Masukan nama pengguna
Reno membuka matanya, merasakan pusing yang luar biasa. Kepalanya berdenyut, seolah-olah baru saja dihantam benda tumpul. Langit-langit putih bersih menyambut pandangannya, tanpa celah, tanpa goresan. Ia bangkit perlahan, menyadari dirinya berada di sebuah kamar yang steril dan minimalis. Tidak ada jendela, hanya sebuah pintu besi yang kokoh. Ingatan terakhirnya adalah saat ia sedang menyelidiki kasus korupsi besar di sebuah perusahaan multinasional. Ia merasa ada keanehan, tetapi ia tidak dapat mengingat detail lebih jauh. Pakaian yang dikenakannya berbeda, diganti dengan setelan abu-abu polos. Tiba-tiba, suara mekanis yang dingin terdengar dari pengeras suara di sudut ruangan.
"Selamat datang, partisipan. Anda adalah bagian dari sebuah proyek riset penting untuk memahami trauma kolektif. Proyek ini akan membutuhkan kerja sama Anda. Harap ikuti setiap instruksi dengan baik."
Di kamar lain, Sinta, seorang psikolog muda dengan rambut sebahu, juga terbangun dari ketidaksadarannya. Ia merasa bingung. Seingatnya, ia baru saja merayakan kelulusan magisternya. Ia melihat sekeliling, merasakan ketakutan yang merayap di hatinya. Ruangan yang ia tempati sangat mirip dengan milik Reno. Suara yang sama terdengar, memberikan penjelasan yang sama. Sinta, dengan naluri profesionalnya, langsung merasa ada sesuatu yang tidak beres. Proyek riset macam apa ini?
Andri, seorang seniman pemalu yang karyanya penuh dengan emosi, membuka matanya. Ia melihat sebuah kanvas kosong di sudut ruangan. Instingnya mengatakan bahwa ia harus segera melukis, tetapi ia tidak tahu harus melukis apa. Ia tidak dapat merasakan apa-apa, seolah-olah emosinya telah hilang. Suara yang sama mengulang pesan yang sama, dan Andri hanya bisa terdiam.
Di kamar yang berbeda, Lia, seorang guru yang penuh kasih, merasa panik. Ia memikirkan murid-muridnya. Apakah mereka baik-baik saja? Apakah ia akan bisa kembali ke sekolah? Ia mencoba memutar kenangan tentang hari terakhirnya. Ia hanya ingat, ia sedang mengoreksi ujian murid-muridnya. Suara yang sama pun terdengar, tetapi tidak ada kata-kata yang dapat menenangkan hatinya.
Di kamar terakhir, Banu, seorang veteran perang dengan wajah yang keras, mengamati sekeliling. Ia telah melalui banyak hal, dan ia tahu bagaimana harus bereaksi terhadap situasi yang aneh. Ia memeriksa setiap sudut kamar, mencoba mencari celah atau alat apa pun yang dapat membantunya keluar. Ia tidak percaya pada "proyek riset" ini.
"Para partisipan, harap keluar dari kamar Anda. Pintu akan terbuka secara otomatis," suara itu kembali terdengar. Pintu besi yang kokoh terbuka. Mereka keluar ke sebuah koridor panjang, melihat satu sama lain untuk pertama kalinya. Mereka adalah lima individu yang sangat berbeda, disatukan oleh nasib yang sama.
"Siapa kalian?" tanya Reno, dengan suara yang tegas.
Sinta menjawab, "Saya Sinta. Saya seorang psikolog."
"Reno. Jurnalis," balas Reno.
Andri hanya mengangguk, terlalu malu untuk berbicara. Lia, dengan senyum ramahnya, menyapa mereka, "Saya Lia. Senang bertemu kalian."
Banu hanya mengamati mereka tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Mereka berjalan menyusuri koridor, dan di ujungnya, mereka menemukan sebuah ruang komunal yang luas, dengan meja panjang di tengah. Suara dari pengeras suara kembali terdengar, "Anda akan bekerja sama dalam sebuah proyek. Proyek ini akan menguji kemampuan Anda untuk berkolaborasi dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial."
Mereka duduk di meja, dengan kebingungan dan kecurigaan yang terlihat jelas di wajah mereka. "Ada yang aneh di sini," bisik Sinta kepada Reno. "Ini bukan prosedur standar untuk sebuah riset."
"Saya tahu," jawab Reno. "Pakaian ini, kamar ini... ini lebih mirip penjara."
Andri melihat sekeliling, dan matanya tertuju pada sebuah layar besar di dinding. Layar itu menampilkan sebuah grafik yang rumit. Di atasnya, sebuah tulisan kecil bertuliskan "Proyek Senja: Fase I - Pembentukan Realitas".
"Proyek Senja?" Lia mengerutkan keningnya. "Aku belum pernah mendengar nama itu."
Tiba-tiba, layar itu berubah. Muncul sebuah gambar dari sebuah desa yang hancur. Suara narasi yang lembut, tetapi penuh kesedihan, terdengar. "Di desa ini, terjadi sebuah tragedi. Seluruh penduduknya meninggal karena wabah. Tetapi, sebuah tim ilmuwan berhasil menemukan vaksin. Mereka membutuhkan bantuan Anda untuk menyebarkan berita ini kepada seluruh dunia."
"Ini adalah kebohongan," Banu akhirnya angkat bicara. "Wabah apa? Di mana desa itu? Tidak ada berita tentang ini di media."
"Mungkin ini adalah sebuah simulasi," Reno mencoba berspekulasi.
"Tetapi, mengapa kita harus terlibat?" tanya Sinta.
Suara dari pengeras suara kembali terdengar, "Tugas Anda adalah merancang sebuah kampanye informasi untuk menyebarkan berita tentang vaksin ini. Anda memiliki waktu 48 jam. Jika Anda berhasil, Anda akan mendapatkan informasi tentang bagaimana Anda dapat kembali ke rumah."
Mereka mulai bekerja, meskipun dengan keengganan. Mereka mencoba berkolaborasi, tetapi ketegangan terasa di antara mereka. Reno, dengan insting jurnalisnya, mencoba mencari kejanggalan dalam cerita yang diberikan. Sinta, dengan pengetahuannya tentang psikologi, mencoba menganalisis perilaku orang-orang di balik "proyek" ini. Andri, dengan sensitivitasnya, merasa ada sesuatu yang tidak benar dengan energi di ruangan itu. Lia mencoba menjaga semangat kelompok, tetapi Banu hanya diam dan mengamati setiap gerakan mereka.
"Ini tidak masuk akal," kata Reno, frustrasi. "Tidak ada satu pun detail yang dapat diverifikasi."
"Mungkin memang tidak ada yang harus diverifikasi," balas Sinta. "Ini mungkin adalah tes psikologis."
"Tes psikologis macam apa yang menempatkan kita di sini tanpa persetujuan?" Banu akhirnya menanggapi. "Ini adalah penculikan."
"Tapi kita tidak bisa melakukan apa-apa," kata Lia, suaranya terdengar putus asa.
Mereka terus bekerja, mencoba menyelesaikan tugas yang diberikan, tetapi setiap anggota memiliki agenda yang berbeda. Reno mencoba mencari petunjuk untuk melarikan diri, Sinta mencoba menganalisis kebohongan, Andri mencoba mengekspresikan perasaannya melalui sketsa, dan Banu mencoba menemukan kelemahan dalam sistem keamanan. Hanya Lia yang benar-benar berusaha untuk menyelesaikan tugas tersebut, berharap bahwa jika mereka berhasil, mereka akan dapat pulang.
Di balik layar, sebuah kelompok yang menamakan dirinya "Senja" mengamati mereka. Pemimpin kelompok itu, seorang pria paruh baya dengan tatapan dingin, tersenyum. "Mereka mulai menunjukkan reaksi. Ini adalah awal yang bagus." Ia menunjuk pada sebuah layar yang menampilkan grafik kompleks tentang emosi kelima individu tersebut. "Fase pertama, pembentukan realitas, berhasil."
Seorang asistennya bertanya, "Apakah kita akan mulai dengan kebohongan pribadi sekarang, Pak?"
"Belum. Kita akan membiarkan kebohongan kolektif ini meresap terlebih dahulu. Kita akan melihat bagaimana mereka saling berinteraksi dan bereaksi terhadap informasi yang kita berikan. Kita akan mulai dari yang kecil, lalu meningkatkannya secara perlahan."
"Dan bagaimana dengan cerita latar belakang mereka? Reno adalah seorang jurnalis, ia akan mencoba mencari tahu."
"Kita akan memberinya informasi palsu. Kita akan memberinya alasan untuk meragukan orang-orang di sekitarnya. Kita akan membuatnya merasa sendirian. Ini adalah bagian dari 'Proyek Senja'."
"Baik, Pak. Kita akan mulai dengan Sinta. Kita akan membuatnya merasa bahwa Reno mencurigainya."
"Tepat," pemimpin itu menyeringai. "Saat kepercayaan hilang, maka semua akan runtuh."
Kembali ke ruang komunal, kelima individu tersebut masih berjuang. Mereka tidak menyadari bahwa mereka sedang berada di ambang kehancuran. Pintu yang terbuka adalah awal dari sebuah jebakan, dan kebohongan yang mereka dengar hanyalah permulaan. Mereka adalah pion, diatur dalam sebuah permainan yang mengerikan. Pertarungan mereka bukan melawan penjaga, melainkan melawan pikiran mereka sendiri.
"Bagaimana jika kita tidak bisa kembali?" kata Lia, suaranya bergetar.
"Kita akan kembali," jawab Reno dengan tegas. "Aku tidak akan membiarkan mereka menang."
Namun, di dalam hatinya, Reno tahu bahwa ia tidak memiliki kekuatan. Ia hanya seorang jurnalis. Ia tidak memiliki senjata, tidak memiliki alat, dan ia tidak tahu di mana ia berada. Ia hanya memiliki kecerdasan dan tekad, tetapi apakah itu cukup untuk melawan kebohongan yang disebarkan secara terorganisir?
Sinta melihat Reno, melihat ketegasan di matanya, dan ia mulai merasa ada sedikit harapan. Namun, pada saat yang sama, ia merasa ada sesuatu yang aneh. Reno tidak mengatakan sepatah kata pun tentang rencana pelariannya. Ia hanya mengatakan ia akan "melawan." Sinta mulai merasa bahwa Reno mungkin tahu lebih banyak daripada yang ia katakan. Atau, apakah ini hanya paranoia? Sinta tidak dapat membedakan.
Andri melihat Reno dan Sinta, dan ia mulai menggambar. Ia tidak tahu apa yang harus ia gambar, tetapi tangannya bergerak sendiri. Ia menggambar sebuah pohon yang layu, tanpa daun, di sebuah lanskap yang hancur. Ia tidak tahu mengapa, tetapi gambar itu mencerminkan perasaannya.
Banu, yang tetap diam selama ini, berdiri dan berjalan ke jendela. Jendela itu hanya memantulkan bayangannya. Ia melihat ke dalam matanya sendiri, dan ia melihat ketakutan. Ia telah melalui perang, tetapi ia tidak pernah merasa setakut ini. Dalam perang, setidaknya ia tahu siapa musuhnya. Di sini, ia tidak tahu. Musuhnya mungkin adalah mereka berlima, atau mereka berlima adalah satu-satunya harapan untuk keluar.
Malam tiba, dan mereka kembali ke kamar masing-masing. Pintu besi tertutup, mengunci mereka dalam isolasi. Reno tidak bisa tidur. Ia terus berpikir tentang apa yang terjadi. Ia yakin ada sesuatu yang salah. Ia memikirkan tunangannya, Lina. Ia berjanji akan menikahinya setelah ia menyelesaikan investigasi ini. Ia tidak bisa membiarkan mereka menang.
Di kamar sebelah, Sinta juga tidak bisa tidur. Ia memikirkan ibunya. Ibunya adalah seorang dokter, dan ia selalu mengajarkan Sinta untuk membantu orang lain. Ia bertanya-tanya, apakah ibunya akan bangga padanya sekarang? Ia tidak tahu, tetapi ia tahu bahwa ia harus keluar dari tempat ini.
Andri memandangi lukisan yang ia buat. Sebuah pohon layu di lanskap yang hancur. Ia merasa bahwa itu adalah lukisan terbaik yang pernah ia buat, tetapi ia juga merasa sedih. Ia tidak tahu mengapa ia merasa seperti itu.
Lia memikirkan murid-muridnya. Ia bertanya-tanya apakah mereka merindukannya. Ia mencoba mengingat nama-nama mereka, tetapi ia tidak bisa. Kenangan itu terasa kabur, seperti sebuah mimpi. Ia merasa ketakutan.
Banu hanya duduk di sudut kamar, membersihkan otaknya. Ia mencoba melupakan semuanya, mencoba menyingkirkan emosi-emosi yang tidak perlu. Ia tahu bahwa ia harus tetap tenang jika ia ingin keluar dari tempat ini.
Pagi tiba, dan mereka kembali ke ruang komunal. Tugas baru telah diberikan. Mereka diminta untuk memilih salah satu dari mereka untuk menjadi "pemimpin". Suara dari pengeras suara kembali terdengar, "Pilih seorang pemimpin yang akan mengambil keputusan untuk kelompok. Pemimpin yang Anda pilih akan memiliki hak untuk mendapatkan informasi tambahan."
Reno, dengan cepat, mengajukan diri. Ia adalah seorang jurnalis. Ia memiliki pengalaman dalam mengumpulkan informasi. Tetapi, Sinta menolak. "Ini adalah permainan. Mereka ingin kita saling bertarung."
"Ini bukan permainan, Sinta," jawab Reno. "Ini adalah satu-satunya cara kita untuk mendapatkan informasi."
"Bagaimana jika informasi itu palsu?" tanya Sinta.
"Kita akan menyaringnya," balas Reno.
Andri dan Lia ragu. Mereka tidak tahu harus memilih siapa. Banu, yang tetap diam, akhirnya angkat bicara. "Pilih Reno. Ia memiliki pengalaman."
Lia dan Andri, dengan kebingungan, setuju. Reno menjadi pemimpin. Ia mendapatkan sebuah tablet. Di layar tablet itu, muncul sebuah pesan. "Sinta adalah seorang pengkhianat. Ia bekerja untuk Senja. Ia adalah bagian dari proyek ini sejak awal."
Reno membaca pesan itu, dan ia merasa terkejut. Sinta adalah pengkhianat? Ia tidak percaya. Tetapi, tablet itu menampilkan sebuah foto. Sebuah foto Sinta sedang berbicara dengan salah satu anggota Senja, tertawa. Reno tidak bisa mempercayainya.
Di ruang pengawasan, pemimpin Senja tersenyum. "Fase kedua, penanaman ketidakpercayaan, berhasil."
Ia menunjuk pada grafik yang kompleks. Reno, Sinta, Andri, Lia, dan Banu. Emosi mereka mulai menunjukkan ketidakstabilan. Ketakutan, kecurigaan, dan paranoia mulai mengambil alih. Dan ini hanyalah permulaan.
Cahaya pagi yang dingin menyinari ruangan komunal saat mereka berkumpul kembali. Ketegangan terasa kental, tak sehangat mentari yang seharusnya. Malam sebelumnya, Reno telah terpilih sebagai pemimpin, dan ia kini memegang sebuah tablet yang menjadi satu-satunya penghubung mereka dengan dunia luar—atau setidaknya, dunia yang ingin mereka percayai.
"Mereka memberiku informasi," kata Reno, suaranya terdengar tegang. "Tentang proyek ini."
Ia memandang Sinta, dan Sinta merasakan sorot mata Reno yang berubah, dipenuhi dengan kecurigaan. Sinta mengerutkan kening. "Apa yang mereka katakan?"
Reno ragu. Ia teringat pesan di tablet itu, "Sinta adalah pengkhianat. Ia bekerja untuk Senja." Reno tidak ingin langsung percaya, tetapi ia juga tidak bisa mengabaikan foto Sinta yang sedang tertawa dengan seorang anggota Senja. Foto itu terlihat begitu nyata, begitu meyakinkan.
"Mereka memberikan tugas baru," kata Reno, menghindari pertanyaan Sinta. Ia membaca dari tabletnya, "Kita harus membuat sebuah 'cerita latar belakang' untuk desa yang terkena wabah. Kita harus menentukan siapa penduduknya, bagaimana mereka hidup, dan bagaimana mereka meninggal."
"Itu terdengar aneh," kata Lia, guru yang berusaha mempertahankan kehangatan. "Kenapa kita harus menciptakan cerita palsu? Bukankah itu tidak etis?"
"Ini adalah riset, Lia," jawab Sinta, suaranya terdengar dingin. "Mungkin ini adalah cara mereka untuk menguji imajinasi kita."
"Atau, cara mereka untuk menguji kita semua," sahut Banu dengan suara serak. Ia memandang Reno, lalu Sinta, dan kembali ke Reno. Matanya yang tajam seolah menimbang setiap gerakan dan kata-kata mereka.
Andri, si seniman, hanya terdiam, menggambar lingkaran-lingkaran di atas secarik kertas kosong. Garis-garisnya bergetar, mencerminkan ketidaknyamanan yang ia rasakan.
Selama proses pengerjaan, Reno mulai memisahkan diri. Ia sering memegang tabletnya, menatap layar dengan serius, dan sesekali melirik Sinta dengan tatapan dingin. Sinta, yang peka terhadap perubahan emosi, merasakan jarak yang diciptakan Reno. Ia mencoba berbicara dengan Reno, tetapi Reno selalu mengalihkan pembicaraan.
Sementara itu, di ruang pengawasan, para anggota Senja mengamati mereka.
"Lihat," kata seorang asisten kepada pimpinan. "Reno mulai menjauhi Sinta. Rencananya berhasil."
Pimpinan itu mengangguk, puas. "Ketidakpercayaan adalah racun yang paling efektif. Sekarang, mari kita beri mereka dosis lain. Sampaikan pesan baru kepada Sinta."
Di dalam fasilitas, Sinta tiba-tiba mendengar suara berbisik dari pengeras suara di kamarnya. "Andri cemburu pada Anda. Ia merasa Anda mencuri idenya tentang Proyek Senja."
Sinta terkejut. Ia tidak pernah berpikir tentang hal itu. Andri adalah orang yang pemalu dan pendiam. Sinta merasa bingung dan mulai meragukan Andri. Ia mulai menyadari bahwa setiap orang di sana, termasuk dirinya, mungkin memiliki motif tersembunyi.
Di koridor, Sinta berpapasan dengan Andri. Ia mencoba menyapa, tetapi Andri hanya menunduk dan buru-buru pergi. Sinta merasa sakit hati. Ia yakin bahwa bisikan itu benar. Perasaan curiga itu mulai menggerogoti hatinya.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Lia, melihat ekspresi Sinta yang berubah.
"Aku... aku tidak tahu," jawab Sinta. "Aku hanya merasa ada sesuatu yang tidak benar dengan Andri."
Lia menatapnya dengan bingung. "Andri? Dia tidak pernah menyakiti siapa pun."
"Itu yang kamu pikirkan," bisik Sinta, matanya dipenuhi keraguan.
Di sisi lain, Reno membaca pesan baru di tabletnya. Kali ini tentang Banu. "Banu adalah seorang pembunuh. Ia membunuh seorang prajurit tak berdosa selama perang. Ia menyembunyikan masa lalunya."
Reno kaget. Ia melihat Banu, yang sedang duduk di sudut, terlihat tenang dan dingin. Reno tidak ingin percaya, tetapi ia ingat sorot mata Banu yang penuh dengan kewaspadaan. Ia tidak bisa melupakan bagaimana Banu begitu cepat menyadari keanehan "proyek" ini. Mungkin Banu menyembunyikan sesuatu.
"Kita harus lebih hati-hati," kata Reno pada dirinya sendiri.
Seiring berjalannya waktu, kelompok itu semakin terpecah. Reno menolak bekerja sama dengan Sinta, Sinta menjaga jarak dari Andri, dan Andri hanya berinteraksi dengan Lia. Banu tetap menjadi sosok misterius, dan tidak ada yang berani mendekatinya. Mereka semua menjadi terisolasi, meskipun mereka berada dalam satu ruangan.
Di ruang pengawasan, pimpinan Senja melihat ke layar dengan senyum puas. "Mereka semua telah terisolasi. Mereka tidak lagi saling percaya."
"Apa langkah selanjutnya, Pak?" tanya asisten itu.
"Sekarang kita akan mulai menghancurkan kenangan mereka. Kita akan memberi mereka informasi pribadi yang salah," jawab pimpinan itu.
Malam itu, Reno kembali ke kamarnya. Tabletnya bergetar. Sebuah foto muncul. Itu adalah foto tunangannya, Lina, sedang berciuman dengan pria lain. Reno merasa dunianya runtuh. Hatinya hancur. Ia tidak percaya. Ia melihat nama di foto itu, "Lina dan Tom." Siapa Tom? Kenapa Lina melakukan ini? Air mata menetes dari matanya, dan ia mulai meragukan segala yang ia ketahui.
Di kamar Sinta, sebuah surat muncul di meja. Surat itu mengatakan bahwa ibunya meninggal karena penyakit. "Maaf, kami tidak dapat menghubungimu." Sinta merasakan sakit di hatinya. Ia tidak dapat mempercayainya. Ibunya adalah seorang dokter. Ibunya tidak pernah sakit. Tetapi, surat itu terlihat begitu nyata. Stempel, tulisan tangan... semuanya terlihat asli.
Di kamar Andri, sebuah lukisan yang ia buat, tiba-tiba terlihat seperti lukisan yang pernah ia jual. Sebuah pesan muncul di sudut lukisan itu, "Anda adalah seorang pencuri." Andri merasakan sakit yang luar biasa. Ia tidak pernah mencuri. Ia adalah seorang seniman yang jujur. Tetapi, lukisan itu terlihat begitu nyata. Ia mulai meragukan dirinya sendiri.
Di kamar Lia, sebuah foto keluarga muncul. Di foto itu, Lia terlihat tersenyum bahagia dengan keluarganya. Tetapi, sebuah tulisan kecil di sudut foto itu berbunyi, "Lia, kamu adalah seorang ibu yang gagal. Kamu tidak pernah bisa melindungi anakmu." Lia merasakan sakit yang luar biasa. Ia tidak pernah punya anak. Ia tidak tahu apa yang harus ia pikirkan.
Di kamar Banu, sebuah berita koran muncul. Berita itu mengatakan bahwa seorang prajurit yang ia bunuh di medan perang, adalah seorang ayah dari tiga anak yang tak berdosa. Banu merasa dunianya hancur. Ia tahu bahwa ia telah membunuh di medan perang, tetapi ia selalu berpikir bahwa itu adalah untuk kebaikan. Berita itu menghancurkan keyakinan yang ia pegang selama ini.
Pagi itu, mereka berkumpul kembali. Mereka semua terlihat hancur. Reno duduk di sudut, tidak berbicara dengan siapa pun. Sinta melihat Andri, dan ia merasa kasihan. Andri menatap lukisan di dinding, dan ia terlihat putus asa. Lia terlihat bingung dan sedih. Banu hanya diam, matanya dipenuhi dengan kesedihan dan penyesalan.
"Apa yang terjadi?" tanya Lia, dengan suara bergetar.
Tidak ada yang menjawab. Mereka semua tenggelam dalam penderitaan mereka sendiri. Kebohongan yang disebarkan oleh Senja telah bekerja dengan sempurna. Mereka semua hancur, terisolasi, dan tidak lagi saling percaya. Mereka adalah bayangan yang pudar, hancur oleh kebohongan yang sistematis.
"Proyek Senja" telah berhasil. Mereka telah menghancurkan psikologi kelima individu ini, dan mereka hanya menunggu kehancuran total.
"Sekarang," kata pimpinan Senja kepada asistennya. "Mari kita mulai fase ketiga. Kita akan membuat mereka saling bertarung."
"Bagaimana caranya, Pak?"
"Kita akan memberi mereka 'hadiah'," jawab pimpinan itu dengan senyum jahat. "Kita akan memberi mereka alasan untuk saling menyalahkan."
Asisten itu mengangguk. "Baik, Pak."
Di ruang komunal, sebuah kotak muncul di tengah meja. Di dalamnya, ada sebuah botol air dan sepotong roti. Suara dari pengeras suara kembali terdengar, "Ini adalah hadiah Anda. Ini adalah satu-satunya makanan dan minuman yang akan Anda dapatkan hari ini. Silakan bagikan."
Mereka semua menatap makanan dan minuman itu. Mata mereka dipenuhi dengan rasa lapar dan putus asa. Dan di situlah mereka, lima individu yang telah dihancurkan, berhadapan dengan pilihan yang mengerikan. Mereka harus saling bertarung, atau mati kelaparan. Dan di sinilah, "Proyek Senja" mencapai puncaknya.
Kotak berisi sebotol air dan sepotong roti itu menjadi pusat perhatian, sebuah objek yang kecil namun memiliki daya hancur yang besar. Mata kelima individu itu menatapnya, dipenuhi oleh campuran antara rasa lapar, keputusasaan, dan yang paling dominan, kecurigaan. Suara pengeras suara yang dingin telah mengumumkan bahwa itu adalah satu-satunya jatah mereka hari itu. Pilihan yang kejam.
Reno, yang kini menjadi bayangan dirinya yang cerdas, duduk diam. Pikirannya dipenuhi oleh foto Lina dan "Tom." Ia tidak bisa berhenti memikirkan pengkhianatan itu. Kenapa Lina melakukannya? Apakah ia terlalu sibuk dengan investigasinya sehingga ia mengabaikan Lina? Rasa bersalah dan kemarahan bercampur aduk, membakar hatinya. Reno melihat Sinta, dan pesan tentang pengkhianatan Sinta yang ia terima kembali terlintas di pikirannya. Ia tidak bisa lagi memercayai siapa pun.
Sinta, di sisi lain, menatap Andri. Ia melihat goresan-goresan di lukisan Andri yang mencerminkan kekacauan emosinya. Bisikan tentang Andri yang cemburu masih terngiang di telinganya. Sinta merasa bersalah karena telah memercayai bisikan itu, tetapi ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Andri kini lebih sering menyendiri, seolah-olah ia menyimpan sebuah rahasia.
Andri hanya diam, tangannya mengepal erat. Ia terus memikirkan tuduhan bahwa ia adalah seorang pencuri. Ia tidak pernah mencuri, tetapi lukisan yang ia buat, yang kini menjadi bukti, seolah-olah mengkhianatinya. Ia melihat Sinta, dan ia merasa Sinta tahu tentang hal itu. Ia merasa bahwa Sinta diam-diam mencurigainya, dan hal itu membuatnya sakit hati.
Lia, yang selalu berusaha menjaga kedamaian, kini tampak bingung. Kenangan palsu tentang anak yang ia gagal lindungi menghantuinya. Ia tidak tahu apakah ia harus percaya atau tidak. Ia melihat yang lain, melihat penderitaan yang terpancar dari mata mereka, dan ia merasa ingin membantu. Namun, ia tidak tahu bagaimana.
Banu, si veteran perang, duduk di sudut. Berita tentang prajurit tak berdosa yang ia bunuh masih terngiang di benaknya. Ia tidak bisa melupakan wajah anak-anak yang ditinggalkan prajurit itu. Ia telah membunuh, tetapi ia selalu berpikir itu adalah untuk kebaikan. Berita palsu itu telah menghancurkan keyakinannya. Ia melihat yang lain, melihat bagaimana mereka semua saling mencurigai, dan ia tahu bahwa mereka semua telah kalah.
"Kita harus membaginya," kata Lia, mencoba memecah keheningan yang mencekam.
"Bagaimana caranya?" tanya Sinta. "Kita tidak memiliki pisau, tidak ada alat untuk memotong roti itu."
"Kita bisa membaginya dengan tangan," kata Reno dengan suara yang serak. "Tetapi, bagaimana dengan airnya?"
"Kita bisa meminumnya bergantian," jawab Sinta.
"Tidak," sahut Banu. "Tidak ada yang bisa menjamin bahwa ada cukup air untuk kita semua."
"Lalu, apa yang kita lakukan?" tanya Lia, putus asa.
"Kita bisa mengadakan lotre," usul Reno, mencoba untuk tetap logis. "Kita akan menulis nama di secarik kertas, dan siapa pun yang namanya terpilih, ia akan mendapatkan makanan dan minuman itu."
"Itu tidak adil," protes Sinta. "Bagaimana jika ada yang tidak mendapatkan bagiannya?"
"Itu adalah satu-satunya cara adil yang kita miliki," jawab Reno. "Atau, kita bisa bertarung untuk itu."
Andri yang diam selama ini, tiba-tiba berdiri. "Aku tidak mau ikut. Aku tidak lapar." Ia kembali ke lukisannya, meninggalkan yang lain dalam perdebatan.
"Andri..." Lia mencoba memanggilnya, tetapi Andri tidak menoleh.
"Lihat," bisik Sinta kepada Reno. "Ia tidak mau makan. Ia mungkin benar-benar pencuri, yang merasa bersalah dan tidak mau makan."
"Atau, ia hanya tidak mau bertarung," balas Reno. "Kita semua sudah terlalu hancur."
Mereka berdebat selama berjam-jam, tidak ada yang dapat mencapai kesepakatan. Setiap orang memiliki ketakutan dan kecurigaan sendiri. Reno mencurigai Sinta, Sinta mencurigai Andri, dan Banu mencurigai semuanya. Lia, yang mencoba untuk menjadi penengah, akhirnya menyerah.
Di ruang pengawasan, pimpinan Senja tersenyum puas. "Mereka tidak bisa mencapai kesepakatan. Mereka telah hancur."
Asistennya bertanya, "Apa langkah selanjutnya, Pak?"
"Sekarang kita akan memulai fase terakhir. Kita akan memancing mereka untuk saling menyalahkan. Kita akan memberikan mereka hadiah-hadiah kecil, tetapi hanya untuk satu orang," jawab pimpinan itu.
Malam itu, di kamar Reno, sebuah kotak muncul di atas meja. Di dalamnya, ada sebuah botol air, sebuah roti, dan sebuah surat. Surat itu berbunyi, "Kami tahu Anda adalah pemimpin. Kami memberi Anda hadiah ini sebagai ucapan terima kasih. Tetapi, jangan beritahukan kepada yang lain. Mereka akan cemburu."
Reno merasa bingung. Ia tahu bahwa ini adalah sebuah jebakan, tetapi ia juga merasa lapar. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tidak bisa memberi tahu yang lain, karena mereka akan cemburu. Ia tidak bisa memakannya sendiri, karena itu akan membuatnya merasa bersalah.
Di kamar Sinta, muncul sebuah tablet baru. Di layar tablet itu, muncul sebuah foto Andri dan Lia sedang berbisik-bisik, terlihat akrab. Pesan itu berbunyi, "Andri dan Lia bersekongkol melawan Anda. Mereka akan membuang Anda dari kelompok. Hati-hati."
Sinta merasakan hatinya hancur. Ia tidak bisa mempercayai Lia, yang selalu bersikap baik kepadanya. Ia merasa bahwa ia telah tertipu. Ia tidak bisa memercayai siapa pun.
Di kamar Andri, sebuah kuas baru dan cat minyak muncul. Sebuah surat kecil berbunyi, "Kami tahu Anda adalah seorang seniman. Gunakan ini untuk mengekspresikan diri Anda. Anda tidak perlu membaginya dengan yang lain. Mereka tidak akan mengerti."
Andri melihat kuas dan cat itu, dan ia merasa senang. Ia telah lama tidak melukis. Tetapi, ia juga merasa bersalah. Mengapa ia mendapatkan ini sendirian?
Di kamar Lia, sebuah buku cerita anak-anak muncul. Sebuah pesan kecil berbunyi, "Kami tahu Anda adalah seorang guru. Bacalah ini. Ini akan membuat Anda merasa lebih baik. Jangan beritahukan kepada yang lain. Mereka akan cemburu."
Lia memegang buku itu, dan ia merasa bingung. Ia merasa bersalah karena ia mendapatkan buku itu sendirian. Tetapi, ia juga ingin membacanya.
Di kamar Banu, sebuah peta muncul. Peta itu menunjukkan sebuah jalan keluar dari fasilitas itu. Sebuah pesan berbunyi, "Ini adalah satu-satunya jalan keluar. Tetapi, Anda harus pergi sendirian. Jika Anda membawa yang lain, Anda akan tertangkap."
Banu menatap peta itu. Ia merasa bahwa ia memiliki kesempatan untuk melarikan diri, tetapi ia juga tidak bisa meninggalkan yang lain. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Pagi itu, mereka berkumpul kembali. Mereka semua terlihat lebih hancur dari sebelumnya. Reno tidak bisa menatap mata Sinta, Sinta tidak bisa menatap mata Andri dan Lia, Andri hanya menunduk, Lia terlihat bingung, dan Banu terlihat putus asa.
Mereka tidak bisa lagi saling memandang. Mereka telah dihancurkan oleh kebohongan yang sistematis, dan mereka semua kini terperangkap dalam penderitaan psikologis mereka sendiri. Reno depresi, Sinta paranoia, Andri merasa bersalah, Lia mengalami halusinasi, dan Banu merasa bersalah. Mereka semua telah kalah, dan "Proyek Senja" telah berhasil.
Pintu yang tertutup adalah awal dari kehancuran mereka, dan mereka tidak akan pernah bisa kembali seperti semula. Mereka adalah bayangan yang pudar, yang akan selamanya terperangkap dalam kegelapan pikiran mereka sendiri.
Pagi yang seharusnya membawa harapan justru menyambut mereka dengan beban yang lebih berat. Masing-masing kembali ke ruang komunal, namun kali ini bukan untuk berkolaborasi, melainkan untuk duduk terpisah dalam lingkaran kehancuran mereka sendiri. Meja panjang yang dulu menjadi pusat interaksi kini terasa seperti sekat tak kasat mata. Tidak ada yang berani memulai percakapan. Kepercayaan telah benar-benar lenyap, digantikan oleh kecurigaan dan penderitaan yang mendalam.
Reno, yang dulunya seorang jurnalis penuh semangat, kini hanya melihat ke lantai. Fotonya dan Lina yang tersenyum bahagia terasa seperti kenangan dari kehidupan lain, kehidupan yang kini telah dicuri darinya. Foto Lina yang sedang berciuman dengan pria lain di tabletnya terus-menerus muncul di benaknya, sebuah bukti nyata yang menghancurkan semua keyakinannya. Ia merasa dikhianati, tidak hanya oleh Lina, tetapi juga oleh dunia yang ia yakini. Ia melihat Sinta, dan bisikan tentang Sinta sebagai pengkhianat kembali terngiang. Ia merasa marah, tetapi ia terlalu lelah untuk berteriak.
Sinta, di sisi lain, merasa paranoia. Ia terus melirik Andri dan Lia. Bisikan di kamarnya tentang persekongkolan mereka membuatnya merasa takut. Ia melihat mereka berbisik-bisik, dan ia yakin bahwa mereka sedang merencanakan sesuatu untuk melawannya. Rasa sakit hati dari tuduhan Reno, ditambah dengan ketakutan baru ini, membuat Sinta merasa terisolasi sepenuhnya.
Andri, si seniman pemalu, kini tidak lagi menggambar. Ia hanya duduk diam, memandangi kuas dan cat minyak yang ia terima. Ia tahu ia tidak mencuri karya orang lain, tetapi bisikan itu telah menanamkan keraguan yang dalam di hatinya. Ia merasa bersalah, dan ia tidak tahu mengapa. Ia menundukkan kepalanya, menghindari tatapan mata Sinta yang penuh kecurigaan. Ia tidak bisa lagi mengekspresikan dirinya, karena ia merasa lukisannya akan menjadi bukti lain yang melawannya.
Lia, sang guru yang penuh kasih, kini terlihat kosong. Kenangan palsu tentang anak yang ia gagal lindungi telah menghancurkan jiwanya. Ia tidak bisa mengingat apakah ia pernah memiliki anak atau tidak. Ia merasa bingung, dan ia mulai sering mengalami halusinasi. Ia terkadang melihat anak-anak kecil bermain di sekitarnya, tertawa dan berlari, tetapi ketika ia mencoba mendekati mereka, mereka menghilang.
Banu, si veteran perang, duduk di sudut, jauh dari yang lain. Peta yang ia terima malam sebelumnya adalah sebuah jebakan, ia tahu itu. Tetapi, ia juga tahu bahwa itu adalah satu-satunya jalan keluar. Ia merasa terjebak di antara pilihan yang mengerikan: melarikan diri sendirian dan meninggalkan yang lain, atau tetap di sana dan mati bersama mereka. Kabar tentang prajurit tak berdosa yang ia bunuh terus menghantuinya. Ia merasa bahwa ia adalah monster, dan ia tidak pantas untuk hidup.
Tiba-tiba, suara pengeras suara kembali terdengar, memecah keheningan yang mencekam. "Partisipan, tugas baru telah diberikan. Kami ingin kalian membuat sebuah cerita tentang 'keluarga' di desa yang terkena wabah. Kalian harus memutuskan siapa anggota keluarganya, bagaimana mereka berinteraksi, dan bagaimana mereka meninggal."
Tidak ada yang bergerak. Tidak ada yang menanggapi. Masing-masing sibuk dengan penderitaan mereka sendiri.
"Kami tahu Anda semua merasa lelah," suara itu melanjutkan, dengan nada yang seolah-olah penuh empati. "Tetapi, jika Anda tidak menyelesaikan tugas ini, kami tidak akan dapat membantu Anda kembali ke rumah."
Kata-kata itu tidak mempan. Mereka semua tahu bahwa ini adalah sebuah permainan, sebuah manipulasi. Mereka tidak lagi percaya pada janji-janji kosong itu.
Di ruang pengawasan, pimpinan Senja melihat ke layar dengan tatapan dingin. "Mereka tidak mau bekerja sama lagi," katanya kepada asistennya. "Ini adalah awal dari kehancuran total. Sekarang, mari kita tingkatkan intensitasnya."
"Apa yang harus kita lakukan, Pak?" tanya asisten itu.
"Kita akan memberikan mereka 'petunjuk' palsu. Kita akan membuat mereka saling menyalahkan dan bertarung satu sama lain," jawab pimpinan itu.
Sebuah pesan baru muncul di tablet Reno. Pesan itu berisi foto Sinta yang sedang tertawa dengan seorang anggota Senja, dan di bawahnya ada sebuah tulisan, "Sinta adalah otak di balik Proyek Senja. Ia yang merancang semuanya." Reno merasa dunianya hancur. Ia tidak percaya bahwa Sinta, seorang psikolog muda, dapat melakukan hal sekejam ini. Tetapi, foto itu adalah bukti nyata.
Di kamar Sinta, sebuah bisikan baru terdengar, "Andri dan Lia berencana untuk membunuhmu. Mereka ingin mengambil alih posisimu sebagai pemimpin kelompok." Sinta merasa ketakutan. Ia melihat Andri dan Lia yang duduk bersama, dan ia yakin bahwa mereka sedang merencanakan sesuatu yang mengerikan.
Di kamar Andri, sebuah surat muncul di meja. Surat itu berbunyi, "Reno dan Banu akan menyalahkanmu atas semua yang terjadi. Mereka akan mengatakan bahwa kamu adalah penyebab kehancuran kelompok." Andri merasa tertekan. Ia merasa bahwa ia adalah kambing hitam, dan ia tidak bisa melakukan apa-apa.
Di kamar Lia, buku cerita yang ia terima tiba-tiba berubah. Halaman-halaman itu kini dipenuhi dengan gambar-gambar mengerikan tentang kematian, dan di tengahnya, ada sebuah foto Lia sedang tersenyum dengan senyuman yang jahat. Sebuah pesan berbunyi, "Anda adalah monster." Lia menjerit, melemparkan buku itu ke sudut ruangan.
Di kamar Banu, peta yang ia terima tiba-tiba dipenuhi dengan darah, dan di tengahnya ada tulisan, "Jika kamu melarikan diri, kamu akan membunuh kami semua." Banu merasa dunianya hancur. Ia merasa bahwa ia tidak memiliki pilihan, dan ia harus tetap tinggal di sana.
Ketika mereka kembali ke ruang komunal, suasana menjadi semakin tegang. Reno menatap Sinta dengan kemarahan yang membara, Sinta menatap Andri dan Lia dengan ketakutan, Andri hanya menunduk, Lia gemetar ketakutan, dan Banu terlihat putus asa.
Mereka semua saling mencurigai, saling menyalahkan. Masing-masing merasa bahwa ia adalah korban dari yang lain. Tidak ada lagi kerja sama, tidak ada lagi harapan. Mereka semua telah hancur.
Reno, yang dulunya seorang jurnalis yang penuh semangat, kini menderita depresi klinis yang parah. Ia tidak lagi peduli dengan investigasi atau kebenaran. Ia hanya ingin mati.
Sinta, seorang psikolog yang cerdas, kini menderita paranoia dan halusinasi. Ia tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang palsu. Ia melihat bayangan yang bergerak di setiap sudut ruangan, dan ia mendengar bisikan yang tidak ada.
Andri, si seniman yang sensitif, kini menderita gangguan kepribadian disosiatif. Ia tidak lagi bisa merasakan emosi, dan ia tidak tahu siapa dirinya. Ia hanya sebuah cangkang kosong, tanpa jiwa.
Lia, guru yang penuh kasih, kini menderita gangguan stres pascatrauma (PTSD) yang parah. Ia sering mengalami halusinasi dan mimpi buruk tentang anak-anak yang ia gagal lindungi. Ia tidak bisa lagi mengingat siapa dirinya.
Banu, si veteran perang yang tangguh, kini menderita PTSD yang parah. Ia sering mengalami kilas balik tentang perang dan pembunuhan yang ia lakukan. Ia tidak bisa lagi percaya pada dirinya sendiri.
Mereka semua telah hancur. Mereka adalah bayangan yang pudar, yang akan selamanya terperangkap dalam kegelapan pikiran mereka sendiri.
Di ruang pengawasan, pimpinan Senja melihat ke layar, dan ia tersenyum. "Proyek Senja" telah berhasil. Mereka telah menghancurkan lima individu, dan mereka telah membuktikan bahwa realitas dapat dimanipulasi. Mereka telah membuktikan bahwa kebohongan dapat lebih kuat daripada kebenaran. Dan mereka hanya akan menunggu kehancuran total dari kelima individu tersebut. Mereka tidak tahu bahwa seseorang di luar sana, seorang anggota Senja yang bernama Jono, merasa bersalah dan sedang merencanakan sesuatu.
Hari-hari berikutnya di dalam fasilitas Senja terasa seperti siksaan yang tak berujung. Kelima individu itu kini hidup dalam isolasi total, bahkan saat mereka berada dalam satu ruangan. Kebersamaan fisik tidak lagi berarti. Mereka adalah lima jiwa yang terpisah, terkunci dalam labirin kebohongan dan penderitaan mereka sendiri.
Reno, yang kini menjadi sosok apatis, duduk di sudut ruangan dengan tatapan kosong. Ia tidak lagi melihat Sinta sebagai pengkhianat, tetapi sebagai sebuah bayangan yang tidak berarti. Dunianya kini hanya berpusat pada rasa sakit kehilangan Lina. Depresi klinisnya semakin parah. Ia tidak lagi makan atau minum kecuali terpaksa. Kekuatan yang dulu ia miliki sebagai seorang jurnalis kini telah lenyap. Ia hanya ingin semua ini berakhir. Sesekali, ia akan mengambil tabletnya, memutar ulang foto Lina yang berciuman dengan Tom, dan setiap kali ia melakukannya, ia merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, sebuah perasaan yang tidak menyenangkan yang ia tidak dapat hilangkan. Ia tidak lagi bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang palsu. Apakah Lina benar-benar mengkhianatinya? Ia tidak tahu, dan ia tidak lagi peduli.
Sinta, yang kini menderita paranoia yang parah, terus melirik ke sekeliling. Ia melihat bayangan di setiap sudut ruangan, mendengar bisikan yang tidak ada. Bisikan itu terus-menerus mengatakan bahwa Andri dan Lia sedang merencanakan sesuatu yang buruk. Ia melihat Andri dan Lia berbisik-bisik, dan ia merasa bahwa mereka sedang membicarakannya. Suatu malam, ia mendengar bisikan di kamarnya yang mengatakan bahwa mereka berencana untuk membunuhnya. Sinta menjerit, melemparkan barang-barang di kamarnya, dan ia tidak dapat tidur selama berhari-hari. Ia terus-menerus berhalusinasi. Ia melihat bayangan hitam mendekatinya, dan ia mendengar suara-suara yang tidak ada. Ia merasa bahwa ia akan gila.
Andri, si seniman yang sensitif, kini menjadi cangkang kosong. Ia tidak lagi bisa merasakan emosi. Ia tidak lagi menggambar. Ia hanya duduk diam, menatap kosong ke dinding. Lukisan yang ia buat, yang dulu penuh dengan emosi, kini terlihat seperti lukisan yang dibuat oleh orang lain. Ia tidak tahu siapa dirinya. Ia merasa bahwa ia adalah sebuah cangkang kosong, tanpa jiwa, tanpa identitas. Ia menderita gangguan identitas disosiatif, dan ia tidak dapat mengingat siapa dirinya, apa yang ia lakukan, dan mengapa ia berada di sana. Ia hanya tahu bahwa ia harus tetap diam dan tidak menarik perhatian.
Lia, sang guru yang penuh kasih, kini menderita PTSD yang parah. Ia terus-menerus mengalami halusinasi dan mimpi buruk tentang anak-anak yang ia gagal lindungi. Ia melihat anak-anak kecil bermain di sekitarnya, tertawa dan berlari, tetapi ketika ia mencoba mendekati mereka, mereka menghilang. Suatu malam, ia mendengar bisikan yang mengatakan bahwa ia adalah seorang ibu yang gagal, dan ia mulai menjerit. Ia tidak dapat mengingat siapa dirinya, apa yang ia lakukan di sana, dan mengapa ia harus menderita. Ia hanya tahu bahwa ia harus melarikan diri, tetapi ia tidak tahu ke mana.
Banu, si veteran perang yang tangguh, kini menderita PTSD yang parah. Ia terus-menerus mengalami kilas balik tentang perang dan pembunuhan yang ia lakukan. Ia melihat wajah prajurit yang ia bunuh, dan ia mendengar suara anak-anaknya yang menangis. Peta yang ia terima, yang menjanjikan jalan keluar, kini terlihat seperti sebuah jebakan. Ia merasa bahwa ia tidak pantas untuk hidup, dan ia merasa bersalah. Ia tidak lagi percaya pada dirinya sendiri, pada kebenaran, pada apa pun. Ia hanya ingin semua ini berakhir.
Kelima individu itu kini hidup dalam neraka mereka sendiri. Mereka semua telah hancur. Mereka adalah bayangan yang pudar, yang akan selamanya terperangkap dalam kegelapan pikiran mereka sendiri.
Di ruang pengawasan, pimpinan Senja melihat ke layar dengan tatapan dingin. Ia tersenyum. "Proyek Senja" telah berhasil. Mereka telah menghancurkan lima individu, dan mereka telah membuktikan bahwa realitas dapat dimanipulasi. Mereka telah membuktikan bahwa kebohongan dapat lebih kuat daripada kebenaran. Dan mereka hanya akan menunggu kehancuran total dari kelima individu tersebut.
Namun, di balik layar, ada seorang anggota Senja yang bernama Jono, yang merasa bersalah atas semua kekejaman ini. Jono adalah seorang ahli teknologi, dan ia adalah orang yang merancang semua manipulasi ini. Namun, ia tidak pernah menyangka bahwa eksperimen ini akan begitu kejam. Ia melihat bagaimana kelima individu itu hancur, dan ia merasa bersalah. Ia tidak bisa lagi melihat mereka menderita. Ia harus melakukan sesuatu.
Suatu malam, ketika semua anggota Senja tidur, Jono menyelinap ke ruang kontrol. Ia mulai merancang sebuah "pintu keluar" dari fasilitas itu. Ia tidak dapat mematikan seluruh sistem, tetapi ia dapat membuat celah kecil yang dapat digunakan oleh Reno untuk melarikan diri. Ia tahu bahwa Reno adalah seorang jurnalis, dan ia memiliki kecerdasan untuk menemukan petunjuk-petunjuk tersembunyi.
Jono mulai menyisipkan petunjuk-petunjuk kecil di setiap ruangan. Ia menyisipkan kode-kode tersembunyi di dalam "proyek" yang harus mereka kerjakan. Ia menyisipkan pesan-pesan tersembunyi di dalam tablet Reno. Ia menyisipkan petunjuk di dalam peta yang ia berikan kepada Banu. Ia berharap bahwa Reno akan cukup cerdas untuk menemukan petunjuk-petunjuk ini.
Jono tahu bahwa ia mengambil risiko. Jika ia tertangkap, ia akan dibunuh. Tetapi, ia tidak bisa lagi melihat mereka menderita. Ia harus melakukan sesuatu. Ia adalah satu-satunya harapan mereka, satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Dan ia hanya berharap bahwa Reno akan cukup cerdas untuk menemukan petunjuk-petunjuknya.
Pagi itu, ketika mereka kembali ke ruang komunal, Reno melihat tabletnya. Sebuah pesan baru muncul. Pesan itu adalah sebuah kode, yang ia tidak mengerti. Tetapi, ia merasa bahwa itu adalah sebuah pesan penting. Ia mulai menganalisis kode itu, dan ia merasa ada sesuatu yang tidak benar dengan semua ini. Ia merasa bahwa ia harus mencari tahu.
Di kamar Banu, peta yang ia terima tiba-tiba berubah. Sebuah pesan baru muncul di peta itu, "Jalan ini adalah sebuah jebakan. Ada jalan keluar lain." Banu melihat pesan itu, dan ia merasa bahwa ia memiliki kesempatan untuk melarikan diri. Tetapi, ia juga tahu bahwa ia harus mencari tahu lebih banyak.
Sinta, Lia, dan Andri masih terperangkap dalam penderitaan mereka sendiri. Mereka tidak melihat petunjuk-petunjuk itu. Mereka tidak dapat membedakan mana yang nyata dan mana yang palsu. Mereka hanya hidup dalam neraka mereka sendiri.
Reno dan Banu, dengan secercah harapan yang baru, mulai mencari petunjuk-petunjuk itu. Mereka mulai bekerja sama, meskipun dengan kecurigaan yang tersisa. Mereka tahu bahwa mereka harus keluar dari sana. Dan mereka tahu bahwa mereka harus bertarung melawan kebohongan yang telah menghancurkan mereka. Mereka adalah satu-satunya harapan mereka, satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Dan mereka hanya berharap bahwa mereka akan berhasil.
Pagi itu, di ruang komunal yang penuh dengan kehampaan, Reno tiba-tiba merasakan dorongan yang sudah lama hilang. Sebuah pesan samar di tabletnya, sebuah kombinasi angka dan huruf yang tidak masuk akal, memicu naluri investigasinya yang lama terpendam. Itu bukan pesan ancaman atau kebohongan, melainkan sebuah teka-teki yang menantang. Di sisi lain, Banu juga menemukan keanehan pada peta yang ia dapatkan. Garis-garis yang tadinya hanya menunjukkan jalan buntu, kini memiliki titik-titik yang berkelip samar. Titik-titik itu seolah-olah mengisyaratkan sebuah jalur rahasia.
Reno, yang dulunya tenggelam dalam depresi, kini menemukan fokus baru. Ia mulai menganalisis kode itu, mencoba mencocokkannya dengan pola-pola yang ia lihat di sekitar ruangan. Ia melihat Sinta, dan bisikan tentang pengkhianatan Sinta yang ia terima, kini terasa seperti sebuah kebohongan yang disengaja. Ia mulai bertanya-tanya, "Bagaimana jika semua ini adalah kebohongan?" Pertanyaan itu, yang dulu ia takutkan, kini menjadi satu-satunya harapan.
Banu, yang dulunya terperangkap dalam rasa bersalah dan PTSD, kini merasakan sesuatu yang familiar: sebuah misi. Peta itu memberinya tujuan. Ia tahu bahwa ia tidak bisa keluar sendirian. Ia harus membawa yang lain. Ia melihat Reno, dan ia tahu bahwa Reno adalah satu-satunya yang dapat membantunya. Mereka berdua, yang dulunya saling mencurigai, kini menemukan alasan untuk bekerja sama.
Namun, di sisi lain, Sinta, Andri, dan Lia masih terperangkap dalam neraka mereka sendiri. Sinta masih menderita paranoia. Ia melihat Reno dan Banu berbisik-bisik, dan ia yakin bahwa mereka sedang merencanakan sesuatu yang mengerikan. Ia tidak dapat membedakan mana yang nyata dan mana yang palsu. Ia melihat bayangan yang bergerak di setiap sudut ruangan, dan ia mendengar bisikan yang mengatakan bahwa Reno dan Banu akan membunuhnya.
Andri, si seniman yang sensitif, kini menjadi cangkang kosong. Ia tidak lagi bisa merasakan emosi, dan ia tidak tahu siapa dirinya. Ia hanya duduk diam, menatap kosong ke dinding. Lukisan yang ia buat, yang dulu penuh dengan emosi, kini terlihat seperti lukisan yang dibuat oleh orang lain. Ia menderita gangguan identitas disosiatif, dan ia tidak dapat mengingat siapa dirinya.
Lia, sang guru yang penuh kasih, kini menderita PTSD yang parah. Ia terus-menerus mengalami halusinasi dan mimpi buruk tentang anak-anak yang ia gagal lindungi. Ia melihat anak-anak kecil bermain di sekitarnya, tertawa dan berlari, tetapi ketika ia mencoba mendekati mereka, mereka menghilang. Ia tidak dapat mengingat siapa dirinya, apa yang ia lakukan di sana, dan mengapa ia harus menderita.
Reno dan Banu mencoba berbicara dengan mereka, tetapi tidak ada yang menanggapi. Sinta menjerit ketika Reno mencoba mendekatinya, Andri hanya menatap kosong ke dinding, dan Lia terus-menerus gemetar ketakutan. Mereka semua telah hancur. Mereka adalah bayangan yang pudar, yang akan selamanya terperangkap dalam kegelapan pikiran mereka sendiri.
Di ruang pengawasan, pimpinan Senja melihat ke layar. Ia tersenyum. "Lihatlah, Jono. Rencanamu tidak berhasil," katanya kepada Jono, yang berdiri di sebelahnya. "Mereka tidak dapat lagi berkomunikasi. Mereka semua telah hancur."
Jono tidak menanggapi. Ia tahu bahwa rencananya tidak akan berhasil jika mereka tidak dapat berkomunikasi. Tetapi, ia tidak menyerah. Ia tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu.
Malam itu, Jono menyelinap ke ruang kontrol. Ia mulai menyisipkan pesan baru di tablet Reno. Pesan itu adalah sebuah video. Video itu menunjukkan Lina, tunangan Reno, sedang berbicara dengan seorang pria yang ia cintai. Pria itu adalah ayahnya, yang sedang sakit. Dan ia menceritakan kepada ayahnya bahwa ia harus berpura-pura mencintai Reno, untuk mendapatkan uang dari keluarganya. Video itu adalah sebuah kebohongan yang disengaja.
Jono juga menyisipkan pesan baru di kamar Sinta. Pesan itu adalah sebuah surat. Surat itu adalah surat dari ibunya, yang mengatakan bahwa ia sangat merindukannya. Tetapi, di bawah surat itu, ada sebuah pesan kecil yang berbunyi, "Jangan percaya pada mereka. Mereka berbohong padamu."
Di kamar Andri, Jono menyisipkan pesan baru. Pesan itu adalah sebuah lukisan yang ia buat, yang menunjukkan sebuah pohon yang layu, tanpa daun, di sebuah lanskap yang hancur. Tetapi, di bawah lukisan itu, ada sebuah tulisan yang berbunyi, "Anda tidak mencuri. Anda adalah seorang seniman yang jujur."
Di kamar Lia, Jono menyisipkan pesan baru. Pesan itu adalah sebuah foto keluarga Lia. Di foto itu, Lia terlihat tersenyum bahagia dengan keluarganya. Tetapi, di bawah foto itu, ada sebuah tulisan kecil yang berbunyi, "Anda adalah seorang guru yang baik. Anak-anak Anda merindukan Anda."
Di kamar Banu, Jono menyisipkan pesan baru. Pesan itu adalah sebuah berita koran yang asli. Berita itu mengatakan bahwa prajurit yang ia bunuh adalah seorang prajurit yang menyerah, dan ia tidak memiliki pilihan lain.
Jono tahu bahwa pesan-pesan ini mungkin tidak akan berhasil. Tetapi, ia harus mencoba. Ia adalah satu-satunya harapan mereka.
Pagi itu, ketika mereka kembali ke ruang komunal, Reno melihat video itu. Ia melihat Lina, dan ia merasakan kemarahan yang membara. Tetapi, ia juga merasakan sesuatu yang aneh. Ia tidak dapat melihat Tom. Ia hanya melihat Lina dan ayahnya. Dan ia tahu bahwa ia telah dibohongi. Ia merasakan sesuatu yang aneh. Ia merasakan bahwa ia harus mencari tahu.
Sinta membaca surat dari ibunya. Ia melihat pesan kecil di bawah surat itu, dan ia mulai ragu. Ia mulai bertanya-tanya, "Apakah mereka benar-benar berbohong padaku?"
Andri melihat lukisan yang ia buat, dan ia melihat pesan di bawahnya. Ia mulai merasakan sesuatu yang aneh. Ia merasakan bahwa ia harus mencari tahu.
Lia melihat foto keluarganya, dan ia melihat pesan di bawahnya. Ia mulai merasakan sesuatu yang aneh. Ia merasakan bahwa ia harus mencari tahu.
Banu melihat berita koran yang asli. Ia melihat wajah prajurit yang ia bunuh, dan ia melihat berita itu. Ia merasa bahwa ia tidak bersalah. Ia merasakan bahwa ia harus mencari tahu.
Mereka semua kini memiliki secercah harapan. Mereka semua kini memiliki alasan untuk bertarung. Mereka semua kini memiliki alasan untuk keluar dari sana. Dan mereka semua tahu bahwa mereka harus melakukannya bersama-sama. Mereka adalah satu-satunya harapan mereka.
Sinar matahari yang redup menyusup melalui celah-celah ventilasi, menyinari debu yang menari di udara. Ruang komunal kini tak lagi diisi oleh keheningan yang mencekam, melainkan oleh bisikan-bisikan pelan yang penuh dengan keraguan dan harapan yang rapuh. Perubahan ini dimulai oleh secercah cahaya yang Jono tanamkan dalam kegelapan mereka.
Reno, dengan tablet di tangannya, memutar ulang video Lina. Kali ini, ia melihat dengan mata kepala seorang jurnalis, bukan kekasih yang hancur. Ia memperhatikan detail-detail kecil: sudut pengambilan gambar yang tidak biasa, ekspresi Lina yang terlihat dipaksakan, dan yang paling penting, sosok "Tom" yang ternyata adalah ayah Lina, bukan kekasih barunya. Video itu adalah rekayasa yang sangat cerdik. Reno merasakan gelombang kemarahan, tetapi kali ini kemarahan itu tidak ditujukan pada Lina, melainkan pada orang-orang yang telah memanipulasi perasaannya.
"Ini palsu," gumam Reno, suaranya serak namun penuh tekad. "Video ini palsu."
Sinta, yang masih diliputi paranoia, mendengar Reno. Ia mendekat dengan hati-hati. "Apa yang palsu?"
Reno menunjukkan tabletnya. Sinta melihat video itu, dan ia menyadari betapa kejamnya manipulasi ini. Sinta, dengan pengetahuannya sebagai psikolog, mulai menghubungkan titik-titik. Bisikan-bisikan di kamarnya, surat palsu dari ibunya, dan kini video ini. Semua itu adalah sebuah skema besar untuk menghancurkan mereka.
Di sisi lain ruangan, Banu menatap peta yang kini berlumuran darah palsu. Ia melihat garis-garis yang berkelip samar dan pesan tersembunyi yang mengatakan ada jalan lain. Ia merasa bahwa ini adalah petunjuk, bukan jebakan. Hati Banu, yang tadinya hancur oleh rasa bersalah, kini dipenuhi oleh tekad untuk bertahan hidup. Ia tahu, ia harus membawa mereka keluar. Ia adalah seorang veteran. Ia tahu bagaimana merencanakan sebuah pelarian.
Lia, yang masih gemetar, memeluk buku cerita anak-anak. Namun, kini ia tidak melihat gambar-gambar mengerikan di dalamnya, melainkan sebuah foto keluarganya yang tersenyum bahagia. Pesan di bawah foto itu, "Anda adalah seorang guru yang baik. Anak-anak Anda merindukan Anda," seolah-olah mengembalikan sebagian jiwanya yang hilang. Lia mulai menangis, bukan karena kesedihan, tetapi karena ia akhirnya merasa bahwa ia belum sepenuhnya hilang.
Andri, si seniman, memegang kuas dan cat minyak yang ia terima. Ia tidak tahu mengapa, tetapi ia merasa bahwa ia harus melukis. Ia mulai menggambar, bukan pohon layu, tetapi sebuah lukisan tentang dirinya sendiri, sebuah lukisan yang menunjukkan sebuah jiwa yang hancur namun masih memiliki harapan. Ia tidak lagi merasa kosong, tetapi ia merasa bahwa ia harus mencari tahu.
"Ada yang membantu kita," kata Reno, dengan suara yang penuh semangat. "Pesan-pesan ini, petunjuk-petunjuk ini, tidak mungkin berasal dari mereka."
"Siapa?" tanya Sinta. "Siapa yang akan membantu kita?"
"Aku tidak tahu," jawab Reno. "Tapi, kita harus bekerja sama. Kita harus keluar dari sini."
Mereka berlima, yang dulunya terpisah oleh kebohongan, kini bersatu kembali. Reno, dengan kecerdasan investigasinya, memimpin. Banu, dengan pengalaman militernya, merencanakan. Sinta, dengan pengetahuannya tentang psikologi, menganalisis. Lia, dengan kebaikan hatinya, menjaga semangat kelompok. Dan Andri, dengan sensitivitasnya, merasakan energi yang tidak benar di sekitar mereka.
Mereka mulai bekerja sama. Mereka mengumpulkan petunjuk-petunjuk tersembunyi yang Jono berikan. Mereka menemukan kode-kode rahasia, pesan-pesan tersembunyi, dan petunjuk-petunjuk kecil yang tersebar di seluruh ruangan. Mereka mulai menyatukan potongan-potongan teka-teki itu, dan mereka mulai melihat gambaran yang lebih besar.
"Mereka menggunakan informasi palsu untuk menghancurkan kita," kata Sinta, matanya dipenuhi dengan amarah. "Mereka menanamkan keraguan dan ketakutan di dalam hati kita."
"Tepat," jawab Reno. "Dan sekarang, kita akan menggunakan petunjuk-petunjuk ini untuk menghancurkan mereka."
Banu menunjuk pada sebuah celah kecil di dinding yang ia temukan. "Ini adalah jalan keluar," katanya. "Tetapi, kita harus melewati sebuah koridor yang penuh dengan kamera dan sensor."
"Kita akan melakukannya," kata Reno. "Kita akan menggunakan pengetahuanku, pengalaman Banu, dan kecerdasan Sinta. Kita akan keluar dari sini."
Lia, yang kini terlihat lebih kuat, tersenyum. "Kita akan keluar. Kita akan kembali ke kehidupan kita."
Andri mengangguk. Ia tidak lagi merasa kosong, tetapi ia merasa bahwa ia harus keluar dari sana. Ia merasa bahwa ia harus melukis lagi.
Namun, di ruang pengawasan, pimpinan Senja melihat ke layar dengan tatapan dingin. Ia tidak menyadari bahwa mereka telah menemukan petunjuk-petunjuk itu. Ia hanya melihat kelima individu itu bekerja sama, dan ia merasa marah. Ia tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu.
Ia menekan sebuah tombol, dan sebuah pesan baru muncul di tablet Reno. Pesan itu adalah sebuah foto. Sebuah foto Jono, anggota Senja, sedang berbicara dengan seorang pria yang ia cintai. Pria itu adalah ayahnya, yang sedang sakit. Dan ia menceritakan kepada ayahnya bahwa ia harus berpura-pura mencintai Reno, untuk mendapatkan uang dari keluarganya. Video itu adalah sebuah kebohongan yang disengaja.
Pimpinan Senja tahu bahwa Reno tidak akan percaya pada kebohongan ini. Tetapi, ia tahu bahwa ia dapat menghancurkan harapan mereka. Ia dapat membunuh Jono. Ia dapat membuat mereka merasa bahwa mereka tidak memiliki harapan. Dan ia hanya akan menunggu kehancuran total dari kelima individu itu.
Namun, Reno, yang dulunya tenggelam dalam depresi, kini memiliki harapan. Ia tahu bahwa ia harus keluar dari sana. Ia tahu bahwa ia harus bertarung. Ia tahu bahwa ia harus menang. Dan ia tahu bahwa ia harus melakukannya bersama-sama. Mereka adalah satu-satunya harapan mereka. Dan mereka hanya berharap bahwa mereka akan berhasil.
Di balik tembok-tembok tebal fasilitas Senja, sebuah ketenangan yang tak wajar menyelimuti ruang pengawasan. Pimpinan Senja, yang mengenakan kacamata berbingkai tipis, tersenyum sinis sambil menatap layar monitor. Ia mengamati Reno, Sinta, Banu, Lia, dan Andri yang kini terlihat lebih terfokus. "Lihatlah, Jono," katanya kepada seorang pria muda yang berdiri kaku di sisinya. "Kau pikir petunjuk-petunjuk bodohmu itu bisa menyelamatkan mereka? Kau hanya membuat mereka semakin gila dengan harapan palsu." Jono tidak menjawab, matanya tetap terpaku pada layar, memantau pergerakan para korban. Ia tahu, rencananya sangat berisiko, tetapi ia tidak akan menyerah.
Sementara itu, di ruang komunal, Reno memegang tabletnya dengan tangan gemetar. Ia telah memecahkan sebagian besar kode yang Jono berikan, dan satu nama terus-menerus muncul: Jono. Reno menyadari bahwa Jono adalah orang yang menyisipkan petunjuk-petunjuk itu. Namun, ia juga tahu bahwa Jono adalah anggota Senja. Apakah Jono adalah agen ganda? Atau apakah ini adalah jebakan lain yang lebih kejam?
"Ada seorang informan," kata Reno kepada yang lain, suaranya dipenuhi oleh keraguan dan harapan. "Namanya Jono."
Sinta, yang kini telah mengendalikan rasa paranoianya, bertanya, "Bagaimana kita bisa memercayainya? Bukankah ia bagian dari mereka?"
"Aku tidak tahu," jawab Reno jujur. "Tetapi, petunjuk-petunjuk yang ia berikan tidak seperti kebohongan mereka. Ini adalah teka-teki yang logis. Ini adalah sebuah jalan keluar."
Banu, yang kini merasa lebih yakin, mengangguk. "Kita tidak punya pilihan lain. Kita harus memercayainya."
Mereka berlima bekerja sama untuk memecahkan teka-teki terakhir. Petunjuk itu membawa mereka ke sebuah panel kontrol tersembunyi di balik lukisan Andri. Dengan kerja sama yang solid, mereka berhasil membuka panel itu. Di dalamnya, ada sebuah tombol darurat.
"Apa ini?" tanya Lia, suaranya bergetar. "Apakah ini jebakan?"
"Aku tidak tahu," jawab Reno. "Tetapi, kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Kita harus menekan tombol ini."
Di ruang pengawasan, pimpinan Senja melihat ke layar dengan kaget. "Mereka menemukannya," bisiknya. "Mereka menemukan panelnya."
Jono, yang berdiri di sisinya, hanya diam, matanya dipenuhi oleh rasa takut dan harapan.
Reno menekan tombol itu, dan tiba-tiba, alarm berbunyi dengan keras. Lampu-lampu darurat berkedip-kedip, dan pintu-pintu besi yang mengunci mereka terbuka. Pimpinan Senja berteriak, "Jono! Kau mengkhianatiku!"
Jono tidak menjawab. Ia melarikan diri, berlari secepat mungkin ke arah pintu keluar utama, untuk menemui Reno dan yang lainnya.
Reno dan yang lain melarikan diri melalui koridor yang panjang dan gelap. Mereka berlari, tidak tahu ke mana mereka pergi. Mereka hanya mengikuti naluri mereka, dan suara Jono yang berteriak, "Ikuti aku!"
Di ruang pengawasan, pimpinan Senja berteriak kepada para penjaga, "Tangkap mereka! Tangkap mereka semua!"
Para penjaga berlari mengejar mereka, dan perburuan dimulai. Reno, Sinta, Banu, Lia, dan Andri berlari secepat mungkin. Mereka berlari, tidak tahu apakah mereka akan berhasil. Mereka hanya tahu bahwa mereka harus keluar dari sana.
Jono berlari di depan mereka, memimpin jalan. Ia memutar-mutar di koridor, membingungkan para penjaga. Ia tahu setiap sudut fasilitas itu, dan ia menggunakannya untuk keuntungan mereka.
Namun, di tengah-tengah kekacauan, Lia tersandung dan jatuh. Ia tidak dapat berdiri. Ia terlalu lemah, terlalu takut. Andri kembali menatapnya dengan tatapan kosong, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Sinta, yang kini lebih kuat, mencoba membantu Lia, tetapi ia tidak dapat melakukannya sendirian.
Banu, yang kini memiliki tekad baru, kembali. Ia mengangkat Lia di pundaknya, dan ia melanjutkan berlari. "Kita tidak akan meninggalkan siapa pun," katanya, dengan suara yang penuh dengan tekad.
Reno, yang berlari di depan, melihat pintu keluar utama. Pintu itu terbuka, dan cahaya matahari menyinari wajahnya. Ia melihat Jono berdiri di sana, menunggunya.
"Lari!" teriak Jono. "Lari sekarang!"
Reno dan yang lain berlari, dan mereka berhasil keluar dari fasilitas itu. Mereka melarikan diri ke hutan, dan mereka tidak kembali. Mereka telah berhasil melarikan diri, tetapi mereka tidak tahu apa yang menanti mereka.
Di belakang mereka, para penjaga Senja berteriak, "Tangkap mereka!"
Namun, mereka telah melarikan diri. Mereka telah berhasil. Tetapi, apakah mereka benar-benar berhasil?
Malam itu, mereka berkumpul di sebuah tempat aman yang Jono berikan. Mereka duduk mengelilingi api unggun, dan mereka mulai berbagi cerita mereka.
Reno menceritakan tentang foto tunangannya yang palsu, Sinta menceritakan tentang bisikan-bisikan paranoia yang ia dengar, Andri menceritakan tentang gangguan identitas disosiatifnya, Lia menceritakan tentang halusinasi yang ia alami, dan Banu menceritakan tentang kilas balik perang yang ia alami.
Mereka semua telah hancur. Mereka semua telah menderita. Dan mereka semua tahu bahwa mereka tidak akan pernah bisa kembali seperti semula. Mereka adalah bayangan yang pudar, yang akan selamanya terperangkap dalam kegelapan pikiran mereka sendiri.
Namun, mereka memiliki satu sama lain. Mereka memiliki Jono. Mereka memiliki harapan. Dan mereka tahu bahwa mereka harus bertarung untuk kehidupan mereka. Mereka adalah satu-satunya harapan mereka.
Fajar menyingsing di cakrawala, menembus rimbunnya dedaunan hutan tempat Reno dan kawan-kawan berlindung. Cahaya hangat itu seolah mencoba menghapus kegelapan yang selama ini menyelimuti mereka. Di sebuah gubuk tua yang Jono temukan, kelima korban dan Jono duduk melingkar, berbagi keheningan yang lebih berarti daripada kata-kata. Mereka akhirnya bebas, namun kebebasan ini terasa pahit.
"Kita berhasil," bisik Reno, suaranya parau. Ia menatap ke luar jendela, matanya masih dipenuhi bayang-bayang depresi yang ia alami. "Tapi, kita harus melaporkan ini. Kita harus menghentikan mereka."
Jono, yang terlihat lelah namun lega, mengangguk. "Aku sudah menyiapkan bukti. Aku merekam semuanya, setiap sesi, setiap manipulasi. Aku tahu ini akan terjadi, jadi aku bersiap."
Dengan bukti dari Jono, mereka menghubungi pihak berwajib. Reno, dengan naluri jurnalisnya, menyusun sebuah laporan yang rinci dan tak terbantahkan. Sinta, menggunakan pengetahuannya tentang psikologi, menjelaskan dampak yang mereka alami. Banu, dengan pengalaman militernya, memberikan informasi tentang struktur dan keamanan fasilitas itu. Lia dan Andri, meskipun masih rapuh, memberikan kesaksian mereka.
Mendengar laporan dari Reno dan Jono, pihak berwajib bergerak cepat. Mereka menyerbu fasilitas Senja. Pimpinan Senja dan semua anggotanya ditangkap. Jono, meskipun pernah menjadi bagian dari mereka, memberikan kesaksian yang krusial dan bersedia menghadapi konsekuensi atas perbuatannya. Dunia terkejut dengan kekejaman Proyek Senja yang terungkap ke publik. Kasus ini menjadi berita utama di seluruh dunia, mengejutkan banyak orang tentang seberapa jauh psikologi manusia dapat dihancurkan.
Namun, di balik penegakan keadilan itu, para korban harus menghadapi kenyataan yang lebih pahit. Mereka telah dibebaskan, tetapi pikiran mereka tidak.
Reno, sang jurnalis, kembali ke rumahnya. Ia menemukan tunangannya, Lina, yang sangat mencintainya dan tidak pernah mengkhianatinya. Tetapi, Reno tidak bisa lagi merasakan emosi itu. Ia terus-menerus dihantui oleh foto palsu itu, dan ia tidak bisa lagi memercayai Lina. Ia didiagnosis dengan Depresi Klinis Parah dan membutuhkan terapi intensif.
Sinta, sang psikolog, kembali ke dunia luar. Ia mencoba untuk melanjutkan pekerjaannya, tetapi ia tidak bisa. Ia terus-menerus menderita Paranoid dan Halusinasi. Ia tidak dapat membedakan mana yang nyata dan mana yang palsu. Ia melihat bayangan di setiap sudut ruangan, dan ia mendengar bisikan yang tidak ada.
Andri, si seniman, mencoba kembali melukis, tetapi ia tidak bisa. Ia tidak bisa lagi merasakan emosi. Ia didiagnosis dengan Gangguan Identitas Disosiatif dan membutuhkan terapi untuk menemukan kembali dirinya. Lukisan-lukisannya kini hanya cerminan dari kekosongan yang ia rasakan.
Lia, sang guru, mencoba kembali ke sekolah, tetapi ia tidak bisa. Ia terus-menerus dihantui oleh Gangguan Stres Pascatauma (PTSD). Ia tidak dapat mengingat siapa dirinya, apa yang ia lakukan di sana, dan mengapa ia harus menderita. Ia sering mengalami halusinasi dan mimpi buruk tentang anak-anak yang ia gagal lindungi.
Banu, si veteran perang, juga menderita PTSD Parah. Ia terus-menerus mengalami kilas balik tentang perang dan pembunuhan yang ia lakukan. Ia tidak dapat memaafkan dirinya sendiri atas pembunuhan yang ia lakukan di medan perang, dan ia tidak dapat memaafkan dirinya sendiri karena tidak dapat melindungi yang lain.
Meskipun keadilan telah ditegakkan, luka di dalam pikiran mereka tidak akan pernah sembuh sepenuhnya. Mereka semua menjalani perawatan intensif, tetapi trauma dari eksperimen itu akan selalu menghantui mereka. Mereka adalah bukti nyata bahwa kebohongan yang sistematis dapat lebih kuat daripada kebenaran, dan bahwa pikiran manusia dapat dihancurkan.
Cerita berakhir dengan mereka semua menjalani perawatan, tetapi kenangan dan trauma dari eksperimen itu akan selalu menghantui mereka. Mereka adalah bayangan yang pudar, yang akan selamanya terperangkap dalam kegelapan pikiran mereka sendiri. Dan meskipun mereka telah berhasil keluar, mereka tidak akan pernah bisa kembali seperti semula. Mereka adalah korban abadi dari kekejaman psikologis yang kejam, sebuah pengingat bahwa tidak semua luka bisa terlihat, dan tidak semua penjara terbuat dari jeruji besi.