Masukan nama pengguna
Hujan deras mengguyur kota, rintik-rintik air menabuh atap dan jendela kamarku dengan irama yang tak kenal lelah. Lampu jalan di luar berkedip-kedip, mengirimkan bayangan pohon-pohon yang meliuk-liuk seperti jemari raksasa yang menari di dinding. Jarum jam digital di nakas menunjukkan pukul 02.15 pagi, waktu di mana dunia seharusnya terlelap dalam keheningan yang damai. Tapi kedamaian itu pecah, dihancurkan oleh suara ketukan yang aneh.
Awalnya, aku pikir itu hanya imajinasiku, mungkin dahan pohon yang bergesekan dengan dinding. Tapi suara itu berulang, tidak beraturan, seperti kode morse yang tak dapat kupecahkan. Ada ritme aneh di dalamnya, ketukan yang pelan dan ragu-ragu, diselingi jeda, lalu ketukan yang lebih cepat dan panik. Semakin lama aku mendengarkan, semakin jelas aku menyadari bahwa suara itu bukan dari dahan pohon, melainkan berasal dari dalam dinding kamarku. Sebuah bisikan muncul, terangkai dari angin dingin yang menyelinap dari celah jendela yang sedikit terbuka.
"Ardi... Ardi..."
Suara itu samar, seperti bisikan yang tertiup angin, tapi aku yakin aku mengenalnya. Itu suara Dimas, sahabatku. Bulu kudukku merinding. Bagaimana mungkin? Kamar Dimas berada di lantai bawah, di seberang ruang tamu. Tidak ada jalan baginya untuk berada di dalam dinding kamarku. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa ini hanya ilusi pendengaran, akibat kelelahan dan suasana malam yang mencekam. Namun, bisikan itu berulang, kali ini lebih jelas dan mendesak.
"Ardi... tolong... aku..."
Ada nada ketakutan yang dalam, sebuah keputusasaan yang menusuk relung jiwaku. Aku meraih ponsel di nakas, jariku gemetar saat mencari nama Dimas. Panggilan pertama tidak terhubung, hanya nada dering yang berputar-putar tanpa jawaban. Panggilan kedua, ketiga, sama saja. Jantungku berdebar kencang, memompa adrenalin ke seluruh tubuhku. Suara ketukan dari dinding semakin cepat, ritmenya kini terdengar seperti orang yang sedang mencoba mendobrak keluar dari sebuah kurungan. Ketakutanku berubah menjadi kekhawatiran yang nyata.
Aku memutuskan untuk turun ke bawah. Napasku tertahan, setiap langkah kakiku di tangga kayu berderit, memecah keheningan rumah yang terasa begitu luas dan kosong. Bayangan-bayangan di dinding tampak hidup, bergerak-gerak mengikuti irama denyut jantungku yang tak beraturan. Ketika aku sampai di depan kamar Dimas, suara ketukan dari kamarku di atas tiba-tiba berhenti. Keheningan itu jauh lebih menakutkan daripada suara apa pun.
Aku ragu sejenak, tanganku terangkat, lalu mengetuk pintunya.
"Dimas?" panggilku pelan. "Kamu baik-baik saja?"
Tidak ada jawaban. Aku mencoba memutar kenop pintu, tapi terkunci dari dalam. Jantungku berdebar kencang. Aku mencoba menggedornya, memanggil namanya berulang kali, tapi tetap tidak ada respons. Perasaanku tidak enak, seolah-olah sesuatu yang mengerikan telah terjadi di dalam sana, dan aku datang terlambat.
Aku kembali ke kamarku, mencoba berpikir jernih. Aku menempelkan telingaku ke dinding, berharap mendengar sesuatu. Tidak ada apa-apa. Dinding itu dingin dan diam, seolah-olah semua ketukan dan bisikan itu hanya khayalanku belaka. Tapi aku tahu itu bukan khayalan. Aku melihatnya, atau lebih tepatnya, aku mendengarnya. Sesuatu sedang terjadi pada Dimas, dan aku tidak tahu apa.
Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku duduk di tepi tempat tidur, memandangi dinding yang kini terasa asing. Aku merasa ada sesuatu di baliknya, sebuah kehadiran yang mengawasi setiap gerak-gerikku. Aku memaksakan diriku untuk berpikir logis. Mungkin Dimas hanya sedang berjalan-jalan di malam hari, atau mungkin dia sedang sakit. Tapi naluri di dalam diriku berteriak, mengatakan bahwa ini lebih dari sekadar penyakit biasa. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih gelap.
Aku memutuskan untuk menunggu sampai pagi. Mungkin, ketika matahari terbit, semua keanehan ini akan hilang. Mungkin, Dimas akan meneleponku dan mengatakan bahwa semua ini hanya lelucon. Tapi jauh di dalam hatiku, aku tahu itu tidak mungkin. Keheningan yang aneh di kamar Dimas, suara-suara yang tak mungkin, semua itu adalah pertanda. Aku merasa seperti sedang berada di ambang batas antara kenyataan dan mimpi buruk. Dan aku tidak tahu di sisi mana aku akan terbangun.
Esok paginya, panggilan telepon dari Dimas akhirnya datang. Suaranya serak, terdengar lelah, seolah semalaman dia tidak tidur sama sekali. "Ardi," katanya, nadanya datar. "Semalam aku nggak bisa tidur. Ada yang aneh."
Aku langsung duduk tegak, jantungku kembali berpacu. "Aku juga," jawabku, "Aku dengerin sesuatu dari kamarku. Kayak ada yang ngetuk-ngetuk dinding."
Ada jeda hening di ujung sana. "Ketukan?" Dimas terdengar bingung. "Aku nggak denger apa-apa. Tapi aku ngerasa ada yang ngawasin aku dari jendela. Aku nutup gorden, tapi perasaan itu nggak hilang. Anehnya, aku nggak ngerasa takut, cuma... cemas."
Perasaanku campur aduk. Di satu sisi, aku merasa lega Dimas baik-baik saja, tapi di sisi lain, ceritanya tidak masuk akal. Ketukan itu begitu nyata bagiku, bagaimana mungkin dia tidak mendengarnya? Aku memutuskan untuk tidak membahasnya lebih lanjut, takut membuatnya cemas. "Mungkin cuma halusinasi, Mas," kataku. "Mungkin kamu terlalu capek."
"Iya, mungkin," jawabnya singkat. "Aku mau tidur dulu, nanti sore aku telpon lagi." Panggilan pun berakhir.
Aku mencoba melanjutkan hariku, tetapi pikiran tentang Dimas terus menghantuiku. Perasaan aneh ini, seolah ada seutas benang tak kasat mata yang menghubungkan kami berdua, semakin kuat. Aku merasa seperti kami sedang mengalami dua sisi dari koin yang sama. Aku mendengar suara, dia merasakan kehadiran.
Sore harinya, aku pergi ke rumah Dimas. Dia membukakan pintu dengan wajah yang pucat pasi. Lingkaran hitam di bawah matanya terlihat jelas. "Kamu sakit?" tanyaku.
Dia menggeleng. "Cuma pusing sama mual aja."
Kami duduk di ruang tamu. Suasananya begitu hening, berbeda dari biasanya. Rumah yang biasanya ramai oleh canda tawa, kini terasa kosong dan dingin. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Mas, kamu yakin nggak ada yang aneh semalem?"
Dimas terdiam sejenak. "Nggak ada apa-apa, Ardi. Aku cuma ngerasa... nggak sendirian."
Aku mengalihkan topik. "Ya udah, kamu istirahat aja. Aku temenin di sini."
Dimas mengangguk. "Aku mau ke kamar mandi dulu."
Ketika Dimas pergi, aku merasa ada dorongan aneh untuk melihat ke kamar mandi. Dorongan itu begitu kuat, seolah ada yang memanggilku. Aku berjalan perlahan ke arah kamar mandi. Ketika aku membuka pintu, aku melihat hal yang membuat bulu kudukku merinding. Ada jejak kaki hitam yang basah di lantai, seolah baru saja melangkah keluar dari bak mandi. Jejak kaki itu tidak menyerupai jejak kaki manusia, lebih seperti jejak kaki yang besar, sedikit melebar di bagian depan, dan ada sedikit lekukan tajam di bagian tumit.
"Dimas, ini apa?" tanyaku, suaraku tercekat di tenggorokan.
Dimas menoleh, wajahnya terkejut. "Aku... aku nggak tahu." Matanya membesar, seolah dia juga baru menyadari keberadaan jejak kaki itu. "Tadi nggak ada apa-apa."
Aku menunduk, mencoba menyentuh jejak kaki itu. Airnya terasa dingin, lebih dingin dari air keran. "Ini bukan jejak kaki kamu, kan?" tanyaku.
Dimas menggeleng. "Bukan. Aku juga nggak mandi."
Perasaanku tidak enak. Jejak kaki itu tampak seperti milik sesuatu yang tidak kasat mata, sesuatu yang hanya bisa dilihat olehku. Atau mungkin, Dimas juga melihatnya, tapi tidak ingin mengakuinya.
Malam itu, kami memutuskan untuk tidur di kamar yang sama. Namun, aku tidak bisa tidur. Aku merasa ada sesuatu yang bersembunyi di dalam kamar, mengintai kami dari kegelapan. Aku mencoba memejamkan mata, tetapi bayangan jejak kaki di kamar mandi terus muncul di pikiranku. Aku merasa seperti ada sesuatu yang mengawasiku, napasnya terasa di belakang leherku. Aku menoleh ke belakang, tetapi tidak ada apa-apa.
"Mas, kamu tidur?" bisikku.
Tidak ada jawaban. Aku melihat ke arah Dimas, dia tertidur pulas. Aku merasa lega, setidaknya dia bisa istirahat. Aku mencoba tidur lagi, tetapi kali ini, aku mendengar bisikan yang sama. "Ardi... dia ada di sini." Suaranya terdengar sangat dekat, seolah-olah dia berbisik di telingaku. Aku langsung terbangun, jantungku berdebar kencang. Aku melihat ke arah Dimas, dia masih tertidur. Aku merasa seperti sedang gila.
Perasaan ketakutan ini begitu nyata, dan aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku merasa seperti aku sedang terjebak di dalam sebuah mimpi buruk yang tidak akan pernah berakhir.
Tiba-tiba, aku mendengar suara ketukan dari dinding kamarku, ritmenya sama seperti semalam. Ketukan itu pelan, lalu lebih cepat, lalu sangat cepat. Aku tahu itu bukan hanya dahan pohon, itu adalah suara dari sesuatu yang mencoba keluar. Sesuatu yang ingin mengambil Dimas.
"Dimas, bangun!" Aku mengguncang tubuhnya. "Dengerin!"
Dimas terbangun, matanya masih setengah tertutup. "Ada apa, Ardi?"
"Dinding!" bisikku. "Dengerin!"
Dimas mengernyit. "Nggak ada apa-apa, Ardi. Kamu kenapa?"
Aku menatapnya tidak percaya. Bagaimana mungkin dia tidak mendengar suara itu? Suara itu begitu jelas bagiku, begitu nyata. Aku merasa seperti sedang kehilangan akal. Apakah aku satu-satunya yang bisa mendengar dan melihat hal-hal ini?
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku duduk di tepi tempat tidur, memandangi Dimas yang tertidur pulas. Aku merasa seperti seorang penjaga, seorang prajurit yang harus melindungi temannya dari sesuatu yang tidak terlihat. Aku membiarkan ketakutan itu meresap ke dalam diriku, dan aku menunggu. Aku menunggu sesuatu yang tidak ku ketahui, yang akan datang dan mengambil Dimas. Aku hanya bisa berdoa agar aku bisa melindunginya, melindunginya dari mimpi buruk ini.
Rasa lelah akhirnya mengalahkanku, dan aku tertidur dalam posisi duduk, dengan kepala bersandar di dinding yang terasa dingin. Mungkin hanya beberapa menit, atau mungkin satu jam. Aku terbangun oleh keheningan yang aneh. Suara hujan telah berhenti. Kegelapan di luar jendela tampak lebih pekat, tanpa cahaya lampu jalan yang berkedip-kedip.
Ketika aku membuka mata, hal pertama yang kulihat adalah Dimas. Dia tidak ada di tempat tidur. Jantungku berdebar kencang. Aku menoleh ke sekeliling, mencari sosoknya. Dan aku menemukannya, duduk di depan cermin, di sudut ruangan.
Dia tidak bergerak, hanya duduk diam, membelakangi cermin. Aku merasa ada yang aneh. Napasku tertahan, dan aku mencoba memanggilnya. "Mas?"
Tidak ada jawaban. Aku beranjak dari tempat tidur, berjalan perlahan ke arahnya. Cermin itu tampak lebih besar di ruangan yang gelap, memantulkan bayangan Dimas. Tapi bukan hanya bayangannya, ada sesuatu yang lain. Ada sebuah senyuman di wajahnya. Senyuman yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
Aku berhenti di belakangnya, menatap bayangan di cermin. Senyum itu tidak cocok dengan wajahnya. Itu adalah senyum yang kosong, dingin, dan sangat mengerikan. Matanya yang biasanya ramah dan hangat, kini tampak gelap dan tak bernyawa. Di cermin, aku melihat bibirnya bergerak, seolah dia sedang berbicara dengan bayangannya sendiri.
"Dimas, kamu sedang apa?" tanyaku, suaraku bergetar.
Dimas menoleh. Wajahnya pucat, begitu pucat hingga tampak seperti hantu. Matanya yang gelap memancarkan kilau yang aneh, seolah ada cahaya dari dalam yang tidak terlihat. Dan senyum itu, senyum mengerikan itu, kini menghadap langsung ke arahku.
"Ardi... dia ada di sini," katanya dengan suara yang sangat rendah, hampir seperti bisikan. Suaranya bukan suara Dimas, tapi suara yang lebih dalam, serak, seolah dia sudah lama tidak berbicara. "Dia tidak akan membiarkan kita pergi."
Aku mundur selangkah, rasa takut yang luar biasa merayap di sekujur tubuhku. Aku merasa seperti sedang melihat orang asing, bukan sahabatku sendiri. Aku mencoba memeluknya, tetapi tubuhnya terasa dingin, seperti es. Aku mencoba menyentuh pipinya, dan kulitnya terasa dingin.
"Mas, ini aku, Ardi," kataku, suaraku bergetar hebat. "Kamu kenapa? Kamu sakit?"
Senyum itu semakin lebar. "Aku... tidak sakit, Ardi. Aku... hanya sedang berbicara dengan temanku."
Aku menoleh ke arah cermin, mencari sosok lain di dalamnya. Tapi tidak ada. Hanya ada bayangan Dimas, dan di belakangnya, bayanganku sendiri, tampak ketakutan dan bingung. Aku kembali menatap Dimas, air mataku mulai mengalir.
"Mas, kamu harus sadar," kataku, "Ini bukan kamu. Ada sesuatu yang mengambil alih dirimu."
Senyum itu lenyap, digantikan oleh ekspresi yang kosong. "Dia... tidak mau melepaskanku," katanya, suaranya kembali ke bisikan yang rendah. "Dia... ingin kita bermain bersama."
Aku melihat ke arah bak mandi, lalu ke arah jejak kaki hitam yang basah. Tiba-tiba, semuanya masuk akal. Ini bukan penyakit, bukan halusinasi. Ini adalah sesuatu yang lain. Sesuatu yang supernatural. Sesuatu yang telah mengambil alih Dimas.
Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa ini hanyalah mimpi, bahwa aku akan terbangun dan semuanya akan kembali normal. Tapi aku tahu itu tidak mungkin. Keheningan yang aneh di luar jendela, suhu tubuh Dimas yang dingin, dan senyum yang mengerikan itu. Semuanya terasa begitu nyata.
Aku mencoba menariknya dari depan cermin, tapi dia tidak bergeming. Dia seperti patung, kaku dan dingin. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku merasa tak berdaya, seperti sedang menonton film horor, di mana aku adalah tokoh utamanya. Dan aku tahu, akhir dari film ini tidak akan menyenangkan.
Aku memutuskan untuk tidak panik. Aku harus tetap tenang. "Mas, kita harus keluar dari sini," kataku. "Kita harus pergi ke tempat yang terang. Tempat yang ramai."
Dia hanya menatapku dengan mata yang gelap dan kosong. "Dia tidak akan membiarkan kita pergi," katanya lagi. "Dia... ingin kita tetap di sini. Selamanya."
Aku tahu aku harus berbuat sesuatu. Aku harus menyelamatkan Dimas. Aku harus mengeluarkannya dari rumah ini. Aku harus membawanya ke tempat yang aman. Aku tidak tahu bagaimana, tapi aku harus mencobanya.
Aku mencoba untuk tetap tegar, tetapi air mataku terus mengalir. Aku melihat ke arah cermin, dan di dalamnya, aku melihat bayangan seorang wanita. Wanita itu memakai gaun putih, rambutnya hitam panjang, dan dia menatapku dengan mata yang sama gelapnya dengan mata Dimas. Dia tersenyum, senyum yang sama dengan senyum mengerikan yang ada di wajah Dimas.
"Ardi..." bisiknya dari cermin. "Kamu... tidak akan bisa menyelamatkannya."
Aku langsung menoleh ke arah Dimas, dan wajahnya kembali normal. Ketakutan di matanya begitu nyata, begitu mendalam. "Ardi... aku... takut," bisiknya. "Aku tidak bisa... mengontrol diriku."
Aku memeluknya erat, menutupi matanya, mencoba membuatnya tidak melihat bayangan wanita itu. Aku merasa ada sesuatu yang menariknya ke arah cermin. Ada kekuatan yang sangat besar, dan aku tidak tahu bagaimana cara melawannya.
"Mas, kita pergi dari sini," kataku. "Aku akan membawamu ke tempat yang aman."
Aku membawanya keluar dari kamar, lalu keluar dari rumah. Ketika kami sampai di halaman, aku merasa lega. Udara malam yang dingin terasa seperti surga. Tapi di belakangku, aku mendengar suara ketukan di dinding, suara yang sama seperti semalam. Suara itu begitu dekat, seolah-olah dia mengikuti kami.
Aku menoleh ke belakang, dan aku melihat wanita itu, berdiri di ambang pintu. Dia tidak bergerak, hanya menatapku dengan senyum yang mengerikan. Aku tahu dia tidak akan membiarkan kami pergi. Dia akan terus mengejar kami. Dan aku tidak tahu bagaimana aku bisa melindunginya.
Udara dingin menusuk hingga ke tulang, tapi aku tidak peduli. Aku terus berlari, menggenggam erat tangan Dimas. Aku tidak tahu ke mana tujuanku, yang jelas aku harus menjauhkannya dari rumah itu. Dari wanita di pintu. Dari senyum mengerikan di cermin.
Ketika aku menoleh ke belakang, rumah itu tampak seperti siluet gelap di bawah langit mendung. Wanita itu tidak ada lagi di ambang pintu, tapi aku bisa merasakan kehadirannya. Rasa dingin yang mencekam, bisikan-bisikan halus yang seolah mengikutiku. Aku tahu dia tidak menyerah. Dia hanya bersembunyi di kegelapan, menunggu saat yang tepat untuk mengambil Dimas.
Kami berlari hingga sampai di tepi hutan di belakang rumah. Napas Dimas terengah-engah, dia tampak kelelahan. "Ardi... berhenti," bisiknya. "Aku... nggak kuat."
Aku berhenti, memeluknya erat. Tubuhnya masih dingin, dan dia gemetar. Aku melihat ke sekeliling, hutan itu gelap dan sepi. Tidak ada suara binatang, tidak ada suara angin yang berdesir di antara dedaunan. Hanya keheningan yang mematikan.
"Kita nggak bisa di sini, Mas," kataku. "Kita harus terus berjalan."
"Dia... di sana," bisiknya, menunjuk ke arah hutan.
Aku menoleh, mataku menembus kegelapan. Aku tidak melihat apa-apa. Tapi aku merasakan kehadiran yang sama seperti di rumah. Kali ini lebih kuat, lebih nyata. Seolah-olah seluruh hutan ini adalah sarangnya.
"Ardi... tolong aku..."
Suara itu terdengar sangat jauh, seolah dia berada di tempat yang sangat dalam. Aku berteriak memanggilnya, tapi tidak ada jawaban. Aku mencoba mengguncang tubuhnya, tapi dia tidak merespons. Matanya tertutup, napasnya teratur, seolah dia tertidur pulas. Aku panik. Apakah dia pingsan? Apakah dia sakit?
Tiba-tiba, aku mendengar suara langkah kaki dari dalam hutan. Suara langkah kaki itu begitu jelas, seolah ada seseorang yang berjalan ke arah kami. Aku memeluk Dimas lebih erat, mencoba melindunginya. Aku tidak tahu siapa atau apa itu, tapi aku tahu itu bukan manusia.
Langkah kaki itu semakin dekat, dan aku bisa mendengar suara napas yang berat. Aku melihat ke depan, dan dari balik pepohonan, muncul sebuah bayangan. Bayangan itu tinggi, kurus, dan mengenakan gaun putih. Itu adalah wanita yang sama yang kulihat di pintu. Wajahnya pucat pasi, matanya gelap, dan bibirnya tersenyum. Senyum yang sama dengan yang kulihat di wajah Dimas di cermin.
"Kembalikan dia," bisikku, suaraku bergetar.
Wanita itu tidak menjawab. Dia hanya terus berjalan ke arah kami, langkah kakinya tidak menimbulkan suara. Dia seperti melayang, tidak menyentuh tanah. Aku merasa tak berdaya. Aku tidak tahu bagaimana harus melawannya.
Aku menutup mata, mencoba meyakinkan diriku bahwa ini hanyalah mimpi buruk. Tapi ketika aku membukanya, wanita itu sudah berada di depanku. Wajahnya sangat dekat, aku bisa melihat setiap detailnya. Dia tidak memiliki mata, hanya dua lubang hitam yang kosong. Dan senyumnya, senyum mengerikan itu, tampak begitu nyata.
Dia mengulurkan tangannya, mencoba menyentuh Dimas. Aku langsung mendorongnya, tapi tanganku melewati tubuhnya. Itu seperti aku menyentuh udara kosong. Aku panik, mencoba menarik Dimas menjauh, tapi dia tidak bergeming.
"Dia... milikku," bisik wanita itu. "Dia... akan ikut denganku."
Aku merasa seperti sedang kehilangan akal sehat. Aku berteriak, memanggil nama Dimas, tapi dia tidak merespons. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku merasa seperti aku sedang menonton temanku diambil oleh sesuatu yang tidak bisa kulawan.
"Tolong... jangan..." bisikku, air mataku mengalir deras.
Wanita itu tersenyum. Dia mencondongkan kepalanya, dan dari mulutnya, keluar suara bisikan yang sama seperti yang kulihat di dinding. "Ardi... tolong... aku..."
Aku menyadari. Wanita itu hanya mencoba menakut-nakutiku. Dia ingin aku melepaskan Dimas. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Aku memeluk Dimas lebih erat, dan aku bersumpah bahwa aku akan melindunginya.
"Aku... nggak akan membiarkanmu mengambilnya!" teriakku.
Wanita itu tersenyum. Dia menghilang ke dalam hutan, dan suara langkah kakinya menghilang. Aku merasa lega, tetapi perasaan takut itu tidak hilang. Aku tahu dia hanya bersembunyi. Aku tahu dia akan kembali.
Aku menunggu hingga pagi tiba. Matahari terbit, dan hutan itu tampak normal. Tidak ada jejak kaki, tidak ada wanita dengan gaun putih. Aku melihat ke arah Dimas, dia masih tertidur pulas. Aku merasa ada sesuatu yang salah. Napasnya terlalu teratur, dan suhu tubuhnya masih dingin. Aku memutuskan untuk kembali ke rumah.
Ketika kami sampai di rumah, aku menemukan pintu belakang terbuka. Ada jejak kaki basah yang mengarah ke hutan di belakang rumah. Jejak kaki itu sama dengan jejak kaki yang kulihat di kamar mandi. Jejak kaki itu berhenti di sebuah pohon tua yang rindang, dan di sana ada sebuah boneka tua yang sudah usang. Aku menoleh ke belakang, dan aku melihat bayangan wanita itu di jendela. Dia tersenyum, dan senyumnya tampak begitu nyata.
"Ardi... tolong aku..."
Suara itu terdengar lagi, tapi kali ini, suaranya terdengar sangat jauh, seolah dia berada di tempat yang sangat dalam. Aku berteriak memanggilnya, tetapi tidak ada jawaban. Aku mulai berpikir, apakah aku sedang bermimpi? Apakah ini semua hanya ilusi? Aku kembali ke rumah dan menelepon polisi, tetapi mereka tidak menemukan apa-apa.
"Tidak ada jejak kaki," kata salah satu polisi. "Tidak ada boneka. Tidak ada apa-apa."
Aku merasa seperti sedang gila. Aku tahu aku melihatnya. Aku tahu aku mendengarnya. Tapi tidak ada yang percaya padaku. Aku merasa sendirian. Aku merasa seperti aku sedang terjebak di dalam sebuah mimpi buruk yang tidak akan pernah berakhir.
Aku kembali ke kamar, dan aku duduk di tepi tempat tidur. Aku melihat ke arah dinding, dan aku mendengar suara ketukan yang sama. Ketukan itu pelan, lalu lebih cepat, lalu sangat cepat. Aku tahu dia ada di sana. Dia ada di sana, menunggu. Menunggu untuk mengambilku juga.
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku merasa tak berdaya. Aku merasa seperti aku sedang melihat temanku diambil oleh sesuatu yang tidak bisa kulawan. Dan aku tidak tahu bagaimana aku bisa melindunginya.
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku duduk di tepi tempat tidur, memandangi dinding yang terasa asing. Aku merasa ada sesuatu di baliknya, sebuah kehadiran yang mengawasi setiap gerak-gerikku. Aku memaksakan diriku untuk berpikir logis. Mungkin Dimas hanya sedang berjalan-jalan di malam hari, atau mungkin dia sedang sakit. Tapi naluri di dalam diriku berteriak, mengatakan bahwa ini lebih dari sekadar penyakit biasa. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih gelap.
Aku memutuskan untuk menunggu sampai pagi. Mungkin, ketika matahari terbit, semua keanehan ini akan hilang. Mungkin, Dimas akan meneleponku dan mengatakan bahwa semua ini hanya lelucon. Tapi jauh di dalam hatiku, aku tahu itu tidak mungkin. Keheningan yang aneh di kamar Dimas, suara-suara yang tak mungkin, semua itu adalah pertanda. Aku merasa seperti sedang berada di ambang batas antara kenyataan dan mimpi buruk. Dan aku tidak tahu di sisi mana aku akan terbangun.
Setelah malam yang mengerikan, aku kembali ke rumah dengan perasaan hancur. Polisi pergi setelah melakukan pencarian singkat dan tidak menemukan apa pun. Mereka menatapku dengan tatapan kasihan, seolah aku adalah seorang pemuda yang berduka dan berhalusinasi. Aku tahu mereka tidak percaya ceritaku, dan itu membuatku merasa semakin sendirian.
Aku duduk di ruang tamu yang dingin, menatap kosong ke arah pintu depan. Ponselku berdering, itu ibuku. Aku tidak bisa mengangkatnya. Aku tidak tahu harus mengatakan apa padanya. Bagaimana aku menjelaskan bahwa sahabatku, Dimas, telah diambil oleh sesuatu yang tidak kasat mata? Bagaimana aku bisa menjelaskan bahwa aku melihatnya, dan aku tidak bisa melakukan apa pun?
Aku berjalan ke kamar Dimas, sebuah dorongan aneh membawaku ke sana. Pintu yang semalam terkunci, kini terbuka sedikit. Aku mendorongnya perlahan, dan ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang masuk dari jendela. Aku melihat sekeliling, mencoba mencari petunjuk. Dan mataku jatuh pada laci meja belajarnya yang sedikit terbuka.
Ada sebuah buku harian tua di dalamnya. Aku ragu, haruskah aku membukanya? Tapi rasa penasaran dan keinginan untuk mengerti apa yang terjadi pada Dimas lebih kuat dari etika. Aku mengambil buku itu, tanganku gemetar. Aku membukanya dengan perlahan.
Halaman-halaman pertama berisi coretan dan gambar biasa, catatan harian tentang kehidupan Dimas. Tapi di bagian tengah, tulisannya mulai berubah. Lebih berantakan, lebih terburu-buru. Aku membaca dengan napas tertahan.
Hari ke-1: Aku merasa ada yang aneh. Seperti ada yang mengawasiku. Aku melihat bayangan di jendela, tapi ketika aku menoleh, tidak ada apa-apa.
Hari ke-3: Aku mulai mendengar suara bisikan. Suara itu menyebut namaku. Suaranya terdengar seperti seorang wanita.
Hari ke-5: Dia datang kepadaku dalam mimpi. Dia mengenakan gaun putih. Wajahnya cantik, tapi matanya kosong. Dia memintaku untuk ikut dengannya. Dia bilang dia bisa membawaku ke tempat yang lebih baik.
Hari ke-7: Dia datang lagi. Kali ini di kamar mandi. Aku melihatnya di cermin. Dia tersenyum, dan senyumnya... begitu menakutkan. Dia bilang dia akan menungguku di hutan.
Aku terus membaca, semakin banyak halaman yang dipenuhi oleh tulisan panik. Dimas menulis tentang bagaimana dia merasa semakin lemah, bagaimana dia tidak bisa melawan bisikan-bisikan itu. Dia menulis tentang bagaimana dia merasa seperti ada dua orang di dalam dirinya. Satu adalah dia, dan satu lagi adalah sesuatu yang lain.
Di bab terakhir, Dimas menulis, dengan tulisan yang hampir tidak bisa dibaca, "Aku tidak tahu berapa lama aku bisa bertahan. Dia sudah memanggilku, dan aku tidak bisa menolaknya. Aku merasa seperti ada sesuatu yang menarikku ke dalam kegelapan. Aku minta maaf, Ardi. Aku tahu kamu mencoba untuk menyelamatkanku, tapi kamu tidak akan bisa. Aku... terlalu lemah. Selamat tinggal."
Air mataku mulai mengalir deras, membasahi halaman buku itu. Aku menangis histeris. Aku tahu aku tidak bisa menyelamatkan Dimas. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku merasa bersalah, sedih, dan marah. Aku seharusnya lebih cepat bertindak. Aku seharusnya tidak membiarkan dia sendirian.
Aku kembali ke kamarku, dan aku duduk di tepi tempat tidur. Aku memeluk buku harian Dimas, membiarkan air mataku mengalir. Aku merasa kosong, hancur. Aku tidak tahu berapa lama aku menangis, tapi ketika aku menoleh ke arah dinding, aku melihat tulisan.
Tulisannya berwarna hitam, seolah ditulis dengan arang. "Kamu tidak bisa menyelamatkannya."
Aku langsung berdiri, menatap tulisan itu. Jantungku berdebar kencang. Aku tahu itu adalah suara wanita itu. Dia mengejekku. Dia tahu aku membaca buku harian Dimas. Dia tahu aku merasa bersalah.
Tiba-tiba, suara ketukan dari dinding terdengar lagi. Ketukan itu pelan, lalu lebih cepat, lalu sangat cepat. Aku tahu itu bukan Dimas. Itu adalah dia. Dia mencoba untuk masuk ke dalam kamarku. Aku panik, aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku merasa seperti aku sedang terjebak di dalam sebuah film horor, dan aku tidak bisa keluar.
Aku berlari keluar dari kamar, lalu keluar dari rumah. Aku tidak tahu ke mana tujuanku. Aku hanya ingin lari, lari dari mimpi buruk ini. Aku berlari hingga sampai di tepi hutan, dan aku berhenti. Aku melihat ke arah hutan, dan aku melihat bayangan wanita itu di antara pepohonan. Dia tidak bergerak, hanya menatapku.
"Kamu... tidak akan bisa melarikan diri," bisiknya. "Aku akan... mengambilmu juga."
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku merasa tak berdaya, seperti aku sedang menonton temanku diambil oleh sesuatu yang tidak bisa kulawan. Dan aku tahu aku tidak bisa melarikan diri. Aku tahu dia akan mengejarku, dan suatu hari nanti, dia akan mengambilku juga.
Aku kembali ke rumah, dan aku duduk di ruang tamu. Aku memeluk buku harian Dimas, membiarkan air mataku mengalir. Aku merasa kosong, hancur. Aku tidak tahu berapa lama aku menangis, tapi ketika aku menoleh ke arah dinding, aku melihat tulisan.
"Kamu tidak bisa menyelamatkannya."
Aku langsung berdiri, menatap tulisan itu. Jantungku berdebar kencang. Aku tahu itu adalah suara wanita itu. Dia mengejekku. Dia tahu aku membaca buku harian Dimas. Dia tahu aku merasa bersalah.
Tiba-tiba, suara ketukan dari dinding terdengar lagi. Ketukan itu pelan, lalu lebih cepat, lalu sangat cepat. Aku tahu itu bukan Dimas. Itu adalah dia. Dia mencoba untuk masuk ke dalam kamarku. Aku panik, aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku merasa seperti aku sedang terjebak di dalam sebuah film horor, dan aku tidak bisa keluar.
Aku berlari keluar dari kamar, lalu keluar dari rumah. Aku tidak tahu ke mana tujuanku. Aku hanya ingin lari, lari dari mimpi buruk ini. Aku berlari hingga sampai di tepi hutan, dan aku berhenti. Aku melihat ke arah hutan, dan aku melihat bayangan wanita itu di antara pepohonan. Dia tidak bergerak, hanya menatapku.
"Kamu... tidak akan bisa melarikan diri," bisiknya. "Aku akan... mengambilmu juga."
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku merasa tak berdaya, seperti aku sedang menonton temanku diambil oleh sesuatu yang tidak bisa kulawan. Dan aku tahu aku tidak bisa melarikan diri. Aku tahu dia akan mengejarku, dan suatu hari nanti, dia akan mengambilku juga.
Beberapa hari setelah penemuan buku harian Dimas, hidupku berubah menjadi neraka. Tidur tidak lagi menjadi tempat istirahat, melainkan arena pertarungan dengan mimpi buruk yang sama berulang kali. Di dalam mimpi, aku melihat Dimas, wajahnya pucat, berlumuran air. Dia terus mengulurkan tangannya ke arahku, suaranya serak dan putus asa. "Ardi... tolong aku... dia... dingin..."
Aku selalu terbangun dengan napas terengah-engah, keringat dingin membasahi seluruh tubuh. Suara ketukan dari dinding kamarku tidak pernah berhenti. Itu menjadi irama yang mematikan, detak jantung yang tak teratur yang menemaniku setiap malam. Aku tahu itu bukan Dimas, melainkan bisikan dari makhluk yang telah mengambilnya, bisikan yang mengejekku, mengingatkanku akan kegagalanku.
Ponselku berdering, panggilan dari nomor tak dikenal. Aku ragu, tapi mengangkatnya. Suara di ujung sana, berat dan formal, mengatakan, "Kami menemukan jenazah Dimas Prasetya. Dia ditemukan tenggelam di danau dekat rumahnya."
Jantungku terasa berhenti. Dunia di sekitarku seolah-olah runtuh. Aku menutup telepon, tanganku gemetar. Bukan kecelakaan. Itu bukan kecelakaan. Aku yakin. Itu adalah ulah dari wanita bergaun putih. Dia telah berhasil. Dia telah mengambil Dimas.
Aku tidak pergi ke pemakaman. Aku tidak bisa. Aku tidak punya kekuatan untuk melihat wajah keluarganya yang hancur, untuk melihat nisan yang tertulis nama sahabatku. Aku hanya duduk di kamarku, menatap kosong ke dinding, membiarkan suara ketukan itu meresap ke dalam diriku.
Rasa bersalah mencengkeramku. Aku seharusnya tidak membiarkan Dimas sendirian. Aku seharusnya lebih cepat bertindak. Jika saja aku menelepon polisi lebih awal. Jika saja aku tidak mengabaikan suara ketukan itu. Jika saja aku lebih berani, mungkin Dimas akan selamat. Semua "jika" itu menghancurkanku dari dalam.
Setiap malam, bisikan Dimas terdengar lebih jelas. "Ardi... tolong aku..." Aku melihat bayangannya di setiap sudut ruangan, di balik pintu, di bawah tempat tidur. Aku melihatnya di cermin. Wajahnya yang pucat, matanya yang gelap, dan senyum yang mengerikan itu. Itu bukan senyum Dimas. Itu adalah senyum dari makhluk yang telah mengambilnya.
Aku menjadi depresi. Aku tidak bisa tidur, tidak bisa makan, tidak bisa hidup normal. Aku tidak bisa lagi melihat cermin, karena aku melihat bayangan Dimas di sana. Aku tidak bisa lagi tidur di kamar, karena aku mendengar suara Dimas di dinding. Aku menjadi seorang tawanan, terperangkap dalam penjara ketakutan dan rasa bersalah yang aku ciptakan sendiri.
Aku memutuskan untuk mencari tahu lebih dalam tentang sosok wanita itu. Aku pergi ke perpustakaan kota, mencari buku-buku tentang legenda urban dan mitos lokal. Aku bertanya kepada beberapa orang tua di desa, dan mereka mengatakan bahwa sosok wanita itu adalah hantu dari seorang wanita yang bunuh diri karena cinta. Dia seringkali muncul di tempat-tempat yang sunyi dan sepi, mencari teman-teman baru untuk menemaninya di kegelapan. Dia membawa orang-orang yang merasa kesepian ke dalam kematian.
Aku merasa ada sesuatu yang aneh. Dimas tidak pernah merasa kesepian. Dia adalah orang yang ceria, penuh dengan teman-teman. Jadi mengapa wanita itu memilihnya? Aku kembali ke rumah dan mencoba mencari petunjuk lain. Aku melihat-lihat barang-barang Dimas, dan mataku jatuh pada sebuah kotak kayu kecil. Aku membukanya, dan di dalamnya, aku menemukan sebuah foto. Foto itu adalah foto Dimas bersama pacarnya, yang meninggal beberapa bulan lalu. Di belakang foto, ada tulisan, "Aku merindukanmu. Aku merasa sangat sendirian tanpamu."
Jantungku berdebar kencang. Aku tahu sekarang. Dimas memang merasa kesepian. Dia menyembunyikannya dariku. Dia menyembunyikan rasa sakitnya. Dan wanita itu, dia tahu. Dia tahu kelemahan Dimas, dan dia menggunakannya untuk mengambilnya.
Aku merasa bersalah. Aku seharusnya tidak mengabaikan tanda-tanda itu. Aku seharusnya menyadari bahwa Dimas sedang menderita. Aku seharusnya ada di sana untuknya. Tapi aku gagal.
Kejadian ini telah mengubah hidupku. Aku tidak tahu kapan aku akan bisa kembali normal. Aku tidak tahu kapan aku bisa melupakan wajah Dimas yang pucat, suara bisikannya yang menyakitkan. Aku hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, aku bisa memaafkan diriku sendiri.
Di malam hari, aku kembali ke kamarku. Suara ketukan di dinding terdengar lebih keras dari sebelumnya. Aku tidak takut lagi. Aku hanya merasa kosong. Aku menempelkan telingaku ke dinding, dan aku mendengar suara Dimas. "Ardi... tolong... aku..."
Aku tahu itu hanya khayalan. Aku tahu Dimas sudah pergi. Tapi aku tidak bisa menolak suara itu. Suara itu adalah satu-satunya hal yang tersisa darinya. Dan aku tidak akan pernah melepaskannya.
Aku menutup mataku, membiarkan suara itu meresap ke dalam diriku. Aku membiarkan rasa bersalah itu menghancurkanku. Aku membiarkan depresi itu mengambil alih diriku. Aku tahu aku tidak akan pernah bisa kembali normal. Aku akan hidup dengan rasa sakit ini selamanya. Dan aku tahu, suatu hari nanti, wanita itu akan kembali. Dan dia akan mengambilku juga.