Cerpen
Disukai
2
Dilihat
1,568
Petak Umpet Maut
Horor

Bab 1: Malam Petak Umpet

Malam itu, kegelapan merayap perlahan menyelimuti Desa Sukamaju. Bukan kegelapan biasa, melainkan kegelapan total akibat pemadaman listrik mendadak yang sering melanda desa terpencil itu. Namun, bagi dua belas anak berusia delapan hingga sebelas tahun, kegelapan adalah kanvas sempurna untuk petualangan. Mereka berkumpul di lapangan desa yang luas, di bawah bayangan pohon beringin tua yang menjulang tinggi, dahan-dahannya yang keriput seolah menjadi tangan-tangan raksasa yang siap memeluk kegelapan. Di kejauhan, suara jangkrik dan katak mulai memenuhi udara, menciptakan simfoni malam pedesaan yang menenangkan.

"Aku yang jaga!" seru Bayu, anak tertua di antara mereka, dengan semangat yang meluap. Suara tawa riang bersahutan, memecah kesunyian malam yang pekat. Mereka semua tahu aturannya. Bayu, dengan punggung menghadap pohon beringin, mulai menghitung, suaranya lantang dan ceria, seolah-olah setiap angka yang ia ucapkan adalah jimat pelindung dari kegelapan yang mengintai. "Satu... dua... tiga... empat..."

Satu per satu, siluet kecil itu menghilang ke dalam rimbunnya semak, di balik gubuk kosong yang reyot, atau di balik bayangan pekat rumah-rumah yang gelap. Ada yang menyelinap ke balik tumpukan kayu bakar, ada yang meringkuk di bawah pohon mangga, dan beberapa yang paling berani bahkan nekat bersembunyi di balik pagar bambu yang menjulang tinggi di dekat sumur desa. Hanya suara napas terengah-engah dan bisikan pelan yang terdengar, diselingi tawa cekikikan yang tertahan. Bayu terus menghitung, suaranya sedikit melambat, nadanya mulai menunjukkan sedikit kelelahan. "Sembilan... sepuluh... sebelas..."

Ketika Bayu mencapai hitungan terakhir, "Dua belas! Siap tidak siap, aku datang!", keheningan yang mencekam tiba-tiba menyergap. Bukan keheningan biasa, melainkan keheningan yang kosong, hampa, seolah alam menahan napas. Tawa anak-anak yang tadi bersahutan mendadak lenyap. Tidak ada lagi bisikan, tidak ada lagi derap langkah. Hanya suara jangkrik yang terdengar sayup, seolah enggan melanjutkan simfoninya yang terhenti mendadak. Udara terasa dingin, meskipun malam itu tidak ada angin.

Bayu mulai mencari, awalnya dengan canda. Ia melangkah perlahan ke arah semak-semak, tangannya meraba-raba kegelapan. "Putra? Mira? Kalian di mana?" panggilnya, suaranya masih terdengar ceria. Tidak ada jawaban. Ia bergerak ke arah gubuk, lalu ke balik rumah-rumah. Namun, setiap langkah yang ia ambil, perasaan aneh mulai merayapi hatinya. Kakinya mulai terasa dingin, dan bulu kuduknya berdiri. Suara napasnya sendiri terasa terlalu keras di tengah keheningan itu, seolah-olah ia adalah satu-satunya makhluk hidup yang tersisa di muka bumi. Ia mulai memanggil nama teman-temannya dengan nada yang sedikit lebih mendesak. "Ayu! Joni! Ini tidak lucu!"

Kepanikan mulai mencengkeram. Bayu berlari kembali ke tengah lapangan, jantungnya berdebar kencang di dadanya. Ia berteriak memanggil nama teman-temannya, suaranya bergetar, kini dipenuhi ketakutan yang nyata. "Kalian di mana?! Ini tidak lucu! Pulanglah!" Namun, hanya gema suaranya sendiri yang kembali, memantul dari kegelapan dan menghilang. Ia berlari berkeliling lapangan, matanya mencoba menembus kegelapan, mencari siluet teman-temannya, tetapi tidak ada apa-apa. Hanya kekosongan yang membekukan.

Pagi harinya, mentari menyingsing membawa kengerian. Sinarnya yang lembut tidak mampu menghalau bayangan kelam yang telah menelan Desa Sukamaju. Para orang tua berteriak histeris, suara tangisan mereka merobek kesunyian pagi. Mereka berlarian ke sana kemari mencari anak-anak mereka, wajah-wajah mereka pucat pasi dan mata bengkak karena kurang tidur dan air mata. Warga desa berkumpul di lapangan, saling berbisik, tidak percaya dengan apa yang terjadi. Tidak ada jejak. Dua belas anak, lenyap ditelan malam. Yang tersisa hanyalah bekas jejak kaki kecil yang membentuk pola berputar-putar di tanah lapang, seolah anak-anak itu menari dalam lingkaran sebelum menghilang. Jejak itu berhenti tiba-tiba, seolah mereka diangkat ke udara, lenyap begitu saja. Udara di sekitar jejak itu terasa dingin, bahkan di bawah terik matahari pagi yang mulai menghangatkan. Bau tanah basah dan sesuatu yang amis samar-samar tercium, seperti bau lumpur bercampur sesuatu yang busuk, menambah misteri yang menyelimuti peristiwa itu, membuat perut mual dan tenggorokan tercekat. Suara sirene polisi dan ambulans yang datang dari kota memecah keheningan desa, membawa serta sorot mata ingin tahu dari para wartawan yang segera berkumpul, kamera mereka berkedip-kedip seolah merekam setiap air mata dan setiap desahan kepedihan.

Bab 2: Wartawan dan Misteri yang Tertulis

Berita hilangnya dua belas anak di Desa Sukamaju menyebar seperti api. Kisah itu menjadi berita utama di seluruh negeri, memicu gelombang kekhawatiran dan spekulasi. Beberapa hari kemudian, seorang wartawan investigatif bernama Raka Pratama tiba di desa itu. Raka adalah pria tangguh dengan sorot mata tajam dan rambut hitam yang selalu sedikit berantakan. Ia mengenakan jaket kulit usang dan celana jins, penampilannya lebih mirip petualang daripada wartawan. Namun, di balik ketangguhannya, ia menyimpan luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh: kehilangan adik perempuannya, Luna, bertahun-tahun lalu dalam sebuah kecelakaan misterius yang tak pernah benar-benar ia pahami. Trauma itu memberinya dorongan untuk mencari kebenaran, tak peduli betapa gelapnya, seolah-olah setiap kasus yang ia liput adalah kesempatan untuk menemukan jawaban atas misteri pribadinya sendiri.

Setibanya di desa, Raka disambut oleh suasana berkabung yang pekat. Rumah-rumah berlampu remang-remang, tirai jendela tertutup rapat, seolah desa itu sendiri sedang berduka. Warga berbicara dengan suara berbisik, mata mereka penuh ketakutan dan kecurigaan. Beberapa anak kecil yang tersisa ditarik ke dalam rumah oleh orang tua mereka, seolah udara di luar mengandung bahaya yang tak terlihat. Desas-desus aneh mulai sampai ke telinga Raka: "Petak Umpet Gaib." Beberapa warga tua percaya bahwa anak-anak itu diambil oleh "sesuatu" yang bersembunyi di balik dimensi lain, sebuah makhluk dari dunia tak kasat mata yang terbangun oleh suatu kesalahan. Raka, sebagai seorang skeptis sejati, mencatat semua itu sebagai bagian dari cerita rakyat yang sering muncul di tengah kepanikan massal, sebuah cara bagi manusia untuk menjelaskan hal yang tak bisa dijelaskan.

Di posko pencarian darurat yang didirikan di balai desa, Raka bertemu dengan Bagas Dirgantara. Bagas adalah sosok yang segera menarik perhatian: muda, mungkin sekitar awal tiga puluhan, dengan wajah tampan yang dipahat sempurna, kulit bersih, dan rambut hitam yang selalu tertata rapi. Senyumnya menawan, matanya memancarkan pesona yang sulit dijelaskan, seolah-olah ada cahaya tersembunyi di dalamnya. Ia mengenakan kemeja rapi dan celana kain, terlihat sangat kontras dengan penduduk desa yang lusuh dan berantakan. Bagas tampak sangat populer dan aktif membantu pencarian. Ia memimpin para relawan, memberikan instruksi dengan suara tenang namun tegas, berbicara dengan warga dengan penuh empati, dan tampak begitu peduli. Wanita-wanita muda di desa, bahkan beberapa ibu-ibu, tampak terpikat olehnya, mata mereka berbinar-binar saat Bagas melintas.

Bagas menyapa Raka dengan ramah, mengulurkan tangannya yang bersih. "Selamat datang di Sukamaju, Mas Raka. Saya Bagas. Saya siap membantu apa pun, Mas. Ini musibah besar bagi desa kami," katanya dengan suara yang lembut namun penuh keyakinan, seolah-olah ia adalah penyelamat yang datang di saat-saat sulit. Raka, meski mencatat profesionalitas Bagas, merasakan ada sesuatu yang terlalu sempurna dari pria itu. Ada aura yang terlalu mengilap, terlalu bersih, di tengah kekacauan ini. Namun, ia menepisnya sebagai intuisinya yang kadang berlebihan, atau mungkin hanya kecemburuan profesional.

Dalam pencariannya akan informasi, Raka menghabiskan berjam-jam di perpustakaan desa yang kecil dan berdebu. Aroma kertas lapuk dan jamur memenuhi udara. Rak-rak kayu tua dipenuhi buku-buku yang jarang tersentuh, dan di sudut ruangan, tumpukan koran-koran lama menggunung. Ia mencari arsip, catatan sejarah, apa pun yang bisa memberinya petunjuk. Saat sedang memilah-milah tumpukan koran usang yang berbau apek, sebuah artikel tua menarik perhatiannya. Kertasnya menguning, rapuh seperti daun kering, tintanya pudar, tetapi judulnya cukup jelas untuk membuat jantung Raka berdegup kencang: "12 Anak Hilang di Malam Petak Umpet: Misteri Desa Sukamaju (1875)."

Raka meraih artikel itu dengan tangan gemetar, seolah memegang relik kuno. Ia membaca artikel itu dengan saksama, setiap kata terasa seperti potongan teka-teki yang jatuh pada tempatnya. Deskripsi tentang kegelapan malam, permainan petak umpet, hingga jejak kaki berputar-putar di lapangan, semuanya persis sama. Rasa dingin merayapi punggungnya. Ia terus mencari, dan di tumpukan yang sama, ia menemukan arsip lain yang lebih tua, jauh lebih usang, hampir tak terbaca: "Anak-anak Lenyap di Perayaan Bulan Purnama (1725)." Pola yang sama: 12 anak, hilang saat bermain, di malam yang sama, dengan jejak kaki berputar-putar di lapangan. Sebuah pola yang terulang setiap 150 tahun. Skeptisisme Raka mulai goyah, retak seperti kaca yang terhantam batu. Ini bukan sekadar cerita rakyat, bukan sekadar histeria massal. Ada sesuatu yang jauh lebih gelap yang bersembunyi di balik misteri ini, sebuah siklus kengerian yang berulang.

Bab 3: Pria yang Terlalu Sempurna

Setelah menemukan arsip-arsip lama, benak Raka dipenuhi pikiran-pikiran yang mengganggu. Ia mulai melihat Bagas dengan pandangan yang berbeda, seperti ada lapisan tipis yang baru terkelupas, menampakkan sesuatu yang lain di baliknya. Kharisma Bagas, senyumnya yang selalu memikat, dan kesempurnaannya dalam membantu warga, kini terasa janggal, bahkan menakutkan. Terlalu sempurna, terlalu baik, di tengah desa yang hancur dan trauma. Seolah-olah Bagas adalah jawaban dari semua doa warga, tanpa cela, terlalu mulia untuk menjadi nyata.

Raka memutuskan untuk menggali lebih dalam tentang Bagas. Ia mulai mewawancarai warga yang lebih tua, yang mungkin memiliki ingatan lebih panjang tentang orang-orang di desa. Ia mencoba berbicara dengan beberapa warga, bertanya tentang latar belakang Bagas, keluarganya, dan apa yang mereka ketahui tentang pria itu. Semua orang hanya memuji, seolah terhipnotis. "Bagas itu anak baik, Mas. Selalu membantu. Dia yang paling pintar di sini, paling peduli," kata seorang ibu dengan mata berbinar. "Dia seperti pemimpin alami," tambah yang lain. Namun, ada seorang nenek tua, Mbah Warno, yang duduk di beranda rumahnya yang reyot, matanya yang keriput dan katarak menatap Raka dengan tajam, seolah melihat menembus jiwanya. Ketika Raka bertanya tentang Bagas, Mbah Warno hanya bergumam, suaranya serak dan bergetar seperti daun kering. "Dia memanggil sesuatu dari dalam tanah. Sesuatu yang seharusnya tetap terkunci." Suaranya berbisik, penuh ketakutan yang mendalam, membuat bulu kuduk Raka berdiri. Raka mendesak, mencoba mendapatkan lebih banyak informasi, tetapi Mbah Warno hanya menggelengkan kepala, bibirnya terkunci rapat, seolah ada kekuatan tak terlihat yang menahannya untuk berbicara lebih jauh. Ia hanya menunjuk ke arah hutan larangan dengan jari keriputnya.

Raka tidak menyerah. Ia tahu Mbah Warno menyembunyikan sesuatu yang penting, sesuatu yang bisa menjadi kunci. Ia mencoba mencari cara lain untuk mengorek informasi, kembali ke rumah Mbah Warno beberapa kali, membawa teh hangat dan makanan ringan, membangun kepercayaan dengan perlahan. Akhirnya, dengan bujukan yang hati-hati dan janji untuk melindungi Mbah Warno dari apa pun yang mungkin mengancamnya, nenek tua itu akhirnya menceritakan sebuah rahasia yang ia simpan rapat-rapat. Ia bercerita bahwa beberapa minggu sebelum kejadian hilangnya anak-anak, ia pernah melihat Bagas di tengah malam, membawa lentera yang redup, masuk ke dalam hutan larangan di belakang desa, sebuah tempat yang dihindari oleh semua warga. Mbah Warno tidak tahu apa yang dilakukan Bagas di sana, tetapi ia merasakan aura gelap yang menyelimuti tempat itu sejak malam itu, sebuah hawa dingin yang menusuk tulang, seolah-olah pintu ke dunia lain baru saja dibuka.

Sementara itu, dalam sebuah kilas balik yang mengerikan, terungkaplah obsesi gelap Bagas yang telah lama tersembunyi. Berbulan-bulan sebelum kejadian, Bagas menemukan sebuah naskah kuno yang usang, tersembunyi di balik dinding ganda di loteng rumah leluhurnya. Naskah itu ditulis dengan aksara kuno, sebagian besar sudah pudar, tetapi ia berhasil menguraikan maknanya. Naskah itu berisi ritual kuno yang menjanjikan pesona dan aura agung yang tak tertandingi. Bagas, yang selama ini merasa kurang dihargai, selalu mendambakan perhatian dan kekaguman. Ia merasa terpinggirkan, tidak cukup tampan, tidak cukup cerdas, tidak cukup menarik bagi wanita-wanita yang ia dambakan. Ia ingin menjadi pusat dari segalanya, menarik semua orang ke arahnya, terutama wanita-wanita muda yang selama ini selalu mengabaikannya. Naskah itu menjelaskan bahwa ritual itu melibatkan pengorbanan, pengorbanan yang tak biasa: dua belas jiwa anak-anak muda, yang jiwanya akan menjadi sumber energi bagi pesona yang dijanjikan. Bagas, dalam ambisi butanya yang tak terkendali, tidak memedulikan konsekuensi atau moralitas. Ia hanya melihat janji kekuasaan, janji daya pikat yang akan mengubah hidupnya. Ia percaya bahwa ia akan dapat mengendalikan kekuatan itu, menggunakan pesona itu untuk kebaikan atau setidaknya, untuk keuntungannya sendiri. Ia mulai mempelajari mantra, merencanakan setiap langkahnya dengan hati-hati, percaya bahwa ia adalah penguasa atas nasibnya sendiri, tanpa menyadari bahwa ia telah menjadi pion dalam permainan yang jauh lebih besar dan lebih kuno. Tanpa disadari, ia telah membuka kotak pandora yang akan membangkitkan kutukan berusia berabad-abad, sebuah kutukan yang jauh lebih besar dari sekadar pesona pribadi.

Bab 4: Tanah Larangan dan Sumur Terkutuk

Petunjuk dari Mbah Warno, yang kini terlihat lebih lega setelah berbagi rahasianya, membawa Raka ke hutan larangan. Hutan itu adalah sebuah area terlarang yang dihindari warga desa selama beberapa generasi. Menurut cerita turun-temurun, tempat itu angker dan dipenuhi roh jahat, tempat di mana kegelapan bersemayam. Raka memasuki hutan dengan perasaan was-was, setiap langkahnya menginjak daun-daun kering yang bergemerisik di bawah kakinya, namun dorongan untuk mencari kebenaran lebih besar dari rasa takutnya. Pohon-pohon menjulang tinggi, dahan-dahan saling melilit, membentuk kanopi yang menghalangi sinar matahari, menciptakan suasana remang-remang yang menyeramkan bahkan di siang hari. Udara di dalam hutan terasa dingin dan lembap, membawa bau tanah basah dan sesuatu yang busuk.

Setelah beberapa saat berjalan menyusuri jalur setapak yang hampir tak terlihat, Raka menemukan sebuah lokasi yang ganjil. Sebuah area tanah yang baru digali, tepat di tengah hutan, yang tampaknya merupakan bekas penggalian sumur yang belum selesai. Tanah di sekitarnya tampak masih gembur, dan ada sisa-sisa alat penggali yang tergeletak di sana. Di sekitar lubang itu, Raka melihat sisa-sisa simbol kuno yang digambar di tanah dengan kapur atau arang, kini sebagian besar sudah pudar dan rusak oleh hujan dan waktu. Ada juga jejak lingkaran garam yang terputus, seperti garis pertahanan yang telah ditembus. Aura aneh menyelimuti tempat itu, sebuah perasaan dingin yang merayapi kulit, membuat bulu kuduk berdiri.

Raka segera mengeluarkan ponselnya, mengambil foto-foto detail dari lokasi tersebut, mencatat setiap simbol yang masih terlihat, dan mencium bau aneh yang melekat di udara. Ia tidak membuang waktu. Ia segera membawa temuan ini kepada Pak Mardika, tetua adat desa yang dikenal bijaksana dan sangat mengetahui sejarah serta kepercayaan gaib desa. Pak Mardika, seorang pria tua dengan rambut memutih yang diikat ke belakang, mata yang dalam dan penuh kebijaksanaan, melihat foto-foto itu dengan wajah terkejut yang bercampur dengan kengerian. Tangannya yang keriput memegang foto itu erat-erat.

"Ini... ini titik segel Nyai Sekar," desis Pak Mardika, suaranya bergetar, lebih seperti bisikan yang nyaris tak terdengar. Ia menjelaskan bahwa ratusan tahun yang lalu, seorang wanita bernama Nyai Sekar, yang memiliki kekuatan gaib besar namun tersesat dalam kegelapan karena keserakahannya akan kekuasaan, disegel di bawah tanah di tempat itu oleh leluhur mereka. Ia adalah entitas kuno yang haus jiwa, dan ia mencari 12 jiwa anak-anak setiap 150 tahun sekali untuk memperkuat kekuatannya dan membebaskan diri sepenuhnya dari segel. Segel itu, yang digambar dengan simbol-simbol kuno dan diperkuat dengan garam suci, berfungsi untuk menahan kekuatannya agar tidak bangkit. Penggalian dan kerusakan simbol itu berarti seseorang telah sengaja membuka kunci gaib tersebut, melepaskan entitas yang seharusnya tetap terkunci.

Malam itu, setelah pulang dari rumah Pak Mardika, Raka tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi dengan cerita Nyai Sekar dan penemuan sumur yang mengerikan. Ia merasa gelisah, seolah-olah udara di kamarnya dipenuhi bisikan-bisikan tak kasat mata. Saat ia berbaring di tempat tidur, mencoba memejamkan mata, sebuah suara sayup mulai terdengar dari kejauhan. Suara anak-anak yang bermain petak umpet. "Satu... dua... tiga..." Suara itu semakin jelas, semakin dekat, seolah anak-anak itu bermain tepat di luar jendelanya, padahal ia tahu mereka telah tiada, atau setidaknya, raga mereka. Jantung Raka berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya. Ia segera bangkit dari tempat tidur dan mengintip dari jendela yang sedikit terbuka. Di tengah kabut tipis yang menyelimuti desa, di bawah cahaya bulan yang redup, ia melihat siluet-siluet kecil. Sosok-sosok anak-anak, dua belas di antaranya, berdiri di tengah lapangan, tempat jejak kaki berputar-putar ditemukan. Mereka tidak bergerak, hanya berdiri, menatap ke arahnya dengan mata kosong, hitam pekat, dan seolah-olah tidak ada cahaya di dalamnya. Mereka tidak tersenyum, tidak berbicara. Hanya menatap, seolah menunggu. Jantung Raka berdebar kencang. Ini bukan halusinasi. Ini adalah pertanda. Nyai Sekar telah bangkit, dan anak-anak itu adalah pion-pionnya, boneka-boneka yang digerakkan oleh kekuatan gelap.

Bab 5: Wanita, Pesona, dan Perjanjian

Sejak hilangnya anak-anak dan terbukanya segel Nyai Sekar, Bagas mulai merasakan perubahan aneh pada dirinya. Perubahan itu datang perlahan, tidak disadari pada awalnya, tetapi semakin lama semakin nyata, seolah-olah ada kekuatan yang merasukinya dari dalam. Ia merasakan lonjakan energi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, sebuah kekuatan yang membakar di dalam dirinya, memberinya rasa percaya diri yang tak terbatas. Rasa percaya dirinya melonjak, dan ia merasa seolah-olah ia bisa mengendalikan siapa pun di sekitarnya hanya dengan pandangan matanya.

Yang paling mencolok adalah reaksi wanita-wanita muda terhadapnya. Mereka yang dulu acuh tak acuh, yang dulu tidak pernah meliriknya, kini menatapnya dengan kekaguman yang nyaris memuja. Senyumnya yang biasa kini terasa begitu memikat, tatapan matanya begitu intens, seolah-olah ada magnet tak terlihat yang menarik semua orang ke arahnya. Suatu hari, saat Bagas berbicara dengan sekelompok gadis di balai desa, mereka berkumpul di sekelilingnya, mendengarkan setiap katanya dengan napas tertahan. Salah satu dari mereka, seorang gadis muda bernama Kinan, tiba-tiba merasa pusing dan hampir pingsan, mengklaim bahwa "tatapan matanya terlalu kuat, aku tidak bisa menahan diri." Bagas, alih-alih panik atau khawatir, merasakan kepuasan yang aneh, sebuah kebanggaan yang membengkak di dadanya. Ia menikmati kekaguman dan perhatian itu, merasa begitu berkuasa dan diinginkan.

Ia merasa seolah ada aura tak kasat mata yang menyelimutinya, sebuah cahaya yang hanya bisa dilihat oleh mata batin, membuat semua orang tertarik padanya. Ia merasa berwibawa, setiap kata yang ia ucapkan terasa seperti perintah yang tak terbantahkan, dan setiap orang yang ia ajak bicara akan mengangguk patuh. Ia tidak menyadari bahwa ia tidak sendirian. Setiap malam, saat ia terlelap dalam tidurnya yang kini dipenuhi mimpi-mimpi kekuatan dan kekaguman, sebuah sosok arwah kecil, transparan namun nyata, mulai mendampinginya. Arwah itu akan berbisik di telinganya, memanggil namanya dengan suara seperti lolongan angin yang samar, atau bisikan daun kering yang diterbangkan.

"Bagas... Bagas..." Bisikan itu, pada awalnya, terasa seperti mimpi buruk yang mengganggu, membuat ia terbangun dengan jantung berdebar. Namun, seiring waktu, bisikan itu berubah menjadi dorongan, bujukan, seolah arwah itu mencoba menembus kesadarannya. Arwah itu, yang sebenarnya adalah utusan Nyai Sekar, mulai menuntut imbalan. "Mainkan satu ronde lagi," bisik arwah itu suatu malam, suaranya terdengar begitu dekat sehingga Bagas bisa merasakan hembusan napas dinginnya, seolah-olah arwah itu berbaring di sampingnya. Bagas mengira itu hanya bagian dari kekuatan yang ia panggil, sebuah efek samping yang bisa ia toleransi, bahkan ia anggap sebagai bagian dari keagungannya. Ia tidak menyadari bahwa ia telah mengikat perjanjian yang jauh lebih besar dan mengerikan dari yang ia bayangkan, sebuah ikatan yang tidak bisa dilepaskan. Pesona yang ia nikmati adalah tali yang melingkarinya, menariknya lebih dalam ke dalam jurang kekuasaan yang tak terkendali, sebuah jurang yang dipenuhi kehampaan. Nyai Sekar telah menuntut bagiannya, dan Bagas adalah alatnya, boneka yang ia gerakkan untuk mencapai tujuannya yang lebih besar.

Bab 6: Kunci yang Dibuka, Jiwa yang Tertinggal

Kengerian di Desa Sukamaju semakin menjadi-jadi. Tidak hanya anak-anak yang hilang, kini mereka juga muncul. Bukan dalam wujud fisik, melainkan dalam mimpi buruk yang menghantui tidur warga desa setiap malam. Dua belas siluet kecil, muncul di alam mimpi, wajah mereka pucat pasi, mata mereka hitam pekat. Mereka menangis, memanggil nama orang tua mereka, dan memohon untuk dipulangkan. "Kami ingin pulang... Dingin sekali di sini..." Suara-suara itu terdengar begitu nyata, begitu memilukan, seolah-olah anak-anak itu berteriak dari balik tirai kegelapan, sehingga warga terbangun dengan jantung berdebar kencang, diselimuti keringat dingin dan ketakutan yang mendalam. Beberapa warga bahkan bersumpah mendengar suara cekikikan anak-anak di tengah malam, atau melihat bayangan kecil melintas di sudut mata mereka.

Pak Mardika, yang sudah merasakan firasat buruk sejak awal, dan Raka, yang telah mengumpulkan semua bukti dan menghubungkan titik-titik misteri, akhirnya mencapai kesimpulan yang mengerikan: segel Nyai Sekar telah dibuka sepenuhnya. Arwah kuno itu kini bebas, atau setidaknya, kekuatannya telah menembus batas dimensi, menjangkau dunia manusia. Anak-anak yang muncul dalam mimpi adalah jiwa-jiwa mereka yang tertinggal, terperangkap di antara dua dunia, terjebak dalam limbo yang dingin dan gelap. Atau mungkin, jiwa-jiwa mereka telah diserap sebagian oleh Nyai Sekar, menjadi bagian dari kekuatannya.

Pak Mardika menjelaskan bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan kekejian ini adalah dengan melakukan ritual penguncian ulang. Ritual ini sangat rumit dan berbahaya, membutuhkan kekuatan spiritual yang besar dan energi yang tak sedikit. Ia membutuhkan bantuan dari tujuh keturunan tetua lama, orang-orang yang memiliki darah spiritual yang sama dengan para leluhur yang menyegel Nyai Sekar pertama kali ratusan tahun yang lalu. Darah merekalah yang akan menjadi jembatan spiritual untuk mengikat kembali arwah jahat itu. Mereka harus bersatu, menggabungkan energi dan warisan spiritual mereka untuk mengikat kembali Nyai Sekar.

Raka dan Pak Mardika bekerja keras mencari ketujuh keturunan itu. Prosesnya sulit, karena banyak di antara mereka yang sudah lupa akan warisan spiritual mereka, atau tidak percaya pada hal-hal gaib, telah meninggalkan desa dan hidup di kota-kota besar. Beberapa di antaranya tinggal di desa, sebagian lagi harus dilacak ke kota-kota terdekat, di mana mereka hidup sebagai orang biasa, tak menyadari warisan tersembunyi yang mengalir dalam darah mereka. Namun, kengerian yang terjadi di desa akhirnya meyakinkan mereka untuk bersatu, ketakutan akan nasib anak-anak mereka dan masa depan desa jauh lebih besar daripada skeptisisme mereka.

Sementara itu, Bagas, yang merasakan kekuatannya semakin membesar, secara diam-diam mengamati setiap gerakan Pak Mardika dan Raka. Ia tahu bahwa mereka mencoba menghentikannya, mengunci kembali kekuatan yang telah ia bebaskan. Ia tak akan membiarkan itu terjadi. Naskah kuno yang ia temukan bukan hanya berisi ritual pemanggil, tetapi juga mantra-mantra pembatalan yang dirancang untuk mencegah upaya penguncian, sebuah bagian yang diabaikan oleh para leluhur yang mencoba menyegelnya. Dengan ambisi yang membabi buta dan keyakinan diri yang berlebihan, Bagas mulai melakukan ritual tandingan, membacakan mantra-mantra pembatalan di malam hari, mencoba menghalangi ritual yang akan dilakukan Pak Mardika. Ia percaya bahwa ia telah menguasai kekuatan itu, bahwa ia adalah tuannya, dan tidak ada yang bisa mengambilnya darinya. Ia tidak peduli dengan jiwa anak-anak, atau kutukan yang akan menimpa desa. Yang ia inginkan hanyalah pesona abadi dan kekaguman tanpa batas, bahkan jika itu berarti mengorbankan seluruh desa.

Bab 7: Ritual di Tengah Maut

Malam bulan mati, waktu yang paling tepat untuk ritual penguncian, tiba. Langit gelap pekat, tanpa satu pun bintang yang berani menampakkan diri. Cuaca buruk menyertai, seolah alam pun menentang upaya penguncian ini. Angin menderu kencang, menggoyangkan pohon-pohon beringin tua hingga dahan-dahannya berderak menakutkan. Hujan turun lebat, disusul gemuruh guntur yang menggelegar dan kilatan petir yang menyambar-nyambar, menerangi hutan larangan dalam sekejap, menampakkan bayangan-bayangan menakutkan. Tanah di sekitar titik segel yang baru digali Bagas, tempat ritual akan dilakukan, mulai berguncang pelan, seolah bumi itu sendiri menggeliat dalam kesakitan, menolak upaya pengikatan.

Pak Mardika dan ketujuh keturunan tetua lama, bersama Raka yang mendampingi, telah berkumpul. Mereka membentuk lingkaran di tengah hujan deras, tubuh mereka basah kuyup namun mata mereka memancarkan tekad. Mantra-mantra kuno dibacakan dengan suara bergetar namun penuh keyakinan, kata-kata yang telah diwariskan dari generasi ke generasi, penuh kekuatan dan makna. Aroma kemenyan dan bunga-bunga melati yang mereka taburkan bercampur dengan bau tanah basah dan ketegangan yang menyesakkan, menciptakan suasana yang mistis namun menegangkan.

Di tengah ritual yang khusyuk, saat mantra-mantra mencapai puncaknya, Bagas tiba-tiba muncul dari balik pepohonan, menerobos hujan. Wajahnya pucat, matanya merah menyala, sorotnya kosong dan tidak fokus. Ia terlihat tidak waras, seolah-olah ada sesuatu yang mengendalikan dirinya. "Jangan! Kalian tidak boleh menghentikanku!" teriaknya, suaranya parau dan terdengar seperti bukan miliknya sendiri, lebih seperti raungan binatang buas. Pak Mardika dan yang lain terkejut, beberapa di antara mereka tersentak mundur. Sebelum ada yang bisa bereaksi, Bagas mulai kejang. Tubuhnya membungkuk, tulang-tulangnya berderak mengerikan, dan kulitnya menjadi lebih gelap, urat-urat menonjol di sekujur tubuhnya, seolah ada sesuatu yang bergerak di bawahnya. Wajahnya berubah menjadi lebih menakutkan, seperti topeng iblis yang mengerikan.

Ini bukan lagi Bagas yang dikenal warga desa. Ia telah kerasukan sepenuhnya oleh Nyai Sekar. Di belakangnya, sebuah bayangan hitam raksasa mulai terbentuk, menjulang tinggi di atas pohon-pohon. Sosok seorang wanita dengan rambut panjang terurai yang melambai-lambai dalam angin kencang, dan mata merah menyala yang memancarkan kebencian. Itu adalah Nyai Sekar, atau setidaknya, manifestasi kekuatannya yang mengerikan. Bayangan itu membayangi Bagas, mengendalikan setiap gerakannya, membuatnya menari dalam kendali kekuatan jahat.

Pak Mardika, dengan keberanian yang luar biasa yang muncul entah dari mana, berteriak memberi aba-aba. "Sekarang!" Ia mengeluarkan sebilah pisau keramat yang telah diwariskan turun-temurun dalam keluarganya, pisau yang digunakan oleh leluhurnya untuk menyegel Nyai Sekar pertama kali. Pisau itu memancarkan cahaya redup dalam kegelapan, seolah memiliki jiwanya sendiri. Dengan segenap kekuatannya, ia menancapkan pisau itu ke tengah-tengah titik segel, tepat di atas lokasi sumur yang digali Bagas.

Pada saat yang sama, Raka, yang telah mempelajari mantra penutup dari Pak Mardika selama beberapa hari terakhir, membacakan mantra-mantra itu dengan suara lantang dan penuh keyakinan, meskipun tubuhnya gemetar. Kata-kata kuno itu bergema di tengah badai, bercampur dengan raungan Bagas yang kerasukan dan jeritan angin. Saat pisau menancap dalam dan mantra terakhir diucapkan, tanah berguncang lebih hebat, seolah-olah bumi itu sendiri berteriak kesakitan. Retakan-retakan besar muncul di tanah, memanjang seperti jaring laba-laba. Dan dari dalamnya, terdengar lolongan yang mengerikan, suara yang melengking, seolah sesuatu yang sangat besar dan jahat sedang dipaksa kembali ke dalam, ditarik ke dalam jurang kegelapan.

Ritual itu berhasil. Bayangan Nyai Sekar di belakang Bagas perlahan memudar, seperti asap yang tertiup angin kencang, menghilang tanpa jejak. Tubuh Bagas kejang sekali lagi, lalu ia ambruk ke tanah, pingsan, tak sadarkan diri, seolah seluruh energinya terkuras habis. Hujan mulai mereda, guntur dan kilat pun menghilang, meninggalkan keheningan yang lelah namun penuh kelegaan. Ketegangan yang mencekam perlahan lenyap, digantikan oleh aura damai yang samar. Arwah Nyai Sekar telah disegel kembali, untuk sementara waktu. Namun, semua orang tahu, ini hanyalah jeda.

Bab 8: Fajar Berdarah

Fajar menyingsing, membawa cahaya pertama ke Desa Sukamaju setelah malam yang mencekam. Namun, cahaya itu tidak membawa kelegaan seperti yang diharapkan. Ia membawa pemandangan yang akan menghantui setiap warga untuk waktu yang sangat lama, sebuah ingatan yang akan terukir di benak mereka.

Di sebuah hutan kecil di pinggir desa, lokasi yang tak pernah tersentuh dan selalu dihindari warga sebelumya, sebuah penemuan mengerikan terjadi. Tim pencarian, yang dipimpin oleh polisi dan beberapa warga desa yang berani, menemukan dua belas jasad anak-anak. Mereka tergeletak di tanah yang basah oleh sisa hujan, membentuk lingkaran sempurna, seolah-olah mereka baru saja selesai bermain petak umpet. Posisi tubuh mereka kaku, namun wajah mereka terlihat damai, seolah tertidur lelap dalam kedamaian abadi. Namun, ada sesuatu yang mengerikan di mata mereka. Mata mereka terbuka lebar, hitam legam, kosong, dan menatap ke langit yang kini cerah, seolah mereka menyaksikan sesuatu yang tak bisa dilihat oleh orang hidup. Tidak ada luka fisik yang terlihat, tidak ada bekas perlawanan, tidak ada darah. Mereka hanya... kosong, cangkang tanpa jiwa. Jiwa mereka telah diambil, atau setidaknya, terperangkap di dimensi lain, meninggalkan raga mereka di dunia ini sebagai bukti bisu dari kengerian yang terjadi.

Raka Pratama, yang ikut dalam tim pencarian, merasa hancur melihat pemandangan itu. Ia telah melihat banyak hal mengerikan dalam pekerjaannya sebagai wartawan investigatif—korban kejahatan, lokasi bencana, dan kengerian perang—tetapi ini berbeda. Ini melampaui horor yang pernah ia bayangkan, menusuk langsung ke relung jiwanya. Ia berlutut di dekat jasad-jasad itu, hatinya dipenuhi kesedihan yang mendalam dan rasa mual yang melilit. Ia melihat wajah-wajah tak berdosa, anak-anak yang seharusnya memiliki masa depan cerah, kini tergeletak tak bernyawa, senyum terakhir mereka membeku di bibir.

Dan kemudian, matanya tertuju pada sebuah objek kecil di antara salah satu jasad, tersembunyi di balik tangan seorang gadis kecil yang kaku. Sebuah mainan. Sebuah boneka kecil berwarna biru yang usang, dengan satu mata kancing yang hilang. Jantung Raka serasa berhenti berdetak. Ia meraih boneka itu dengan tangan gemetar. Itu adalah boneka kesayangan adik perempuannya, Luna, adiknya yang hilang bertahun-tahun lalu dalam kecelakaan yang tak pernah terpecahkan. Boneka itu adalah satu-satunya benda yang tidak pernah ditemukan setelah kecelakaan yang menimpa adiknya. Selama ini, ia selalu bertanya-tanya di mana boneka itu berada, berharap ia akan menemukannya suatu hari nanti. Sekarang, ia menemukan jawabannya. Boneka itu tergeletak di antara jasad anak-anak, seolah-olah ikut dibawa pergi oleh arwah yang sama, ditarik ke dalam lingkaran kutukan.

Kenyataan pahit menghantam Raka dengan kekuatan yang brutal. Adiknya tidak hanya hilang dalam kecelakaan yang tak terduga. Adiknya juga menjadi bagian dari lingkaran kutukan ini, menjadi salah satu jiwa yang telah diserap oleh Nyai Sekar. Mungkin, ia adalah salah satu dari 12 jiwa di masa lalu, atau jiwanya yang terperangkap telah ditarik ke dalam pusaran Nyai Sekar. Kepedihan dan kemarahan bercampur aduk dalam dirinya, menciptakan badai emosi. Air mata mulai menetes dari matanya, air mata yang sudah lama ia tahan. Ia bersumpah bahwa tidak akan ada lagi jiwa yang hilang. Ini harus berakhir. Kutukan ini harus diputus, sekali dan untuk selamanya.

Bab 9: Harga dari Ambisi

Setelah ritual penguncian yang berhasil, Bagas Dirgantara ditemukan pingsan di tengah hutan larangan, tubuhnya tergeletak di tanah yang basah dan berlumpur. Ia segera dilarikan ke rumah sakit terdekat di kota. Namun, saat ia tersadar, jelas bahwa ia tidak lagi waras. Matanya kosong, pandangannya kacau dan tidak fokus, seolah-olah jiwanya telah pergi entah ke mana. Ia terus-menerus bergumam, mengulang kata-kata yang sama secara obsesif, "Aku cuma ingin mereka melihatku... mencintaiku..." Ia tidak bisa berhenti berbicara tentang pesona yang ia dapatkan, tentang bagaimana semua orang akhirnya menatapnya, memujanya, bagaimana wanita-wanita mengelilinginya. Pikiran Bagas telah hancur oleh kekuatan yang ia coba kendalikan, ambisinya telah memakan jiwanya sendiri, meninggalkannya sebagai cangkang kosong yang hanya bisa mengulang-ulang keinginannya yang paling dalam. Ia didiagnosis menderita gangguan mental parah dan akhirnya ditahan di rumah sakit jiwa, di mana ia akan menghabiskan sisa hidupnya dalam kebingungan, menjadi korban dari keserakahannya sendiri.

Raka Pratama, dengan hati yang berat dan jiwa yang terkoyak oleh penemuan tentang adiknya, memulai tugas terakhirnya di Desa Sukamaju. Ia menulis artikel panjang yang mendalam, mengungkap seluruh kebenaran yang mengerikan, tidak menyisakan detail. Artikelnya berjudul, "Pesona yang Dibayar Nyawa: Teror Petak Umpet Terakhir di Desa Sukamaju." Ia menuliskan setiap detail, dari arsip lama yang ia temukan di perpustakaan desa, kesaksian Pak Mardika tentang sejarah Nyai Sekar, hingga peran Bagas Dirgantara yang gelap dalam membangkitkan kutukan itu. Ia juga menambahkan sentuhan pribadi yang menyakitkan: kisah hilangnya adiknya, Luna, bertahun-tahun lalu, dan boneka biru usang yang ditemukan di antara jasad anak-anak. Ia ingin dunia tahu, agar tidak ada lagi yang mengulang kesalahan yang sama, agar tidak ada lagi yang menjadi korban dari kutukan yang sama.

Artikel Raka mengguncang publik. Kisah Desa Sukamaju menjadi berita nasional, bahkan internasional, menarik perhatian media dan para ahli. Gelombang simpati dan bantuan psikologis serta sosial mengalir ke desa untuk membantu warga yang trauma. Perlahan, Desa Sukamaju mulai mencoba menenangkan diri, membangun kembali kehidupan mereka yang hancur. Namun, trauma itu tidak akan pernah hilang sepenuhnya. Rumah-rumah yang tadinya penuh tawa dan canda kini sunyi, dipenuhi bayangan duka dan ketakutan. Anak-anak yang selamat tidak lagi berani bermain di malam hari, dan orang tua mereka selalu waspada. Pohon beringin tua di lapangan desa kini dipandang dengan ketakutan dan kecurigaan, bukan lagi sebagai tempat bermain yang aman. Setiap embusan angin malam seolah membawa bisikan-bisikan dari masa lalu, mengingatkan mereka akan kengerian yang telah terjadi. Bayangan petak umpet terakhir akan selalu menghantui Desa Sukamaju, sebuah peringatan abadi akan harga dari ambisi manusia yang tak terkendali.

Bab 10: Epilog: Lingkaran Tak Pernah Benar-Benar Tertutup

Setahun telah berlalu sejak tragedi "Petak Umpet Terakhir". Desa Sukamaju telah berangsur pulih dari puing-puing trauma, meski luka batin masih membekas dalam setiap warga. Untuk mengembalikan keceriaan dan semangat ke desa, para tetua memutuskan untuk mengadakan festival desa tahunan, sebuah perayaan sederhana dengan harapan dapat mengusir bayangan kelam yang menyelimuti mereka. Lampu-lampu lampion berwarna-warni digantung di sepanjang jalan, aroma makanan memenuhi udara, dan musik tradisional diputar untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama.

Di tengah keramaian dan sorak-sorai yang mulai kembali, beberapa anak-anak yang belum mengerti sepenuhnya kengerian masa lalu, atau yang mungkin sudah mulai melupakannya, kembali bermain petak umpet di malam festival yang diterangi lampu-lampu lampion. Mereka adalah generasi baru, yang mencoba mengklaim kembali masa kecil mereka yang dicuri.

Di antara mereka adalah seorang anak perempuan berusia sembilan tahun bernama Sari, seorang gadis kecil yang ceria dengan rambut dikepang dua. Sari bersembunyi di balik semak-semak lebat di dekat lapangan desa, mencoba menahan napasnya agar tidak ketahuan. Tawa riang terdengar dari teman-temannya yang lain, berkejaran di sekitar pohon beringin. Tiba-tiba, tawa itu berhenti. Keheningan aneh menyelimuti sesaat, seolah-olah waktu berhenti berputar. Sari merasakan hembusan angin dingin di lehernya, meskipun tidak ada angin bertiup. Ia sempat merasa takut, bulu kuduknya berdiri, tetapi kemudian, teman-temannya memanggil namanya dan Sari kembali muncul dari persembunyiannya, tertawa riang, seolah tidak terjadi apa-apa.

"Tadi dia bilang aku jadi temannya duluan," kata Sari polos kepada teman-temannya, sambil menunjuk ke arah semak-semak di mana ia bersembunyi. "Dia bilang dia mau ikut main." Tidak ada yang terlalu memikirkannya, mengira Sari berbicara tentang salah satu teman mereka yang lain yang baru saja bergabung dalam permainan.

Pada saat yang sama, kamera beralih ke lokasi segel Nyai Sekar, di tengah hutan larangan, di mana pisau keramat Pak Mardika tertancap. Cahaya bulan bersinar samar, menembus celah-celah dedaunan, menyoroti pisau itu. Dan di bawah pisau, tepat di permukaan tanah yang retak-retak akibat guncangan ritual sebelumnya, terlihat sebuah retakan baru yang tipis, memanjang dari pisau keramat. Retakan itu seolah bernapas, perlahan-lahan membesar, seperti luka yang kembali terbuka. Udara di sekitarnya bergetar samar, dan hawa dingin mulai merambat keluar dari retakan itu.

Dan dari kedalaman tanah, sebuah suara yang sangat pelan, hampir tak terdengar oleh telinga manusia, namun dipenuhi janji yang mengerikan, berbisik, seolah-olah suara itu datang dari bawah bumi itu sendiri:

"Satu..."

"Dua..."

"Tiga..."

"Aku datang..."

Suara itu menghilang ditelan angin malam, meninggalkan pertanyaan menggantung di udara. Lingkaran kengerian itu, ternyata, tidak pernah benar-benar tertutup. Ia hanya menunggu waktu, sabar, menunggu kesempatan lain untuk terbuka kembali. Apakah Desa Sukamaju akan kembali menghadapi takdir yang sama, terjebak dalam siklus kengerian abadi? Atau akankah ada seseorang yang akhirnya mampu memutus kutukan berusia berabad-abad ini, selamanya? Hanya waktu yang akan menjawab.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)