Masukan nama pengguna
Bab 1 – Ruko Tiga Pintu
Angin malam di pinggiran kota terasa dingin dan membawa aroma lembab dari tanah basah. Empat bayangan remaja melangkah ragu, namun dengan adrenalin membuncah, menuju sebuah bangunan yang menjulang sendirian di tengah kegelapan, tersembunyi di balik semak belukar yang menjulang dan pagar besi berkarat. Ruko itu, dengan tiga pintu identik yang tertutup rapat, tampak seperti mulut raksasa yang siap menelan apa saja yang berani mendekat.
Reno, dengan jaket jeans usang dan rambut gondrong yang sedikit berantakan, berjalan paling depan. Sorot matanya yang tajam menyapu sekeliling, mencari celah untuk menembus ke dalam. Dia adalah pemimpin tak resmi kelompok itu, seorang yang skeptis parah dan percaya bahwa semua kisah horor hanyalah bualan untuk menakut-nakuti anak kecil. Baginya, uji nyali ini adalah pembuktian: tidak ada hantu, hanya imajinasi dan sugesti. "Santai aja, guys. Ini cuma ruko tua. Nggak ada apa-apa," katanya, suaranya sedikit lebih keras dari yang seharusnya, seolah meyakinkan dirinya sendiri.
Di belakangnya, Dinda bergerak lincah, kamera mirrorless di tangannya tak pernah lepas. Matanya berbinar, bukan karena takut, melainkan karena ambisi. Konten horor ekstrem adalah tiketnya menuju popularitas yang diimpikannya. Akun YouTube-nya, "GhostHunters ID," stagnan di angka ribuan. Ini, ruko angker yang pernah jadi lokasi pembantaian brutal tahun '98, adalah kesempatan emas untuk jutaan views. "Ren, ini beneran lokasi pembantaian, kan? Udah double check info kita?" tanyanya, nada suaranya bersemangat, melupakan bahwa mereka akan masuk ke tempat paling menakutkan di kota itu.
Tegar, si pembawa suasana, berjalan canggung di samping Dinda. Perutnya terasa mulas, tapi dia mencoba menutupinya dengan lelucon garing. "Kalau tiba-tiba ada pocong bilang 'assalamualaikum', gue lari duluan ya, nggak peduli kalian!" ucapnya, berusaha mencairkan ketegangan yang mulai merayap. Ia membawa tas punggung berisi snack dan minuman, juga senter cadangan. Tubuhnya yang bongsor dan sikapnya yang periang kontras dengan rasa takut yang memilin perutnya. Dia ikut hanya karena tidak enak menolak ajakan Reno.
Yang paling belakang adalah Ayu. Gadis itu berjalan paling lambat, matanya terus-menerus menatap sekeliling, bukan dengan rasa ingin tahu, melainkan dengan kegelisahan. Sejak mereka tiba di jalanan sepi menuju ruko ini, bulu kuduknya sudah merinding. Ayu, dengan intuisinya yang kuat dan kepekaan spiritual yang tak bisa dijelaskan, merasakan aura yang sangat kelam memancar dari ruko itu, seperti lubang hitam yang siap menyedot semua kebahagiaan. "Aku kok ngerasa nggak enak ya, Ren," bisiknya, suaranya nyaris hilang ditelan angin.
Reno menoleh sekilas, senyum skeptis terlukis di bibirnya. "Perasaan kamu doang, Yu. Kebanyakan nonton film horor," sahutnya, menganggapnya enteng.
Mereka telah mendengar berbagai cerita tentang ruko itu. Penduduk sekitar menghindari membahasnya, seolah nama ruko itu sendiri adalah kutukan. Seorang pemilik warung tua di ujung jalan, tempat mereka tadi membeli air minum, sempat menatap mereka dengan tatapan iba sekaligus peringatan. "Anak-anak muda, jangan main-main di sana. Ada yang nggak pulang, ada yang pulang tapi jiwanya udah nggak sama," bisiknya, suaranya serak dan mata tuanya penuh kesedihan. Reno hanya tertawa saat itu, menganggapnya cerita seram klasik untuk menakut-nakuti. Namun, bisikan itu kini kembali terngiang di benak Ayu, menghantui setiap langkahnya.
Ruko itu dulunya adalah sebuah penginapan kecil, jauh sebelum tragedi tahun 1998. Pada malam nahas itu, sebuah geng kriminal kejam menjadikan tempat itu lokasi pembantaian sadis belasan orang yang tak bersalah—sebuah kejahatan yang tidak pernah sepenuhnya terungkap, pelakunya hanya beberapa yang tertangkap, sisanya lenyap ditelan kegelapan. Sejak saat itu, ruko tersebut kosong, terbengkalai, dan menjadi sarang cerita-cerita horor yang mengerikan. Tidak ada yang berani membelinya, apalagi tinggal di dalamnya.
"Oke, guys, checkpoint pertama: pagar," Reno berbisik, menunjuk pagar besi tinggi yang berkarat. Dinda sudah siap dengan kameranya. Tegar sibuk menyalakan senter super terangnya. Ayu hanya terdiam, tatapannya terpaku pada salah satu jendela lantai dua, di mana ia merasa melihat bayangan sekilas, namun langsung sirna.
Reno memanjat pagar dengan mudah. Dinda mengikutinya, hati-hati menjaga kameranya. Tegar, dengan tubuhnya yang besar, sedikit kesulitan, membuat suara kresek-kresek dari semak belukar. Ayu terakhir, dengan bantuan Tegar, melangkahi pagar dan mendarat di tanah yang lembab. Udara di dalam pagar terasa berbeda, lebih dingin, lebih berat, seolah kelembaban itu bukan hanya dari embun, tapi dari sesuatu yang lain.
"Oke, rekam ya, Din!" Reno memberi isyarat. Dinda mengangguk antusias. Reno mencoba salah satu pintu depan. Terkunci. Dia mencoba pintu kedua. Juga terkunci. Pintu ketiga, di ujung, sedikit terbuka, seolah mengundang. "Bingo!" seru Reno, pelan.
Sebelum mereka melangkah masuk, Tegar menoleh ke belakang, ke arah jalanan yang sepi. Ada sesuatu yang janggal. Dia merasa seperti ada yang mengawasi mereka dari kejauhan, tetapi tidak ada siapa-siapa. Hanya pohon-pohon tinggi yang bergoyang ditiup angin, seperti jari-jari raksasa yang menunjuk ke arah mereka.
"Guys, kalian ngerasa ada yang ngelihatin kita?" tanya Tegar, suaranya sedikit bergetar.
Dinda dan Reno sibuk dengan persiapan. "Udah, Ge, jangan bikin parno duluan," balas Dinda, tanpa menoleh.
Ayu menatap ke arah yang Tegar tunjuk. Ia tidak melihat apa-apa, tapi merasakan dingin yang sama seperti di warung tadi, dingin yang tak bisa dijelaskan oleh cuaca. Mata pemilik warung tua itu terlintas di benaknya, tatapan penuh peringatan.
"Ayo, masuk!" Reno mendorong pintu ketiga perlahan. Suara engsel berkarat yang melengking memecah keheningan malam, seolah ruko itu merintih kesakitan karena diganggu. Aroma apak dan debu yang tebal langsung menyergap indra penciuman mereka. Udara di dalam terasa pengap, berat, seolah tidak pernah ada kehidupan yang bernapas di sana selama puluhan tahun.
Ini dia. Petualangan mereka, atau mungkin neraka mereka, baru saja dimulai.
Bab 2 – Kamera, Lampu, Mula!
Pintu ketiga yang berderit terbuka menampilkan sebuah ruang depan yang gelap dan sunyi. Aroma apak dan debu tebal langsung menyergap indra penciuman mereka, seolah ruko itu telah menahan napas selama puluhan tahun. Udara terasa berat, pengap, dan dingin, bahkan lebih dingin dari udara malam di luar. Senter-senter mereka menari di kegelapan, memproyeksikan bayangan-bayangan aneh di dinding yang kusam dan mengelupas.
"Oke, siap, Din? Action!" Reno memberi isyarat. Dinda sudah menekan tombol rekam, kameranya menangkap setiap sudut ruangan. Cahaya dari ring light kecil di kameranya menerangi partikel-partikel debu yang menari-nari di udara, menciptakan kesan sureal yang aneh.
"Woah, ini beneran berasa horornya," Tegar berbisik, suaranya tercekat. Ia melangkah hati-hati, senternya sesekali menyorot ke atas, ke langit-langit yang dipenuhi sarang laba-laba raksasa. "Baunya aneh, ya? Kayak... bau besi karatan campur tanah basah."
Ayu mengangguk pelan. "Lebih dari itu, Ge. Ada bau amis samar-samar," gumamnya, hidungnya berkerut. Ia merasakan sensasi geli di kulitnya, seolah ada serangga tak kasat mata yang merayap. Ia tahu itu bukan serangga.
Ruang depan itu ternyata adalah area lobby kecil dengan sebuah meja resepsionis yang sudah hancur lebur, terbuat dari kayu yang lapuk dan retak. Kursi-kursi tamu yang tadinya nyaman kini teronggok dalam keadaan compang-camping, busa-busanya menyembul keluar seperti isi perut yang tumpah. Reno menyorotkan senternya ke arah dinding, menunjukkan bercak-bercak noda gelap yang tak bisa diidentifikasi, seolah ada sesuatu yang pernah tumpah di sana bertahun-tahun lalu dan mengering.
"Lihat ini, Din. Pasti bekas-bekas kejadian itu," kata Reno, mencoba terdengar objektif, namun ada sedikit getaran dalam suaranya.
"Keren! Ini autentik banget!" Dinda berseru antusias, merekam setiap detail dengan seksama. Dia bahkan berani menyentuh meja resepsionis yang berdebu itu, membuat debu beterbangan. "Asli, ini bakalan viral!"
Mereka bergerak masuk lebih dalam, melewati lorong sempit yang gelap. Lantainya terasa lengket di beberapa bagian, meskipun mereka tahu itu hanyalah akumulasi debu dan kotoran. Setiap langkah kaki mereka bergema di ruangan yang kosong dan sunyi, menciptakan ilusi bahwa ada langkah kaki lain yang mengikuti di belakang mereka.
"Gue denger suara," Tegar berbisik, berhenti mendadak.
Reno dan Dinda menoleh. "Suara apa?" tanya Reno.
"Nggak tahu. Kayak... gesekan. Dari sana," Tegar menunjuk ke arah ujung lorong, di mana sebuah pintu tertutup rapat.
Reno mendekati pintu itu, memberanikan diri. Dia mencoba pegangannya, yang terasa dingin dan berkarat. Pintu itu terkunci. "Mungkin angin," Reno memutuskan, namun ia bisa merasakan bulu kuduknya sedikit merinding.
Ayu, di sisi lain, tidak hanya mendengar gesekan. Ia mendengar bisikan-bisikan samar, seperti banyak suara yang tumpang tindih, namun terlalu pelan untuk bisa dipahami. Seperti orang-orang yang berbisik di sudut-sudut ruangan, menyembunyikan rahasia. Bisikan itu seolah mengelilinginya, membuatnya merasa tidak sendirian di tempat itu. Ia menggigil, mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya sugesti.
Mereka menemukan sebuah tangga menuju lantai dua. Tangga itu terbuat dari kayu tua yang sudah keropos, dan setiap langkah di atasnya mengeluarkan suara derit yang melengking, seolah tangga itu sendiri berteriak protes. Ayu adalah yang terakhir melangkah. Saat kakinya menginjak anak tangga pertama, sensasi dingin yang menusuk tulang langsung merambat ke seluruh tubuhnya. Sebuah hawa tak nyaman yang kuat.
"Ayu, kenapa? Buruan!" Dinda berseru dari atas, tidak sabar.
Ayu merasakan tarikan aneh di kakinya, seolah ada tangan tak terlihat yang mencoba menahannya. Ia harus mengerahkan seluruh kekuatannya untuk melangkah naik. Di setiap anak tangga, sensasi itu semakin kuat. Bisikan-bisikan menjadi sedikit lebih jelas, terdengar seperti rintihan panjang yang tertahan. Ia sempat melihat sekilas bayangan hitam melintas di ujung lorong lantai dua, namun ketika ia mengerjapkan mata, bayangan itu sudah lenyap.
"Gue... gue nggak enak banget di sini," Ayu akhirnya berhasil mencapai puncak tangga, napasnya sedikit terengah-engah. Wajahnya pucat.
Reno menatapnya. "Makanya, Yu, jangan terlalu dipikirin. Ini cuma tempat tua," katanya, mencoba menenangkan. Tetapi ia melihat Ayu begitu serius, tidak seperti biasanya.
Mereka mulai menjelajahi lantai dua. Lantai ini tampaknya bekas kamar-kamar penginapan. Pintu-pintu kamar berjejer, beberapa terbuka sedikit, memperlihatkan isi ruangan yang berantakan: ranjang yang roboh, lemari yang pecah, dan lapisan debu tebal di mana-mana. Mereka menyusuri lorong itu, senter mereka memindai setiap celah.
Di salah satu kamar, mereka menemukan tumpukan koran lama yang sudah menguning dan rapuh. Reno mengambil salah satunya dengan hati-hati. Tanggalnya jelas: November 1998. Dan berita utama yang tercetak tebal membuat bulu kuduk mereka merinding: "PEMBANTAIAN KEJI DI PENGINAPAN MELATI: 12 KORBAN DITEMUKAN TAK BERNYAWA."
Dinda mendekat, merekam koran itu dengan cermat. "Ini dia, Ren! Berita aslinya!" serunya, ada nada kekaguman yang aneh dalam suaranya.
Reno membaca beberapa paragraf pertama dengan suara pelan. "...korban ditemukan tewas mengenaskan dengan luka tusuk dan sayatan di seluruh tubuh. Beberapa mayat ditemukan dalam kondisi termutilasi. Polisi menduga motif perampokan, namun bukti di lapangan menunjukkan tindakan keji yang melampaui batas..."
Tegar menelan ludah. "Gila, ini... ini beneran sadis."
Ayu hanya berdiri diam, matanya terpaku pada gambar samar di koran – sebuah foto hitam putih yang buram dari bangunan ruko yang mereka tempati, dikelilingi garis polisi. Aroma amis yang samar itu kini terasa lebih kuat di hidungnya, bercampur dengan bau kertas tua dan debu. Sebuah firasat buruk merayap di hatinya, firasat bahwa mereka telah melangkah terlalu jauh, ke dalam sesuatu yang jauh lebih gelap daripada yang bisa mereka bayangkan.
"Oke, satu lagi tempat yang belum kita lihat," Reno menunjuk ke ujung lorong, di mana ada satu pintu yang tampak berbeda dari yang lain. Pintu itu terbuat dari kayu yang lebih tebal dan kokoh, dengan sebuah gembok tua yang berkarat menggantung di kenopnya. Ada sesuatu yang menarik dan sekaligus mengganggu dari pintu itu, seolah ia menyembunyikan rahasia yang paling gelap dari ruko tersebut.
"Itu... kayaknya kamar terakhir," kata Tegar, suaranya sedikit ragu.
Ayu menatap pintu itu. Dinginnya menusuk, dan bisikan-bisikan yang tadinya samar kini sedikit lebih jelas, seolah memanggil, atau mungkin memperingatkan. Ia merasakan ketakutan yang mendalam, ketakutan yang datang dari lubuk hatinya, bukan karena cerita horor, tapi karena sebuah kebenaran yang mengerikan.
"Ayo kita lihat," Reno melangkah maju, tanpa menyadari bahaya yang akan mereka hadapi. Kamera Dinda masih merekam, menangkap momen demi momen mereka melangkah lebih dekat ke jurang neraka.
Bab 3 – Kamar Mayat
Reno bergerak mendekat ke pintu yang terkunci di ujung lorong lantai dua. Pintu itu tampak lebih tua, lebih kokoh, dan diselubungi aura yang lebih gelap dibandingkan pintu-pintu kamar lain. Sebuah gembok besar yang berkarat tergantung di kenopnya, seolah ada sesuatu yang sangat penting dan mengerikan yang berusaha disembunyikan di baliknya.
"Pasti ada sesuatu di sini," Reno berbisik, tangannya meraba permukaan pintu yang dingin dan kasar. "Gemboknya udah tua banget, pasti bisa dihancurin."
Dinda mendekat, merekam setiap gerak-gerik Reno. "Wah, ini baru real horor! Viewer pasti suka," ujarnya penuh semangat.
Tegar menelan ludah, firasatnya semakin tidak enak. "Ren, yakin mau dibuka? Ini gemboknya gede banget, lho. Jangan-jangan isinya..." Ia tidak melanjutkan kalimatnya, namun bayangan-bayangan mengerikan sudah menari di benaknya.
Ayu, di sisi lain, merasakan dorongan kuat untuk lari. Dingin yang memancar dari pintu itu menusuk sampai ke tulang sumsum. Bisikan-bisikan yang tadinya samar kini seperti paduan suara lirih yang bergema dari dalam kamar, memanggil nama-nama yang tidak ia kenal. Ia melihat sekilas, di ambang pandangannya, sebuah bayangan hitam pekat berdiri di balik pintu, seolah mengintip dari celah waktu.
"Aku mohon, Ren, jangan dibuka," Ayu berbisik, suaranya parau. "Ada sesuatu yang jahat di balik pintu itu."
Reno hanya terkekeh, menganggapnya lebay. "Alah, Yu, ini cuma drama doang. Kalau nggak dibuka, konten kita nggak seru." Dia mengeluarkan obeng besar dari tas ranselnya, yang biasa ia gunakan untuk bikin video perbaikan motor. Dengan sedikit usaha, ia menyisipkan ujung obeng di antara gembok dan kenop pintu, lalu mulai mencongkelnya.
Suara gesekan logam berkarat yang dipaksa terbuka memecah keheningan yang mencekam. Kriiiiiiing! Gembok itu akhirnya patah, jatuh ke lantai dengan suara klentang yang menggema di lorong. Pintu itu perlahan terbuka sedikit, mengeluarkan embusan udara dingin yang langsung menerpa wajah mereka.
Aroma busuk yang pekat, perpaduan bau besi karatan dan amis yang menusuk hidung, langsung menyergap mereka. Jauh lebih kuat dari bau amis yang Ayu rasakan sebelumnya. Reno dan Dinda mundur selangkah, ekspresi mereka berubah. Tegar terbatuk-batuk, menutupi hidungnya.
"Anjir, bau apaan ini?!" Tegar mengeluh, wajahnya memucat.
"Ini... ini bau darah," Ayu berbisik, matanya membelalak. Ia mencengkeram lengan Tegar, tubuhnya gemetar hebat.
Reno menyalakan senter terangnya dan mengarahkannya ke dalam kamar. Apa yang ia lihat membuat napasnya tertahan. Ruangan itu kosong, namun di lantai yang dilapisi keramik putih kusam, ada bercak-bercak gelap yang luas, seperti noda darah yang telah mengering bertahun-tahun. Dinding-dindingnya pun bernoda, seolah ada semprotan cairan merah yang mengering di sana. Sebuah tempat yang dulunya mungkin kamar mandi umum atau dapur, kini telah berubah menjadi sesuatu yang lebih mengerikan.
Dan kemudian, kilatan itu datang. Bagi Ayu, bukan hanya sekadar melihat noda. Saat Reno menyorotkan senter ke sudut kamar, Ayu merasakan kepalanya berputar, dunia di sekelilingnya lenyap. Ia melihatnya dengan jelas: tumpukan mayat yang tak beraturan, tubuh-tubuh yang dipenuhi luka tusukan dan sayatan, anggota badan yang terpisah dari tubuhnya. Darah menggenang di lantai, merah pekat, membasahi setiap inci ruangan. Ia mendengar jeritan kesakitan, rintihan putus asa, dan tawa kejam para pelaku. Aroma amis darah segar yang menusuk hidung, rasa lengket di kakinya seolah-olah ia berdiri di tengah genangan darah itu.
Ayu terhuyung, berpegangan pada kusen pintu, dadanya terasa sesak. Ia merasakan mual yang luar biasa, seolah ia baru saja menyaksikan sebuah kengerian yang tak terbayangkan. Air mata mengalir di pipinya tanpa ia sadari.
"Ayu, lo kenapa?!" Tegar menahan tubuh Ayu yang hampir ambruk.
Reno menoleh, ekspresi skeptisnya mulai goyah. "Yu, lo kenapa sih? Nggak usah acting berlebihan."
"Dia... dia lihat," Ayu berbisik, suaranya parau. "Semua mayat... darah... di sini..." Ia menunjuk ke dalam kamar, tangannya gemetar.
Dinda masih merekam, meskipun ada sedikit kecemasan di wajahnya. "Apaan sih, Yu? Jangan nakut-nakutin dong. Kan kita udah tahu ini lokasi pembantaian."
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar. Tap... tap... tap... Suara itu tidak datang dari luar, melainkan dari dalam ruko itu sendiri, dari lantai atas, atau mungkin dari dinding. Awalnya pelan, lalu semakin jelas, seolah seseorang berjalan mengelilingi mereka. Kemudian, bisikan-bisikan kembali terdengar, kali ini lebih dekat, lebih jelas, seolah di samping telinga mereka. Bisikan-bisikan itu bukan lagi rintihan, melainkan sebuah bahasa yang Ayu tak pahami, namun ia tahu itu adalah suara-suara yang penuh kemarahan dan kesedihan.
"Kalian denger nggak?" Tegar berbisik, matanya melirik ke sekeliling lorong yang gelap.
Reno terdiam sejenak, mendengarkan. Ia tak mendengar apa-apa selain napasnya sendiri dan detak jantungnya yang mulai berpacu. "Nggak ada apa-apa, Ge. Itu cuma suara angin atau tikus," bantahnya, mencoba tetap tenang. Namun, ia bisa merasakan keringat dingin membasahi punggungnya.
Dinda mengecek hasil rekaman kameranya. "Di kamera nggak ada suara aneh, Ren," katanya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Ayu menggelengkan kepala, air matanya masih mengalir. "Nggak, itu bukan tikus. Itu... mereka. Mereka ada di sini. Mereka nggak suka kita masuk ke kamar ini." Ia merasakan dingin yang lebih dalam, seolah ada banyak pasang mata tak terlihat yang mengawasi mereka dari setiap sudut ruangan. Bisikan itu kini terasa seperti mengelilingi dirinya, seolah makhluk-makhluk tak kasat mata itu sedang berkerumun di sekelilingnya, menuntut sesuatu.
Reno, dengan keras kepala yang tersisa, mencoba mengabaikan ketakutan yang mulai merayap di benaknya. "Udah, udah, ayo lanjut. Kita harus eksplor semua bagian ruko ini. Jangan sampai ada yang kelewat," katanya, mencoba mengambil kembali kendali situasi. "Ayu, kamu terlalu sugesti. Jangan terlalu dipikirkan."
Ia mencoba menarik Ayu menjauh dari ambang pintu kamar. Namun, saat Reno menyentuh lengan Ayu, gadis itu menjerit, sebuah jeritan yang bukan miliknya. Jeritan itu terdengar dingin, putus asa, seperti jeritan seseorang yang sedang sekarat. Reno terkejut, langsung melepaskan tangannya.
Ayu ambruk ke lantai, tubuhnya menggigil tak terkendali. Matanya menatap kosong ke dalam kamar mayat itu, seolah melihat sesuatu yang tak kasat mata. Bibirnya bergerak-gerak, mengucapkan kata-kata aneh yang tak bisa dimengerti, namun terdengar seperti bahasa yang sangat tua.
"Ayu! Sadar Yu!" Tegar menepuk-nepuk pipi Ayu dengan panik.
Dinda masih merekam, tangannya sedikit bergetar. Momen ini... momen ini sungguh mengerikan. Bukan seperti horor di film. Ini nyata.
Reno memandang Ayu, lalu ke dalam kamar gelap yang berbau amis itu. Seketika, rasa skeptisnya mulai retak, digantikan oleh ketakutan yang dingin dan menusuk. Ia mulai bertanya-tanya, apakah mereka telah membangunkan sesuatu yang seharusnya tetap tidur? Sesuatu yang tersembunyi di balik dinding-dinding kusam ruko ini, menunggu untuk bangkit kembali.
Bab 4 – Bisikan dan Cakar
Kerasukan Ayu yang singkat tapi intens berhasil membuat Reno mulai meragukan skeptismenya. Ia memaksa Ayu untuk menjauh dari pintu kamar itu, menyeretnya kembali ke lorong, meskipun Ayu masih tampak linglung dan menggigil. "Oke, oke, cukup! Kita ke bagian lain," Reno memutuskan, suaranya sedikit gemetar. Ia mencoba menyembunyikan ketakutannya di balik nada perintah.
Mereka bergerak ke arah yang berlawanan, mencoba menjauhi aura gelap kamar mayat itu. Namun, kengerian sudah terlanjur merayap masuk ke dalam diri mereka. Semakin jauh mereka melangkah, semakin kuat tanda-tanda gangguan yang tak bisa diabaikan.
Dinda, yang masih merekam, tiba-tiba menjerit kecil. "Ren, lihat ini!" Ia menunjukkan layar kameranya. Di sudut rekaman, di latar belakang lorong yang gelap, ada sebuah sosok bayangan hitam pekat yang melintas dengan kecepatan mengerikan, nyaris tak terlihat oleh mata telanjang. Sosok itu tidak memiliki bentuk yang jelas, hanya siluet manusia yang buram, seolah terbuat dari kegelapan itu sendiri.
Reno melihatnya. Tubuhnya menegang. "Itu... itu glitch kali, Din."
"Nggak mungkin! Ini jelas banget!" Dinda bersikeras, wajahnya pucat. Ketakutannya kini mengalahkan ambisinya untuk konten viral.
Tiba-tiba, dari arah dapur di lantai bawah, terdengar suara wanita menangis. Suara itu awalnya samar, seperti bisikan pilu dari kejauhan, lalu perlahan semakin jelas, semakin menyayat hati, seolah wanita itu menangis tepat di dekat mereka. Isak tangis itu terdengar putus asa, penuh penderitaan, dan tidak ada keraguan bahwa itu adalah suara manusia.
Tegar menelan ludah. "Gila... ini bukan efek suara, kan?" tanyanya, suaranya parau.
Ayu, yang masih terhuyung-huyung, menatap kosong ke bawah. "Dia... dia mencari anaknya," bisiknya, matanya berair. "Dia... dia dibunuh di sana."
Reno menyuruh mereka untuk tetap bersama. "Oke, kita cari sumber suaranya. Tapi tetap barengan!"
Mereka melangkah perlahan menuju tangga, kembali ke lantai satu. Suara tangisan itu semakin jelas. Dapur tampak gelap gulita, jendela-jendelanya pecah dan ditutupi oleh tirai yang compang-camping.
"Din, lo coba masuk duluan, nyalain senter," Reno memberi instruksi.
Dinda, masih memegang kamera yang merekam, melangkah masuk ke dapur. Bau busuk yang kuat langsung menyergapnya, bau seperti bangkai hewan yang membusuk. Dia menyorotkan senternya ke seluruh ruangan. Rak-rak piring berantakan, wajan-wajan berkarat tergantung di dinding, dan di tengah ruangan, ada meja makan yang roboh.
Tiba-tiba, lampu senter Dinda berkedip-kedip lalu mati total. Gelap. Gelap yang pekat.
"Ren! Tegar! Lampu gue mati!" Dinda menjerit panik.
Dalam kegelapan, Dinda merasakan sensasi aneh di telinganya. Suara napas berat yang dingin terdengar begitu dekat, seolah ada seseorang yang berdiri tepat di sampingnya, bernapas di lehernya. Aroma amis kembali tercium, lebih kuat dari sebelumnya. Dinda refleks mengayunkan tangannya, mencoba mengusir sesuatu yang tak terlihat itu, namun tidak ada apa-apa. Tubuhnya bergetar hebat.
"Dinda, lo kenapa?!" Reno berteriak, mengarahkan senternya ke arah Dinda. Cahaya senter Reno kembali menerangi dapur, dan Dinda terlihat pucat pasi, matanya membelalak ketakutan. Ia terhuyung mundur, napasnya tersengal-sengal.
"Ada... ada yang napas di telinga gue," bisiknya, suaranya bergetar hebat. "Dingin... banget."
Saat mereka mencoba menenangkan Dinda, Tegar tiba-tiba merasakan sensasi perih di tangan kirinya. Ia melihat ke bawah, dan terkejut melihat darah segar mengalir dari telapak tangannya, membentuk goresan-goresan panjang seperti bekas cakaran. Namun, ketika ia memeriksanya lebih dekat, tidak ada bekas luka sedikit pun di kulitnya. Darah itu muncul begitu saja, lalu perlahan memudar, menghilang seperti embun pagi.
"Anjir! Tangan gue! Tangan gue berdarah!" Tegar menjerit, menunjukkan telapak tangannya yang kini sudah bersih. "Ini... ini apaan?!"
Ketakutan yang tadinya hanya bisikan kini berubah menjadi raungan di benak mereka. Reno yang skeptis kini benar-benar kehilangan kata-kata. Ia tak bisa lagi mencari penjelasan logis untuk semua kejadian aneh ini.
"Kita harus keluar!" Reno berteriak, matanya panik mencari jalan keluar.
Mereka berlari kembali ke pintu depan, pintu ketiga yang tadinya mereka masuki. Reno mencoba membuka kenopnya, memutarnya dengan keras. Namun, pintu itu terkunci rapat. Seolah ada kekuatan tak terlihat yang menahannya dari luar. Ia mencoba pintu pertama dan kedua lagi, hasilnya sama: terkunci.
"Nggak bisa dibuka! Terkunci semua!" Reno menggebrak pintu dengan frustrasi.
Dinda segera mengecek ponselnya. "Sinyal! Nggak ada sinyal! Kita nggak bisa nelpon siapa-siapa!" jeritnya, matanya mulai berkaca-kaca.
Keputusasaan menyelimuti mereka. Mereka terkunci. Terjebak di dalam ruko angker ini. Ayu, yang selama ini paling merasakan keberadaan entitas itu, kini terduduk lemas di lantai. Tatapannya kosong, ia bergumam sendiri. "Mereka... mereka nggak mau kita pergi. Kita... kita terjebak."
Suasana di ruko semakin berat. Lampu senter mereka mulai berkedip-kedip tak menentu, baterainya seperti terkuras dengan cepat. Suara-suara aneh mulai terdengar lagi: bisikan yang lebih jelas, langkah kaki yang menyeret, dan tawa cekikikan yang mengerikan dari sudut-sudut ruangan yang gelap. Mereka saling menempel, tubuh mereka gemetar ketakutan, menyadari bahwa malam itu baru saja dimulai, dan mereka tidak sendirian.
Bab 5 – Tidak Sendiri
Ketakutan mencekam. Mereka tidak hanya terjebak, tapi juga diserang secara psikis dan fisik. Reno mencoba membuka jendela, namun semua terkunci rapat, bahkan yang tadinya pecah pun seolah tertahan oleh kekuatan tak terlihat. Tidak ada jalan keluar. Sinyal ponsel pun lenyap, memutus satu-satunya harapan mereka ke dunia luar.
Tiba-tiba, Ayu yang sedari tadi hanya terdiam dan menggigil, mulai mengangkat kepalanya. Matanya yang tadinya sayu kini membelalak, pupilnya membesar, dan sorot matanya menjadi kosong, namun dipenuhi amarah yang membara. Tubuhnya bergetar hebat, bukan lagi karena ketakutan, melainkan seolah ada sesuatu yang sedang merasuki dirinya.
"Ayu? Lo kenapa?" Tegar berbisik, mendekat perlahan.
Ayu tidak menjawab. Bibirnya bergerak-gerak, mengucapkan kata-kata yang bukan bahasanya. Suaranya berubah, menjadi lebih berat, lebih serak, seolah dua suara berbicara dalam satu tubuh. " Ndase! Sira wani mlebu kene?! " (Keparat! Kalian berani masuk sini?!)
Mereka semua terkesiap. Itu adalah bahasa Jawa kuno, bahasa yang tak satu pun dari mereka kuasai, kecuali mungkin Ayu, yang memang keturunan Jawa, meskipun tak pernah belajar bahasa kuno itu.
"Ayu! Ini Ayu kan?!" Dinda berteriak, mundur selangkah.
Tiba-tiba, Ayu tertawa. Sebuah tawa yang bukan tawa manusia, melainkan tawa melengking, penuh keputusasaan dan kemarahan, tawa seorang wanita yang telah menderita. Tawa itu perlahan berubah menjadi tangisan histeris yang menyayat hati, sebuah rintihan panjang yang terdengar sangat kesakitan, seolah seluruh penderitaan tahun 1998 terkumpul dalam satu suara. Ia mencengkeram kepalanya, meronta-ronta, matanya memancarkan kengerian yang tak terbayangkan.
"Dia... dia kerasukan!" Tegar berteriak, panik. Ia mencoba membaca ayat-ayat kursi, namun suaranya gemetar dan kata-katanya buyar.
Dinda, melihat kengerian di depan matanya, tiba-tiba mengalami histeria. Dia mulai tertawa, namun tawa itu bercampur dengan isak tangis yang aneh, tawa yang bukan karena bahagia, melainkan karena kegilaan yang mulai merayap. Dia bangkit, berjalan sempoyongan ke dinding terdekat, dan dengan kuku-kukunya yang panjang, ia mulai menggores dinding dengan brutal. Bukan goresan biasa, melainkan seperti ia mencoba menulis sesuatu, atau melukis bayangan-bayangan yang hanya ia lihat. Suara goresan kuku di dinding yang kusam itu terasa seperti kuku iblis yang mengikis lapisan akal sehat mereka.
"Dinda! Stop!" Reno mencoba menariknya, namun Dinda meronta, matanya kosong dan tak mengenalinya.
Reno menyadari mereka harus segera keluar. Ia teringat ada akses ke atap di lantai tiga. Dengan harapan terakhir, ia berlari mencari tangga menuju loteng. Ia mendapati sebuah pintu kecil di pojok lantai dua, nyaris tak terlihat. Dengan sisa-sisa kekuatannya, ia mendobrak pintu itu. Debu dan bau apek langsung menyergapnya.
Ia memanjat tangga kayu yang rapuh menuju loteng yang gelap gulita. Hanya ada satu jendela kecil yang tertutup rapat, tertutup debu dan kotoran. Reno menyalakan senternya, menyapu sekeliling. Loteng itu penuh dengan barang-barang tua yang tertumpuk tak beraturan: koper-koper usang, furnitur yang hancur, dan tumpukan kain lapuk. Ia bergerak menuju jendela, berharap bisa membukanya dan menemukan jalan keluar.
Namun, saat senternya menyapu ke arah tengah loteng, ia melihatnya. Sebuah sosok. Bukan bayangan, bukan kilatan, tapi wujud yang jelas. Sosok seorang pria dengan pakaian lusuh tahun 90-an, berdiri kaku di tengah tumpukan barang. Wajahnya pucat pasi, matanya hitam cekung, dan di tangannya, ia memegang sebilah besi berkarat yang meneteskan cairan merah kehitaman. Itu adalah senjata pembantaian.
Reno menjerit. Jeritan yang tertahan di tenggorokannya. Otaknya seolah meledak, memproses kengerian yang ia lihat. Pria itu menoleh perlahan ke arahnya, kepalanya sedikit miring, dengan senyum tipis yang mengerikan terukir di bibirnya.
Reno tak bisa lagi menahan diri. Tubuhnya limbung. Senter dari tangannya jatuh, gelap. Ia merasakan pandangannya memudar, napasnya terhenti, dan kesadarannya lenyap. Ia jatuh pingsan.
Sementara itu, di lantai dua, Tegar hanya bisa memeluk lututnya, tubuhnya gemetar tak terkendali. Ia tak bisa membantu Dinda yang histeris atau Ayu yang kerasukan. Ia hanya bisa membaca ayat-ayat kursi dengan suara yang bergetar, memohon perlindungan dari Tuhan. Namun, setiap kali ia membaca, ia merasa bisikan-bisikan di sekelilingnya semakin kuat, seolah entitas-entitas itu mengejek atau malah menertawakan ketidakberdayaannya. Air mata mengalir deras di pipinya. Ia merasa seperti akan kehilangan akal sehatnya, terjebak di tengah neraka yang tak berujung.
Ruko itu dipenuhi suara jeritan Ayu yang kerasukan, tawa histeris Dinda yang mencakar dinding, dan bisikan ketakutan Tegar yang tak berdaya. Malam itu, ruko itu bukan lagi hanya bangunan kosong. Ia adalah entitas hidup, bernapas, dan memakan jiwa-jiwa yang berani mengusik tidur panjangnya. Mereka semua, satu per satu, mulai tergelincir ke dalam kegilaan, terperangkap dalam jaring horor yang tak bisa mereka pahiti.
Bab 6 – Ingatan yang Diputar
Waktu terasa berhenti. Kengerian di ruko itu tidak lagi hanya sebatas penampakan atau suara. Kini, entitas di dalamnya mulai menyerang akal sehat dan memori mereka, memutarbalikkan kenyataan, dan memaksa mereka mengalami kilas balik yang mengerikan, seolah mereka adalah bagian dari tragedi tahun 1998 itu.
Reno terbangun dari pingsannya, kepalanya terasa pening. Pandangannya buram, namun perlahan mulai jelas. Ia tidak lagi berada di loteng yang gelap, melainkan di sebuah ruangan yang lebih besar, remang-remang, dipenuhi bayangan-bayangan bergerak. Ada suara bisikan dan tawa yang menggema. Tangannya menggenggam sesuatu yang terasa dingin dan keras. Ketika ia menatapnya, darah. Sebuah pisau berkarat yang basah oleh darah.
Napas Reno tercekat. Otaknya menolak apa yang ia lihat, namun indra-indranya menjeritkan kebenaran yang mengerikan. Ia melihat seorang wanita berteriak di depannya, matanya membelalak ketakutan. Ia melihat dirinya, atau sosok yang ia rasakan sebagai dirinya, mengangkat pisau itu tinggi-tinggi, seringai kejam di wajahnya. Rasa benci dan kemarahan yang bukan miliknya tiba-tiba membakar dadanya. Ia merasakan dorongan brutal, sebuah nafsu untuk melukai, untuk membunuh.
"Tidak... ini bukan aku..." Reno berusaha berteriak, namun suaranya hanya berupa rintihan. Ia merasa menjadi salah satu pelaku pembantaian itu. Ia melihat dirinya menusuk, mengayunkan pisau, dan tawa-tawa jahat mengelilinginya, tawa rekan-rekan pembunuh yang lain. Darah terciprat ke wajahnya, namun ia tidak merasakan jijik, hanya kepuasan yang dingin. Halusinasi itu begitu nyata, begitu mendalam, sehingga Reno tidak bisa lagi membedakan mana dirinya, dan mana roh jahat yang merasukinya. Pikiran dan ingatannya saling bertabrakan, menciptakan sebuah neraka pribadi yang tak terbayangkan.
Sementara itu, di lantai bawah, Ayu masih terbaring, tubuhnya sesekali berkedut. Ia tidak lagi kerasukan, namun matanya terbuka lebar, menatap kosong ke langit-langit. Jiwanya seolah ditarik paksa ke dalam memori kelam ruko itu. Ia menyaksikan kematian para korban dengan mata arwah. Ia melihat setiap momen pembantaian, bukan dari sudut pandang pelaku, melainkan dari sudut pandang para korban.
Ia melihat seorang anak kecil bersembunyi di bawah meja, menangis ketakutan, sebelum ditarik keluar dan dibunuh secara brutal. Ia merasakan dinginnya besi yang menembus kulit, jeritan kesakitan yang tak bisa keluar, dan rasa putus asa yang melanda sebelum kegelapan merenggut nyawa. Ia melihat seorang wanita tua diseret, memohon belas kasihan, namun diabaikan. Ia merasakan bau darah yang lengket, suara jeritan yang memekakkan telinga, dan rasa takut yang melumpuhkan. Setiap detil terasa begitu hidup, begitu nyata, hingga penderitaan para korban meresap ke dalam dirinya, menghancurkan mentalnya lapis demi lapis. Ia tak lagi melihat Ayu sebagai dirinya, melainkan sebagai salah satu korban yang sedang menghadapi ajalnya.
Dinda, di sisi lain, masih dalam histeria, menggores dinding dengan kuku-kukunya. Namun, kini ia tidak hanya menggores; ia melukis sebuah pola abstrak yang berulang, seolah-olah berusaha melarikan diri dari sesuatu. Matanya membelalak, ketakutan yang mendalam tergambar di sana. Ia terjebak dalam ilusi dikejar bayangan hitam. Bayangan itu bukan lagi siluet samar, melainkan wujud yang menakutkan, dengan mata merah menyala dan taring tajam, selalu berada satu langkah di belakangnya.
Dinda berlari, terus berlari di lorong yang tak berujung, napasnya terengah-engah, jantungnya berpacu liar. Ia bisa merasakan sentuhan dingin di punggungnya, bisikan kejam di telinganya. Setiap kali ia berpikir ia berhasil lolos, bayangan itu kembali muncul, lebih dekat, lebih mengancam. Ia menjerit, memohon ampun, namun tak ada yang mendengarnya. Dia terus mencakar dinding, mencari jalan keluar yang tak pernah ada, mencabik-cabik kuku hingga berdarah, tetapi ia tak merasakan sakit, hanya rasa takut yang membakar.
Tegar, yang tadinya hanya bisa membaca ayat-ayat, kini tak lagi bersuara. Ia terdiam di sudut, matanya menatap kosong ke depan. Ia melihat dirinya mati berkali-kali. Dalam kilasan mengerikan, ia melihat dirinya dicekik, ditusuk, dibakar, bahkan dipenggal. Setiap kematian terasa begitu nyata, begitu menyakitkan, dan ia mengalaminya berulang kali tanpa henti. Darahnya sendiri yang menggenang di lantai, napas terakhirnya yang tersengal-sengal, rasa sakit yang tak tertahankan.
Ia menjadi saksi dan korban dari kematiannya sendiri, berulang-ulang, dalam siklus neraka yang tak berkesudahan. Ketakutan akan kematian yang paling ia takuti kini menjadi kenyataan yang tak bisa ia lepaskan. Pikiran Tegar hancur, ia tidak lagi tahu siapa dirinya, atau apakah ia masih hidup.
Kekacauan mental merajalela di antara mereka. Reno bergumul dengan sisi gelapnya yang baru ditemukan, Ayu tenggelam dalam penderitaan para korban, Dinda terjebak dalam pengejaran tanpa akhir, dan Tegar mati berulang kali. Mereka terpisah oleh halusinasi masing-masing, terisolasi dalam neraka pribadi, namun terhubung oleh kengerian yang sama dari ruko itu. Malam itu belum berakhir, dan entitas di ruko itu belum selesai bermain dengan mereka.
Bab 7 – Malam Tak Pernah Usai
Ruko itu kini bukan lagi sekadar bangunan, melainkan arena penyiksaan mental dan fisik yang brutal. Batas antara kenyataan dan ilusi telah hancur sepenuhnya. Mereka berempat, meskipun berada di ruangan yang sama, hidup dalam neraka pribadi masing-masing, terkadang tumpang tindih, terkadang terpisah total.
Reno, yang masih terpengaruh roh pelaku, kini tidak lagi hanya melihat kilasan. Ia bertindak. Matanya merah, tatapannya dingin dan kosong. Ia merasa memiliki kekuatan yang tak wajar, sebuah dorongan primitif untuk melampiaskan kekejaman. Ia melihat Tegar meringkuk di sudut, tubuhnya gemetar dan mata Tegar menatap kosong, seperti orang mati yang hidup. Dalam pandangan Reno yang terdistorsi, Tegar bukanlah temannya, melainkan salah satu "mangsa" yang harus dihancurkan. Reno bangkit perlahan, mencari benda tumpul di sekitarnya. Ia menemukan sebuah batang besi berkarat yang tergeletak di lantai. Dengan seringai kejam yang bukan miliknya, ia melangkah mendekat.
Tegar, yang terjebak dalam siklus kematian berulang, melihat Reno mendekat, bukan sebagai temannya, melainkan sebagai salah satu pelaku yang akan membunuhnya lagi. Ia menjerit, mencoba merangkak menjauh, namun tubuhnya kaku dan tak berdaya. Reno mengangkat batang besi itu tinggi-tinggi. Tegar hanya bisa memejamkan mata, menunggu kematian yang sudah ia alami berkali-kali.
Sementara itu, Ayu masih terbaring, namun kini ia meronta-ronta dengan brutal. Tangannya menggapai-gapai di udara, dan air liurnya menetes dari bibirnya yang bengkak. Dalam halusinasi Ayu, ia bukan lagi sekadar penonton, melainkan korban yang melawan dengan sekuat tenaga. Ia merasakan dirinya dicekik, diseret, dan dipukuli. Ia menjerit dengan suara serak, namun suaranya teredam oleh jeritan imajiner yang lain.
Di sampingnya, Dinda masih sibuk menggores dinding, tulisan-tulisan aneh yang tak terbaca kini memenuhi permukaan kusam. Darah dari kuku-kukunya mengotori dinding. Namun, kini ia tidak hanya menulis; ia berbisik-bisik pada dirinya sendiri, berbicara dengan entitas tak terlihat, atau mungkin dengan dirinya sendiri yang lain. "Cepat! Cepat! Mereka datang! Kalian harus lari! Lari!" Ia berteriak, suaranya parau dan kering, matanya terus-menerus menatap sekeliling, mencari jalan keluar yang tidak pernah ia temukan. Dalam ilusinya, bayangan hitam itu semakin dekat, dan ia terus berlari, mencakar dinding, seolah mencoba menembus dimensi lain.
Jam dinding tua di ruang depan, yang tadinya mereka anggap rusak, tiba-tiba menarik perhatian mereka (atau apa pun yang tersisa dari kesadaran mereka). Semua jam di dalam ruko, dari jam dinding di lobi hingga jam tangan Tegar yang terjatuh, berhenti di angka yang sama: 02:47. Waktu itu adalah waktu kejadian pembantaian tahun 1998 yang tertulis di koran. Waktu itu adalah saat kengerian mencapai puncaknya di ruko ini. Sebuah pengingat mengerikan bahwa mereka telah terjebak dalam lingkaran waktu yang sama, tidak bisa maju, tidak bisa mundur.
Tiba-tiba, lorong di depan mereka dipenuhi oleh dua sosok yang jelas dan mengerikan. Yang pertama adalah sosok wanita berdarah. Rambutnya panjang dan acak-acakan, menutupi sebagian wajahnya. Gaun putih yang dikenakannya kini berlumuran darah kental, dan matanya cekung, menatap kosong ke arah mereka, atau mungkin melewati mereka. Wanita itu berjalan pincang, menyeret kakinya yang tampak patah, meninggalkan jejak darah di lantai. Ia adalah salah satu korban, rohnya terperangkap dalam penderitaannya.
Di belakang wanita itu, muncul sosok pria bersenjata besi. Itulah pria yang dilihat Reno di loteng. Pria itu tinggi dan berbadan besar, mengenakan pakaian gelap yang usang. Tangannya menggenggam erat sebatang besi berkarat, yang terus-menerus meneteskan darah ke lantai. Matanya merah menyala, penuh amarah dan kekejaman. Senyum tipis yang mengerikan masih terukir di bibirnya, senyum seorang pembunuh yang menikmati pekerjaannya.
Kedua sosok itu muncul bergantian, kadang-kadang bersamaan, kadang-kadang hanya salah satunya. Mereka tidak berbicara, tidak menyerang secara fisik. Mereka hanya berdiri di sana, menatap mereka, seolah menikmati penderitaan yang mereka timbulkan. Atau mungkin, mereka memaksa para remaja itu untuk menyaksikan performance kengerian yang tak berujung.
Reno, yang tadinya hampir memukul Tegar, tiba-tiba terhenti. Pandangannya beradu dengan mata pria bersenjata besi itu. Seringai di wajah pria itu seolah mengejek, seolah berkata, "Lihatlah, kau juga sepertiku." Reno menjerit, menjatuhkan batang besi itu, tangannya gemetar. Ia mulai mengucapkan kata "maaf" berulang kali, suaranya parau dan pecah.
Ayu yang tadinya meronta, kini menatap kosong ke arah wanita berdarah itu. Ia tidak lagi menjerit ketakutan, melainkan terisak pelan, seolah ikut merasakan penderitaan wanita itu. Dinda berhenti mencakar dinding. Matanya menatap panik ke arah dua sosok itu, lalu berbalik dan mulai tertawa lagi, tawa yang tak ada artinya, tawa orang yang sudah kehilangan akal.
Tegar, yang sudah pasrah dengan kematiannya, kini hanya bisa terdiam. Ia melihat dua sosok itu, namun ia tidak lagi merasakan takut. Hanya kekosongan.
Mereka berempat kini duduk melingkar di lantai, di tengah ruang depan ruko yang gelap dan kotor. Cahaya senter yang tersisa hanya samar-samar menerangi wajah mereka yang pucat dan mata yang kosong. Mereka tidak lagi berbicara, tidak lagi menjerit. Hanya ada suara-suara aneh dari mulut mereka: bisikan-bisikan tanpa arti, tawa cekikikan yang mengiris hati, dan rintihan pelan yang tak kunjung usai.
Kamera terakhir Dinda, yang entah bagaimana masih merekam meskipun baterainya sudah sekarat, menangkap adegan terakhir yang mengerikan. Empat remaja itu, yang beberapa jam lalu masih penuh ambisi dan semangat, kini duduk melingkar, wajah mereka dipenuhi ekspresi kosong, mulut mereka membentuk senyuman aneh yang bukan senyuman bahagia, melainkan tawa gila. Mata mereka yang dulu penuh kehidupan kini hanya memancarkan kekosongan dan kegelapan, seolah jiwa mereka telah ditarik keluar, dan yang tersisa hanyalah cangkang kosong yang tersiksa.
Malam itu tak pernah usai bagi mereka. Waktu terhenti di pukul 02:47. Ruko itu telah menang, dan mereka adalah korbannya, terperangkap dalam lingkaran kengerian yang tak berujung, menjadi bagian dari cerita seram yang takkan pernah bisa mereka lupakan, karena mereka sudah tak lagi mampu mengingat apa pun selain kengerian itu sendiri.
Bab 8 – Pagi yang Tak Menyelamatkan
Pagi datang. Bukan pagi yang cerah dan menjanjikan, melainkan pagi yang abu-abu, berat, dan dipenuhi aura kesedihan. Sinar matahari pagi menembus celah-celah jendela ruko yang kotor, menerangi debu yang menari-nari di udara. Anehnya, embusan angin pelan melewati ruko, dan pintu depan ruko, pintu ketiga yang semalam terkunci rapat, kini terbuka sedikit, seolah mengundang, atau mungkin melepaskan.
Seorang warga yang lewat, yang biasanya menghindari ruko itu, terkejut melihat pintu yang terbuka. Rasa ingin tahu bercampur ketakutan membuatnya menghubungi polisi. Tak lama kemudian, sirene mobil polisi memecah keheningan pagi, disusul kerumunan warga yang berbisik-bisik penuh ketakutan.
Petugas polisi berseragam dan beberapa warga yang penasaran dengan berani melangkah masuk ke dalam ruko. Aroma apak dan amis masih menyengat, namun kini bercampur dengan bau anyir yang lebih kuat dan bau kencing. Pemandangan di dalam membuat mereka semua terkesiap, beberapa langsung menutup hidung, yang lain menahan mual.
Empat sosok remaja, yang tadi malam penuh semangat dengan rencana uji nyali mereka, kini terduduk diam di tempat yang berbeda-beda, masing-masing terbenam dalam dunia mereka sendiri. Wajah mereka pucat pasi, seperti mayat hidup. Mata mereka kosong, tak berkedip, menatap ke kehampaan.
Ayu ditemukan meringkuk di pojok ruangan, tubuhnya gemetar tak terkendali. Bibirnya terus-menerus bergerak, membisikkan kata-kata yang tak karuan, campuran bahasa Indonesia yang kacau dan bisikan-bisikan dalam bahasa Jawa kuno yang tak bisa dimengerti. Ketika seorang petugas mendekat, mata Ayu menatapnya, namun tidak ada tanda-tanda pengenalan. Ia tidak mengenali siapa pun, bahkan ketika Tegar dan Dinda, yang kini dibawa mendekat, mencoba memanggilnya. Ayu hanya menatap mereka dengan tatapan kosong, seolah mereka adalah orang asing yang mengerikan.
Reno ditemukan terduduk di lantai, dekat dinding. Dengan jari-jarinya yang berdarah, ia terus-menerus menulis kata "maaf" berulang kali di lantai, di antara bercak-bercak noda gelap yang tak bisa hilang. Kata "maaf" itu tertulis dalam berbagai ukuran dan bentuk, dengan coretan tangan yang tak beraturan, seolah ia berada dalam kondisi trance. Darah yang ia gunakan mungkin berasal dari luka-luka kecil yang tidak ia rasakan, atau mungkin dari bekas darah Tegar yang muncul sebelumnya. Ia tidak merespons ketika dipanggil, hanya terus menulis, seolah terperangkap dalam penyesalan abadi.
Dinda terduduk di tengah ruangan, tatapannya kosong, namun sesekali ia tertawa cekikikan tanpa sebab, tawa yang tak ada artinya, tawa orang gila. Kuku-kukunya patah dan berdarah, bekas cakaran di dinding masih terlihat jelas di dekatnya. Ia kadang-kadang mengangkat tangannya ke udara, seolah mencoba menangkap sesuatu yang tak terlihat, atau mencoba menggores udara. Bibirnya berbusa sedikit, dan ia tak henti-hentinya bergumam tentang bayangan yang mengejarnya.
Tegar ditemukan meringkuk di bawah meja, tempat ia bersembunyi. Tubuhnya kaku, dan matanya menatap tajam ke satu titik di dinding, seolah ia masih menyaksikan kengerian yang tak terlihat. Ia membisikkan ayat-ayat suci secara berulang-ulang, namun dengan nada yang salah, terputus-putus, dan kadang-kadang diselingi rintihan ketakutan. Ia tampak telah kehilangan semua kekuatan fisiknya, hanya tubuhnya yang ada di sana, jiwanya telah lama pergi.
Petugas medis segera datang. Dengan hati-hati, mereka membawa keempat remaja yang terguncang itu keluar dari ruko yang penuh aura kelam. Tatapan mata warga yang menyaksikan penuh dengan iba dan ketakutan. Mereka semua tahu, ada sesuatu yang sangat salah telah terjadi di dalam ruko terlarang itu.
Keempat remaja itu segera dibawa ke rumah sakit jiwa terdekat. Setelah pemeriksaan mendalam oleh psikiater, diagnosis yang sama diberikan untuk mereka berempat: skizofrenia berat akibat trauma psikologis ekstrem. Pikiran mereka telah hancur, terdistorsi oleh kengerian yang mereka alami. Mereka mungkin tidak akan pernah pulih sepenuhnya, akan selamanya hidup dalam dunia halusinasi dan ketakutan mereka sendiri.
Yang lebih mengerikan, tidak ada rekaman video yang ditemukan. Semua kamera dan ponsel mereka rusak total, seperti dibanting atau sengaja dihancurkan. Data di dalamnya lenyap tak bersisa. Tidak ada bukti fisik yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di dalam ruko itu, selain kondisi keempat remaja yang hancur. Kisah mereka hanya akan menjadi legenda lain, bisikan mengerikan di antara penduduk lokal, tentang ruko yang tak pernah melepaskan mangsanya.
Ruko Tiga Pintu itu kembali ditutup, kembali sunyi, kembali angker. Namun, di baliknya, kengerian yang abadi masih bersemayam, menunggu korban-korban berikutnya. Dan di dalam jiwa keempat remaja itu, malam di ruko itu tidak pernah usai. Mereka akan selamanya terperangkap di sana, dihantui oleh bisikan, cakar, dan ingatan yang diputar, hingga akhir hayat mereka yang tragis.