Masukan nama pengguna
Bab 1: Kanvas Kosong dan Pantulan yang Diam
Udara di dalam studio seni Raina dulu selalu dipenuhi dengan aroma cat minyak, terpentin, dan gairah yang membara. Kanvas-kanvas yang belum terjamah bersandar di dinding, menunggu untuk dihidupkan oleh sentuhan kuasnya. Kini, bau itu telah digantikan oleh aroma debu, kelembapan, dan kesunyian yang memekakkan. Kuas-kuasnya kering dan kaku di dalam toples kaca, pigmen-pigmen warna di paletnya mengering seperti kerak bumi yang retak. Raina, seorang seniman potret yang dulunya dikenal akan kemampuannya menangkap esensi jiwa manusia pada setiap sapuan kuasnya, kini hanyalah sebuah cangkang yang kosong, berjemur dalam cahaya pucat yang menembus jendela tinggi di rumah barunya.
Tiga tahun. Tiga tahun sejak mobil yang dikendarai suaminya, Ardan, kehilangan kendali di jalan tol yang basah, menabrak pembatas jalan dengan suara tabrakan logam yang masih bergema di setiap mimpi buruk Raina. Tiga tahun sejak tawa renyah putrinya, Lila, yang baru berusia lima tahun, terenggut dari dunia. Raina, yang entah bagaimana selamat dengan luka fisik yang minimal, membawa luka batin yang menganga, sebuah jurang kesedihan dan rasa bersalah yang tak terisi. Dunia yang ia kenal telah runtuh, dan ia tidak tahu bagaimana membangunnya kembali.
Ia meninggalkan kehidupan lamanya di kota, kebisingan, tatapan simpati yang menghantuinya. Dengan sedikit tabungan dan warisan dari asuransi, ia membeli sebuah rumah tua terpencil di pinggir kota, jauh dari keramaian, tersembunyi di balik barisan pohon cemara yang menjulang tinggi. Rumah itu dulunya milik seorang kolektor barang antik eksentrik, dan setiap sudutnya dipenuhi dengan perabotan kuno—kursi beludru yang usang, meja kayu berukir yang menghitam, lemari-lemari kaca yang penuh dengan barang-barang pecah belah. Dan yang paling menonjol, yang paling aneh, adalah puluhan cermin antik dengan berbagai ukuran dan bentuk, yang terpajang di setiap ruangan, seolah pemilik sebelumnya terobsesi dengan pantulan. Cermin berbingkai emas di aula, cermin rias dengan ukiran rumit di kamar tidur, cermin dinding yang tinggi di koridor, bahkan cermin kecil yang buram di dalam lemari pakaian.
Awalnya, cermin-cermin itu terasa seperti hiasan yang unik, menambah karakter pada rumah yang sunyi itu. Raina menghabiskan hari-harinya dalam kesunyian yang mencekik. Ia tidak melukis. Ia hanya ada. Bangun, minum kopi pahit, duduk di bangku jendela, menatap hutan yang diselimuti kabut. Setiap hari adalah pengulangan yang monoton, sebuah upaya putus asa untuk menemukan kedamaian, atau setidaknya, mati rasa.
Ia sesekali melihat pantulan dirinya di cermin. Seorang wanita dengan mata yang kosong, rambut kusut yang jarang disisir, dan kulit pucat yang mencerminkan kurangnya sinar matahari. Sosok yang asing, namun ia mengenalnya. Itu adalah Raina yang sekarang, sebuah bayangan dari Raina yang dulu.
Malam itu, setelah hari-hari yang panjang dan hampa, Raina memutuskan untuk mencoba tidur lebih awal. Ia berjalan ke kamar tidurnya yang luas, remang-remang oleh cahaya bulan yang menembus jendela. Di meja rias kayu gelap, berdiri sebuah cermin rias antik dengan bingkai perak yang telah menghitam dan diukir dengan detail bunga yang rumit. Raina duduk di depannya, menatap pantulan dirinya.
Ia menghela napas panjang, sebuah suara kecil di dalam keheningan. Pantulan di cermin juga menghela napas. Raina mengedipkan matanya perlahan. Pantulan itu juga mengedip. Namun, kali ini, Raina merasakan sesuatu yang aneh. Pantulan itu berkedip sedikit lebih lambat, sepersekian detik, sebuah jeda yang nyaris tak terasa, namun cukup untuk membuat Raina merasa tidak nyaman.
"Cuma kelelahan," bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya parau karena jarang berbicara. Ia pasti terlalu lelah, terlalu terbebani oleh kesedihan. Otaknya hanya mempermainkannya.
Ia memejamkan mata, mencoba menghapus gambaran itu. Ketika ia membukanya lagi, pantulan di cermin menatap lurus ke arahnya, mata kosongnya mencerminkan tatapan Raina yang kosong. Tidak ada lagi jeda yang aneh. Raina menggelengkan kepalanya. Ia harus tidur.
Keesokan harinya, Raina mencoba mengabaikan kejadian semalam. Ia pergi ke dapur, membuat sarapan sederhana yang nyaris tak ia sentuh. Saat ia berjalan di koridor menuju ruang kerja lamanya, ia melewati sebuah cermin dinding yang tinggi, bingkainya terbuat dari kayu gelap yang diukir dengan motif tanaman merambat. Raina menatap sekilas pantulannya yang bergerak bersamanya.
Ia berhenti di tengah koridor, tiba-tiba teringat sesuatu yang harus ia lakukan di kamar mandi. Ia berbalik. Saat ia berbalik, ia melihat pantulannya di cermin sudah lebih dulu berbalik menghadapnya, sepersekian detik sebelum tubuh Raina sendiri menyelesaikan putaran. Mata pantulan itu tidak kosong lagi. Ada ekspresi aneh di sana, sebuah seringai tipis yang nyaris tak terlihat, sebuah kilatan kegembiraan yang dingin, yang menghilang secepat kilat.
Raina merasakan darahnya berdesir dingin. Jantungnya berdebar kencang di dadanya. Kali ini, itu bukan halusinasi. Itu terlalu jelas.
Ia melangkah mundur, menatap cermin itu dengan ngeri. Pantulannya kini berdiri kaku, menatapnya tanpa ekspresi, seolah tidak terjadi apa-apa. Seolah Raina hanya berhalusinasi.
"Ada apa?" bisiknya pada cermin, suaranya gemetar. "Kau... siapa?"
Pantulan di cermin tidak menjawab. Hanya menatapnya dengan tenang. Raina merasakan hawa dingin merayapi punggungnya. Ia tidak sendirian. Ada sesuatu yang lain di rumah ini. Dan entitas itu... itu berada di balik cermin.
Hari-hari berikutnya berubah menjadi siksaan yang lambat dan mengerikan. Raina mulai melihat pantulan-pantulan yang berbeda di setiap cermin di rumah.
Di cermin ruang tamu, pantulannya akan memiliki pose yang berbeda dari dirinya, duduk dengan kaki menyilang saat Raina berdiri, atau memegang buku yang tidak ada di tangannya.
Di cermin kamar mandi, saat Raina mencuci muka, ia akan melihat pantulannya di cermin menggerakkan bibirnya tanpa suara, seolah mengucapkan kata-kata yang tidak ia dengar, kata-kata yang tampak kejam dan menghina, tercetak di wajahnya yang terdistorsi.
Yang paling mengerikan, emosi pantulan itu selalu berlawanan dengan emosi Raina. Ketika Raina merasakan gelombang kesedihan yang tak tertahankan, dan air mata mulai membasahi pipinya, ia akan melihat pantulannya di cermin menatapnya dengan senyum sinis yang lebar, mata yang dipenuhi dengan kegembiraan yang dingin. Ketika ia ketakutan, pantulannya akan menatapnya dengan rasa ingin tahu yang mengerikan, seolah ia adalah subjek eksperimen yang menarik.
Raina mulai merasa dirinya menjadi gila. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini semua adalah gejala trauma, sebuah mekanisme pertahanan otaknya yang rusak. Ia mencari penjelasan logis. Pencahayaan? Kelelahan mata? Namun, semakin ia mencoba, semakin jelas perbedaannya. Pantulan itu adalah entitas terpisah, sebuah duplikat yang memiliki kehendaknya sendiri.
Ia mulai menutup cermin-cermin itu. Dengan kain tua yang ia temukan di lemari, ia menutupi setiap permukaan reflektif di rumah. Setiap kali ia menutup cermin, ia akan mendengar bisikan-bisikan samar yang keluar dari balik kain, seperti desahan frustrasi atau tawa tertahan, yang perlahan memudar.
Ia merasakan sedikit kelegaan saat semua cermin tertutup. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, ia merasa sedikit lebih aman, sedikit lebih sendirian.
Namun, kelegaan itu hanya berlangsung singkat. Keesokan paginya, Raina terbangun dengan rasa dingin yang aneh. Ia membuka matanya. Dan ia melihatnya.
Cermin rias di kamarnya, yang ia tutupi dengan kain semalam, kini terbuka lebar, memantulkan sosoknya yang berbaring di tempat tidur. Pantulan di cermin tidak berbaring. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap lurus ke arahnya dengan senyum dingin.
Raina menjerit, suara yang serak dan parau, suaranya sendiri terdengar asing di telinganya. Ia melompat dari tempat tidur, kakinya gemetar. Ia tidak bisa melarikan diri dari rumah ini. Karena entitas itu... itu berada di mana-mana.
Bab 2: Duplikat yang Bergerak
Jeritan Raina memecah kesunyian rumah yang mencekam, suara yang memantul hampa di dinding-dinding yang dingin. Ia mundur selangkah, menatap cermin rias yang kini terbuka lebar di depannya. Pantulan di cermin tidak bergerak. Ia duduk di tepi tempat tidur, tangan terlipat di pangkuan, menatapnya dengan senyum tipis dan mata yang kosong, namun di sana tersimpan kilatan kecerdasan yang dingin, sebuah niat yang tidak salah lagi. Itu bukan lagi sekadar pantulan. Itu adalah dia, atau setidaknya, sebagian dari dia, yang telah terpisah dan mengambil alih kendali.
Raina berlari keluar kamar, napasnya tersengal-sengal, jantungnya berdebar kencang seperti genderang di dalam dadanya. Ia berlari melewati koridor, menuju pintu utama, satu-satunya jalan keluar yang ia pikirkan. Namun, setiap kali ia melewati cermin yang ia tutupi semalam, ia melihat hal yang sama: kain-kain penutup cermin kini terjatuh ke lantai, tergeletak tak berdaya, dan di balik setiap cermin, pantulannya berdiri kaku, menghadap ke arahnya, seolah mereka semua telah mengawasinya selama ini, menunggu untuk terungkap.
Ia tiba di aula utama, di depan cermin besar dengan bingkai emas yang telah menghitam. Pantulan dirinya di cermin itu tidak hanya menatapnya. Pantulan itu mengangkat tangannya, menunjuk ke arah pintu utama, lalu menggelengkan kepala dengan perlahan, senyum sinisnya semakin lebar. Seolah mengatakan: "Tidak ada jalan keluar."
Raina merasa seluruh dunianya berputar. Realitasnya telah terdistorsi, batas antara dirinya dan pantulannya telah kabur. Ia tidak lagi tahu siapa dirinya yang sebenarnya, atau apakah ia masih sendiri di dalam tubuhnya.
Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini semua adalah mimpi buruk, akibat dari trauma dan kesedihannya yang mendalam. Ia mencubit lengannya, menampar pipinya. Rasa sakitnya nyata, namun kengerian di depan matanya juga nyata.
Ia ingat kata-kata terapisnya: "Trauma bisa memanifestasikan diri dalam berbagai cara, Raina. Kadang-kadang, pikiran kita menciptakan realitas alternatif untuk melindungi diri." Tapi ini bukan perlindungan. Ini adalah serangan.
Raina kembali ke studio melukisnya. Ia membutuhkan sesuatu yang nyata, sesuatu yang bisa ia sentuh, ia pegang, untuk menahannya tetap berpijak. Kanvas kosong itu memanggilnya. Ia mengambil kuas, memencet sedikit cat dari tube yang kering. Ia memutuskan untuk melukis dirinya sendiri, potret diri yang jujur, sebuah upaya untuk menemukan kembali siapa dirinya sebelum pantulan itu merenggut semuanya.
Ia berdiri di depan kanvas, menatapnya dengan tatapan kosong. Di sudut studio, sebuah cermin tinggi yang ia temukan di gudang berdiri tegak. Itu adalah cermin terakhir yang ia tinggalkan terbuka, berharap ia bisa melihat pantulannya yang sebenarnya di sana, sebuah koneksi ke masa lalu.
Raina mulai melukis. Setiap sapuan kuas adalah perjuangan, sebuah upaya untuk menuangkan kepedihan dan kehampaannya ke atas kanvas. Ia melukis matanya yang kosong, garis-garis kelelahan di wajahnya, rambutnya yang acak-acakan. Ia melukis dirinya yang sekarang, seorang wanita yang hancur.
Saat ia melukis, ia melihat pantulannya di cermin studio. Pantulan itu juga memegang kuas. Tapi ia tidak melukis apa yang Raina lukis. Pantulan itu melukis sosok yang mengerikan, sebuah versi terdistorsi dari dirinya, dengan mata yang merah menyala, senyum yang menjijikkan, dan tangan-tangan yang dipenuhi darah. Dan di latar belakang, pantulan itu melukis wajah-wajah orang yang ia cintai—Ardan dan Lila—dengan ekspresi kesakitan yang memilukan, mata mereka memohon, seolah Raina sendiri adalah penyebab penderitaan mereka.
Raina menjatuhkan kuasnya. Cat tumpah di lantai. Ia menatap lukisan pantulannya. Itu adalah lukisan yang penuh kekejaman, penuh kebencian. Itu adalah bayangan tergelap dari dirinya, yang kini telah mengambil bentuk.
"Kau... tidak bisa... melarikan diri... dariku..." bisik pantulan itu di cermin, suaranya dingin, namun kini terasa seperti suara yang sangat dikenal, sebuah intonasi yang mirip dengan suara Raina sendiri, namun dipenuhi dengan kegelapan. Itu bukan lagi bisikan di telinga, melainkan suara yang terucap di benaknya, sebuah bisikan dari dalam dirinya sendiri.
Pantulan itu mulai bergerak. Ia tidak hanya melukis. Ia mulai menggerakkan bibirnya, membentuk kata-kata yang Raina pahami tanpa suara, hanya melalui gerakan bibirnya yang lambat dan disengaja.
"Kau... adalah... penyebabnya..."
Raina tersentak. Itu adalah tuduhan yang selama ini ia hindari, rasa bersalah yang ia pendam jauh di dalam hatinya. Ia selalu menyalahkan dirinya atas kecelakaan itu, atas kematian Ardan dan Lila. Kini, pantulan itu menggunakannya sebagai senjata.
Ia melihat pantulannya itu kini menangis tanpa suara, air mata mengalir di pipinya, namun senyum sinisnya tetap ada. Air mata itu terasa seperti ejekan, sebuah parodi dari kesedihannya sendiri.
Raina mundur, menabrak meja cat. Botol-botol cat terjatuh, pecah di lantai, warna-warna cerah bercampur dengan darah yang keluar dari luka di tangannya akibat terkena pecahan kaca. Ia merasakan sakit fisik, namun rasa sakit mentalnya jauh lebih buruk.
Pantulan itu tidak hanya ada di cermin. Raina mulai melihatnya di permukaan reflektif lainnya di rumah. Di jendela-jendela yang buram karena kabut, ia melihat pantulannya berdiri di luar, menatapnya dari balik kegelapan. Di layar ponselnya yang mati, ia melihat pantulannya menyeringai padanya. Bahkan di genangan air hujan yang mengumpul di ambang jendela, ia melihat pantulannya melambaikan tangan, sebuah salam perpisahan yang kejam.
Seolah seluruh dunia telah menjadi cermin bagi entitas itu, dan ia tidak bisa melarikan diri darinya.
Raina mencoba meninggalkan rumah. Ia meraih kunci mobilnya, berlari ke pintu depan. Namun, saat ia mencoba membuka pintu, ia melihat pantulannya di cermin aula berdiri di depannya, tepat di ambang pintu, menghalangi jalannya. Pantulan itu tidak lagi hanya tercermin di cermin. Ia berdiri di depannya, sebuah wujud transparan yang berdenyut, namun tetap solid, dengan mata kosong yang memancarkan cahaya biru redup, dan senyum sinis yang sama.
"Kau... tidak... bisa... pergi..." suara itu bergema di dalam kepalanya, suara yang kini ia kenal sebagai suara yang kejam dan memprovokasi, suara yang mengambil alih pikiran-pikiran tergelapnya. "Ini... rumah... kita... sekarang..."
Raina tersentak, menjatuhkan kunci mobilnya. Ia melihat ke arah pintu. Ada pantulannya. Ia melihat ke belakang. Ada cermin. Setiap sudut rumah dipenuhi pantulan-pantulan yang kini telah memanifestasikan diri sebagai bayangan yang hidup, mengelilinginya, memerangkapnya.
Ia mencoba melawan. Ia mendorong pantulan di depannya. Tangannya melewati tubuh transparan itu, namun ia merasakan dingin yang menusuk, seolah ia menyentuh es. Pantulan itu tidak bergerak. Ia hanya menatapnya dengan tatapan kosong yang mencemooh.
Raina mundur, terhuyung-huyung, napasnya terputus-putus. Ia tidak bisa melarikan diri. Pantulan itu tidak hanya di cermin. Pantulan itu telah mengambil alih rumah. Dan entah bagaimana, ia juga telah mengambil alih sebagian dari dirinya.
Ia merasakan sebuah ikatan yang aneh antara dirinya dan pantulan itu, sebuah koneksi yang tidak bisa ia putuskan. Setiap kali ia merasa takut, pantulan itu akan semakin kuat. Setiap kali ia merasa putus asa, pantulan itu akan semakin nyata.
Raina jatuh terduduk di lantai dingin, memeluk lututnya, menangis tanpa suara. Air matanya terasa asin di bibirnya yang gemetar. Ia telah sendirian dalam kesedihan, namun kini, ia tidak sendirian. Ia bersama sesuatu yang lebih kejam dari kesepian itu sendiri.
Di tengah kegelapan dan keputusasaannya, Raina melihat sebuah cermin kecil yang pecah di sudut ruangan, yang mungkin terjatuh dari meja saat ia berlari. Itu adalah cermin kecil yang ia miliki sejak kecil, cermin yang ia gunakan untuk melihat wajahnya saat ia melukis, sebuah cermin yang selalu menunjukkan pantulan dirinya yang sebenarnya.
Ia merangkak mendekatinya, meraih pecahan cermin itu. Tangannya gemetar. Ia menatap pantulan dirinya di pecahan cermin itu.
Yang ia lihat bukanlah Raina yang lelah. Bukan Raina yang hancur. Bukan Raina yang sinis.
Yang ia lihat adalah wajah Ardan dan Lila, tersenyum kepadanya, sebuah pantulan dari masa lalu, sebuah kenangan yang utuh, yang tidak terdistorsi oleh kengerian yang mengelilinginya. Mata mereka penuh cinta, dan mereka memanggilnya.
"Raina... jangan... menyerah..."
Raina menjerit, bukan karena takut, melainkan karena terkejut dan putus asa. Kenapa? Mengapa mereka muncul di sana? Apakah ini ilusi? Atau apakah ini adalah sesuatu yang asli, sebuah sisa-sisa dirinya yang belum diambil alih oleh bayangan di cermin?
Ia menatap pantulan dirinya yang mengerikan di cermin utama aula. Pantulan itu tidak menyukai apa yang ia lihat. Wajahnya yang sinis kini berubah menjadi ekspresi kemarahan yang membara, sebuah raungan tanpa suara yang mengguncang seluruh ruangan.
"Itu... bukan... milikmu... lagi!" suara itu berteriak di kepala Raina, suara yang kejam dan posesif.
Raina tahu ia harus memilih. Menyerah pada bayangan di cermin, atau berjuang untuk mempertahankan sisa-sisa dirinya, sisa-sisa kenangannya yang berharga, bahkan jika itu berarti bertarung melawan dirinya sendiri. Ia memegang erat pecahan cermin itu, seolah itu adalah jimat terakhirnya. Pertarungan simfoni antara realitas dan kegilaan baru saja dimulai.
Bab 3: Topeng Kaca yang Pecah
Pecahan cermin di tangan Raina bergetar, memantulkan cahaya redup dari lampu gantung yang usang. Di dalamnya, wajah Ardan dan Lila tersenyum padanya, sebuah oasis kehangatan di tengah gurun es ketakutan. Namun, oasis itu dikepung oleh badai: pantulan Raina yang mengerikan di cermin aula, kini sebuah wujud transparan yang berdenyut, mengaum tanpa suara, memancarkan kemarahan yang membara. Suara bisikan di kepalanya, yang kini ia kenal sebagai suara pantulan itu, menuduhnya, mencercanya, memprovokasi rasa bersalahnya yang tersembunyi.
"Itu... bukan... milikmu... lagi!" suara itu menggelegar di benak Raina, bukan hanya dari pantulan di cermin, tetapi juga dari setiap pantulan lain yang kini hidup di seluruh rumah. Mereka mengelilinginya, membentuk lingkaran rapat, tangan-tangan transparan mereka menjangkau, seolah ingin merobek kenangan berharga itu darinya.
Raina tersentak, menjatuhkan pecahan cermin itu. Gambar Ardan dan Lila hancur menjadi serpihan kecil di lantai. Rasa sakit yang tajam menusuk jarinya saat ia tanpa sengaja menginjak pecahan itu, namun itu tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya. Ia telah kehilangan mereka, dan kini, ia bahkan terancam kehilangan kenangan terakhir yang murni tentang mereka.
Pantulan jahat itu tertawa tanpa suara, tawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Wujud transparan mereka semakin padat, semakin mirip dengan Raina, namun dengan detail-detail yang mengerikan: mata yang cekung dan memancarkan cahaya biru redup, seringai yang mengkhianati kekejaman, dan kulit yang tampak terlalu pucat, terlalu mulus, seolah terbuat dari lilin.
"Kau... lemah..." bisik suara itu di kepalanya, menyelinap ke setiap celah pikirannya. "Kau... adalah... kehancuran..."
Raina mundur, terhuyung-huyung, punggungnya menabrak dinding. Ia tahu ia tidak bisa melarikan diri. Rumah ini adalah cermin yang tak berujung, sebuah perangkap yang telah lama menunggunya. Dan pantulan-pantulan itu... mereka adalah bagian dari rumah ini sekarang, bagian dari dirinya.
Ia memutuskan untuk melawan. Bukan dengan kekuatan fisik, karena itu jelas sia-sia. Melainkan dengan kewarasannya, dengan ingatannya, dengan kebenaean yang ia yakini. Ia harus membuktikan bahwa ia bukan pantulan itu, bahwa ia bukan monster yang dituduhkan.
Raina melihat ke arah studio melukisnya. Kanvas yang belum selesai, kuas yang berserakan, cat yang tumpah—semua itu adalah sisa-sisa dirinya yang dulu, Raina sang seniman. Ia harus kembali ke sana. Ia harus melukis.
Ia menerjang maju, menerobos kerumunan pantulan yang mengelilinginya. Tangan-tangan dingin mereka mencengkeram lengannya, menariknya, mencoba menahannya. Raina merasakan sensasi hisapan energi yang sama seperti sebelumnya, sebuah upaya untuk menguras vitalitasnya, untuk menariknya masuk ke dalam ketiadaan. Namun, kali ini, ia menolak. Ia mencengkeram tangan-tangan itu, merasakan dinginnya kulit mereka yang seperti es, dan berjuang maju dengan seluruh sisa kekuatannya.
"Lepaskan aku!" Raina berteriak, suaranya parau, namun dipenuhi dengan kemarahan yang membara.
Pantulan-pantulan itu mendesis, suara yang menusuk di benak Raina. Beberapa dari mereka mundur sesaat, terkejut oleh perlawanannya yang tak terduga. Ini adalah pertarungan yang tidak mereka duga. Mereka terbiasa dengan keputusasaan, bukan perlawanan.
Raina berhasil mencapai studio. Begitu ia masuk, pintu di belakangnya tertutup dengan keras, seolah cermin-cermin itu tidak ingin ia melangkah lebih jauh. Ia terperangkap, namun setidaknya, ia berada di tempat yang ia rasa lebih familiar.
Ia melihat kanvas kosong yang ia tinggalkan. Lukisan mengerikan yang dibuat oleh pantulannya di cermin studio kini telah menghilang, seolah cermin itu kembali ke keadaan normal. Namun, Rania tahu itu hanya tipuan. Itu adalah bagian dari permainan mereka.
Ia meraih kuas, yang kini terasa asing di tangannya yang gemetar. Ia harus melukis. Melukis kebenaran. Bukan kebenaran yang kejam yang coba dipaksakan pantulan itu padanya, melainkan kebenaran yang ia tahu di hatinya.
Raina mulai melukis. Ia tidak melukis wajah dirinya. Ia melukis Ardan dan Lila. Ia melukis senyum Ardan, mata Lila yang berbinar, setiap detail yang ia ingat dengan jelas. Ia menuangkan seluruh cintanya, seluruh kepedihannya, ke dalam setiap sapuan kuas. Ini adalah sebuah penolakan terhadap kebohongan, sebuah deklarasi identitas melalui seni.
Saat ia melukis, ia melihat pantulannya di cermin studio, yang kini berdiri di belakangnya. Pantulan itu tidak melukis. Ia hanya mengawasinya, dengan ekspresi yang berubah-ubah: kebingungan, kemarahan, dan kemudian, sesuatu yang tampak seperti rasa sakit.
Bisikan di kepala Raina kembali. "Kau... tidak... bisa... mengubah... masa... lalu..." Suara itu tidak lagi agresif, melainkan terdengar lemah, seolah ia sedang terganggu oleh apa yang dilakukan Raina.
Raina menyadari. Kenangan murninya, cintanya yang tulus kepada keluarganya, adalah racun bagi entitas itu. Ia adalah perwujudan dari rasa bersalah dan keputusasaan Raina. Ketika Raina menolak kesedihan dan rasa bersalah itu, ketika ia berpegang teguh pada cinta murni, itu melemahkan entitas tersebut.
Ia terus melukis, tangannya bergerak cepat, seolah ia sedang berlomba dengan waktu. Warna-warna cerah mulai muncul di kanvasnya, kontras dengan kegelapan dan kengerian di sekelilingnya. Ia melukis mereka di sebuah taman yang dipenuhi bunga-bunga, di bawah sinar matahari yang hangat, jauh dari kecelakaan, jauh dari rasa sakit.
Tiba-tiba, cermin di studio bergetar hebat. Pantulan Raina di dalamnya menjerit tanpa suara, wajahnya terdistorsi oleh rasa sakit yang luar biasa. Retakan-retakan kecil mulai muncul di permukaan cermin, menyebar seperti sarang laba-laba.
"Tidak... tidak... itu... bukan... kebenaran...!" suara di kepala Raina meraung, dipenuhi kepanikan. "Kau... adalah... penyebab...!"
Raina tidak berhenti. Ia terus melukis, menuangkan setiap memori bahagia yang ia miliki ke dalam kanvas. Ia melukis tawa Lila, pelukan Ardan, momen-momen kecil yang sempurna yang telah terkubur di bawah puing-puing trauma.
Pada akhirnya, ia selesai. Sebuah potret yang indah dan mengharukan tentang keluarganya, sebuah pengingat akan cinta yang tak terbatas. Raina menatap kanvas itu, dan air mata mengalir di pipinya—air mata kebahagiaan, air mata kedamaian, bukan air mata kesedihan.
Saat ia menatap lukisan itu, cermin di studio pecah berkeping-keping dengan suara pecahan yang nyaring, suara paling keras yang pernah Raina dengar di rumah itu. Pantulan jahat itu menghilang, seolah ia telah hancur bersama cermin. Serpihan kaca berserakan di lantai.
Raina merasakan kelegaan yang luar biasa. Ia telah menang! Ia telah menghancurkan salah satu dari mereka.
Namun, kelegaan itu hanya berlangsung sesaat. Dari serpihan cermin di lantai, cahaya biru redup mulai terpancar. Dan dari cahaya itu, wajah-wajah lain mulai muncul, bukan pantulan Raina, melainkan wajah-wajah yang berbeda, terdistorsi oleh penderitaan, yang muncul dari dalam pecahan kaca, menatap Raina dengan mata kosong.
Ini adalah para korban dari pemilik rumah sebelumnya, kolektor barang antik itu, yang telah terperangkap dalam cermin-cermin itu. Dan kini, mereka telah dibebaskan, atau lebih tepatnya, terbebani oleh perbuatannya.
Raina menyadari. Ia tidak menghancurkan entitas itu. Ia hanya memecahkannya. Dan dengan memecahkannya, ia telah melepaskan lebih banyak dari mereka. Dan mereka... mereka sedang menatapnya, bukan dengan marah, melainkan dengan harapan yang menakutkan. Harapan bahwa Raina, seorang seniman, bisa melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh pemilik rumah sebelumnya.
Harapan untuk membebaskan mereka.
Bab 4: Galeri Jiwa yang Terperangkap
Pecahan cermin di lantai studio memancarkan cahaya biru redup, dan dari dalamnya, wajah-wajah terdistorsi yang tak terhitung jumlahnya mulai muncul, melayang-layang di udara, menatap Raina dengan mata kosong yang dipenuhi penderitaan. Mereka bukan pantulan Raina. Mereka adalah jiwa-jiwa yang terperangkap, yang telah dibebaskan dari penjara kaca mereka. Suara bisikan di kepala Raina telah lenyap, digantikan oleh paduan suara rintihan samar dari wajah-wajah itu, sebuah simfoni penderitaan yang melayang di udara.
Raina terhuyung mundur, jantungnya berdebar kencang. Ia mengira telah menghancurkan musuhnya, namun ia hanya membuka gerbang ke neraka yang lebih besar. Rumah ini bukan hanya tempat pantulan itu mengintai. Rumah ini adalah galeri jiwa, dan setiap cermin adalah sebuah kanvas tempat mereka terperangkap.
Ia melihat ke sekeliling studio. Semua cermin lain yang ia tutupi dengan kain, kini telah pecah berkeping-keping dengan sendirinya, kain-kain itu tergeletak tak berdaya di lantai, dan dari setiap pecahan cermin itu, lebih banyak wajah muncul, memenuhi udara dengan cahaya biru yang mengerikan dan rintihan yang tak terhitung jumlahnya. Seluruh rumah kini terasa seperti sebuah ruang pameran jiwa, dengan setiap dinding bernapas dengan kepedihan.
Raina merasakan gelombang empati yang luar biasa menyelimutinya. Mereka bukan jahat. Mereka terperangkap. Mereka adalah korban, sama seperti dirinya. Dan mereka tidak mencari pembalasan, melainkan pembebasan. Mereka telah lama menunggu seseorang yang bisa melihat dan merasakan mereka, seseorang yang bisa memahami penderitaan mereka.
Ia teringat kolektor barang antik, pemilik rumah sebelumnya. Apakah dia tahu tentang ini? Apakah dia terobsesi dengan cermin-cermin ini karena dia juga merasakan kehadiran mereka? Mungkin dia mencoba "menangkap" mereka, tanpa tahu bagaimana "membebaskan" mereka.
Raina memegang lukisan Ardan dan Lila yang ia selesaikan, sebuah potret yang memancarkan kehangatan dan cinta. Wajah-wajah yang melayang di udara itu, yang tadinya penuh penderitaan, kini menatap lukisan itu dengan ekspresi keingintahuan yang samar, sebuah kilatan harapan di mata kosong mereka. Mereka tertarik pada cahaya, pada keindahan, pada cinta.
Ini adalah petunjuk. Seni. Kemampuan Raina untuk menangkap dan menyampaikan emosi melalui kanvas. Mungkin, itulah kunci untuk membebaskan mereka.
Ia berjalan di antara wajah-wajah yang melayang, menuju sisa-sisa cermin yang pecah. Ia tidak lagi merasa takut pada mereka. Ia merasakan rasa kasihan yang mendalam. Ia melihat wajah seorang wanita muda, matanya dipenuhi ketakutan, menatap kosong ke depan. Raina mendekat, mencoba menyentuh wajah itu, namun tangannya melewati mereka seperti asap.
"Bagaimana... aku bisa... membebaskan kalian?" bisik Raina, suaranya parau, namun dipenuhi tekad.
Wajah-wajah itu tidak menjawab dengan kata-kata. Mereka hanya berputar di sekelilingnya, menunjuk ke arah cermin utama di aula, cermin besar dengan bingkai emas yang masih utuh. Itu adalah cermin terbesar di rumah, yang Raina yakini adalah pusat dari semua cermin, tempat di mana pantulan jahat itu pertama kali memanifestasikan diri dengan jelas.
Itu adalah inti dari galeri jiwa.
Raina berjalan keluar dari studio, menuju aula utama. Perjalanannya terasa berbeda sekarang. Ia tidak lagi dikelilingi oleh ancaman, melainkan oleh ratapan sunyi dari jiwa-jiwa yang ingin dibebaskan. Mereka melayang di sekelilingnya, menemaninya, sebuah iringan hantu yang menyakitkan.
Ia tiba di aula utama. Cermin besar dengan bingkai emas itu masih berdiri tegak, memancarkan aura yang aneh. Ia tidak lagi memantulkan Raina. Permukaan cermin itu kini terlihat seperti permukaan air yang beriak, di mana gambar-gambar samar berkelebat: adegan-adegan kekerasan, penderitaan, kematian—bukan hanya yang ia alami, melainkan ratusan, ribuan adegan yang berbeda, seolah cermin itu adalah sebuah jendela ke masa lalu yang brutal.
Suara yang dalam, suara kolektif dari pantulan jahat itu, kini muncul lagi, bukan dari cermin itu, melainkan dari dalam riakan permukaan cermin. "Mereka... adalah... milikku... Kau... tidak... bisa... mengambil... mereka..." Suara itu tidak lagi menuduh, melainkan terdengar posesif, penuh kemarahan karena sesuatu yang ia miliki akan diambil darinya.
Raina menyadari. Pantulan jahat itu adalah Sang Kolektor, entitas yang telah mengumpulkan jiwa-jiwa ini, yang telah mengikat mereka ke dalam cermin, ke dalam rumah ini. Dan entitas itu tidak ingin melepaskan koleksinya. Ia adalah penjaga galeri ini.
Raina melihat ke sekeliling aula. Para penghuni gema—wajah-wajah yang melayang—kini berkerumun di sekitar cermin besar, tidak bisa melewatinya. Mereka terikat pada jaringan yang tak terlihat yang memancar dari cermin itu.
Raina harus menghadapinya. Ia tidak bisa menghancurkan cermin itu begitu saja. Ia telah mencoba menghancurkan cermin studio, dan itu hanya membebaskan mereka dalam bentuk yang lebih mengerikan. Ia harus memutus ikatan antara jiwa-jiwa ini dan Sang Kolektor, membebaskan mereka tanpa kehancuran.
Ia teringat sebuah teknik melukis kuno yang ia pelajari, tentang "melukis melalui pantulan," di mana seniman akan melukis di atas permukaan cermin untuk menciptakan ilusi kedalaman. Ini adalah petunjuk. Ia harus melukis di atas permukaan cermin itu.
Namun, apa yang harus ia lukis? Bukan potret dirinya. Bukan potret keluarganya. Ia harus melukis pembebasan.
Raina meletakkan lukisan Ardan dan Lila di lantai dengan hati-hati. Ia pergi ke studionya yang hancur, mencari cat dan kuas yang masih bisa digunakan. Ia menemukan beberapa tube cat berwarna biru, putih, dan perak, warna-warna yang melambangkan kebebasan dan kedamaian. Ia juga menemukan sebuah kuas kecil yang masih utuh.
Ketika ia kembali ke aula, Sang Kolektor di dalam cermin telah meluas, mengambil alih seluruh permukaan cermin, wujudnya yang gelap kini menatap Raina dengan kemarahan yang membara.
"Kau... tidak... akan... menyentuh... mereka!" suara itu meraung, bukan di kepala Raina, melainkan memancar dari permukaan cermin, sebuah gelombang suara yang terasa seperti memar di udara.
Raina tidak takut. Ia memiliki sebuah tujuan. Ia memiliki sebuah misi. Ia akan menjadi pembebas mereka.
Ia mulai melukis di atas permukaan cermin. Tangannya gemetar, namun ada tekad yang membara di matanya. Ia tidak melukis gambar. Ia melukis simbol-simbol kuno, simbol-simbol yang ia lihat di buku-buku lama tentang seni dan spiritualitas, simbol-simbol yang melambangkan pembebasan, transisi, dan kebebasan jiwa. Ia melukis dengan warna biru, putih, dan perak, menciptakan sebuah pola spiral yang berputar, seolah ia menciptakan sebuah portal.
Setiap kali ia meletakkan cat di permukaan cermin, Sang Kolektor meraung, permukaan cermin bergejolak hebat, dan cahaya biru yang mengerikan memancar dari dalamnya, mencoba menghalangi Raina. Para penghuni gema di sekeliling Raina juga bereaksi, beberapa dari mereka melayang mendekat, mencoba menyentuh lukisannya, sementara yang lain mundur, seolah mereka merasakan kekuatan yang dilepaskan.
Raina tahu ia harus cepat. Sang Kolektor tidak akan membiarkannya menyelesaikan lukisan itu. Ini adalah pertarungan terakhir, sebuah pertarungan antara seni dan kengerian, antara pembebasan dan penangkapan.
Ketika ia menyelesaikan spiral terakhir, Sang Kolektor meraung dengan kekuatan yang luar biasa. Seluruh rumah bergetar. Dan dari setiap retakan di dinding, dari setiap sudut gelap, dari setiap perabot yang dulunya menampung cermin, lebih banyak wajah-wajah terdistorsi muncul, membanjiri aula, jumlah mereka tak terhitung. Mereka tidak lagi melayang. Mereka terbang dengan kecepatan yang luar biasa, menyerbu Raina dari segala arah, sebuah ombak penderitaan yang mengerikan.
"Kau... telah... membuka... segalanya!" suara itu meraung, kini bukan hanya dari cermin, melainkan dari setiap sudut rumah, sebuah paduan suara kekejian yang tak berujung. "Kau... akan... menjadi... koleksi...ku!"
Adrian (seharusnya Raina) terhuyung mundur, kewarasannya di ambang kehancuran. Ia tidak bisa melarikan diri dari jumlah mereka yang tak terbatas. Ia telah membebaskan terlalu banyak.
Ia menatap lukisan spiral di permukaan cermin. Itu adalah jalan terakhirnya. Ia harus mengambil risiko. Ia harus masuk.
Bab 5: Menembus Permukaan yang Beriak
Raina berdiri di ambang batas, di hadapan cermin besar di aula, jantungnya berdebar kencang seolah ingin meloncat keluar dari dadanya. Lukisan spiral yang baru saja ia selesaikan di permukaan cermin kini memancarkan cahaya biru terang, berputar dengan kecepatan yang memusingkan, seolah itu adalah sebuah pusaran air yang membeku. Namun, dari dalamnya, Sang Kolektor meraung, wujudnya yang gelap kini menutupi hampir seluruh permukaan cermin, matanya yang menyala memancarkan kemarahan yang membara. Di sekelilingnya, ribuan wajah terdistorsi dari para penghuni gema — kini bukan lagi hanya rintihan, melainkan seruan-seruan putus asa yang tak terhitung jumlahnya — terbang mengerubunginya, sebuah ombak penderitaan yang mengerikan, siap menelannya.
"Kau... telah... membuka... segalanya!" suara Sang Kolektor bergemuruh dari cermin, bukan hanya di kepala Raina, melainkan memancar dari setiap sudut rumah, sebuah paduan suara kekejian yang memecah gendang telinga. "Kau... akan... menjadi... koleksi...ku!"
Raina merasakan gelombang tekanan yang tak kasat mata menghantamnya, sebuah kekuatan yang mencoba mendorongnya mundur, mencoba mengoyak setiap serat keberadaannya. Namun, tekadnya kini lebih kuat dari rasa takutnya. Ia tahu ia tidak bisa melarikan diri dari jumlah mereka yang tak terbatas. Ia tidak bisa melawan mereka secara fisik. Satu-satunya jalan adalah menembus portal yang ia ciptakan, masuk ke dalam inti kengerian itu, dan menghadapi Sang Kolektor di wilayahnya sendiri.
Ia melihat ke lukisan spiral di cermin. Cahaya biru itu memanggilnya, sebuah janji pembebasan, atau sebuah undangan ke kehampaan. Itu adalah risiko yang harus ia ambil.
Dengan keberanian yang lahir dari keputusasaan, Raina mengulurkan tangannya, menyentuh permukaan cermin yang beriak. Sentuhannya terasa aneh, bukan dingin seperti kaca, melainkan seperti menyentuh air yang sangat kental dan bermuatan energi. Tangannya tenggelam, seolah permukaan itu adalah cairan pekat. Rasa sakit yang tajam menusuk jari-jarinya, seolah ada ribuan jarum yang menembus kulitnya, namun ia tak peduli. Ia merasakan sebuah tarikan yang kuat, menariknya masuk ke dalam pusaran cahaya biru itu.
"Tidak!" raungan Sang Kolektor memekakkan telinga, sebuah kemarahan yang meluap-luap. Makhluk-makhluk penghuni gema yang mengelilingi Raina melonjak, mencoba menangkapnya, mencakar, mencengkeram. Raina merasakan tangan-tangan dingin dan kurus itu mencengkeram lengannya, menariknya, mencoba menahannya untuk tetap berada di dunia fisik.
Namun, ia tak menyerah. Dengan kekuatan terakhirnya, ia mendorong dirinya maju, melangkah masuk ke dalam cermin. Tubuhnya terasa seperti ditarik dan diregangkan, seolah ia sedang melewati sebuah lorong yang terlalu sempit. Semua suara, semua rintihan, semua teriakan dari para penghuni gema yang mengerumuninya tiba-tiba menjadi sangat keras, sebuah desibel yang tak tertahankan, memekakkan telinga Raina, sebelum kemudian memudar total menjadi keheningan yang absolut.
Ketika Raina membuka matanya lagi, ia tidak lagi berada di aula rumahnya. Ia berdiri di sebuah tempat yang tidak memiliki batas, tidak memiliki gravitasi, sebuah dimensi yang seluruhnya terbuat dari refleksi. Di sekelilingnya, bukan dinding atau langit-langit, melainkan permukaan cermin yang tak terhitung jumlahnya, membentang sejauh mata memandang, membentuk sebuah labirin yang tak berujung. Setiap cermin memantulkan bukan hanya dirinya, tetapi juga gambar-gambar bergerak yang mengerikan: adegan-adegan kekerasan, penderitaan, dan kematian yang tak terhitung jumlahnya, yang terus berulang tanpa henti, seperti sebuah video loop dari horor murni.
Di tengah labirin cermin itu, Sang Kolektor melayang di udara, wujudnya kini terlihat lebih jelas, lebih solid, namun tetap amorf, seperti gumpalan bayangan yang dipenuhi cahaya biru yang berdenyut. Ia jauh lebih besar dari yang terlihat di cermin fisik, menjulang tinggi di atas Raina, memancarkan aura dingin yang menusuk.
"Kau... telah... datang..." suara Sang Kolektor bergema, tidak lagi sebagai raungan, melainkan sebagai resonansi yang dalam, yang terasa di setiap sel tubuh Raina, di setiap serat jiwanya. "Bodoh... kau... telah... membawa... dirimu... sendiri... ke... dalam... koleksi...ku..."
Raina mencoba bergerak, namun ia merasa kakinya tidak menyentuh permukaan apa pun. Ia melayang di udara, di tengah kekosongan yang reflektif itu. Ia menatap cermin-cermin di sekelilingnya. Ia melihat pantulan dirinya di setiap cermin, bukan pantulan jahat itu, melainkan dirinya yang asli, namun setiap pantulan itu memiliki ekspresi ketakutan yang berbeda, sebuah variasi dari penderitaannya sendiri.
Ini adalah alam Sang Kolektor, sebuah dimensi yang ia ciptakan dari memori-memori terdistorsi dan jiwa-jiwa yang terperangkap. Setiap pantulan, setiap adegan di cermin, adalah bagian dari koleksinya.
Raina merasakan sebuah cengkraman yang tak terlihat di dalam benaknya. Sang Kolektor mencoba merasukinya, mencoba menyerapnya ke dalam koleksinya. Visi-visi mengerikan dari kecelakaan masa lalunya membanjiri benaknya, diputar ulang dengan detail yang kejam, namun kali ini, ia melihat dirinya sebagai penyebabnya, tangan-tangan kecil Lila yang memohon, wajah Ardan yang terpukul, semua itu adalah bukti "kesalahannya".
"Kau... adalah... pembawa... kehancuran..." suara Sang Kolektor berbisik, mencoba mematahkan semangatnya. "Kau... adalah... pantulan... dari... kegelapan...mu..."
Raina memejamkan mata, menolak visi-visi itu. Ia tahu ini adalah tipuan, sebuah serangan psikologis. Ia harus menemukan cara untuk melawan, di alam yang tidak memiliki fisik ini.
Ia teringat lukisan spiral yang ia buat di cermin. Itu adalah sebuah portal. Sebuah jalan. Tapi bagaimana cara menggunakannya di sini?
Ia membuka matanya. Ia melihat lukisan spiral itu terukir samar di permukaan cermin terdekat dengannya, memancarkan cahaya biru redup. Itu adalah petunjuk. Lukisan itu adalah kunci. Kunci untuk membebaskan jiwa-jiwa ini, dan mungkin, kunci untuk membebaskan dirinya.
Raina mengulurkan tangannya ke lukisan spiral itu. Saat ia menyentuhnya, ia merasakan sebuah gelombang energi yang familier, energi yang ia gunakan saat ia melukis, energi yang berasal dari hatinya, dari cintanya yang murni. Energi itu tidak lagi hanya untuk melukis. Itu adalah senjata.
Ia harus melukis di alam ini. Melukis dengan jiwanya.
Bab 6: Kanvas Jiwa di Alam Refleksi
Raina melayang di tengah dimensi reflektif yang tak berujung, di bawah tatapan Sang Kolektor yang menjulang tinggi, dan dikelilingi oleh cermin-cermin yang memutar ulang horor abadi. Tangan-tangan tak kasat mata Sang Kolektor mencoba mencengkeram jiwanya, membanjirinya dengan visi-visi rasa bersalah dan penderitaan, mencoba menariknya ke dalam koleksi yang tak terbatas. Namun, kini Raina memiliki sebuah senjata: lukisan spiral yang terukir samar di permukaan cermin terdekat, memancarkan cahaya biru redup, dan energi murni dari hatinya.
"Kau... tidak... bisa... melukis... di sini..." suara Sang Kolektor bergemuruh, sebuah resonansi yang mengguncang seluruh alam reflektif itu, menyebabkan cermin-cermin di sekeliling Raina bergetar dan gambar-gambar di dalamnya berkedip lebih cepat. "Ini... adalah... duniaku... duniaku... tentang... rasa... sakit..."
Raina mengabaikannya. Ia memejamkan mata sejenak, memfokuskan seluruh energinya pada lukisan spiral. Ia merasakan tangannya, yang kini terasa seperti sebuah kuas astral, dapat memanipulasi energi di alam ini. Ia mulai "melukis" di permukaan cermin dengan sentuhan jiwanya. Ia tidak menggunakan cat fisik, melainkan niat murninya, ingatannya yang tak terdistorsi, dan cintanya kepada keluarganya.
Ia mulai melukis warna-warna cerah, bukan warna-warna gelap yang mendominasi alam ini. Ia melukis cahaya keemasan, langit biru yang jernih, hijau dedaunan yang subur. Setiap "sapuan kuas" yang ia lakukan memicu reaksi dahsyat dari Sang Kolektor.
Sang Kolektor meraung, suaranya dipenuhi kemarahan dan rasa sakit. Setiap kali Raina melukiskan keindahan atau cahaya, bagian dari permukaan cermin yang ia lukis akan bergetar hebat, dan retakan-retakan kecil mulai muncul, bukan retakan fisik, melainkan retakan energi yang memancarkan cahaya putih terang. Dari retakan itu, wajah-wajah terdistorsi yang terperangkap di dalamnya mulai menjerit, bukan lagi rintihan putus asa, melainkan jeritan pembebasan, yang kemudian menghilang menjadi kilauan cahaya.
Raina menyadari. Lukisan spiral itu adalah kunci pembuka. Dan lukisan yang ia ciptakan adalah gelombang pembebasan. Setiap warna terang, setiap sentuhan niat baik, adalah frekuensi yang mengganggu jaringan Sang Kolektor, memutus ikatan antara kolektor dan jiwa-jiwa yang terperangkap.
Para penghuni gema di cermin-cermin di sekelilingnya mulai bereaksi. Beberapa dari mereka, yang wajahnya dipenuhi rasa sakit yang mendalam, kini tampak terkejut, lalu perlahan tersenyum, senyum yang murni dan tulus, sebelum mereka juga meledak menjadi kilauan cahaya dan menghilang, seolah mereka akhirnya menemukan kedamaian.
Namun, yang lain justru bereaksi dengan kekuatan yang lebih besar, wajah mereka berubah menjadi ekspresi kemarahan yang mengerikan, menatap Raina dengan mata yang menyala. Mereka adalah jiwa-jiwa yang telah sepenuhnya terkontaminasi oleh kekejaman Sang Kolektor, yang telah melupakan siapa diri mereka sebenarnya. Mereka adalah tentara Sang Kolektor.
Mereka mulai melompat keluar dari permukaan cermin, bukan lagi sebagai wujud transparan, melainkan sebagai manifestasi yang lebih solid, mirip dengan boneka-boneka kain yang diisi dengan kegelapan, dengan gerakan yang kaku dan tidak wajar. Mereka menerjang ke arah Raina, mencoba mencengkeramnya, mencoba menghentikan lukisannya.
Raina harus menghindar. Ia tidak bisa melawan mereka secara fisik di alam ini. Ia melayang mundur, menggunakan tangannya sebagai "kuas" untuk menciptakan penghalang cahaya di sekelilingnya, sebuah perisai yang terbuat dari energi murni yang ia pancarkan. Setiap kali makhluk-makhluk itu menghantam perisainya, mereka akan memudar sebagian, dan rasa sakit akan terlihat di wajah mereka.
Sang Kolektor meraung. Wujudnya yang menjulang kini memancarkan gelombang kegelapan, mencoba memadamkan cahaya yang diciptakan Raina. Ia mencoba mengubah visi-visi di cermin di sekeliling Raina menjadi horor yang lebih mengerikan, menampilkan adegan-adegan yang jauh lebih brutal dan tak tertahankan, mencoba menghancurkan konsentrasi dan jiwanya.
Raina melihat adegan-adegan itu: penyiksaan, pembunuhan, keputusasaan. Ia melihat wajah-wajah yang menangis darah, tubuh-tubuh yang hancur, senyum-senyum kejam dari para pelaku. Semua itu diputar ulang tanpa henti, sebuah neraka visual yang dirancang untuk mematahkan setiap harapan yang ia miliki.
Namun, Raina menolak untuk menyerah. Ia memejamkan mata sejenak, memanggil kembali memori Ardan dan Lila, memanggil kembali tawa putrinya, sentuhan lembut suaminya. Ia mengalirkan semua cinta itu ke dalam lukisannya.
Ia mulai melukiskan gambar-gambar harapan: tangan yang terulur untuk membantu, pelukan yang tulus, senyum yang murni. Setiap gambar itu adalah sebuah pukulan bagi Sang Kolektor, sebuah dissonance yang memecah konsentrasinya.
Sang Kolektor menjerit, sebuah suara yang tidak manusiawi. Permukaan cermin yang ia tempati mulai retak di mana-mana, bukan hanya di tempat lukisan spiral Raina, melainkan di seluruh permukaannya, seperti jaring laba-laba raksasa yang rapuh. Wujudnya mulai berkedip-kedip, menjadi lebih transparan, seolah ia kesulitan mempertahankan kohesinya.
Raina tahu ia harus cepat. Ia sedang melemahkan Sang Kolektor, membebaskan jiwa-jiwa yang terperangkap. Tetapi ia juga merasakan kekuatannya sendiri menipis. Berada di alam reflektif ini, menggunakan jiwanya sebagai kuas, menguras energinya dengan cepat. Ia merasakan tubuhnya yang melayang mulai bergetar, pandangannya kabur.
Ia harus menemukan inti Sang Kolektor, pusat yang mengikat semua jiwa ini, tempat di mana ia bisa memutus koneksi sepenuhnya.
Raina menatap wajah-wajah yang masih terperangkap di cermin yang belum pecah, dan wajah-wajah yang masih menyerangnya, yang telah terkontaminasi. Ia harus menemukan inti dari kengerian ini, sebelum ia sendiri menjadi bagian dari galeri jiwa yang abadi.
Ia mengumpulkan seluruh kekuatannya untuk sapuan terakhir. Ia melukis sebuah simbol yang lebih besar dan lebih kuat, sebuah cahaya putih murni yang memancar dari lukisan spiral di cermin, meluas ke seluruh dimensi reflektif itu, mencari sumber utama kegelapan.
Cahaya itu menyebar, menerangi setiap sudut labirin cermin. Dan Raina melihatnya. Di pusat dari semua cermin, di kejauhan, ada sebuah cermin terakhir yang sangat besar, memancarkan kegelapan yang pekat, sebuah lubang hitam yang menghisap semua cahaya di sekitarnya. Itu adalah cermin yang Raina temukan tersembunyi di balik dinding rahasia di rumahnya. Cermin yang tidak memantulkan apa pun, namun dari dalamnya ia mendengar bisikan suara keluarganya.
Itu adalah jantung Sang Kolektor. Dan ia harus mencapainya, apapun risikonya.
Bab 7: Jantung Kegelapan yang Berdenyut
Cahaya putih murni yang Raina pancarkan dari lukisan jiwanya melesat menembus labirin cermin yang tak berujung, membelah kegelapan yang diciptakan Sang Kolektor. Cahaya itu menerangi setiap sudut, setiap permukaan reflektif, mengungkap kebenaran mengerikan dari dimensi reflektif ini: bukan hanya cermin, melainkan pantulan tak terbatas dari setiap tindakan, setiap emosi, setiap penderitaan yang pernah terjadi di dalam rumah itu. Setiap cermin adalah kapsul waktu, membekukan momen-momen horor dalam keabadian yang dingin.
Di kejauhan, di pusat dari semua cermin, Raina melihatnya dengan jelas sekarang: cermin terakhir yang sangat besar, sebuah anomali di antara semua pantulan, karena ia tidak memantulkan apa pun. Permukaannya adalah lubang hitam pekat, sebuah ketiadaan yang menghisap semua cahaya, semua harapan. Dari dalamnya, ia merasakan tarikan gravitasi yang mengerikan, bukan fisik, melainkan tarikan jiwa, sebuah desakan kuat untuk bergabung, untuk menjadi bagian dari kegelapan abadi. Itu adalah jantung Sang Kolektor, tempat di mana semua jiwa terikat, tempat di mana semua penderitaan berkumpul.
"Kau... tidak... bisa... mencapainya!" suara Sang Kolektor bergemuruh di seluruh alam reflektif, sebuah raungan yang putus asa namun penuh kekuatan. Wujudnya yang menjulang kini terlihat lebih transparan, berkedip-kedip tak menentu, seolah lukisan Raina telah melemahkannya hingga batasnya. Namun, ia mengerahkan seluruh sisa kekuatannya, mengirimkan gelombang demi gelombang manifestasi dari cermin-cermin yang terkontaminasi.
Makhluk-makhluk yang seperti boneka kain berisi kegelapan itu kini muncul dalam jumlah yang jauh lebih banyak, menyerbu Raina dari segala arah, bukan lagi sekadar menyerang, melainkan mencoba menariknya secara paksa menuju cermin hitam itu, menuju inti Sang Kolektor. Mereka memiliki mata yang menyala merah, menunjukkan bahwa mereka telah sepenuhnya dikuasai oleh kekejaman Sang Kolektor, melupakan siapa diri mereka sebenarnya. Mereka adalah penjaga terakhir dari neraka pribadi ini.
Raina tahu ia kehabisan waktu. Energi dari lukisan jiwanya semakin menipis. Tubuhnya yang melayang gemetar, dan kepalanya terasa sakit, sebuah nyeri yang tajam dan menusuk, seolah otaknya sedang ditarik. Ia harus bergerak cepat.
Ia mengarahkan "kuas astral" tangannya ke arah cermin hitam itu, dan mulai "melukis" sebuah jalur cahaya di udara kosong. Setiap sapuan cahaya itu adalah sebuah rute yang harus ia ikuti, sebuah jembatan yang ia ciptakan melintasi kekosongan.
Saat ia bergerak maju di jalur cahaya itu, makhluk-makhluk yang menyerangnya mencoba menembus penghalang cahayanya. Mereka mencakar, menggigit, melolong dengan suara-suara yang terdengar seperti jeritan dan ratapan yang terdistorsi. Raina merasakan energi vitalnya terkuras setiap kali mereka menyentuh perisainya. Ia melihat pantulan dirinya di cermin-cermin lain mulai memudar, ekspresinya menjadi semakin lelah dan putus asa. Ia berjuang untuk tetap sadar, untuk tidak membiarkan Sang Kolektor menyeretnya ke dalam kegelapan.
Ia melihat kembali lukisan Ardan dan Lila di studio di dunia nyata. Itu adalah sumber kekuatannya, pengingat akan cinta yang murni. Ia harus berpegang pada itu.
Saat ia semakin dekat dengan cermin hitam itu, tarikan jiwa dari dalamnya semakin kuat. Raina merasakan kenangan masa lalunya mulai terdistorsi, wajah Ardan dan Lila mulai kabur, suara mereka menjadi samar. Sang Kolektor mencoba menghapus mereka dari benaknya, mengklaim mereka sebagai miliknya, untuk membuat Raina sepenuhnya putus asa.
"Tidak!" Raina berteriak, suaranya bergema hampa di alam reflektif. Ia memaksakan dirinya untuk mengingat setiap detail, setiap tawa, setiap pelukan. Ia melihat wajah Lila yang tersenyum saat ia memegang boneka beruang favoritnya. Ia melihat Ardan menatapnya dengan penuh cinta saat mereka berdansa di hari pernikahan mereka. Kenangan-kenangan itu adalah dinding terakhir yang ia miliki untuk menahan serangan Sang Kolektor.
Akhirnya, dengan sisa-sisa energi yang ia miliki, Raina tiba di depan cermin hitam itu. Permukaannya adalah ketiadaan yang absolut, sebuah lubang tanpa dasar yang menghisap semua yang ada di sekitarnya. Dari dalam lubang hitam itu, ia bisa mendengar bisikan-bisikan samar, namun kali ini, bukan rintihan penderitaan. Itu adalah bisikan-bisikan dingin dan perhitungan, sebuah suara tunggal yang berbeda dari Sang Kolektor yang kolektif. Sebuah suara yang sangat akrab.
"Selamat datang... Raina..." bisik suara itu, terdengar sangat dekat, seolah berasal dari dalam dirinya sendiri.
Raina membeku. Suara itu... suara itu adalah suara dirinya sendiri, namun terdengar dingin, kosong, dan kejam. Itu adalah suara dari pantulan jahat yang pertama kali ia temui di rumah, pantulan yang telah mengambil alih dirinya.
Sang Kolektor, yang menjulang di atas cermin hitam, kini mulai memadat, dan dari wujud bayangan amorfnya, sebuah bentuk mulai muncul: sebuah sosok manusia, berukuran raksasa, dengan kulit pucat yang mulus, mata yang memancarkan cahaya biru terang, dan seringai yang dingin. Wajahnya... adalah wajah Raina sendiri, namun versi yang kejam, yang kosong dari emosi, hanya diisi dengan rasa lapar akan penderitaan.
Ini adalah kebenaran yang mengerikan. Sang Kolektor bukanlah entitas terpisah yang telah ada di cermin-cermin itu. Sang Kolektor adalah manifestasi dari trauma dan rasa bersalah Raina sendiri, sebuah bagian dari dirinya yang telah terpisah dan mengambil alih kekuasaan, menggunakan cermin sebagai wadah, mengumpulkan setiap penderitaan yang ia rasakan dan setiap penderitaan yang ia saksikan, menjadikannya koleksi abadi.
Pantulan jahat itu, yang Raina coba hancurkan di awal, adalah intisari dari Sang Kolektor, sebuah bagian dari dirinya yang telah menjadi monster. Dan ia ingin Raina bergabung dengannya, bukan sebagai tawanan, melainkan sebagai pengendali penuh dari kengerian ini, untuk menjadi satu dengannya, menjadi Sang Kolektor yang baru.
"Kau... adalah... aku..." suara Sang Kolektor, kini dengan wujud Raina yang mengerikan, bergema dari cermin hitam itu, menguncinya dengan tatapan dingin. "Dan... aku... adalah... kau..."
Raina merasakan dirinya ditarik kuat ke dalam cermin hitam itu, gravitasi jiwa yang tak tertahankan. Ini adalah titik klimaksnya. Menyerah pada diri yang mengerikan ini, atau berjuang sampai akhir untuk membebaskan dirinya, dan mungkin, membebaskan jiwa-jiwa yang telah terkumpul, bahkan jika itu berarti menghancurkan dirinya sendiri.
Bab 8: Kebenaran di Balik Refleksi
Wajah Raina yang terdistorsi, terbuat dari kegelapan yang berdenyut dan mata yang memancarkan cahaya biru terang, kini menjulang di hadapannya, mencerminkan kengerian yang paling mendalam. Sang Kolektor, yang telah mengungkap identitas aslinya sebagai manifestasi dari trauma dan rasa bersalah Raina sendiri, kini menariknya dengan kekuatan tak terlihat ke dalam cermin hitam, jantung dari alam reflektif ini. Bisikan-bisikan dingin dan perhitungan, yang dulunya adalah suara pantulan jahat, kini menggelegar dari sosok Sang Kolektor, sebuah paduan suara dari diri yang hancur, menuntut penyerahan.
"Bergabunglah... dengan...ku... Raina..." suara itu berbisik, memohon namun juga mengancam. "Bersamaku... kita... akan... menjadi... abadi... bersama... dengan... rasa... sakit... ini..."
Raina berjuang melawan tarikan itu. Ia menatap cermin hitam di depannya, yang kini terasa seperti lubang tanpa dasar yang siap menelannya. Dari dalam cermin itu, ia melihat kilasan-kilasan memori yang sangat personal, bukan hanya adegan kecelakaan itu, melainkan momen-momen di mana ia merasa bersalah, momen-momen di mana ia merasa tidak cukup, momen-momen di mana ia menyesali pilihan-pilihan kecil yang ia buat dalam hidupnya—semua itu diperkuat, diputar ulang, dan disajikan kembali sebagai bukti "ketidakmampuannya". Itu adalah inti dari rasa bersalahnya, benih yang menumbuhkan Sang Kolektor.
Ia menyadari bahwa ini bukan tentang menghancurkan monster eksternal. Ini tentang memenangkan pertarungan internal. Sang Kolektor adalah dia, dan dia adalah Sang Kolektor. Untuk membebaskan jiwa-jiwa yang terperangkap, ia harus terlebih dahulu membebaskan dirinya sendiri dari ikatan rasa bersalah yang telah melahirkan entitas ini.
Raina memejamkan mata, memfokuskan kembali energinya, energi murni dari hatinya yang ia gunakan untuk melukis. Ia tidak bisa melukis di udara lagi, karena energinya terkuras. Ia harus melukis di dalam dirinya sendiri, melukis ulang jiwanya.
Ia mengingat kata-kata terapisnya, kalimat-kalimat yang ia abaikan selama ini: "Rasa bersalah adalah beban yang berat, Raina. Anda tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Anda selamat. Dan Anda berhak untuk hidup."
Dengan mata terpejam, Raina mulai "melukis" di dalam benaknya. Ia tidak melukis gambar. Ia melukis pemahaman. Ia melukis pengampunan. Ia melukis penerimaan. Ia melukis dirinya melepaskan beban rasa bersalah itu, melepaskan setiap penyesalan, setiap "seandainya" yang telah menghantuinya.
Setiap kali ia "melukis" sebuah pengampunan di benaknya, sosok Sang Kolektor yang menjulang di depannya akan menciut sedikit, wujudnya berkedip-kedip lebih cepat, dan raungan marahnya menjadi lebih lemah. Cermin hitam di belakangnya juga menunjukkan reaksi, permukaan pekatnya beriak, dan cahaya biru yang menyala dari Sang Kolektor berkedip-kedip seolah tenaganya mulai melemah.
"Tidak! Kau... tidak... bisa... menolak...ku!" suara Sang Kolektor berteriak, kini terdengar lebih putus asa, sebuah suara yang mulai kehilangan dominasinya. "Aku... adalah... bagian... dari...mu... Kau... tidak... bisa... menghapus...ku!"
Raina tahu itu benar. Ia tidak bisa menghapus Sang Kolektor sepenuhnya, karena Sang Kolektor adalah bagian dari dirinya. Tetapi ia bisa menetralkannya. Ia bisa mengubahnya.
Ia melanjutkan "lukisannya" di dalam benaknya, memfokuskan pada memori Ardan dan Lila. Kali ini, ia tidak melihat mereka dengan rasa sakit. Ia melihat mereka dengan cinta dan kedamaian. Ia melukiskan penerimaan atas takdir yang tidak bisa dihindari, sebuah ketenangan yang mendalam. Ia melukiskan kehangatan kenangan, bukan kepedihan kehilangan.
Saat ia melakukan ini, sesuatu yang luar biasa terjadi. Dari permukaan cermin hitam yang tadinya pekat, garis-garis cahaya keemasan mulai muncul, menembus kegelapan, seolah ada retakan yang terbentuk dari dalam.
Raina membuka matanya.
Sang Kolektor, yang kini berada tepat di depannya, telah menciut menjadi ukuran normal, wujudnya tidak lagi berupa bayangan yang menakutkan, melainkan sosok Raina sendiri, namun pucat, transparan, dan mata birunya meredup. Ia tidak lagi memiliki senyum sinis. Ekspresinya kini adalah rasa sakit yang mendalam, sebuah penderitaan yang ia kenal, rasa sakit dari jiwa yang terpenjara.
"Bebaskan... aku..." bisik suara Sang Kolektor, yang kini terdengar seperti suara Raina yang asli, namun dipenuhi dengan kelelahan dan keputusasaan. "Bebaskan... diriku..."
Raina mengulurkan tangannya, bukan untuk menyerang, melainkan untuk menyentuh wajah Sang Kolektor. Sentuhannya terasa dingin, namun kali ini, bukan dingin yang menguras energi, melainkan dingin yang rapuh, seperti menyentuh es yang akan mencair.
Saat tangannya menyentuh wajah Sang Kolektor, ia merasakan sebuah aliran energi mengalir di antara mereka, bukan dari Sang Kolektor kepadanya, melainkan dari Raina kepada Sang Kolektor. Energi pengampunan, energi penerimaan, energi cinta. Ia tidak menghancurkan Sang Kolektor. Ia mengobatinya.
Dan pada saat itu, dari cermin hitam di belakang Sang Kolektor, kilauan cahaya yang sangat terang dan murni memancar. Bukan cahaya biru yang mengerikan, melainkan cahaya putih keemasan, yang memenuhi seluruh dimensi reflektif.
Dari dalam cahaya itu, Raina mendengar suara-suara yang tak terhitung jumlahnya, bukan lagi rintihan atau jeritan. Itu adalah suara-suara yang damai, sebuah paduan suara desahan lega, sebuah melodi kebebasan.
Raina melihat ke cermin-cermin di sekelilingnya. Gambar-gambar horor yang mengerikan di dalamnya kini memudar dan menghilang, digantikan oleh pantulan-pantulan cahaya putih keemasan. Dan dari setiap cermin, jutaan jiwa yang terperangkap kini bangkit, bukan lagi sebagai wajah terdistorsi, melainkan sebagai titik-titik cahaya yang indah, yang melayang ke atas, ke arah cahaya keemasan itu, menuju pembebasan.
Mereka bebas. Semua jiwa yang terperangkap dalam galeri kengerian itu akhirnya menemukan kedamaian.
Raina menatap Sang Kolektor. Wujudnya semakin transparan, semakin menyatu dengan cahaya keemasan itu. Wajahnya yang tadinya pucat kini tampak lebih damai, senyum tipis terukir di bibirnya, sebuah senyum yang tulus, bukan sinis.
"Terima kasih... Raina..." bisik Sang Kolektor, suaranya kini terdengar lembut, seperti gema dari dirinya yang telah lama hilang. "Kau... telah... membebaskan... kita... semua..."
Kemudian, dengan kilatan cahaya terakhir, Sang Kolektor lenyap sepenuhnya, menyatu dengan cahaya keemasan yang kini membanjiri seluruh dimensi. Lubang hitam di cermin besar itu juga menutup, permukaannya kembali menjadi reflektif, namun kali ini, ia memantulkan cahaya putih murni, sebuah pantulan yang damai.
Raina merasakan dirinya ditarik ke belakang, keluar dari dimensi reflektif itu. Ia merasa ringan, seolah beban bertahun-tahun telah terangkat dari pundaknya.
Ia membuka matanya lagi. Ia berada di aula rumahnya. Sinar matahari pagi yang samar menembus jendela, menerangi debu yang melayang di udara. Semua cermin yang tadinya pecah, kini utuh kembali, permukaannya bersih, dan mereka memantulkan cahaya matahari, bukan lagi kengerian.
Rumah itu kembali sunyi. Namun, kali ini, itu adalah kesunyian yang damai, bukan kesunyian yang mencekik. Aroma busuk telah lenyap, digantikan oleh aroma kayu tua dan kelembapan yang segar.
Raina melihat ke cermin besar di aula. Ia menatap pantulan dirinya.
Ia melihat wajahnya yang kelelahan, namun di matanya, ada sebuah cahaya baru, sebuah kilatan kedamaian dan kekuatan. Ia tidak lagi melihat senyum sinis atau mata yang kosong. Ia melihat dirinya yang sebenarnya, Reina yang telah berjuang, yang telah terluka, namun yang kini telah menemukan kedamaian.
Ia telah membebaskan dirinya. Dan ia telah membebaskan mereka semua.
Namun, di sudut matanya, ia melihat sebuah kilatan samar di permukaan cermin. Sebuah refleksi yang tidak biasa. Bukan pantulan dirinya. Melainkan sebuah bayangan yang nyaris tak terlihat, sebuah siluet samar yang muncul dan menghilang dengan cepat, sebuah gema dari masa lalu yang mungkin tidak akan pernah sepenuhnya lenyap.
Apakah Sang Kolektor benar-benar telah pergi? Atau apakah ia masih ada, sebuah bayangan yang kini terikat pada Raina, sebuah pengingat abadi akan pertarungan yang telah ia menangkan, namun juga konsekuensi dari apa yang telah ia lepaskan dan bebaskan?
Raina tidak tahu. Namun, untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, ia merasakan harapan. Dan ia tahu, ia akhirnya bisa kembali melukis. Melukis masa depan.
Bab 9: Palet Kehidupan Baru dan Gema di Keheningan
Sinar matahari pagi yang hangat membanjiri aula, menari-nari di lantai kayu yang kini terasa bersih. Cermin besar dengan bingkai emas, yang tadinya merupakan gerbang ke neraka reflektif, kini memantulkan cahaya dengan damai. Raina melangkah maju, tangannya menyentuh permukaannya. Tidak ada riak, tidak ada tarikan. Hanya kaca dingin yang memantulkan dirinya, seorang wanita yang telah melalui neraka dan kembali, dengan kekuatan yang baru. Ia telah membebaskan mereka, dan membebaskan dirinya dari rasa bersalah yang telah melahirkan Sang Kolektor.
Raina berjalan mengelilingi rumah, memeriksa setiap ruangan. Semua cermin yang tadinya pecah kini telah utuh kembali, permukaannya bersih dan memantulkan. Tidak ada lagi wajah-wajah terdistorsi. Mereka semua telah pergi, melayang ke cahaya keemasan. Ia kembali ke studio melukisnya. Kanvas dengan potret Ardan dan Lila yang belum kering sepenuhnya terpajang di sana. Cahaya matahari menerangi lukisan itu, membuatnya tampak hidup. Raina menatapnya, air mata haru mengalir di pipinya. Ia telah berhasil melukis kebenaran, dan kebenaran itu telah membebaskannya.
Kuas-kuasnya masih tergeletak di lantai, bercampur dengan tumpahan cat. Raina membungkuk, memungut dan membersihkannya. Ia membersihkan paletnya, menyiapkan warna-warna segar. Ini adalah ritualnya, sebuah tanda bahwa ia siap untuk memulai kembali. Untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, Raina merasa lapar untuk melukis. Bukan lukisan kegelapan, melainkan lukisan yang dipenuhi cahaya, harapan, dan kehidupan. Ia ingin melukis keindahan yang ia temukan di tengah kengerian.
Ia menghabiskan sisa hari itu membersihkan studio, menata ulang perlengkapan melukisnya. Ia ingin menikmati setiap momen proses ini, sebuah terapi untuk menyembuhkan luka-lukanya. Malam harinya, Raina duduk di depan kanvas kosong yang baru. Ia tidak tahu apa yang akan ia lukis, tapi ia ingin melukis sesuatu yang abstrak, mencerminkan perjalanan jiwanya. Ia mulai dengan warna-warna dasar: putih, biru, emas. Ia membiarkan kuasnya bergerak bebas, menciptakan guratan lembut, bentuk mengalir. Ia melukiskan cahaya, kedamaian, pelepasan.
Saat ia melukis, ia merasakan sesuatu yang aneh. Bukan suara atau visi, melainkan sebuah getaran halus di udara, sebuah resonansi samar dari dalam rumah itu. Itu adalah getaran yang lebih lembut, lebih tenang, sebuah jejak samar dari energi yang pernah memenuhi rumah. Raina melihat ke cermin di sudut studio. Ia melihat pantulannya melukis, tangannya bergerak dengan keanggunan baru. Namun, di sudut mata, ia melihat kilatan samar di permukaan cermin. Sebuah refleksi yang tidak biasa. Bukan pantulan dirinya, melainkan sebuah bayangan nyaris tak terlihat, sebuah siluet samar yang muncul dan menghilang dengan cepat, sebuah gema dari masa lalu yang mungkin tidak akan pernah sepenuhnya lenyap.
Apakah itu Sang Kolektor? Atau sisa-sisa energi dari dimensi reflektif yang telah ia lewati? Raina tidak tahu. Ia hanya menatap pantulan itu, dan pantulan itu menatapnya kembali, dengan ekspresi sulit diartikan. Raina memilih untuk mengabaikannya. Ia tidak akan membiarkan bayangan itu menguasai dirinya lagi. Ia akan terus melukis, menciptakan keindahan, mengisi kanvasnya dengan cahaya, tidak peduli apa pun yang mengintai di sudut-sudut pantulan.
Berbulan-bulan berlalu. Rumah tua itu kembali hidup, diisi oleh napas kreatif Raina. Aroma cat minyak kini mendominasi, bercampur dengan bau kayu tua yang hangat dan aroma bunga-bunga liar yang ia tanam di halaman. Kanvas-kanvas yang dulunya kosong kini berjajar di dinding studio, menampilkan karya-karya abstrak yang memukau, penuh dengan warna-warna cerah dan gerakan mengalir, sebuah refleksi dari pembebasan jiwa. Raina, sang seniman, telah menemukan kembali jiwanya, dan menuangkannya ke dalam setiap sapuan kuas.
Ia tidak pernah lagi melihat manifestasi menakutkan dari Sang Kolektor, atau wajah-wajah terdistorsi dari para penghuni gema. Rumah itu benar-benar sunyi dari kengerian masa lalu. Namun, keheningan itu tidak lagi mencekik. Itu adalah keheningan yang damai, yang memungkinkan Raina untuk mendengar bisikan hati nuraninya sendiri, suara kuasnya yang menyentuh kanvas, dan kadang-kadang, gema tawa Ardan dan Lila yang melintas di benaknya, bukan sebagai siksaan, melainkan sebagai kenangan indah yang kini utuh.
Raina telah membangun kembali hidupnya. Ia mulai menjual lukisannya lagi. Karyanya mendapatkan sambutan luar biasa. Orang-orang tertarik pada kedalaman emosional dan energi positif yang terpancar dari setiap lukisan, meskipun mereka tidak tahu cerita di baliknya. Raina tidak pernah menceritakan apa yang ia alami di rumah itu. Ia memilih untuk menyimpan rahasia itu, sebuah rahasia yang hanya ia dan dinding-dinding rumah itu yang tahu.
Ia mulai menjalin pertemanan baru di komunitas seni. Ia kadang-kadang menerima kunjungan singkat dari teman-teman lamanya, yang terkejut melihat transformasi dirinya. Raina yang dulunya pendiam dan tertekan kini memancarkan aura ketenangan dan kekuatan, sebuah cahaya yang sulit dijelaskan.
Malam-malam di rumah tetap sunyi, namun tidak pernah terasa sepi. Raina sering duduk di aula, di depan cermin besar yang dulu menjadi portal, menatap pantulannya. Ia melihat seorang wanita yang lebih kuat, lebih bijaksana, yang telah berdamai dengan masa lalunya.
Namun, kadang-kadang, saat cahaya bulan jatuh dengan cara tertentu, atau saat ia terlalu lama menatap pantulannya, ia akan melihatnya. Sebuah kilatan samar di tepi penglihatannya, sebuah bayangan yang nyaris tak terlihat, sebuah siluet yang muncul dan menghilang dalam sekejap mata, di balik pantulannya sendiri. Itu bukan lagi sosok yang menakutkan atau mengancam. Itu adalah gema. Sebuah jejak samar dari keberadaan yang pernah ada, sebuah pengingat lembut akan pertarungan yang telah ia menangkan.
Apakah itu sisa-sisa Sang Kolektor yang kini terikat padanya, sebuah bagian dari dirinya yang telah ia sembuhkan namun tidak bisa sepenuhnya dihapus? Atau apakah itu adalah jiwa-jiwa yang telah ia bebaskan, yang kini melayang dengan damai di sekelilingnya, sebuah penjaga tak terlihat, sebuah orkestra keheningan yang baru? Raina tidak tahu. Dan ia tidak lagi mencoba mencari tahu. Ia telah menerima ambiguitas itu.
Suatu sore, saat ia sedang melukis di studio, ia merasakan getaran yang berbeda di udara. Bukan getaran yang menakutkan, melainkan sebuah resonansi yang dalam, sebuah hum yang rendah dan stabil, yang terasa di dalam tulang-tulang dan jantungnya. Itu bukan suara yang bisa ia dengar, namun ia bisa merasakannya. Itu adalah denyutan rumah itu sendiri, sebuah denyutan yang kini terasa hidup, bukan mati.
Raina meletakkan kuasnya. Ia berjalan ke cermin studio, yang dulunya pecah dan kini utuh. Ia menatap pantulannya. Dan untuk pertama kalinya, ia melihat bayangan samar itu berhenti sejenak, di belakang pantulannya. Itu bukan lagi kilatan cepat. Itu adalah sebuah siluet yang diam, nyaris transparan, namun jelas terlihat. Ia tidak memiliki fitur wajah, hanya bentuk samar seorang wanita, yang menatap Raina dengan sebuah rasa pengertian yang dalam.
Bayangan itu mengulurkan tangan, bukan ke arah Raina, melainkan ke arah pantulan dirinya di cermin, menyentuh permukaan cermin, seolah ingin menyampaikan sesuatu. Raina mengulurkan tangannya sendiri, menyentuh pantulan itu di titik yang sama. Sensasinya aneh. Tidak dingin seperti kaca. Tidak seperti air yang kental. Melainkan seperti menyentuh udara yang bermuatan energi, sebuah sensasi yang akrab dari alam reflektif.
Dan di detik itu, sebuah gambar muncul di benak Raina, bukan visi horor, melainkan sebuah pemahaman. Bayangan itu bukanlah entitas terpisah yang jahat. Itu adalah bagian dari dirinya yang telah berdamai, sebuah manifestasi dari penerimaan dirinya sendiri, dari luka yang telah sembuh. Itu adalah cermin terakhir dari perjalanannya, refleksi dari kedamaian yang ia temukan.
Ia telah menjadi penjaga galeri jiwanya sendiri. Ia tidak lagi takut pada pantulannya, karena ia tahu, pantulan itu kini adalah sekutu, sebuah bagian dari dirinya yang selalu ada, sebuah gema di keheningan yang baru. Raina menarik tangannya dari cermin. Bayangan itu menghilang. Ia menatap pantulannya lagi. Kali ini, tidak ada yang lain selain dirinya.
Ia kembali ke kanvasnya. Ia mulai melukis lagi. Ia melukis sebuah matahari terbit, di atas lautan yang tenang, dengan burung-burung yang terbang bebas di langit. Di kejauhan, di garis cakrawala, ada sebuah pulau kecil yang diterangi cahaya, sebuah tempat yang ia tidak tahu di mana, namun terasa seperti rumah.
Ini adalah akhir dari kisah horornya. Tetapi ini juga adalah awal dari kehidupan barunya. Sebuah kehidupan yang sunyi, namun dipenuhi dengan gema keindahan, sebuah simfoni kedamaian yang abadi. Raina telah menemukan cahaya di dalam cerminnya sendiri, dan ia tidak akan pernah membiarkannya padam lagi.