Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,162
Pusaka Naga Hitam
Horor

Udara di gudang tua itu tebal, beraroma apak dan debu. Cahaya matahari sore yang menerobos celah-celah genting yang pecah menari di antara tumpukan barang-barang yang sudah dilupakan. Bayu, seorang mahasiswa semester lima yang terpaksa menghabiskan liburan semester dengan membersihkan gudang peninggalan kakeknya, menghela napas panjang. Ia mengambil sebatang sapu dan mulai mengayunkan gagangnya, menciptakan awan debu yang menyapu lantai.

"Ini hukuman macam apa, sih," gerutunya sambil batuk-batuk. Di luar, teman-temannya pasti sedang menikmati pantai atau mendaki gunung, sementara ia terjebak di antara kenangan masa lalu kakeknya. Kakeknya adalah seorang kolektor barang antik yang eksentrik, dan gudang ini adalah buktinya. Terdapat berbagai macam benda aneh: sebuah gramofon tua yang berdebu, patung kayu ukiran yang matanya kosong, hingga deretan buku-buku kuno bersampul kulit yang sudah menguning.

Bayu melangkah melewati lemari kayu mahoni yang hampir ambruk. Di sudut gudang, tersembunyi di balik tumpukan kain usang dan kardus-kardus berisi potret keluarga, ia menemukan sebuah kotak kayu. Kotak itu berbeda dari benda-benda lain yang ia lihat. Ukirannya sangat detail, menampilkan seekor naga hitam yang meliuk, matanya terbuat dari batu merah yang kusam. Kunci yang menempel di gemboknya terbuat dari perak, namun telah menghitam dimakan usia.

Rasa penasaran mengalahkan rasa lelahnya. Bayu mencoba menarik gembok itu, tetapi terlalu kuat. Ia mencari-cari di laci-laci gudang dan menemukan sebuah kunci kecil yang kelihatannya cocok. Dengan tangan gemetar, ia memasukkan kunci itu ke dalam gembok. Terdengar bunyi klik yang nyaring, dan gembok itu pun terbuka. Bayu menelan ludah. Ada sensasi aneh yang menjalar di punggungnya, seolah-olah ia baru saja membuka sesuatu yang seharusnya tidak ia sentuh.

Ia mengangkat tutup kotak itu. Di dalamnya, terbaring sebilah belati. Gagangnya diukir dari kayu hitam pekat, dan bilahnya terbuat dari batu obsidian yang gelap dan licin, memantulkan sedikit cahaya yang masuk ke gudang. Di pangkal bilah, diukir sebuah simbol naga hitam yang sama dengan yang ada di kotak. Belati itu terasa dingin saat ia menyentuhnya, jauh lebih dingin dari udara gudang itu sendiri. Dingin itu seolah-olah menembus kulitnya dan menusuk sampai ke tulang.

Belati itu anehnya terlihat sangat terawat. Tidak ada karat atau noda, seolah-olah baru saja dibuat. Bayu terpesona. Ia memutuskan untuk menyimpan belati itu. Mungkin ia bisa menjualnya untuk mendapatkan uang saku tambahan. Tanpa pikir panjang, ia memasukkan belati itu ke dalam tas ranselnya dan meninggalkan gudang. Ia tidak menyadari bahwa ia baru saja membawa pulang lebih dari sekadar benda kuno.

Malam harinya, di kamarnya yang nyaman, Bayu mengeluarkan belati itu dari tasnya. Ia meletakkannya di meja samping tempat tidur dan memandangnya. Batu obsidian itu tampak seperti jurang yang tak berdasar. Ia mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman yang mulai muncul, meyakinkan dirinya bahwa itu hanya sugesti. Ia pun mencoba tidur.

Namun, tidur tidak datang dengan mudah. Kepalanya dipenuhi pikiran tentang belati itu. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi ia tidak tahu apa itu. Akhirnya, ia pun terlelap, dan malam itu menjadi malam terburuk dalam hidupnya.

Bayu bermimpi. Ia berada di sebuah desa kuno, dikelilingi oleh rumah-rumah kayu sederhana. Langit di atasnya berwarna merah darah. Di cakrawala, ia melihat bayangan seekor naga hitam raksasa, matanya menyala seperti api. Naga itu terbang turun, menghembuskan napas api yang membakar desa. Orang-orang berteriak, berlarian dalam kepanikan. Di tengah kekacauan itu, Bayu melihat sebuah sosok, seorang pria tua dengan jubah hitam, berdiri di antara kobaran api, memegang belati yang sama persis dengan yang ada di mejanya. Pria itu menatapnya, matanya kosong dan penuh kebencian.

Bayu terbangun dengan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Jantungnya berdebar kencang, dan napasnya terengah-engah. Ia menoleh ke meja samping tempat tidur. Belati itu masih di sana, tampak tidak berbahaya. Tetapi Bayu tidak lagi melihatnya sebagai barang antik biasa. Ia merasakan kehadiran yang aneh, seolah-olah ada sesuatu yang mengawasinya dari dalam belati itu.

Keesokan harinya, Bayu merasa lelah dan tidak fokus. Ia sering melihat bayangan naga hitam di sudut matanya, sekilas namun cukup untuk membuatnya merinding. Ia mencoba mengabaikannya, tetapi bayangan itu selalu kembali.

Adik perempuannya, Sari, datang menghampirinya. "Kak, kamu kenapa? Wajahmu pucat," katanya dengan khawatir.

"Aku cuma kurang tidur," jawab Bayu, berusaha tersenyum.

Sari mengangguk, lalu tiba-tiba ia memegang kepalanya dan mengernyit kesakitan. "Aku pusing, Kak. Aku juga mimpi buruk semalam."

"Mimpi apa?" tanya Bayu, tiba-tiba merasa tegang.

"Ada naga hitam, Kak. Dia bilang dia lapar... haus darah." Suara Sari terdengar lemah, dan ia jatuh ke pelukan Bayu. Tubuhnya panas sekali.

Bayu membaringkan Sari di tempat tidur dan memberinya selimut. Ia memanggil dokter, tetapi dokter tidak menemukan penyakit fisik apa pun. "Mungkin cuma demam biasa," kata dokter, lalu memberikan resep obat penurun panas. Namun, Bayu tahu ada yang salah. Ia menatap belati di mejanya dan teringat mimpi buruknya, teringat kata-kata Sari.

"Naga yang haus darah."

Rasa takut mulai merayap di hatinya. Bayu mulai mencari tahu tentang sejarah belati itu dari buku-buku kuno peninggalan kakeknya. Ia menemukan sebuah naskah yang mengisahkan tentang sebuah Pusaka Naga Hitam, sebuah belati terkutuk yang diyakini menyimpan jiwa seorang penyihir jahat. Bayu membaca naskah itu dengan cemas, keringat dingin membasahi keningnya. Kutukan itu disebut-sebut akan mencari korban terdekat untuk memuaskan dahaganya.

Bayu menatap Sari yang sedang tidur. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia merasa bersalah. Ia merasa telah membawa pulang bukan hanya sebuah benda antik, tetapi juga sebuah kutukan yang kini mengincar orang-orang yang paling ia sayangi. Ia harus melakukan sesuatu. Ia harus menghentikan benda terkutuk itu.

Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk yang tidak berkesudahan. Sari, adik perempuan Bayu, masih terbaring lemah di tempat tidur. Demamnya naik-turun seperti ombak, membuat Bayu tak bisa tidur nyenyak. Ia terus-menerus mengamati belati terkutuk itu, yang kini diletakkannya di laci terkunci di dalam lemarinya. Namun, setiap kali ia membuka laci, belati itu seolah-olah memancarkan aura dingin yang menusuk.

Bayu mulai mengamati perilaku ibunya, Dewi, dengan sangat teliti. Ia sadar, ibunya adalah sasaran selanjutnya. Dewi, seorang ibu rumah tangga yang ceria, kini sering terlihat linglung. Ia sering menatap kosong ke luar jendela, terkadang bergumam hal-hal yang tidak jelas. Bayu bertanya padanya, "Ibu, Ibu baik-baik saja?"

Dewi hanya tersenyum tipis. "Ibu tidak apa-apa, Bayu. Hanya merasa lelah."

Namun, Bayu tahu ada yang tidak beres. Suatu malam, ia terbangun oleh suara gemericik air dari dapur. Ia mengintip dan melihat ibunya sedang mencuci piring. Tidak ada yang aneh, sampai Bayu menyadari bahwa ibunya mencuci piring dengan air dingin, meskipun air panas tersedia. Ia juga mencuci piring dengan begitu keras hingga piring itu nyaris pecah.

"Ibu, kenapa mencuci piring tengah malam begini?" tanya Bayu.

Dewi menoleh, matanya terlihat aneh di bawah cahaya lampu dapur yang redup. "Ada suara... naga... dia haus..." gumamnya.

Jantung Bayu berdegup kencang. "Naga? Maksud Ibu apa?"

Dewi tidak menjawab. Ia kembali mencuci piring dengan tatapan kosong. Bayu berusaha menariknya menjauh, tetapi ibunya menolak. "Jangan, Bayu. Kau tidak mengerti. Naga itu butuh... kebersihan... kebersihan jiwa."

Bayu akhirnya berhasil membawa ibunya kembali ke kamar. Ia sangat ketakutan. Kata-kata ibunya sama persis dengan yang diucapkan Sari. "Naga yang haus darah." Tentu saja, itu adalah sebuah pertanda. Ia merasa bersalah karena telah membawa kutukan ini ke dalam rumahnya. Ia merasa tidak berdaya, tidak tahu harus berbuat apa.

Sari, yang terbaring lemah di kamar sebelah, semakin memburuk. Ia sering mengigau, menyebut-nyebut nama "Bayu" dan "belati". Suaranya terdengar seperti bisikan, tetapi penuh dengan ketakutan. Bayu duduk di samping ranjangnya, memegang tangannya yang panas. Ia merasa sangat sedih dan menyesal.

"Maafkan aku, Sari," bisiknya. "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan."

Malam itu, Bayu mengalami mimpi buruk lagi. Kali ini, ia melihat belati itu di tangannya. Belati itu terasa sangat dingin, tetapi juga memiliki daya tarik yang aneh. Di sekelilingnya, ia melihat Sari, ibunya, dan bahkan ayahnya, Arya, berdiri berjejer. Mata mereka semua kosong, dan di dada mereka terukir simbol naga hitam. Bayu menjerit, tetapi tidak ada suara yang keluar. Ia terbangun, napasnya terengah-engah. Belati itu masih di dalam laci, tetapi Bayu merasa seolah-olah ia bisa merasakan kehadirannya di seluruh rumah.

Pagi harinya, Bayu menemukan laci tempat ia menyimpan belati itu sudah terbuka. Jantungnya hampir copot. Belati itu tidak ada di sana. Ia mencari-cari di seluruh kamarnya, di bawah tempat tidur, di balik lemari, tetapi belati itu tidak ditemukan. Ia panik.

"Sari! Sari, kamu di mana?" teriaknya, berlari ke kamar adiknya.

Sari tidak ada di ranjangnya. Ia lalu berlari ke kamar ibunya, tetapi ibunya juga tidak ada. Bayu mulai histeris. Ia berlari ke seluruh penjuru rumah, memanggil nama mereka, tetapi tidak ada jawaban. Ia lalu menuruni tangga dan menemukan ibunya berdiri di ruang tamu, memegang belati itu.

Dewi menatap belati itu dengan mata kosong, seolah-olah terhipnotis. Belati itu memancarkan aura hitam yang terlihat jelas oleh mata Bayu. Ia melangkah maju, berusaha mengambil belati itu dari tangan ibunya. "Ibu! Itu berbahaya!" teriaknya.

Dewi berbalik, matanya merah menyala. "Jangan! Naga... naga itu butuh korban..." suaranya terdengar serak, bukan seperti suara ibunya.

Bayu tidak peduli. Ia berusaha merebut belati itu, tetapi ibunya tiba-tiba mendorongnya dengan kekuatan yang luar biasa. Bayu terdorong ke belakang, membentur tembok. Ia terkejut. Ibunya tidak pernah sekuat itu.

"Ibu! Ini bukan Ibu!" teriak Bayu.

Dewi mengangkat belati itu, menatapnya, lalu tersenyum. Senyuman itu bukan senyuman ibunya. Senyuman itu penuh dengan kekejaman dan kegilaan. Ia lalu melangkah ke arah kamar Sari. Bayu tahu ia harus melakukan sesuatu, tetapi tubuhnya sakit dan ketakutan menguasai dirinya.

Ia mencoba bangkit, tetapi kepalanya pusing. Ia melihat ibunya berjalan ke kamar Sari. Pintu kamar Sari tertutup, dan Bayu mendengar suara gemericik air dari dalam. Ia bergegas bangkit, membuka pintu kamar Sari, dan menemukan pemandangan yang paling mengerikan dalam hidupnya.

Sari terbaring di bak mandi, yang airnya kini berwarna merah. Di dadanya, terukir simbol naga hitam, persis seperti yang ia lihat dalam mimpinya. Ibunya berdiri di samping bak mandi, memegang belati itu. Matanya masih kosong, tetapi ia tersenyum.

"Sari..." bisik Bayu.

Dewi menoleh, tatapannya kini dipenuhi oleh air mata. "Maafkan Ibu... Bayu... Ibu tidak bisa..." gumamnya, lalu ia pingsan, belati itu jatuh dari tangannya ke lantai.

Bayu berlari ke arah Sari, memeluknya. Tubuh Sari dingin. Ia tidak lagi bernapas. Bayu menangis, memeluk adiknya. Ia merasa sangat bersalah. Jika saja ia tidak membuka kotak itu, jika saja ia tidak mengambil belati itu.

Ia menoleh ke arah belati itu, yang tergeletak di lantai. Aura hitam itu kini terasa lebih kuat. Bayu tahu, ini adalah awal dari segalanya. Ini adalah permulaan dari kutukan yang kini telah mengklaim korban pertamanya. Ia harus menghentikannya, sebelum kutukan itu mengklaim korban-korban berikutnya. Tetapi ia tidak tahu bagaimana caranya.

Kamar mandi yang kini berlumuran darah Sari berubah menjadi saksi bisu dari kengerian yang baru saja terjadi. Bayu duduk terisak di samping bak mandi, memeluk tubuh adiknya yang telah dingin. Aroma amis darah dan wangi sabun yang bercampur menciptakan kombinasi yang memuakkan. Di sudut ruangan, ibunya, Dewi, tergeletak pingsan, wajahnya pucat pasi, namun senyum aneh masih terlukis tipis di bibirnya. Belati terkutuk itu tergeletak di lantai, bilah obsidiannya berkilauan seolah-olah baru saja dibersihkan.

Bayu tidak tahu berapa lama ia terdiam di sana. Waktu seolah berhenti. Dalam benaknya, ia terus mengulang kembali detik-detik mengerikan itu: dorongan yang kuat, tatapan kosong ibunya, dan bisikan yang bukan milik ibunya. Ia merasa putus asa, terjerat dalam jebakan yang tidak ia pahami. Air matanya terus mengalir, membasahi pipi dingin Sari. "Maafkan aku, Sari... maafkan aku," bisiknya berulang kali.

Akhirnya, kesadaran tentang realitas yang kejam mendorongnya untuk bangkit. Ia mengambil telepon dan menelepon ambulans. Suaranya bergetar, tetapi ia berhasil menjelaskan situasinya. Saat petugas medis dan polisi tiba, Bayu tidak bisa menjelaskan apa pun. Ia hanya bisa menatap mereka dengan mata kosong, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Ia tidak bisa mengatakan bahwa adiknya adalah korban dari sebuah benda kuno yang terkutuk, atau ibunya adalah pelakunya. Siapa yang akan percaya?

Sari dinyatakan meninggal dunia. Dokter tidak menemukan penyebab yang jelas. Luka di dadanya terlalu aneh, seperti luka bakar, tetapi tidak ada tanda-tanda api. Polisi mencurigai Dewi, tetapi mereka tidak bisa mendapatkan pengakuan apa pun. Dewi masih pingsan dan ketika ia sadar, ia tidak mengingat apa pun. Ia hanya menangis histeris saat melihat tubuh Sari dan menanyakan apa yang terjadi. Bayu tahu ibunya tidak bersalah. Ia tahu belati itu yang mengendalikan ibunya.

Selama proses pemakaman Sari, Bayu menjadi sosok yang pendiam dan tertutup. Ia selalu berdiri di samping ibunya, menatap kosong ke makam adiknya. Ia merasa sangat bersalah. Ia adalah orang yang menemukan belati itu, dan ia adalah orang yang membawanya pulang. Ia adalah penyebab dari semua ini.

Ketika mereka kembali ke rumah, Bayu memutuskan untuk menghadapi belati itu. Ia mengambilnya, dan kali ini, ia tidak merasakan kedinginan atau ketakutan. Ia merasakan kemarahan yang membara. Ia mengamati belati itu dari dekat. Ukiran naga hitam di gagangnya seolah-olah hidup, matanya menatap Bayu dengan tatapan mengejek.

"Kau membunuh Sari," bisik Bayu dengan suara serak. "Kau yang membunuh adikku."

Bayu mencari cara untuk menghancurkan belati itu. Ia mencoba mematahkannya dengan palu, membakarnya dengan api, bahkan mencoba meleburnya dengan air keras. Namun, belati itu tetap utuh, tidak tergores sedikit pun. Ia bahkan mencoba membuangnya ke sungai, tetapi keesokan paginya, belati itu sudah berada di meja kamarnya, seolah-olah ia tidak pernah meninggalkannya. Belati itu seperti magnet yang selalu kembali kepadanya.

Rasa frustrasi dan putus asa Bayu berubah menjadi tekad yang membara. Ia tidak bisa menghancurkan belati itu, tetapi ia bisa mencari tahu cara menghentikannya. Ia mulai meneliti lebih dalam tentang "Pusaka Naga Hitam". Ia mengunci dirinya di kamar, membaca setiap buku kuno yang ia temukan. Ia menyusun puzzle dari potongan-potongan sejarah, mitos, dan legenda.

Naskah-naskah kuno menyebutkan bahwa belati itu dibuat oleh seorang penyihir jahat bernama Tuan Naga Hitam. Penyihir itu mengikatkan jiwanya pada belati itu sebelum ia meninggal, memberinya kekuatan untuk menguasai pikiran dan tubuh manusia. Belati itu memiliki kutukan: ia harus meminum darah dari kerabat terdekat dari pemiliknya untuk memuaskan dahaga penyihir itu. Jika kutukan ini tidak dipenuhi, belati itu akan mencari korbannya sendiri, mengendalikan orang-orang di sekitar pemiliknya untuk melakukan kejahatan keji.

Bayu merinding saat membaca kalimat itu. Ia menyadari bahwa ia adalah pemilik baru dari belati itu, dan Sari adalah kerabat terdekatnya. Kini, ia tahu siapa korban selanjutnya. Ibunya.

Ibunya masih dalam kondisi yang buruk. Ia sering terdiam, menatap kosong, dan kadang-kadang menyebut-nyebut nama Sari. Ia juga sering melihat bayangan naga hitam, seperti yang Bayu alami. Bayu tahu ia harus bertindak cepat. Ia tidak bisa membiarkan kutukan itu mengklaim korban lagi.

Suatu malam, Bayu terbangun oleh suara aneh. Ia mendengar suara bisikan dari kamar ibunya. Ia berjalan pelan ke sana dan mengintip dari celah pintu. Ibunya sedang duduk di tempat tidur, memegang sebilah pisau dapur. Matanya kosong, tetapi ia tersenyum. Senyum itu membuat Bayu merinding.

"Ibu, jangan!" teriak Bayu, membuka pintu kamar.

Ibunya menoleh. Matanya merah menyala, dan ia menatap Bayu dengan tatapan kejam. "Naga itu lapar, Bayu... ia butuh darah..."

Bayu berusaha merebut pisau itu, tetapi ibunya mendorongnya dengan kekuatan yang luar biasa. Bayu membentur dinding dan terjatuh. Ibunya lalu menatap pisau di tangannya dan mulai menggoreskan pisau itu ke lengannya sendiri. Darah mulai menetes, tetapi ibunya tidak menunjukkan ekspresi kesakitan. Malah, ia tersenyum, seolah-olah menikmati rasa sakit itu.

Bayu bangkit dan memeluk ibunya dari belakang, berusaha menghentikannya. "Ibu! Ibu! Sadar, Bu! Ini aku, Bayu!"

Dewi mengamuk, berteriak-teriak, dan mencoba melepaskan diri. "Jangan! Biarkan! Naga itu butuh darah! Ia butuh darah!"

Setelah perjuangan yang panjang, Bayu berhasil merebut pisau itu dari tangan ibunya. Ia mengikat ibunya ke tempat tidur, agar ia tidak bisa melukai dirinya sendiri lagi. Ibunya meronta-ronta, berteriak, dan menangis. Suaranya bukan suara ibunya. Suara itu adalah suara kegilaan dan penderitaan.

Bayu duduk di lantai, bersandar di dinding, dan menangis. Ia merasa hancur. Ia tahu ia tidak bisa menghancurkan belati itu, tetapi ia tidak tahu cara lain untuk menghentikannya. Ia harus mencari petunjuk, ia harus menemukan cara untuk menghentikan kutukan ini, sebelum ia kehilangan ibunya, dan sebelum ia menjadi korban selanjutnya. Ia harus menemukan cara untuk menyingkirkan benda terkutuk ini. Ia harus.

Malam itu, setelah berhasil mengikat ibunya ke tempat tidur, Bayu duduk di lantai kamar dengan tubuh gemetar. Ibunya, Dewi, masih meronta-ronta dan berteriak, suaranya parau dan menusuk. Matanya yang biasanya penuh kasih kini memancarkan kilatan kegilaan. Bayu menatap pisau dapur yang kini tergeletak di sampingnya, bilahnya masih berlumuran darah ibunya sendiri. Sebuah keheningan yang mencekam menyelimuti rumah itu, hanya diselingi oleh isakan lirih Bayu dan jeritan ibunya yang semakin melemah.

Ia tahu ia tidak bisa membiarkan ibunya terikat selamanya. Namun, melepaskannya sama saja dengan membiarkan kutukan itu mengambil alih sepenuhnya. Pikirannya kacau, terombang-ambing antara rasa takut dan putus asa. Belati terkutuk itu, yang kini ia sembunyikan di dalam tas ranselnya, terasa seperti beban berat yang siap menghancurkannya. Ia tahu ia harus menghadapinya, tetapi ia tidak tahu harus mulai dari mana.

Pagi harinya, Bayu melepaskan ikatan ibunya. Dewi terlihat sangat lemah, matanya bengkak dan merah. Ia tidak ingat apa pun yang terjadi, tetapi ia menatap perban di lengannya dengan tatapan bingung. "Apa yang terjadi, Bayu?" tanyanya dengan suara serak.

Bayu tidak bisa menjawab. Ia hanya memeluk ibunya, merasa bersalah karena telah mengikatnya. Ia tahu itu adalah satu-satunya cara untuk melindunginya, tetapi ia juga tahu bahwa itu tidak akan bertahan lama. Kutukan itu akan kembali, dan kali ini, mungkin ia tidak bisa menghentikannya.

Beberapa hari berikutnya, Bayu tidak pernah meninggalkan sisi ibunya. Ia tidur di lantai kamar ibunya, tidak pernah membiarkannya sendirian. Ia mencoba untuk bersikap normal, tetapi ia selalu waspada. Ia sering melihat ibunya menatap kosong ke suatu titik di dinding, dan di sudut matanya, Bayu melihat bayangan naga hitam yang meliuk. Kutukan itu masih ada, mengintai di dalam rumahnya, menunggu waktu yang tepat untuk menyerang.

Suatu sore, saat Bayu sedang membuatkan teh untuk ibunya, ia mendengar suara aneh dari kamar. Ia bergegas masuk dan menemukan ibunya sedang duduk di lantai, mengukir sesuatu di dinding dengan garpu. Ukiran itu adalah simbol naga hitam yang sama persis dengan yang ada di belati. Di sekeliling ukiran itu, terdapat nama-nama yang ia kenali: "Sari", "Arya", dan "Bayu". Nama-nama itu berlumuran darah, dan Bayu melihat ibunya menggoreskan pergelangan tangannya sendiri dengan garpu. Darah menetes dari pergelangan tangannya dan mengotori dinding.

Bayu berteriak, "Ibu! Berhenti!" Ia berusaha mengambil garpu itu, tetapi ibunya menatapnya dengan tatapan kosong dan tersenyum.

"Naga itu butuh darah, Bayu. Ia haus... ia harus minum darah kita..." gumam ibunya, suaranya seperti bisikan.

"Ibu, sadar! Ini aku, Bayu! Jangan lakukan ini!" teriak Bayu.

Ibunya tidak peduli. Ia terus menggoreskan pergelangan tangannya, mengukir simbol naga di dinding dengan darahnya sendiri. Bayu mencoba menariknya, tetapi ibunya mendorongnya dengan kekuatan yang luar biasa. Bayu terjatuh ke lantai. Ia melihat ibunya berdiri, menatap ukiran di dinding dengan tatapan penuh kepuasan, lalu menatapnya. Matanya merah menyala, dan ia tersenyum, senyuman yang mengerikan.

"Kutukan ini butuh lebih dari sekadar darah, Bayu. Ia butuh pengorbanan... pengorbanan yang tulus..." gumam ibunya.

Bayu merinding. Ia tahu ibunya tidak bisa diselamatkan. Kutukan itu sudah menguasai pikirannya sepenuhnya. Ibunya kini hanyalah sebuah boneka yang digerakkan oleh entitas jahat.

"Tidak, Ibu! Aku tidak akan membiarkanmu!" teriak Bayu.

Ibunya mengangkat tangannya, dan Bayu melihat garpu di tangannya. Namun, tiba-tiba, ia melihat ibunya menusuk lehernya sendiri dengan garpu itu. Darah menyembur, dan ibunya tersenyum, lalu jatuh ke lantai, tubuhnya kejang-kejang. Bayu berteriak, berlari ke arah ibunya, mencoba menahan darah yang mengalir. Namun, sudah terlambat. Ibunya memegang tangan Bayu, menatapnya, dan berbisik, "Maafkan Ibu... Bayu... maafkan Ibu..." lalu matanya terpejam.

Bayu memeluk tubuh ibunya yang sudah tak bernyawa, menangis histeris. Ia merasa hancur, putus asa, dan marah. Ia telah gagal. Ia telah gagal melindungi ibunya, sama seperti ia gagal melindungi Sari. Ia menoleh ke arah belati terkutuk yang kini tergeletak di lantai di sudut ruangan. Aura hitamnya terasa lebih kuat, seolah-olah ia baru saja meminum darah.

Bayu berdiri, mengambil belati itu, dan menatapnya. Ia tidak merasakan dingin atau takut. Ia merasakan kemarahan yang membara. Ia tahu ia tidak bisa menghancurkan belati itu, tetapi ia bersumpah untuk menghentikan kutukan ini, bahkan jika itu berarti ia harus mengorbankan dirinya sendiri. Ia tidak akan membiarkan kutukan ini mengklaim korban lagi. Ia menatap belati itu dan berkata, "Aku bersumpah, aku akan menghentikanmu."

Bayu tidak lagi menangis. Ia kini dipenuhi oleh tekad yang membara. Ia memanggil polisi dan ambulans, dan seperti sebelumnya, ia tidak bisa menjelaskan apa pun. Ia hanya menatap kosong ke makam ibunya, yang kini berada di samping makam Sari. Ia merasa sangat sendirian, terperangkap dalam kutukan yang mengerikan.

Ketika ia kembali ke rumah, ia menemukan ayahnya, Arya, sudah menunggu di pintu. Arya baru saja kembali dari perjalanan bisnis. Ia menatap Bayu dengan tatapan bingung, melihat rumah yang kacau dan mata Bayu yang bengkak.

"Bayu, apa yang terjadi? Kenapa rumah ini berantakan? Di mana ibumu dan Sari?" tanya Arya dengan suara khawatir.

Bayu tidak bisa menjawab. Ia hanya menatap ayahnya, dan dalam benaknya, ia melihat nama "Arya" di dinding kamar ibunya. Ia tahu, kutukan itu kini akan berpindah ke ayahnya. Ia harus menghentikannya, sebelum ayahnya menjadi korban selanjutnya. Ia harus.

Arya, ayah Bayu, berdiri di ambang pintu, menatap putranya dengan tatapan bingung dan khawatir. Bayu hanya bisa terdiam, tubuhnya membeku, otaknya berputar mencari cara untuk menjelaskan apa yang terjadi. Aroma darah yang samar-samar masih tercium di udara, dan pandangan mata Arya menyapu setiap sudut rumah yang kacau balau, seolah-olah ia bisa merasakan ketidakberesan.

"Bayu, ada apa? Kenapa kau diam saja?" tanya Arya, melangkah masuk. Ia melihat pecahan kaca di lantai, perabot yang berantakan, dan wajah Bayu yang bengkak karena menangis. "Di mana ibu dan adikmu?"

Bayu tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya menatap ayahnya, dan dalam benaknya, ia melihat nama Arya terukir di dinding kamar ibunya. Ia tahu, ayahnya adalah korban selanjutnya. Kutukan itu tidak akan berhenti. Ia harus melindunginya, tetapi bagaimana?

Arya melihat ke arah Bayu yang sedang memegang sebuah kotak kayu. Ia mengambil kotak itu dan membukanya. Belati terkutuk itu berada di dalamnya, bilah obsidiannya memantulkan cahaya redup. Arya menyentuh belati itu, dan Bayu melihatnya. Matanya membelalak, ia berteriak, "Ayah, jangan sentuh belati itu!"

Arya terkejut. Ia menarik tangannya, tetapi sudah terlambat. Ia sudah menyentuh belati itu. Sebuah aura hitam mulai mengelilingi tangannya, dan ia merasa ada sensasi aneh yang menjalar di tubuhnya. Ia menatap Bayu, matanya yang biasanya penuh kehangatan kini memancarkan kilatan kebingungan dan kegelisahan. "Ada apa, Bayu? Apa yang terjadi?"

Bayu tidak bisa menjelaskan. Ia hanya bisa menangis, memeluk ayahnya. "Maafkan aku, Ayah... maafkan aku..." bisiknya.

Malam itu, Bayu mencoba menjelaskan segalanya pada ayahnya. Ia menceritakan tentang penemuan belati itu, mimpi buruknya, kematian Sari, dan ibunya. Arya mendengarkan dengan seksama, tetapi Bayu bisa melihat keraguan di matanya. "Bayu, itu tidak mungkin. Itu hanya benda kuno. Kau pasti terlalu stres," kata Arya, mencoba menenangkan putranya.

"Tidak, Ayah! Ini nyata! Belati ini terkutuk!" teriak Bayu. Ia mengambil belati itu dan menunjukkannya kepada ayahnya. Belati itu memancarkan aura hitam, dan Arya merasa sakit kepala yang menusuk.

Arya akhirnya percaya. Ia melihat kengerian di mata Bayu, dan ia tahu putranya tidak berbohong. Ia menatap belati itu dan bertanya, "Jadi, apa yang harus kita lakukan? Bagaimana kita menghentikan ini?"

Bayu tidak tahu. Ia hanya bisa menangis, memeluk ayahnya. Ia merasa sangat bersalah. Ia adalah penyebab dari semua ini.

Beberapa hari berikutnya, Bayu dan Arya mencoba mencari cara untuk menghancurkan belati itu. Mereka mencoba membakarnya dengan api, meleburnya dengan air keras, bahkan mencoba mematahkannya dengan palu godam. Tetapi belati itu tetap utuh, tidak tergores sedikit pun. Ia seperti benda yang abadi, tidak bisa dihancurkan.

Di tengah keputusasaan mereka, Arya mulai menunjukkan tanda-tanda aneh. Ia sering linglung, menatap kosong ke sudut ruangan, dan terkadang menggumamkan kata-kata yang tidak jelas. Bayu tahu, kutukan itu kini mulai menguasai ayahnya.

Suatu malam, Bayu terbangun oleh suara aneh. Ia melihat ayahnya sedang berdiri di samping tempat tidur, memegang belati itu. Matanya merah menyala, dan ia tersenyum, senyuman yang mengerikan. Bayu merinding. Ia tahu ia harus melakukan sesuatu.

"Ayah! Jangan! Lepaskan belati itu!" teriak Bayu.

Arya tidak peduli. Ia menatap belati itu, lalu menatap Bayu. Matanya kosong, dan ia mengangkat belati itu, mengarahkannya ke Bayu. "Kau harus mati, Bayu. Naga itu haus... ia butuh darah..." gumam Arya, suaranya serak dan menakutkan.

Bayu melompat dari tempat tidur, menghindari serangan ayahnya. Ia mengambil tongkat bisbol yang ia simpan di samping tempat tidur dan menggunakannya untuk melawan ayahnya. Arya menyerang dengan kekuatan yang luar biasa, dan Bayu kesulitan untuk melawannya.

"Ayah, sadar! Ini aku, Bayu!" teriaknya.

Arya tidak mendengarkan. Ia terus menyerang, dan Bayu menyadari bahwa ia tidak bisa melawan ayahnya. Ia harus melarikan diri. Ia berlari keluar dari kamar, menuju pintu depan. Arya mengejarnya, belati di tangannya, matanya merah menyala.

Bayu membuka pintu depan, tetapi Arya berhasil menangkapnya. Arya mencekik leher Bayu, matanya menatapnya dengan kebencian. "Kau harus mati, Bayu. Naga itu haus... ia butuh darah..."

Bayu merasa napasnya terputus. Ia tidak bisa melawan kekuatan ayahnya. Ia merasa putus asa. Namun, tiba-tiba, ia melihat ibunya berdiri di samping mereka. Ibunya, yang sudah meninggal. Ia menatapnya dengan tatapan kosong, tetapi ia tersenyum, senyuman yang mengerikan.

"Bayu, lari! Lari!" bisiknya.

Bayu terkejut. Ia melihat ibunya, lalu menatap ayahnya. Arya masih mencekiknya, tetapi ia juga melihat ibunya. Matanya yang merah menyala tiba-tiba dipenuhi dengan air mata. "Dewi..." gumamnya.

Arya melepaskan cekikannya. Ia menatap bayangan ibunya, lalu menatap Bayu. Ia terlihat bingung, seolah-olah ia baru saja terbangun dari mimpi buruk. Ia menjatuhkan belati itu ke lantai. Bayu melihat bayangan naga hitam meliuk di sekitar Arya, lalu menghilang.

"Bayu, apa yang terjadi?" tanya Arya, suaranya bergetar.

Bayu tidak bisa menjawab. Ia hanya memeluk ayahnya, menangis. Ia tahu, ibunya telah mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan mereka. Ia tahu, kutukan itu kini akan menguasai dirinya.

Bayu menatap belati terkutuk itu, yang tergeletak di lantai. Ia mengambilnya, dan kali ini, ia tidak merasakan dingin atau takut. Ia merasakan kemarahan yang membara. Ia tahu ia harus menghentikan kutukan ini, bahkan jika itu berarti ia harus mengorbankan dirinya sendiri. Ia tidak akan membiarkan kutukan ini mengklaim korban lagi. Ia menatap belati itu dan berkata, "Aku bersumpah, aku akan menghentikanmu."

Bayu tidak lagi menangis. Ia kini dipenuhi oleh tekad yang membara. Ia memanggil polisi dan ambulans, dan seperti sebelumnya, ia tidak bisa menjelaskan apa pun. Ia hanya menatap kosong ke makam ibunya, yang kini berada di samping makam Sari. Ia merasa sangat sendirian, terperangkap dalam kutukan yang mengerikan. Ia tahu, ia harus menemukan cara untuk mengakhiri ini. Ia harus.

Kematian Dewi meninggalkan luka yang menganga dalam hidup Bayu. Namun, kali ini, Bayu tidak hanya diliputi kesedihan. Ada kemarahan yang membara, amarah yang menjadi bahan bakar tekadnya. Ia telah kehilangan ibu dan adiknya. Ia tidak akan membiarkan ayahnya, Arya, menjadi korban selanjutnya. Setelah pemakaman Dewi, Bayu memutuskan untuk mengunci diri di gudang peninggalan kakeknya, tempat semua kengerian ini bermula. Ia tahu, jawaban untuk menghentikan kutukan ini pasti ada di sana.

Arya, yang kini menjadi sosok yang pendiam dan dingin, menolak untuk percaya bahwa Dewi meninggal karena sebuah kutukan. Ia menganggap Bayu sudah gila, dan ia tidak mau mendengar cerita apa pun tentang belati terkutuk itu. Bayu mengerti. Ia tahu ayahnya masih berduka dan tidak bisa menerima kenyataan yang kejam ini. Ia memutuskan untuk membiarkan ayahnya sendiri, sambil memastikan bahwa belati itu tidak berada di dekatnya. Belati itu, yang kini ia bungkus dengan kain hitam tebal, selalu ia bawa di dalam tas ranselnya, tidak pernah ia tinggalkan.

Bayu mulai membaca kembali naskah-naskah kuno yang ia temukan di gudang. Ia menyadari bahwa naskah-naskah itu bukan sekadar buku-buku kuno biasa. Naskah-naskah itu adalah jurnal, catatan, dan peringatan dari para kolektor barang antik sebelumnya. Mereka semua mencoba untuk memecahkan misteri di balik belati itu, tetapi tidak ada yang berhasil.

Suatu malam, saat ia membaca sebuah naskah yang sudah usang, ia menemukan sebuah halaman yang sobek. Ia membaca halaman itu berulang kali, tetapi tidak menemukan petunjuk apa pun. Namun, saat ia membalik halaman itu, ia melihat sebuah gambar naga hitam dengan mata merah, dan di bawahnya, ada sebuah tulisan yang samar-samar. Tulisan itu berbunyi:

"Untuk menghentikan kutukan naga, seseorang harus mengorbankan dirinya. Jiwa penyihir jahat itu akan kembali tertidur, dan kutukan itu akan berakhir."

Jantung Bayu berdegup kencang. Ia membaca tulisan itu lagi, dan lagi. Ia tahu, ia telah menemukan jawabannya. Ia harus mengorbankan dirinya. Hanya dengan begitu, kutukan ini akan berakhir. Ia tidak akan membiarkan ayahnya menjadi korban selanjutnya. Ia akan mengorbankan dirinya untuk mengakhiri semua kengerian ini.

Bayu merasa lega, tetapi juga ketakutan. Ia tahu ia akan mati, tetapi ia juga tahu bahwa ia akan mati sebagai pahlawan. Ia akan mengorbankan dirinya untuk keluarganya. Ia akan mengakhiri semua penderitaan ini.

Ia mengambil belati itu dari tasnya. Belati itu terasa dingin saat ia menyentuhnya, tetapi ia tidak merasakan ketakutan. Ia merasakan tekad yang membara. Ia tahu ia harus menemukan tempat yang tepat untuk melakukan pengorbanan ini. Ia tidak ingin ayahnya menemukan tubuhnya. Ia ingin ayuran ayahnya dapat melanjutkan hidupnya dengan normal. Ia ingin ia bisa melupakan semua kengerian ini.

Bayu mulai merencanakan pengorbanan dirinya. Ia akan membawa belati itu ke suatu tempat yang jauh dari rumahnya, tempat yang tidak akan pernah ditemukan oleh siapa pun. Ia akan melakukannya dengan damai.

Namun, rencananya tidak berjalan sesuai dengan keinginannya. Suatu malam, ia mendengar suara aneh dari luar gudang. Ia mengintip dan melihat ayahnya, Arya, sedang berdiri di luar, memegang sebuah obor. Matanya merah menyala, dan ia tersenyum, senyuman yang mengerikan.

"Bayu, keluar! Naga itu butuh darahmu!" teriak Arya, suaranya serak dan menakutkan.

Bayu merinding. Ia tahu, kutukan itu kini telah menguasai ayahnya. Ia tahu, ayahnya kini hanyalah sebuah boneka yang digerakkan oleh entitas jahat.

"Ayah, sadar! Ini aku, Bayu!" teriaknya.

Arya tidak peduli. Ia terus menyerang, mencoba membakar gudang. Bayu menyadari bahwa ia tidak bisa melawan ayahnya. Ia harus melarikan diri. Ia mengambil belati itu, dan berlari keluar dari gudang.

Arya mengejarnya, obor di tangannya, matanya merah menyala. Bayu berlari sekuat tenaga, mencoba melarikan diri dari ayahnya. Ia berlari ke arah hutan, tempat yang jauh dari rumahnya. Arya mengejarnya, dan Bayu tahu ia tidak bisa melarikan diri selamanya.

Ia akhirnya sampai di sebuah tebing. Di bawahnya, terdapat jurang yang dalam, dan di atasnya, bulan bersinar terang. Bayu berhenti, napasnya terengah-engah. Ia menoleh ke belakang, dan melihat ayahnya berdiri di belakangnya.

"Ayah, jangan lakukan ini!" teriak Bayu.

Arya tidak peduli. Ia menatap Bayu dengan tatapan kejam, dan mengangkat obornya. "Kau harus mati, Bayu. Naga itu haus... ia butuh darah..."

Bayu merasa putus asa. Ia tahu ia tidak bisa melawan ayahnya. Ia tahu ia tidak bisa melarikan diri. Ia menatap belati di tangannya, dan ia mengambil keputusan. Ia tidak akan membiarkan ayahnya membunuhnya. Ia akan mengorbankan dirinya sendiri.

Bayu mengangkat belati itu, menatapnya, lalu menusuk dirinya sendiri di dada. Darah mengalir, dan ia merasakan sakit yang luar biasa. Ia jatuh ke tanah, tubuhnya kejang-kejang. Ia melihat ayahnya, yang kini menatapnya dengan tatapan kosong, obor di tangannya.

Bayu tersenyum. Ia tahu, ia telah berhasil. Ia telah mengorbankan dirinya. Ia telah menghentikan kutukan ini. Ia telah menyelamatkan ayahnya.

Ia menoleh ke arah ayahnya, dan berbisik, "Ayah... aku mencintaimu..." lalu matanya terpejam.

Bayu tidak lagi merasakan sakit. Ia merasa damai. Ia tahu, ia telah berhasil. Ia telah mengakhiri semua kengerian ini. Ia telah mengorbankan dirinya untuk keluarganya.

Arya, yang kini sadar, menatap tubuh Bayu yang sudah tidak bernyawa. Ia menjatuhkan obornya, dan berlutut di samping tubuh Bayu. Ia memeluk tubuh putranya, menangis histeris. Ia tidak percaya. Ia tidak percaya bahwa ia telah membunuh putranya.

Belati terkutuk itu, yang kini tergeletak di samping tubuh Bayu, memancarkan aura hitam yang kuat. Jiwa Tuan Naga Hitam, yang kini telah disatukan dengan jiwa Bayu, berjuang untuk mengendalikan tubuhnya. Namun, ia tidak bisa. Jiwa Bayu terlalu kuat. Ia berhasil mengunci jiwa penyihir itu di dalam belati.

Arya, yang kini dipenuhi rasa penyesalan, mengubur belati itu di hutan terpencil, jauh dari tebing. Ia tidak ingin ada orang lain yang menemukan benda terkutuk itu. Ia ingin ia bisa melupakan semua kengerian ini. Ia ingin ia bisa hidup normal kembali. Namun, ia tidak tahu bahwa ia baru saja memulai kutukan itu kembali. Ia tidak tahu bahwa ia telah mengorbankan putranya untuk tidak ada.

Keheningan di rumah itu terasa lebih pekat dari sebelumnya. Setelah pemakaman Dewi, Bayu dan ayahnya, Arya, hidup dalam bayang-bayang duka yang mendalam. Arya, yang biasanya periang dan hangat, kini menjadi sosok yang pendiam dan dingin. Ia sering duduk di ruang tamu, menatap kosong ke jendela, seolah-olah pikirannya melayang jauh. Bayu mengerti. Ayahnya masih berduka, dan ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa istri dan putrinya telah meninggal.

Bayu sendiri juga berduka, tetapi ia memiliki beban lain yang harus ia pikul. Ia adalah satu-satunya orang yang tahu kebenaran di balik kematian ibu dan adiknya. Ia adalah satu-satunya orang yang tahu tentang belati terkutuk itu. Belati itu, yang kini ia simpan di dalam kotak kayu di laci terkunci di dalam lemarinya, terasa seperti beban berat yang siap menghancurkannya. Ia tidak bisa menghancurkannya, dan ia tidak bisa membuangnya. Ia harus mencari cara untuk menghentikan kutukan ini, sebelum ayahnya menjadi korban selanjutnya.

Suatu malam, Bayu sedang membaca buku di kamarnya ketika ia mendengar suara aneh dari ruang tamu. Ia mengintip dan melihat ayahnya sedang duduk di kursi, memegang sebuah belati. Jantung Bayu hampir copot. Belati itu adalah belati terkutuk itu. Ia tidak tahu bagaimana belati itu bisa keluar dari laci terkunci.

"Ayah!" teriak Bayu, berlari ke arah ayahnya. "Jangan sentuh belati itu!"

Arya menoleh, matanya merah menyala. "Bayu... kau harus mati... naga itu haus..." gumamnya, suaranya serak dan menakutkan.

Bayu merinding. Ia tahu, kutukan itu kini telah menguasai ayahnya. Ia tahu, ayahnya kini hanyalah sebuah boneka yang digerakkan oleh entitas jahat.

"Ayah, sadar! Ini aku, Bayu!" teriak Bayu.

Arya tidak peduli. Ia terus menyerang, mencoba menikam Bayu dengan belati itu. Bayu melompat dari kursi, menghindari serangan ayahnya. Ia mengambil tongkat bisbol yang ia simpan di samping pintu dan menggunakannya untuk melawan ayahnya. Arya menyerang dengan kekuatan yang luar biasa, dan Bayu kesulitan untuk melawannya.

"Ayah, sadar! Ini aku, Bayu!" teriaknya.

Arya tidak mendengarkan. Ia terus menyerang, dan Bayu menyadari bahwa ia tidak bisa melawan ayahnya. Ia harus melarikan diri. Ia berlari keluar dari kamar, menuju pintu depan. Arya mengejarnya, belati di tangannya, matanya merah menyala.

Bayu membuka pintu depan, tetapi Arya berhasil menangkapnya. Arya mencekik leher Bayu, matanya menatapnya dengan kebencian. "Kau harus mati, Bayu. Naga itu haus... ia butuh darah..."

Bayu merasa napasnya terputus. Ia tidak bisa melawan kekuatan ayahnya. Ia merasa putus asa. Namun, tiba-tiba, ia melihat bayangan ibunya berdiri di samping mereka. Ibunya, yang sudah meninggal. Ia menatapnya dengan tatapan kosong, tetapi ia tersenyum, senyuman yang mengerikan.

"Bayu, lari! Lari!" bisiknya.

Bayu terkejut. Ia melihat ibunya, lalu menatap ayahnya. Arya masih mencekiknya, tetapi ia juga melihat ibunya. Matanya yang merah menyala tiba-tiba dipenuhi dengan air mata. "Dewi..." gumamnya.

Arya melepaskan cekikannya. Ia menatap bayangan ibunya, lalu menatap Bayu. Ia terlihat bingung, seolah-olah ia baru saja terbangun dari mimpi buruk. Ia menjatuhkan belati itu ke lantai. Bayu melihat bayangan naga hitam meliuk di sekitar Arya, lalu menghilang.

"Bayu, apa yang terjadi?" tanya Arya, suaranya bergetar.

Bayu tidak bisa menjawab. Ia hanya memeluk ayahnya, menangis. Ia tahu, ibunya telah mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan mereka. Ia tahu, kutukan itu kini akan menguasai dirinya.

Bayu menatap belati terkutuk itu, yang tergeletak di lantai. Ia mengambilnya, dan kali ini, ia tidak merasakan dingin atau takut. Ia merasakan kemarahan yang membara. Ia tahu ia harus menghentikan kutukan ini, bahkan jika itu berarti ia harus mengorbankan dirinya sendiri. Ia tidak akan membiarkan kutukan ini mengklaim korban lagi. Ia menatap belati itu dan berkata, "Aku bersumpah, aku akan menghentikanmu."

Bayu tidak lagi menangis. Ia kini dipenuhi oleh tekad yang membara. Ia memanggil polisi dan ambulans, dan seperti sebelumnya, ia tidak bisa menjelaskan apa pun. Ia hanya menatap kosong ke makam ibunya, yang kini berada di samping makam Sari. Ia merasa sangat sendirian, terperangkap dalam kutukan yang mengerikan.

Ketika ia kembali ke rumah, ia menemukan ayahnya, Arya, sudah menunggu di pintu. Arya baru saja kembali dari perjalanan bisnis. Ia menatap Bayu dengan tatapan bingung, melihat rumah yang kacau dan mata Bayu yang bengkak.

"Bayu, apa yang terjadi? Kenapa rumah ini berantakan? Di mana ibumu dan Sari?" tanya Arya dengan suara khawatir.

Bayu tidak bisa menjawab. Ia hanya menatap ayahnya, dan dalam benaknya, ia melihat nama "Arya" di dinding kamar ibunya. Ia tahu, kutukan itu kini akan berpindah ke ayahnya. Ia harus menghentikannya, sebelum ayahnya menjadi korban selanjutnya. Ia harus.

Setelah kepergian Dewi, rumah itu terasa seperti kuburan yang dingin dan sunyi. Bayu dan ayahnya, Arya, bagai dua orang asing yang terperangkap dalam duka yang sama. Arya, yang biasanya ramah dan penuh canda, kini menjadi sosok yang pendiam dan mudah marah. Ia sering menghabiskan waktunya di gudang tua, tempat Bayu pertama kali menemukan belati terkutuk itu. Ia mengklaim hanya ingin membersihkan gudang, tetapi Bayu tahu ada sesuatu yang lain.

Belati terkutuk itu, yang kini Bayu simpan di dalam kotak kayu terkunci di laci kamarnya, terasa seperti bom waktu. Bayu tahu kutukan itu akan mengklaim korban selanjutnya, dan korban itu adalah ayahnya. Ia mencoba untuk berbicara dengan ayahnya, tetapi Arya hanya menatapnya dengan tatapan kosong, seolah-olah pikirannya melayang jauh.

Suatu malam, Bayu terbangun oleh suara gemerincing logam dari gudang. Ia mengintip dan melihat ayahnya sedang berdiri di tengah-tengah gudang, memegang belati terkutuk itu. Belati itu memancarkan aura hitam yang kuat, dan Arya menatapnya dengan mata merah menyala.

"Ayah!" teriak Bayu, berlari ke arah ayahnya. "Jangan sentuh belati itu!"

Arya menoleh, matanya merah menyala. "Bayu... kau harus mati... naga itu haus..." gumamnya, suaranya serak dan menakutkan.

Bayu merinding. Ia tahu, kutukan itu kini telah menguasai ayahnya. Ia tahu, ayahnya kini hanyalah sebuah boneka yang digerakkan oleh entitas jahat.

"Ayah, sadar! Ini aku, Bayu!" teriak Bayu.

Arya tidak peduli. Ia terus menyerang, mencoba menikam Bayu dengan belati itu. Bayu melompat dari tempat tidur, menghindari serangan ayahnya. Ia mengambil tongkat bisbol yang ia simpan di samping pintu dan menggunakannya untuk melawan ayahnya. Arya menyerang dengan kekuatan yang luar biasa, dan Bayu kesulitan untuk melawannya.

"Ayah, sadar! Ini aku, Bayu!" teriaknya.

Arya tidak mendengarkan. Ia terus menyerang, dan Bayu menyadari bahwa ia tidak bisa melawan ayahnya. Ia harus melarikan diri. Ia berlari keluar dari kamar, menuju pintu depan. Arya mengejarnya, belati di tangannya, matanya merah menyala.

Bayu membuka pintu depan, tetapi Arya berhasil menangkapnya. Arya mencekik leher Bayu, matanya menatapnya dengan kebencian. "Kau harus mati, Bayu. Naga itu haus... ia butuh darah..."

Bayu merasa napasnya terputus. Ia tidak bisa melawan kekuatan ayahnya. Ia merasa putus asa. Namun, tiba-tiba, ia melihat bayangan ibunya berdiri di samping mereka. Ibunya, yang sudah meninggal. Ia menatapnya dengan tatapan kosong, tetapi ia tersenyum, senyuman yang mengerikan.

"Bayu, lari! Lari!" bisiknya.

Bayu terkejut. Ia melihat ibunya, lalu menatap ayahnya. Arya masih mencekiknya, tetapi ia juga melihat ibunya. Matanya yang merah menyala tiba-tiba dipenuhi dengan air mata. "Dewi..." gumamnya.

Arya melepaskan cekikannya. Ia menatap bayangan ibunya, lalu menatap Bayu. Ia terlihat bingung, seolah-olah ia baru saja terbangun dari mimpi buruk. Ia menjatuhkan belati itu ke lantai. Bayu melihat bayangan naga hitam meliuk di sekitar Arya, lalu menghilang.

"Bayu, apa yang terjadi?" tanya Arya, suaranya bergetar.

Bayu tidak bisa menjawab. Ia hanya memeluk ayahnya, menangis. Ia tahu, ibunya telah mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan mereka. Ia tahu, kutukan itu kini akan menguasai dirinya.

Bayu menatap belati terkutuk itu, yang tergeletak di lantai. Ia mengambilnya, dan kali ini, ia tidak merasakan dingin atau takut. Ia merasakan kemarahan yang membara. Ia tahu ia harus menghentikan kutukan ini, bahkan jika itu berarti ia harus mengorbankan dirinya sendiri. Ia tidak akan membiarkan kutukan ini mengklaim korban lagi. Ia menatap belati itu dan berkata, "Aku bersumpah, aku akan menghentikanmu."

Bayu tidak lagi menangis. Ia kini dipenuhi oleh tekad yang membara. Ia memanggil polisi dan ambulans, dan seperti sebelumnya, ia tidak bisa menjelaskan apa pun. Ia hanya menatap kosong ke makam ibunya, yang kini berada di samping makam Sari. Ia merasa sangat sendirian, terperangkap dalam kutukan yang mengerikan.

Ketika ia kembali ke rumah, ia menemukan ayahnya, Arya, sudah menunggu di pintu. Arya baru saja kembali dari perjalanan bisnis. Ia menatap Bayu dengan tatapan bingung, melihat rumah yang kacau dan mata Bayu yang bengkak.

"Bayu, apa yang terjadi? Kenapa rumah ini berantakan? Di mana ibumu dan Sari?" tanya Arya dengan suara khawatir.

Bayu tidak bisa menjawab. Ia hanya menatap ayahnya, dan dalam benaknya, ia melihat nama "Arya" di dinding kamar ibunya. Ia tahu, kutukan itu kini akan berpindah ke ayahnya. Ia harus menghentikannya, sebelum ayahnya menjadi korban selanjutnya. Ia harus.

Bayu tidak punya pilihan lain. Tekadnya sudah bulat. Setelah menyaksikan kengerian yang menimpa ibu dan adiknya, dan melihat ayahnya nyaris menjadi korban, ia tahu satu-satunya cara untuk menghentikan kutukan ini adalah dengan mengorbankan dirinya sendiri. Namun, Bayu tidak ingin mati di tangan ayahnya yang dikendalikan. Ia ingin mati sebagai pahlawan, mengakhiri semua penderitaan ini dengan tangannya sendiri.

Bayu membuat rencana. Ia akan membawa belati terkutuk itu ke tempat yang jauh, tempat yang tidak akan pernah ditemukan oleh siapa pun. Ia tidak ingin ayahnya menemukan mayatnya. Ia ingin ayahnya dapat melanjutkan hidupnya dengan normal, melupakan semua kengerian yang terjadi.

Pada malam yang gelap dan sunyi, Bayu menunggu ayahnya tertidur lelap. Ia lalu mengambil belati terkutuk itu dari laci terkunci di dalam lemarinya. Belati itu terasa dingin saat ia menyentuhnya, tetapi ia tidak merasakan ketakutan. Ia merasakan tekad yang membara. Ia mengambil tas ranselnya, memasukkan belati itu ke dalamnya, dan berjalan keluar dari kamar.

Di luar kamar, Bayu melihat ayahnya sedang tidur di sofa di ruang tamu. Ia mendekatinya, memeluknya, dan berbisik, "Ayah, aku mencintaimu. Aku akan menghentikan ini."

Arya tidak merespons. Ia hanya terdiam, dan Bayu tahu ayahnya masih di bawah pengaruh kutukan. Ia meninggalkan ayahnya, dan berjalan keluar dari rumah.

Bayu berjalan tanpa tujuan, sampai ia sampai di sebuah tebing yang tinggi. Di bawahnya, terdapat jurang yang dalam, dan di atasnya, bulan bersinar terang. Ia tahu, inilah tempat yang tepat. Ia akan mengorbankan dirinya di sini, dan belati itu akan jatuh ke jurang, di mana tidak ada yang akan menemukannya.

Bayu mengeluarkan belati terkutuk itu dari tas ranselnya. Belati itu memancarkan aura hitam yang kuat. Ia menatap belati itu, lalu menatap bulan yang bersinar terang. Ia teringat akan wajah ibu dan adiknya, dan ia merasa lega. Ia tahu ia akan bertemu mereka.

Ia mengangkat belati itu, lalu menusuk dirinya sendiri di dada. Darah mengalir, dan ia merasakan sakit yang luar biasa. Ia jatuh ke tanah, tubuhnya kejang-kejang. Ia menatap belati itu, dan melihat aura hitam itu masuk ke dalam tubuhnya. Ia tahu, ia telah berhasil. Ia telah mengorbankan dirinya.

Jiwa Tuan Naga Hitam, yang kini telah disatukan dengan jiwa Bayu, berjuang untuk mengendalikan tubuhnya. Namun, ia tidak bisa. Jiwa Bayu terlalu kuat. Ia berhasil mengunci jiwa penyihir itu di dalam belati. Bayu tersenyum. Ia tahu, ia telah berhasil. Ia telah mengakhiri semua kengerian ini.

Bayu tidak lagi merasakan sakit. Ia merasa damai. Ia tahu, ia telah berhasil. Ia telah mengorbankan dirinya untuk keluarganya.

Mata Bayu terpejam, dan ia menghembuskan napas terakhirnya. Ia memegang belati itu erat-erat di tangannya, seolah-olah ia tidak akan pernah melepaskannya. Belati itu, yang kini terisi dengan jiwa Bayu dan roh jahat, kembali menjadi benda mati. Aura hitamnya menghilang, dan ia kembali menjadi belati biasa.

Arya, yang terbangun oleh suara gemuruh di luar, berlari keluar dari rumah. Ia mencari Bayu, tetapi tidak menemukannya. Ia berjalan ke arah tebing, dan melihat tubuh Bayu tergeletak di tanah. Ia melihat belati terkutuk itu di tangan Bayu.

Arya menangis histeris. Ia memeluk tubuh Bayu, dan tidak bisa mempercayai apa yang ia lihat. Putranya, Bayu, telah mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan mereka. Ia merasa sangat bersalah. Jika saja ia percaya pada Bayu, jika saja ia mendengarkannya.

Arya menguburkan belati itu di hutan terpencil, jauh dari tebing. Ia tidak ingin ada orang lain yang menemukan benda terkutuk itu. Ia ingin ia bisa melupakan semua kengerian ini. Ia ingin ia bisa hidup normal kembali. Namun, ia tidak tahu bahwa ia baru saja memulai kutukan itu kembali. Ia tidak tahu bahwa ia telah mengorbankan putranya untuk tidak ada.

Keheningan yang mematikan menyelimuti rumah itu setelah kepergian Bayu. Arya, sang ayah, kini menjadi satu-satunya yang tersisa dari keluarga yang hancur. Ia berjalan bagai zombie, menapaki jejak-jejak duka dan kenangan pahit. Setiap sudut rumah mengingatkannya pada tawa Sari, senyuman Dewi, dan tatapan penuh tekad Bayu. Rasa penyesalan mencengkeram hatinya, membakar jiwanya lebih pedih dari api neraka. Ia tidak percaya. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa ia telah kehilangan seluruh keluarganya.

Arya menemukan catatan terakhir Bayu di atas meja. Sebuah naskah kuno yang berisikan tulisan tangan Bayu yang bergetar: "Untuk mengakhiri kutukan ini, pengorbanan terakhir harus dilakukan. Jangan mencariku, Ayah. Aku akan menghentikan semua ini."

Air mata Arya mengalir deras, membasahi catatan itu. Ia akhirnya mengerti, semua yang diceritakan Bayu adalah kebenaran. Ia menyalahkan dirinya sendiri karena tidak percaya. Ia menyalahkan dirinya sendiri karena tidak mendengarkan. Ia menyalahkan dirinya sendiri karena telah membiarkan putranya pergi sendirian.

Arya memutuskan untuk menepati janji Bayu. Ia akan mengubur belati terkutuk itu, agar tidak ada lagi yang menjadi korban. Ia mengambil belati itu, membungkusnya dengan kain hitam tebal, dan berjalan ke hutan terpencil di belakang rumahnya. Ia menggali lubang di bawah pohon besar yang rindang, tempat yang jauh dari jalan setapak dan dari mana pun. Ia mengubur belati itu di sana, berharap tidak akan ada yang pernah menemukannya.

"Istirahatlah dengan tenang, Bayu," bisiknya, sambil menutupi lubang itu dengan tanah. "Aku akan menjaganya. Aku akan memastikan tidak ada lagi yang menjadi korban."

Arya hidup dalam kesunyian selama bertahun-tahun. Ia menjual rumah itu, membeli sebuah gubuk kecil di pinggir desa, dan hidup sebagai seorang pertapa. Ia menghabiskan waktunya dengan berdoa, berharap arwah keluarganya bisa beristirahat dengan tenang. Ia tidak pernah memberitahu siapa pun tentang kutukan itu. Ia ingin semua itu terkubur bersamanya.

Bertahun-tahun kemudian, sebuah tim pendaki gunung yang terdiri dari tiga orang, Rudi, Siska, dan Tono, tersesat di hutan terpencil itu. Mereka mencari jalan keluar, tetapi mereka hanya berputar-putar di tempat yang sama. Rudi, seorang fotografer, mencoba mencari sinyal telepon di puncak bukit, tetapi ia hanya menemukan sebuah pohon besar yang rindang. Di bawah pohon itu, ia melihat sebuah kotak kayu yang terkubur dangkal di bawah akar-akar pohon.

Rudi, yang penasaran, menggali kotak itu. Ia membukanya, dan menemukan sebuah belati kuno. Belati itu terasa dingin saat ia menyentuhnya, jauh lebih dingin dari udara di sekitarnya. Ia mengambil belati itu, dan tiba-tiba, ia merasakan sakit kepala yang hebat. Ia melihat bayangan naga hitam melintas di sudut matanya, tetapi ia tidak memperhatikannya. Ia hanya terpesona oleh keindahan belati itu.

"Aku akan menjualnya," pikirnya. "Ini pasti akan sangat mahal."

Siska dan Tono akhirnya menemukan Rudi. "Rudi, kamu di mana saja? Kami mencari-cari kamu!" kata Siska dengan cemas.

Rudi menoleh, matanya merah menyala. Ia tersenyum, senyuman yang mengerikan. "Aku menemukan sesuatu... sesuatu yang berharga..." katanya, suaranya serak dan menakutkan.

Siska dan Tono merinding. Mereka melihat belati di tangan Rudi, dan mereka tahu ada yang tidak beres. Belati itu memancarkan aura hitam yang kuat, dan Rudi menatap mereka dengan tatapan kejam.

"Ini adalah Pusaka Naga Hitam," bisiknya. "Dan ia butuh darah... ia butuh korban..."

Siska dan Tono lari, tetapi terlambat. Rudi menyerang mereka, belati di tangannya. Tono berhasil melarikan diri, tetapi Siska tidak. Ia jatuh, dan Rudi menikamnya. Darah mengalir, dan ia tertawa.

Tono, yang berhasil melarikan diri, sampai di desa terdekat dan menceritakan semuanya kepada penduduk desa. Penduduk desa, yang sudah lama mendengar legenda tentang Pusaka Naga Hitam, merinding. Mereka tahu, kutukan itu telah kembali.

Arya, yang mendengar cerita itu, tahu apa yang telah terjadi. Ia tahu, kutukan itu telah kembali. Ia mengambil obor, dan berlari ke hutan. Ia menemukan Rudi, yang kini dikuasai oleh kutukan, dan ia tahu ia tidak bisa melawannya.

"Bayu... maafkan aku... aku gagal..." bisiknya, lalu ia melihat Rudi menatapnya dengan tatapan kejam.

Rudi menyerangnya, belati di tangannya, matanya merah menyala. Arya tidak melawan. Ia hanya menatap Rudi, dan tersenyum. "Bayu... aku datang..."

Rudi menikamnya, dan Arya jatuh ke tanah. Ia menatap langit, dan melihat bayangan Bayu dan Dewi tersenyum kepadanya. Ia tersenyum kembali, lalu matanya terpejam.

Kutukan itu telah kembali. Rudi, yang kini dikuasai oleh kutukan, berjalan keluar dari hutan, belati di tangannya, matanya merah menyala. Ia berjalan menuju desa, mencari korban selanjutnya.

Di pinggir desa, seorang anak kecil bernama Rino sedang bermain. Ia melihat Rudi, dan ia terpesona oleh belati yang dipegangnya. Ia mendekati Rudi, dan bertanya, "Om, belati itu bagus sekali. Boleh aku lihat?"

Rudi menoleh, matanya merah menyala. Ia tersenyum, senyuman yang mengerikan. Ia memberikan belati itu kepada Rino.

Rino menyentuh belati itu, dan tiba-tiba, ia merasakan sakit kepala yang hebat. Ia melihat bayangan naga hitam melintas di sudut matanya. Ia menatap belati itu, dan ia tersenyum, senyuman yang mengerikan.

Kutukan itu kini berpindah ke Rino. Ia menatap Rudi, yang kini sadar, dan berkata, "Terima kasih, Om. Aku akan menjaganya."

Rudi merinding. Ia melihat Rino, dan ia tahu apa yang telah terjadi. Ia melihat kutukan itu kembali, dan ia tahu ia telah memulainya. Ia menatap Rino, dan berbisik, "Maafkan aku..."

Rino tidak peduli. Ia berjalan keluar dari desa, belati di tangannya, matanya merah menyala. Ia mencari korban selanjutnya. Kutukan itu telah kembali. Dan ia akan terus berlanjut.



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)