Cerpen
Disukai
2
Dilihat
1,143
Putih
Horor

Lima orang dewasa terbangun. Tidak ada satu pun dari mereka yang mengingat bagaimana mereka bisa berada di sana. Ruangan itu serba putih. Dinding, lantai, dan langit-langit—semuanya berwarna putih. Bahkan cahaya yang membanjiri ruangan itu pun berwarna putih, begitu terang dan menyilaukan hingga terasa menusuk mata. Tidak ada jendela, tidak ada perabot, tidak ada apa pun yang bisa digunakan untuk menandai waktu. Satu-satunya benda yang ada di ruangan itu adalah sebuah pintu baja, terkunci rapat dan tanpa celah.

Arka, seorang arsitek yang dikenal karena ketelitiannya, adalah orang pertama yang bangun sepenuhnya. Kepalanya berdenyut sakit, seolah-olah baru saja dihantam benda tumpul. Ia menyentuh keningnya, tidak menemukan benjolan atau luka apa pun. Matanya mengerjap, mencoba membiasakan diri dengan cahaya yang seolah-olah tak pernah padam. Ia menoleh ke sekeliling, dan matanya melebar saat melihat empat orang lainnya tergeletak di lantai yang dingin.

"Halo?" suaranya serak dan pelan. Ia mencoba bangkit, namun tubuhnya terasa kaku dan berat. "Ada orang di sini?"

Salah satu dari mereka, seorang wanita dengan rambut sebahu dan setelan kerja yang kusut, perlahan membuka matanya. Ia adalah Hana, seorang jurnalis investigasi yang terkenal gigih. Ia duduk, memegangi kepalanya yang pusing, lalu menatap Arka dengan tatapan bingung. "Siapa kau? Di mana kita?"

"Aku tidak tahu," jawab Arka jujur. "Aku tidak ingat apa pun sebelum ini."

Satu per satu, yang lain mulai bangun. Maya, seorang perawat yang memiliki pembawaan tenang, langsung mengecek kondisi mereka. Ia memeriksa nadi mereka satu per satu. "Semua baik-baik saja," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. "Tidak ada luka fisik yang serius."

Riko, seorang seniman yang berpenampilan eksentrik dengan jaket kulit lusuh dan rambut gondrong, duduk bersila dan mengamati ruangan. Matanya menyusuri setiap sudut, seolah-olah mencari detail tersembunyi. "Ini... aneh," ucapnya. "Seperti kanvas kosong. Tapi entah kenapa, rasanya sangat... menekan."

Yang terakhir bangun adalah seorang pria tua beruban dengan kacamata yang miring di hidungnya. Ia adalah Bapak Surya, pensiunan guru sejarah. Wajahnya menunjukkan kerutan-kerutan bijaksana, namun saat ini dipenuhi kebingungan. "Rasanya seperti baru terbangun dari mimpi buruk yang panjang," katanya sambil menghela napas. "Tapi aku tidak ingat apa pun tentang mimpi itu."

Kelima orang itu saling bertukar pandang. Mereka berasal dari latar belakang yang berbeda, tidak ada satu pun yang saling mengenal. Mereka berada di dalam ruangan yang aneh, terisolasi, tanpa petunjuk apa pun. Rasa panik mulai menyelimuti mereka.

"Kita harus mencari jalan keluar," kata Hana, naluri jurnalisnya langsung mengambil alih. Ia bangkit dan berjalan menuju pintu baja. Ia mencoba menggedornya dengan kepalan tangan, namun pintu itu tetap kokoh. "Terkunci."

"Tentu saja terkunci," timpal Riko dengan nada sinis. "Mereka tidak akan membiarkan kita keluar semudah itu."

"Mereka siapa?" tanya Bapak Surya.

Riko mengangkat bahu. "Para penculik? Eksperimen aneh? Siapa tahu. Yang jelas, kita tidak di sini secara sukarela."

Suasana hening sejenak, dipenuhi oleh rasa takut yang mulai merayap. Maya, dengan suara lembutnya, mencoba menenangkan. "Kita tidak boleh panik. Itu tidak akan membantu. Mari kita coba pikirkan apa yang kita ingat. Mungkin ada kaitan di antara kita."

Mereka mencoba mengingat, namun ingatan mereka kosong. Arka mencoba mengingat proyek arsitektur terakhirnya, tetapi yang ia dapatkan hanya kekosongan. Hana mencoba mengingat wawancara terakhirnya, namun hanya ada kabut. Riko mencoba membayangkan lukisan terakhirnya, tetapi yang muncul hanyalah warna putih yang menyilaukan ini. Bapak Surya mencoba mengingat nama-nama muridnya, tetapi hanya ada wajah-wajah tanpa nama.

"Ini seperti memori kita dihapus," kata Hana, suaranya dipenuhi rasa ngeri. "Ini bukan amnesia biasa. Ini... sesuatu yang lebih disengaja."

Hari-hari mulai tak terhitung. Tidak ada pagi, siang, atau malam. Hanya cahaya putih yang konstan. Makanan disalurkan melalui celah kecil di bawah pintu, berupa bubur hambar yang tidak memiliki rasa. Bubur itu selalu muncul pada waktu yang tidak terduga, membuat mereka semakin kehilangan pegangan akan waktu. Mereka mulai tidur di lantai yang dingin, menggunakan pakaian mereka sebagai bantal.

Kondisi ini mulai berdampak pada psikologis mereka. Kehilangan ingatan membuat mereka kehilangan identitas. Mereka mulai menceritakan kembali kisah hidup mereka satu sama lain, mencoba untuk mempertahankan siapa mereka sebelum semua ini terjadi. Arka berbicara tentang desain-desainnya, Hana tentang artikel-artikelnya, Maya tentang pasien-pasiennya, Riko tentang seni-seninya, dan Bapak Surya tentang sejarah yang ia ajarkan. Namun, setiap cerita yang mereka bagi terasa seperti kisah orang lain, bukan kisah mereka sendiri.

Suatu hari, Riko tiba-tiba mulai menggambar di dinding dengan kuku jarinya, meninggalkan goresan-goresan halus di permukaan putih. "Aku harus melakukan sesuatu," gumamnya. "Aku harus menciptakan sesuatu. Kalau tidak, aku akan gila." Goresan-goresan itu membentuk pola abstrak yang tak beraturan, mencerminkan kekacauan di dalam pikirannya.

Sementara itu, Arka mulai menghitung. Ia menghitung langkah mereka di ruangan itu, mencoba mengukur dimensinya. Ia menghitung jumlah bubur yang masuk. Ia mencoba mencari pola, apa pun itu, yang bisa memberikan petunjuk. Namun, semua yang ia temukan hanyalah angka-angka acak yang tidak berarti.

Hana, yang terbiasa mencari kebenaran, mulai menyelidiki. Ia mencoba menemukan kejanggalan di setiap sudut ruangan. Ia mengamati setiap inci dinding dan pintu. Ia mencoba menyimpulkan siapa yang bisa melakukan hal seperti ini. Tetapi ruang putih yang kosong ini adalah musuh terberatnya. Tidak ada bukti, tidak ada petunjuk, tidak ada apa pun yang bisa ia pegang.

Maya, dengan naluri perawatnya, menjadi penopang emosional kelompok. Ia mendengarkan keluhan mereka, mencoba menenangkan saat salah satu dari mereka mulai panik. Ia mengingatkan mereka untuk tetap minum dan makan, dan untuk tidak kehilangan harapan. Namun, di balik ketenangannya, ada ketakutan yang mendalam. Ia takut suatu saat nanti, ia juga akan menyerah.

Bapak Surya, yang sebelumnya tenang, mulai menunjukkan tanda-tanda kebingungan. Ia kadang-kadang memanggil mereka dengan nama-nama yang berbeda, nama-nama dari masa lalu yang tidak mereka kenal. Ia kadang-kadang berbicara sendiri, seolah-olah sedang mengajar di depan kelas yang tak terlihat. Ia kehilangan koneksi dengan realitas, dan itu adalah pemandangan yang menyedihkan bagi yang lain.

"Aku merasa seperti... aku tidak ada," bisik Arka suatu malam, saat mereka mencoba tidur. "Seperti aku hanya bayangan, bukan manusia sungguhan."

"Itu yang mereka inginkan," jawab Hana, suaranya terdengar lelah. "Mereka ingin menghapus kita, bukan secara fisik, tapi secara mental. Ini adalah penyiksaan paling kejam."

Mereka mencoba untuk tetap kuat, namun ruang putih itu terus menekan mereka. Cahaya yang konstan membuat mereka sulit tidur, mengganggu ritme sirkadian mereka. Bubur yang hambar membuat mereka kehilangan nafsu makan. Ketiadaan rangsangan sensorik membuat mereka merasa mati rasa. Mereka menjadi lima orang asing yang terperangkap dalam penjara putih tanpa ujung. Mereka tidak tahu berapa lama mereka sudah di sana, atau berapa lama lagi mereka harus bertahan. Satu-satunya yang mereka tahu adalah mereka harus tetap berjuang, entah bagaimana caranya, untuk tetap menjadi diri mereka sendiri.

Hari-hari yang tak terhitung jumlahnya telah berlalu. Konsep waktu telah kehilangan maknanya. Di ruangan serba putih itu, tidak ada siang atau malam, tidak ada terbit atau tenggelamnya matahari, hanya cahaya buatan yang konstan dan menyilaukan. Kelima orang itu, yang sekarang telah menjadi bayangan dari diri mereka sebelumnya, mulai merasakan dampak dari isolasi dan siksaan sensorik yang terus-menerus.

Hana, sang jurnalis, mencoba yang terbaik untuk mempertahankan jadwal. "Ini hari ke sekian," katanya suatu pagi, meskipun ia tidak tahu persis hari apa. "Kita harus sarapan." Namun, bubur hambar itu tidak muncul pada waktu yang sama setiap hari. Kadang-kadang, celah di bawah pintu berbunyi dan wadah aluminium yang berisi makanan cair itu meluncur masuk pada pukul dua siang. Di lain waktu, itu datang pada tengah malam. Tanpa jam internal yang bisa diandalkan, mereka mulai kehilangan pegangan pada ritme biologis mereka. Tidur menjadi hal yang sulit dan tidak teratur. Kadang-kadang mereka tertidur selama berjam-jam, di lain waktu mereka terbangun dengan kaget hanya untuk menemukan bahwa beberapa menit telah berlalu.

Riko, si seniman, yang telah menghabiskan sebagian besar waktunya dengan menggores dinding, mulai mengubah goresannya menjadi sesuatu yang lebih personal. Ia menggoreskan wajah-wajah abstrak yang ia klaim sebagai wajah mereka—wajah mereka sebelum mereka menjadi tawanan. Namun, wajah-wajah itu tidak pernah terlihat sama. Terkadang, mereka tampak tersenyum, di lain waktu mereka tampak menangis. "Aku mencoba mengabadikan siapa kita," gumam Riko kepada dirinya sendiri, "sebelum kita lupa." Namun, perlahan-lahan, ia mulai mencampurkan wajah mereka dengan wajah-wajah orang asing yang ia tidak tahu siapa, dan goresan-goresan itu menjadi semakin kacau.

Arka, sang arsitek, mulai berbicara dengan dirinya sendiri. Ia akan menghitung langkahnya di ruangan, memetakan setiap inci ruangan di kepalanya. "Panjangnya dua belas langkah," katanya suatu hari, "lebarnya lima belas. Langit-langit... yah, aku tidak bisa mengukurnya." Namun, ia sering kali mengulangi hitungan itu lagi dan lagi, dengan hasil yang berbeda setiap kalinya. Ia mulai meragukan ingatannya sendiri, bahkan tentang sesuatu yang sederhana seperti jumlah langkahnya. Keraguan itu meluas ke hal-hal lain, seperti detail proyeknya, nama-nama kliennya, dan bahkan nama orang yang ia cintai.

Keterasingan mulai memecah belah mereka. Mereka mulai curiga satu sama lain. Arka, yang biasanya rasional, mulai mengembangkan teori konspirasi. "Salah satu dari kita adalah mata-mata," bisiknya kepada Maya, saat Hana dan Riko sedang tidur. "Mereka pasti ada di sini untuk mengawasi kita." Maya, yang biasanya tenang, mencoba menenangkan Arka, namun ia sendiri mulai merasakan benih-benih kecurigaan. Bagaimana jika Arka yang benar? Bagaimana jika salah satu dari mereka adalah bagian dari eksperimen ini?

Suatu hari, pintu baja itu terbuka. Bukan untuk menyajikan makanan, melainkan untuk memasukkan sebuah kotak kardus. Kotak itu diletakkan di tengah ruangan, dan pintu kembali tertutup. Di dalamnya terdapat sebuah cermin. Kelima orang itu mendekati cermin itu dengan rasa takut dan penasaran. Mereka telah melihat pantulan mereka sendiri di cermin, namun cermin ini berbeda. Saat Arka menatap ke dalamnya, ia melihat wajah seorang pria asing. Pria itu tampak familiar, tetapi Arka tidak bisa mengingat siapa pria itu. Ia melihat dirinya, tetapi ia melihatnya dari sudut pandang orang lain.

"Ini... ini bukan aku," bisik Arka, tangannya gemetar.

Hana mencoba selanjutnya. Ia melihat ke dalam cermin, dan ia melihat pantulan seorang wanita tua yang tidak ia kenal. Mata wanita itu dipenuhi dengan air mata, seolah-olah ia baru saja kehilangan seseorang yang ia cintai. Hana mundur dari cermin itu, merasa mual. "Siapa wanita itu?" tanyanya, suaranya pecah. "Siapa dia?"

Riko menolak untuk melihat cermin itu. "Itu jebakan," katanya dengan tegas. "Mereka ingin kita melihat diri kita dari sudut pandang mereka. Mereka ingin kita kehilangan identitas kita sendiri."

Maya mencoba menenangkan Hana yang gemetar, namun ia juga merasa takut. Ia memikirkan cermin itu dan apa artinya. Ini bukan hanya tentang melihat orang lain, ini tentang menjadi orang lain. Ini tentang kehilangan inti dari siapa mereka.

Namun, Bapak Surya, yang selama ini terlihat paling putus asa, mendekati cermin itu dengan ketenangan yang aneh. Ia menatap ke dalam, dan di matanya yang berkerut, ia melihat pantulan dirinya sendiri. Bukan pantulan wajahnya yang menua, tetapi pantulan wajahnya saat masih muda, di hari pernikahannya. Ia melihat senyumnya, ia melihat istrinya di sampingnya. Setetes air mata mengalir di pipinya. "Ini... ini adalah aku," bisiknya. "Aku... aku ingat."

Namun, di detik berikutnya, pantulan itu berubah. Wajahnya yang muda memudar, dan digantikan oleh wajah seorang anak kecil. Anak itu menatapnya dengan tatapan kosong, seolah-olah ia tidak mengenali pria tua yang ada di hadapannya. Bapak Surya jatuh berlutut, memegangi kepalanya yang sakit. "Siapa itu?" ia bertanya, suaranya dipenuhi kebingungan. "Siapa anak itu?"

Malam itu, mereka semua mencoba tidur, namun tidak ada yang bisa. Rasa takut dan kebingungan telah membanjiri mereka. Kehilangan ingatan tentang diri mereka sendiri, dan sekarang melihat orang lain dalam pantulan mereka, telah mengambil alih semua yang tersisa dari kewarasan mereka. Mereka menjadi seperti hantu, terperangkap di antara dunia yang nyata dan dunia yang tidak nyata, yang dibuat oleh para penyiksa mereka.

Pagi berikutnya, cermin itu telah lenyap, seolah-olah tidak pernah ada di sana. Sebagai gantinya, pengeras suara di sudut ruangan mulai berbunyi. Bukan musik, bukan suara. Melainkan bisikan. Bisikan-bisikan itu bergema di seluruh ruangan, seolah-olah datang dari setiap sudut. Mereka tidak bisa membedakan kata-kata yang diucapkan. Bisikan itu terus berlanjut selama berjam-jam, sampai mereka semua merasa gila.

Hana berteriak, "Diam! Hentikan ini!" Namun bisikan itu terus berlanjut. Bisikan itu menjadi semakin keras, semakin berisik, hingga terasa seperti suara-suara aneh, tangisan anak-anak, dan bahkan tawa yang mengejek.

Riko mencoba menutup telinganya dengan kedua tangannya, namun suara-suara itu menembus tangannya. "Mereka ingin kita gila," katanya, "mereka ingin menghancurkan kita dari dalam."

Maya hanya bisa berjongkok di sudut, menutupi wajahnya dengan tangannya. Ia mencoba untuk tetap tenang, untuk tidak membiarkan suara-suara itu menguasai dirinya, namun bisikan itu membuatnya merasa tidak berdaya.

Bapak Surya, yang sekarang menjadi semakin kebingungan, mulai berbicara dengan bisikan-bisikan itu. "Aku tahu kalian ada di sana," katanya, suaranya gemetar. "Aku tahu kalian mendengarkan. Kenapa kalian melakukan ini?"

Arka, yang telah menjadi semakin paranoid, melihat bisikan itu sebagai kode, sebuah pesan tersembunyi yang ia harus pecahkan. Ia mulai berbicara dengan dirinya sendiri, mencoba memecahkan kode bisikan itu. Ia menduga bahwa bisikan-bisikan itu berisi pesan-pesan tersembunyi, petunjuk untuk keluar dari tempat ini. Ia menjadi semakin terobsesi dengan hal ini, mengabaikan segala hal lainnya.

Namun, saat bisikan-bisikan itu akhirnya berhenti, yang ada hanya keheningan yang memekakkan telinga. Keheningan itu terasa lebih berat daripada kebisingan itu sendiri. Mereka semua merasa seperti baru saja keluar dari mimpi buruk, hanya untuk menemukan bahwa mimpi buruk itu masih terus berlanjut. Mereka berada di titik terendah mereka. Identitas mereka telah terkoyak, akal sehat mereka dipertanyakan, dan keyakinan mereka terhadap diri mereka sendiri telah goyah. Mereka tidak tahu apa lagi yang akan datang, namun mereka tahu satu hal: penyiksaan ini baru saja dimulai.

Perubahan selanjutnya datang tanpa peringatan. Pintu baja yang selama ini hanya membuka untuk makanan, kini terbuka sepenuhnya. Di balik pintu itu, bukan koridor atau dunia luar, melainkan sebuah ruangan lain yang identik, hanya saja kosong. Seiring pintu terbuka, seorang pria masuk. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Pria itu memakai pakaian serba putih, dari kepala hingga kaki, seperti sebuah kanvas kosong yang berjalan. Wajahnya tertutup masker putih polos, tanpa ekspresi. Ia membawa sebuah troli kecil berisi benda-benda aneh: sikat gigi, sisir, dan selembar seragam putih yang sama dengan pakaiannya.

Para tawanan, yang sudah berbulan-bulan terperangkap, menatap pria itu dengan campuran ketakutan dan rasa ingin tahu. Arka, yang nalurinya sebagai arsitek selalu mencari pola, mengamati setiap gerak-gerik pria itu. Pria itu bergerak dengan efisien dan tanpa emosi. Ia meletakkan troli itu di sudut ruangan, meletakkan benda-benda itu di lantai, dan kemudian keluar, menutup pintu di belakangnya tanpa suara.

Momen hening yang canggung menyelimuti ruangan. Kelima orang itu saling bertukar pandang. "Apa maksudnya ini?" bisik Hana. "Pakaian baru? Ini... ini aneh."

Maya, yang nalurinya sebagai perawat selalu mencari kebersihan, langsung meraih sikat gigi dan sisir. "Kita bisa membersihkan diri," katanya dengan nada lega. "Sudah terlalu lama..." Ia memulai dengan menyikat giginya dengan teliti, meskipun ia tidak memiliki pasta gigi. Tindakan sederhana itu, sebuah ritual kebersihan yang sudah lama mereka lupakan, memberikan sedikit rasa normalitas di tengah kegilaan.

Namun, Riko melihatnya dengan cara lain. "Ini bukan hadiah," katanya sinis. "Ini adalah cara lain untuk mengambil identitas kita. Mereka ingin kita semua terlihat sama. Seragam ini... ini adalah seragam tahanan. Ini adalah cara mereka untuk mengontrol kita."

Meskipun begitu, godaan untuk merasa bersih dan normal terlalu kuat. Satu per satu, mereka mulai menggunakan sikat gigi dan sisir. Mereka akhirnya memakai seragam putih itu, yang terasa dingin dan kaku di kulit mereka. Ketika mereka semua sudah mengenakan seragam itu, mereka memang terlihat sama. Semua orang dewasa, dengan pakaian putih yang identik, rambut yang bersih tapi acak-acakan, dan mata yang lelah.

Kehadiran seragam ini menjadi titik balik. Sebelumnya, mereka masih bisa membedakan satu sama lain dari pakaian mereka yang kotor dan kusut. Sekarang, satu-satunya cara mereka membedakan satu sama lain adalah dari wajah mereka yang lelah dan goresan-goresan di dinding yang dibuat oleh Riko. Arka, yang paranoid, semakin curiga. "Bagaimana jika seragam ini memiliki sesuatu di dalamnya?" bisiknya kepada Hana. "Chip pelacak? Kamera tersembunyi?" Mereka meraba-raba pakaian mereka, mencari jahitan yang aneh atau benjolan kecil, tetapi tidak menemukan apa-apa.

Penyiksaan sensorik berlanjut. Bisikan-bisikan kembali, namun kali ini mereka terasa lebih personal. Terkadang, bisikan itu menyebut nama mereka. "Arka..." "Hana..." "Maya..." bisikan-bisikan itu bergema dari dinding yang kosong, seolah-olah ruangan itu sendiri yang berbicara kepada mereka. Ini semakin memperkuat rasa paranoid Arka. Ia mulai bertanya-tanya apakah bisikan itu datang dari dalam diri mereka sendiri, atau apakah itu adalah suara-suara yang ditanamkan ke dalam kepala mereka.

Pada suatu hari, pintu baja itu terbuka lagi. Pria berpakaian putih itu masuk lagi, membawa sebuah troli. Kali ini, ia membawa sebuah televisi tua yang terpasang di dinding. Ia menyalakan televisi itu, namun tidak ada siaran. Yang ada hanyalah sebuah layar putih yang berkedip-kedip. Namun, di layar itu, perlahan-lahan muncul sebuah gambar. Itu adalah gambar sebuah taman. Sebuah taman yang indah, dipenuhi dengan bunga-bunga berwarna-warni, pohon-pohon yang rindang, dan bangku-bangku taman yang nyaman. Burung-burung berkicau, dan angin sepoi-sepoi berhembus.

Gambar itu begitu nyata, begitu hidup, sehingga mereka semua terpaku. Mereka sudah terlalu lama terbiasa dengan warna putih dan keheningan. Pemandangan dan suara-suara dari taman itu adalah sebuah rangsangan yang terlalu kuat. Mereka semua mendekati televisi itu, menyentuh layarnya seolah-olah mereka bisa menembus ke dalam dunia di balik layar itu.

"Ini... ini adalah dunia luar," kata Maya, matanya berkaca-kaca. "Ini... ini indah."

Namun, Bapak Surya, yang sudah kehilangan sebagian besar ingatannya, melihatnya dengan cara lain. Ia menunjuk ke televisi itu. "Itu bukan taman," katanya dengan suara gemetar. "Itu... itu adalah rumahku." Ia mulai menangis, memegangi kepalanya yang sakit. "Aku ingat sekarang. Itu adalah taman di belakang rumahku. Dengan pohon apel itu, dan bangku kayu itu." Ia jatuh berlutut, terisak-isak. "Tapi... aku tidak bisa kembali."

Hana, yang melihat pemandangan itu dari sudut pandang jurnalis, menyadari bahwa itu adalah sebuah ilusi. "Mereka menipu kita," katanya. "Gambar ini... ini bukan nyata. Ini hanya sebuah video. Sebuah ilusi yang mereka buat untuk menyiksa kita."

"Bagaimana kau tahu?" tanya Arka.

"Lihat," jawab Hana, menunjuk ke sebuah sudut di layar. "Gerakan dedaunan itu... itu terlalu sempurna. Itu adalah sebuah animasi. Burung-burung itu... kicauannya berulang. Ini semua palsu."

Pengungkapan itu menghancurkan sisa-sisa harapan yang mereka miliki. Itu bukan jendela menuju dunia luar. Itu adalah sebuah pengingat brutal tentang apa yang telah mereka hilangkan, sebuah ilusi yang dibuat dengan kejam untuk menyiksa mereka. Di mata Riko, yang melihatnya sebagai seorang seniman, itu adalah parodi seni yang paling buruk. "Ini bukan seni," katanya. "Ini adalah kejahatan."

Ketika televisi itu tiba-tiba mati, meninggalkan mereka dalam kegelapan yang tiba-tiba, keheningan yang menyertainya terasa lebih berat dari sebelumnya. Cahaya putih kembali menyala, namun sekarang terlihat lebih kejam dan kosong.

Malam itu, mereka semua berada di titik terendah. Arka terus berbicara dengan dirinya sendiri, mencoba memecahkan misteri di balik semua ini. Hana terbaring di lantai, air matanya membasahi pipinya, berduka atas kehidupan yang telah ia jalani dan kini telah hilang. Riko kembali ke dinding, menggores dengan lebih kasar, membuat bekas-bekas yang lebih dalam. Maya mencoba menenangkan Bapak Surya yang kini hanya bisa menangis, namun ia sendiri merasa putus asa.

Mereka telah kehilangan ingatan mereka, identitas mereka, dan sekarang, harapan mereka. Penyiksaan putih ini, yang tampaknya tidak akan pernah berakhir, telah merenggut segalanya dari mereka. Mereka tidak lagi manusia utuh. Mereka adalah bayangan, hantu-hantu yang terperangkap dalam penjara putih yang tak berujung, menunggu nasib yang tidak mereka ketahui.

Ruangan itu, yang tadinya hanya sebuah penjara, kini telah menjadi panggung penyiksaan yang lebih terperinci. Setelah televisi dan seragam putih, datanglah sensasi baru, namun kali ini bukan untuk dilihat atau didengar. Kali ini adalah rasa. Makanan hambar yang biasa mereka terima kini digantikan dengan bubur berwarna-warni yang memiliki rasa yang tidak biasa.

Pada hari itu, bubur yang disalurkan berwarna hijau terang. Saat Maya mencobanya, wajahnya langsung berkerut. "Rasanya... seperti rumput," gumamnya. "Ada rasa pahit, tapi juga ada rasa manis yang aneh."

Arka, yang mulai terobsesi dengan detail, mengambil bubur itu dengan jarinya dan menciumnya. "Baunya seperti pestisida," katanya, "tapi rasanya seperti permen." Kontradiksi ini membuat mereka semakin bingung. Mereka merasa seperti indra perasa mereka dimanipulasi, seperti setiap suap yang mereka makan adalah sebuah kebohongan.

Makanan berikutnya berwarna merah dan terasa seperti campuran cabai yang sangat pedas dengan madu. Makanan lain berwarna biru dan terasa seperti campuran garam laut dengan gula halus. Makanan-makanan ini bukan hanya tidak enak, tetapi juga membuat mereka merasa tidak nyaman dan mual. Hal ini membuat mereka kehilangan nafsu makan sepenuhnya. Mereka tahu bahwa mereka harus makan untuk bertahan hidup, tetapi setiap kali mereka makan, mereka merasa jijik dan terganggu.

Di tengah penyiksaan rasa ini, Riko mulai menunjukkan perubahan yang lebih drastis. Ia mulai memakan bubur itu dengan lahap, bahkan yang paling tidak enak sekalipun. "Rasanya seperti kanvas kosong," katanya, matanya kosong. "Rasanya tidak ada apa-apa, jadi aku bisa mengisi rasanya sendiri." Ia akan menutup matanya dan membayangkan bubur itu memiliki rasa makanan favoritnya: sup hangat buatan ibunya, atau pizza dengan keju lezat. Namun, hal ini tidak menipu siapa pun. Ia hanya berpura-pura untuk tetap waras.

Melihat Riko yang semakin larut dalam imajinasinya sendiri, Hana merasa putus asa. Ia tahu bahwa Riko telah kehilangan pegangan pada kenyataan. Ia mencoba berbicara dengannya, mencoba menariknya kembali, namun Riko tidak mendengarkannya. Ia hanya akan terus makan, tersenyum dengan senyum yang dipaksakan, dan mengatakan bahwa bubur itu memiliki rasa yang lezat.

Selain makanan, mereka juga mulai merasakan perubahan suhu. Suhu di ruangan itu kadang-kadang menjadi sangat panas, membuat mereka berkeringat dan merasa dehidrasi. Di lain waktu, suhu menjadi sangat dingin, membuat mereka gemetar dan menggigil. Perubahan suhu ini tidak memiliki pola, dan ini membuat mereka merasa tidak nyaman dan tidak dapat memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya.

Pada suatu hari, pintu baja itu terbuka lagi. Pria berpakaian putih itu masuk, dan kali ini ia membawa sebuah alat yang terlihat seperti tongkat. Tongkat itu memiliki ujung yang memancarkan cahaya biru terang. Pria itu menyalakan tongkat itu, dan cahaya biru itu menyinari mereka semua. Cahaya itu tidak hanya terang, tetapi juga memiliki frekuensi yang sangat rendah, membuat mereka semua merasa mual dan pusing.

Pria itu tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya menggerakkan tongkat itu di sekitar ruangan, menyinari setiap sudut. Cahaya biru itu seolah-olah menembus mata mereka, menembus kulit mereka, dan menembus pikiran mereka. Mereka semua merasa seperti tubuh mereka sedang dipindai, dianalisis, dan diubah.

Ketika cahaya biru itu akhirnya padam dan pria itu pergi, meninggalkan mereka dalam kegelapan yang tiba-tiba, mereka semua merasa lemah dan letih. Mereka merasa seperti energi mereka telah terkuras habis. Maya memeriksa nadi mereka, dan menemukan bahwa detak jantung mereka semua tidak teratur.

Malam itu, mereka semua tidak bisa tidur. Mereka merasa seperti ada sesuatu yang merayap di bawah kulit mereka. Mereka merasa seperti ada sesuatu yang telah berubah di dalam diri mereka. Rasa paranoid Arka semakin menjadi-jadi. "Mereka telah menanamkan sesuatu ke dalam kita," bisiknya. "Gelombang suara? Radiasi? Sesuatu yang akan mengubah kita menjadi robot."

Hana, yang mencoba untuk tetap rasional, mencoba menepis ketakutan Arka. "Tidak mungkin," katanya. "Itu tidak masuk akal."

"Tidak masuk akal?" tanya Arka, suaranya dipenuhi histeria. "Selama ini, apa yang kita alami yang masuk akal?"

Pertanyaan Arka membuat Hana terdiam. Ia tidak bisa membantahnya. Tidak ada yang masuk akal di tempat ini. Dan dengan setiap penyiksaan baru, setiap keanehan baru, mereka semakin tenggelam dalam kegilaan.

Di tengah semua ini, Bapak Surya, yang sudah kehilangan ingatan dan akal sehatnya, tiba-tiba mulai tertawa. Tawanya tidak tulus, melainkan terdengar seperti tawa seorang anak kecil yang kesepian. Ia menunjuk ke arah Arka, Hana, Maya, dan Riko. "Kalian... kalian semua adalah muridku," katanya, matanya berkaca-kaca. "Aku harus mengajari kalian... aku harus mengajari kalian tentang sejarah..."

Bapak Surya mulai menceritakan kisah-kisah dari masa lalu. Ia bercerita tentang revolusi, tentang perang, tentang penemuan-penemuan besar. Namun, kisah-kisah itu tidak nyata. Ia mencampuradukkan fakta dengan fantasi, mengubah nama-nama orang, dan menciptakan peristiwa-peristiwa yang tidak pernah terjadi. Kisah-kisahnya menjadi aneh dan kacau, mencerminkan kondisi pikirannya yang terganggu.

Melihat Bapak Surya dalam keadaan seperti ini, Maya tidak bisa lagi menahan air matanya. Ia menangis diam-diam, merasa putus asa. Ia adalah seorang perawat. Ia terbiasa merawat orang yang sakit. Namun, ia tidak tahu bagaimana cara merawat orang-orang ini, termasuk dirinya sendiri. Ia merasa tidak berdaya. Ia merasa gagal.

Di tengah tangisan Maya, Riko tiba-tiba bangkit. Ia berjalan ke dinding, di mana ia telah membuat banyak goresan. Ia mulai menggores dengan lebih keras, dengan lebih dalam. Goresan-goresan itu bukan lagi bentuk-bentuk abstrak. Goresan-goresan itu membentuk kata-kata: "TOLONG KAMI".

Hana melihat tulisan itu, dan matanya melebar. Ia tahu bahwa Riko telah melakukan hal ini sebagai panggilan terakhir, sebagai jeritan minta tolong. Ia bangkit, dan berjalan ke arah Riko. Ia menaruh tangannya di bahu Riko. "Kita akan keluar dari sini," katanya dengan suara yang lembut. "Kita akan keluar."

Namun, Riko hanya menoleh ke arahnya, matanya kosong. "Tidak ada jalan keluar," gumamnya. "Kita sudah mati. Kita semua sudah mati."

Kata-kata Riko adalah pukulan terakhir. Mereka telah berjuang, mereka telah mencoba untuk tetap waras, namun setiap penyiksaan baru, setiap ilusi baru, telah merenggut sedikit demi sedikit dari jiwa mereka. Mereka tidak lagi yakin apa yang nyata dan apa yang tidak. Mereka tidak lagi yakin siapa diri mereka. Mereka hanya tahu satu hal: mereka adalah tawanan, dan nasib mereka telah ditentukan. Mereka adalah korban dari siksaan putih yang paling kejam.

Kekosongan yang brutal dan senyap kini menjadi penanda dari hari-hari yang berlalu. Kehilangan ingatan dan identitas telah memicu keretakan dalam kelompok. Mereka yang dulunya berusaha saling menopang, kini mulai terpisah, tenggelam dalam penderitaan psikologis mereka sendiri. Hubungan antar mereka menjadi rapuh, dipenuhi kecurigaan dan ketidakpercayaan.

Arka, sang arsitek yang dulunya logis, kini sepenuhnya dikuasai oleh paranoia. Ia mulai menyusun teori-teori konspirasi yang semakin aneh. Ia yakin bahwa ruangannya tidak benar-benar kosong. "Mereka menipu kita," bisiknya suatu hari kepada Hana. "Ada celah di dinding, kamera tersembunyi, mikrofon kecil. Mereka mengawasi kita setiap saat." Ia menghabiskan sebagian besar waktunya dengan meraba-raba dinding, mencari jahitan atau benjolan yang tidak biasa. Ia bahkan menuduh Riko, yang terus-menerus menggores dinding, "Kamu membuat tanda, bukan? Tanda untuk mereka. Kamu bagian dari mereka!"

Riko, yang sudah lama tidak lagi waras, tidak menanggapi tuduhan itu. Ia hanya terus menggores. Gooresan-goresan di dindingnya kini semakin dalam dan menyebar. Bukan lagi gambar-gambar abstrak, melainkan pola-pola yang tampak seperti peta. Peta jalan yang rumit dan tidak masuk akal, yang hanya ada di dalam pikirannya. Ia yakin, jika ia bisa menyelesaikan peta itu, ia akan menemukan jalan keluar. Ia mengabaikan semua orang, semua bisikan, dan hanya fokus pada peta di dindingnya.

Hana, sang jurnalis yang selalu mencari kebenaran, sekarang merasa terjebak dalam kebohongan. Ia telah mencoba untuk menyatukan kelompok itu, untuk mencari bukti, untuk menemukan pola. Namun, setiap kali ia menemukan sesuatu, itu hanya mengarah pada kebuntuan. Ia mulai merasa frustasi dan putus asa. Ia menghabiskan waktunya dengan menggosok-gosok dinding, bukan untuk mencari celah seperti Arka, melainkan untuk menghilangkan goresan-goresan Riko. "Kita harus menghapus semua jejak," katanya suatu hari, suaranya dipenuhi amarah. "Kita harus menjadi seperti mereka: kosong, tanpa jejak, tanpa kenangan."

Tindakan Hana ini memicu pertengkaran besar dengan Riko. Riko menjerit, "Jangan sentuh karyaku! Itu adalah satu-satunya hal yang kumiliki!" Namun Hana, yang sudah kehilangan kendali, terus menggosok, menghapus peta yang telah Riko buat dengan susah payah. Pertengkaran itu diakhiri dengan Riko yang menangis tersedu-sedu di sudut ruangan.

Maya, sang perawat, kini menjadi semakin tertekan. Ia merasa tidak berdaya. Ia telah mencoba merawat mereka semua, namun ia tahu bahwa ia tidak memiliki alat, pengetahuan, atau kekuatan untuk menyelamatkan mereka dari penderitaan psikologis ini. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya dengan berdiam diri, memeluk lututnya, dan menatap kosong ke dinding. Ia mencoba mengabaikan Arka yang paranoid, Hana yang marah, Riko yang putus asa, dan Bapak Surya yang hilang. Namun, ia tidak bisa. Setiap kali ia menutup matanya, ia melihat wajah mereka semua, diliputi oleh penderitaan. Ia merasa bersalah karena ia tidak bisa melakukan apa pun.

Bapak Surya, sang guru, kini benar-benar hilang. Ia tidak lagi berbicara dengan bisikan-bisikan atau menceritakan kisah-kisah aneh. Ia hanya berbaring di lantai, meringkuk seperti janin, dan bergumam. Gumaman-gumaman itu tidak jelas. Terkadang ia menyebut nama orang-orang yang tidak dikenal, terkadang ia hanya mengucapkan kata-kata yang tidak memiliki makna. Gumaman-gumaman itu menjadi soundtrack yang mengerikan di ruangan itu, pengingat yang konstan akan kerusakan mental yang telah mereka semua alami.

Suatu hari, pintu baja terbuka lagi. Kali ini, pria berpakaian putih itu masuk membawa sebuah troli yang berisi sebuah kotak. Ia meletakkan kotak itu di tengah ruangan, dan pintu kembali tertutup. Di dalam kotak itu, terdapat sebuah boneka kain. Boneka itu kecil dan tidak memiliki wajah, hanya kain putih kosong.

Melihat boneka itu, Riko tiba-tiba bangkit. Ia mengambil boneka itu dan memeluknya erat-erat. "Bayiku," gumamnya, matanya dipenuhi air mata. Ia mulai berbicara dengan boneka itu, bercerita tentang hidupnya, tentang seni-seninya, tentang apa yang telah terjadi pada mereka. Ia memperlakukan boneka itu seperti anak sungguhan, membelainya, menenangkannya, dan menyanyikan lagu-lagu pengantar tidur.

Melihat Riko seperti ini, Hana merasakan campuran antara kasihan dan jijik. "Ini adalah tahap terakhir," bisiknya kepada Maya. "Mereka telah mematahkan kita semua. Sekarang kita mencari kenyamanan dalam ilusi."

Maya mengangguk. Ia tidak bisa lagi menyanggahnya. Ia juga merasa seperti telah pecah, dan ia juga mencari kenyamanan dalam hal-hal kecil. Setiap kali makanan datang, ia akan memakannya dengan lambat, menikmati setiap suap, seolah-olah itu adalah makanan terakhirnya. Setiap kali ia melihat goresan di dinding yang dibuat Riko, ia akan membiarkannya, melihatnya sebagai satu-satunya hal yang nyata di ruangan itu.

Arka, yang melihat Riko dengan boneka, merasa curiga. "Boneka itu adalah mata-mata," katanya kepada Hana. "Mereka menempatkan kamera di dalamnya. Itu adalah cara mereka untuk mendengarkan kita."

Hana, yang sudah terlalu lelah untuk berdebat, hanya menggelengkan kepalanya. "Tidak ada lagi yang bisa mereka dengarkan," katanya, suaranya kosong. "Kita semua sudah mati."

Di malam hari, saat Riko tertidur dengan boneka di pelukannya, Hana mengambil boneka itu dan mencoba merobeknya. Riko terbangun dan menjerit, "Tidak! Jangan sentuh bayiku!" Ia mencoba merebut boneka itu dari Hana, namun Hana tidak melepaskannya. Pertengkaran fisik pun terjadi, dan mereka berdua bergumul di lantai yang dingin, masing-masing mencoba merebut boneka itu.

Arka, yang melihat pertengkaran itu, hanya tertawa sinis. "Lihatlah," katanya. "Mereka telah mematahkan kita. Kita bertarung untuk sebuah boneka. Kita telah menjadi gila."

Maya, yang melihat pertengkaran itu, tidak bisa lagi menahan emosinya. Ia bangkit, berdiri di tengah mereka, dan berteriak, "Hentikan! Hentikan ini semua! Kita tidak bisa terus seperti ini! Kita harus tetap bersama! Kita harus melawan mereka!"

Namun, teriakannya tidak didengar. Hana dan Riko terus bertarung, dan Arka terus tertawa. Bapak Surya terus bergumam. Maya, yang merasa benar-benar putus asa, jatuh berlutut dan menangis.

Malam itu, mereka semua tidur dalam keadaan terpisah. Arka di sudut yang lain, Riko di sudut yang lain dengan boneka di pelukannya, Hana di sudut yang lain, dan Maya di tengah-tengah mereka. Bapak Surya tidak beranjak. Masing-masing dari mereka telah menemukan sudutnya sendiri di dalam kegilaan itu. Ruangan itu tidak lagi hanya sebuah penjara, melainkan sebuah makam, tempat di mana jiwa-jiwa mereka perlahan-lahan terkubur. Siksaan putih ini telah mencapai tujuannya. Mereka telah kehilangan segalanya, bahkan diri mereka sendiri.

Malam-malam tanpa akhir telah menelan mereka. Ruangan putih itu terasa semakin dingin, tidak hanya karena perubahan suhu yang disengaja, tetapi juga karena hilangnya kehangatan di antara mereka. Masing-masing terperangkap dalam kegelapan pikiran mereka sendiri. Namun, bahkan di tengah keputusasaan yang paling dalam, percikan kecil harapan terkadang bisa muncul dari tempat yang paling tak terduga.

Suatu hari, saat Arka sedang meraba-raba dinding, matanya yang lelah menangkap sesuatu yang berbeda. Ada sebuah goresan kecil di dekat lantai, di bawah salah satu goresan Riko yang lebih besar. Goresan itu bukan bagian dari pola abstrak yang Riko buat. Ini adalah goresan yang berbeda, lebih terstruktur, dan disengaja. Goresan itu membentuk sebuah simbol aneh, kombinasi dari garis-garis dan lingkaran. Arka menatapnya, merasa ada sesuatu yang familiar. Ia berjongkok, membersihkan debu-debu halus di sekitarnya, dan menyentuh goresan itu dengan ujung jarinya. Itu terasa seperti kode, seperti cetak biru arsitektur.

"Ini... ini bukan buatan Riko," gumamnya, suaranya serak. Ia memanggil Hana, yang sedang duduk di sudut, menatap kosong ke dinding. "Hana, kemarilah. Lihat ini."

Hana, yang terbiasa dengan paranoia Arka, awalnya mengabaikannya. "Jangan ganggu aku, Arka. Aku tidak ingin mendengar teori-teori gilamu lagi."

"Tidak," kata Arka, suaranya dipenuhi urgensi. "Ini berbeda. Ini nyata. Ini adalah sebuah simbol."

Hana, yang penasaran, akhirnya bangkit dan mendekat. Ia melihat goresan itu, dan matanya melebar. "Kau benar," bisiknya. "Ini bukan goresan Riko. Ini... ini adalah simbol kuno. Aku pernah melihatnya dalam salah satu artikelku tentang arsitektur kuno. Simbol ini melambangkan 'pintu yang tersembunyi'."

Penemuan ini menyulut kembali percikan semangat dalam diri mereka. Rasa ingin tahu jurnalistik Hana yang telah lama mati kembali hidup. Ia dan Arka mulai bekerja sama, memeriksa setiap goresan di dinding, mencari simbol-simbol lain. Mereka bekerja dalam diam, berbisik satu sama lain, mencoba untuk tidak menarik perhatian Riko, Maya, atau Bapak Surya yang masih tenggelam dalam kegilaan mereka sendiri.

Pekerjaan mereka membuahkan hasil. Mereka menemukan goresan lain, yang membentuk simbol yang berbeda: sebuah panah, sebuah bintang, dan sebuah kunci. Mereka menyadari bahwa simbol-simbol ini adalah petunjuk, sebuah peta. Mereka menemukan sebuah goresan yang lebih besar, yang tampak seperti sebuah diagram, sebuah rencana lantai. Diagram itu menunjukkan denah ruangan itu, dan ada sebuah titik kecil di salah satu dinding.

"Itu di sana," bisik Arka, menunjuk ke dinding. "Ada sesuatu di balik dinding itu."

Hana menatap dinding itu dengan tak percaya. "Bagaimana bisa? Dinding ini padat, aku sudah memeriksanya berkali-kali."

"Tidak," jawab Arka, naluri arsiteknya mengambil alih. "Berdasarkan diagram ini, ada sebuah panel tersembunyi di balik dinding ini. Kita harus mencari cara untuk membukanya."

Sementara mereka sibuk dengan penemuan mereka, Riko, yang memeluk boneka kainnya, tiba-tiba menjadi tenang. Ia menatap goresan-goresan di dinding, yang dulunya adalah peta, kini terasa seperti sisa-sisa dari mimpi buruk. Ia bangkit, meletakkan boneka itu dengan hati-hati di lantai, dan berjalan ke arah Arka dan Hana. Ia menunjuk ke goresan-goresan itu. "Itu... itu adalah karyaku," katanya, suaranya tenang dan jelas. "Aku membuatnya... untuk kalian. Untuk membantu kalian."

Arka dan Hana menatap Riko, terkejut. Riko yang dulu gila, kini tampak waras. Riko menatap mereka dengan mata yang penuh penyesalan. "Aku... aku tidak ingin kalian menjadi seperti aku," katanya, air matanya mengalir. "Aku melihat kalian semua... dan aku tahu aku harus melakukan sesuatu."

Pengakuan Riko adalah momen emosional yang kuat. Itu adalah bukti bahwa bahkan di tengah kekacauan mental yang paling parah, ada sebagian dari diri mereka yang masih ingin berjuang. Maya, yang melihat momen ini, juga bangkit dan mendekat. "Riko..." bisiknya. "Kau kembali."

"Aku tidak pernah pergi," jawab Riko, tersenyum lemah. "Aku hanya... tersesat."

Momen penyatuan ini memberikan mereka kekuatan baru. Mereka semua, bahkan Bapak Surya yang masih linglung, kini bergabung untuk mencari cara membuka panel tersembunyi itu. Mereka mencoba menekan, memukul, dan meraba-raba dinding. Namun, dinding itu tetap kokoh.

"Harus ada cara lain," kata Arka. "Simbol-simbol itu... harus ada hubungannya."

Hana menatap goresan-goresan di dinding, mencoba mencari makna tersembunyi. "Simbol 'pintu yang tersembunyi'... simbol 'kunci'... simbol 'bintang'... itu adalah kode. Kita harus menyusunnya dengan benar."

Mereka mencoba berbagai kombinasi, namun tidak ada yang berhasil. Kekalahan mulai terasa lagi. Namun, di tengah keputusasaan itu, Bapak Surya, yang selama ini hanya bergumam, tiba-tiba berucap. "Revolusi... kunci... bintang..." gumamnya. "Itu adalah kata-kata sandi rahasia yang digunakan oleh para pemberontak di masa lalu. 'Kunci' adalah kodenya, 'bintang' adalah waktunya."

Arka, Hana, dan Riko saling bertukar pandang, terkejut. Bapak Surya, yang kehilangan akal sehatnya, telah memberikan petunjuk yang mereka butuhkan. Mereka mengerti. Mereka harus menekan panel itu pada waktu yang tepat. Tapi kapan?

"Waktunya..." bisik Arka. "Itu adalah 'bintang'. Bintang apa?"

Riko, yang telah mengamati cahaya di ruangan itu selama berbulan-bulan, tiba-tiba menunjuk ke sudut langit-langit. "Lihat," katanya. "Ada sebuah titik kecil di sana. Itu... itu adalah bintang."

Mereka semua menatap ke atas, dan memang, ada sebuah titik kecil di langit-langit yang tampaknya lebih terang dari yang lain. Itu seperti sebuah bintang kecil di langit putih yang tak berujung. Arka, Hana, dan Riko menyadari bahwa itu adalah kuncinya.

"Kita harus menekan panel itu saat 'bintang' itu muncul," kata Arka. "Tapi... bagaimana kita tahu kapan itu akan muncul?"

Maya, yang mengamati mereka semua, tiba-tiba teringat akan sebuah detail kecil. "Cahaya di ruangan ini... cahayanya berubah," katanya. "Ada saat-saat di mana cahayanya sedikit lebih redup. Itu terjadi setiap dua belas jam."

"Itu dia!" seru Hana. "Itu adalah petunjuknya. Setiap kali cahaya redup, itulah 'malam'. Itulah 'waktu' di mana kita harus bertindak."

Malam itu, saat cahaya di ruangan itu sedikit meredup, Arka, Hana, Riko, dan Maya bergerak dengan hati-hati ke panel tersembunyi itu. Arka meletakkan tangannya di panel itu, menunggu sinyal dari yang lain. Saat cahaya kembali normal, Hana mengangguk. "Sekarang!"

Arka menekan panel itu, dan terdengar bunyi klik pelan. Panel itu bergeser, mengungkapkan sebuah celah kecil. Mereka semua menatap celah itu dengan napas tertahan. Di balik celah itu, bukan koridor atau dunia luar, melainkan sebuah ruang kontrol. Ruangan itu dipenuhi dengan monitor-monitor, tombol-tombol, dan tuas-tuas. Mereka bisa melihat diri mereka sendiri di salah satu monitor, sedang duduk di lantai yang dingin. Dan di depan monitor itu, duduklah sekelompok orang berpakaian serba hitam. Di tengah-tengah mereka, duduklah seorang pria, yang mereka sebut "Sang Komandan".

Ketika Arka melihat wajah pria itu di monitor, matanya melebar. Wajah pria itu, yang dipenuhi dengan ekspresi sinis, tampak sangat familiar. Ia adalah mantan kolega Arka, seorang arsitek saingannya yang telah ia kalahkan dalam sebuah proyek besar bertahun-tahun yang lalu. Di monitor lain, Hana melihat wajah seorang wanita yang pernah ia ungkap dalam salah satu artikel investigasinya. Riko melihat wajah seorang kurator seni yang pernah menolak lukisannya. Maya melihat wajah seorang dokter yang pernah ia laporkan karena malpraktik.

Mereka menyadari bahwa penyiksaan ini bukanlah eksperimen acak. Ini adalah sebuah balas dendam. Sebuah penyiksaan yang didasarkan pada dendam pribadi, yang dibuat dengan cermat dan kejam. Momen pengungkapan ini adalah titik balik. Ini adalah momen di mana mereka tidak lagi hanya korban. Ini adalah momen di mana mereka menyadari bahwa mereka memiliki alasan untuk melawan, dan mereka memiliki target untuk dilawan. Mereka tahu bahwa mereka harus keluar dari sini, bukan hanya untuk menyelamatkan diri mereka sendiri, tetapi juga untuk mengungkapkan kejahatan yang mengerikan ini kepada dunia.

Penemuan celah di dinding dan ruang kontrol di baliknya telah mengubah segalanya. Keputusasaan yang tadinya menyelimuti mereka kini digantikan oleh amarah. Mereka bukan lagi korban yang tak berdaya; mereka adalah orang-orang yang telah dicurangi, dan sekarang mereka tahu siapa musuh mereka.

Arka, Hana, Riko, dan Maya kembali ke celah itu, menempelkan telinga mereka ke dinding, mencoba mendengarkan percakapan dari ruang kontrol. Dari sana, mereka bisa mendengar tawa sinis "Sang Komandan," suara orang-orang yang berbicara dengan nada meremehkan, dan gemerincing tombol-tombol yang mereka mainkan. Suara-suara itu adalah bukti nyata bahwa penyiksaan mereka bukanlah kecelakaan, melainkan sebuah pertunjukan yang kejam.

"Ini dia," bisik Arka, giginya terkatup. "Aku mengenali suaranya. Itu suara Darian. Dia adalah arsitek sainganku. Dia selalu iri dengan proyek-proyekku."

"Dan wanita di sampingnya," tambah Hana, matanya menyala dengan amarah. "Itu Lisa. Dia adalah kurator seni yang pernah aku ungkap dalam artikelku karena korupsi."

Riko menggelengkan kepalanya. "Dan ada yang lain," katanya, suaranya tenang dan penuh kebencian. "Mereka semua adalah orang-orang yang pernah kita lukai. Mereka semua adalah orang-orang yang kita musuhi."

Maya, yang terkejut dengan pengungkapan ini, mencoba untuk tetap tenang. "Jadi, ini adalah balas dendam," katanya. "Bukan eksperimen. Ini adalah hal yang jauh lebih pribadi dan kejam."

Mereka kembali ke sudut ruangan, berkumpul di sekitar Bapak Surya yang masih linglung, dan berdiskusi. Amarah mereka kini telah menjadi energi. Mereka tidak lagi tenggelam dalam penderitaan, melainkan fokus pada satu tujuan: melarikan diri. Arka, sang arsitek, mulai membuat rencana. Ia menggunakan pengetahuannya tentang denah ruangan untuk menyusun sebuah rencana pelarian yang berani.

"Dinding di balik panel itu adalah titik lemah mereka," jelas Arka, menggambar di lantai dengan jarinya. "Dinding itu terbuat dari bahan yang berbeda. Lebih tipis, lebih rapuh. Aku yakin kita bisa merusaknya."

"Tapi bagaimana?" tanya Hana. "Kita tidak punya alat."

Riko, yang selama ini diam, tiba-tiba menunjuk ke troli yang digunakan untuk membawa makanan. "Kita bisa menggunakan ini," katanya. "Troli ini terbuat dari baja. Kita bisa menggunakannya sebagai alat."

Ide Riko terdengar gila, namun itu adalah satu-satunya harapan mereka. Mereka mulai bekerja sama. Mereka harus menunggu waktu yang tepat, saat penjaga mereka lengah. Mereka menunggu sampai mereka mendengar tawa keras dari ruang kontrol, yang menandakan bahwa mereka sedang terganggu. Mereka menunggu sampai cahaya di ruangan itu sedikit meredup, yang menandakan "malam".

Saat momen itu tiba, mereka semua bergerak dengan hati-hati. Arka dan Riko, dengan kekuatan mereka yang tersisa, mendorong troli itu ke arah panel tersembunyi. Mereka mendorong dengan semua kekuatan mereka. Terdengar suara benturan keras, lalu bunyi retakan. Dinding itu, yang tadinya kokoh, kini telah retak. Mereka terus mendorong, berulang kali, sampai akhirnya, dinding itu runtuh.

Di balik dinding itu, sebuah ruang kontrol yang ramai terungkap. Sekelompok orang berpakaian serba hitam, yang telah menyiksa mereka selama berbulan-bulan, terkejut. Sang Komandan, Darian, menatap mereka dengan mata melebar, tidak percaya. "Bagaimana... bagaimana bisa?" gumamnya. "Bagaimana kalian bisa keluar?"

Hana, yang telah menemukan kembali keberaniannya, melangkah maju. "Kami tahu siapa kalian," katanya, suaranya dipenuhi amarah. "Kami tahu apa yang telah kalian lakukan. Dan kami akan memastikan semua orang tahu."

Darian tertawa sinis. "Tidak ada yang akan percaya kalian," katanya. "Kalian adalah tawanan. Kalian sudah gila. Kata-kata kalian tidak ada artinya."

Namun, di tengah-tengah mereka, Bapak Surya, yang selama ini hanya bergumam, tiba-tiba bangkit. Ia menunjuk ke arah Darian. "Aku tahu kau," katanya, suaranya gemetar. "Aku tahu kau. Kau adalah muridku. Aku mengajarimu tentang sejarah. Aku mengajarimu tentang keadilan. Dan kau... kau telah melupakan segalanya."

Kata-kata Bapak Surya adalah pukulan terakhir. Darian, yang tadinya sinis, kini terdiam. Ia menatap Bapak Surya dengan tatapan kosong, seolah-olah ia melihat hantu. Ingatan akan masa lalunya, masa lalunya yang telah ia coba lupakan, kembali menghantuinya.

Momen kebingungan ini memberikan mereka kesempatan. Arka dan Riko bergegas menuju pintu keluar di belakang ruang kontrol. Mereka menemukan pintu itu tidak terkunci. Mereka berlari keluar, dan menemukan diri mereka di sebuah koridor yang panjang. Mereka bisa mendengar suara alarm, dan suara orang-orang yang berlari di belakang mereka.

Mereka terus berlari, sampai akhirnya mereka menemukan sebuah pintu keluar yang mengarah ke jalan. Mereka keluar dari bangunan itu, dan mereka semua tertegun. Mereka berada di tengah-tengah sebuah kota yang ramai, penuh dengan orang-orang, mobil, dan lampu-lampu. Dunia luar, yang telah lama mereka lupakan, kini ada di hadapan mereka. Mereka semua menangis, menatap langit yang dipenuhi bintang, bukan lagi langit putih yang kosong.

Mereka diselamatkan. Polisi, yang telah menerima laporan dari salah satu dari mereka yang berhasil melarikan diri, tiba di tempat kejadian. Mereka menangkap Darian dan kelompoknya. Penangkapan itu adalah berita besar, dan cerita mereka menyebar ke seluruh dunia. Mereka menjadi pahlawan. Mereka adalah orang-orang yang telah bertahan dari penyiksaan psikologis paling kejam, dan mereka telah kembali.

Namun, di balik semua euforia itu, ada rasa kehilangan yang mendalam. Bapak Surya, yang telah memulihkan sebagian ingatannya, kini kembali ke keadaan linglung. Ia tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. Riko, yang telah menghancurkan bonekanya, kini tidak bisa lagi melukis. Tangannya gemetar, dan ia tidak bisa lagi menggambar apa pun selain goresan-goresan kosong. Hana, yang telah kembali ke pekerjaannya sebagai jurnalis, tidak bisa lagi menulis. Setiap kali ia mencoba, yang ia lihat hanyalah kata-kata yang kabur. Dan Arka, yang telah kembali ke pekerjaannya sebagai arsitek, tidak bisa lagi merancang. Setiap kali ia mencoba, yang ia lihat hanyalah ruangan putih yang kosong.

Mereka telah selamat, namun mereka tidak kembali utuh. Mereka telah menang, namun mereka telah membayar harga yang sangat mahal. Siksaan putih itu telah meninggalkan bekas yang tidak akan pernah bisa dihapus.

Kini mereka telah bebas, namun kebebasan terasa seperti ilusi lain. Tubuh mereka ada di dunia luar, tetapi pikiran mereka masih terperangkap di dalam ruangan putih itu. Mereka menjadi objek sorotan media, dielu-elukan sebagai penyintas yang heroik. Cerita mereka menjadi berita utama di seluruh dunia, mengungkapkan kengerian dari "siksa putih" yang dilakukan oleh Darian dan kelompoknya.

Polisi berhasil menangkap Darian dan seluruh timnya, yang terkejut dan tidak percaya bahwa mereka bisa dikalahkan. Penangkapan mereka menjadi perbincangan hangat, dan terungkap bahwa mereka adalah kelompok yang terorganisir dengan cermat, yang telah merencanakan penyiksaan ini selama bertahun-tahun. Dendam pribadi mereka terhadap para korban terungkap satu per satu, menjelaskan mengapa mereka yang terpilih. Darian, yang dendamnya terhadap Arka begitu kuat, kini harus menghadapi kenyataan bahwa ia akan menghabiskan sisa hidupnya di balik jeruji besi.

Namun, di tengah-tengah kehebohan media dan penyelidikan polisi, Arka, Hana, Riko, Maya, dan Bapak Surya menyadari bahwa trauma mereka tidak akan hilang hanya dengan penangkapan pelaku. Mereka semua menjalani terapi, mencoba memulihkan diri dari kerusakan psikologis yang telah mereka alami.

Arka mencoba kembali ke pekerjaannya sebagai arsitek. Ia duduk di depan layar komputernya, mencoba merancang sebuah bangunan baru. Namun, setiap kali ia mencoba, yang ia lihat hanyalah dinding-dinding putih yang kosong. Garis-garis yang ia gambar tidak membentuk apa pun, hanya menjadi garis-garis yang tak berujung, seperti goresan-goresan di dinding penjara mereka. Ia tidak bisa lagi menciptakan. Ia tidak bisa lagi merancang. Kreativitasnya, yang dulunya adalah sumber hidupnya, kini telah mati.

Hana, sang jurnalis, mencoba menuliskan kisah mereka. Ia duduk di depan mesin tik, mencoba mengetik kata-kata yang bisa menggambarkan kengerian yang telah mereka alami. Namun, setiap kali ia mencoba, yang ia ketik hanyalah kata-kata yang kacau, tanpa makna. Ia tidak bisa lagi menyusun kalimat. Ia tidak bisa lagi bercerita. Kata-kata, yang dulunya adalah senjatanya, kini telah menjadi musuhnya sendiri. Ia merasa seperti ia telah kehilangan suaranya.

Riko, si seniman, mencoba untuk melukis. Ia membeli kanvas dan cat, dan mencoba melukis pemandangan yang indah, pemandangan yang ia rindukan saat di dalam penjara. Namun, setiap kali ia mencoba, tangannya gemetar. Warna-warna yang ia gunakan tidak membentuk apa pun, hanya menjadi gumpalan-gumpalan yang kotor. Ia tidak bisa lagi merasakan. Ia tidak bisa lagi menciptakan seni. Keindahan, yang dulunya adalah inspirasinya, kini telah menjadi sesuatu yang asing baginya.

Maya, sang perawat, mencoba untuk kembali bekerja. Ia kembali ke rumah sakit, mencoba merawat pasien-pasiennya. Namun, setiap kali ia melihat pasien-pasien itu, yang ia lihat hanyalah wajah-wajah yang ketakutan, wajah-wajah yang tidak bisa ia selamatkan. Ia tidak bisa lagi merasakan empati. Ia tidak bisa lagi merawat. Ia merasa bahwa ia telah gagal, dan ia tidak bisa lagi menghadapi kenyataan itu.

Bapak Surya, yang telah memulihkan sebagian ingatannya, kini tidak bisa lagi berbicara. Ia hanya duduk di kursi rodanya, menatap kosong ke luar jendela. Ia tidak bisa lagi menceritakan sejarah. Ia tidak bisa lagi mengajar. Ia telah menjadi seperti bayangan, sebuah sisa-sisa dari dirinya yang dulu.

Mereka semua telah selamat, tetapi mereka semua telah rusak. Mereka telah kembali ke dunia, tetapi dunia itu terasa asing bagi mereka. Mereka tidak lagi bisa berfungsi dengan normal. Mereka telah kehilangan esensi dari diri mereka sendiri. Siksaan putih itu tidak hanya merenggut ingatan mereka, tetapi juga merenggut jiwa mereka.

Suatu malam, saat mereka berkumpul di sebuah rumah yang disediakan oleh pemerintah, mereka berdiskusi tentang apa yang harus mereka lakukan selanjutnya.

"Kita tidak bisa terus seperti ini," kata Arka, suaranya dipenuhi frustrasi. "Kita harus menemukan cara untuk kembali."

"Bagaimana?" tanya Hana, suaranya serak. "Bagaimana kita bisa kembali ketika kita tidak tahu siapa kita lagi?"

"Kita harus mencoba," jawab Arka, menatap mereka semua dengan tatapan yang penuh tekad. "Kita harus menemukan cara untuk kembali ke diri kita yang dulu. Kita harus melawan trauma ini."

Namun, di tengah-tengah percakapan itu, televisi di sudut ruangan tiba-tiba menyala. Di layar, ada berita dari sebuah kota kecil di sisi lain negara. Reporter itu memberitakan tentang sebuah penemuan aneh: sebuah ruangan kosong yang serba putih, di mana lima orang dewasa baru saja terbangun. Mereka semua tidak mengingat apa pun.

Mereka berlima, yang sedang duduk di sofa, terdiam. Mereka menatap layar televisi itu dengan mata melebar. Di layar, mereka melihat ruangan yang identik dengan penjara mereka. Mereka melihat lima orang dewasa, yang tampak bingung dan ketakutan, sama seperti mereka dulu. Dan mereka tahu. Mereka tahu bahwa penyiksaan ini tidak berakhir dengan penangkapan Darian. Siksaan ini hanyalah permulaan.

Seorang pria di balik layar, yang mengenakan setelan hitam, tersenyum. Senyum itu dingin dan sinis. "Pertunjukan baru saja dimulai," bisiknya. Pria itu menoleh ke arah sebuah ruangan serba putih, tempat sekelompok orang dewasa baru saja terbangun. Mereka tidak tahu apa yang menanti mereka.

Kisah Darian dan kelompoknya terungkap dalam persidangan yang digelar secara terbuka dan disiarkan di seluruh dunia. Pengakuan Darian, yang diinterogasi secara intensif oleh polisi, mengungkap rincian mengerikan tentang "siksa putih" yang mereka terapkan. Ia menjelaskan bagaimana setiap aspek penyiksaan dirancang untuk merusak psikologis korban secara sistematis, dari kehilangan ingatan hingga manipulasi sensorik.

Di ruang sidang, Darian tampil tanpa penyesalan. Ia menganggap perbuatannya sebagai "proyek seni" yang ambisius, sebuah eksperimen sosial yang bertujuan untuk menguji batas-batas ketahanan manusia. Ia bahkan menantang para korban untuk memberikan kesaksian, yakin bahwa trauma yang mereka alami akan membuat kesaksian mereka tidak kredibel. Namun, ia meremehkan kekuatan kesaksian yang datang dari para korban.

Arka, yang kini harus berhadapan dengan masa lalu dan trauma yang membekas, maju ke podium. Ia berbicara dengan suara yang tenang, namun penuh emosi. Ia tidak hanya menceritakan kembali kengerian yang ia alami, tetapi juga mengungkapkan penyesalannya. "Aku adalah orang yang menempatkan diriku di atas orang lain," katanya, matanya menatap langsung ke arah Darian. "Aku tidak pernah berpikir bahwa kesuksesanku akan menyebabkan penderitaan orang lain. Aku tidak pernah berpikir bahwa ada orang yang akan merasa sangat terlukai oleh apa yang kulakukan, sehingga mereka akan melakukan ini."

Pengakuan Arka menggugah hati banyak orang. Ia tidak menyalahkan Darian sepenuhnya, melainkan juga melihat perannya dalam menciptakan situasi ini. Ia melihat bagaimana kesuksesan yang ia raih, yang ia anggap sebagai hal yang wajar, telah menjadi pemicu kebencian yang mendalam.

Hana, yang kini tidak bisa lagi menulis, maju ke podium. Ia berbicara tanpa kata-kata, ia hanya menunjukkan gambar-gambar yang telah ia ambil dari catatan kasus. Gambar-gambar itu menunjukkan detail-detail kecil yang hanya bisa ia amati sebagai seorang jurnalis: pola-pola aneh di dinding, bekas goresan-goresan yang tak beraturan, dan simbol-simbol yang mereka temukan di penjara mereka. Ia memproyeksikan sebuah video yang diambil dari ponsel Darian, yang menunjukkan Darian dan kelompoknya sedang tertawa saat menyaksikan para korban menderita. Tanpa kata-kata, Hana telah memberikan bukti yang paling kuat. Ia telah mengungkapkan kebenaran, bukan hanya melalui kata-kata, tetapi melalui bukti visual yang tak terbantahkan.

Riko, yang kini tidak bisa lagi melukis, maju ke podium. Ia tidak membawa lukisan, ia hanya membawa sebuah boneka kain tanpa wajah. Ia memeluk boneka itu erat-erat. "Aku melukis," katanya, suaranya gemetar. "Aku melukis untuk hidup. Tapi sekarang... aku tidak bisa lagi. Aku hanya bisa memeluk boneka ini. Boneka ini adalah satu-satunya hal yang kumiliki yang memiliki wajah. Wajah yang kubayangkan. Wajah yang ingin kulihat." Riko tidak menyalahkan siapa pun. Ia hanya menunjukkan konsekuensi dari tindakan Darian. Ia menunjukkan bahwa seni, yang dulunya adalah sumber hidupnya, kini telah diambil darinya.

Maya, yang kini tidak bisa lagi merawat, maju ke podium. Ia tidak berbicara tentang penderitaannya, ia hanya berbicara tentang Bapak Surya. "Ia adalah orang yang paling tua di antara kami," katanya, suaranya tenang namun pilu. "Ia adalah seorang guru. Ia adalah orang yang berpengetahuan. Dan sekarang... ia hanya bisa duduk diam, tanpa kata. Ia telah diambil dari kami. Ia telah diambil dari dunia." Maya tidak hanya berbicara sebagai seorang perawat, tetapi sebagai saksi bisu dari kehancuran yang ditimbulkan oleh Darian.

Bapak Surya, yang tidak bisa lagi berbicara, hadir di ruang sidang. Ia duduk di kursi rodanya, menatap lurus ke depan, tanpa ekspresi. Namun, saat Darian dihadapkan padanya, sesuatu yang luar biasa terjadi. Bapak Surya tiba-tiba mengangkat tangannya, menunjuk ke arah Darian. "Anakku..." gumamnya. "Kau... kau adalah anakku." Gumaman itu tidak memiliki makna, namun itu adalah pukulan telak bagi Darian. Ia jatuh terduduk, menangis, karena ia melihat bagaimana ia telah merusak orang yang paling tak berdosa.

Momen itu adalah titik balik dalam persidangan. Darian, yang tadinya angkuh, kini hancur. Ia tidak bisa lagi menahan beban dari perbuatannya. Ia mengaku. Ia mengaku bersalah atas semua tuduhan yang dilayangkan padanya. Pengakuan Darian mengakhiri persidangan. Ia dan kelompoknya dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup.

Kisah mereka menjadi simbol kemenangan. Simbol bahwa bahkan dalam kegelapan yang paling dalam, keadilan akan tetap menang. Namun, kemenangan itu tidaklah utuh. Para korban harus hidup dengan trauma mereka. Arka, Hana, Riko, dan Maya harus menemukan cara untuk membangun kembali kehidupan mereka dari nol. Mereka harus menemukan cara untuk kembali ke diri mereka yang dulu. Mereka harus menemukan cara untuk menghadapi kenyataan bahwa mereka telah berubah selamanya.

Di akhir persidangan, saat Arka, Hana, Riko, dan Maya berjalan keluar dari gedung pengadilan, mereka melihat Bapak Surya yang masih duduk di kursi rodanya. Maya mendekat, dan berjongkok di hadapannya. "Bapak Surya," bisiknya. "Kita sudah bebas."

Bapak Surya menoleh, matanya menatap Maya dengan tatapan yang kosong. Namun, perlahan-lahan, ia tersenyum. Senyum itu tidak tulus, namun itu adalah senyum. Senyum itu adalah tanda bahwa ia masih ada, bahwa ia masih hidup, bahwa ia masih bernapas. Senyum itu adalah tanda bahwa mereka semua masih memiliki harapan.

Namun, di kota yang jauh, di sebuah ruangan yang serba putih, seorang pria yang menonton berita itu tersenyum dingin. Ia menoleh ke arah sekelompok orang dewasa yang baru saja terbangun. Mereka semua tidak mengingat apa pun. Ia mengeluarkan sikat gigi dan seragam putih dari troli, dan menaruhnya di hadapan mereka. "Selamat datang di rumah," bisiknya. "Pertunjukan baru saja dimulai."

Dunia kembali ke normal, setidaknya di permukaan. Para korban "siksa putih" kembali ke kehidupan mereka. Arka kembali ke profesi arsitek, Hana kembali menjadi jurnalis, Riko kembali ke dunia seni, dan Maya kembali menjadi perawat. Mereka semua mencoba untuk membangun kembali kehidupan mereka yang telah hancur. Namun, di balik senyum yang mereka tunjukkan di depan publik, tersembunyi luka yang tak terlihat. Luka yang tidak bisa diobati dengan waktu atau terapi.

Arka, yang pernah menjadi arsitek ulung, kini tidak bisa lagi merancang. Setiap kali ia mencoba, yang ia lihat hanyalah dinding-dinding putih yang kosong. Garis-garis yang ia gambar tidak membentuk apa pun, hanya menjadi goresan-goresan yang tak berujung, seperti goresan-goresan di dinding penjara mereka. Ia mencoba beralih ke seni, mencoba melukis, namun ia hanya bisa melukis ruangan putih itu. Ia melukis dinding yang kosong, lantai yang dingin, dan pintu baja yang terkunci. Karya-karyanya menjadi terkenal. Orang-orang menganggapnya sebagai ekspresi seni yang mendalam tentang penderitaan manusia. Namun, bagi Arka, karya-karyanya hanyalah pengingat yang konstan akan neraka yang ia alami.

Hana, sang jurnalis, mencoba untuk menulis. Ia mencoba menulis buku tentang pengalaman mereka, sebuah buku yang akan mengungkapkan kebenaran tentang "siksa putih". Namun, setiap kali ia mencoba, yang ia ketik hanyalah kata-kata yang kacau, tanpa makna. Ia tidak bisa lagi menyusun kalimat. Ia tidak bisa lagi bercerita. Ia merasa seperti ia telah kehilangan suaranya. Ia beralih ke fotografi. Ia mengambil gambar-gambar kosong: langit yang kosong, jalan yang kosong, kursi yang kosong. Ia ingin menunjukkan kepada dunia bagaimana rasanya menjadi kosong. Ia ingin menunjukkan kepada dunia bagaimana rasanya kehilangan diri sendiri.

Riko, si seniman, mencoba untuk melukis. Ia membeli kanvas dan cat, dan mencoba melukis pemandangan yang indah. Namun, setiap kali ia mencoba, tangannya gemetar. Warna-warna yang ia gunakan tidak membentuk apa pun, hanya menjadi gumpalan-gumpalan yang kotor. Ia tidak bisa lagi merasakan. Ia tidak bisa lagi menciptakan seni. Ia hanya bisa membuat patung-patung dari tanah liat. Patung-patung itu adalah patung-patung dari dirinya sendiri, namun tanpa wajah. Ia tidak bisa lagi mengingat wajahnya. Ia tidak bisa lagi mengingat siapa dirinya.

Maya, sang perawat, mencoba untuk kembali bekerja. Namun, setiap kali ia melihat pasien-pasiennya, yang ia lihat hanyalah wajah-wajah yang ketakutan, wajah-wajah yang tidak bisa ia selamatkan. Ia tidak bisa lagi merasakan empati. Ia tidak bisa lagi merawat. Ia merasa bahwa ia telah gagal, dan ia tidak bisa lagi menghadapi kenyataan itu. Ia beralih ke hal-hal kecil. Ia merawat bunga-bunga, ia merawat hewan-hewan, ia merawat hal-hal yang tidak bisa berbicara, yang tidak bisa menyalahkan.

Bapak Surya, yang telah memulihkan sebagian ingatannya, kini tidak bisa lagi berbicara. Ia hanya duduk di kursi rodanya, menatap kosong ke luar jendela. Ia tidak bisa lagi menceritakan sejarah. Ia tidak bisa lagi mengajar. Ia telah menjadi seperti bayangan, sebuah sisa-sisa dari dirinya yang dulu.

Mereka semua telah selamat, tetapi mereka semua telah rusak. Mereka telah kembali ke dunia, tetapi dunia itu terasa asing bagi mereka. Mereka tidak lagi bisa berfungsi dengan normal. Mereka telah kehilangan esensi dari diri mereka sendiri. Siksaan putih itu tidak hanya merenggut ingatan mereka, tetapi juga merenggut jiwa mereka.

Di tengah-tengah semua itu, sebuah berita kecil muncul di surat kabar. Berita itu menceritakan tentang penemuan sebuah ruangan serba putih, di mana lima orang dewasa baru saja terbangun. Mereka semua tidak mengingat apa pun. Berita itu tidak menarik perhatian banyak orang. Bagi sebagian besar orang, itu hanyalah cerita aneh lainnya. Namun, bagi Arka, Hana, Riko, Maya, dan Bapak Surya, itu adalah pukulan telak. Mereka tahu. Mereka tahu bahwa penyiksaan ini tidak berakhir dengan penangkapan Darian.

Di sebuah kota yang jauh, di sebuah ruangan yang serba putih, seorang pria yang mengenakan setelan hitam tersenyum. Senyum itu dingin dan sinis. Ia membaca berita tentang penangkapan Darian dan kelompoknya. Ia membuang koran itu ke tempat sampah, lalu menoleh ke arah sekelompok orang dewasa yang baru saja terbangun. Mereka semua tidak mengingat apa pun.

Pria itu mendekat, memegang sebuah tongkat yang memancarkan cahaya biru terang. Ia menyalakan tongkat itu, dan cahaya biru itu menyinari mereka semua. Cahaya itu tidak hanya terang, tetapi juga memiliki frekuensi yang sangat rendah, membuat mereka semua merasa mual dan pusing. Pria itu menatap mereka dengan tatapan yang penuh dengan kekuasaan.

"Pertunjukan baru saja dimulai," bisiknya. "Dan kali ini, tidak ada yang akan bisa menghentikannya."

Ia melirik ke sebuah cermin besar yang terpasang di salah satu dinding. Di dalam cermin itu, terpantul wajah-wajah dari kelima orang itu. Mereka semua terlihat ketakutan dan bingung, sama seperti Arka, Hana, Riko, Maya, dan Bapak Surya di hari pertama. Pria itu menyentuh cermin itu, dan pantulan mereka menghilang, digantikan oleh pantulan wajah-wajah yang baru, wajah-wajah yang masih memiliki harapan, wajah-wajah yang masih memiliki jiwa.

"Wajah-wajah yang akan segera menjadi kosong," gumamnya, lalu ia tertawa. Tawa itu bergema di seluruh ruangan, tawa seorang tiran yang baru saja memulai kekuasaannya.

Cerita ini berakhir di sana, tanpa penutup yang bahagia. Para korban telah menang, namun mereka telah hancur. Para pelaku telah kalah, namun bibit-bibit kejahatan mereka telah menyebar. Kisah ini berakhir di mana ia dimulai, di sebuah ruangan putih yang kosong, di mana trauma yang kejam akan dimulai lagi, kepada korban-korban yang baru, di tangan pelaku-pelaku yang baru. Sebuah siklus penderitaan yang tak berujung, sebuah neraka yang tidak akan pernah berakhir.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)