Masukan nama pengguna
Setelah Tersambar Petir
(1)
Suatu hari.
Ya, pada suatu hari, ketika aku tersambar petir, rasanya sebagian tubuhku terbelah. Ada panas yang luar biasa. Dan terakhir kulihat cahaya yang sangat menyilaukan. Sehingga, Syahrini yang menemaniku mendaki bukit itu, hilang dari penglihatanku.
Kupikir, aku lalu tak ingat apa-apa.
Mati?
Secara klinis, menurut dokter jaga di Unit Gawat Darurat (UGD) yang menanganiku, seharusnya aku memang mati. Tapi Tuhan berkehendak lain. Itu awalnya kuketahui saat datang sosok putih bersayap hijau, bertandang ke kamar mayat. Ia tersenyum, dan seperti berkata,”Kamu belum waktunya pulang. Ayo bermainlah kembali bersama teman-temanmu!”
Saat itu, aku masih anak usia enam tahun.
Dokter bedah yang menanganiku saat itu, hanya menggelengkan kepala, saat aku ke luar dari kamar mayat. Ayah ibuku yang menyusul ke rumah sakit, mendadak kering air matanya, saat melihatku dibawa suster dengan kursi roda ke arah mereka.
Saat itu, aku hanya bilang,”Aku lelah, Bu. Ayo kita pulang, Pak!”
Yang membuatku sedih, aku mendadak terkenal. Tak hanya di kampungku, namun juga di kota kecilku.
Aku menjadi headline koran lokal, serta pembicaraan pula di televisi dan radio lokal. Mereka mengatakan bahwa aku bisa lepas dari kematian, dan itu luar biasa. Tapi aku tak mau jadi objek yang dibuat nampak menjadi aneh.
Aku memilih menghindari wawancara maupun pemotretan. Saat itu, aku tak habis pikir, kenapa bagi para pemburu berita itu, aku nampak seperti Alien.
Namun ada yang bahkan lebih parah setelah itu. Beberapa orang, entah siapa yang memulainya, memintaku untuk menyentuh mereka yang sakit.
Sebetulnya awalnya iseng.
Aku menolong sahabatku yang terkena sengatan lebah, saat bermain di ladang. Lebih tepatnya bukan menolong, tapi hanya menyentuh bengkaknya saja. Setelah itu ia merasa tidak kesakitan lagi. Lalu ia memintaku menyentuh luka borok pada temanku yang lain. Aneh, borok itu mendadak kering, lalu perlahan menghilang.
Sebagaimana kawan-kawan sepermainanku, aku juga terkejut.
Sejak itu, entah bagaimana, kabar itu menyebar. Aku menjadi si penyembuh. Mulanya, yang berdatangan adalah teman-teman sekolahku, lalu saudaraku, tetangga terdekat, dan setelah itu, saudara-saudara jauhku, serta sudara-sudara tetangga dan teman-temanku.
Pernah, suatu hari, aku begitu syok melihat orang-orang berdatangan seperti semut. Dan entah bagaimana caranya, kemudian para tamu itu diatur seperti mau membeli tiket.
Media-media lokal, bahkan nasional, seperti mendapat potongan kue ulang tahun. Setiap hari, mereka memuat keseharianku. Aku menjadi pusat perhatian media sejak bangun tidur hingga mau tidur lagi.
Yang terbanyak, tentu saat sepulang sekolah, aku menyentuh tamu-tamu yang mengaku sakit itu. Aku sendiri tidak tahu, benarkah mereka yang kusentuh itu benar-benar sembuh, atau hanya terbawa opini publik, bahwa setelah terkena sentuhanku, luka apa pun, sakit apa saja, akan sembuh?
Tapi, memang tak kupingkiri, bahwa aku sendiri terkadang takjub. Misalnya, setelah kusentuh, bibir sumbing seorang anak kecil tiba-tiba normal kembali. Begitu pula yang lumpuh, tuli, sakit mata menahun, sembuh setelah kusentuh. Saat menyentuh, tanganku mendadak hangat.
Kedatangan mereka, tentu juga membawa uang, ternak, hasil bumi, atau bahkan barang berharga. Tapi aku tak mau menerimanya. Kuminta pula agar ayah dan ibu tidak menerimanya.
Aku lantas meminta ayah dan ibu, agar menyuruh mereka yang membawa amplop atau apa saja, untuk memasukkannya ke kencleng mesjid, atau ke aparat desa untuk membantu membangun jembatan, memperbaiki jalan rusak, membantu irigasi, menyantuni anak yatim piatu, para janda dan orang tua terlantar, dan sebagainya.
Namun, makin ke sini, aku makin kelelahan.
Aku tak punya waktu untuk bermain, atau mengerjakan PR dari guruku. Sementara yang datang, seperti air bah. Hampir tak terbendung. Mereka datang tak hanya dari luar kota, tapi bahkan ada yang dari luar pulau. Dari luar impian terliarku.
Maka, suatu hari aku memutuskan untuk menghentikan semua ini.
(2)
Engkau memang masih polos. Lebih dari orang tuamu, engkau sangat terkejut mendapati semua keajaiban yang menimpamu. Engkau juga tidak akan paham, bahwa di balik kebahagiaan seseorang atau banyak orang, juga ada kesedihan, bahkan kemarahan di pihak lain.
Engkau memang tidak tahu, bahwa ada beberapa dokter yang menelpon orang tuamu, dan mengatakan bahwa mereka adalah orang tua yang tidak bertanggungjawab. Ya, tidak bertanggungjawab terhadap kesehatan mental anaknya sendiri.
Benarkah?
Yang paling benar, terutama dokter yang buka praktek, tentu kehilangan pasiennya. Dan bukan cuma dokter, beberapa ahli terapi atau tabib pun sama menyimpan rasa tidak suka padamu.
Teror pun datang seperti jarum-jarum hujan. Engkau memang pantas dicemburui.
Engkau memang bahagia dengan semua ini. Namun juga lelah. Dan yang paling menyedihkan, engkau nampak tak merasa nyaman lagi melihat film kartun, atau pun program televisi anak kegemaranmu.
Engkau seperti sepenuhnya untuk orang lain. Jadi, pada suatu hari, ketika engkau memutuskan untuk menghilang, itu bisa dipahami.
Engkau pun lama ditelan bumi, disembunyikan langit. Hingga suatu ketika sesuatu yang hebat terjadi lagi padamu.
Saat itu, sepuluh tahun setelah engkau menghilang. Menjelang usia matang muda. Saat engkau merasa bisa tidak dikenali siapa pun lagi, engkau mengunjungi sebuh toserba. Engkau merindukan suasana seperti pengunjung lain: ramai, mahal, anggun, eksotis, dikagumi dan mengagumi, hingga terpuasakan nafsu untuk memanjakan diri.
Dan tak ada seorang pun yang menginginkannya, saat bumi terguncang, lalu bangunan beranyaman beton dan besi baja itu runtuh.
Engkau terjebak reruntuhan hingga beberapa hari. Tertindih puluhan orang dan barang. Gempa dahsyat itu merontokkan semua bangunan di kota besar yang kau kunjungi itu. Engkau didapati tak bernafas lagi.
Tim evakuasi yang mengirimkanmu ke rumah sakit, sudah memasukkanmu ke dalam kantung mayat. Kalau tidak salah warnanya kuning, bukan pink.
Lalu, seorang suster pingsan, saat engkau menyibakkan risletting kantung mayat itu. Dan seorang dokter hampir kencing ketika kau bilang,”Jika ada yang memberiku air, ia pasti masuk sorga!”
Oh.
Ya, engkau kemudian dikenali lagi. Engkau berhasil keluar dari kematian untuk ke dua kalinya.
Dan engkau pasrah, ketika orang-orang memburumu kembali. Mereka merindukan tanganmu yang ajaib itu. Engkau memang hidup untuk orang lain. (Konon, mungkin akhirat pun mengakuinya).
(3)
Jaman berganti.
Kini, musim yang satu sering tersesat ke musim yang lain. Dia juga tidak tahu, mengapa selalu ada hal yang di luar jangkauan ribuan sel darah di otak dan jantungnya. Dia bingung, kini masalah rasional sering tersesat ke dunia intuitif.
Dia tak tahu mengapa orang-orang sakit yang disentuhnya sembuh. Dan dia bersyukur, bahwa dia tidak bisa menghidupkan orang yang sudah mati.
Ups…coba bayangkan, jika itu bisa dilakukan. Ia akan melihat antrian orang hidup dan pocong mengitari rumahnya. Atau setelah itu, dia dapat melihat Romeo dan Juliet langsung pergi ke penghulu.
Untunglah, Romeo dan Juliet, tetaplah sebuah drama. Dua sosok legenda. Dan para pocong, ia masih tetap pocong. Ah sudahlah, pocong kan juga pocong.
Ketika dia memutuskan sembunyi lagi untuk yang kedua kali, karena bahkan para suster hingga dokter yang sakit minta dia sembuhkan, ia memang sangat lelah dan tertekan. Ia berharap hidup normal sebagaimana manusia umumnya.
Ia merindukan jalan-jalan, berwisata, makan enak, tidur nyenyak, dan memacari sekian perempuan.
Itu memang harapannya. Dan setelah ia sukses menghilang, dia dapat sedikit merasakan hal-hal kecil yang dia dambakan itu.
Di sebuah kampung kecil, tempat ramah ia berganti nama, dimana ia memulai sebuah usaha bertanam sayuran, dia bisa sedikit lega. Apalagi, kemudian, secara gemilang, ia berhasil menaikkan seorang perempuan ke pelaminan, setelah sedikit hajatan.
Tapi itu hanya berlangsung sepuluh tahun.
Hmmm. Ya, sepuluh tahun kemudian, saat dia berhasil selamat dari reruntuhan pesawat terbang yang jatuh, dia kembali bertemu dengan malaikat bersayap hijau itu. Setelah itu, setelah ia keluar dari kematiannya yang ke tiga, ia kembali diburu.
Didambakan.
Diharapkan.
Disayangi.
Dihormati.
Yang lebih mendalam lagi, ia kini punya semacam karomah yang lain. Ia dapat melihat dunia lain, dunia ghaib*. Maka, kini dia makin tak punya waktu, tak punya dirinya sendiri, karena yang ingin dia sembuhkan datang pula dari dunia ghaib.
Beberapa jin yang terkena serangan semacam stroke, semacam patah tulang, semacam lumpuh layu, semacam lemah syahwat, dan bahkan yang terkena berbagai penyakit yang tak pernah ada dalam kamus jin dan manusia, minta dia sembuhkan.
Ia kini tak bisa bersembunyi lagi.
“Kalau dia nampak berbicara sendiri, tertawa sendiri, atau tersenyum terus walau kita tak melihat siapa pun di hadapanya, itu tandanya dia sedang menyembuhkan mahluk halus!” tutur istrinya, dalam sebuah wawancara dengan jutaan wartawan dari berbagai negara.
***