Cerpen
Disukai
0
Dilihat
922
Rig Minyak
Horor

Bab 1: Kedatangan di Laut Mati

Gelombang bergulir tak sabar, menghantam lambung kapal survei MV Nautilus dengan dentuman tumpul. Di geladak yang licin dan dihempas angin garam, Dr. Elara Vance memegang erat pagar pembatas, matanya menyipit menembus kabut tebal yang menyelimuti Laut Makassar. Di depannya, siluet raksasa dari Rig Minyak Triton-7 mulai terlihat, menjulang dari lautan seperti kerangka logam kuno yang diukir dari ketidakpastian. Triton-7 adalah hantu yang berkarat, sebuah peninggalan dari kejayaan minyak yang telah lama meredup, dan sekarang menunggu untuk dimatikan selamanya.

"Selamat datang di kuburan baja, Dok," suara bariton kasar dari Kapten Jati memecah lamunan Elara. Pria bertubuh kekar dengan kulit terbakar matahari itu menunjuk ke arah rig dengan jempolnya. "Biasanya ramai, sekarang seperti kota mati. Cadangan minyaknya habis, katanya. Atau... yang lainnya." Jati mengakhiri kalimatnya dengan seringai samar yang tidak mencapai matanya, sebuah gurauan muram yang entah bagaimana menggetarkan saraf Elara.

Elara adalah seorang ahli geologi kelautan, seorang pragmatis yang hidup dengan data dan analisis. Misi timnya adalah melakukan survei seismik terakhir di dasar laut sekitar Triton-7, mengonfirmasi tidak adanya kantung minyak tersembunyi yang tersisa sebelum rig itu dinonaktifkan dan dibongkar total. Ini adalah pekerjaan rutin, meskipun lokasinya terisolasi. Namun, sejak awal, ada perasaan tidak nyaman yang merayapi benaknya.

Tim Elara terdiri dari tiga orang:

* Dr. Ben Carter: Ahli geofisika, seorang pria jangkung dan cerdas dengan kacamata tebal, yang sering kali terlalu bergantung pada teori dan sering sedikit gugup. Dia adalah orang yang paling metodis, tetapi juga yang paling rentan terhadap kecemasan di bawah tekanan.

* Maya Rahman: Teknisi sonar dan operator ROV (Remotely Operated Vehicle) yang brilian, seorang wanita muda yang cekatan dan praktis, biasanya menjadi penyeimbang antara Ben yang teoritis dan Elara yang berorientasi data. Dia memiliki intuisi tajam dan cenderung memercayai instingnya.

* Armand: Pria pendiam, seorang penyelam komersial berpengalaman yang ditugaskan untuk membantu pemasangan sensor bawah air dan sebagai tenaga cadangan dalam kondisi darurat. Tubuhnya kekar, wajahnya serius, dan matanya selalu memindai sekeliling dengan waspada. Dia adalah veteran yang telah melihat banyak hal di laut.

Mereka telah menghabiskan dua hari perjalanan laut dalam cuaca yang semakin memburuk. Kabut telah menebal menjadi dinding susu yang tak tertembus, dan gelombang semakin tinggi, membuat perut Elara bergejolak. Sistem komunikasi kapal sudah mulai mengalami gangguan sporadis, bisikan statis yang datang dan pergi, menambah rasa terisolasi mereka.

Ketika MV Nautilus akhirnya bersandar di salah satu platform tambat Triton-7, kesan pertama rig itu bukanlah kemegahan industri, melainkan sebuah monumen sepi untuk sebuah kegagalan. Baja-baja berkarat diselimuti lumut laut dan karat oranye. Tidak ada suara mesin, tidak ada aktivitas manusia. Hanya desingan angin laut yang menerpa struktur logam dan deburan ombak di bawahnya.

"Ada kru pemeliharaan di sini?" tanya Ben, suaranya sedikit lebih tinggi dari biasanya, saat mereka melangkah ke geladak utama rig. Lampu-lampu darurat yang berkedip-kedip memberikan penerangan yang minim, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari-nari seperti hantu.

"Hanya beberapa, Dok," jawab Kapten Jati. "Menjaga agar tidak roboh sebelum dibongkar. Mereka ada di ruang kontrol utama. Mungkin." Jati sengaja menambahkan kata "mungkin," mempermainkan saraf mereka.

Saat mereka melintasi jembatan penghubung yang berkarat menuju bangunan inti rig, udara dingin yang menusuk menyergap mereka, bukan hanya dinginnya angin laut, tapi sebuah kedinginan yang terasa tidak wajar. Kemudian, Elara menciumnya. Sebuah aroma aneh yang tipis, seperti campuran logam basah, ozon, dan sesuatu yang busuk namun sulit didefinisikan, mirip bau tanah liat basah yang telah lama mati. Aroma itu bukan bau rig minyak pada umumnya; ini adalah sesuatu yang lebih tua, lebih primitif.

"Baunya aneh, ya?" bisik Maya, hidungnya berkerut. "Bukan bau minyak, bukan bau laut. Seperti... sesuatu yang tidur di bawah sini."

Ben, yang biasanya paling skeptis, tampak pucat. "Mungkin hanya korosi dan endapan garam laut, Maya. Rig tua."

Namun, Elara tidak yakin. Ia merasakan bulu kuduknya merinding, sebuah firasat yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah. Ini bukan sekadar rig tua yang berkarat. Ada sesuatu yang lain di sini.

Mereka akhirnya mencapai ruang kontrol utama. Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi oleh monitor-monitor yang berkedip dan lampu darurat yang redup. Meja-meja berantakan, peralatan dibiarkan begitu saja, dan ada sisa-sisa makanan kering di atas meja. Yang paling aneh, tidak ada kru pemeliharaan.

"Kapten, Anda bilang ada kru di sini?" tanya Elara, suaranya tegang.

Kapten Jati mengernyitkan dahi. "Seharusnya ada. Dua orang, mestinya. Pak Slamet dan Pak Udin. Mungkin mereka sedang istirahat. Atau memeriksa sesuatu di bawah." Namun, ada nada keraguan dalam suaranya.

Mereka mencoba memanggil kru melalui interkom rig, tetapi hanya ada desingan statis. Komunikasi radio dengan kapal juga terputus total. Badai telah benar-benar menutup mereka dari dunia luar.

Elara merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia mengamati monitor-monitor tua yang menampilkan data sensor. Sebagian besar offline, tetapi beberapa menunjukkan anomali. Salah satu monitor sonar yang buram menunjukkan bentuk-bentuk aneh di kedalaman laut, bukan ikan atau terumbu karang. Bentuk-bentuk itu tidak beraturan, seperti gumpalan-gumpalan yang bergerak lambat, dan memancarkan sebuah frekuensi yang tidak biasa.

"Apa itu?" tanya Ben, yang juga melihat monitor itu, suaranya bergetar.

Sebelum Elara sempat menjawab, sebuah suara aneh terdengar. Bukan dari monitor, melainkan dari dalam rig itu sendiri. Dentingan logam yang tajam, seperti rantai yang diseret di atas dek baja, disusul oleh suara desisan panjang, seperti napas raksasa yang tertahan.

Mereka semua terdiam, saling pandang. Kapten Jati mengenggam erat pisau yang tergantung di pinggangnya. Armand, penyelam itu, tanpa sadar menggeser posisi, tangannya mendekati pegangan senter selamnya yang berat.

"Itu... hanya pergeseran struktur karena badai," kata Ben, mencoba terdengar meyakinkan, namun suaranya terlalu tinggi.

Tapi Elara tahu itu bukan. Aroma aneh itu tiba-tiba menguat, menusuk hidungnya. Udara terasa lebih dingin. Dan di sudut matanya, ia melihatnya. Sebuah bayangan buram, tinggi dan ramping, melintas cepat di koridor gelap di ujung ruang kontrol. Ia hanya sekilas, tetapi Elara yakin itu bukan manusia.

Ketegangan di ruang kontrol melonjak. Mereka tidak sendirian di rig ini.

Bab 2: Bisikan dari Kegelapan Laut

Keheningan yang mencekam setelah bayangan itu melintas terasa lebih berat daripada raungan badai di luar. Jantung Elara berpacu kencang, setiap detak terasa memekakkan telinga di telinganya sendiri. Ben terbatuk gugup, sementara Maya dengan cepat menyalakan senter selamnya yang kuat, mengarahkan sinarnya ke koridor gelap tempat bayangan itu menghilang. Hanya Armand yang tetap tenang, matanya memindai sekeliling dengan waspada, tangan tetap di gagang pisaunya.

"Itu... apa itu?" bisik Ben, suaranya nyaris tak terdengar.

Kapten Jati menarik napas dalam-dalam. "Pak Slamet atau Pak Udin mungkin. Pasti mereka. Mereka memang suka main-main." Namun, matanya yang biasa dingin kini terlihat sedikit melebar, tidak yakin dengan ucapannya sendiri.

Elara tidak percaya. Gerakan itu terlalu cepat, terlalu cair, terlalu... tidak manusiawi. Aroma logam basah dan ozon itu kini semakin pekat, seolah ada sesuatu yang basah dan besar baru saja lewat di dekat mereka. Ia merasakan kulitnya merinding.

"Kita perlu memeriksa monitor bawah air," kata Elara, mencoba menguasai suaranya. Fokus pada data adalah cara dia menghadapi ketakutan. "Ada anomali yang signifikan."

Maya, dengan tangan sedikit gemetar, mengaktifkan sistem monitor sonar dan kamera bawah air yang masih berfungsi. Layar-layar yang tadinya buram kini menampilkan gambaran yang lebih jelas, meskipun masih dipenuhi noise statis.

Di dasar laut, di kedalaman yang seharusnya hanya ada lumpur dan bebatuan, terlihat sebuah struktur raksasa yang tidak wajar. Bentuknya tidak geometris, tidak simetris, seperti gumpalan besar yang berdenyut-denyut. Warnanya gelap, menyerap cahaya, dan permukaannya terlihat licin, kadang memantulkan cahaya dari lampu ROV yang berkedip. Struktur itu jauh lebih besar dari perkiraan awal, mungkin seukuran beberapa kapal selam. Dan yang paling mengkhawatirkan, ia memancarkan frekuensi aneh yang mengganggu instrumen mereka. Jarum pada gauge seismik melonjak-lonjak liar, dan monitor menampilkan pola-pola gelombang yang tidak biasa.

"Ini... ini mustahil," gumam Ben, matanya membelalak di balik kacamatanya. "Tidak ada formasi geologi seperti ini. Ini bukan alam."

"Atau bukan alam yang kita kenal," imbuh Maya, suaranya tegang. "Frekuensinya... membuat kepalaku pusing."

Elara merasakan migrain yang menusuk di pelipisnya, sensasi yang sama seperti saat ia pertama kali mencium bau aneh di rig. Frekuensi itu tidak hanya mengganggu instrumen; ia juga mengganggu otaknya.

Tiba-tiba, suara-suara dari dalam rig kembali. Kali ini lebih jelas, lebih mendalam. Bukan lagi dentingan rantai yang samar, melainkan suara gesekan logam yang berat, seperti beban raksasa yang diseret melintasi dek baja, disusul oleh desisan panjang yang kini terdengar seperti napas yang tertahan, sebuah hembusan napas yang dingin dan basah, disertai suara tetesan air yang ritmis. Suara-suara itu seolah datang dari lorong-lorong di bawah mereka, dari perut rig itu sendiri.

"Mereka ada di bawah kita," bisik Armand, suaranya serak. Ia bukan orang yang mudah takut, namun suaranya menunjukkan kegelisahan yang nyata.

Dan kemudian, halusinasi pendengaran Ben dimulai. Ia meremas kepalanya, wajahnya pucat pasi. "Diam! Berhenti! Apa itu?" Dia berteriak, matanya liar. "Aku mendengar... aku mendengar bisikan. Bukan bahasa manusia. Bahasa kuno. Mereka memanggil."

Elara, Maya, dan Armand saling pandang. Mereka tidak mendengar bisikan itu. Hanya Ben. Ini adalah titik balik pertama; ketakutan mulai merasuki pikiran individu, meruntuhkan batasan realitas mereka.

"Ben, tenanglah," kata Elara, berusaha bersikap rasional. "Itu mungkin hanya efek psikologis dari isolasi dan frekuensi aneh itu. Otakmu menafsirkannya sebagai suara."

"Tidak! Ini nyata!" Ben menghempaskan tangannya, menunjuk ke dinding. "Mereka ada di mana-mana! Mereka berbicara di kepalaku! Tentang... tentang lautan. Dan tentang... The Deep One." Suaranya bergetar hebat.

Ketegangan di antara tim melonjak. Mereka tidak hanya menghadapi anomali bawah laut, tetapi juga ketidakstabilan mental di antara mereka sendiri. Badai di luar semakin mengganas, membuat rig bergetar hebat. Lampu-lampu darurat berkedip-kedip, mengancam untuk padam total. Air laut mulai merembes masuk melalui celah-celah di atap dan dinding, menetes ke lantai logam dengan suara "tik-tik" yang menjengkelkan.

Maya, yang mencoba tetap fokus pada monitor sonar, tiba-tiba memekik. "Struktur itu! Dia bergerak! Dia... dia mendekat ke rig!"

Layar sonar menunjukkan anomali raksasa itu kini bergerak dengan kecepatan yang tidak wajar, langsung menuju ke arah Triton-7. Elara mendekat, matanya terpaku pada monitor. Bentuk buram itu kini tampak memanjang, seolah memiliki tentakel atau anggota tubuh yang tak terhitung jumlahnya, bergerak dengan gemulai namun mengerikan di kedalaman. Frekuensi yang dipancarkannya kini begitu kuat hingga menyebabkan rasa sakit yang tajam di telinga Elara dan Maya, seolah ada jarum yang menusuk gendang telinga mereka.

"Kenapa dia bergerak secepat itu?" tanya Maya, suaranya bergetar. "Tidak ada arus yang sekuat ini di kedalaman itu!"

"Dia bukan terbawa arus, Maya," gumam Armand, matanya terfokus pada layar. "Dia menciptakan arusnya sendiri."

Tiba-tiba, monitor kamera bawah air yang terhubung ke ROV yang mereka turunkan, berkedip, lalu menampilkan gambaran buram. Melalui noise dan distorsi, mereka melihatnya: bayangan raksasa melintas di depan kamera, begitu cepat sehingga sulit untuk ditangkap. Hanya sekilas, namun cukup untuk melihat siluet tentakel besar yang menggeliat atau bentuk biologis yang tidak dikenal, dengan mata bercahaya redup yang menatap langsung ke arah kamera sebelum layar kembali menjadi statis.

"Itu... apa pun itu... dia tahu kita di sini," bisik Elara, tenggorokannya tercekat. Firasat buruk yang ia rasakan sejak awal kini berubah menjadi kenyataan yang mengerikan.

Dan kemudian, pintu ruang kontrol di belakang mereka berderit pelan, seolah terbuka sedikit oleh hembusan angin yang dingin. Mereka semua menoleh serentak. Tidak ada siapa-siapa. Hanya kegelapan koridor yang dipenuhi bayangan. Namun, aroma logam basah dan ozon itu kini begitu pekat, seolah ada sesuatu yang sangat besar dan baru saja keluar dari air, kini berdiri di ambang pintu itu.

"Dia sudah di dalam rig," bisik Ben, matanya melebar dalam ketakutan yang tak terkendali. "Dia datang untuk kita."

Raungan badai di luar semakin memekakkan telinga, dan rig mulai bergetar hebat, bukan hanya karena gelombang, tetapi seolah-olah ada sesuatu yang sangat besar dan berat sedang bergerak di bawah mereka, mengguncang fondasinya. Lampu darurat berkedip-kedip semakin gila, mengancam untuk padam sepenuhnya. Mereka terperangkap. Terisolasi. Dan tidak sendirian. Ketakutan itu nyata. Dan ia baru saja dimulai.

Bab 3: Distorsi Realitas

Malam berlalu dengan lambat, setiap menit terasa seperti jam. Tim Perseus-7 terperangkap dalam cengkeraman badai di luar dan teror yang tak terlihat di dalam. Suara gemuruh dari kedalaman laut terus meningkat, sebuah melodi mengerikan yang kini menjadi latar belakang konstan bagi halusinasi mereka. Tidur adalah kemewahan yang tak terjangkau. Kelelahan yang ekstrem mulai menggerogoti kewarasan mereka, memperburuk efek dari fenomena aneh yang mereka alami.

Dr. Lena Petrova, yang selalu mengandalkan logika dan data, merasa otaknya sendiri mulai memberontak. Tekanan di kepalanya kini konstan, berdenyut-denyut mengikuti irama detak jantung raksasa yang hanya ia dengar. Ia mencoba memindai setiap inci ruang kontrol, mencari sumber frekuensi ultrasonik yang tak terlihat itu. Monitor-monitornya semua menampilkan garis statis yang tak berarti, namun ia bisa merasakan gelombang-gelombang tak kasat mata itu menghantam otaknya, menciptakan sebuah kekosongan yang membingungkan. Sesekali, ia melihat kilasan bayangan hitam bergerak di sudut pandangnya—bukan bayangan manusia, melainkan siluet-siluet panjang, tidak wajar, seperti anggota tubuh yang terlalu banyak atau bentuk yang berubah-ubah. Lena mengedipkan mata, memfokuskan pandangannya, tetapi bayangan itu selalu lenyap, meninggalkan keraguan dalam dirinya: apakah ia benar-benar melihatnya, ataukah ini hanya efek dari kurang tidur dan stres ekstrem?

Rizal, sang insinyur muda, kini tampak seperti cangkang kosong. Suara air yang mengalir deras di dalam rig, seolah badai telah membanjiri bagian dalam struktur, tak pernah berhenti di telinganya. Ia mencoba mengabaikannya, namun suara itu begitu nyata, begitu mendesak, hingga ia tak bisa menahan diri untuk tidak terus-menerus memeriksa setiap pipa, setiap sambungan. Ia akan berlari ke koridor gelap, menyinari setiap celah dengan senternya, mencari sumber kebocoran yang tak ada. Kemejanya basah oleh keringat dingin, dan ia terengah-engah dalam kepanikan yang konstan. Rasa takut akan tenggelam di dalam baja raksasa itu menguasai dirinya.

Maya, ahli komunikasi yang dulunya pendiam, kini menunjukkan tanda-tanda paling jelas dari kehancuran mental. Melodi putri duyung dari kedalaman laut yang ia dengar kini menjadi sebuah simfoni penuh, menariknya, memanggil namanya dengan suara-suara yang merdu namun menyeramkan. Ia sering berjalan ke arah jendela, menatap kabut tebal di luar, seolah ingin melompat ke dalam kegelapan samudra untuk menemukan sumber nyanyian itu. Rambutnya yang biasanya rapi kini acak-acakan, matanya merah dan bengkak karena terus menangis. Ia akan bergumam sendiri, mencoba menyanyikan melodi itu, namun suaranya terdengar tidak beraturan dan aneh. Setiap kali seseorang mencoba menariknya dari jendela, ia akan melawan dengan kekuatan yang tak terduga, seolah ada daya tarik tak terlihat yang menariknya keluar.

Namun, yang paling mengkhawatirkan adalah kondisi Sandro. Mantan teknisi rig itu kini sepenuhnya terjerumus dalam ketakutannya. Bisikan-bisikan dalam bahasa kuno di kepalanya kini berubah menjadi teriakan-teriakan yang memekakkan, seolah ribuan suara berbicara padanya secara bersamaan dalam sebuah bahasa asing yang menakutkan. Ia akan mencengkeram kepalanya, merintih kesakitan. Wajahnya yang dulunya kasar kini penuh keringat dingin dan air mata, matanya membelalak, melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat orang lain. Sandro mulai berbicara dengan "mereka", terkadang memohon, terkadang berteriak marah. "Pergi! Pergi! Jangan sentuh aku! Ini bukan tempatmu!" Ia akan menunjuk ke sudut-sudut ruangan yang kosong, berteriak pada bayangan tak terlihat yang hanya ia lihat.

Bau minyak bumi terbakar bercampur garam laut pekat yang muncul sejak kedatangan mereka di rig kini menjadi aroma yang konstan, menusuk hidung mereka semua, meresap ke dalam pakaian dan kulit mereka. Bau itu tak hanya menjijikkan, tapi terasa hidup, seolah berasal dari sebuah keberadaan yang busuk dan kuno. Rasa pahit yang tak dapat dijelaskan muncul di lidah mereka, membuat air minum terasa seperti air kotor dan sisa makanan ringan yang mereka miliki terasa seperti lumpur.

Lena mencoba tetap rasional. "Ini efek dari badai, kurang tidur, dan tekanan barometrik. Halusinasi kolektif. Kita harus tetap fokus pada misi." Tapi bahkan ia sendiri, di lubuk hatinya, tahu itu lebih dari sekadar efek fisik. Ada sesuatu yang sangat salah, sesuatu yang melampaui penjelasan ilmiah.

Peralatan sonar terus menampilkan gambaran yang mengganggu. Struktur raksasa di bawah laut itu tidak hanya bergerak, tetapi juga berdenyut samar-samar dengan cahaya kebiruan yang redup. Denyutan itu seolah mengikuti detak jantung yang Lena dengar di kepalanya. Setiap denyutan terasa seperti mengirimkan gelombang kejut ke dalam rig, membuat struktur baja bergetar samar.

"Aku perlu mengidentifikasi ini," kata Lena, memaksakan suaranya agar terdengar stabil. "Maya, coba paksa koneksi. Kita butuh data citra yang lebih jelas. Rizal, cek stabilitas platform. Sandro... duduk dan tenangkan dirimu."

Sandro hanya tertawa gila, matanya menatap Lena dengan sorot aneh. "Kau tidak akan menemukan apa-apa, Dokter. Mereka tidak akan membiarkanmu. Mereka sudah di sini. Di bawah... dan sekarang... di dalam." Ia menunjuk ke arah lantai baja, lalu ke arah Lena, seringai aneh di wajahnya.

Tiba-tiba, suara dentingan rantai yang keras terdengar dari lantai bawah, seolah ada sesuatu yang berat diseret. Suara itu begitu nyaring hingga membuat mereka semua terlonjak. Sandro berteriak, merangkak mundur ke sudut ruangan, mencengkeram kepalanya.

Lena tahu ia harus mengambil kendali. Mereka tidak bisa runtuh di sini. "Baiklah, kita akan turun. Kita akan periksa bagian bawah rig. Kita butuk tahu apa yang menyebabkan suara itu dan mengganggu sonar."

Rizal, meskipun takut, mengangguk. "Saya akan siapkan penerangan cadangan, Dr. Petrova."

Maya, yang masih menatap keluar jendela dengan mata kosong, tidak merespons. Lena harus menariknya dengan paksa dari jendela. "Maya! Fokus! Kita harus memeriksa sumbernya."

Mereka tahu ini adalah tindakan putus asa. Menjelajahi rig yang gelap dan rusak di tengah badai, dengan ancaman tak terlihat yang datang dari kedalaman, adalah bunuh diri. Namun, tetap diam di ruang kontrol, membiarkan kewarasan mereka terkikis perlahan, terasa lebih menakutkan. Ada sebuah kebenaran yang harus mereka hadapi. Dan kebenaran itu, mereka takut, jauh lebih buruk dari sekadar kegilaan.

Bab 4: Turun ke dalam Kegelapan

Keputusan untuk menjelajahi bagian bawah rig terasa seperti melangkah ke dalam rahang monster. Badai di luar masih meraung, dan di dalam rig, suara-suara aneh dari dalam pipa-pipa dan gemuruh dari bawah laut semakin menguat. Tim, yang kini berbekal senter militer dengan cahaya sangat terang, mulai turun melalui tangga-tangga baja yang berkarat, meninggalkan keamanan relatif ruang kontrol. Setiap langkah mereka bergema di lorong-lorong gelap yang pengap.

Aroma minyak bumi terbakar dan garam laut pekat semakin menusuk hidung mereka seiring mereka turun, seolah mereka sedang menyelam ke dalam sumber bau itu. Udara terasa dingin dan lembap, meresap ke tulang.

Sandro berada di garis depan, memimpin jalan dengan obor darurat yang berkedip-kedip, meskipun tubuhnya gemetar tak terkendali. Bisikan-bisikan dalam bahasa kuno di kepalanya kini begitu kuat, ia nyaris tidak bisa mendengar apa pun selain suara-suara itu. Ia akan sesekali berhenti, menunjuk ke dinding gelap, dan bergumam tentang "mereka" yang bersembunyi. Ia melihat bayangan-bayangan yang menari di dinding, jauh lebih jelas daripada siapa pun. Di matanya, dinding-dinding baja itu seolah bernanah, mengeluarkan lendir gelap, atau darah.

Di belakangnya, Rizal berjalan dengan ketakutan yang nyata. Suara air yang mengalir deras di dalam rig kini begitu memekakkan telinga baginya, seolah kakinya terendam air setinggi lutut. Ia terus-menerus memeriksa pijakannya, mencari genangan air yang tak ada, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Setiap kali ia mendengar suara dentingan logam atau gemuruh, ia akan terkesiap, seolah ada yang menarik kakinya dari bawah. Rasa takut tenggelam mencengkeramnya.

Maya tampak seperti orang yang kesurupan. Nyanyian melodi putri duyung kini begitu memikat, ia harus berjuang keras untuk tidak mulai menari atau bernyanyi mengikutinya. Ia sering tersandung, kakinya seolah ingin melangkah ke arah yang berbeda, menuju suara panggilan itu. Matanya terpaku pada celah-celah kecil di dinding atau retakan di lantai, seolah ia bisa melihat kilauan cahaya kebiruan dari kedalaman yang memanggilnya. Wajahnya menunjukkan campuran kebahagiaan yang aneh dan kesedihan yang mendalam.

Lena, yang paling rasional, mencoba menjaga semua orang tetap fokus, tetapi bahkan ia pun kesulitan. Tekanan di kepalanya kini terasa seperti ada palu yang memukul-mukuli dari dalam. Detak jantung raksasa yang ia dengar tidak hanya di kepalanya, tetapi seolah beresonansi di tulang-tulang dadanya. Ia sering merasakan sensasi aneh di punggungnya, seperti ada sesuatu yang mengikuti mereka, sebuah kehadiran tak terlihat yang memancarkan dingin. Setiap kali ia mencoba memfokuskan senter ke arah bayangan yang ia lihat di sudut pandangannya, bayangan itu akan bergerak lebih cepat, lebih tidak wajar, tidak lagi seperti manusia, melainkan seperti siluet anggota tubuh yang terlalu banyak, atau bentuk yang berputar dan berpilin, menari dalam kegelapan.

Mereka tiba di dek bawah, sebuah area yang lebih dekat ke permukaan laut, tempat kaki-kaki rig menembus air. Bau minyak terbakar dan garam laut di sini begitu pekat hingga membuat mereka terbatuk-batuk. Suara badai di atas mereka lebih dahsyat. Di bawah mereka, gemuruh dari kedalaman terdengar lebih jelas, sebuah getaran rendah yang terasa di lantai baja.

"Lihat!" Sandro tiba-tiba berteriak, menunjuk ke arah salah satu pilar baja raksasa yang menembus air.

Di permukaan pilar, yang seharusnya bersih dari kehidupan organik, terdapat noda-noda gelap yang aneh. Bukan karat, melainkan sesuatu yang organik, kehitaman, dan berlendir, seperti guratan-guratan yang tak beraturan. Dan dari noda-noda itu, tampak membias cahaya kebiruan samar yang berdenyut-denyut, persis seperti yang mereka lihat di sonar.

"Itu... itu bukan minyak," gumam Rizal, suaranya gemetar. "Ini... ini seperti... jaringan."

Lena mendekat, menyinari dengan senternya. Noda-noda itu memang terlihat seperti urat-urat gelap yang tebal, seperti pembuluh darah raksasa yang menempel pada baja, memancarkan lendir kehitaman. Dan dari sana, suara gemuruh dari kedalaman terasa paling kuat.

Tiba-tiba, suara dentingan rantai yang keras terdengar lagi, kali ini begitu dekat, seolah berasal dari dalam pilar baja itu sendiri. Kemudian, disusul rintihan yang sangat panjang dan pilu, suara yang tidak terdengar seperti manusia, melainkan seperti jeritan penderitaan dari makhluk raksasa.

Sandro menjerit, menjatuhkan obornya. "Mereka di sini! Mereka sudah naik! Mereka masuk!"

Tepat pada saat itu, sebuah gelombang kejutan ultrasonik yang kuat menghantam mereka. Ini bukan lagi tekanan samar di kepala; ini adalah hantaman yang memekakkan, yang membuat gendang telinga mereka berdengung keras dan pandangan mereka menjadi buram. Mereka semua jatuh berlutut, mencengkeram kepala mereka kesakitan.

Ketika pandangan Dewi sedikit jernih, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku. Di permukaan air yang gelap di bawah rig, sebuah cahaya kebiruan terang mulai muncul, berdenyut-denyut dengan intensitas yang mengerikan. Dan dari dalam cahaya itu, bayangan-bayangan raksasa yang tidak wajar mulai terlihat, bentuk-bentuk yang tidak memiliki geometri yang jelas, siluet-siluet yang terus berubah dan berpilin, seperti fatamorgana hidup yang terbuat dari kegelapan dan cahaya. Mereka tampak berenang mendekat, bergerak dengan kecepatan yang mustahil.

Lena, meskipun kesakitan, berhasil meraih Rizal. "Kita harus kembali! Sekarang!"

Mereka berusaha bangkit, namun tubuh mereka terasa lemas. Aroma busuk dari laut itu kini menjadi sangat kuat, seperti bau bangkai purba yang telah lama terkubur. Suara-suara di kepala mereka semua kini menjadi paduan suara yang mengerikan: Sandro mendengar bisikan-bisikan kuno yang berubah menjadi teriakan kemarahan, Rizal mendengar suara air bah yang membanjiri, Maya mendengar nyanyian putri duyung yang kini terasa seperti jeritan kematian, dan Lena merasakan detak jantung raksasa itu memukul-mukul di dadanya sendiri.

Saat mereka berbalik untuk naik, mereka melihat kilatan cahaya yang lebih terang dari bawah air. Dan di antara cahaya itu, sesuatu yang besar, tak beraturan, mulai mencuat dari permukaan laut, bergerak ke arah kaki-kaki rig. Itu adalah massa gelap, berlendir, dengan bentuk yang tidak bisa didefinisikan, dan di permukaannya, tampak puluhan mata yang berdenyut-denyut dengan cahaya biru yang mengerikan.

Mereka semua berteriak, berbalik, dan mulai berlari menaiki tangga. Namun, suara gemuruh di belakang mereka semakin dekat, dan mereka tahu, entitas dari kedalaman itu kini telah mencapai rig. Mereka tidak lagi dikejar oleh halusinasi, melainkan oleh sebuah kenyataan yang jauh lebih menakutkan, sebuah kengerian yang telah lama terkubur di bawah laut, dan kini bangkit untuk mengklaim Perseus-7, serta apa pun yang ada di dalamnya.

Bab 5: Kebangkitan Sang Purba

Gelombang kejutan ultrasonik yang menghantam mereka di dek bawah adalah sebuah serangan fisik yang nyata, bukan lagi sekadar halusinasi. Telinga mereka berdengung nyeri, pandangan buram, dan rasa mual hebat menguasai mereka. Mereka tahu, ini adalah awal dari akhir. Ancaman dari kedalaman tidak lagi bermain-main dengan pikiran mereka; ia telah bangkit dan menampakkan diri.

Dr. Lena Petrova, meskipun tubuhnya bergetar, adalah yang pertama pulih. Otaknya, terlatih untuk krisis, memicu naluri bertahan hidup. "Ke atas! Sekarang! Ruang kontrol! Kita harus sampai ke radio darurat!" teriaknya, suaranya serak. Ia tahu radio utama mati, tapi ada satu unit darurat yang mungkin masih berfungsi di ruang kontrol tertinggi.

Rizal, yang masih terguncang, mencoba bangkit. Rasa air yang membanjiri di telinganya kini begitu nyata, ia merasa setiap langkahnya terendam. Kakinya terasa berat, seolah tersangkut lumpur. Ia melihat ke belakang, ke arah pilar baja yang kini dihampiri oleh massa organik hitam berlendir itu. Puluhan mata biru yang berdenyut di permukaannya menatap lurus ke arah mereka, memancarkan cahaya dingin yang menembus kegelapan. Sebuah suara menggelinding dari kedalaman, sebuah gemuruh yang bukan berasal dari gempa bumi, melainkan dari sebuah keberadaan hidup yang sangat besar, dan suara itu beresonansi di tulang-tulang mereka, membuat gigi mereka bergemeletuk.

Maya tidak lagi menyanyi. Wajahnya pucat pasi, matanya membelalak ketakutan, menatap langsung ke arah entitas yang naik dari air. Melodi putri duyung di kepalanya kini berubah menjadi jeritan yang memekakkan telinga, sebuah paduan suara kengerian yang membuat akalnya nyaris putus. Ia tersandung, jatuh ke lantai baja yang licin, tubuhnya gemetar tak terkendali.

Sandro berada dalam kondisi terburuk. Ia menjerit histeris, menunjuk ke arah "urat-urat" organik yang menjalar di pilar baja. "Lihat! Itu bergerak! Ia merangkak naik!" Bisikan-bisikan kuno di kepalanya kini menjadi perintah-perintah yang mengancam, memaksanya untuk tetap di sana, untuk menjadi santapan. Ia mencoba bangkit, namun tubuhnya kaku, seperti ditarik oleh kekuatan tak kasat mata.

Lena menyeret Rizal, yang nyaris tidak bisa bergerak. "Ayo! Kita tidak punya waktu!" Ia menoleh ke arah Maya dan Sandro. "Bangkit! Sekarang!"

Dengan susah payah, mereka mulai menaiki tangga baja, meninggalkan dek bawah yang kini diselimuti bau amis yang menusuk, campuran minyak, karat, dan sesuatu yang busuk dan tidak dikenal. Setiap anak tangga terasa seperti pendakian Everest. Rig itu sendiri tampak hidup, meraung di bawah amukan badai dan getaran dari entitas di bawah.

Saat mereka naik, suara gemuruh dari entitas bawah laut itu semakin membesar, dan getaran di rig semakin intens. Lena bisa merasakan baja di bawah kakinya berderak, bergeser, seolah struktur raksasa itu sedang diremas oleh tangan tak terlihat.

Tiba-tiba, suara dentuman keras menggema dari bawah. Salah satu pilar baja raksasa yang menopang rig bergetar hebat, dan retakan besar muncul di permukaannya. Air laut mulai menyembur masuk dari retakan itu, bercampur dengan lendir hitam organik yang sama.

"Cepat!" teriak Lena. "Rig ini tidak akan bertahan lama!"

Mereka terus naik, menerobos kegelapan yang diselingi cahaya senter yang berkedip-kedip. Koridor-koridor yang tadinya gelap dan pengap kini terasa seperti labirin yang sempit, dengan bayangan-bayangan menari-nari di setiap sudut. Halusinasi mereka semakin parah seiring dengan setiap langkah yang membawa mereka lebih dekat ke sumber tekanan di kepala mereka.

Sandro, yang tertinggal di belakang, tiba-tiba berhenti. Ia berteriak, matanya melotot. "Tidak! Jangan sentuh aku!" Ia menunjuk ke udara kosong di depannya, tangannya menggapai-gapai seolah melawan sesuatu. Bisikan-bisikan kuno di kepalanya kini terdengar seperti lolongan, dan ia mulai memuntahkan cairan hitam kental yang berbau seperti minyak terbakar. Tubuhnya ambruk, kejang-kejang.

"Sandro!" Rizal berteriak, mencoba mendekatinya.

Lena menarik Rizal kembali dengan paksa. "Jangan! Kita tidak bisa membantunya! Kita harus terus maju!" Keputusannya kejam, tetapi realistis. Sandro telah menyerah pada teror. Mereka tidak punya waktu untuk menyelamatkannya.

Mereka terus berlari, meninggalkan Sandro yang kejang-kejang di belakang. Rasa bersalah menusuk hati Lena, namun naluri bertahan hidup lebih kuat. Mereka harus mencapai radio darurat.

Langkah kaki mereka terasa semakin berat, seolah gravitasi rig itu sendiri telah berubah, menarik mereka ke bawah. Aroma busuk dari entitas itu kini mengisi setiap sudut, menempel pada mereka seperti kutukan.

Maya, yang sebelumnya pasif, kini tiba-tiba berhenti. Matanya yang merah menatap Lena dengan tatapan kosong, namun di dalamnya ada sebuah kecerdasan yang mengerikan. "Ini bukan hantu," bisiknya, suaranya tenang namun dingin. "Bukan arwah. Ini... yang lebih tua. Yang selalu ada. Di bawah sana." Ia menunjuk ke bawah. "Mereka bernyanyi... mereka memanggil. Dan mereka lapar."

Sebelum Lena bisa merespons, Maya tiba-tiba berbalik dan berlari, bukan ke atas, melainkan ke bawah, kembali ke kegelapan dari mana mereka datang. "Maya! Tidak!" teriak Rizal.

Lena mencoba mengejarnya, tetapi Rizal menahannya. "Jangan, Dokter! Dia sudah tidak waras! Dia menyerah pada panggilan itu!"

Mereka mendengar jeritan Maya yang memekakkan telinga dari bawah, disusul oleh suara dentuman keras, dan kemudian keheningan yang menyeramkan. Lena dan Rizal hanya bisa saling pandang, wajah mereka pucat pasi. Dua orang telah tumbang. Mereka berdua kini sendirian.

Perjalanan ke ruang kontrol terasa seperti melintasi neraka. Setiap lorong yang mereka lewati terasa dipenuhi bayangan-bayangan yang menari, bisikan-bisikan yang menakutkan, dan rasa dingin yang menusuk tulang. Rig itu sendiri terasa hidup, bergetar, meraung, seolah ia sedang dimakan hidup-hidup dari dalam.

Akhirnya, mereka tiba di ruang kontrol utama. Pintu baja yang tebal telah tertekuk sebagian, dan udara di dalamnya terasa lebih dingin dari sebelumnya. Lampu darurat yang mereka tinggalkan sebelumnya kini padam. Gelap total.

"Radio darurat! Di mana radio daruratnya!" teriak Rizal, suaranya histeris.

Lena meraba-raba dalam kegelapan, mencari panel darurat. Tiba-tiba, ia merasakan cairan kental dan dingin di tangannya. Ia menyalakan senternya. Cairan itu adalah lendir hitam organik, yang sama dengan yang ia lihat menjalar di pilar bawah. Lendir itu menetes dari langit-langit, membentuk guratan-guratan aneh di dinding, seolah entitas itu telah merambah hingga ke sini, ke jantung rig.

Lampu darurat akhirnya menyala, memancarkan cahaya redup. Mereka melihat radio darurat di sudut ruangan, namun panelnya diselimuti oleh lapisan lendir hitam yang sama, berdenyut-denyut dengan cahaya biru yang redup.

"Ini... ini mustahil," gumam Rizal, matanya melebar ketakutan. "Bagaimana bisa sampai ke sini secepat ini?"

Lena tahu jawabannya, meskipun otaknya menolak untuk menerimanya. Entitas itu tidak hanya merangkak naik di luar. Ia telah merasuki rig itu sendiri, merambah ke setiap sudut, mengubah struktur baja menjadi bagian dari dirinya. Rig ini bukan lagi tempat perlindungan; ia adalah perangkap, sebuah perut monster.

Bab 6: Perangkap Baja dan Jiwa yang Hancur

Keheningan yang mencekik memenuhi ruang kontrol, hanya dipecahkan oleh suara napas terengah-engah Lena dan Rizal. Mereka berdiri di hadapan radio darurat, yang kini diselimuti lendir organik hitam yang berdenyut dengan cahaya kebiruan samar. Lendir itu terlihat seperti jaringan saraf, terhubung ke panel radio, seolah entitas itu sedang mencoba menguasai teknologi mereka.

"Kita tidak bisa menggunakannya," bisik Rizal, suaranya gemetar. "Ia sudah merasukinya."

Lena mencoba menyentuh panel itu, namun tangannya ditarik kembali oleh rasa dingin yang menusuk dan geli. Lendir itu terasa hidup, berdenyut pelan di bawah kulitnya.

Tiba-tiba, layar monitor utama di ruang kontrol, yang tadinya mati total, berkedip-kedip dan menyala kembali. Bukan menampilkan data sonar atau citra satelit, melainkan sebuah gambaran buram dan statis dari dasar laut. Di tengah statis itu, bentuk raksasa yang tidak wajar itu tampak lebih jelas, siluetnya kini terlihat seperti sebuah gunung bergerak, diselimuti oleh mata-mata biru yang berdenyut, dan di sekelilingnya, tampak tentakel-tentakel raksasa yang tak terhingga jumlahnya, berpilin dan bergerak-gerak seperti ular laut, beberapa di antaranya tampak mencengkeram kaki-kaki rig di kejauhan.

Gambar itu tidak stabil, berkedip-kedip, namun cukup untuk membuat Lena dan Rizal membeku di tempat. Ini adalah makhluk purba, sesuatu yang tidak seharusnya ada di planet ini, sebuah kengerian kosmik yang telah lama tertidur di kedalaman dan kini telah terbangun.

"Apa... apa itu?" bisik Rizal, matanya membelalak ketakutan, air mata mulai menggenang.

Lena tidak bisa menjawab. Otaknya, yang selalu mencari penjelasan ilmiah, kini runtuh di hadapan horor yang tak terlukiskan ini. Teori-teori ilmiahnya, keyakinannya pada tatanan alam, semuanya hancur berkeping-keping.

Bersamaan dengan kemunculan visual itu, gelombang kejutan ultrasonik yang terus-menerus menghantam mereka, lebih kuat dari sebelumnya. Suara detak jantung raksasa yang Lena dengar kini terasa seperti dentuman drum di dalam telinganya, membuatnya hampir kehilangan kesadaran. Ia merasa otaknya sedang diremas, seolah ada yang mencoba menghancurkannya dari dalam.

Rizal terhuyung, mencengkeram kepalanya. Suara air yang membanjiri di telinganya kini begitu nyata, ia bisa merasakan air membanjiri paru-parunya, membuatnya tercekik. Ia mulai terbatuk-batuk, memuntahkan air liur yang berbau amis dan asin.

Dari luar ruang kontrol, terdengar suara gemuruh yang memekakkan telinga, bukan lagi gemuruh badai, melainkan suara baja yang merintih kesakitan, yang terkoyak, dan kemudian suara benturan logam yang sangat keras, seolah ada sesuatu yang besar menghantam rig. Rig itu bergetar hebat, membuat mereka nyaris kehilangan keseimbangan.

Layar monitor utama yang menampilkan entitas bawah laut itu tiba-tiba berubah. Gambar itu menjadi lebih jernih, dan kini mereka melihat puluhan mata biru yang berdenyut-denyut itu menatap langsung ke arah kamera. Dan kemudian, sebuah tentakel raksasa yang diselimuti lendir hitam organik muncul, bergerak perlahan di hadapan kamera, seolah sedang menjelajahi bagian dalam rig. Tentakel itu memiliki diameter seukuran badan manusia, dan di permukaannya, tampak urat-urat berdenyut dengan cahaya biru yang sama.

Lena dan Rizal mundur selangkah, menatap horor itu dengan mata melebar. Entitas itu tidak hanya di luar; ia sudah memasuki rig itu sendiri, merangkak di dalam pipa-pipa, menjalar di setiap lorong, menjadikannya bagian dari tubuhnya.

Suasana di dalam ruang kontrol menjadi dingin sekali, bahkan lebih dingin dari sebelumnya, seolah mereka berada di dalam lemari es. Aroma busuk dan amis kini begitu pekat hingga membuat mereka ingin muntah.

Tiba-tiba, suara Sandro dan Maya terdengar kembali, namun bukan dari kejauhan, melainkan dari dalam kepala mereka, bercampur dengan suara gemuruh entitas itu.

"Dingin sekali... sangat dingin..." bisik suara Sandro, suaranya putus-putus, penuh penderitaan. "Aku... aku melihat mereka... mereka... mereka datang..."

Kemudian, suara Maya, yang terdengar jauh lebih jernih, namun penuh kesedihan. "Jangan melawan... biarkan dia datang... dia memanggil... dia ingin kita menjadi bagiannya..."

Suara-suara itu bukan halusinasi lagi; itu adalah suara-suara dari jiwa Sandro dan Maya yang telah ditelan, yang kini beresonansi di dalam pikiran mereka, menjadi bagian dari paduan suara entitas purba itu. Lena merasakan kengerian yang luar biasa. Entitas itu tidak membunuh mereka, ia merasuki mereka, mengintegrasikan kesadaran mereka ke dalam jaringan kolektifnya.

Lena melihat ke arah Rizal. Rizal berdiri kaku, matanya menatap kosong ke layar monitor yang menampilkan tentakel raksasa itu. Air mata mengalir deras di pipinya, dan ia mulai bergumam, "Cantik sekali... melodi itu... Aku ingin pulang..." Ia mengangkat tangannya yang gemetar, seolah ingin meraih sesuatu yang tidak terlihat.

"Rizal! Jangan!" teriak Lena, mencoba menariknya.

Tapi sudah terlambat. Rizal tiba-tiba tersentak, tubuhnya kejang-kejang sesaat, lalu roboh ke lantai. Sama seperti Sandro, cairan hitam kental mulai keluar dari mulutnya, berbau amis dan minyak. Matanya tetap terbuka, namun sorotnya kosong, seolah jiwanya telah ditarik keluar.

Lena kini sendiri. Sepenuhnya sendiri.

Ia menatap layar monitor. Tentakel raksasa itu telah memenuhi seluruh pandangan, berdenyut dengan cahaya biru yang mengerikan. Ia bisa merasakan gelombang dingin merayapi kakinya, aroma busuk yang pekat memenuhi paru-parunya. Suara gemuruh entitas itu kini menjadi satu dengan detak jantungnya sendiri. Suara Sandro dan Maya, yang kini bergabung dengan suara Rizal, terdengar jelas di kepalanya. Mereka tidak lagi memohon. Mereka bernyanyi, sebuah melodi kuno yang menyeramkan, memanggilnya untuk bergabung.

Ketegangan mencapai puncaknya. Lena tahu ia tidak bisa lari. Rig ini telah menjadi bagian dari entitas itu. Ia tidak akan pernah bisa keluar. Ia adalah yang terakhir.

Ia menutup matanya, membiarkan kegelapan dan suara-suara itu merasukinya. Aroma busuk itu mengisi hidungnya, lidahnya. Ia merasakan sentuhan dingin merayapi kakinya, lalu tangannya, dan akhirnya, menjalar ke wajahnya. Sebuah cairan kental menyentuh kulitnya, berdenyut.

Lena membuka matanya. Ia tidak lagi melihat ruang kontrol. Yang ia lihat hanyalah cahaya biru yang menyilaukan, dikelilingi oleh jaringan-jaringan gelap yang berdenyut-denyut. Ia merasakan tubuhnya tidak lagi milik sendiri, melainkan menyatu dengan sesuatu yang jauh lebih besar, lebih tua, dan tak terbatas. Suara-suara Sandro, Rizal, dan Maya kini menjadi bagian dari pikirannya sendiri, bersama dengan ribuan suara lain yang tak dikenal, semua bernyanyi dalam sebuah paduan suara mengerikan dari kedalaman.

Tidak ada jeritan. Tidak ada perlawanan. Hanya penerimaan yang dingin.

Di layar monitor utama rig Perseus-7, gambar tentakel raksasa itu berkedip-kedip. Lalu, tiba-tiba, layar itu menampilkan sebuah gambar statis: puluhan mata biru yang berdenyut, menatap lurus ke depan, seolah mengawasi kedalaman laut yang tak berujung. Dan di antara mata-mata itu, sebuah titik kecil, seperti cahaya yang baru muncul, tampak berdenyut dengan irama yang sama dengan mata-mata lainnya, sebuah cahaya baru yang baru saja ditambahkan ke dalam koleksi yang tak terbatas.

Layar itu kemudian memudar menjadi hitam total. Keheningan menyelimuti rig, yang kini tampak seperti bagian dari laut itu sendiri, sebuah makam baja yang telah ditelan oleh horor purba. Badai di luar perlahan mereda, seolah tugasnya telah selesai. Rig Perseus-7, dan semua yang ada di dalamnya, telah menjadi bagian dari bayangan di atas laut mati.

Bab 7: Gema dari Kedalaman

Keheningan yang menyelimuti Rig Minyak Perseus-7 setelah badai mereda jauh lebih menakutkan daripada badai itu sendiri. Suara raungan angin dan ombak telah digantikan oleh sebuah kesunyian yang mati, sebuah kekosongan yang terasa begitu pekat sehingga bisa disentuh. Rig itu kini berdiri tegak di tengah laut yang tenang, namun aura kelam yang memancar darinya jauh lebih mencekam daripada sebelumnya. Ia bukan lagi struktur baja mati; ia adalah sebuah makam, sebuah peringatan bisu akan apa yang telah terjadi.

Di ruang kontrol utama, di mana Lena terakhir kali melihat Rizal tumbang, kini tidak ada lagi jejak kehidupan. Monitor utama yang sebelumnya menampilkan gambar tentakel raksasa, kini mati total, layarnya hitam pekat. Lendir hitam organik yang berdenyut di panel-panel dan menetes dari langit-langit, kini telah mengering dan mengeras, menjadi seperti kerak hitam yang menyerupai jaringan saraf mati, mengikat kabel-kabel dan instrumen. Aroma amis dan busuk yang tadinya memualkan, kini telah berubah menjadi bau mineral yang tajam dan dingin, sebuah bau aneh yang mengingatkan pada batu basah yang telah terendam di bawah tanah selama ribuan tahun.

Tidak ada mayat. Tidak ada darah. Tidak ada jejak perlawanan. Tim peneliti yang beranggotakan empat orang itu telah lenyap tanpa jejak, seolah mereka tidak pernah ada. Yang tersisa hanyalah kemeja kerja Rizal yang tertinggal di kursi, beberapa peralatan survei yang tergeletak di lantai, dan sebuah senter militer yang masih menyala redup, sinarnya memantul pada kerak hitam di dinding, menciptakan bayangan-bayangan aneh yang menari.

Beberapa hari kemudian, ketika badai benar-benar reda dan komunikasi akhirnya kembali berfungsi di daratan, Pusat Operasi Maritim mulai khawatir. Perseus-7 seharusnya sudah mengirimkan laporan. Tim survei seharusnya sudah kembali. Sebuah tim penyelamat, yang terdiri dari tiga personel militer angkatan laut dan seorang teknisi ahli, dikirim untuk memeriksa. Mereka adalah Komandan Brama, seorang perwira tegas dengan pengalaman puluhan misi penyelamatan; Letnan Kirana, seorang ahli logistik yang cermat; dan Sersan Rio, penembak jitu yang pendiam namun observan. Mereka ditemani oleh Arif, seorang teknisi ahli yang bertugas mengevaluasi kondisi rig.

Kapal penyelamat Pusaka Laut mendekati Perseus-7 di bawah langit yang cerah dan laut yang tenang. Namun, Komandan Brama merasakan sesuatu yang aneh. "Rig ini... terasa terlalu sepi," gumamnya, memandang siluet raksasa itu. "Bahkan burung laut pun enggan mendekat."

Saat mereka merapat ke platform pendaratan, bau mineral yang dingin itu langsung menusuk hidung mereka, sebuah aroma yang tidak mereka kenal. Mereka melangkah ke atas rig, senapan di tangan, dalam formasi siaga. Tidak ada tanda-tanda kerusakan struktural yang signifikan dari luar, kecuali beberapa bekas karat yang lebih parah dan beberapa bagian yang tampak seperti telah diperbaiki secara kasar dan aneh.

"Bau apa ini, Komandan?" tanya Rio, hidungnya berkerut.

"Entahlah. Bukan bau minyak biasa," jawab Brama, matanya mengamati setiap sudut dengan waspada.

Mereka mulai menjelajahi rig. Setiap langkah mereka terasa berat, bergema di koridor-koridor yang gelap dan kosong. Suhu di dalam rig terasa lebih dingin dari suhu laut di luar. Cahaya senter mereka menari di dinding-dinding baja, menampakkan kerak hitam yang mengering dan mengeras di mana-mana. Kerak itu tampak seperti jaringan syaraf mati, sebuah pola organik yang tidak wajar, menutupi panel-panel, kabel-kabel, dan bahkan lantai.

"Ini bukan karat biasa," kata Arif, teknisi itu, sambil menyentuh kerak hitam dengan jarinya. "Ini... sesuatu yang tumbuh. Atau mungkin... sisa-sisa sesuatu."

Ketika mereka mencapai ruang kontrol utama, mereka menemukan pemandangan yang aneh. Peralatan berserakan, kursi terbalik, namun tidak ada tanda-tanda perkelahian atau kekerasan. Dan di mana-mana, ada kerak hitam yang sama. Monitor utama, yang mati, diselimuti sepenuhnya oleh kerak itu.

"Lena, Rizal, Maya, Sandro?" panggil Brama, suaranya menggema di ruangan kosong. Tidak ada jawaban.

Kirana menemukan kemeja kerja Rizal di kursi. "Komandan, ini milik Rizal. Tapi tidak ada tanda-tanda apapun. Ini aneh."

Arif mulai memeriksa panel-panel yang diselimuti kerak. Ia mencoba menghidupkan kembali beberapa sistem, namun tidak ada respons. Rig itu benar-benar mati.

Tiba-tiba, Sersan Rio, yang tadinya diam, mengangkat senapannya. "Komandan! Aku merasakan sesuatu!" Ia menunjuk ke arah sudut ruangan, di mana terdapat sebuah panel yang diselimuti kerak hitam paling tebal. Cahaya biru samar tampak berdenyut-denyut di baliknya, sangat redup, nyaris tak terlihat.

Brama mendekat, menyinari dengan senter. Di balik kerak, memang ada sebuah titik kecil yang berdenyut dengan cahaya biru, mirip seperti yang dilihat Lena di Bab 6. Dan dari sana, bau mineral yang dingin itu terasa paling kuat.

"Ini aneh," gumam Brama. "Terlalu aneh." Ia memerintahkan Arif untuk mencoba mengambil sampel dari kerak itu.

Saat Arif mencoba mengikis kerak itu dengan pisau kecilnya, sebuah gelombang suara yang sangat rendah dan dalam tiba-tiba memenuhi ruangan. Itu bukan suara ledakan, melainkan sebuah resonansi, sebuah getaran yang terasa di seluruh tubuh mereka, seolah rig itu sendiri sedang menghela napas. Getaran itu terasa seperti detak jantung raksasa, berdenyut lambat namun kuat, membuat gigi mereka bergemeletuk.

"Apa itu?" Kirana terkesiap, mencengkeram lengannya.

Arif menjatuhkan pisaunya, wajahnya pucat. "Suara itu... itu bukan dari mesin rig, Komandan. Itu... dari bawah."

Tiba-tiba, dari dalam kegelapan lorong, terdengar bisikan-bisikan samar, sangat pelan, nyaris tak terdengar, namun terasa familiar dan mengerikan bagi siapa pun yang pernah mendengar cerita tentang Perseus-7. Bisikan-bisikan itu bercampur dengan melodi yang melankolis, sebuah nyanyian yang terdengar indah namun menyeramkan, seperti lagu pengantar tidur yang dinyanyikan oleh makhluk purba.

Rio gemetar. "Aku... aku mendengar suara."

Brama menatap Rio, lalu ke arah lorong gelap. Ia tahu ini bukan halusinasi individu. Semua dari mereka mendengarnya. Rig ini tidak mati. Ia hidup, dan ia sedang bernyanyi. Nyanyian kematian.

"Semua kembali ke kapal! Sekarang!" teriak Brama, suaranya tegas namun ada getaran ketakutan di dalamnya. "Kita tidak akan tinggal di sini lebih lama lagi!"

Mereka bergegas keluar dari ruang kontrol, menuruni tangga-tangga baja yang kini terasa bergetar di bawah kaki mereka, seolah rig itu sedang bergerak. Suara detak jantung dari dalam rig semakin kuat, dan bisikan-bisikan serta melodi dari lorong-lorong terasa mengikuti mereka, memanggil mereka untuk kembali.

Bab 8: Perjalanan Pulang yang Menghantui

Pelarian dari Rig Perseus-7 terasa seperti mimpi buruk yang panjang dan mencekik. Komandan Brama dan timnya berlari menuruni tangga baja yang berkarat, meninggalkan ruang kontrol yang telah menjadi sarang horor. Setiap langkah mereka terasa diikuti oleh bisikan-bisikan dan melodi aneh dari dalam rig, yang kini terasa begitu dekat, seolah "mereka" sedang bernyanyi di telinga mereka. Bau mineral yang dingin dan tajam itu menusuk hidung mereka, menempel di pakaian mereka, seolah rig itu telah menanamkan sebagian dirinya pada mereka.

Ketika mereka akhirnya mencapai dek pendaratan, di mana kapal Pusaka Laut menanti, mereka tidak lagi melihat rig itu sebagai struktur baja mati. Ia adalah entitas hidup, sebuah monster yang telah terbangun dari tidur panjangnya di kedalaman. Angin laut bertiup dingin, membawa serta gema-gema suara aneh dari dalam rig.

Mereka dengan cepat naik ke kapal Pusaka Laut, menarik jangkar, dan berlayar menjauh dari Perseus-7 secepat mungkin. Komandan Brama memerintahkan untuk menjaga jarak maksimal, dan Arif segera mencoba membuat laporan ke Pusat Operasi Maritim.

"Sinyal masih sangat lemah, Komandan," lapor Arif, wajahnya pucat. "Ada interferensi yang parah. Aku tidak bisa mengirimkan data yang stabil."

Brama menghela napas, menatap kembali ke arah rig yang kini perlahan mengecil di kejauhan. Meskipun jaraknya bertambah, ia masih bisa merasakan getaran samar dari detak jantung raksasa itu di kakinya, di dadanya. Dan di dalam benaknya, ia bisa mendengar bisikan-bisikan dan melodi yang melankolis itu, jauh lebih samar dari sebelumnya, namun tetap ada, sebuah gema yang menghantuinya.

"Catat semua yang kau bisa, Arif," perintah Brama. "Kita akan laporkan semuanya begitu kita sampai di daratan."

Perjalanan pulang terasa sangat panjang dan sunyi. Tidak ada yang banyak bicara. Setiap anggota tim tenggelam dalam pikiran mereka sendiri, mencoba memproses kengerian yang baru saja mereka alami. Mereka semua tahu bahwa apa yang terjadi di Perseus-7 tidak memiliki penjelasan logis atau ilmiah.

Dalam beberapa hari berikutnya, setelah mereka tiba kembali di pangkalan, tim penyelamat menjalani pemeriksaan medis dan psikologis intensif. Mereka semua menderita sakit kepala kronis, insomnia parah, dan ketakutan yang mendalam terhadap kegelapan dan ruang tertutup. Bau mineral yang dingin itu, meskipun tidak sekuat di rig, masih menempel pada mereka, terutama pada pakaian dan rambut mereka.

Komandan Brama berusaha keras untuk mempertahankan ketenangan dan rasionalitasnya. Ia menulis laporan detail tentang hilangnya tim survei dan kondisi rig, namun ia kesulitan menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan fenomena yang mereka alami. Bagaimana ia bisa menulis tentang detak jantung raksasa, bisikan-bisikan kuno, dan lendir organik yang merasuki baja? Ia mencoba menjaga fakta-fakta seilmiah mungkin, mengesampingkan hal-hal yang tidak masuk akal, berharap laporannya akan diterima. Namun, ia tidak bisa mengusir gema bisikan dan melodi aneh dari dalam benaknya. Terkadang, ia akan terbangun di tengah malam dengan keringat dingin, merasakan detak jantung raksasa itu berdenyut di bawah bantalnya.

Letnan Kirana mengalami insomnia paling parah. Setiap kali ia mencoba tidur, ia akan melihat kilasan-kilasan bayangan aneh yang bergerak cepat di sudut matanya, seperti siluet-siluet yang terlalu banyak anggota tubuh, sama seperti yang Lena Petrova alami. Ia juga mulai merasakan sentuhan dingin yang menusuk di punggungnya, seolah ada yang mengikutinya ke mana pun ia pergi. Ia akan berteriak dalam tidurnya, atau tiba-tiba terbangun dengan panik, merasa seseorang berada di kamarnya.

Sersan Rio yang pendiam menjadi semakin penyendiri. Ia mulai melihat kilauan cahaya biru samar di tempat-tempat yang tidak seharusnya, seperti dari dalam air minumnya, atau dari dalam kegelapan di balik pintu. Ia juga mulai mendengar dentingan rantai yang samar di telinganya, terutama saat ia sendirian. Ia bahkan kadang-kadang berbisik sendiri dalam bahasa yang aneh, meniru bisikan kuno yang ia dengar di rig. Tim medis mendiagnosisnya dengan gangguan stres pascatrauma yang parah, namun Brama tahu itu lebih dari sekadar trauma psikologis.

Arif, sang teknisi, adalah yang paling terpengaruh secara fisik. Ia sering mengalami mual dan muntah parah, terutama setelah makan. Indranya terasa terdistorsi; makanan dan minuman terasa hambar atau berbau aneh, persis seperti yang dialami tim survei. Ia juga seringkali merasakan rasa pahit yang tak dapat dijelaskan di lidahnya, dan bau mineral yang dingin itu seolah melekat pada kulitnya, tak bisa dihilangkan meski sudah mandi berkali-kali.

Pusat Operasi Maritim sangat skeptis terhadap laporan Brama. Mereka menganggap hilangnya tim survei sebagai kecelakaan yang tragis akibat badai dan kegagalan fungsi rig, dan gejala-gejala yang dialami tim penyelamat sebagai manifestasi stres dan kelelahan ekstrem. Mereka memerintahkan untuk menutup penyelidikan, menganggapnya sebagai "insiden yang ditutup" dan menyalahkan cuaca ekstrem.

Namun, beberapa bulan kemudian, insiden aneh mulai bermunculan di sekitar lokasi bekas Rig Perseus-7. Kapal-kapal penangkap ikan melaporkan suara-suara nyanyian aneh dari kedalaman laut, yang terdengar begitu indah namun juga sangat menyeramkan, membuat kru mereka merasa terhipnotis atau ketakutan. Beberapa kapal juga melaporkan hilangnya alat tangkap mereka secara misterius, atau melihat kilatan cahaya biru samar di bawah air pada malam hari. Beberapa nelayan bahkan bersumpah mereka melihat bayangan-bayangan raksasa bergerak di bawah permukaan air, bentuk-bentuk yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya.

Komandan Brama tahu. Rig Perseus-7 tidak hanya menelan tim survei. Ia telah menjadi sebuah portal, sebuah gerbang bagi sesuatu yang purba dan mengerikan untuk bangkit dan menyebar. Ia telah mencoba memperingatkan, namun tidak ada yang percaya padanya. Ia kini terpaksa menyaksikan, dari kejauhan, bagaimana gema dari kedalaman itu perlahan-lahan mulai merambah ke dunia permukaan, seperti sebuah infeksi yang tak terlihat namun mematikan.

Ia sering mengunjungi Rio di rumah sakit jiwa. Rio hanya duduk diam, matanya menatap kosong ke depan, terkadang tersenyum tipis seolah mendengar lelucon rahasia. Bisikan-bisikan kuno masih terus terngiang di telinga Brama, sebuah pengingat konstan akan kebenaran mengerikan yang hanya ia dan timnya yang selamat ketahui.

Laut di sekitar bekas Rig Perseus-7 tidak lagi disebut "laut mati" karena kekosongan minyaknya. Ia kini disebut "Laut Mati" karena sesuatu yang lain... sesuatu yang telah bangkit dan kini bersemayam di sana, menanti.

Dan Brama tahu, ini hanyalah permulaan.

Bab 9: Karantina dan Bisikan Bisu

Pusat Operasi Maritim awalnya mengabaikan laporan Komandan Brama. Mereka bersikeras bahwa apa yang terjadi di Perseus-7 adalah konsekuensi logis dari badai dahsyat dan kegagalan struktural rig, ditambah dengan stres ekstrem yang dialami tim penyelamat. Dokumen-dokumen resmi mencatat kasus ini sebagai "hilangnya tim survei akibat bencana alam" dan "gangguan psikologis pascatrauma pada tim penyelamat". Namun, seiring waktu, beberapa hal mulai terbukti tidak dapat dijelaskan secara rasional.

Insiden-insiden di sekitar wilayah Perseus-7 terus meningkat. Bukan hanya laporan nelayan tentang nyanyian aneh atau kilatan cahaya biru. Dalam beberapa minggu, sinyal navigasi kapal-kapal yang melewati area tersebut mulai mengalami gangguan parah, bahkan ketika cuaca cerah. Sistem sonar menunjukkan anomali besar di bawah laut, sebuah "struktur" yang tidak ada di peta, yang terus-menerus memancarkan frekuensi rendah yang mengganggu peralatan. Lebih mengerikan lagi, beberapa kapal suplai yang melintas melaporkan hilangnya kru secara misterius dari dek, tanpa jejak atau perlawanan. Ada yang bersumpah mereka mendengar bisikan-bisikan dari laut sebelum kru mereka lenyap, atau melihat bayangan-bayangan melayang di permukaan air yang gelap.

Tekanan publik dan laporan yang semakin aneh akhirnya memaksa pemerintah untuk mengambil tindakan. Wilayah di sekitar bekas Rig Perseus-7, seluas radius 50 mil laut, dinyatakan sebagai Zona Karantina Maritim Tingkat Tinggi. Semua lalu lintas kapal sipil dilarang mendekat. Kapal-kapal patroli militer mulai berlayar di batas zona, mengawasi area tersebut. Pemerintah menyebutnya sebagai "tindakan pencegahan keamanan lingkungan dan navigasi", namun di balik layar, desas-desus tentang "sesuatu" di bawah laut mulai menyebar di kalangan militer.

Komandan Brama menjadi konsultan utama untuk operasi karantina ini. Ironisnya, orang yang laporannya ditertawakan kini menjadi satu-satunya yang dianggap "berpengalaman" menghadapi ancaman tak terlihat ini. Namun, posisinya terasa seperti sebuah kutukan. Setiap hari, ia harus menghadapi laporan-laporan baru tentang anomali yang semakin memburuk, sementara ia sendiri terus berjuang melawan gema bisikan dan detak jantung raksasa yang tak pernah hilang dari benaknya. Ia tidak bisa lagi tidur nyenyak. Malamnya diisi dengan mimpi-mimpi fragmentasi, kilasan cahaya biru, dan sensasi dingin yang menusuk.

Letnan Kirana mengundurkan diri dari tugas aktif. Ia tidak bisa lagi berfungsi secara normal. Ia didiagnosis dengan PTSD parah, namun ia tahu itu lebih dari itu. Kilasan bayangan dan sentuhan dingin itu telah menjadi teman setianya. Ia seringkali mendapati dirinya berbicara sendiri, mencoba menepis bayangan yang hanya ia lihat. Ia hidup dalam isolasi, ketakutannya kini menguasai dirinya sepenuhnya, mengubah apartemennya menjadi sebuah sel pribadi.

Sersan Rio adalah kasus yang paling parah. Ia ditempatkan di rumah sakit jiwa militer, di mana ia terus-menerus bergumam dalam bahasa kuno yang ia dengar di rig. Matanya selalu menatap ke depan, melihat "cahaya biru" yang tidak terlihat oleh siapa pun. Terkadang, ia akan tertawa sendiri, tawa yang terdengar sangat dingin dan tanpa emosi, seolah tawa itu bukan miliknya. Dokter-dokter berjuang keras untuk memahaminya, mendiagnosisnya dengan skizofrenia parah dan gangguan delusi, tetapi Brama tahu Rio telah menjadi corong bagi entitas itu, sebuah saluran yang tak disengaja.

Arif, sang teknisi, masih berjuang dengan gejala fisiknya. Mual dan rasa pahit di lidahnya tak pernah hilang. Ia kehilangan berat badan drastis, dan bau mineral yang dingin itu masih melekat padanya. Ia mencoba semua pengobatan, namun tidak ada yang berhasil. Ia adalah bukti fisik paling jelas bahwa sesuatu yang non-fisik telah merasuk ke dalam diri mereka. Ia seringkali merasa seperti sedang membusuk dari dalam, dimakan perlahan oleh sesuatu yang tak terlihat.

Di dalam Zona Karantina, di lokasi bekas Perseus-7, sesuatu yang besar mulai terlihat di permukaan laut. Bukan rig, melainkan massa gelap yang mengapung, seringkali diselimuti kabut yang tidak alami. Cahaya biru samar terus-menerus berdenyut dari bawah permukaan. Gambar satelit menunjukkan pola-pola aneh di dasar laut, sebuah struktur raksasa yang terus tumbuh, seperti jaring laba-laba kolosal yang menyebar, memancarkan frekuensi aneh yang merusak peralatan elektronik dan sonar.

Para ilmuwan, meskipun terbatas dalam akses mereka, mulai mengirimkan wahana bawah laut tanpa awak. Data yang mereka dapatkan sangat mengganggu. Wahana-wahana itu melaporkan adanya "jaringan" organik raksasa yang menjalar di dasar laut, menyelimuti bebatuan dan sedimen. Jaringan itu memancarkan panas yang aneh dan memiliki "mata" yang tak terhitung jumlahnya yang berdenyut dengan cahaya biru yang sama. Beberapa wahana merekam suara-suara yang tidak dapat diidentifikasi, sebuah paduan suara gema, bisikan, dan melodi yang terdengar seperti ratusan ribu suara yang berbicara dan bernyanyi dalam bahasa asing yang tak dikenal.

Pemerintah mulai menghadapi dilemma. Mereka tidak bisa lagi menyembunyikan kenyataan bahwa ada sesuatu yang sangat aneh dan berbahaya di bawah laut. Namun, mengakui keberadaan entitas non-manusia atau non-biologis yang tak dapat dijelaskan akan menimbulkan kepanikan global. Mereka memutuskan untuk membentuk sebuah tim penelitian rahasia, yang terdiri dari ilmuwan-ilmuwan top di bidang oseanografi, xenobiologi, dan fisika kuantum, dengan tugas tunggal: memahami dan menetralkan "Anomali Perseus".

Komandan Brama, yang duduk di ruang kerjanya yang kini terasa seperti bunker, menatap peta Zona Karantina. Lingkaran merah di peta itu adalah pusat ketakutan terbesar umat manusia. Ia sering memutar rekaman audio yang dikirimkan oleh wahana bawah laut. Suara-suara bisikan dan melodi itu, yang ia dengar dengan jelas kini, bercampur dengan suara Sandro, Maya, dan Rizal. Mereka ada di sana, menjadi bagian dari paduan suara entitas itu, bernyanyi dalam kegelapan.

Ia sadar bahwa ini bukan lagi tentang penyelamatan. Ini tentang kelangsungan hidup. Entitas itu tidak hanya berdiam di sana. Ia tumbuh. Ia menyebar. Dan ia belajar. Bisikan-bisikan itu bukan hanya gema; mereka adalah komunikasi, sebuah panggilan, sebuah undangan untuk bergabung dengan kesadarannya yang purba. Dan Brama tahu, ia sendiri, yang masih bisa mendengar mereka dengan jelas, adalah yang berikutnya dalam daftar.

Bab 10: Gelombang Kesadaran Purba

Waktu seolah terhenti di sekitar Zona Karantina Perseus-7. Minggu berganti bulan, dan misteri di kedalaman laut itu semakin pekat, semakin mengancam. Tim penelitian rahasia yang dibentuk pemerintah telah mengerahkan segala upaya, namun kemajuan mereka nihil. Setiap wahana yang dikirim terlalu dekat dengan inti anomali akan mengalami kerusakan total, atau mengirimkan data yang tidak masuk akal, penuh dengan visual distorsi dan audio yang menghantui. Beberapa peneliti bahkan mulai menunjukkan gejala-gejala psikologis serupa dengan tim penyelamat Brama, seperti sakit kepala kronis atau bisikan samar.

Komandan Brama kini sepenuhnya tenggelam dalam perannya sebagai penasihat senior untuk Anomali Perseus. Ia bekerja dari sebuah fasilitas rahasia yang terpencil, menganalisis setiap data yang masuk, setiap laporan dari tim patroli. Rambutnya kini beruban seluruhnya, dan wajahnya dipenuhi kerutan kelelahan, namun matanya tetap tajam, memancarkan kengerian yang mendalam. Ia adalah yang paling dekat dengan kebenaran mengerikan itu, sebuah kebenaran yang tidak bisa ia bagikan sepenuhnya kepada siapa pun.

Gema bisikan dan detak jantung raksasa di kepalanya kini telah menjadi suara latar yang konstan, sebuah simfoni horor yang menemaninya setiap saat. Ia telah belajar untuk hidup dengannya, untuk mengabaikannya, namun ia tahu itu selalu ada, menunggu saat yang tepat untuk kembali mengklaimnya. Kadang-kadang, ia akan mendengar suara-suara individu dari Sandro, Maya, dan Rizal di antara paduan suara itu, bisikan-bisikan yang putus-putus, seolah mereka masih berjuang untuk mempertahankan individualitas mereka, atau memohon pertolongan.

Zona Karantina telah diperluas dua kali lipat, karena anomali itu terus menyebar. Citra satelit menunjukkan bahwa jaringan organik raksasa di dasar laut, dengan mata-mata berdenyut yang tak terhitung jumlahnya, telah meluas hingga puluhan mil. Beberapa peneliti mulai berhipotesis bahwa ini bukan hanya makhluk, melainkan sebuah kesadaran kolektif purba, sebuah entitas yang terdiri dari miliaran "sel" organik yang saling terhubung, masing-masing dengan mata berdenyutnya sendiri, dan mereka semua berbagi satu kesadaran tunggal yang tak terbatas.

Laporan-laporan dari kapal patroli militer semakin mengkhawatirkan. Beberapa pelaut melaporkan mengalami halusinasi visual kolektif saat mendekati batas zona. Mereka melihat siluet-siluet raksasa bergerak di bawah gelombang, seolah seluruh laut telah menjadi hidup. Beberapa bahkan bersumpah melihat wajah-wajah manusia yang familiar muncul di permukaan air yang gelap, mata mereka berdenyut dengan cahaya biru yang sama. Ini adalah manifestasi dari jiwa-jiwa yang telah ditelan, yang kini menjadi bagian dari kesadaran purba itu.

Suatu malam, saat Brama sedang meninjau data sonar terbaru, ia melihat sebuah pola aneh. Frekuensi yang dipancarkan oleh anomali itu kini menunjukkan variasi yang lebih kompleks, bukan lagi sekadar gelombang acak. Ada sebuah ritme, sebuah struktur di dalamnya, seolah entitas itu sedang berkomunikasi, atau mungkin, belajar untuk berkomunikasi dengan dunia luar.

Ia memutar rekaman audio yang diperkuat dari wahana bawah laut yang terakhir kembali. Di antara gemuruh dan bisikan-bisikan, Brama mendengar sebuah melodi yang lebih jelas dan lebih terstruktur, sebuah nyanyian yang terdengar seperti sebuah lagu pujian, atau mungkin lagu undangan. Dan di dalamnya, ia bisa dengan jelas membedakan suara Maya yang merdu, menyanyikan bait-bait yang tidak ia kenali, diikuti oleh gumaman berat Sandro, dan rintihan pilu Rizal. Mereka tidak lagi menyiksa; mereka bernyanyi dalam harmoni yang mengerikan.

Brama merasa dingin menjalar di punggungnya. Entitas itu tidak hanya menelan mereka; ia telah mengintegrasikan kesadaran mereka, dan kini menggunakan mereka untuk berkomunikasi. Mereka adalah alat-alatnya, corong-corongnya.

Ia melihat ke layar monitor yang menampilkan data real-time dari batas Zona Karantina. Salah satu kapal patroli, Guardian-5, tiba-tiba menunjukkan perilaku aneh. Kapal itu, tanpa alasan yang jelas, mulai berlayar perlahan ke arah pusat zona karantina, melampaui batas yang telah ditetapkan. Awak kapal tidak merespons panggilan radio.

"Ada apa dengan Guardian-5?" teriak Brama kepada operator.

Operator mencoba menghubungi kapal itu lagi dan lagi, namun hanya ada statis. Di monitor, Guardian-5 terus bergerak maju, perlahan namun pasti, menuju inti anomali.

"Periksa sensor kapal!" perintah Brama.

Sensor kapal menunjukkan bahwa seluruh sistem elektronik di Guardian-5 telah diambil alih. Lampu-lampu berkedip tidak beraturan, dan mesin kapal bergerak sendiri. Dan kemudian, sebuah transmisi audio samar datang dari Guardian-5. Bukan suara kru, melainkan sebuah melodi yang sama dengan yang didengar Brama dari rekaman wahana bawah laut, sebuah nyanyian yang kini jauh lebih jelas, dan di dalamnya, ia bisa mendengar suara-suara kru Guardian-5, bernyanyi bersama melodi itu, suara mereka perlahan berubah, menjadi lebih dalam, lebih tua, dan kemudian menyatu dengan paduan suara purba itu.

Brama melihat ke layar, kengerian mencengkeramnya. Entitas itu tidak hanya menelan; ia menular. Ia tidak hanya mengambil alih tubuh; ia mengambil alih pikiran, mengintegrasikan kesadaran mereka ke dalam jaringan kolektifnya. Tim survei, tim penyelamat, dan kini kru Guardian-5, semuanya telah menjadi bagian dari kesadaran purba yang tak terbatas itu.

Guardian-5 akhirnya menghilang dari layar radar, tenggelam ke dalam inti anomali, menjadi bagian dari massa organik yang terus tumbuh di dasar laut.

Komandan Brama menatap tangannya. Ia bisa merasakan getaran samar di bawah kulitnya, sebuah denyutan kecil yang mirip dengan cahaya biru yang ia lihat di mata-mata entitas itu. Bisikan-bisikan dan melodi di kepalanya kini menjadi begitu jernih, ia bisa membedakan setiap kata, setiap nada. Mereka memanggilnya. Mengundangnya.

Ia menutup matanya, merasakan kehadiran mereka begitu dekat. Suara Sandro, Maya, Rizal, dan kini kru Guardian-5, semuanya bergabung, bernyanyi dalam sebuah paduan suara yang indah sekaligus menakutkan, memanggilnya untuk bergabung dengan mereka, untuk menjadi bagian dari kesadaran yang lebih besar, untuk melampaui batas-batas individu dan menjadi bagian dari sebuah kolektif purba yang abadi.

Ia tahu, ia tidak punya banyak waktu. Ancaman ini tidak bisa dibatasi oleh Zona Karantina. Ia tidak bisa ditahan oleh kapal patroli. Ia tidak bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan manusia.

Ini adalah awal dari sebuah kebangkitan. Dan ia, Komandan Brama, adalah saksi terakhirnya, seorang pria yang jiwanya kini terpecah antara rasionalitas dan panggilan purba yang tak terhindarkan.

Mata Brama terbuka. Mereka tidak lagi memancarkan ketakutan, melainkan sebuah ketenangan yang aneh, hampir seperti penerimaan. Bibirnya bergerak, nyaris tanpa suara, mulai menyanyikan melodi yang sama dengan yang ia dengar di kepalanya, sebuah lagu pujian dari kedalaman yang tak berujung.

Di luar fasilitas, langit di atas samudra terlihat jernih. Namun, di bawah permukaan, sesuatu yang jauh lebih tua dari waktu itu sendiri, terus tumbuh, terus menyebar, bernyanyi dalam kegelapan, dan memanggil dunia untuk menjadi bagian darinya.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)