Cerpen
Disukai
2
Dilihat
1,443
Sahabat Backpacker Ku
Misteri

BAB 1 – Rumah yang Terlalu Sepi

Rega adalah bayangan yang bergerak dalam rutinitas yang konstan. Pagi dimulai dengan desiran air di teko listrik, aroma kopi hitam yang pekat, dan lembaran koran yang dibuka dengan presisi milimetri. Siang hari, kesibukannya sebagai editor naskah lepas hanya terganggu oleh suara ketikan jari dan bisikan hening dari rumah tua warisan orang tuanya. Rumah itu besar, dengan langit-langit tinggi dan jendela-jendela berbingkai kayu yang dulunya selalu terbuka lebar, membiarkan angin dan tawa mengisi setiap sudut. Kini, sebagian besar jendela tertutup rapat, seolah menyegel kenangan di dalamnya. Malam hari, Rega akan memasak makan malam sederhana, seringkali hanya untuk satu orang, lalu duduk di kursi goyang di teras belakang, menatap kebun yang sedikit terbengkalai.

Hidupnya, jika boleh disebut demikian, adalah siklus yang tak pernah putus dari ketenangan yang nyaris membosankan. Setelah kedua orang tuanya meninggal lima tahun lalu, Rega memilih untuk tetap tinggal di rumah itu. Saudara perempuannya, satu-satunya yang ia miliki, telah lama pindah ke luar negeri, membangun kehidupannya sendiri. Rega tak pernah merasa kesepian, setidaknya ia meyakinkan dirinya sendiri demikian. Kesendirian adalah pilihan, katanya. Sebuah benteng yang dibangun untuk melindungi dirinya dari gejolak dunia luar yang tak pernah ia pahami sepenuhnya.

Pagi itu, berbeda. Suasana di minimarket terasa lebih ramai dari biasanya. Mungkin karena akhir pekan, atau mungkin hanya perasaannya saja. Rega, dengan daftar belanjaan di tangan yang ditulis rapi, menyusuri lorong-lorong, mencari sereal kesukaannya. Di dekat rak makanan instan, ia melihat seorang pemuda. Rambutnya gondrong sebahu, wajahnya tampak lelah dengan lingkar mata hitam yang jelas. Tas ranselnya, yang terlihat usang dan penuh tempelan stiker dari berbagai negara, tergeletak di samping kakinya. Pemuda itu terlihat sedang menghitung uang receh di tangannya, dahinya berkerut.

Rega, yang biasanya menghindari interaksi tak perlu, entah mengapa merasa ada dorongan aneh. Mungkin karena tatapan pemuda itu yang tampak putus asa, atau mungkin karena ada sesuatu dalam sorot matanya yang mengingatkan Rega pada seseorang yang tak bisa ia ingat. Rega memutuskan untuk mendekat.

“Butuh bantuan?” suara Rega terdengar sedikit canggung, jarang ia berbicara dengan orang asing.

Pemuda itu mendongak, matanya yang awalnya sayu kini sedikit melebar karena terkejut. “Ah, maaf. Tidak. Hanya… sedang mengecek dompet,” jawabnya dengan senyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa malu.

“Sepertinya kau kelelahan,” Rega melihat tas ransel pemuda itu. “Backpacker?”

Pemuda itu mengangguk. “Iya. Nama saya Andra. Andra B. Mahesa. Baru tiba dari perbatasan. Rencananya mau ke Bali, tapi sepertinya salah perhitungan.” Ia tersenyum getir, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Uang saya… sisa sedikit sekali.”

Hati Rega tergerak. Rasa iba yang tak biasa. Ia teringat akan cerita-cerita para petualang yang ia baca di buku-buku lama ayahnya. Ada kebebasan, namun juga risiko. “Kau mau singgah sebentar? Rumahku tidak jauh dari sini. Ada kamar kosong, setidaknya untuk semalam dua malam. Bisa istirahat sebelum melanjutkan perjalanan.”

Andra tampak ragu. “Tidak apa-apa? Saya tidak ingin merepotkan.”

“Tidak masalah. Rumahku terlalu besar untuk satu orang. Anggap saja kau tamu. Dan lagi, aku juga butuh teman bicara sesekali,” kata Rega, entah mengapa, merasa perlu meyakinkan Andra dan dirinya sendiri.

Andra akhirnya setuju, matanya berbinar dengan sedikit harapan. “Terima kasih banyak, Mas. Saya sangat menghargainya.”

Rega menuntun Andra menuju rumahnya. Sepanjang jalan, Andra bercerita singkat tentang perjalanannya yang tak terencana. Dari Thailand, Laos, Kamboja, hingga akhirnya terdampar di kota ini karena salah naik bus. Rega mendengarkan dengan seksama, sesuatu dalam dirinya mulai terasa hidup. Ada kegembiraan aneh yang muncul dari kehadiran orang lain, meskipun itu adalah orang asing.

Ketika mereka sampai di rumah Rega, Andra terpukau. “Wow, rumah ini… klasik sekali. Indah.”

Rega hanya tersenyum tipis. “Silakan masuk. Kamar tamu ada di lantai dua. Nanti kuantar.”

Di dalam, Rega segera menyajikan teh hangat dan beberapa biskuit. Andra duduk di sofa ruang tamu, matanya berkeliling, menatap setiap ornamen dan perabot tua dengan rasa ingin tahu. Ada aura kebebasan dalam dirinya, sesuatu yang Rega sadari sangat ia rindukan dalam kehidupannya yang terkurung.

“Jadi, Andra, kau sudah berapa lama berkelana?” tanya Rega, menyesap tehnya.

“Sudah hampir setahun, Mas. Dari Malaysia, terus ke utara. Memang dari dulu impian saya menjelajahi Asia Tenggara dengan ransel. Melihat budaya baru, bertemu orang-orang baru,” jawab Andra, matanya menerawang. “Tapi kadang ya begini, terjebak di tengah jalan.”

Rega mengangguk. “Pasti banyak cerita seru.”

“Banyak sekali, Mas. Dari makan serangga di Thailand, tersesat di hutan Kamboja, sampai tidur di terminal karena kehabisan uang. Tapi itu semua bagian dari petualangan, kan?” Andra tertawa renyah.

Tawa Andra mengisi kekosongan rumah Rega, yang selama ini hanya dihuni oleh suara napas dan detak jam dinding. Rega merasa nyaman dengan kehadiran Andra. Ada semacam energi baru yang mengalir, meruntuhkan sedikit demi sedikit tembok yang selama ini ia bangun. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Rega tidak merasa sendirian di rumah ini. Kehadiran Andra seperti memecah kesunyian, membawa secercah kehidupan yang telah lama padam.

BAB 2 – Tamu dari Mana?

Hari-hari berikutnya, keberadaan Andra di rumah Rega terasa semakin alami. Suara langkahnya di tangga, aroma masakannya yang kadang tercium dari dapur, atau celotehan ringan tentang petualangannya mengisi setiap sudut rumah yang sebelumnya terlalu sunyi. Rega menemukan dirinya menantikan percakapan mereka di sore hari, berbagi makan malam di meja makan yang dulunya hanya diisi satu piring, bahkan sesekali mereka bermain catur di ruang tengah. Andra, dengan semangatnya yang muda dan cerita-cerita perjalanannya yang mendebarkan, adalah anomali dalam kehidupan Rega yang teratur.

“Jadi, di Laos itu ada kuil Buddha yang dibangun di dalam gua. Gelap sekali, Mas, tapi ada ribuan patung Buddha kecil di dalamnya. Rasanya seperti masuk ke dimensi lain,” Andra bercerita dengan mata berbinar, saat mereka makan malam sup ayam buatan Rega.

Rega mendengarkan dengan saksama, membayangkan detail yang diceritakan Andra. “Pasti luar biasa. Aku belum pernah melihat tempat seperti itu.”

“Mas harus coba sekali-sekali jalan-jalan, jangan di rumah terus. Dunia ini luas, banyak hal menarik di luar sana,” Andra tersenyum, mengunyah makanannya.

Rega hanya tersenyum tipis. “Aku sudah nyaman dengan duniaku sendiri.” Namun, di dalam hatinya, ia merasa sedikit tersentuh oleh ajakan Andra.

Suatu sore, saat mereka sedang duduk di teras belakang, menikmati kopi dan memandang kebun, ada ketukan di pintu depan. Rega segera beranjak.

“Sebentar ya, Andra,” kata Rega.

Ketika membuka pintu, di hadapannya berdiri Bu Siti, tetangga tua yang sudah tinggal di sana sejak Rega kecil. Wajahnya yang keriput dihiasi senyum ramah. “Rega, sehat? Ibu lihat kau seperti sedang berbicara dengan seseorang di teras. Ada tamu, ya?”

Rega tersenyum. “Iya, Bu. Ada teman baru. Namanya Andra. Dia backpacker, lagi singgah sebentar.” Rega menoleh ke arah teras, berharap Andra akan muncul dan menyapa.

Namun, Andra tidak muncul. Rega kembali menoleh pada Bu Siti. “Mari masuk dulu, Bu.”

Bu Siti masuk, matanya menyapu seisi ruang tamu, lalu menuju teras. Wajahnya tiba-tiba menunjukkan ekspresi kebingungan. “Lho, mana tamunya, Ga? Kok Ibu tidak lihat siapa-siapa di teras?”

Rega mengerutkan kening. “Itu… Andra ada di sana, Bu. Sedang duduk di kursi.” Rega menunjuk kursi di teras yang tadi diduduki Andra. Kursi itu kosong.

Bu Siti menggeleng pelan. “Tidak ada siapa-siapa, Rega. Dari tadi Ibu lihat kau bicara sendiri di teras. Ibu kira kau sedang bertelepon atau apa.”

Jantung Rega berdesir aneh. Ia kembali menatap teras. Kosong. Andra tidak ada di sana. Bahkan cangkir kopi yang tadi dipakai Andra pun tidak ada. Apa yang terjadi?

“Mungkin dia masuk ke dalam sebentar, Bu,” Rega mencoba menenangkan dirinya. Ia melirik jam di dinding. Andra baru saja duduk di sana beberapa menit yang lalu. Mustahil ia menghilang begitu cepat.

Bu Siti hanya mengangguk, namun tatapannya masih penuh pertanyaan. “Oh, begitu. Ya sudah. Ibu tadi cuma mau mengantarkan kue ini. Buatan Ibu sendiri.”

Setelah Bu Siti pulang, Rega segera kembali ke teras. Kursi itu benar-benar kosong. Ia berjalan masuk ke dalam rumah, mencari Andra. Ia memeriksa kamar tamu di lantai dua, dapur, bahkan kamar mandi. Andra tidak ada di mana pun.

Rega merasa bingung. Mungkinkah Andra pergi begitu saja tanpa pamit? Tapi kenapa? Dan kenapa Bu Siti tidak melihatnya?

Tak lama kemudian, Rega mendengar suara keran air dari dapur. Ia bergegas ke sana. Andra sedang mencuci gelas.

“Dari mana saja kau?” tanya Rega, suaranya sedikit tegang.

Andra menoleh, ekspresinya bingung. “Dari sini, Mas. Habis mencuci gelas yang kita pakai tadi. Kenapa?”

Rega terdiam. Ia baru saja melihat kursi kosong di teras, dan Bu Siti bersumpah tidak ada siapa-siapa di sana. Lalu bagaimana Andra bisa tiba-tiba muncul di dapur?

“Tadi Bu Siti datang,” Rega memulai, mencoba menjaga suaranya tetap normal. “Dia bilang tidak melihatmu di teras.”

Andra tertawa. “Mungkin Bu Siti rabun, Mas. Saya duduk di sana kok dari tadi.”

Rega menatap Andra, mencoba mencari petunjuk. Andra terlihat nyata, seperti biasa. Bicaranya jelas, gerakannya normal. Tidak ada yang aneh. Tapi perkataan Bu Siti…

Sejak saat itu, insiden-insiden kecil mulai terjadi. Rega seringkali menemukan dirinya berbicara dengan Andra di satu ruangan, lalu ketika ia menoleh sebentar, Andra sudah berada di ruangan lain tanpa suara. Atau, kadang-kadang, Rega akan meninggalkan Andra di ruang tamu, lalu beberapa detik kemudian mendengar suara Andra memanggil dari dapur, seolah ia bergerak secepat kilat.

Rega mencoba mengabaikannya. Mungkin ia terlalu banyak bekerja, pikirnya. Atau mungkin ia hanya terlalu terbiasa sendirian sehingga kehadiran orang lain terasa sedikit… membingungkan.

Namun, suatu malam, saat mereka sedang makan malam, Rega secara tidak sengaja menjatuhkan garpu. Ketika ia membungkuk untuk mengambilnya, ia melihat sesuatu di bawah meja. Ada empat kaki di sana. Dua kaki Rega, dan dua kaki Andra. Kaki Andra terlihat begitu nyata, dengan sandal jepit yang selalu ia pakai. Rega menegakkan tubuh, menatap Andra yang sedang asyik menyantap makanannya.

“Andra,” panggil Rega pelan.

“Ya, Mas?”

“Apakah… kau selalu di sini?”

Andra mengerutkan kening. “Tentu saja, Mas. Memangnya saya ke mana lagi?”

Rega hanya mengangguk, tidak melanjutkan pertanyaan. Perasaannya campur aduk. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanya kebetulan, atau mungkin ia terlalu lelah. Tapi suara Bu Siti yang mengatakan ia bicara sendiri di teras, dan kini pengalamannya sendiri tentang Andra yang menghilang dan muncul lagi…

Ada sesuatu yang tidak beres. Dan Rega mulai merasa dingin di tulang punggungnya. Rumah ini, yang dulunya terasa begitu sepi, kini terasa dihuni oleh sesuatu yang tidak sepenuhnya bisa ia pahami.

BAB 3 – Pertanyaan dari Jendela

Insiden kecil tentang keberadaan Andra yang samar-samar mulai berubah menjadi kekhawatiran yang nyata bagi Rega. Bukan hanya Bu Siti, kini anak-anak tetangga pun mulai berkomentar. Suatu pagi, saat Rega sedang menyiram tanaman di halaman depan, seorang anak laki-laki dari rumah sebelah, sebut saja Dino, menghampirinya.

“Om Rega, kok Om suka ngomong sendiri?” tanya Dino polos, matanya yang besar menatap Rega dengan rasa ingin tahu.

Jantung Rega berdegup kencang. “Ngomong sendiri? Kapan?”

“Iya, yang di teras itu. Om ketawa-ketawa sendiri,” kata Dino, menunjuk ke arah teras. “Kayak lagi sama teman, tapi Dino lihat tidak ada siapa-siapa.”

Rega mencoba tersenyum, menyembunyikan kegelisahannya. “Ah, itu… Om lagi latihan drama, Dino. Kamu belum ngerti.”

Dino mengangguk-angguk, seolah percaya. Tapi tatapannya masih menyisakan keraguan. Setelah Dino pergi, Rega langsung melangkah ke teras. Ia mencoba mengingat. Memang benar, ia sering tertawa dan berbicara dengan Andra di sana. Andra begitu nyata baginya, begitu hidup. Namun, jika anak kecil yang jujur seperti Dino pun tidak melihat Andra, lalu apa sebenarnya yang terjadi?

Kekhawatiran Rega semakin menjadi saat Bu Aminah, tetangga depan rumah, mendatangi Rega sore harinya. Bu Aminah dikenal sebagai sosok yang sangat observatif dan sedikit banyak mengetahui seluk-beluk semua tetangga.

“Rega, Ibu perhatikan kau akhir-akhir ini suka makan malam sendiri di meja makan, ya?” tanya Bu Aminah, suaranya lembut namun penuh selidik.

Rega menelan ludah. “Maksud Ibu? Saya tidak makan sendiri, Bu. Ada Andra, teman saya.”

Bu Aminah menggeleng. “Tidak ada siapa-siapa, Nak. Ibu sering lihat dari jendela dapur Ibu, kau hanya duduk berdua… maksud Ibu, kau hanya duduk sendirian di meja makan, dengan dua piring. Awalnya Ibu kira kau sedang menyiapkan makan malam untuk besok, tapi kau makan di sana setiap malam, dengan dua piring.”

Dua piring. Rega ingat. Ia selalu menyiapkan dua piring, satu untuknya dan satu untuk Andra. Mereka makan, bercerita, dan berbagi tawa. Itu semua terasa begitu nyata. Kenapa Bu Aminah tidak melihatnya?

“Mungkin Ibu salah lihat,” Rega mencoba mengelak.

“Tidak mungkin, Rega. Ibu ini sudah tua, tapi mata Ibu masih awas,” sahut Bu Aminah, sedikit tersinggung. “Ibu cuma khawatir denganmu. Kau terlihat seperti… seperti sedang berhalusinasi.”

Kata “halusinasi” menggema di telinga Rega. Itu adalah kata yang menakutkan, kata yang menunjukkan ketidakwarasan. Rega merasa jantungnya berpacu, napasnya tercekat. Ia ingin marah, ingin membantah, tapi ada bagian dalam dirinya yang mulai meragukan realitasnya sendiri.

Malam itu, Rega makan malam sendirian. Ia duduk di meja makan, di hadapannya ada dua piring. Satu piring berisi nasi dan lauk untuknya, satu piring lagi kosong. Ia menatap piring kosong itu, lalu menoleh ke kursi di seberangnya. Andra tidak ada di sana. Tidak ada.

Rega merasa mual. Apakah selama ini ia makan sendirian, berbicara pada kekosongan? Apakah tawa yang ia dengar, cerita yang ia percayai, semua itu hanya rekaannya sendiri?

Ia mencoba menghubungi Andra. “Andra? Kau di mana?”

Tidak ada jawaban. Rumah terasa sunyi, bahkan lebih sunyi dari sebelumnya. Rega merasa seperti ada kabut tebal yang menyelimuti pikirannya, membuatnya sulit membedakan antara yang nyata dan yang tidak.

Keesokan harinya, Rega mencoba menguji dirinya. Ia meminta Andra untuk melakukan sesuatu yang spesifik, seperti memindahkan buku dari meja kopi ke rak. Andra melakukannya. Rega melihatnya dengan mata kepala sendiri. Andra mengambil buku itu, berjalan ke rak, dan meletakkannya di sana.

“Lihat, Mas? Saya di sini,” kata Andra, tersenyum.

Rega merasa sedikit lega. Setidaknya, ia tidak gila. Andra benar-benar ada. Tetapi kemudian, ketika Rega berbalik untuk mengambil minum, ia mendengar suara buku jatuh. Ia menoleh. Buku itu sudah kembali di meja kopi.

Rega menatap Andra, yang kini sedang duduk di sofa, asyik dengan ponselnya. “Andra, kau tadi memindahkan buku itu, kan?”

Andra mendongak, bingung. “Buku apa, Mas? Saya dari tadi di sini, main game.”

Dunia Rega mulai runtuh. Ia merasa seperti ada dua realitas yang bertabrakan di dalam kepalanya. Realitas di mana Andra ada dan nyata, dan realitas di mana Andra hanyalah ilusi. Bagaimana mungkin?

Ia mulai merasakan sakit kepala yang hebat. Pikiran-pikiran negatif berdatangan. Apakah ia sakit jiwa? Apakah ia harus memeriksakan diri ke psikiater? Ide itu membuatnya takut. Ia tidak ingin dihakimi, tidak ingin dicap gila.

Dalam kekalutan itu, ia menatap dirinya di cermin kamar mandi. Wajahnya terlihat pucat, matanya merah karena kurang tidur. Ia melihat bayangannya, lalu di belakang bayangannya, ia melihat Andra berdiri, tersenyum.

“Aku ada jika kau percaya,” bisik Andra.

Rega terkejut, berbalik. Andra tidak ada di sana. Cermin hanya memantulkan bayangan Rega yang sendirian.

Kata-kata itu, “Aku ada jika kau percaya,” menancap di benaknya. Apakah Andra adalah cerminan dari keinginannya untuk memiliki teman, untuk tidak lagi sendirian? Apakah Andra adalah manifestasi dari kesepian yang selama ini ia tepis?

Rega mulai meragukan segalanya. Setiap interaksi, setiap percakapan dengan Andra, kini terasa ambigu. Apakah itu sungguh terjadi, atau hanya bisikan dari dalam benaknya yang kacau? Rumah tua itu, yang tadinya terasa sepi, kini terasa penuh dengan pertanyaan tak terjawab, dengan bayangan-bayangan yang menari di ambang batas antara kenyataan dan delusi. Rega tidak tahu lagi mana yang benar. Dan ketidakpastian itu adalah teror yang jauh lebih mengerikan daripada hantu mana pun.

BAB 4 – Gangguan Dalam Kepala

Rega tidak lagi bisa tidur nyenyak. Setiap malam, ia dirundung mimpi aneh yang terasa begitu nyata, namun kabur seperti asap begitu ia terbangun. Mimpi-mimpi itu seringkali melibatkan kilas balik masa kecilnya, adegan-adegan yang sudah lama ia kubur dalam-dalam.

Ia melihat sebuah sungai, airnya keruh dan berarus deras. Seorang anak laki-laki, lebih muda darinya, sedang tersenyum ceria di tepian. Tiba-tiba, anak itu terpeleset dan jatuh ke dalam air. Rega kecil menjerit, mencoba meraihnya, tapi arus terlalu kuat. Anak itu, yang wajahnya sangat familiar namun samar, menghilang di balik pusaran air. Rega terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Wajah anak itu… siapa dia? Kenapa ia merasa begitu akrab?

Selain mimpi, Rega juga mulai mendengar suara-suara ketika Andra tidak ada di sekitarnya. Bisikan-bisikan samar dari lorong gelap, langkah kaki di lantai atas saat ia sendirian di bawah, atau suara tawa anak kecil yang seolah melayang dari kamar kosong. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya imajinasinya, suara-suara dari rumah tua yang berderak karena usia. Namun, bisikan-bisikan itu semakin jelas, semakin sering.

Suatu sore, Rega sedang membaca buku di ruang tengah. Tiba-tiba, ia mendengar suara mainan anak-anak berputar dari kamar Andra di lantai dua. Mainan yang dulu pernah dimilikinya saat kecil. Jantungnya berdegup kencang. Ia tahu kamar itu seharusnya kosong dan berdebu, seperti yang dilihatnya saat Bu Siti bertamu. Namun, suara itu begitu nyata.

Ia naik ke lantai dua dengan langkah ragu. Semakin dekat dengan kamar tamu, suara itu semakin keras. Ketika ia membuka pintu, suara itu berhenti. Kamar itu gelap, berdebu, dan kosong. Tidak ada mainan. Tidak ada apa-apa.

Rega menekan keningnya. Apakah ia sudah gila? Apakah semua ini adalah efek dari stres atau kurang tidur? Ia berusaha keras untuk berpikir logis, untuk mencari penjelasan rasional.

Di tengah kekalutannya, datanglah Bu Lastri, tetangga tua lainnya yang tinggal di ujung jalan. Bu Lastri dikenal memiliki indra keenam atau setidaknya sangat peka terhadap hal-hal spiritual. Ia seringkali memberikan ramalan atau peringatan yang seringkali terbukti benar.

“Rega, nak. Ibu tidak ingin menakutimu, tapi Ibu merasa ada yang tidak beres dengan rumahmu ini,” kata Bu Lastri, menatap Rega dengan sorot mata yang tajam. “Rumah ini sudah tua, dan Ibu merasakan ada energi negatif yang kuat di dalamnya. Semakin hari semakin terasa.”

Rega menatapnya cemas. “Energi negatif apa maksud Ibu?”

“Dulu, sebelum kau lahir, rumah ini punya sejarah kelam. Ada keluarga yang tinggal di sini, mereka kehilangan anak bungsunya karena kecelakaan tragis. Katanya, anak itu… tenggelam di sungai dekat sini,” Bu Lastri berbisik, suaranya merendah. “Dan orang tua anak itu… mereka tidak pernah bisa menerima kepergiannya. Mereka terus berharap anak itu kembali. Sampai meninggal pun, katanya, arwah mereka masih terikat di rumah ini, menunggu.”

Kisah Bu Lastri membuat bulu kuduk Rega merinding. Sungai, anak kecil yang tenggelam… itu persis seperti mimpinya. Tapi siapa anak itu? Dan apa hubungannya dengan dirinya?

“Mungkin ini hanya kebetulan, Bu,” kata Rega, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Bu Lastri menggeleng. “Tidak ada kebetulan, nak. Perhatikan dirimu. Kau semakin kurus, matamu cekung. Kau tampak seperti orang yang tidak punya semangat hidup.” Bu Lastri mendekat, tangannya menyentuh lengan Rega. “Dengarkan Ibu, Rega. Kadang-kadang, kesedihan yang terlalu dalam, penyesalan yang tidak terungkap, bisa menciptakan… sesuatu. Sesuatu yang mengisi kekosongan. Sesuatu yang kita ciptakan sendiri, tanpa kita sadari.”

Perkataan Bu Lastri menghantam Rega seperti palu. “Sesuatu yang kita ciptakan sendiri…” Apakah Andra adalah “sesuatu” itu? Apakah Andra adalah manifestasi dari kesedihan atau penyesalannya sendiri? Tapi penyesalan tentang apa?

Rega mulai mengubek-ubek pikirannya, mencari kepingan-kepingan memori yang hilang. Ia ingat bahwa ia memang memiliki seorang kakak laki-laki, tapi ia tidak pernah benar-benar mengingatnya dengan jelas. Orang tuanya jarang membicarakan kakaknya. Seolah-olah ada lubang hitam di masa lalunya yang ia hindari.

Semakin ia mencoba mengingat, semakin sakit kepalanya. Gambar-gambar buram, suara-suara yang tidak jelas, terus muncul di benaknya. Kakak laki-laki… namanya…

Ia teringat sebuah kotak tua yang tersimpan di loteng. Kotak kenangan masa kecil. Selama ini ia tidak pernah berani membukanya. Namun kini, dorongan untuk mengetahui kebenaran menjadi tak tertahankan.

Malam itu, di tengah bisikan-bisikan tak terlihat dan mimpi buruk yang menghantuinya, Rega memutuskan untuk naik ke loteng. Debu tebal menyelimuti setiap sudut. Ia menemukan sebuah kotak kayu tua di sudut, tersembunyi di balik tumpukan barang-barang usang. Di atasnya, tertulis nama dengan tulisan tangan anak-anak: “Kenangan Andra.”

Jantung Rega berpacu. Andra? Nama yang sama. Kakaknya bernama Andra? Mengapa ia tidak ingat? Dan apa hubungan semua ini dengan “Andra” yang kini tinggal di rumahnya?

Rega membuka kotak itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya, ada beberapa foto usang. Salah satunya, foto seorang anak laki-laki dengan senyum lebar, persis seperti senyum Andra yang selama ini ia kenal. Di bagian belakang foto, tulisan tangan ibunya: “Andra, 8 tahun, di pinggir sungai.”

Dan di bawahnya, ada sebuah artikel koran tua, kertasnya sudah menguning. Judulnya terpampang jelas: “Anak Hilang Ditelan Arus Sungai, Diduga Tenggelam.” Tanggal kejadian: 25 tahun yang lalu. Persis saat Rega berusia 5 tahun.

Seluruh kepingan puzzle mulai bersatu dalam pikiran Rega, membentuk gambaran yang mengerikan. Kakaknya, Andra. Tenggelam. Kenangan traumatis yang ia tekan begitu dalam hingga ia melupakannya. Dan kini, Andra, sosok backpacker yang muncul entah dari mana, persis seperti mimpi dan bisikan-bisikan yang menghantuinya.

Rega merasakan kengerian yang luar biasa. Apakah Andra yang ia ajak bicara, yang ia ajak makan, yang ia ajak bermain catur… adalah kakaknya yang telah lama meninggal? Apakah ia telah menciptakan ilusi ini sebagai mekanisme pertahanan diri dari rasa kehilangan yang tak pernah ia hadapi? Pertanyaan itu lebih mengerikan dari apa pun yang pernah ia bayangkan.

BAB 5 – Eksistensi Digital

Setelah penemuan mengerikan di loteng, pikiran Rega semakin kalut. Andra adalah kakaknya. Kakak yang ia lupakan. Kakak yang meninggal dunia 25 tahun lalu. Mustahil. Lalu siapa Andra yang ada di rumahnya sekarang? Sosok yang begitu nyata, yang bisa disentuh, diajak bicara, bahkan bermain catur. Bukankah halusinasi tidak bisa berinteraksi secara fisik?

Namun, pernyataan Bu Siti, Dino, dan Bu Aminah yang tidak melihat Andra adalah bukti kuat. Semakin ia berpikir, semakin ia tenggelam dalam pusaran pertanyaan tanpa jawaban. Rasa takut kini bercampur dengan keinginan kuat untuk mencari tahu kebenaran.

Rega mulai curiga. Jika Andra adalah imajinasinya, mengapa ia memiliki nama lengkap yang ia dengar dari Andra sendiri: “Andra B. Mahesa”? Itu nama yang terlalu spesifik untuk sebuah delusi. Dan ia pernah menyebut soal petualangannya di Asia Tenggara, tempat-tempat yang sangat detail. Bagaimana mungkin delusinya bisa menciptakan detail-detail seperti itu?

Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benaknya. Media sosial. Andra pernah menyebutkan bahwa ia memiliki akun media sosial dan sering mengunggah foto-foto perjalanannya. Jika Andra memang nyata, akun itu pasti ada dan aktif. Jika tidak, maka ini adalah bukti kuat bahwa Andra hanyalah imajinasi.

Dengan tangan gemetar, Rega menyalakan laptopnya. Ia membuka salah satu platform media sosial populer dan mengetikkan “Andra B. Mahesa” di kolom pencarian. Jantungnya berdebar kencang. Ia berharap tidak menemukan apa-apa, berharap ini adalah akhir dari kegilaan ini.

Namun, yang muncul di layar adalah sebuah profil. Andra B. Mahesa. Ada foto profil, seorang pemuda dengan rambut gondrong sebahu, tas ransel di punggungnya, tersenyum lebar di depan kuil kuno. Persis seperti Andra yang ada di rumahnya.

Rega merasa campur aduk antara lega dan ngeri. Lega karena Andra memiliki eksistensi di dunia maya, ngeri karena hal itu semakin mengacaukan batas antara fantasi dan realita. Ia mulai menjelajahi profil itu. Ada puluhan foto yang diunggah, menampilkan pemandangan dari berbagai negara di Asia Tenggara: Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam. Deskripsi fotonya penuh dengan cerita perjalanan yang penuh semangat, petualangan tak terduga, dan kadang keluh kesah tentang kehabisan uang, persis seperti yang Andra ceritakan padanya.

Ada satu foto di mana Andra sedang makan mie di sebuah warung kecil di Vietnam. Rega ingat Andra pernah bercerita tentang mie itu. Ada foto lain di sebuah pasar malam di Thailand, dengan Andra memegang seekor belalang goreng. Andra pernah bercanda tentang rasanya. Semua detail itu, semua cerita itu, terekam dengan jelas di akun media sosial ini.

Rega merasa pusing. Bagaimana ini bisa terjadi? Jika Andra hanya delusi, bagaimana bisa delusinya memiliki jejak digital yang begitu lengkap dan otentik? Atau, mungkinkah Andra sebenarnya nyata, dan tetangga-tetangganya yang berhalusinasi? Pikiran itu terasa absurd, tapi ia mulai mempertimbangkan segala kemungkinan.

Ia mencoba mengirim pesan pribadi ke akun Andra. “Andra, ini Rega. Apakah kau bisa membalas pesanku?” Ia menunggu. Tidak ada balasan.

Rega menelusuri daftar teman di akun Andra. Ada banyak. Ia mencoba mengirim pesan ke beberapa teman yang terlihat aktif. “Maaf mengganggu, saya Rega. Apakah Anda mengenal Andra B. Mahesa? Saya sedang mencari tahu keberadaannya.”

Setelah beberapa menit, salah satu teman Andra membalas. Pesan itu hanya terdiri dari beberapa kata, tapi berhasil membekukan darah Rega.

“Maaf, Anda salah orang. Andra B. Mahesa sudah meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan saat backpacking di Thailand. Kami semua sangat kehilangan.”

Rega terhuyung mundur dari laptopnya, seolah disengat listrik. Meninggal dua tahun lalu? Kecelakaan saat backpacking? Thailand?

Berarti, Andra yang ini, Andra B. Mahesa yang memiliki akun media sosial, memang sudah tidak ada. Tapi Andra yang kini tinggal di rumahnya, yang makan bersamanya, yang bermain catur dengannya, yang bercerita tentang petualangan… siapa dia?

Apakah ini berarti Andra yang ia lihat adalah hantu? Roh kakaknya yang entah bagaimana terhubung dengan identitas backpacker yang kebetulan memiliki nama yang sama dan nasib yang serupa? Atau apakah ini semua adalah lapisan lain dari delusi yang lebih dalam?

Rega kembali melihat layar laptop. Foto Andra B. Mahesa terpampang di sana, tersenyum ceria. Di bawah foto, ada banyak komentar belasungkawa, ucapan selamat jalan, dan kenangan indah dari teman-temannya. Tanggal postingan terakhir Andra adalah dua tahun yang lalu. Namun, di antara komentar-komentar lama itu, Rega melihat sesuatu yang aneh.

Sebuah komentar baru, hanya beberapa jam yang lalu. Sebuah balasan dari akun Andra B. Mahesa, membalas komentar lama dari salah satu temannya. “Aku baik-baik saja, kawan. Hanya sedang istirahat sebentar.”

Jantung Rega mencelos. Jika Andra B. Mahesa sudah meninggal dua tahun lalu, bagaimana bisa akunnya membalas komentar baru? Siapa yang mengelola akun itu?

Rega menatap sekeliling rumah. Sunyi. Andra tidak ada. Atau mungkin ada, tapi ia tidak bisa melihatnya. Pikirannya berputar liar. Ada kemungkinan ia yang secara tak sadar mengelola akun itu sendiri, mengisi setiap detail, setiap foto, setiap cerita, sebagai bagian dari delusi yang kompleks. Sebuah mekanisme pertahanan diri yang teramat canggih, menciptakan sebuah eksistensi digital untuk sosok imajiner.

Namun, bagaimana bisa ia menciptakan detail perjalanan yang begitu akurat, yang cocok dengan apa yang Andra ceritakan kepadanya? Kecuali… ia pernah membaca atau mendengar cerita-cerita itu sebelumnya, dan kemudian otaknya mengolahnya menjadi narasi yang utuh bersama Andra.

Atau… mungkinkah Andra yang ia lihat ini adalah entitas yang lebih dari sekadar halusinasi? Sebuah keberadaan yang samar, yang bisa memanipulasi kenyataan, bahkan dunia digital? Sebuah pikiran yang menggelikan, namun di tengah kekacauan ini, tidak ada yang tidak mungkin.

Rega menutup laptopnya dengan gemetar. Perbedaan antara kenyataan dan khayalan semakin kabur. Ia merasa seperti sedang berjalan di atas jembatan tipis di atas jurang yang tak berdasar. Dan di bawah sana, ia melihat bayangan kakaknya, Andra, melambaikan tangan, tersenyum, mengundangnya untuk terjun ke dalam kekosongan yang gelap.

BAB 6 – Pintu yang Tak Pernah Dibuka

Pagi itu, Rega terbangun dengan perasaan hampa. Informasi dari media sosial Andra B. Mahesa telah menguras seluruh energinya. Fakta bahwa Andra yang ia kenal telah meninggal dua tahun lalu, namun akunnya tetap aktif, membuat setiap inci pikirannya dipenuhi tanda tanya. Ia merasa terjebak dalam jaring laba-laba yang dirajut oleh ingatannya sendiri, atau mungkin, oleh kekuatan tak terlihat.

Ia mencoba berinteraksi dengan Andra seperti biasa. Andra muncul, tersenyum, dan bercerita tentang rencana perjalanannya selanjutnya. Rega mendengarkan, mencoba menahan diri untuk tidak bertanya terlalu banyak, tidak mengungkap apa yang sudah ia ketahui. Ia ingin mengamati, mencari celah, bukti yang tak terbantahkan.

“Mas, saya rasa saya akan melanjutkan perjalanan saya lusa. Tapi saya ingin mengucapkan terima kasih atas tumpangan dan kebaikan Mas Rega. Saya tidak akan melupakan ini,” kata Andra saat mereka sarapan.

Rega hanya mengangguk, tenggorokannya tercekat. Perjalanan? Ke mana? Kembali ke alam kematian?

Setelah Andra pergi ke kamar untuk berkemas, Rega merasa dorongan kuat untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sejak Andra datang. Ia ingin memeriksa kamar tamu, kamar yang selama ini ditempati Andra. Ia ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri, apakah ada jejak nyata dari kehadiran Andra di sana.

Dengan langkah ragu, Rega menaiki tangga. Pintu kamar tamu tertutup rapat. Ini adalah kamar yang dulunya sering ia gunakan saat kecil untuk bermain atau membaca. Setelah orang tuanya meninggal, kamar itu jarang dibuka, kecuali untuk dibersihkan sesekali. Andra bilang ia selalu tidur di kamar ini.

Ketika Rega memutar kenop pintu, tangannya sedikit gemetar. Ia mendorong pintu itu perlahan. Sebuah bau apak, khas ruangan tertutup lama, menyeruak. Jendela kamar tertutup rapat, gordennya usang dan berdebu. Sinar matahari yang minim masuk melalui celah, menampakkan partikel debu yang menari-nari di udara.

Kamar itu… kosong.

Tidak ada tas ransel Andra, tidak ada pakaian yang tergantung, tidak ada buku-buku yang ia baca, tidak ada ponsel yang selalu ia genggam. Kasur tertutup seprai putih yang kusam dan berdebu, seolah tak pernah disentuh. Tidak ada bantal, tidak ada selimut. Tidak ada jejak sama sekali bahwa kamar itu pernah dihuni oleh seseorang.

Rega menyapu pandangannya ke seluruh ruangan, mencari sesuatu, apa saja, yang bisa membuktikan bahwa Andra benar-benar ada. Tapi tidak ada. Kamar itu persis seperti yang dilihat Bu Siti tempo hari: kosong dan berdebu, seperti tak pernah digunakan.

Lutut Rega lemas. Ia bersandar di kusen pintu, merasakan detak jantungnya berpacu tak keruan. Jadi, selama ini, ia bicara dengan siapa? Tidur di rumah yang sama dengan siapa? Semua interaksi, semua tawa, semua cerita… apakah itu semua hanya ilusi yang teramat sempurna?

Ia memejamkan mata, mencoba mengingat. Ingatannya tentang Andra sangat detail. Aroma sabun Andra, suara tawanya yang renyah, bahkan kerutan di dahi Andra saat sedang berpikir keras. Bagaimana mungkin semua itu hanya khayalan?

Rega melangkah masuk ke dalam kamar, mengabaikan debu yang menempel di sepatunya. Ia berjalan ke arah cermin tua yang tergantung di dinding. Cermin itu kusam, pantulannya buram. Rega membersihkan permukaannya dengan ujung lengan bajunya.

Ketika pantulan dirinya terlihat lebih jelas, Rega terpaku. Di permukaan cermin, di antara butiran debu, ada coretan yang tampak seperti ditulis dengan jari. Huruf-huruf itu berantakan, namun cukup jelas terbaca.

“Aku ada jika kau percaya.”

Kalimat yang sama yang pernah ia dengar dari bisikan Andra di cermin kamar mandi. Tubuh Rega bergetar. Apakah ini adalah pesan dari alam lain? Atau ini adalah bagian dari delusinya sendiri, sebuah pesan subliminal dari alam bawah sadarnya yang kacau?

Rega merasa seperti sedang menatap lubang hitam. Semakin ia mencoba memahami, semakin ia merasa ditarik masuk ke dalam kegelapan. Ia tidak bisa lagi membedakan yang nyata dari yang khayalan. Andra adalah kakaknya yang meninggal. Andra adalah seorang backpacker yang meninggal. Andra ada di akun media sosial. Andra tidak terlihat oleh orang lain. Andra… ada jika ia percaya.

Pikiran Rega terasa penuh, sesak. Ia merasa seperti ada dua Andra di dalam kepalanya, bertarung memperebutkan kendali atas realitasnya. Andra yang nyata, kakaknya yang telah tiada. Dan Andra yang ia ciptakan, sebagai pelarian dari kesepian dan kehilangan.

Rega menatap cermin itu lagi. Pantulan dirinya terlihat rapuh, matanya kosong. Ia mengangkat tangannya, menyentuh coretan itu. Dingin. Tidak ada sensasi apa pun. Seolah-olah coretan itu pun adalah bagian dari ilusi.

Ia melangkah mundur dari cermin, mundur dari kamar yang kosong itu. Pintu yang tak pernah dibuka ini menyimpan kebenaran yang terlalu menyakitkan untuk diterima. Bahwa ia sendirian. Bahwa ia telah menciptakan teman khayalan untuk mengisi kekosongan. Bahwa ia mungkin, telah kehilangan akal sehatnya.

Rega merasa ingin berteriak, ingin menangis, ingin menghilang. Ia ingin Andra yang nyata. Kakaknya yang dulu. Bukan sosok samar yang hanya ada jika ia percaya. Tapi Andra yang nyata telah tiada, 25 tahun yang lalu. Dan Andra yang ia ciptakan, kini menjadi bukti nyata kegilaannya.

Ia meninggalkan kamar itu, menutup pintunya perlahan, seolah menyegel kembali rahasia kelam di dalamnya. Rumah itu terasa lebih besar, lebih kosong, dan lebih menakutkan dari sebelumnya. Dan Rega, untuk pertama kalinya, merasa benar-benar kesepian. Kesepian yang menyesakkan, yang tak bisa lagi diisi oleh ilusi apa pun.

BAB 7 – Kenangan yang Mengikat

Malam itu, setelah penemuan kamar kosong dan pesan di cermin, Rega memutuskan untuk menghadapi masa lalunya sepenuhnya. Ia tidak bisa lagi mengabaikan lubang hitam di ingatannya, lubang yang diisi oleh sosok bernama Andra. Ia meraih album foto keluarga lama yang jarang ia sentuh, dan sebuah kotak kenang-kenangan yang telah lama terkunci di lemari.

Di dalam album, ada beberapa foto yang ia kenali, namun banyak juga yang terasa asing. Ada foto orang tuanya yang masih muda, foto-foto masa kecilnya, dan di beberapa halaman, muncul wajah seorang anak laki-laki dengan senyum cerah. Wajah itu persis seperti Andra yang ia “lihat” sekarang. Di balik salah satu foto, tulisan tangan ibunya, “Andra, kakak Rega, liburan di Puncak.”

Jantung Rega mencelos. Jadi benar, kakaknya bernama Andra. Bukan hanya sebuah kebetulan nama. Ingatan yang selama ini terblokir, mulai perlahan-lahan kembali. Fragmen-fragmen kenangan yang samar, kini menjadi lebih jelas. Ia ingat Andra adalah kakak yang perhatian, yang selalu melindunginya saat kecil. Andra mengajarkannya bermain sepeda, menemaninya saat ia takut gelap, dan selalu membelanya dari anak-anak nakal di lingkungan.

Rega membuka kotak kenang-kenangan. Di dalamnya ada beberapa barang kecil: sebuah mobil-mobilan kayu yang pernah dibuatkan Andra untuknya, sebuah buku cerita anak-anak yang sering dibacakan Andra sebelum tidur, dan… sebuah sketsa pensil kasar. Gambar dua anak laki-laki sedang bermain di tepi sungai. Di bawahnya, tulisan tangan Andra: “Rega & Andra, sahabat selamanya.”

Air mata Rega menetes. Ia mulai mengingat hari itu. Hari yang mengerikan. Hari di mana ia dan Andra bermain di tepi sungai yang berarus deras. Hari di mana Andra… hilang. Rega kecil, yang baru berusia lima tahun, berdiri di tepi sungai, melihat kakaknya terseret arus, menjerit-jerit meminta tolong, namun tak ada yang mendengar. Ia berlari pulang, menangis histeris, mencoba menceritakan apa yang terjadi, tapi orang tuanya sibuk mencari Andra di tempat lain. Jasad Andra tidak pernah ditemukan.

Kematian Andra menghancurkan keluarga Rega. Orang tuanya terpukul, rumah yang dulu penuh tawa menjadi sunyi. Untuk melindungi Rega kecil dari trauma, orang tuanya berusaha keras untuk tidak membicarakan Andra. Kenangan itu ditekan, dikubur dalam-dalam, hingga Rega nyaris melupakannya. Trauma itu terlalu besar untuk ditanggung oleh seorang anak kecil.

Kini, semuanya menjadi jelas. Andra yang muncul di hidupnya adalah manifestasi dari rasa kehilangan yang terpendam, dari trauma yang tidak pernah disembuhkan. Sosok backpacker yang kesepian itu, yang kehabisan uang, adalah cerminan dari jiwanya yang hampa. Cerita-cerita petualangan Andra adalah impian kebebasan Rega yang tak pernah terwujud. Semuanya adalah bagian dari mekanisme pertahanan dirinya yang rumit, sebuah cara untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh kakaknya.

Namun, pertanyaan terakhir masih menggantung: Mengapa foto dan aktivitas di media sosial Andra B. Mahesa masih berlangsung, bahkan membalas komentar baru, jika sosok aslinya sudah meninggal dua tahun lalu dan Andra yang ia lihat adalah delusi?

Ada dua kemungkinan yang paling logis.

Pertama, yang paling mungkin dan paling menyakitkan bagi Rega: Ia yang secara tak sadar mengelola akun itu sendiri. Dalam kondisi psikologisnya yang kacau, Rega mungkin secara tidak sadar mengakses akun Andra B. Mahesa yang sudah tidak aktif (mungkin ia pernah melihat Andra B. Mahesa di berita atau di internet sebelumnya, dan detail itu tersimpan di alam bawah sadarnya). Kemudian, sebagai bagian dari delusi kompleksnya, ia secara otomatis mengisi akun itu dengan kenangan, foto-foto, dan cerita yang ia ciptakan sendiri, atau yang ia ambil dari sumber lain dan disesuaikan dengan narasinya tentang Andra. Ini adalah bentuk kontrol atas realitas yang telah ia ciptakan, sebuah cara untuk menjaga agar “Andra” tetap hidup di mata dunia. Balasan komentar terbaru itu bisa jadi adalah hasil dari Rega yang, dalam keadaan tidak sadar, membalas komentar tersebut, meyakini bahwa ia sedang berinteraksi dengan orang lain, padahal hanya bagian dari delusinya.

Kemungkinan kedua, yang lebih menyeramkan namun kurang masuk akal secara medis: Andra yang ia lihat ini adalah entitas gaib yang entah bagaimana terhubung dengan akun media sosial orang mati. Ini adalah penjelasan yang lebih mendekati horor supranatural. Arwah kakaknya, atau entitas lain yang mengambil wujud kakaknya, entah bagaimana memiliki kemampuan untuk memanipulasi teknologi dan melanjutkan jejak digital orang lain. Jika ini yang terjadi, maka Rega tidak hanya berhalusinasi, tetapi juga menjadi target dari kekuatan yang tak bisa ia pahami. Namun, Rega adalah orang yang logis, dan ia tahu bahwa penjelasan pertama lebih mungkin terjadi.

Pikiran bahwa ia sendiri yang mungkin secara tidak sadar mengelola akun media sosial “Andra” itu sangat menakutkan. Itu berarti ia telah tenggelam begitu dalam dalam delusinya, hingga melampaui batas-batas realitas fisiknya. Ia tidak hanya menciptakan Andra sebagai teman di rumahnya, tetapi juga menciptakan eksistensi digital untuknya, agar ilusi itu terasa lebih nyata, lebih sulit untuk dibantah.

Rega memegang foto kakaknya, Andra, yang asli. Wajahnya begitu mirip dengan Andra yang ia lihat setiap hari. Ini bukan kebetulan. Ini adalah panggilan dari masa lalu, dari trauma yang tak terobati. Jiwanya yang kesepian, hatinya yang merindukan sosok kakak, telah menciptakan kembali Andra.

Kesedihan yang mendalam menghantamnya. Ia telah begitu lama menyangkal kesedihan ini, mengubur rasa sakit itu. Dan kini, rasa sakit itu kembali, dalam wujud “tamu tak terlihat” yang mengisi kekosongan hidupnya.

Rega melihat sekeliling kamarnya. Sunyi. Tidak ada Andra. Selama ini, ia berbicara dengan kekosongan. Ia tidak pernah benar-benar merasa sendirian, karena Andra selalu ada. Tapi sekarang, mengetahui kebenaran itu, kesendirian itu terasa begitu menusuk.

Ia harus memutuskan. Apakah ia akan terus membiarkan delusi ini menguasai dirinya, ataukah ia akan menghadapi kenyataan, betapa pun pahitnya? Pilihan itu adalah pertarungan terberat dalam hidupnya.

BAB 8 – Aku Tak Pernah Pergi

Pagi yang cerah menyelimuti rumah Rega, namun cahaya itu tak mampu menembus kegelapan di dalam dirinya. Setelah malam penuh pencerahan yang menyakitkan, Rega kini menghadapi realitas yang telanjang dan brutal: Andra adalah manifestasi dari duka yang tak terucap, sebuah ilusi yang diciptakan oleh pikirannya untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh kakaknya yang telah lama tiada. Fakta bahwa ia mungkin secara tak sadar mengelola akun media sosial “Andra B. Mahesa” adalah pukulan telak yang mengonfirmasi sejauh mana delusinya telah merasuk.

Rega duduk di kursi taman belakang, di bawah pohon mangga tua. Angin berdesir lembut, menggerakkan dedaunan. Di kursi kosong di hadapannya, ia melihat Andra. Tersenyum, dengan tas ranselnya yang usang tergeletak di samping.

“Mas, saya berangkat sekarang,” kata Andra, suaranya terdengar lembut, penuh rasa terima kasih. “Terima kasih untuk semuanya. Saya tidak akan pernah melupakan kebaikan Mas.”

Rega menatap Andra. Matanya berkaca-kaca. Ia melihat Andra dengan segala detailnya: rambut gondrong sebahu, senyum lebar, pakaian sederhana yang selalu ia kenakan. Kali ini, Rega tidak menyangkal. Ia tahu Andra di hadapannya hanyalah ilusi. Namun, rasanya tetap nyata, seolah ia bisa menyentuhnya.

“Kau… kau akan pergi ke mana?” tanya Rega, suaranya bergetar.

Andra tersenyum. “Entahlah, Mas. Mungkin ke tempat yang saya selalu impikan. Ke tempat di mana tidak ada batasan, tidak ada kekhawatiran. Ke tempat di mana saya bisa bebas.”

Kata-kata itu menyentuh hati Rega. Kebebasan. Sesuatu yang sangat ia inginkan, namun tak pernah berani ia raih. Kebebasan yang Andra, baik yang asli maupun yang ilusi, miliki.

“Aku… aku akan merindukanmu,” kata Rega, suaranya nyaris tak terdengar.

Andra mengangguk. “Saya tahu. Tapi ingat, Mas. Saya ada jika kau percaya. Saya tidak akan pernah benar-benar pergi.”

Rega terdiam. Ia tahu ini adalah perpisahan. Perpisahan dengan ilusi yang telah menemaninya, mengisi hari-harinya, bahkan jika itu berarti ia harus mengakui kegilaannya sendiri.

Andra berdiri. Ia melambaikan tangan ke arah Rega. Senyumnya tetap di sana, penuh kedamaian. Lalu, perlahan-lahan, tubuh Andra mulai memudar. Seperti asap yang tertiup angin, sosoknya menjadi transparan, lalu menghilang sepenuhnya, meninggalkan kursi kosong di bawah pohon mangga.

Rega menatap kursi kosong itu. Air matanya menetes, mengalir di pipinya. Ia tidak lagi merasa takut, hanya sedih. Sedih karena harus melepaskan ilusi yang begitu nyata baginya. Tapi ia tahu, ini adalah langkah pertama menuju penyembuhan. Ia harus menghadapi kesedihan yang telah lama ia kubur.

Dari kejauhan, di balik pagar, Bu Aminah dan Bu Siti memperhatikan. Bu Aminah menatap Rega dengan prihatin. Rega sedang duduk sendirian di kursi taman, tersenyum ke arah bangku kosong, seolah sedang berbicara dengan seseorang. Kemudian, ia terlihat mengusap air mata.

“Kasihan Rega,” bisik Bu Aminah pada Bu Siti. “Sepertinya ia masih belum sembuh. Ibu lihat dia bicara sendiri lagi.”

Bu Siti mengangguk. “Semoga saja ia segera menemukan ketenangan.”

Rega tidak peduli apa yang dipikirkan tetangganya. Ia kini sendirian, tetapi dengan kesadaran yang baru. Ia telah menghadapi trauma masa lalunya. Ia telah memahami bahwa Andra adalah cerminan dari kehilangan yang mengikatnya.

Di layar laptop di dalam rumah, yang kini telah dingin karena Rega meninggalkannya begitu saja, akun media sosial Andra B. Mahesa menampilkan pemberitahuan baru. Sebuah balasan komentar, yang baru saja terposting.

“Aku tak pernah pergi.”

Narasi terakhir mengambang di udara:

“Terkadang kehilangan tak membuat kita lupa. Tapi membuat kita menciptakan ulang.”

Twist penutup ambigu:

Di layar laptop, akun Andra B. Mahesa membalas komentar orang lain. Siapa yang membalas? Apakah itu Rega yang melakukannya secara tidak sadar, dalam keadaan tidur atau setengah sadar, menjaga agar ilusi itu tetap hidup di dunia digital? Atau apakah ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan, yang membuat jejak digital seorang yang telah tiada tetap aktif, seolah ia benar-benar tak pernah pergi?

Pada layar laptop, menunjukkan balasan komentar yang baru muncul. Jempol dan jari-jari keyboard terukir dengan jelas. Namun, tidak ada tangan yang terlihat. Hanya teks yang muncul, seolah ditulis oleh udara. Pertanyaan itu tetap menggantung di benak penonton, membuat mereka bertanya-tanya: apakah Andra benar-benar ilusi Rega, ataukah ada kejanggalan dunia maya yang lebih menyeramkan dari yang kita bayangkan?


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)