Masukan nama pengguna
Bab 1: Kehilangan Tanda
Hujan di kota terasa seperti bisikan yang tak pernah berhenti, membasuh jalanan aspal dengan janji-janji yang tak pernah terwujud. Bagi Alex, seorang fotografer investigasi yang hidup dari sisa-sisa kisah orang lain, suara itu hanya menjadi latar belakang dari kehidupannya yang hambar. Kantornya di lantai tiga sebuah ruko tua berbau apek, dipenuhi tumpukan kertas, lensa kamera berdebu, dan cangkir kopi yang sudah kering. Pukul dua belas malam, saat sebagian besar kota sudah terlelap, Alex masih terjaga. Komputernya menyala, memancarkan cahaya dingin yang menerangi wajahnya yang lelah.
Tugas aneh ini datang dari seorang klien tanpa nama, melalui email terenkripsi yang langsung masuk ke folder spam. Klien itu hanya menyebutkan sebuah nama: Luna. Luna adalah nama yang familiar. Gadis itu adalah seorang influencer media sosial, terkenal karena melakukan "tantangan" berbahaya di tempat-tempat terpencil. Foto-foto dan videonya selalu viral, menarik jutaan pengikut yang haus akan sensasi. Tugas Alex adalah melacaknya. Luna telah menghilang selama tiga hari, dan jejak digitalnya lenyap seolah ditelan bumi.
“Melacak influencer? Ini bukan kasus hilang,” gumam Alex pada dirinya sendiri, jemarinya lincah menelusuri folder digital Luna. “Ini cuma drama untuk naikkan engagement.” Namun, bayarannya sangat menggiurkan, terlalu besar untuk ditolak. Ada satu petunjuk yang diberikan klien: sebuah foto buram. Foto itu menunjukkan Luna yang sedang berdiri di depan sebuah plang kayu yang sudah lapuk. Tulisannya sudah pudar, tapi Alex, dengan keahliannya, berhasil membacanya: “Hutan Bisikan”.
Hutan Bisikan. Nama itu saja sudah membuat bulu kuduk berdiri. Hutan itu dikenal karena memiliki banyak mitos menyeramkan. Katanya, siapa pun yang masuk tidak akan pernah kembali. Alex, yang skeptis dan pragmatis, menganggap ini hanya sebagai bumbu cerita. Dia tidak percaya takhayul, dia hanya percaya pada fakta dan bukti. Tapi, ada sesuatu yang berbeda. Ada getaran aneh yang menjalar di tulang punggungnya saat dia menatap foto itu. Bukan karena mitos, tapi karena aura foto itu sendiri. Foto itu buram, tapi ekspresi Luna terlihat jelas: ketakutan.
Pukul lima pagi, Alex sudah berada di dalam mobilnya, menuju Hutan Bisikan. Perjalanan memakan waktu empat jam. Sepanjang jalan, Alex terus memutar ulang video-video Luna. Di setiap video, Luna selalu ceria, penuh energi, dan sedikit gila. Dia akan melompat dari tebing, mendaki gunung tanpa tali, dan menelusuri gua-gua yang gelap. Tapi video terakhirnya, yang diunggah hanya beberapa jam sebelum dia menghilang, terasa berbeda. Video itu diambil dari angle yang aneh, seolah-olah kamera itu jatuh. Suara napas Luna terdengar terengah-engah, dan di latar belakang, terdengar suara bisikan pelan. Alex memutar ulang bagian itu berulang kali, mencoba mendengarkan apa yang dikatakan bisikan itu, tapi hasilnya nihil. Suara itu terlalu samar, terlalu pelan, seperti angin yang memainkan melodi tersembunyi.
“Pura-pura takut, kan? Taktik yang biasa,” pikir Alex.
Saat tiba di Hutan Bisikan, suasana langsung berubah. Hutan itu tidak seperti hutan pada umumnya. Udara terasa lebih dingin, suara-suara alam terasa lebih senyap, dan cahaya matahari sulit menembus lebatnya pepohonan. Ada keheningan yang menekan, seolah-olah hutan ini menahan napas. Alex melangkah keluar dari mobil, membawa ransel yang berisi peralatan fotografinya. Plang kayu yang ada di foto terlihat persis seperti yang dia duga, lapuk dan usang.
Alex mengikuti jejak yang samar. Dia mengambil foto setiap sudut, setiap pohon, dan setiap batu yang terlihat aneh. Alex bekerja dengan metodenya. Dia akan mencari keanehan, mencari petunjuk yang tidak sengaja ditinggalkan. Setelah berjalan sekitar dua jam, dia menemukan sebuah tebing curam. Di bawah tebing itu, ada sebidang tanah lapang. Alex turun dengan hati-hati. Di tengah tanah lapang itu, di antara semak-semak, dia menemukan sebuah kamera digital yang rusak. Kaca lensanya pecah, dan bodinya tergores parah. Kamera itu adalah milik Luna. Alex tahu dari logo kecil di samping bodi kamera.
Jantung Alex berdebar kencang. Ini bukan lagi drama media sosial. Ini adalah kasus nyata. Dia memasukkan kartu memori kamera itu ke dalam laptopnya. File-file di dalamnya korup, rusak, dan tidak bisa dibuka. Namun, ada satu file yang bisa diselamatkan. File itu adalah video berdurasi lima detik. Videonya buram dan goyang, seolah kamera itu dijatuhkan. Alex melihat Luna, dengan wajah pucat dan mata melebar ketakutan. Dia tidak berteriak, dia hanya berbisik, suaranya gemetar, "Dia sedang merekam..." lalu video itu mati. Di belakang Luna, ada bayangan yang bergerak cepat, terlalu cepat untuk ditangkap oleh mata.
Alex merinding. Dia memutar ulang video itu, mencoba menangkap detail bayangan itu. Tapi tidak ada. Bayangan itu terlalu cepat, seperti ilusi. Alex mendongak ke langit, melihat ke sekeliling, dan menyadari bahwa hutan itu sekarang benar-benar senyap. Tidak ada suara burung, tidak ada suara angin. Hanya keheningan yang memekakkan telinga. Dia merasa ada mata yang mengawasinya, dari balik pepohonan, dari balik bayangan-bayangan gelap. Dia merasa seperti dia tidak sendirian.
Malam mulai menjelang. Alex memutuskan untuk kembali ke penginapannya. Dia merasa lelah, bukan hanya secara fisik, tapi juga mental. Bisikan-bisikan dari video itu terus terngiang di kepalanya, memutar-mutar di pikirannya, menjadikannya paranoid. Dia memacu mobilnya, meninggalkan Hutan Bisikan di belakangnya, tapi perasaan itu tidak pernah hilang. Perasaan itu menempel padanya, seperti jejak yang tak terlihat.
Bab 2: Jejak yang Menyesatkan
Sinar matahari pagi di luar jendela kamar penginapan Alex terasa seperti ejekan. Sinar itu seolah ingin mengatakan bahwa ketakutan yang dia rasakan semalam hanyalah ilusi. Tapi Alex tahu, apa yang dia rasakan itu nyata. Setelah bermalam tanpa tidur, dia kembali ke Hutan Bisikan. Kali ini dia lebih berhati-hati, lebih waspada. Dia tidak hanya membawa kamera, tapi juga membawa alat-alat navigasi. Dia akan mencari jejak bayangan itu.
Dengan laptop di pangkuannya, Alex memutar ulang video terakhir Luna. Dia memperbesar gambar, menganalisis setiap pikselnya. Dan dia menemukan sesuatu. Di ujung video, saat kamera jatuh, ada jejak sepatu yang samar. Jejak itu kecil, sepertinya jejak sepatu wanita, tapi jejak itu aneh. Ada pola khusus di telapak sepatunya, seperti simbol-simbol yang tidak dia kenal. Alex mencatat pola itu, lalu kembali ke hutan.
Dia memulai pencariannya dari titik di mana dia menemukan kamera Luna. Alex menyisir setiap inci tanah, mencari jejak yang sama. Setelah berjam-jam, dia menemukannya. Jejak yang persis sama. Pola di telapak sepatu itu sama. Alex tersenyum kecil. Ini adalah bukti. Ini adalah fakta. Dia bukan sedang berhadapan dengan hantu atau mitos, tapi dengan seorang manusia. Alex mengikuti jejak itu, napasnya tertahan.
Jejak itu membawanya jauh ke dalam hutan, ke tempat yang lebih gelap dan lebih lebat. Alex merasakan hawa dingin yang menusuk, seolah-olah dia sedang memasuki ruang bawah tanah yang dingin. Jejak itu membawanya berputar-putar, melintasi pohon yang tumbang, melintasi sungai kecil, dan kembali lagi ke pohon yang sama. Alex mengerutkan keningnya. Ini aneh. Seolah-olah jejak itu disengaja, untuk membingungkan.
“Permainan apa ini?” gumamnya.
Dia mengambil foto jejak itu dari berbagai sudut, kemudian kembali lagi ke titik awal. Dia menyadari, ada sesuatu yang tidak beres. Jejak sepatu itu terlalu jelas, terlalu sempurna untuk jejak yang ditinggalkan oleh orang yang panik. Jejak itu seolah-olah sengaja dicetak, diletakkan di sana untuk dilihat. Alex merasa dipermainkan. Perasaan ini membuat emosinya memuncak. Dia sudah terlalu banyak membuang waktu.
Dia memutuskan untuk mengabaikan jejak itu dan mencari petunjuk lain. Di tengah hutan yang sepi, dia menemukan sesuatu yang aneh. Sebuah boneka kayu kecil terikat di pohon. Boneka itu dibuat dengan sangat detail, lengkap dengan baju berwarna-warni. Alex mengenali boneka itu. Boneka itu mirip dengan boneka yang sering digunakan oleh Luna di vlog-nya. Luna selalu membawa boneka yang sama di setiap petualangannya. Alex mendekat, dan memotret boneka itu.
Saat dia mengambil foto, matanya tertuju pada sebuah kertas kecil yang diselipkan di balik boneka itu. Alex membukanya. Di atas kertas itu, ada sebuah tulisan tangan yang rapi dan indah, tapi isinya menakutkan: “Lihat ke belakang.” Alex merinding. Dia merasa ada yang mengawasinya. Dia berbalik, pandangannya menyapu sekeliling. Tidak ada siapa-siapa. Dia berbalik lagi, ke arah pohon tempat boneka itu terikat. Dan di sana, di balik semak-semak, dia melihatnya. Bayangan sekilas, bergerak terlalu cepat untuk ditangkap oleh mata. Bayangan itu seperti sosok seorang wanita, dengan rambut panjang dan gaun putih.
Jantung Alex berdetak kencang. Dia mengambil kamera dan mengarahkan ke arah bayangan itu. Dia menekan tombol potret berulang kali, tapi tidak ada apa-apa. Kamera itu hanya menangkap semak-semak yang kosong. Alex merasa putus asa. Dia tahu apa yang dia lihat itu nyata, tapi dia tidak memiliki bukti. Dia merasa seperti sedang berhadapan dengan hantu.
Saat dia kembali ke penginapan, pikiran Alex dipenuhi dengan teka-teki. Siapa yang menempatkan boneka itu? Siapa yang meninggalkan pesan itu? Siapa bayangan yang dia lihat? Alex merasa seperti sedang berada di dalam sebuah film horor, di mana dia adalah karakter utamanya. Alex duduk di depan laptopnya, menatap foto boneka itu. Dia memperbesar gambarnya, mencoba mencari petunjuk. Dan dia menemukannya. Di belakang kepala boneka itu, ada ukiran kecil, simbol yang sama dengan yang dia lihat di jejak sepatu. Simbol itu terlihat seperti sebuah labirin.
Alex menghela napas. Dia tidak hanya dipermainkan, tapi dia sedang diajak bermain. Dan permainan ini, sepertinya, baru saja dimulai. Dia tahu, dia tidak bisa menyerah. Dia tidak bisa kembali. Dia harus menemukan Luna, atau setidaknya, menemukan siapa yang berada di balik semua ini. Dia tidak bisa membiarkan dirinya menjadi korban selanjutnya dari permainan ini. Dia harus menemukan kebenaran, seburuk apa pun kebenaran itu. Dia harus menyelesaikan kasus ini.
Saat malam tiba, Alex mencoba untuk tidur. Tapi bisikan-bisikan dari video Luna, bayangan yang dia lihat di hutan, dan jejak sepatu yang membingungkan, terus terngiang di kepalanya. Dia menutup matanya, tapi dia melihat bayangan Luna. Luna yang ketakutan, Luna yang berbisik, "Dia sedang merekam..." Alex tahu, dia tidak bisa tidur. Dia merasa seperti dia sedang diawasi, seperti ada seseorang yang sedang menunggunya, menunggunya untuk membuat kesalahan, menunggunya untuk tersesat di dalam labirin yang sudah mereka ciptakan.
Bab 3: Surat dari Orang Asing
Kegelapan malam di penginapan terasa lebih pekat dari biasanya, seolah-olah semua bayangan dari Hutan Bisikan telah mengikuti Alex kembali. Tidur tidak datang. Otaknya terus-menerus memutar ulang adegan boneka kayu yang terikat di pohon dan bayangan yang melintas di balik semak-semak. Alex tahu dia tidak gila. Dia tahu apa yang dia lihat itu nyata, tapi setiap kali dia mencoba mencernanya, realitas terasa seperti pasir yang lepas dari genggamannya. Kasus Luna ini bukan sekadar tugas investigasi; ini adalah permainan psikologis yang rumit, dan Alex baru saja menyadari bahwa dia telah terjebak di dalamnya.
Pukul tiga pagi, Alex menyerah untuk tidur. Dia bangkit, menyalakan laptopnya, dan mulai memeriksa lagi semua petunjuk yang dia miliki. Foto jejak sepatu, foto boneka kayu, video buram Luna, dan surat elektronik anonim dari kliennya. Dia menganalisis pola ukiran labirin di boneka itu, membandingkannya dengan pola yang ada di jejak sepatu. Polanya identik. Seseorang sengaja membuat jejak itu, memimpinnya dalam sebuah tarian yang membingungkan.
Tiba-tiba, sebuah suara membuat jantung Alex hampir berhenti. Tok. Tok. Tok. Suara itu datang dari pintu kamarnya. Dia menoleh ke jam dinding yang berdetak pelan, menunjukkan pukul 03.15. Siapa yang akan mengetuk pintu pada jam segila ini? Alex meraih tasnya, mengambil kamera yang sudah siap dengan lensa tele. Dia mengintip melalui lubang kunci. Tidak ada siapa-siapa. Dia membuka pintu perlahan, hanya untuk menemukan sebuah surat yang diselipkan di bawahnya. Surat itu terbuat dari kertas daur ulang berwarna cokelat tua, dilipat rapi, dan tidak memiliki pengirim.
Alex menutup pintu, jantungnya berdegup kencang. Dia mengambil surat itu, meraba-raba teksturnya yang kasar. Ada sensasi yang aneh, seperti kertas itu menyimpan energi yang dingin dan menakutkan. Dia membuka surat itu dengan hati-hati. Tulisannya tangan, rapi dan indah, dengan tinta hitam yang pekat. Kalimat-kalimatnya terasa seperti puisi, tapi isinya jauh dari kata romantis.
"Kebebasan dari kekangan adalah seni, penderitaan adalah kuasnya.
Hutan adalah kanvas, bisikan adalah melodinya.
Apa yang kamu cari, bukanlah apa yang kamu temukan.
Apa yang kamu lihat, bukanlah apa yang terjadi."
Alex membaca kalimat itu berulang kali. Setiap kata terasa seperti sengatan listrik. Siapa yang menulis ini? Apa artinya? Alex merasa surat ini adalah sebuah teka-teki, sebuah petunjuk yang disengaja. Di bagian akhir surat itu, ada sebuah gambar kecil, sebuah simbol yang familiar. Simbol labirin yang sama, persis seperti yang ada di boneka kayu dan jejak sepatu.
Tiba-tiba, ada sebuah suara samar dari luar. Alex menempelkan telinganya ke pintu. Dia mendengar langkah kaki yang pelan, seolah-olah ada seseorang yang sedang berjalan mundur, menjauh dari kamarnya. Alex membuka pintu lagi, tapi koridor itu kosong. Hanya ada keheningan yang menekan. Dia kembali ke kamar, perasaannya campur aduk antara rasa takut dan marah. Dia marah karena dipermainkan. Dia marah karena dia tidak bisa menemukan jawaban.
Alex mengambil kamera dan mulai memotret surat itu. Dia mengambil foto dari berbagai sudut, berharap menemukan petunjuk tersembunyi. Tidak ada. Surat itu hanyalah kertas dengan tulisan tangan yang indah dan menakutkan. Alex kembali ke laptopnya, mengetik setiap kata dari surat itu, lalu mencari di internet. Hasilnya nihil. Kalimat-kalimat itu tidak ada di mana pun. Surat itu adalah orisinal. Surat itu dibuat khusus untuknya.
Pikiran Alex melayang. Siapa yang tahu dia ada di penginapan ini? Siapa yang tahu dia sedang mengerjakan kasus Luna? Hanya klien anonimnya. Alex kembali ke email klien, mencoba melacak IP address-nya. Gagal. Email itu dikirim melalui server yang terenkripsi dan tidak bisa dilacak. Alex merasa seperti sedang berhadapan dengan hantu digital. Semua petunjuk ini adalah jebakan, sebuah tarian yang diatur oleh seseorang yang tidak ingin ditemukan.
Alex merasa lelah. Dia memutuskan untuk tidur sejenak. Dia mengatur alarm, lalu berbaring di tempat tidur. Namun, dia tidak bisa memejamkan mata. Setiap kali dia mencoba, wajah Luna yang ketakutan, boneka kayu yang aneh, dan bayangan yang melintas di balik semak-semak, semuanya berputar-putar di kepalanya. Dia merasa ada yang salah dengan dirinya. Dia merasa dia telah kehilangan kendali.
Saat alarm berbunyi, Alex merasa lebih lelah dari sebelumnya. Dia melihat jam, sudah pukul delapan pagi. Dia melihat ke arah jendela, matahari sudah bersinar cerah. Tapi di dalam kamarnya, kegelapan malam masih terasa menempel. Alex bangkit, memaksakan dirinya untuk sarapan, tapi dia tidak memiliki nafsu makan. Dia hanya minum kopi, berharap kafein bisa mengusir rasa kantuknya.
Saat dia kembali ke kamarnya, ada sesuatu yang berbeda. Ada sebuah bungkusan kecil di atas mejanya. Alex tidak ingat meletakkan bungkusan itu di sana. Jantungnya kembali berdetak kencang. Bungkusan itu terbuat dari kertas yang sama dengan surat yang dia terima tadi malam. Di atasnya, ada tulisan tangan yang sama, tapi kali ini hanya ada satu kata: "Buka." Alex ragu-ragu. Dia tidak tahu apakah ini jebakan atau petunjuk. Tapi dia tahu, dia harus membukanya.
Dengan tangan gemetar, Alex membuka bungkusan itu. Di dalamnya, ada sebuah kartu memori kecil, yang biasa digunakan di kamera digital. Alex mengambil kartu itu, dan memasukkannya ke dalam laptopnya. Di dalamnya, ada satu file video. Alex mengklik file itu. Videonya buram, tapi Alex bisa melihat Luna, yang duduk di sebuah kursi tua. Dia tidak tersenyum. Dia menatap kamera, matanya kosong. Video itu berdurasi sepuluh detik. Tapi ada sesuatu yang menakutkan. Di belakang Luna, di dinding, ada sebuah gambar yang dibuat dengan kapur. Gambar itu adalah sebuah jam dinding. Jarumnya menunjuk ke angka dua belas. Dan di bawahnya, ada tulisan tangan yang sama: "Waktunya habis."
Alex merasa mual. Ini bukan lagi lelucon. Ini adalah ancaman. Dan ancaman itu terasa sangat nyata. Dia tahu, dia sedang berhadapan dengan seorang psikopat. Seseorang yang menikmati permainan ini, seseorang yang menikmati rasa takut yang dia rasakan. Alex melihat ke jendela, dan di sana, dia melihatnya lagi. Bayangan sekilas, melintas di depan matanya. Dia buru-buru mengambil kameranya dan memotret. Tidak ada apa-apa. Hanya refleksi wajahnya sendiri yang ketakutan.
Bab 4: Kunjungan Tak Terduga
Sore itu, suasana di penginapan terasa suram. Gerimis tipis mulai turun, menambah kesan melankolis pada segalanya. Alex, yang sekarang benar-benar paranoid, mengunci pintu kamarnya, menarik gorden, dan mencoba memecahkan teka-teki jam dinding. Jam dua belas. Apa artinya? Tengah malam? Atau ada hal lain? Alex terus-menerus memutar ulang video itu, mencoba menemukan detail lain. Tapi tidak ada. Hanya Luna yang ketakutan, dan jam dinding yang menakutkan.
Pukul tujuh malam, pintu kamar Alex diketuk lagi. Kali ini, ketukannya lebih sopan, lebih normal. Alex ragu-ragu. Dia melihat ke layar laptopnya. Video itu masih berputar. Dia tidak ingin membuka pintu. Tapi ketukan itu terus berlanjut, kali ini lebih keras dan lebih cepat.
"Alex? Alex Peterson?" Terdengar suara wanita dari luar.
Alex merasa cemas. Siapa yang tahu namanya? Siapa yang tahu dia menginap di sini? Dia tidak pernah memberikan namanya kepada siapapun. Alex bangkit, mengambil kamera yang sudah siap, dan mengintip melalui lubang kunci. Di luar, ada seorang wanita muda, dengan wajah cantik tapi cemas. Dia mengenakan jaket tebal, rambutnya basah karena gerimis. Wajahnya tidak asing. Alex pernah melihatnya di salah satu video Luna, sebagai adik perempuan Luna. Namanya Maya.
Alex membuka pintu, tapi hanya sedikit. "Bagaimana Anda tahu nama saya?" tanyanya, suaranya terdengar tegang.
Wanita itu tersenyum kecil, senyum yang dipaksakan. "Saya Maya. Maya Anindita. Saya adik Luna. Saya datang ke sini karena... Luna pernah menyebut nama Anda. Di dalam diary-nya."
Alex terdiam. "Diary?"
Maya mengangguk. "Ya. Diary-nya. Dia selalu menulis di dalamnya. Saya menemukannya di kamarnya. Di dalamnya, ada beberapa coretan aneh, simbol-simbol yang saya tidak mengerti. Tapi ada satu nama yang sering dia sebut. Nama Anda, Alex Peterson."
"Mengapa dia menyebut nama saya?" tanya Alex, masih waspada.
Maya menggelengkan kepalanya. "Saya tidak tahu. Tapi dia menulis, 'Dia adalah satu-satunya orang yang bisa dipercaya. Dia tahu kebenaran.'"
Alex merasa merinding. Dia tidak pernah bertemu Luna. Dia hanya seorang fotografer investigasi yang dipekerjakan oleh klien anonim. Bagaimana mungkin Luna mengenal dia? Alex melihat ke mata Maya. Di sana, dia melihat kejujuran, tapi juga ketakutan yang dalam.
"Tolong, Pak Alex. Saya mohon. Bantu saya. Saya tidak tahu harus ke mana lagi," ucap Maya, matanya berkaca-kaca.
Alex merasa kasihan. Dia tahu bagaimana rasanya mencari seseorang yang dicintai. Dia tahu bagaimana rasanya terjebak dalam kegelapan. Alex menghela napas. Dia membuka pintu lebih lebar, mempersilakan Maya masuk. Maya masuk ke dalam, melihat sekeliling, dan matanya tertuju pada laptop Alex.
"Anda sudah menemukannya?" tanyanya, suaranya bergetar.
Alex mengangguk. "Ini bukan kasus orang hilang biasa. Ini adalah sesuatu yang lebih rumit."
"Saya tahu," kata Maya. Dia membuka tasnya, mengambil sebuah buku bersampul kulit tua. "Ini buku harian Luna. Saya tidak mengerti isinya. Mungkin Anda bisa."
Alex mengambil buku harian itu. Buku itu tebal, penuh dengan coretan-coretan aneh, simbol-simbol yang tidak jelas, dan kalimat-kalimat yang tidak masuk akal. Alex membolak-balik halamannya, matanya tertuju pada satu halaman yang menonjol. Di halaman itu, ada gambar sebuah jam dinding dengan jarum yang menunjuk ke angka 12, dan di bawahnya tertulis, "Waktunya habis."
Alex menatap Maya, matanya melebar. "Anda sudah melihat ini?"
Maya mengangguk, matanya kembali berkaca-kaca. "Saya tidak tahu artinya. Saya takut, Pak Alex. Saya takut sesuatu yang buruk telah terjadi pada kakak saya."
Alex merasa ada beban yang berat di pundaknya. Dia tidak lagi bekerja untuk klien anonim. Dia sekarang bekerja untuk Maya. Dia sekarang bekerja untuk kebenaran. Alex tahu, dia tidak bisa kembali. Dia harus terus maju, sampai dia menemukan jawaban, seburuk apa pun jawaban itu.
"Baik," kata Alex, suaranya tegas. "Kita akan mencari Luna. Tapi kita harus tahu, kita berhadapan dengan seseorang yang sangat berbahaya. Seseorang yang menikmati permainan ini. Kita harus berhati-hati."
Maya mengangguk. "Saya akan melakukan apa saja. Asal kakak saya bisa kembali."
Alex melihat ke luar jendela. Hujan sudah berhenti, tapi langit masih gelap. Dia tahu, perjalanan mereka baru saja dimulai. Perjalanan yang penuh dengan teka-teki, ancaman, dan kebenaran yang akan merusak mental mereka. Alex tahu, dia tidak akan bisa kembali menjadi Alex yang lama. Dia sudah terlalu jauh, terlalu dalam. Dia sudah menjadi bagian dari cerita ini, dan dia tidak bisa keluar.
Pukul delapan malam, Alex dan Maya keluar dari penginapan. Mereka berdua berjalan dalam diam, menuju mobil Alex. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka temukan, atau siapa yang akan mereka temui. Tapi mereka tahu satu hal: mereka tidak sendirian. Ada seseorang yang mengawasi mereka, menikmati setiap langkah mereka, setiap keputusan yang mereka buat. Seseorang yang telah menciptakan sebuah labirin yang rumit, dan sekarang, Alex dan Maya telah melangkah ke dalamnya. Mereka berdua tidak menyadari, bahwa mereka sedang berjalan menuju kehancuran yang tak terhindarkan.
Bab 5: Tarian dengan Bayangan
Alex dan Maya memutuskan untuk tidak membuang waktu. Mereka menyewa sebuah mobil lain, mobil yang tidak mencolok, dan kembali ke Hutan Bisikan. Malam itu terasa lebih dingin dan lebih mencekam dari sebelumnya. Maya, yang selama ini hanya membaca tentang hutan itu di diary kakaknya, kini merasakan sendiri atmosfernya yang menekan. Alex menatap Maya dari kursi pengemudi. Gadis itu menggenggam buku harian Luna erat-erat, seolah buku itu adalah satu-satunya pelindung.
"Kita harus mengikuti petunjuk dari buku harian ini," kata Alex, memecah keheningan. "Coretan-coretan ini bukan cuma gambar, ini adalah sebuah peta."
Alex menyalakan lampu senter yang kuat, menyorotkan cahayanya ke halaman-halaman buku harian. Coretan-coretan itu memang terlihat seperti gambar yang tidak jelas, tapi Alex melihat pola. Dia melihat garis-garis yang menghubungkan simbol-simbol aneh, yang terlihat seperti peta. Dia mencoba mencocokkan pola itu dengan peta Hutan Bisikan di ponselnya. Dan dia menemukannya. Ada sebuah jalur yang tidak terlihat di peta biasa. Jalur itu mengarah ke sebuah goa yang tidak pernah dia perhatikan sebelumnya.
"Goa itu," kata Alex, menunjuk ke sebuah titik di peta. "Kita akan ke sana."
Mereka meninggalkan mobil dan berjalan kaki, mengikuti jalur yang ditunjukkan oleh buku harian itu. Jalannya terjal dan licin. Maya tersandung beberapa kali, tapi Alex selalu memegangi tangannya. Mereka berjalan dalam diam, hanya suara napas mereka yang terdengar di tengah keheningan hutan. Setelah berjalan sekitar satu jam, mereka tiba di sebuah goa. Goa itu gelap dan dingin, udaranya berbau apek dan lembap.
Alex menyalakan lampu senternya, menyorotkan cahayanya ke dalam goa. Di sana, di tengah-tengah goa, ada sebuah proyektor film tua. Proyektor itu terlihat kuno, dengan kabel yang berantakan dan gulungan film yang sudah usang. Alex merasa ada yang aneh. Siapa yang akan meninggalkan proyektor film di tengah goa? Alex mendekati proyektor itu, memotretnya dari berbagai sudut. Di samping proyektor, ada sebuah generator kecil yang masih menyala.
"Ini aneh," gumam Alex. "Sangat aneh."
Maya mengambil gulungan film itu dan memasukkannya ke proyektor. Alex menyalakan proyektor, dan sebuah film bisu mulai diputar di dinding goa. Film itu menampilkan Luna. Luna terlihat menari sendirian di sebuah ruangan kosong. Wajahnya tidak tersenyum, tapi juga tidak ketakutan. Dia hanya menari, gerakannya lembut dan melankolis, seolah-olah dia sedang menari untuk dirinya sendiri.
Tapi, ada sesuatu yang aneh. Di beberapa adegan, ada bayangan samar yang muncul di belakangnya, seolah-olah mengawasi. Bayangan itu bergerak pelan, seolah-olah menari bersama Luna. Alex memperbesar bayangan itu, mencoba menganalisisnya. Bayangan itu terlihat seperti sosok seorang wanita, dengan rambut panjang. Sosok yang sama dengan bayangan yang dia lihat di hutan. Jantung Alex berdebar kencang.
"Lihat itu," bisik Maya, suaranya bergetar. "Dia... dia tidak sendiri."
Alex mengangguk. Dia tahu, dia tidak salah. Ada orang lain yang bersama Luna, atau setidaknya, orang lain yang merekamnya. Alex kembali memperhatikan film itu. Adegan terakhir menunjukkan bayangan itu mendekat dan memegang kamera, lalu film itu berhenti. Proyektor itu mati.
"Itu..." kata Alex, suaranya tertahan. "Orang itu yang merekamnya. Orang itu yang bersama Luna."
Maya memeluk tubuhnya sendiri, menggigil. "Ini semua gila. Siapa yang akan melakukan ini?"
Alex tidak tahu. Dia hanya tahu, mereka berdua sekarang sudah menjadi bagian dari film itu. Mereka sekarang adalah karakter utama dari sebuah cerita yang menakutkan, dan mereka tidak bisa keluar. Alex mengambil proyektor film itu dan memasukkannya ke dalam tasnya. Mereka harus segera keluar dari goa.
Saat mereka keluar dari goa, Alex melihat ada sesuatu yang aneh. Di pohon di dekat pintu masuk goa, ada sebuah boneka kayu kecil, yang sama dengan yang dia temukan di hutan. Boneka itu terikat dengan tali yang sama, dan di balik boneka itu, ada sebuah surat kecil. Alex mengambil surat itu. Di dalamnya, ada sebuah kalimat yang ditulis dengan tangan: "Selamat datang di pertunjukan."
Alex menatap surat itu, lalu menatap Maya. Mereka berdua menyadari, mereka tidak mencari Luna. Mereka sedang diajak bermain. Permainan ini sudah direncanakan, dan mereka berdua sudah masuk ke dalam perangkapnya.
Bab 6: Permainan Kucing dan Tikus
Malam itu, Alex dan Maya kembali ke penginapan. Mereka tidak bisa tidur. Mereka duduk di kamar Alex, memutar ulang video dari proyektor film, mencoba mencari petunjuk lain. Tidak ada. Videonya buram dan tua, tidak ada yang bisa mereka ambil dari sana.
Tiba-tiba, telepon Alex berdering. Ada sebuah pesan teks dari nomor tak dikenal. Alex membuka pesan itu. Isinya adalah sebuah foto. Foto itu menampilkan dirinya dan Maya, yang sedang berdiri di depan goa. Foto itu baru saja diambil. Alex melihat ke langit, ke arah jendela. Tidak ada apa-apa. Jantungnya berdebar kencang.
"Ada apa?" tanya Maya, melihat wajah Alex yang pucat.
Alex tidak menjawab. Dia hanya menunjukkan foto itu kepada Maya. Maya terdiam, matanya melebar ketakutan.
"Bagaimana..."
"Mereka mengawasi kita," bisik Alex. "Mereka mengawasi setiap gerakan kita."
Alex memeriksa pesan teks itu. Tidak ada pengirim, tidak ada jejak. Alex tahu, ini adalah sebuah permainan. Permainan kucing dan tikus. Dan mereka berdua adalah tikusnya. Alex melihat ke jendela lagi, kali ini lebih jeli. Di atas pohon di depan penginapan, dia melihatnya. Sebuah drone kecil, dengan lampu merah yang berkedip-kedip. Alex mengambil kameranya, mencoba mengambil foto, tapi drone itu sudah terbang pergi.
"Itu," kata Alex, suaranya tercekat. "Itu yang mengawasi kita."
Maya mulai menangis. "Aku takut, Alex. Aku takut."
Alex memeluk Maya. Dia tahu, dia harus melindungi gadis ini. Dia harus melindungi dirinya sendiri. Dia harus keluar dari permainan ini. Tapi bagaimana caranya? Alex tahu, dia harus membalikkan keadaan. Dia harus menjadi kucing, dan mereka harus menjadi tikus.
Alex mulai berpikir. Dia menganalisis setiap detail dari pesan teks itu. Foto itu buram, tapi Alex melihat sebuah refleksi kecil di kaca jendela. Refleksi itu terlihat seperti bayangan orang yang sedang memegang kamera. Alex memperbesar refleksi itu, mencoba mencari detail. Dan dia menemukan sesuatu. Di balik bayangan itu, ada sebuah tanda kecil, logo perusahaan drone. Alex tahu, dia sekarang memiliki sebuah petunjuk.
"Kita akan cari perusahaan ini," kata Alex, suaranya penuh tekad. "Kita akan ke sana."
Maya mengangguk. Dia sekarang tidak lagi takut. Dia sekarang marah. Marah karena kakak perempuannya dipermainkan, marah karena dia juga dipermainkan. Mereka berdua memutuskan untuk berangkat malam itu juga. Mereka tidak ingin menunggu sampai pagi. Mereka ingin segera mengakhiri permainan ini.
Saat mereka berjalan keluar dari penginapan, Alex melihat ada sesuatu yang aneh di mobilnya. Ada sebuah boneka kayu kecil di atas kap mobil, yang sama dengan yang dia temukan di hutan dan di goa. Di bawah boneka itu, ada sebuah kartu memori kecil. Alex mengambilnya, jantungnya berdebar kencang.
Mereka berdua masuk ke dalam mobil, dan Alex memasukkan kartu memori itu ke dalam laptopnya. Di dalamnya, ada sebuah video. Video itu menunjukkan Alex dan Maya yang sedang berada di dalam kamar, memeluk satu sama lain, dan di belakang mereka, ada sebuah bayangan yang bergerak cepat, terlalu cepat untuk dilihat.
Alex merasa mual. Dia tidak tahu apakah bayangan itu nyata, atau hanya ilusi. Dia tidak tahu apakah dia bisa mempercayai matanya sendiri lagi. Alex menatap Maya. Wajah Maya pucat, matanya kosong. Dia juga sudah melihat video itu. Dia juga sudah melihat bayangan itu. Mereka berdua terdiam.
Alex menyalakan mobil, dan mereka berdua melaju pergi. Mereka tidak tahu ke mana mereka akan pergi. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka temukan. Mereka hanya tahu, mereka harus terus maju. Mereka harus terus mencari kebenaran. Dan mereka harus keluar dari permainan ini. Sebelum terlambat. Sebelum mereka menjadi korban selanjutnya.
Alex dan Maya tahu, mereka sedang berhadapan dengan seseorang yang sangat cerdas. Seseorang yang sangat berbahaya. Seseorang yang menikmati permainan ini, seseorang yang menikmati rasa takut yang mereka rasakan. Alex melihat ke kaca spion, dan di sana, dia melihatnya lagi. Bayangan sekilas, melintas di belakang mobil. Dia berbalik, tapi tidak ada siapa-siapa. Dia hanya melihat jalanan yang gelap dan kosong. Dia tahu, dia tidak gila. Dia tahu, dia tidak sendirian.
Bab 7: Kebenaran yang Terpecah
Alex dan Maya melaju kencang, meninggalkan hutan yang terasa seperti jebakan. Malam semakin larut, dan jalanan pedesaan yang sepi terasa seperti terowongan panjang tanpa ujung. Di dalam mobil, keheningan terasa memekakkan telinga. Maya masih memegang buku harian Luna, jemarinya memilin ujung sampul kulit yang sudah usang. Alex menatap jalanan di depannya, tapi pikirannya dipenuhi dengan kepingan puzzle yang acak: jejak sepatu, boneka kayu, video film bisu, drone, dan yang paling mengerikan, bayangan yang melintas di mana-mana.
"Aku... aku harus menceritakan sesuatu tentang Luna," suara Maya memecah keheningan, suaranya pelan dan bergetar.
Alex mengangguk, melirik Maya sekilas. "Ceritakan saja."
"Luna... dia tidak seperti yang orang-orang lihat di media sosial. Dia punya gangguan kepribadian ambang. Dia sering membuat cerita yang tidak nyata untuk menarik perhatian. Dia bisa sangat ceria, lalu tiba-tiba berubah menjadi sangat murung. Dia bisa sangat mencintai, lalu tiba-tiba membenci."
Penjelasan Maya terasa seperti air dingin yang membasuh wajah Alex. Gangguan kepribadian ambang. Itu menjelaskan banyak hal. Obsesi Luna dengan bahaya, perilakunya yang tidak terduga, dan... kemungkinan besar, hilangnya dia.
"Jadi... kau pikir ini semua hanya salah satu dari permainannya?" tanya Alex, suaranya penuh keraguan.
Maya menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu. Biasanya, dia akan kembali setelah beberapa hari. Dia akan muncul di depan umum, lalu membuat video tentang bagaimana dia 'menemukan dirinya sendiri.' Tapi kali ini, dia sudah hilang terlalu lama. Dan... dan petunjuk-petunjuk ini, ini tidak seperti dia."
Alex merasa ada sesuatu yang tidak pas. Jika Luna hanya ingin menarik perhatian, mengapa ada jejak sepatu aneh, boneka yang dibuat khusus, atau drone yang mengawasi mereka? Semua itu terasa terlalu nyata, terlalu terorganisir.
"Bagaimana dengan orang yang merekamnya di goa?" tanya Alex.
Maya terdiam sejenak. "Luna... dia pernah menyebutkan nama seorang teman. Namanya... Eva. Eva adalah satu-satunya orang yang Luna percaya. Dia adalah seorang seniman, dan dia terobsesi dengan 'seni penderitaan.' Dia percaya bahwa seni yang paling murni adalah seni yang lahir dari penderitaan. Luna sering berkolaborasi dengannya."
"Seniman? Seni penderitaan?" Alex mengerutkan kening. "Apa yang mereka lakukan?"
"Aku tidak tahu pasti," jawab Maya. "Tapi mereka sering melakukan hal-hal aneh. Mereka akan membuat video, lalu mengunggahnya. Mereka menyebutnya 'pertunjukan.' Luna adalah penarinya, dan Eva adalah sutradaranya."
Alex merasa ada kepingan puzzle yang mulai pas. Surat dengan kalimat-kalimat filosofis, proyektor film di goa, dan boneka yang terikat di pohon. Semua ini adalah bagian dari sebuah "pertunjukan." Tapi, jika ini hanya pertunjukan, mengapa ada ancaman, pesan yang mengawasi mereka, dan ketakutan di mata Luna dalam video terakhirnya?
"Aku... aku ragu," kata Alex. "Jika ini semua hanya pertunjukan, mengapa ada ketakutan di mata Luna? Dan kenapa orang ini mengawasi kita?"
Maya menatap Alex, matanya penuh kecemasan. "Mungkin... mungkin pertunjukannya sudah kelewatan. Mungkin Luna tidak bisa mengendalikan ini lagi. Mungkin dia ingin kita menemukannya."
Alex mengangguk. Teori ini masuk akal. Mungkin Luna ingin ditemukan, tapi Eva, sang seniman penderitaan, tidak ingin pertunjukannya berakhir. Alex menatap peta di ponselnya. Dia mencari lokasi studio Eva, dan dia menemukannya. Studio itu berada di dekat sebuah stasiun kereta api yang sudah terbengkalai.
"Kita akan ke sana," kata Alex. "Kita akan ke stasiun kereta api itu. Mungkin kita akan menemukan jawaban di sana."
"Tapi... bagaimana kalau ini jebakan?" tanya Maya, suaranya bergetar.
Alex menatap Maya, matanya penuh tekad. "Kita sudah terlalu jauh, Maya. Kita tidak bisa kembali. Kita harus terus maju. Kita harus mencari tahu kebenaran."
Mereka berdua melaju menuju stasiun kereta api yang terbengkalai. Sepanjang jalan, Alex terus berpikir. Siapa Eva ini? Apa yang dia inginkan? Apakah Luna adalah korban, ataukah dia juga bagian dari permainan ini? Alex merasa otaknya mulai lelah. Dia mulai meragukan setiap hal yang dia temukan. Dia mulai meragukan dirinya sendiri.
Bab 8: Pertemuan yang Dirancang
Stasiun kereta api yang terbengkalai itu terasa seperti kuburan. Udara dingin dan lembap, berbau karat dan debu. Gerimis masih turun, membasahi rel kereta api yang sudah berkarat. Alex dan Maya keluar dari mobil, melangkah perlahan ke dalam stasiun. Di dalam, ada keheningan yang menekan, hanya suara tetesan air yang terdengar dari atap yang bocor.
"Ini... ini menyeramkan," bisik Maya, memeluk tubuhnya sendiri.
Alex mengangguk. Dia menyalakan lampu senternya, menyorotkannya ke sekeliling. Stasiun itu kosong. Kursi-kursi tua yang sudah berdebu, papan pengumuman yang sudah lapuk, dan jendela-jendela yang sudah pecah.
Tiba-tiba, Alex melihat sesuatu. Di tengah-tengah stasiun, di atas sebuah bangku tua, ada sebuah tas. Tas itu terlihat baru, dan ada sebuah boneka kayu kecil yang terikat di resletingnya. Boneka yang sama, dengan ukiran labirin di belakang kepalanya. Jantung Alex berdebar kencang. Ini bukan kebetulan. Ini sudah direncanakan.
"Jangan sentuh," kata Alex, suaranya tegang. "Jangan sentuh tas itu."
Alex mengambil kameranya, memotret tas itu dari berbagai sudut. Dia mengambil foto boneka itu, lalu mendekat dengan hati-hati. Tas itu adalah tas ransel kulit berwarna cokelat. Alex menyuruh Maya untuk menunggu di tempat yang aman, lalu dia mendekati tas itu. Dengan hati-hati, dia membuka resletingnya.
Di dalamnya, ada dua barang. Yang pertama adalah sebuah buku harian baru, bersampul kulit berwarna merah. Yang kedua, adalah sebuah proyektor film kecil, yang sama dengan yang dia temukan di goa. Alex mengambil buku harian itu. Buku itu tebal, penuh dengan tulisan tangan yang rapi dan indah. Alex membolak-balik halamannya, matanya melebar ketakutan.
Buku harian itu berisi deskripsi rinci tentang bagaimana seseorang sedang "mencari" dan "menyelamatkan" Luna. Penulis buku harian itu menggambarkan Luna sebagai seorang seniman yang hebat, yang butuh penderitaan untuk menciptakan karya seni yang sempurna. Penulisnya juga menggambarkan Alex, sebagai seorang "penyelamat" yang ditakdirkan untuk menyelesaikan pertunjukan ini.
Alex membaca setiap kata dengan cermat. Penulis buku harian itu seolah-olah sudah tahu setiap langkah yang akan diambil Alex. Penulisnya tahu dia akan mencari Luna, penulisnya tahu dia akan menemukan boneka di hutan, penulisnya tahu dia akan menemukan proyektor di goa. Semua ini adalah sebuah rencana, sebuah tarian yang sudah diatur dengan sempurna.
Alex menatap Maya, yang sedang berdiri di belakangnya. Maya juga membaca buku harian itu. Matanya melebar ketakutan, tangannya gemetar.
"Kita... kita bukan mencari Luna," bisik Maya, suaranya tercekat. "Kita sedang dicari."
Alex mengangguk. Dia merasa mual. Dia merasa seperti dia telah masuk ke dalam sebuah lubang yang dalam, dan tidak ada cara untuk keluar. Alex terus membolak-balik halaman buku harian itu, matanya mencari petunjuk. Dan dia menemukannya. Di halaman terakhir, ada sebuah kalimat yang menakutkan: "Dan sekarang, dia akan menemukanmu." Di bawah kalimat itu, ada sebuah foto. Foto Maya, yang sedang berdiri di dalam stasiun kereta api, menatap ke arahnya. Foto itu baru saja diambil.
Alex dan Maya berbalik. Stasiun itu kosong. Alex melihat ke sekeliling. Ada banyak tempat untuk bersembunyi. Tapi tidak ada yang terlihat. Alex meraih tangan Maya. "Kita harus pergi," bisiknya. "Sekarang."
Mereka berdua berlari keluar dari stasiun. Di luar, gerimis sudah berhenti, tapi langit masih gelap. Alex menyalakan mobilnya, dan mereka melaju pergi. Maya menangis, suaranya terisak-isak. Alex mengemudi dengan cepat, tapi dia tidak tahu ke mana harus pergi. Mereka tidak bisa kembali ke penginapan, karena itu terlalu berbahaya. Mereka tidak bisa kembali ke hutan, karena itu adalah tempat mereka terjebak.
"Kita... kita harus mencari polisi," kata Maya, suaranya bergetar.
Alex menggelengkan kepalanya. "Kita tidak punya bukti. Hanya sebuah buku harian, dan sebuah proyektor. Mereka tidak akan percaya."
Maya terdiam. Dia tahu, Alex benar. Mereka tidak punya bukti. Mereka hanya punya ketakutan.
Alex terus mengemudi, melintasi jalanan pedesaan yang sepi. Mereka tidak tahu ke mana mereka akan pergi, atau apa yang akan terjadi. Mereka hanya tahu, mereka harus terus berlari, terus melarikan diri dari orang yang sedang memburu mereka. Alex melihat ke kaca spion, dan di sana, dia melihatnya lagi. Bayangan sekilas, melintas di belakang mobil. Dia berbalik, tapi tidak ada siapa-siapa. Dia hanya melihat jalanan yang gelap dan kosong. Dia tahu, dia tidak gila. Dia tahu, dia tidak sendirian.
Pagi menjelang, matahari mulai terbit, menyinari jalanan yang basah. Alex dan Maya tiba di sebuah kota kecil, yang terlihat damai dan tenang. Mereka menyewa sebuah penginapan kecil, yang terletak di pinggir kota. Alex tahu, mereka tidak bisa tinggal di sana lama. Mereka harus mencari jalan keluar. Tapi bagaimana caranya? Alex melihat ke mata Maya. Di sana, dia melihat ketakutan, tapi juga sebuah tekad. Tekad untuk menemukan kebenaran, seburuk apa pun kebenaran itu.
Alex mengambil buku harian itu, dan mulai membaca lagi. Dia harus menemukan petunjuk. Dia harus menemukan siapa Eva ini, dan apa yang dia inginkan. Dia harus mengakhiri permainan ini. Sebelum terlambat. Sebelum mereka menjadi korban selanjutnya.
Alex dan Maya duduk di kamar penginapan, membaca buku harian itu bersama-sama. Mereka menyadari, mereka tidak mencari Luna. Mereka sedang dicari. Dan mereka tidak akan bisa lari. Mereka harus menghadapi dalang di balik semua ini. Mereka harus menghadapi Eva, sang seniman penderitaan. Dan mereka harus bersiap, karena mereka tahu, mereka tidak akan pernah kembali menjadi Alex dan Maya yang lama. Mereka sudah terlalu jauh, terlalu dalam. Mereka sudah menjadi bagian dari cerita ini, dan mereka tidak bisa keluar.
Bab 9: Cermin yang Retak
Setelah malam yang penuh ketegangan, Alex dan Maya kembali ke penginapan mereka. Mereka tidak bisa lagi kembali ke penginapan awal, karena mereka tahu, tempat itu sudah tidak aman. Mereka menyewa sebuah kamar di sebuah penginapan kecil di pinggir kota. Malam itu, Alex duduk di sebuah kursi, memandangi cermin yang retak di sudut ruangan. Maya sudah tertidur, tapi Alex tidak bisa. Pikirannya dipenuhi dengan kepingan-kepingan puzzle yang acak, semuanya terasa seperti mimpi buruk yang tidak nyata.
Alex melihat ke cermin, dan dia melihat refleksi dirinya sendiri. Tapi, bayangan itu terasa aneh. Bayangan itu terlihat seperti dirinya, tapi matanya kosong, bibirnya tersenyum kecil. Senyum itu terasa menakutkan, seolah-olah dia sedang menyembunyikan sebuah rahasia gelap. Alex merasa mual. Dia menatap cermin itu lagi, dan kali ini, dia melihat bayangan Luna di belakangnya. Luna tidak tersenyum. Matanya kosong, bibirnya pucat. Dia terlihat seperti hantu.
Alex menutup matanya, mencoba mengusir bayangan itu. Tapi bayangan itu tidak hilang. Bayangan itu terus-menerus muncul, di dalam pikirannya, di dalam matanya. Alex mulai meragukan ingatannya sendiri. Apakah Luna benar-benar ada? Apakah Maya adalah orang yang nyata? Atau apakah ini semua hanya halusinasi yang diciptakan oleh seseorang?
Alex merasa otaknya mulai lelah. Dia merasa seperti dia telah kehilangan kendali. Dia mengambil buku harian Eva yang dia temukan di stasiun kereta api. Dia membaca setiap kata dengan cermat. Buku harian itu terasa seperti tulisan tangan seorang gila, penuh dengan teori-teori tentang "seni murni" dan "penderitaan yang indah." Eva, sang seniman, percaya bahwa penderitaan adalah kunci untuk menciptakan karya seni yang abadi. Dan Luna, adalah karya seni terbesarnya.
Alex membaca sebuah kalimat yang menakutkan: "Aku akan menciptakan sebuah mahakarya. Aku akan menghapus dirinya, lalu mengisinya dengan diriku. Luna adalah sebuah kanvas kosong, dan aku adalah seorang pelukis." Alex merasa merinding. Eva tidak hanya ingin menyakiti Luna. Dia ingin mengambil alih dirinya. Dia ingin menjadi Luna.
Tiba-tiba, pintu kamar Alex diketuk. Tok. Tok. Tok. Alex tersentak. Dia melihat ke arah Maya yang tertidur pulas. Siapa yang akan mengetuk pintu pada jam segila ini? Alex tidak ingin membuka pintu. Tapi ketukan itu terus berlanjut, kali ini lebih keras dan lebih cepat.
"Alex Peterson?" Terdengar suara pria dari luar.
Alex merasa tegang. Dia tahu suara itu. Itu suara polisi. Alex membuka pintu sedikit, dan dia melihat dua orang polisi, dengan seragam lengkap.
"Kami mencari seorang wanita yang hilang," kata salah satu polisi, suaranya tegas. "Namanya Maya Anindita."
Jantung Alex hampir berhenti. "Maya... Anindita?"
Polisi itu mengangguk. "Ya. Adik dari Luna Anindita. Luna sudah hilang sejak tiga hari yang lalu. Dan kami mencari adiknya."
Alex merasa bingung. "Tapi... Maya ada di sini. Dia sedang tidur."
Polisi itu mengerutkan kening. "Kami sudah mencari Maya ke mana-mana. Kami tidak menemukannya."
Alex merasa ada yang salah. Dia melihat ke arah Maya yang sedang tidur. Maya terlihat damai, tapi Alex melihat bayangan gelap di matanya. Alex merasa seperti dia sedang berada di dalam sebuah mimpi buruk yang tidak ada habisnya. Dia tidak tahu apa yang nyata, dan apa yang tidak nyata.
"Dia ada di sini," kata Alex, suaranya bergetar. "Saya bersumpah, dia ada di sini."
Polisi itu menatap Alex dengan pandangan skeptis. "Tolong, Pak. Jangan main-main dengan kami. Kami sedang mencari orang hilang."
Alex merasa putus asa. Dia melihat ke arah Maya lagi, dan kali ini, dia melihat sesuatu yang aneh. Di tangannya, Maya memegang sebuah boneka kayu kecil, yang sama dengan yang dia temukan di hutan dan di stasiun kereta api. Alex merasa mual. Dia merasa seperti dia telah ditipu.
"Bisa saya lihat identitas Anda?" tanya salah satu polisi.
Alex mengambil dompetnya, dan memberikannya kepada polisi. Polisi itu memeriksa identitas Alex, lalu menatap Alex lagi.
"Anda terlihat lelah, Pak Peterson. Anda harus istirahat. Kami akan kembali lagi nanti. Kami harus mencari Maya."
Polisi itu pergi, meninggalkan Alex sendirian. Alex melihat ke arah Maya lagi. Maya masih tidur, tapi senyum kecil yang menakutkan muncul di bibirnya. Alex merasa seperti dia sedang berada di dalam sebuah film horor, di mana dia adalah korban selanjutnya.
Alex menyadari, dia tidak lagi bekerja untuk kebenaran. Dia sekarang bekerja untuk sebuah ilusi. Dia sekarang adalah bagian dari sebuah permainan, dan permainan ini, tidak akan pernah berakhir. Alex tahu, dia harus mencari tahu kebenaran. Dia harus mencari tahu siapa Maya ini. Dan dia harus mencari tahu apa yang terjadi pada Luna.
Alex mengambil kamera, dan memotret Maya yang sedang tidur. Dia mengambil foto dari berbagai sudut, berharap menemukan petunjuk. Dan dia menemukannya. Di leher Maya, ada sebuah tato kecil. Tato itu adalah sebuah labirin, yang sama dengan yang dia lihat di boneka kayu dan di buku harian. Jantung Alex berdebar kencang. Maya bukan adik Luna. Maya adalah Eva.
Bab 10: Akhir yang Tak Berujung
Malam itu, Alex tidak bisa tidur. Dia melihat ke arah Maya, yang sekarang sudah bangun. Maya menatap Alex, matanya kosong, bibirnya tersenyum kecil. Senyum itu terasa menakutkan, seolah-olah dia tahu apa yang dipikirkan Alex.
"Kau tahu, kan?" tanya Maya, suaranya pelan dan bergetar.
Alex mengangguk. "Kau bukan Maya. Kau Eva."
Maya tidak menjawab. Dia hanya tersenyum. "Kau sudah menemukan kebenaran, Alex. Dan sekarang, kau adalah bagian dari karyaku."
Alex merasa mual. Dia merasa seperti dia telah jatuh ke dalam sebuah lubang yang dalam, dan tidak ada cara untuk keluar. "Di mana Luna?" tanyanya.
Maya tertawa kecil. "Luna? Luna adalah sebuah kanvas kosong. Aku sudah menghapusnya. Dan sekarang, aku adalah Luna."
Alex merasa putus asa. "Kau gila."
"Tidak," jawab Maya. "Aku adalah seniman. Aku adalah seorang seniman yang menciptakan karya seni yang paling indah. Dan kau... kau adalah penontonnya."
Alex merasa ada yang salah. Dia melihat ke arah Maya, dan dia menyadari, mata Maya tidak kosong. Matanya penuh dengan kegilaan, tapi juga ketakutan. Alex menyadari, Eva adalah seorang psikopat. Tapi dia juga seorang korban.
Alex memutuskan untuk kembali ke hutan sendirian. Dia harus mencari tahu kebenaran. Dia harus mencari tahu apa yang terjadi pada Luna. Dia harus mengakhiri permainan ini. Sebelum terlambat. Sebelum dia menjadi korban selanjutnya.
Alex berjalan kembali ke hutan, mengikuti jejak yang sekarang terasa familier. Dia menemukan sebuah gubuk kayu kecil yang tidak pernah dia perhatikan sebelumnya. Gubuk itu terlihat tua dan lapuk, dengan jendela yang pecah dan pintu yang sudah berkarat. Alex membuka pintu perlahan, dan dia masuk ke dalam.
Di dalamnya, ada banyak foto yang ditempel di dinding. Foto-foto itu menunjukkan Maya, Luna, dan dirinya sendiri, dalam berbagai adegan, seolah-olah mereka adalah bagian dari sebuah pertunjukan. Alex melihat foto dirinya, yang sedang memegang kamera di dalam hutan. Dia melihat foto Maya, yang sedang berdiri di depan stasiun kereta api. Dia melihat foto Luna, yang sedang menari di dalam goa.
Di tengah ruangan, ada sebuah proyektor film yang menyala. Kali ini, filmnya menunjukkan Alex yang sedang melihat ke cermin di kamarnya, dengan bayangan di belakangnya. Alex merasa merinding. Dia menyadari, film itu adalah sebuah ramalan. Dia sudah dipermainkan dari awal.
Tiba-tiba, dia mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Dia berbalik, namun tidak ada siapapun. Dia kembali ke gubuk, dan semua foto di dinding kini menempel terbalik, menyisakan satu foto dirinya yang sedang memotret hutan. Alex merasa mual. Dia tidak tahu apa yang nyata, dan apa yang tidak nyata. Dia merasa seperti dia telah kehilangan akal sehatnya.
Dia mendengar suara seorang wanita yang tertawa, yang berasal dari proyektor film itu. Suara itu terdengar seperti suara Maya, tapi juga seperti suara Luna. Alex merasa putus asa. Dia tidak tahu siapa yang tertawa. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Layar proyektor film itu berubah menjadi gelap, meninggalkan Alex sendirian dalam kegelapan. Alex menyadari, dia bukan lagi seorang fotografer, tetapi subjek dari sebuah "karya seni" yang sangat rumit. Dia tidak pernah tahu apakah Luna benar-benar ada, apakah Maya adalah orang yang nyata, atau apakah dia hanya bagian dari sebuah alur cerita yang disutradarai oleh seorang dalang yang tidak terlihat. Dia terjebak dalam permainan psikologis yang tidak ada habisnya, dan tidak ada cara untuk keluar. Alex menyadari, dia telah menjadi gila. Dia telah menjadi bagian dari karya seni yang paling indah, yang paling menakutkan, dan yang paling tidak nyata.