasa penuh dengan bisikan tak terlihat. Panti yang tadinya terasa seperti penjara, kini terasa seperti tempat persembunyian yang tidak lagi aman. Pria itu, bayangan itu, telah mengikutinya bahkan sampai ke sini. Atau mungkin, sejak awal, dia tidak pernah meninggalkan Nara. Dia hanya menunggunya menemukan kebenaran yang mengerikan.

Bab 8 – Wajah yang Sama

Majalah lusuh itu terlepas dari genggaman Nara, jatuh ke pangkuannya. Jantungnya berdebar sangat kencang, memukul-mukul rusuknya seolah ingin melarikan diri. Napasnya pendek-pendek, tersengal. Ini adalah kebenaran yang tak terduga, sebuah kenyataan yang jauh lebih mengerikan dari sekadar delusi. Pria yang menghantuinya, pria di rumah sebelah, adalah seorang almarhum. Seorang pria yang tewas delapan tahun lalu di tempat yang sama, di loteng rumah yang sama.

Nara menatap ulang foto buram di majalah itu, seolah ingin memastikan ia tidak salah lihat. Namun, setiap detail yang samar itu justru semakin menguatkan keyakinannya. Wajah cekung, garis rahang tajam, sorot mata yang dingin—semuanya identik dengan sosok yang menghantuinya. Bahkan pakaian yang dikenakan pria itu di foto, jaket lusuh dan celana gelap, sama persis dengan apa yang sering ia lihat dikenakan oleh bayangan di jendela.

Seketika, seluruh fondasi kepercayaannya pada dunia nyata runtuh. Jika dr. Widya dan keluarganya mengatakan ia berhalusinasi, namun ia kini menemukan bukti fisik bahwa sosok yang ia lihat adalah seseorang yang nyata, meskipun sudah tiada, itu berarti dirinya tidak gila. Dirinya tidak berhalusinasi. Justru, dirinya adalah satu-satunya yang melihat kenyataan yang tidak dapat dilihat atau dipercaya orang lain.

Pikirannya melaju, menghubungkan setiap titik. Kenapa rumah itu kosong dan berdebu saat warga memeriksanya? Karena pria itu tidak lagi hidup, tidak lagi meninggalkan jejak fisik. Kenapa videonya rusak atau hilang? Karena entitas itu tidak ingin keberadaannya terungkap. Kenapa ia hanya melihat pria itu di rumah sebelah, tidak pernah di tempat lain secara fisik? Karena rumah itu adalah tempat terakhir pria itu mengembuskan napas, tempat arwahnya mungkin masih terperangkap.

Sebuah gelombang kemarahan dan frustrasi bercampur dengan ketakutan baru menyapu dirinya. Mereka telah mengurungnya di sini, di panti ini, menganggapnya sakit, padahal ia adalah saksi tunggal sebuah kebenaran yang mengerikan. Mereka telah mengambil kebebasannya, mengisolasi dirinya, dan memaksanya menerima diagnosis palsu.

Air mata mulai mengalir di pipi Nara, bukan air mata ketakutan, melainkan air mata kemarahan yang membara dan keputusasaan. Ia merasa seperti ada beban besar yang terangkat dari pundaknya, beban keraguan akan kewarasannya sendiri. Namun, beban yang lain, beban kenyataan supernatural ini, jauh lebih berat.

Ia segera bangkit, majalah itu masih ada di tangannya. Ia harus berbicara dengan dr. Widya. Ia harus menunjukkan ini padanya. Ia harus membuat mereka percaya. Dengan langkah cepat, ia menuju ruangan dr. Widya.

"Dokter!" seru Nara, saat ia melihat dr. Widya sedang duduk di mejanya, membaca catatan. Suaranya sedikit serak karena emosi. "Anda harus melihat ini!"

Dr. Widya mendongak, ekspresinya berubah dari tenang menjadi sedikit terkejut melihat keadaan Nara yang sangat gelisah. "Nara, ada apa? Tenanglah dulu."

Nara meletakkan majalah itu di meja dr. Widya, jarinya menunjuk keras pada foto dan judul artikel. "Pria ini, Dokter! Ini pria yang saya lihat! Pria di rumah sebelah! Dia sudah meninggal delapan tahun lalu! Dia hantu, Dok! Saya tidak gila!"

Dr. Widya mengambil majalah itu, membaca sekilas artikelnya, lalu menatap foto buram itu. Ia menghela napas panjang, ekspresinya menjadi lembut namun tegas, penuh belas kasihan yang menusuk hati Nara. "Nara, saya mengerti ini sulit bagimu. Tapi ini adalah artikel lama. Kamu sedang mengalami bentuk substitusi trauma, proyeksi dari ketakutan dan stresmu. Pikiranmu mencari penjelasan yang masuk akal, dan secara tidak sadar menghubungkannya dengan informasi yang kamu dapatkan. Ini bukan bukti bahwa pria itu adalah hantu atau bahwa kamu melihatnya secara nyata. Ini bagian dari kondisi delusimu."

Kata-kata dr. Widya bagaikan tamparan keras di wajah Nara. Substitusi trauma? Proyeksi? Nara merasa darahnya mendidih. Ia telah menemukan bukti, bukti nyata yang selama ini dicarinya, namun psikiater itu justru menafsirkannya sebagai bagian dari penyakitnya.

"Tidak! Anda tidak mengerti!" Nara membentak, suaranya meninggi. "Saya tidak berhalusinasi! Dia nyata! Dia di rumah sebelah! Dia mengawasi saya! Dan dia yang merusak video saya!"

Dr. Widya mencoba menenangkan Nara, berbicara dengan nada lembut yang semakin membuat Nara merasa diremehkan. "Nara, kamu butuh istirahat. Kamu terlalu banyak berpikir. Mungkin kita perlu meningkatkan dosis obatmu."

Mendengar kata "obat" dan "dosis", kemarahan Nara semakin memuncak. Ia telah diberi obat-obatan penenang yang membuatnya merasa tumpul, mati rasa. Ia merasa dijebak, dipaksa untuk percaya pada narasi mereka bahwa ia sakit, padahal ia adalah satu-satunya yang melihat kebenaran di balik tabir ilusi.

Nara mundur selangkah, menatap dr. Widya dengan tatapan yang kini bercampur kekecewaan dan kebencian. "Kalian tidak akan pernah percaya padaku," bisiknya, suaranya penuh kepahitan. "Tapi aku akan membuktikan pada kalian semua."

Ia tahu, tidak ada gunanya berdebat lagi. Mereka tidak akan pernah percaya. Ia harus mencari cara lain. Ia harus keluar dari sini. Ia harus memperingatkan orang-orang, membuktikan kebenaran ini, bahkan jika itu berarti ia harus melarikan diri dari tempat yang seharusnya merawatnya. Pertarungan yang sebenarnya baru saja dimulai. Dan kali ini, ia akan berjuang mati-matian untuk membebaskan dirinya dan mengungkapkan kebenaran yang tak terucap.

Bab 9 – Kebenaran yang Tak Terucapkan

Penolakan dr. Widya mengukuhkan keyakinan Nara. Jika sebelumnya ia ragu akan kewarasannya, kini ia sepenuhnya yakin bahwa ia adalah satu-satunya yang melihat kebenaran. Panti ini bukan tempat penyembuhan, melainkan penjara yang dirancang untuk membungkamnya. Mereka tidak ingin mendengar apa yang ia tahu, karena itu akan meruntuhkan seluruh konstruksi rasionalitas mereka.

Setelah pertemuan yang meledak-ledak dengan dr. Widya, Nara memilih untuk menyendiri. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya di kamarnya, merenungkan setiap detail, setiap kejadian. Ia mengingat tatapan tajam pria itu dari jendela, suara langkah kaki di malam hari, insiden di kamar mandi, hingga video yang tiba-tiba rusak. Semua itu kini memiliki makna yang baru, makna yang jauh lebih menakutkan dan supernatural. Pria itu bukan delusi, melainkan entitas yang terperangkap, terikat pada rumah kosong itu, dan kini terikat pada dirinya.

Ia mulai merencanakan pelariannya. Setiap sesi terapi, setiap percakapan dengan perawat, Nara menggunakannya untuk mengamati rutinitas panti, titik-titik lemah dalam sistem keamanan. Ia pura-pura kooperatif, menunjukkan tanda-tanda "kemajuan" palsu, agar tidak diawasi terlalu ketat. Ia tahu ia tidak bisa melarikan diri secara gegabah. Ia butuh rencana yang matang.

Sementara itu, hal-hal aneh mulai terjadi di panti. Awalnya, itu hanya kejadian-kejadian kecil yang bisa dijelaskan secara logis. Seorang perawat melaporkan mendengar suara ketukan dari kamar kosong di ujung lorong di malam hari, namun mengabaikannya sebagai suara pipa atau angin. Kemudian, salah satu pasien mengeluh mendengar jeritan samar dari kamar yang sama, namun ia dianggap berhalusinasi akibat efek samping obat. Staf mulai merasa sedikit tidak nyaman, namun mereka semua adalah orang-orang medis yang terlatih untuk mencari penjelasan rasional.

Namun, kejadian-kejadian itu mulai meningkat intensitasnya. Lampu-lampu di koridor panti mulai menyala-mati sendiri secara sporadis, persis seperti di rumah sebelah. Suhu ruangan tiba-tiba turun drastis di area tertentu, menyebabkan bulu kuduk berdiri. Beberapa perawat bersumpah melihat bayangan hitam melintas di sudut mata mereka saat berpatroli di malam hari, hanya untuk menghilang saat mereka menoleh. Barang-barang kecil seringkali berpindah tempat, atau terjatuh tanpa sebab yang jelas.

Suasana psikologis di panti mulai berubah. Dari yang tadinya tenang dan teratur, kini diselimuti aura tegang yang tak terlihat. Para perawat mulai berbisik-bisik, wajah mereka menunjukkan sedikit ketakutan. Beberapa dari mereka mulai menghindari patroli malam di lorong-lorong tertentu. Mereka mencoba mencari penjelasan, namun tidak ada yang bisa mereka temukan. Mereka hanya merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Nara menyadari semua ini. Ia melihat perubahan di wajah para staf, mendengar bisikan mereka. Ia tahu entitas itu telah mengikutinya, atau setidaknya, kehadirannya di panti telah menarik perhatian entitas itu. Ia merasa seperti pusat gravitasi bagi energi gelap itu. Ini adalah kesempatan baginya. Jika entitas itu bisa menampakkan diri pada orang lain, bahkan secara samar, maka orang-orang akan mulai percaya padanya.

Ia mencoba lagi berbicara dengan dr. Widya, mencoba menghubungkan kejadian-kejadian aneh di panti dengan keberadaan pria itu. "Dokter, Anda merasakannya, kan? Ada sesuatu di sini. Ini sama seperti yang terjadi di rumah saya! Dia ada di sini!"

Dr. Widya, meskipun tampak sedikit gelisah, tetap pada pendiriannya. "Nara, ini adalah stres di lingkungan baru, ditambah dengan kondisi mentalmu. Pikiranmu menghubungkan kejadian-kejadian acak ini. Ini bukan hantu. Kita akan meningkatkan sesi terapi kelompokmu."

Nara menghela napas. Sia-sia. Mereka tidak akan pernah percaya sampai mereka benar-benar melihatnya dengan mata kepala sendiri, sampai ketakutan yang ia rasakan menjadi ketakutan mereka.

Ia tahu waktu semakin sempit. Jika entitas itu semakin kuat, siapa yang tahu apa yang akan terjadi. Ia harus melarikan diri, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk memperingatkan orang-orang di luar sana, terutama tantenya. Ia harus kembali ke rumah, ke rumah kosong itu, dan menghadapi apa pun yang menunggunya. Karena kini, setelah menemukan kebenaran, ia tidak lagi hanya menjadi korban. Ia adalah satu-satunya yang memegang kunci untuk memahami misteri ini. Dan ia akan menggunakan kunci itu, bahkan jika harus mempertaruhkan kewarasan dan nyawanya sendiri.

Bab 10 – Rumah Itu Masih Menyimpan Arwah

Rencana pelarian Nara terwujud di suatu malam yang gelap, diselimuti hujan deras yang menyamarkan suara langkah kakinya. Ia telah mengamati shift perawat, mempelajari setiap celah keamanan. Dengan memanfaatkan momen ketika seorang perawat lengah, ia menyelinap keluar dari kamarnya, melewati koridor yang gelap dan sunyi, dan berhasil mencapai pintu belakang panti yang sedikit terbuka karena kerusakan kunci. Ia berlari sekuat tenaga, tak peduli pada dinginnya hujan atau lumpur yang membasahi kakinya. Ia harus pergi, harus kembali ke rumah.

Perjalanannya ke kota sangat sulit. Tanpa uang dan ponsel, ia terpaksa berjalan kaki, menumpang kendaraan yang lewat, dan bersembunyi dari pantauan. Namun, tekadnya kuat. Ia tidak hanya ingin melarikan diri dari panti; ia ingin kembali untuk membuktikan dirinya, untuk memperingatkan keluarganya dan warga tentang kebenaran yang mengerikan itu.

Akhirnya, setelah lebih dari 24 jam perjalanan yang melelahkan, Nara tiba di depan rumahnya. Wajahnya pucat pasi, matanya cekung, namun ada kilatan tekad yang membara di dalamnya. Ibu Dina, yang sedang duduk di ruang tamu, terkejut melihat Nara berdiri di ambang pintu, basah kuyup dan tampak seperti hantu.

"Nara! Astaga! Kamu kenapa?!" seru Ibu Dina, memeluk Nara erat-erat.

Nara mencoba menjelaskan semuanya kepada tantenya, menunjukkan majalah itu, menceritakan tentang kejadian-kejadian aneh di panti. Namun, Ibu Dina, yang telah berhari-hari mengkhawatirkan kondisi mentalnya, hanya menganggapnya sebagai efek samping dari penghentian obat dan trauma. Ia mencoba menenangkan Nara, berjanji akan menghubungi dr. Widya untuk mengatur kembali perawatannya.

Nara merasa frustrasi. Ia telah mempertaruhkan segalanya untuk kembali, namun mereka masih tidak percaya. Kebenaran itu begitu dekat, namun tak seorang pun mau melihatnya.

Keesokan harinya, panti rehabilitasi jiwa menghubungi Ibu Dina, melaporkan pelarian Nara dan menawarkan bantuan untuk membawanya kembali. Nara, yang merasa semakin terpojok, mengunci diri di kamarnya. Ia tidak akan kembali ke sana, tidak akan lagi dianggap gila.

Malam itu, Nara memutuskan untuk menghadapi ketakutannya. Ia berdiri di depan jendela kamarnya, menatap lurus ke rumah kosong di sebelah. Hujan telah berhenti, dan bulan purnama bersinar samar di balik awan. Udara terasa dingin, menusuk tulang.

"Aku tahu kau ada di sana," bisik Nara, suaranya parau namun tegas. "Aku tidak takut lagi padamu. Aku tahu siapa kau."

Tiba-tiba, di jendela lantai dua rumah sebelah, sebuah siluet kurus tinggi muncul. Kali ini, siluet itu tampak lebih jelas, lebih padat. Seolah-olah Nara tidak lagi melihat bayangan, melainkan esensi dari keberadaan pria itu. Sosok itu berdiri diam, menatap lurus ke arah Nara. Nara bisa merasakan tatapan dingin itu menembus jiwanya. Ia tidak berteriak, tidak mundur. Ia hanya menatap balik, matanya penuh tantangan.

Kemudian, sesuatu yang lebih mengerikan terjadi. Di dalam kamar Nara, dari sudut matanya, ia melihat sebuah bayangan hitam bergerak di dinding. Bayangan itu bukan pantulan dari jendela, melainkan bentuk yang jelas, bergerak seolah meniru gerakan Nara. Nara berbalik dengan cepat, jantungnya berdebar kencang. Ia melihat bayangan itu, seolah-olah entitas itu kini masuk ke dalam kamarnya, berdiri di sampingnya.

Nara berbicara, bukan kepada bayangan di jendela, melainkan kepada entitas tak terlihat yang kini ada di dalam kamarnya. "Kau ingin aku tahu kebenaran, bukan? Kau ingin aku percaya?"

Bayangan di dinding berkedip, seolah mengiyakan.

Kamera keamanan yang dipasang di sudut koridor panti rehabilitasi jiwa—yang luput dari perhatian Nara dan staf—secara otomatis merekam semua aktivitas. Malam pelarian Nara, rekaman itu menunjukkan momen ketika ia berbicara, seolah-olah dengan seseorang. Namun, dalam rekaman itu, tidak ada siapa-siapa di dinding. Nara berbicara sendirian, tangannya bergerak-gerak di udara, menunjuk ke arah yang kosong. Kualitas rekaman yang sedikit buram dan noise kamera menambah kesan mencekam, meninggalkan keraguan. Apakah Nara benar-benar melihat sosok itu, ataukah itu memang bagian dari delusi yang kini mengikutinya ke mana pun ia pergi?

Layar menjadi gelap.

Kemudian, sebuah adegan terakhir muncul. Rumah kosong di sebelah rumah Nara. Malam yang sunyi. Tiba-tiba, lampu di lantai dua rumah itu menyala sendiri, menerangi jendela yang kotor.

Dan dari balik jendela itu, sebuah bayangan pria kurus tinggi terlihat, mengintip. Kali ini, bayangan itu terlihat lebih jelas, seolah tidak lagi bersembunyi. Matanya bersinar samar di kegelapan, menatap lurus ke arah kamera, ke arah penonton. Tatapan yang dingin, tak berekspresi, namun penuh ancaman yang abadi.

Apakah Nara akhirnya berhasil memperingatkan orang-orang, ataukah ia kini terjebak dalam lingkaran tanpa akhir antara realitas dan halusinasi? Bagaimana menurutmu?


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)