Masukan nama pengguna
Bab 1: Jatuh ke Tidur
Raka menghempaskan tubuhnya ke kasur, napasnya tersengal seolah ia baru saja berlari maraton. Hari itu adalah neraka yang berwujud tiga dimensi: email-email yang tak henti-hentinya masuk, panggilan telepon dari klien yang menuntut hal-hal di luar nalar, dan yang paling parah, pertengkaran sengit dengan rekan kerjanya, Bima, yang memuncak di depan seluruh departemen. Kata-kata pedas terlontar, tuduhan tak berdasar melayang, meninggalkan Raka dengan rasa pahit di lidah dan denyutan tak nyaman di pelipis. Beban pekerjaan dan kekesalan itu kini seperti batu bara panas yang mengimpit dadanya, membakar setiap sel syarafnya. Ia memejamkan mata, berharap kegelapan yang pekat akan memberinya pelarian singkat, sebuah jeda dari hiruk-pikuk yang mencekiknya. Namun, bahkan dalam kegelapan kelopak matanya, bayangan wajah Bima dengan seringai meremehkan masih menari-nari, disertai dengung samar suara sang atasan yang memperingatkan mereka berdua.
Ia tidak tahu berapa lama ia terlelap, tetapi tiba-tiba, Raka tersentak. Bukan karena suara alarm atau dering telepon, melainkan oleh sensasi aneh yang menerpa indranya. Ia tidak berada di apartemennya yang minimalis, tidak di atas kasur memory foam-nya yang empuk. Ia berdiri tegak di tengah ruang tamu yang asing, namun sekaligus sangat akrab. Jantungnya berdebar, bukan karena ketakutan, melainkan karena kebingungan yang mendalam.
Ini adalah rumah lamanya. Rumah masa kecilnya yang sudah lama ditinggalkan, yang kenangan-kenangannya seharusnya sudah terkunci rapat dalam album foto dan kotak memori yang berdebu. Dinding-dindingnya yang dulu dicat krem hangat kini mengelupas di sana-sini, menampakkan lapisan plester yang usang. Tirai jendela yang dulu cerah kini kusam, tertutup debu tebal yang entah sudah berapa lama menumpuk. Perabot usang—sofa beludru hijau tua yang dulu tempat ia sering tidur siang, meja kopi kayu jati dengan ukiran naga yang kini retak di beberapa bagian—semuanya diselimuti lapisan debu tebal, seolah tak tersentuh tangan manusia selama berabad-abad. Aroma yang menusuk hidungnya adalah bau apak, perpaduan antara lembap, jamur, dan sesuatu yang lebih tua, lebih busuk, seperti bau kenangan yang membusuk.
Raka melangkah hati-hati, suara kresek dari debu di bawah telapak kakinya terdengar memekakkan dalam kesunyian. Ia menoleh ke arah jendela, berharap melihat pemandangan taman belakang yang dulu rimbun dengan pohon mangga dan jambu. Namun, yang ia lihat hanya kegelapan samar, seolah malam telah membungkus seluruh dunia di luar sana. Dan kemudian, kesadaran itu menghantamnya, menusuk seperti jarum es.
Ada yang salah. Suasana terlalu sepi. Bukan sepi yang damai, seperti sepinya perpustakaan atau museum yang ditinggalkan. Ini adalah sepi yang mencekam, sepi yang mematikan, seolah udara itu sendiri menahan napasnya, enggan mengeluarkan suara sekecil apa pun. Bahkan dengungan listrik yang biasa ia dengar di apartemennya pun lenyap. Satu-satunya suara adalah detak jantungnya sendiri yang kini mulai mempercepat iramanya, memukul-mukul rusuknya dengan irama tak beraturan. Ia melangkah ke arah dapur, mencari secangkir air, namun keran air pun kering.
Pandangannya kemudian jatuh pada jam dinding tua yang menggantung miring di dinding ruang keluarga, tepat di atas perapian yang tak pernah digunakan. Bentuknya klasik, dengan angka Romawi dan jarum jam yang ramping. Raka mendekat, dan pupil matanya membesar. Jarum jam itu berhenti. Tepat di angka 03:00. Ia mencoba mengabaikannya, mungkin jam itu memang sudah rusak. Tapi kemudian, ia melihat jam tangan lamanya yang biasa ia letakkan di meja samping telepon putar. Ia meraihnya, dan sekali lagi, jarumnya membeku di angka 03:00. Ia menoleh ke jam kakek besar yang berdiri kokoh di sudut lorong, jam yang dulu selalu berdentang setiap jam. Diam. Jarumnya menunjukkan 03:00.
Sensasi dingin merayapi tulang punggungnya, bukan dinginnya suhu ruangan, melainkan dinginnya teror yang perlahan menyergap. Ini bukan mimpi biasa. Mimpi biasanya memiliki logika yang melompat-lompat, adegan yang berubah tanpa sebab, atau dialog yang tak masuk akal. Tapi ini... ini terlalu koheren, terlalu detail, terlalu nyata. Setiap helaan napas terasa berat, setiap langkah terasa seperti menginjak kaca. Suasana suram ini bukan sekadar refleksi dari rasa lelahnya. Ini lebih terasa seperti penarikan paksa ke dalam memori yang terkunci rapat, atau mungkin, ke dalam sesuatu yang jauh lebih gelap dari sekadar memori.
Pikiran Raka mulai berputar, mencoba mencari penjelasan rasional. Apakah ia mengigau? Apakah ia sleepwalking dan entah bagaimana bisa sampai ke rumah ini? Tapi rumah ini sudah dijual bertahun-tahun yang lalu. Dan mengapa semua jam berhenti di waktu yang sama? Pukul 03:00. Waktu yang dikenal sebagai "jam setan", ketika konon batas antara dunia nyata dan dunia lain menipis. Raka selalu menganggapnya sebagai takhayul konyol, tapi kini, di tengah keheningan yang mencekik dan aura aneh ini, ia mulai meragukannya.
Ia mencoba merasakan kasurnya, bantalnya, selimutnya. Tidak ada. Hanya debu di lantai, dan aroma apak yang semakin kuat. Sebuah bisikan samar, seolah berasal dari dalam benaknya sendiri, berkata, "Kau di sini, Raka. Akhirnya kau di sini." Bisikan itu bukan suara, melainkan getaran, sebuah frekuensi rendah yang menggetarkan tulang telinganya.
Raka meremas jemarinya, mencoba mencubit dirinya sendiri. Sakit. Tapi sakit yang aneh, seperti rasa sakit yang tumpul dan jauh, bukan rasa sakit yang tajam dan menyadarkan. Ia berjalan menuju pintu depan, mencoba meraih gagangnya. Gagang itu dingin dan terasa asing di tangannya, seolah tak pernah disentuh selama puluhan tahun. Ia memutarnya, mendorongnya. Terkunci. Tidak, lebih dari terkunci. Pintu itu seolah menyatu dengan kusennya, tak bisa digerakkan sedikit pun. Jendela-jendela pun demikian. Mereka tampak transparan, namun ketika Raka mencoba menyentuh kacanya, ia merasakan dinginnya permukaan batu, bukan kaca. Seolah dunia di luar sana hanyalah ilusi, dan ia terjebak di dalam sini.
Raka kembali ke ruang tamu, pandangannya menyapu sekeliling. Ia melihat tumpukan koran lama di sudut, mungkin edisi tahun 90-an. Ada boneka usang milik adiknya, Lisa, tergeletak di atas sofa. Matanya yang dulu ceria kini kusam dan berlubang. Semua terasa seperti peninggalan yang dibekukan waktu, atau lebih tepatnya, sebuah set panggung yang dirancang khusus untuknya.
Sensasi tidak nyaman yang ia rasakan di awal kini telah berevolusi menjadi ketakutan yang membeku. Ini bukan mimpi buruk biasa yang bisa ia paksa untuk bangun. Ini adalah sesuatu yang mencengkeramnya, menariknya masuk lebih dalam. Seperti tersedot ke dalam pusaran air yang gelap, tanpa harapan untuk muncul kembali ke permukaan. Pukul 03:00. Waktu yang berhenti. Apakah ini berarti waktunya sendiri telah berhenti? Atau ini adalah batas antara dua dunia, dan ia telah secara tidak sengaja melangkah melampaui batas itu? Raka tidak tahu, tapi satu hal yang pasti: ia tidak sendiri dalam mimpi ini. Dan apa pun yang ada di sini bersamanya, ia merasakan kehadirannya, mengawasinya, menunggu...
Bab 2: Tatapan Kosong Keluarga
Suara kresek debu di bawah kaki Raka menggema memekakkan di keheningan yang mencekik. Ia menelusuri koridor sempit, tangannya menyentuh dinding yang terasa dingin dan lembap, permukaannya kasar di bawah sentuhannya. Setiap langkah terasa seperti menginjak kaca, memecah kesunyian yang terlalu sempurna. Udara yang apak semakin kental, seolah memenuhi paru-parunya dengan aroma masa lalu yang membusuk. Raka melangkah hati-hati, waspada terhadap setiap bayangan yang menari-nari di sudut matanya, setiap celah gelap yang seolah menyembunyikan sesuatu. Jantungnya berdebar, bukan lagi karena kebingungan, melainkan karena firasat buruk yang semakin kuat, meremas dadanya seperti cengkeraman tangan tak kasat mata.
Kemudian, ia mendengarnya. Bisikan samar, tak lebih dari desiran angin yang membawa serpihan suara. Itu berasal dari ruang makan. Sebuah ketegangan baru mencengkeramnya. Siapa? Apa yang ada di sana? Dengan langkah ragu, Raka mengendap-endap mendekati ambang pintu, mengintip ke dalam.
Pandangannya terpaku. Di meja makan, duduklah ayah, ibu, dan adiknya, Lisa. Mereka duduk dalam formasi yang sama persis seperti yang selalu mereka lakukan saat sarapan di akhir pekan, di rumah ini. Ayahnya di kepala meja, sibunya di sampingnya, dan Lisa di seberang Raka, menghadapnya. Sebuah cangkir teh porselen dengan motif bunga yang familiar—yang selalu dipakai ibunya—tergeletak di depan setiap tempat duduk. Tapi tak ada uap mengepul, tak ada aroma kopi atau roti panggang. Semuanya statis, membeku.
Namun, bukan detail-detail itu yang membuat darah Raka mengering. Itu adalah mata mereka. Mata yang dulu penuh kehangatan, tawa, dan kasih sayang, kini kosong, menatap lurus ke depan tanpa ekspresi, seolah patung lilin yang baru saja diberi napas. Tak ada kedipan, tak ada gerakan kepala. Hanya tatapan hampa yang menembus Raka, seolah melihat menembusnya, atau mungkin tidak melihatnya sama sekali. Kulit mereka tampak terlalu pucat di bawah cahaya remang-remang yang entah dari mana asalnya, dan bibir mereka terkatup rapat dalam garis lurus yang kaku. Mereka benar-benar menyerupai patung, terlalu sempurna dalam kebekuan mereka.
Raka menahan napas. Ia ingin berteriak, ingin memanggil nama mereka, ingin menanyakan apa yang terjadi. Tapi suaranya tercekat di tenggorokan, terperangkap oleh rasa takut yang dingin. Ini bukan mereka. Ini tidak mungkin mereka.
Perlahan, sangat perlahan, kepala ibunya menoleh. Gerakannya patah-patah, seperti engsel yang berkarat. Matanya yang hampa kini fokus pada Raka. Sebuah senyum tipis, kaku, dan tak wajar mulai terukir di bibirnya. Senyum itu tidak sampai ke mata, melainkan hanya menarik ujung-ujung bibirnya ke atas, menciptakan sebuah seringai yang aneh dan mengerikan.
"Raka... akhirnya kau pulang," kata ibunya. Suaranya dingin dan datar, tidak ada kehangatan atau kasih sayang yang biasa. Itu terdengar seperti suara yang diputar dari kaset usang, bergema aneh di udara, terdistorsi seperti gema dari dasar sumur yang dalam. Sebuah getaran tak menyenangkan merambat di tulang belakang Raka.
Kemudian, ayahnya ikut menoleh, dengan gerakan yang sama patah-patahnya. Wajahnya yang biasa tegas kini hanya menunjukkan kekosongan. "Kau terlalu lama di luar, Nak. Kami merindukanmu. Mari ikut kami pulang," tambah ayahnya, suaranya memiliki resonansi yang sama, hampa dan tak bernyawa. Senyumnya persis seperti senyum ibunya—kaku, palsu, dan menakutkan.
Raka mundur selangkah, tanpa sadar menyenggol kursi yang berdebu di belakangnya. Suara gedebuk kursi yang jatuh memecah kesunyian, namun tak satu pun dari mereka bereaksi. Mata kosong itu tetap terpaku padanya, senyum kaku itu tetap terukir.
Lisa, adiknya, yang selalu ceria, kini hanya menatapnya dengan tatapan hampa yang sama. Mata cokelatnya yang dulu berbinar kini buram, seolah dilapisi kabut tipis. Bibirnya bergerak, nyaris tak bersuara. "Kami menunggumu, Kak. Sudah waktunya..."
Kata-kata itu, "ikut kami pulang," "sudah waktunya," berulang di benak Raka, berpacu dengan detak jantungnya yang semakin cepat. Ketidaknyamanan yang ia rasakan sejak awal kini berubah menjadi ketakutan yang membeku. Ini bukan sambutan keluarga. Ini adalah jebakan. Mereka tidak menyambutnya; mereka menariknya. Menariknya ke mana? Ke dalam kebekuan mereka? Ke dalam kekosongan yang mereka pancarkan?
Nalurinya menjerit, memperingatkannya. Ada sesuatu yang sangat salah. Ini bukan ayah, ibu, atau Lisa-nya yang ia kenal. Ini adalah sesuatu yang meniru mereka, sesuatu yang bersembunyi di balik topeng yang mengerikan. Tujuan mereka tidak ramah; itu adalah sebuah ancaman.
Tiba-tiba, tanpa peringatan, Lisa bangkit. Gerakannya begitu mendadak dan patah-patah, lebih mirip boneka kayu yang digerakkan tali tak terlihat daripada manusia. Kursi yang didudukinya tergeser ke belakang dengan suara gesekan yang memekakkan, namun mereka tak bergeming. Lisa melangkah mendekati Raka, perlahan namun pasti, tangannya terulur ke depan. Ekspresi di wajahnya berubah, senyum kaku itu melebar menjadi seringai mengerikan, memperlihatkan deretan gigi yang terlalu putih dan sempurna. Matanya yang kosong kini memiliki kilatan samar, seolah ada cahaya redup yang baru saja dinyalakan di kedalamannya.
"Kau harus kembali... bersama kami," bisik Lisa, suaranya kini sedikit lebih keras, tapi tetap datar, seperti suara angin di antara ranting-ranting kering. Jemarinya yang ramping dan pucat terentang, seolah ingin meraih Raka, ingin mencengkeramnya.
Raka melihat kekosongan di balik mata itu, dan ia tahu. Ini bukan adiknya. Ini adalah ilusi, entitas, atau apa pun itu, yang menggunakan wujud adiknya untuk mendekat, untuk menyeretnya ke dalam kegelapan yang sama, ke dalam kebekuan yang mematikan. Kekuatan yang menariknya ke dalam mimpi ini, atau realitas alternatif ini, ingin ia menyerah, ingin ia bergabung dengan mereka dalam keadaan tak bernyawa ini.
Tanpa pikir panjang, insting bertahan hidupnya mengambil alih. Ia harus lari. Ia berbalik, membelakangi sosok-sosok keluarganya yang menyeramkan itu. Ia bisa merasakan tatapan kosong mereka membakar punggungnya, bisa merasakan dinginnya kehadiran mereka merayap di kulitnya. Suara Lisa yang mengulang-ulang, "Kau harus kembali... bersama kami," masih bergema di telinganya, namun kini diikuti oleh suara ayahnya yang berat dan suara ibunya yang melengking, semuanya memanggil namanya, mendesaknya untuk "pulang".
Ia tidak tahu ke mana ia harus lari, tapi ia tahu ia tidak bisa tinggal di sana. Rumah ini, yang seharusnya menjadi lambang kenyamanan dan keamanan, kini telah berubah menjadi penjara yang menakutkan. Dan keluarganya, yang seharusnya menjadi pelindungnya, kini adalah sipir penjara yang paling mengerikan. Ia mendorong pintu ruang makan, nyaris menabrak ambang pintu, dan berlari menuju koridor gelap yang tadi ia lalui. Setiap langkah adalah sebuah upaya untuk melarikan diri, bukan hanya dari mereka, tetapi dari apa yang mereka representasikan: kematian yang dingin dan hampa, dan mungkin, sebuah kebenaran pahit yang belum ia mengerti tentang mimpinya ini. Suara-suara di belakangnya semakin keras, semakin mendesak, seolah mereka kini telah bangkit dari kursi dan mulai mengikutinya.
Raka tidak menoleh. Ia hanya berlari.
Bab 3: Dikejar Kenangan
Raka tidak tahu ke mana ia berlari, hanya saja menjauh dari ruang makan itu, menjauh dari tatapan kosong yang membakar punggungnya, dan seringai mengerikan yang terukir di wajah adiknya. Napasnya memburu, paru-parunya terasa seperti terbakar, dan kakinya bergerak secara otomatis, mencari jalan keluar dari rumah yang kini terasa seperti jebakan kematian. Ia menabrak dinding koridor, tangannya bergesekan dengan plester yang mengelupas, meninggalkan jejak kotor di kulitnya. Suara-suara di belakangnya semakin dekat—desahan, bisikan nama Raka yang diulang-ulang dengan nada hampa, dan langkah-langkah kaki yang ganjil, seolah menyeret.
Ia menerjang pintu depan, menarik gagangnya yang dingin dengan sekuat tenaga. Terkunci. Ia mendorong, menendang, namun pintu itu tetap kokoh, seolah menyatu dengan kusennya. Keputusasaan mulai merayapi benaknya. Ia berbalik, melarikan diri ke arah dapur, berharap ada pintu belakang atau jendela yang bisa dipecahkan.
Namun, begitu ia melewati ambang pintu dapur, pemandangan di sekitarnya berubah drastis. Bukan lagi dapur kusam rumah lamanya, bukan lagi dinding-dinding yang akrab. Ia kini berada di luar, namun bukan di halaman belakang yang ia ingat. Lingkungan yang dulunya akrab—jalanan beraspal, rumah tetangga dengan pagar putih, pohon-pohon rindang yang dulu menjadi tempatnya bermain petak umpet—kini menjadi labirin yang suram, tak berujung, dan mencekik.
Dinding-dinding labirin ini terbuat dari bayangan yang pekat dan kabut tebal yang berputar-putar. Tinggi, menjulang, dan tanpa celah, seolah dirancang untuk menjebak. Lorong-lorongnya sempit dan berliku-liku, setiap belokan mengarah pada lorong lain yang persis sama. Udara terasa dingin dan lembap, menusuk tulang. Aroma apak yang tadi ia cium di rumah kini bercampur dengan bau tanah basah dan sesuatu yang pahit, seperti logam berkarat. Suara napas Raka yang terengah-engah dan detak jantungnya yang menggila adalah satu-satunya suara yang nyata dalam keheningan yang menyesakkan ini.
Ia berlari, berbelok ke kiri, lalu ke kanan, kemudian ke kiri lagi. Setiap lorong tampak identik, tak ada tanda atau ciri khusus yang bisa membantunya menemukan jalan keluar. Rasa panik mulai melumpuhkannya. Apakah ia berputar-putar di tempat?
Dan kemudian, ia melihat mereka.
Di balik sebuah sudut, muncul sosok yang dikenalnya. Itu Dimas, teman SMP-nya yang dulu sering ia ejek dan ia bully karena perawakannya yang kecil. Tapi ini bukan Dimas yang ia ingat. Mata Dimas menyala merah di balik kabut, dan seringai mengerikan yang sama dengan keluarganya kini menghiasi wajahnya. Rambutnya acak-acakan, bajunya compang-camping. Ia tidak berbicara, hanya melangkah maju, tangannya terulur. Ekspresinya bukan marah, melainkan kosong, menyeramkan, dan tak punya jiwa.
Raka berbalik dan berlari lebih cepat, jantungnya berdebar-debar di tenggorokan. Ia tidak tahu mengapa Dimas ada di sini, mengapa ia terlihat begitu menyeramkan. Ia hanya tahu ia harus lari.
Di lorong berikutnya, ia menabrak sesosok tubuh. Itu Sandra, teman kuliahnya, yang pernah ia khianati dalam sebuah proyek besar demi keuntungan pribadi. Sandra yang kini berdiri di depannya terlihat kurus kering, kulitnya pucat pasi, dan bibirnya membiru. Matanya melotot, kosong dari emosi, namun tangannya mencengkeram erat. "Kau tidak bisa lari dari kami, Raka!" Suaranya terdengar pecah, serak, seolah berasal dari tenggorokan yang rusak. Ia menggeram, mencoba mencengkeram lengan Raka.
Raka berhasil menghindar, ia melompat ke samping dan terus berlari. Namun, seolah labirin ini memang sengaja menampakkan hantu-hantu masa lalunya. Di setiap belokan, di setiap celah, muncul sosok teman-teman lama dan kenalan: teman sekelas yang pernah ia fitnah, mantan pacar yang ia tinggalkan tanpa kabar, bahkan seorang kolega yang pernah ia sabotase karirnya. Mereka semua memiliki mata merah menyala, seringai mengerikan, dan gerakan yang kaku, patah-patah, seperti boneka.
Mereka tidak lagi berteriak namanya dengan bisikan hampa seperti keluarganya. Mereka berteriak tuduhan, kata-kata yang pernah ia dengar atau ia takutkan akan ia dengar.
"Pengecut!" teriak sosok mantan pacarnya, suaranya dipenuhi dendam.
"Penipu!" sahut sosok kolega yang ia sabotase, tangannya terulur seperti cakar.
"Kau bertanggung jawab!" teriak paduan suara dari semua sosok itu, menggema di lorong-lorong gelap, menyelimuti Raka dengan gelombang rasa bersalah dan ketakutan.
Mereka tidak hanya mencoba menangkapnya; mereka mencoba membunuhnya. Jemari mereka yang pucat mencoba mencengkeram tenggorokannya, wajah-wajah menyeramkan itu mendekat dengan geraman rendah. Setiap serangan terasa nyata—Raka bisa merasakan embusan napas dingin mereka di kulitnya, bisa melihat kilatan jahat di mata mereka. Ia menghindar, berbalik, dan mendorong, tubuhnya bergerak lincah meski ia merasa sangat lelah.
Rasa dingin menjalar di punggung Raka, menembus setiap lapisan kulitnya hingga ke tulang. Ini bukan sekadar rasa bersalah yang termanifestasi. Ini terlalu brutal, terlalu personal. Ia berlari, napasnya memburu, otaknya berputar keras mencari penjelasan rasional. Ini bukan mimpi biasa tentang ketakutan bawah sadar, bukan hanya imajinasi yang kacau.
Ini terasa terlalu nyata, terlalu detail, terlalu kejam. Ada konsistensi dalam horor ini—tatapan kosong, seringai menyeramkan, gerakan kaku. Dan yang lebih mengganggu, setiap sosok yang muncul adalah seseorang yang memiliki sejarah dengannya, seseorang yang pernah ia sakiti atau ia kecewakan. Ia merasa seolah-olah ia sedang dikejar oleh dosa-dosanya sendiri, oleh beban-beban masa lalu yang selama ini ia coba lupakan atau abaikan.
"Kau tidak bisa lari dari kami, Raka!" teriak suara-suara itu lagi, kali ini dari segala arah, seolah labirin itu sendiri berbicara kepadanya. "Kau bertanggung jawab atas semua yang kau lakukan!"
Raka tersandung, jatuh berlutut di tanah yang lembap dan dingin. Ia terbatuk-batuk, menghirup udara yang berat dan berbau busuk. Ia mendongak, melihat siluet beberapa sosok mendekat dari ujung lorong. Mereka tidak terburu-buru. Mereka tahu ia terjebak. Mereka menikmati perburuan ini.
Kesadaran itu menghantamnya dengan kekuatan brutal. Ia tidak hanya dikejar; ia dihakimi. Mimpi ini, atau apa pun ini, adalah sebuah persidangan, sebuah penampakan kembali dari semua kesalahan yang ia kubur dalam-dalam di benaknya. Ia selalu berpikir ia bisa lari dari masa lalu, menguburnya di bawah tumpukan pekerjaan dan kesibukan. Tapi di sini, di labirin ini, masa lalu itu bangkit kembali, berwujud mengerikan, menuntut pertanggungjawaban.
Lututnya sakit, dadanya sesak, dan matanya mulai perih. Namun, ia tidak boleh menyerah. Jika ini adalah penghakiman, maka ia harus menemukan cara untuk menghadapinya, atau setidaknya, menemukan jalan keluar dari penjara mengerikan ini. Ia harus menemukan alasan mengapa ia ada di sini, mengapa semua jam berhenti di pukul 03:00, dan mengapa orang-orang ini mengejarnya. Ia harus memahami aturan main dari mimpi atau realitas ini.
Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Raka memaksakan dirinya untuk berdiri lagi. Suara-suara kutukan semakin keras, tawa-tawa hampa terdengar di sekelilingnya. Labirin ini seolah hidup, bergerak, dan bernapas, dipenuhi oleh roh-roh dendam dari masa lalunya. Ia harus terus berlari, meskipun ia tidak tahu ke mana tujuannya. Ia hanya tahu ia harus hidup. Ia harus menemukan jawaban. Dan ia harus lari dari mereka, siapa pun mereka, dan apa pun yang mereka inginkan darinya. Ia bukan lagi Raka yang pengecut. Ia harus berjuang.
Bab 4: Arwah yang Memanggil
Raka terus berlari, napasnya memburu, paru-parunya serasa robek. Labirin bayangan itu tak ada habisnya, setiap lorong seolah membelokkannya kembali ke titik awal. Ia sudah tidak tahu berapa lama ia terperangkap dalam pengejaran tak berujung ini. Keringat dingin membasahi punggungnya, bercampur dengan debu dan kelembapan yang menusuk. Suara-suara tuduhan dari "teman-temannya" masih menggema di belakangnya, namun kini mulai memudar, berubah menjadi bisikan samar yang mengejek. Ia merasa tenaganya terkuras habis, setiap ototnya protes, menjerit minta diistirahatkan.
Ketika ia hampir menyerah pada keputusasaan, ia tiba-tiba tersandung, terjatuh ke depan dengan suara gedebuk yang keras. Lututnya menghantam permukaan yang dingin dan keras, rasa perih menjalar ke seluruh kakinya. Ia mendongak, terengah-engah, dan menyadari bahwa ia tidak lagi berada di dalam labirin sempit. Ia kini berada di sebuah area terbuka yang remang-remang. Kabut tebal menyelimuti tanah, menggantung setinggi pinggang, membuat pandangan terbatas hanya beberapa meter di depannya. Udara di sini terasa aneh, tidak dingin menusuk seperti di labirin, tidak panas pengap seperti di rumah. Hanya hampa, tanpa aroma, tanpa kelembapan, seperti berada di ruang vakum yang hampa kehidupan.
Raka memaksakan diri untuk bangkit, tubuhnya gemetar. Ia menyapu pandangannya ke sekeliling, mencari dinding labirin atau siluet pengejarnya. Tapi tidak ada. Hanya kabut, keheningan, dan kegelapan samar yang tak berujung. Rasa lega yang singkat segera digantikan oleh ketegangan baru. Tempat ini terasa... menunggu.
Perlahan, dari kedalaman kabut yang pekat, mulai muncul sosok-sosok yang dikenalnya. Mereka bukan lagi hantu-hantu bermata merah atau zombie menyeramkan. Ini adalah kerabat-kerabatnya yang sudah meninggal.
Yang pertama muncul adalah Neneknya, dengan rambut perak yang tertata rapi dan senyum lembut yang selalu menenangkan. Kemudian Kakeknya, dengan jas kotak-kotak favoritnya dan tatapan mata yang bijaksana. Disusul oleh Bibinya, yang selalu memberinya permen saat ia berkunjung, dan Pamannya yang selalu bercanda dan membuat suasana riang. Mereka semua terlihat sama persis seperti terakhir kali Raka melihat mereka dalam hidup—bahkan lebih muda, lebih bercahaya samar, seolah sebuah cahaya lembut memancar dari dalam diri mereka. Tidak ada debu, tidak ada kerapuhan. Mereka tampak utuh dan damai.
Sebuah kelegaan yang luar biasa menyapu Raka. "Nenek?" bisiknya, suaranya serak. Ia melangkah maju, ingin memeluk mereka, ingin merasakan kehangatan yang telah lama hilang.
Namun, saat ia mendekat, ia melihat detail yang membuat hatinya menciut. Senyum lembut terpancar di wajah mereka, ya, tapi senyum itu entah mengapa terasa menyeramkan, seolah menyembunyikan maksud lain. Mata mereka, meskipun tidak merah atau hampa seperti pengejarnya sebelumnya, memiliki kedalaman yang aneh, seperti sumur tak berdasar yang menyimpan rahasia. Mereka tidak berkedip, dan ekspresi di wajah mereka terasa terlalu statis, terlalu sempurna, seperti topeng.
"Raka... kemarilah, Cucuku," kata neneknya, suaranya lembut, namun ada nada datar yang membuat bulu kuduk Raka merinding. Tangannya terulur ke depan, kulitnya tampak pucat dan transparan di bawah cahaya samar.
"Sudah lama kami menunggumu," tambah Kakeknya, suaranya berat tapi tanpa emosi yang berarti. "Kau telah berkelana terlalu jauh."
Raka berhenti melangkah. Naluri peringatan dalam dirinya berteriak. Ini mirip dengan jebakan keluarganya di rumah. Mereka tampak ramah, memikat, tapi ada sesuatu yang fundamental yang salah.
"Ikutlah kami ke tempat di mana segalanya akan tenang," bujuk pamannya, suaranya bagai melodi yang memabukkan, lembut dan penuh janji. "Tidak ada lagi beban, tidak ada lagi rasa sakit. Hanya kedamaian. Abadi."
Bibi Raka mengangguk, senyum aneh itu masih terpahat di wajahnya. "Di sana, kau tidak perlu lagi berlari. Tidak ada lagi penyesalan, Raka. Hanya kebahagiaan."
Suara-suara mereka seperti sirene yang memikat, janji tentang kedamaian yang abadi, pelarian dari semua penderitaan yang ia alami, baik di mimpi ini maupun dalam hidup nyata. Kelelahan dan ketakutan yang mendera Raka begitu hebat sehingga ia tergoda. Sungguh menggoda untuk menyerah, membiarkan dirinya dibawa ke tempat yang dijanjikan, tempat di mana tidak ada lagi tekanan pekerjaan, tidak ada lagi pertengkaran, tidak ada lagi penyesalan masa lalu yang menghantui.
Bayangan kasur empuk, keheningan sempurna, dan absennya semua beban dunia nyata mulai terasa sangat menarik. Raka membayangkan kelegaan mutlak, kehampaan yang damai. Sebuah bisikan di benaknya berkata, Lepaskan saja, Raka. Berakhir sudah. Kau pantas mendapatkan istirahat.
Ia melangkah maju, tangannya sedikit terangkat, siap meraih tangan neneknya yang terulur. Namun, di dalam dirinya, ada sesuatu yang menolak. Sebuah bisikan samar, jauh lebih dalam dan kuat daripada bisikan keputusasaan, sebuah insting primal yang berteriak bahwa kedamaian yang mereka tawarkan adalah ilusi.
Ia teringat jam yang berhenti di pukul 03:00. Apakah ketenangan yang mereka tawarkan berarti bahwa ia akan berhenti juga? Berhenti hidup, berhenti bernapas, berhenti merasa? Apakah ini bukan istirahat, melainkan kematian? Sebuah kematian yang disamarkan sebagai kedamaian?
Kilasan kenangan buruk muncul kembali di benaknya—bukan kesalahan yang ia perbuat, melainkan momen-momen ketika ia memilih jalan yang mudah, menghindar dari tanggung jawab, dan membiarkan orang lain menanggung akibatnya. Ia teringat bagaimana ia sering menghindar dari konflik, bagaimana ia sering lari dari masalah. Apakah ini adalah puncak dari semua pelariannya? Akhir dari jalan yang mudah?
Pikirannya kembali ke babak sebelumnya, di mana "teman-temannya" yang bermata merah mengejarnya, menuntut pertanggungjawaban atas kesalahannya. Mereka adalah manifestasi dari penyesalannya. Dan kini, kerabatnya yang meninggal, mereka yang selalu mencintainya, muncul menawarkan "ketenangan". Apakah ini dua sisi dari koin yang sama? Satu sisi adalah hukuman, sisi lain adalah iming-iming untuk menyerah pada kematian, dengan cara yang lebih lembut, lebih memikat?
Raka merasakan tubuhnya bergetar. Ketenangan yang mereka tawarkan terlalu sempurna, terlalu kosong. Tidak ada kehidupan dalam kedamaian itu, hanya kehampaan. Jika ia mengikuti mereka, ia akan menyerahkan jiwanya, membiarkan dirinya ditarik ke dalam jurang yang tak berujung, sama seperti keluarganya yang "patung" di rumahnya. Ini adalah jebakan lain, jebakan terakhir untuk jiwanya, yang disajikan dengan wajah paling menenangkan.
"Tidak," bisik Raka, suaranya lemah tapi tegas. "Aku... aku tidak bisa."
Senyum kaku di wajah kerabatnya tidak berubah. Mata mereka yang tak berkedip masih menatapnya. Namun, ada getaran halus di udara, seolah penolakan Raka telah menciptakan riak di dunia mimpi yang stabil ini.
"Kau lelah, Raka," kata pamannya lagi, suaranya kini sedikit lebih mendesak. "Ini adalah akhir dari penderitaanmu. Mengapa kau menolak kebahagiaan?"
"Ini bukan kebahagiaan," jawab Raka, menemukan sedikit kekuatannya. "Ini... ini kosong." Ia teringat betapa berharganya setiap napas, setiap detak jantung, meskipun itu diwarnai oleh rasa sakit dan penyesalan. Hidup, dengan segala kekurangannya, tetaplah hidup. Dan kematian yang mereka tawarkan, seindah apa pun penyamarannya, tetaplah kematian.
Sebuah insting yang kuat menyuruhnya untuk terus maju, untuk tidak menyerah pada bujukan ini. Ia tidak tahu apa yang ada di depan, tapi ia tahu apa yang ada di belakangnya—dan ia tahu ia tidak bisa tinggal di sini, di antara arwah-arwah yang memanggilnya menuju kehampaan. Ia harus menemukan jalan keluar dari mimpi ini, dari perangkap ini.
Dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki, Raka memutar tubuhnya, membelakangi kerabatnya yang tak berkedip. Ia tidak melihat ekspresi mereka berubah, tapi ia merasakan dinginnya pandangan mereka yang mengikuti punggungnya saat ia mulai melangkah maju, kembali menembus kabut tebal, menuju sesuatu yang tak diketahui. Ia tidak tahu ke mana ia pergi, tapi ia tahu ia tidak akan pergi bersama mereka.
Bab 5: Cermin Kebenaran
Raka terus melangkah maju menembus kabut, meninggalkan kerabatnya yang tak berkedip di belakangnya. Setiap langkah terasa berat, seolah ia sedang mendaki gunung pasir. Udara hampa di sekelilingnya semakin menyesakkan, dan meskipun ia berhasil menolak bujukan arwah, rasa takut tetap menggerogoti benaknya. Ia tidak tahu apa yang akan ia temui selanjutnya, atau apakah ada jalan keluar dari mimpi mengerikan ini. Ia hanya tahu bahwa menyerah bukanlah pilihan.
Kabut tebal perlahan menipis, menampakkan siluet sebuah struktur di kejauhan. Semakin Raka mendekat, semakin jelaslah bentuknya: sebuah ruangan aneh yang kosong, dingin, dan temaram. Dinding-dindingnya terbuat dari material hitam legam yang memantulkan sedikit cahaya redup, menciptakan ilusi ruang tak berujung. Tidak ada perabot, tidak ada pintu atau jendela yang terlihat. Hanya ada satu objek di tengah ruangan itu, berdiri tegak dan megah: sebuah cermin besar.
Cermin itu menjulang tinggi, permukaannya gelap seperti genangan air yang tenang di malam tanpa bulan. Bukan cermin perak yang biasa ia kenal, melainkan sesuatu yang lebih mirip obsidian yang dipoles sempurna. Raka mendekat dengan hati-hati, langkahnya ragu. Ia mencondongkan tubuh, dan perlahan, bayangan dirinya mulai muncul di permukaan gelap itu.
Namun, itu bukan dirinya yang biasa.
Bayangan itu berubah menjadi makhluk mengerikan. Wajah Raka di cermin terdistorsi, rahangnya memanjang, matanya menyala merah pekat, dan seringai jahat yang sama dengan yang ia lihat di wajah "teman-teman" pengejarnya kini menghiasi bibirnya. Rambutnya tampak kusut dan acak-acakan, tubuhnya kurus kering, dan kulitnya tampak bersisik keabu-abuan. Kuku-kukunya memanjang seperti cakar, dan dari punggungnya seolah tumbuh sesuatu yang menyerupai sayap kelelawar, namun compang-camping.
Itu adalah distorsi dirinya, sebuah karikatur yang jahat dan menakutkan. Makhluk itu adalah manifestasi visual dari sisi gelap yang selama ini ia sembunyikan, sisi yang penuh dengan egoisme, ketakutan, dan rasa bersalah yang tak terucap. Raka menatap ngeri pada bayangan itu. Ia tahu persis siapa itu: itu adalah dirinya, tetapi dalam bentuk paling buruk yang bisa dibayangkan, tanpa topeng kesopanan atau penyesalan. Ini adalah monster yang ia ciptakan sendiri dari kesalahan-kesalahannya.
Ketika Raka mencoba mengalihkan pandangan, permukaan cermin mulai beriak, bukan karena sentuhan, melainkan seolah ada sesuatu yang bergerak di dalamnya. Kemudian, cermin itu mulai menampilkan kilasan-kilasan ingatan yang ia lupakan, atau lebih tepatnya, yang ia paksa lupakan dan ia kubur dalam-dalam di alam bawah sadarnya.
Adegan pertama: Sebuah malam yang dingin, bertahun-tahun yang lalu. Raka, yang masih remaja, bertengkar hebat dengan ayahnya. Ayahnya ingin ia fokus pada pelajaran, sementara Raka ingin bebas bermain dengan teman-temannya. Dalam amarahnya, Raka mengatakan kata-kata yang sangat menyakitkan, menuduh ayahnya tak pernah mengerti dirinya, tak pernah mendukung mimpinya. Ia melihat wajah ayahnya yang terluka, tatapan kecewa yang dalam. Raka kecil di cermin itu berbalik dan membanting pintu kamarnya, meninggalkan ayahnya sendirian. Rasa bersalah menusuknya. Ia tak pernah benar-benar meminta maaf atas kejadian itu, hanya membiarkannya terkubur.
Adegan kedua: Sebuah janji yang ia ingkari kepada Lisa, adiknya. Lisa kecil memintanya untuk mengajarinya bermain gitar, dan Raka berjanji akan melakukannya setiap akhir pekan. Namun, kesibukan sekolah, teman-teman, dan game online selalu menjadi prioritas. Lisa kecil di cermin itu terlihat menunggu di ruang tamu dengan gitar mainan, matanya penuh harap, namun Raka remaja hanya melambaikan tangan, mengatakan ia sibuk. Senyum Lisa memudar, bahunya terkulai. Raka merasa malu. Ia telah mengecewakan adiknya berkali-kali.
Adegan ketiga: Ini adalah yang paling menyakitkan. Sebuah pesta kelulusan kuliah yang meriah. Raka, mabuk dan sombong, mengejek seorang temannya, Rizal, yang baru saja gagal mendapatkan pekerjaan impiannya. Raka mengatakan Rizal tak cukup pintar, tak cukup gigih. Ia melihat Rizal di cermin itu, wajahnya pucat, mata merah menahan tangis, pergi meninggalkan pesta. Beberapa bulan kemudian, Rizal dikabarkan mengalami depresi berat dan sempat mencoba bunuh diri. Raka tak pernah menjenguknya, merasa terlalu canggung dan bersalah. Ia hanya membaca kabar itu dari jauh, dan cepat-cepat mengabaikannya, menutupi rasa sesalnya dengan kesibukan kerja.
Adegan keempat, yang paling gelap: Kilasan paling mengerikan muncul. Sebuah kecelakaan mobil di jalan tol. Malam yang gelap, hujan lebat. Raka yang masih muda saat itu, mengemudi dengan kecepatan tinggi, sedikit di bawah pengaruh alkohol. Ia melihat sebuah mobil di depannya, melambat mendadak. Panik, Raka membanting setir, menghindari tabrakan langsung. Mobilnya berhasil selamat, hanya menabrak pembatas jalan. Namun, mobil yang di depannya, karena pengereman mendadak yang Raka sebabkan, ditabrak dari belakang oleh truk besar. Suara benturan yang memekakkan telinga. Jeritan. Raka, yang ketakutan dan panik, alih-alih berhenti dan membantu, malah memutuskan untuk pergi. Ia mengubah rutenya, mematikan lampu mobilnya, dan melarikan diri dari tempat kejadian. Ia tak pernah melaporkan dirinya, tak pernah mengakui perannya dalam kecelakaan itu. Ia hanya mendengar kabar dari berita bahwa ada korban jiwa. Ia selalu berhasil meyakinkan dirinya bahwa ia tidak bersalah secara langsung, bahwa itu adalah kecelakaan. Namun, cermin itu tak berbohong. Mata korban kecelakaan itu, seorang wanita muda, menatap lurus ke arahnya dari pantulan cermin, penuh tuduhan. Rasa bersalah yang selama ini ia kubur begitu dalam, kini meledak di dalam dirinya, terasa begitu nyata dan menghancurkan.
Setiap adegan, setiap kilasan, adalah kesalahan dan rasa bersalah yang selama ini ia pendam. Cermin itu adalah portal menuju kebenaran batinnya, memaksanya untuk menghadapi semua yang ia hindari, semua yang ia tutupi dengan lapisan-lapisan penyangkalan. Ia melihat betapa egoisnya ia, betapa pengecutnya ia dalam menghadapi konsekuensi tindakannya. Ia melihat bagaimana ia telah menyakiti orang-orang yang ia pedulikan, dan bagaimana ia telah lari dari tanggung jawabnya.
Makhluk mengerikan di cermin itu tersenyum, seringainya semakin lebar, seolah mengejek Raka atas semua kelemahan dan dosa-dosanya. Itu adalah pantulan jiwanya yang tercemar, jiwanya yang kotor.
Mimpi ini, ia sadar, bukan hanya mimpi buruk biasa tentang ketakutan bawah sadar. Ini adalah penghakiman terhadap hidupnya, sebuah refleksi brutal dari jiwa yang terluka, sebuah pengadilan yang tak bisa ia hindari lagi. Labirin itu adalah pengejaran fisik, arwah-arwah itu adalah bujukan menuju kehampaan. Dan cermin ini, adalah manifestasi dari kebenaran yang kejam, sebuah pengakuan dosa yang dipaksakan.
Cermin itu membesar, memenuhi seluruh pandangannya, seolah ia bisa tersedot ke dalamnya. Kilasan-kilasan kenangan buruk itu berputar lebih cepat, lebih intens, menciptakan pusaran rasa sakit dan penyesalan. Raka menutup matanya rapat-rapat, mencoba menghentikan aliran gambar-gambar itu, mencoba mengusir jeritan-jeritan hati nuraninya. Namun, semua itu terlalu jelas, terlalu nyata, terlalu menusuk.
Ia tidak bisa lagi menyangkalnya. Semua yang ia lihat di cermin adalah kebenaran. Dan kebenaran itu terasa lebih dingin, lebih gelap, dan lebih menakutkan daripada horor apa pun yang ia alami di mimpi ini. Ia merasa jiwanya tercabik-cabik, setiap potongan dirinya yang dulu ia anggap baik kini hancur berkeping-keping di depan pantulan monsternya sendiri.
Ketika Raka membuka matanya lagi, makhluk mengerikan itu masih menatapnya dari cermin, senyumnya dingin, menuduh. Dan kali ini, Raka tahu, ia tidak bisa lari. Ia harus menghadapi apa yang ada di depan cermin itu, atau ia akan selamanya terjebak dalam neraka pribadi yang ia ciptakan sendiri.
Bab 6: Lari Tanpa Arah
Raka berteriak. Bukan lagi suara yang tercekat, melainkan lolongan frustrasi dan keputusasaan yang merobek tenggorokannya. Ia memejamkan mata rapat-rapat, berharap kegelapan yang pekat itu akan menghapus bayangan mengerikan dirinya di cermin, menghapus kilasan-kilasan memori yang menghantuinya. Ia ingin bangun. Sekarang juga. Tapi realitas mimpi ini mencengkeramnya terlalu kuat.
Ketika ia membuka matanya lagi, ia tidak lagi berada di ruangan cermin. Ia berdiri di sebuah lorong gelap yang tak berujung. Dinding-dindingnya terbuat dari kabut pekat yang berputar-putar, nyaris tanpa bentuk, dan lantainya terasa seperti rawa hisap, setiap langkah membenamkan kakinya lebih dalam. Tidak ada langit-langit, hanya kehampaan hitam yang tak terbatas di atas. Udara terasa dingin, lebih dingin dari sebelumnya, dan ada bau anyir yang samar, seperti darah kering atau daging yang membusuk.
Raka mulai berlari. Ia tidak tahu ke mana, hanya saja menjauh dari rasa sakit dan kebenaran yang baru saja ia lihat. Ia memaksakan dirinya untuk terus bergerak, setiap langkah adalah perjuangan melawan kekuatan tak terlihat yang seolah ingin menahannya. Paru-parunya terasa sesak, napasnya tersengal-sengal, namun ia tidak bisa berhenti. Berhenti berarti menyerah, dan ia tidak mau menyerah.
Namun, labirin ini terasa berbeda. Ini bukan labirin yang terbuat dari dinding fisik seperti yang pertama. Ini adalah labirin pikiran, labirin ilusi. Setiap kali ia berpikir ia melihat sebuah cahaya di ujung, atau sebuah belokan yang menjanjikan jalan keluar, ia akan menemukan dirinya kembali ke titik yang sama. Setiap jalan kembali ke tempat semula. Lorong-lorong itu melengkung, berbelok, dan berputar, namun selalu mengarah kembali ke kabut yang sama, ke kehampaan yang sama. Seolah-olah ada kekuatan tak kasat mata yang terus-menerus membelokkannya kembali, menolaknya untuk pergi.
Dan kemudian, suara-suara membisikkan namanya dari setiap sudut, dari setiap celah kabut. Bukan lagi teriakan tuduhan yang jelas, melainkan bisikan-bisikan samar, berdesir seperti angin di antara dedaunan kering. Tapi setiap bisikan itu membawa beban yang berat.
"Raka... kau tidak bisa lari."
"Kau pantas mendapatkannya."
"Ini adalah tempatmu yang sebenarnya."
"Kegelapan ini... adalah rumahmu."
"Apakah kau sudah mati? Apakah ini akhir?"
Bisikan-bisikan itu bukan hanya kata-kata. Itu adalah ejekan, tuduhan, dan yang paling menakutkan, bisikan keputusasaan yang menggerogoti jiwanya. Mereka berasal dari mana-mana dan tidak dari mana-mana, seolah labirin itu sendiri yang berbicara kepadanya. Suara-suara itu seolah tahu persis apa ketakutan terbesarnya: terjebak, sendirian, dan tak berdaya.
Kepala Raka mulai pusing, berputar-putar. Realitasnya terkoyak, batas antara mimpi dan kenyataan semakin kabur. Ia meragukan setiap langkah, setiap keputusan. Apakah ia benar-benar berlari? Atau ia hanya berputar-putar di tempat, terperangkap dalam lingkaran tak berujung yang dirancang untuk menghancurkan kewarasannya?
Ia mencoba menyentuh dinding kabut, berharap menemukan batasan, sebuah permukaan padat. Namun, tangannya hanya menembus kehampaan dingin, seolah dinding itu hanyalah ilusi optik. Kaki-kakinya terasa berat, seperti ditarik oleh lumpur hisap. Kelelahan fisik dan mental mencapai puncaknya.
Ia mulai meragukan kenyataan. Apakah ia benar-benar masih hidup? Apakah detak jantung yang ia rasakan itu nyata, atau hanya gema dari kesadarannya yang sekarat? Apakah semua yang ia alami sejak ia "jatuh ke tidur" hanyalah proses sakaratul mautnya? Apakah ini adalah neraka pribadinya, tempat ia dihukum atas semua kesalahannya yang tak termaafkan? Apakah ini akhir dari segalanya?
Kepanikan berangsur-angsur berubah menjadi ketenangan yang menakutkan, seperti seseorang yang telah mencapai batas kesabaran dan menyerah. Ia berhenti berlari. Nafasnya terengah, tubuhnya ambruk, ia terdengar seperti gubuk reyot yang hampir roboh. Ia jatuh berlutut di lantai yang lembap, merasakan dinginnya meresap melalui celana panjangnya.
"Apakah... apakah aku sudah mati?" bisiknya, suaranya parau. Tidak ada jawaban, hanya bisikan-bisikan yang semakin intens, mengelilinginya seperti paduan suara hantu.
"Hampir..."
"Kau semakin dekat..."
"Penerimaan... itu kuncinya..."
Penerimaan? Menerima apa? Kematiannya? Keberadaannya sebagai monster yang ia lihat di cermin? Sebuah rasa putus asa yang mendalam menyelimutinya. Ia ingin menyerah. Ingin memejamkan mata dan tidak pernah bangun lagi. Ini terlalu berat. Semua ini, mulai dari rumah yang sunyi, keluarga yang mati, teman-teman yang menghakimi, dan cermin kebenaran yang brutal, telah menguras habis setiap ons kekuatan mental dan emosionalnya.
Ia mengangkat kepalanya, melihat ke sekeliling. Kabut berputar-putar, menciptakan bentuk-bentuk bayangan yang menakutkan, seolah ada makhluk-makhluk tak terlihat yang mengawasinya. Ia bisa merasakan kehadiran mereka, kehadiran yang dingin dan tidak ramah. Mereka ingin melihatnya hancur.
Tiba-tiba, sebuah kilatan cahaya samar muncul di kejauhan, menembus kabut. Sebuah titik terang yang kecil, namun cukup untuk menarik perhatiannya. Insting bertahan hidup yang ia kira telah padam, kini menyala kembali. Ada sesuatu di sana. Jalan keluar? Atau perangkap lain?
Bisikan-bisikan itu menjadi lebih keras, lebih mendesak, seolah mereka menyadari niatnya.
"Jangan pergi..."
"Tetaplah di sini bersama kami..."
"Tidak ada harapan di sana..."
Namun, Raka mengabaikannya. Ia merangkak, kemudian memaksakan dirinya untuk berdiri. Kakinya gemetar, tapi ia harus mencoba. Ia harus. Rasa putus asa mungkin menggerogotinya, tetapi ada secercah harapan yang muncul dari dalam dirinya, didorong oleh penolakan mentah-mentah untuk menerima akhir yang suram ini. Ia tidak bisa menyerah begitu saja. Ia masih memiliki pertanyaan, ia masih ingin hidup.
Dengan setiap langkah yang ia paksakan, kabut di sekelilingnya menjadi sedikit lebih terang. Suara-suara itu masih membisikkan kutukan dan ejekan, mencoba menariknya kembali ke dalam kegelapan. Tapi Raka memfokuskan pandangannya pada cahaya itu, pada secercah harapan yang ia temukan. Ia akan terus maju, meskipun ia tidak tahu apa yang menantinya di ujung sana. Lebih baik menghadapi ketidakpastian daripada tenggelam dalam kehampaan yang tak berujung ini. Ia harus menemukan jawaban, dan mungkin, sebuah jalan pulang.
Bab 7: Sosok Bertopeng
Raka terus menyeret langkahnya, terpincang-pincang menembus kabut tebal yang tak henti-hentinya berusaha menelannya kembali. Cahaya samar yang ia lihat di kejauhan kini semakin terang, memberinya sedikit harapan dan memompa kembali sisa-sisa adrenalin dalam tubuhnya. Bisikan-bisikan keputusasaan dari labirin gelap itu masih mengikutinya, namun kini terdengar lebih jauh, lebih samar, seolah ia berhasil melepaskan diri dari cengkeraman mereka. Setiap langkah adalah perjuangan, namun ia menolak untuk menyerah. Ia tahu, jauh di lubuk hatinya, bahwa menyerah pada bisikan itu berarti menyerah pada kematian, pada kehampaan yang ditawarkan arwah-arwah itu.
Akhirnya, kabut mulai menipis secara signifikan, menampakkan pemandangan yang baru. Raka terhuyung-huyung, nyaris terjatuh, ketika ia melangkah keluar dari kabut dan menemukan dirinya di sebuah dataran kosong yang luas. Dataran itu terbuat dari material yang aneh, abu-abu kehitaman, licin dan memantulkan cahaya redup dari langit yang tak terlihat. Tidak ada pepohonan, tidak ada bangunan, tidak ada apa pun kecuali kehampaan yang tak terbatas di bawah langit yang buram. Udara di sini terasa aneh, tidak dingin, tidak panas, hanya hampa, tanpa bau, tanpa kelembapan, tanpa kehidupan. Suara napas Raka sendiri terdengar terlalu keras di dalam kesunyian mutlak ini.
Di tengah dataran itu, jauh di depan Raka, berdiri sesosok tubuh yang menjulang tinggi, gelap, dan mengancam. Itu adalah sosok misterius bertopeng. Tinggi dan ramping, sosok itu mengenakan jubah gelap yang menjuntai hingga menyentuh tanah, kainnya tampak menyerap cahaya di sekitarnya, membuatnya terlihat seperti lubang hitam yang bergerak. Topengnya polos, tanpa ekspresi, terbuat dari material gelap yang sama dengan jubahnya, menyembunyikan wajah sepenuhnya. Tidak ada mata, tidak ada mulut, hanya permukaan datar yang tak terbaca. Sosok itu berdiri diam, tak bergerak, tak bernapas, seolah menunggu kedatangan Raka.
Jantung Raka berdegup kencang di dadanya. Ini adalah puncak dari segalanya, ia bisa merasakannya. Ini adalah inti dari mimpi, atau realitas, atau apa pun yang ia alami ini. Ia melangkah maju perlahan, kakinya terasa berat seperti timah. Setiap langkah menghasilkan suara klik samar dari material tanah di bawah sepatunya, satu-satunya suara di keheningan yang mencekik ini.
Ketika Raka berada cukup dekat, sekitar sepuluh meter dari sosok itu, ia berhenti. Sosok itu tidak bergerak, tidak membuat suara. Itu hanya berdiri, memancarkan aura kekuatan dan misteri yang luar biasa. Raka mencoba mencari tanda-tanda kehidupan, namun tidak ada. Sosok itu adalah sebuah ketiadaan yang berwujud.
Kemudian, perlahan, sangat perlahan, sosok itu mengangkat tangannya. Gerakannya anggun namun kaku, seperti gerakan robot yang sempurna. Dan ketika tangannya terangkat, kabut di depan Raka, yang tadinya menipis, kini berputar dan terpisah, menampakkan dua jalan yang jelas.
Satu jalan berpendar dengan cahaya keemasan lembut. Jalan itu terbuat dari material yang tampak seperti marmer putih bersih, permukaannya memancarkan kehangatan dan ketenangan yang mengundang. Raka merasakan sensasi damai yang memancar dari jalan itu, seperti pelukan hangat, seperti janji akan kebahagiaan abadi. Rasanya seperti jalan menuju surga, sebuah akhir yang bahagia dari semua penderitaannya. Itu adalah jalan yang tampak aman, terang, dan penuh harapan.
Jalan yang lain diselimuti kegelapan pekat. Permukaannya tampak seperti batu basal hitam yang kasar dan tidak rata, dengan retakan-retakan samar yang mengular. Tidak ada cahaya yang memancar darinya; sebaliknya, jalan itu seolah menyerap semua cahaya, menciptakan jurang kehampaan yang menyeramkan. Udara di sekitarnya terasa dingin, dingin yang menusuk tulang, dan ada aroma samar yang pahit, seperti bau tanah yang baru digali atau sesuatu yang busuk. Jalan itu tampak menakutkan, berbahaya, namun juga menawarkan misteri yang menarik, sebuah tantangan yang tak terduga.
Sosok bertopeng itu kemudian membuat sebuah isyarat dengan tangannya yang lain, mengarahkannya ke dua jalan itu. Dan sebuah suara, bukan dari mulutnya melainkan bergema di benak Raka, berbisik:
"Satu jalan akan membangunkanmu."
"Satu jalan akan membunuhmu."
Suara itu tidak memiliki nada, tidak ada emosi, hanya sebuah pernyataan fakta yang dingin dan mutlak. Seperti sebuah algoritma yang memberikan output. Tidak ada penjelasan lebih lanjut, tidak ada petunjuk, tidak ada petencerahan tentang jalan mana yang menuju apa. Hanya pilihan yang jelas, namun konsekuensinya terasa begitu final dan menghancurkan. Ini adalah persimpangan yang sesungguhnya.
Raka menatap kedua jalan itu, kemudian kembali menatap sosok bertopeng. Ia ingin bertanya, ingin meminta klarifikasi, ingin memohon petunjuk. Tapi ia tahu itu sia-sia. Sosok itu tidak akan memberinya jawaban. Sosok itu hanya penjaga, pemberi pilihan, pengamat. Ini adalah ujian terakhir, dan ia harus memutuskannya sendiri.
Pikirannya melayang, mencoba memahami makna di balik pilihan ini. "Satu jalan akan membangunkanmu." Ini terdengar seperti janji untuk kembali ke dunia nyata, untuk mengakhiri mimpi buruk ini. Tapi jalan yang mana? Jalan cahaya, yang terasa begitu damai dan menenangkan? Atau justru jalan kegelapan, yang menuntut keberanian untuk menghadapinya?
Ia teringat bujukan arwah-arwah di babak sebelumnya, yang menawarkan "ketenangan" dan "kedamaian abadi". Ketenangan dan kedamaian seringkali disamakan dengan kematian. Apakah jalan cahaya ini adalah kedamaian semu yang ditawarkan para arwah, yang sebenarnya akan membawanya pada kematian? Atau justru itu adalah jalan yang benar-benar akan membangunkannya, mengakhiri semua penderitaannya?
Dan bagaimana dengan jalan kegelapan? Rasanya menakutkan, penuh ancaman. Tapi bukankah ia baru saja melewati labirin yang gelap, menghadapi kebenaran yang gelap di cermin? Bukankah ia telah belajar bahwa di balik kegelapan seringkali tersembunyi kebenaran yang pahit, namun esensial? Apakah jalan kegelapan ini justru adalah jalan yang akan memaksanya untuk menghadapi ketakutannya, untuk berjuang, dan pada akhirnya, membawanya kembali ke kehidupan?
Ini adalah keputusan yang paling penting dalam hidupnya, baik nyata maupun dalam mimpi ini. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya dengan irama tak beraturan. Keringat dingin kembali membasahi dahinya. Ia merasa seolah alam semesta menahan napas, menunggu pilihannya. Ada semacam taruhan besar di sini, dan ia adalah satu-satunya yang bisa menarik pelatuknya.
Ia mencoba mengingat setiap detail dari perjalanannya. Jam yang berhenti di 03:00. Keluarga yang hampa. Teman-teman yang menghakimi. Cermin yang menunjukkan sisi terburuk dirinya. Arwah yang memikat. Semua itu adalah teka-teki, petunjuk yang harus ia rangkai. Tapi apakah semua itu menunjuk pada satu jalan tertentu? Apakah ada korelasi antara semua horor yang ia alami dan pilihan di depannya?
Ia melihat lagi kedua jalan itu. Cahaya yang memikat, kegelapan yang menantang. Di satu sisi, ada daya tarik untuk menyerah pada keindahan dan kedamaian, untuk mengakhiri semua perjuangan. Di sisi lain, ada tarikan misteri, janji akan kebenasan yang mungkin tersembunyi di balik ketakutan. Sosok bertopeng itu tetap diam, sebuah siluet tak bergerak di tengah dataran hampa, seolah ia adalah penjelmaan dari takdir itu sendiri, menunggu keputusan Raka yang akan menentukan segalanya.
Bab 8: Pilihan Terakhir
Raka menatap kedua jalan di depannya, jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya seolah ingin melarikan diri dari kurungan tubuhnya sendiri. Udara di dataran kosong itu terasa begitu hening, begitu tegang, seolah alam semesta menahan napas, menanti keputusannya. Sosok bertopeng tetap diam, sebuah siluet tanpa emosi, sebuah enigma yang menjaga pintu takdir. Ini bukan sekadar mimpi; ini adalah ujian, sebuah keputusan hidup atau mati yang akan menentukan segalanya.
Ia memejamkan mata erat-erat, berusaha menenangkan badai pikiran yang berkecamuk di benaknya. Aroma apak dari rumah lama, teriakan-teriakan tuduhan dari labirin, rasa perih dari kebenaran di cermin, dan bujukan menenangkan dari arwah kerabatnya—semua itu berputar dalam benaknya seperti rekaman yang rusak. Ia harus menemukan korelasi, sebuah benang merah yang akan menuntunnya pada pilihan yang benar.
Ia mulai merenung, memutar kembali setiap petunjuk, setiap detail yang aneh dan mencurigakan sepanjang mimpinya.
* Jam yang Berhenti di Pukul 03:00: Kenapa pukul 03:00? Itu adalah "jam setan", batas antara dunia nyata dan gaib. Di rumah lama, semua jam mati pada waktu itu, seolah waktu itu sendiri berhenti atau mati. Apakah itu sebuah peringatan? Sebuah simbol dari sesuatu yang mandek, atau sesuatu yang harus dihidupkan kembali? Jika waktu berhenti, berarti ia juga berhenti. Dan bagi Raka, berhenti berarti kematian. Jadi, membangunkan diri berarti menggerakkan kembali waktu, kembali pada kehidupan.
* Keluarga dengan Tatapan Kosong dan Ajakan "Pulang": Ayah, ibu, dan Lisa, semuanya hampa, bagai patung tak bernyawa, mengajak Raka untuk "ikut pulang," "kembali bersama mereka." Pulang ke mana? Ke kehampaan, ke ketiadaan? Mereka merepresentasikan pengabaiannya terhadap ikatan keluarga, dan pada akhirnya, bahaya kehampaan emosional. Ajakan "pulang" itu adalah jebakan menuju kematian jiwa.
* Dikejar Kenangan di Labirin Suram: Teman-teman yang berubah wujud mengerikan, meneriakkan tuduhan-tuduhan dari masa lalu. Itu adalah manifestasi dari rasa bersalah dan penyesalan Raka. Labirin itu sendiri adalah cerminan dari pikirannya yang kusut, mencoba lari dari konsekuensi tindakannya. Untuk keluar dari labirin, ia harus berhenti lari, menghadapi masa lalu, dan menemukan jalan ke depan.
* Arwah yang Memanggil dengan "Ketenangan Abadi": Kerabat yang sudah meninggal, memancarkan kedamaian palsu, menawarkan "tempat di mana segalanya akan tenang," tanpa beban, tanpa rasa sakit. Itu adalah bujukan paling halus menuju kematian. Ketenangan yang mereka tawarkan adalah kehampaan, akhir dari perjuangan, akhir dari kehidupan. Raka sempat tergoda, namun ada sesuatu dalam dirinya yang menolak ketenangan yang terlalu sempurna itu. Itu adalah "kedamaian" yang kosong, serupa dengan kehampaan mata keluarga "patung"nya.
* Cermin Kebenaran dan Monster Diri: Cermin yang menunjukkan sisi terburuk Raka, monster yang terbuat dari kesalahan dan penyesalannya. Itu adalah refleksi dari jiwanya yang tercemar, kebenaran yang brutal. Menghadapinya adalah bagian paling menyakitkan, namun juga paling penting. Ia melihat dirinya yang sebenarnya, tanpa topeng. Untuk bisa "bangun", ia harus menerima monster itu sebagai bagian dari dirinya, dan kemudian menaklukkannya, atau setidaknya, belajar hidup dengannya.
Raka membuka matanya. Ia melihat lagi kedua jalan itu. Jalan cahaya memancar dengan kehangatan dan janji kedamaian. Ini adalah jalan yang seolah menawarkan pelarian termudah, akhir dari penderitaan. Tapi... apakah itu benar-benar membangunkan, atau justru membawa pada "ketenangan abadi" yang ditawarkan arwah, sebuah kematian yang tersamarkan? Dalam setiap tahap mimpinya, hal-hal yang tampak indah dan mengundang justru merupakan jebakan, tipuan. Rumah yang akrab menjadi penjara. Arwah yang lembut membawa pada kehampaan. Jika jalan cahaya adalah "ketenangan", itu bisa berarti berakhirnya hidup, bukan kebangkitan. Ketenangan abadi... berarti kematian.
Kemudian, ia menoleh ke jalan kegelapan. Jalan itu tampak menakutkan, keras, penuh misteri. Ini adalah jalan yang akan memaksanya menghadapi ketakutan, berjuang melewati rintangan. Di labirin, ia lari dari kegelapan. Di cermin, ia melihat kegelapan dalam dirinya. Tapi bukankah ia berhasil melewati labirin itu? Bukankah ia berhasil menghadapi kebenaran di cermin, betapapun menyakitkannya? Jika ia telah melalui kegelapan, dan kebenaran ada di sana, mungkinkah jalan kegelapan ini adalah jalan yang justru akan membawanya keluar? Sebuah jalan yang memaksanya menghadapi sisa-sisa dirinya yang belum tersembuhkan, mendorongnya untuk berjuang, untuk hidup.
"Satu jalan akan membangunkanmu. Satu jalan akan membunuhmu." Bisikan sosok bertopeng itu bergema lagi di benaknya.
Jika jalan cahaya membawanya pada kematian (ketenangan abadi), maka jalan kegelapan lah yang harusnya membawa pada kehidupan. Kehidupan itu penuh perjuangan, penuh ketakutan, penuh dengan sisi gelap yang harus dihadapi. Bukan sebuah pelarian, melainkan sebuah pertarungan.
Raka menyadari semua adalah teka-teki. Tidak ada yang mudah dalam mimpi ini, tidak ada yang sederhana. Setiap elemen dirancang untuk mengujinya, untuk melihat apakah ia akan menyerah pada hal yang tampak nyaman, ataukah ia akan menghadapi hal yang menakutkan demi kelangsungan hidup. Ia telah lari sepanjang hidupnya, lari dari masalah, lari dari tanggung jawab, lari dari kesalahannya sendiri. Jika ia memilih jalan cahaya, itu akan menjadi pelarian terakhir, pelarian ke dalam ketiadaan.
Tekanannya sangat tinggi. Ini bukan hanya tentang bangun dari mimpi. Ini tentang hidup dan mati. Jika ia salah memilih, ia mungkin tidak akan pernah bangun lagi. Ia akan terjebak selamanya dalam kegelapan ini, atau lenyap menjadi kehampaan. Ia harus percaya pada instingnya, pada pelajaran yang ia dapatkan dari setiap babak mimpi yang mengerikan ini.
Pilihan ini bukan hanya tentang dirinya. Itu juga tentang keluarga yang ia tinggalkan, tentang pekerjaan yang menunggunya, tentang kesempatan untuk memperbaiki diri, untuk menebus kesalahan yang ia lihat di cermin. Ia tidak bisa mati sekarang, tidak setelah semua yang ia lihat dan alami. Ia harus hidup, untuk menjadi pribadi yang lebih baik, untuk menghadapi apa yang ia hindari.
Raka menarik napas dalam-dalam, paru-parunya terasa penuh dengan udara hampa di dataran itu. Ia telah melihat betapa rapuhnya kehidupannya di dunia nyata, betapa mudahnya ia tenggelam dalam keputusasaan. Tapi ia juga melihat kekuatan dalam dirinya untuk terus berjuang, meskipun ketakutan menguasai. Ia harus mengambil risiko. Ia harus memilih jalan yang, pada pandangan pertama, tampak paling sulit.
Karena, seperti yang ia pelajari dari cermin, kebenaran seringkali terletak di tempat yang paling tidak ingin kita lihat. Dan kehidupan, yang sesungguhnya, adalah perjuangan untuk menghadapi kegelapan dalam diri dan di sekitar kita.
Bab 9: Satu Langkah
Raka berdiri di depan kedua jalan itu, napasnya terengah, paru-parunya serasa terbakar. Tidak ada lagi bisikan dari labirin, tidak ada lagi kilasan mengerikan dari cermin, dan tidak ada lagi bujukan lembut dari arwah. Hanya keheningan absolut di dataran kosong ini, di bawah langit yang buram, menyaksikan detik-detik paling krusial dalam hidupnya—atau, setidaknya, dalam keberadaannya di mimpi ini. Sosok bertopeng, sang penjaga pintu takdir, telah menghilang seolah melebur kembali ke dalam kabut, meninggalkan Raka sendirian dengan beban keputusannya.
Detak jantungnya menggema keras di telinganya, memukul-mukul gendang telinganya dengan irama yang memekakkan, seolah seluruh alam semesta telah menyusut menjadi satu titik fokus: dirinya dan dua jalan di depannya. Ia bisa merasakan dinginnya udara di kulitnya, sebuah sensasi yang terlalu nyata untuk sekadar mimpi, seolah batas antara dunia mimpi dan kenyataan menipis, nyaris tak terlihat.
Ia menoleh ke jalan cahaya. Itu masih memancarkan kehangatan yang lembut, sebuah janji akan kedamaian abadi. Pikirannya melayang, membayangkan dirinya berjalan di atas marmer putih yang memancarkan cahaya, merasakan kelegaan yang luar biasa, seolah semua beban diangkat dari pundaknya. Tidak ada lagi pertengkaran, tidak ada lagi rasa bersalah, tidak ada lagi ketakutan. Hanya kebahagiaan yang tak terbatas, sebuah surga yang menunggu. Menggoda, sangat menggoda. Ini adalah jalan yang selama ini ia cari dalam hidupnya: pelarian dari masalah, jalan termudah menuju kedamaian.
Kemudian, pandangannya beralih ke jalan kegelapan. Itu masih tampak menakutkan, dengan permukaannya yang kasar dan retak, menyerap semua cahaya, memancarkan dingin yang menusuk. Ini adalah jalan yang menjanjikan tantangan, perjuangan, dan mungkin, rasa sakit yang lebih dalam. Jalan yang tidak akan memberinya pelarian, melainkan konfrontasi. Jalan yang menuntut keberanian untuk melangkah ke dalam ketidakpastian total.
Ia memejamkan mata sebentar, memutar kembali semua petunjuk, semua rasa bersalah, semua ketakutan, semua harapan. Ia mengingat jam yang mati di pukul 03:00, melambangkan kehidupan yang mandek. Ia mengingat keluarga "patung" yang menawarkan kehampaan. Ia mengingat teman-teman "zombie" yang menuntut pertanggungjawaban. Ia mengingat cermin yang menunjukkan monster dirinya, refleksi dari kebenaran yang pahit. Dan ia mengingat arwah kerabatnya yang memikatnya dengan "ketenangan abadi," yang ia tolak.
Setiap babak dari mimpi ini, setiap ujian, menunjuk pada satu hal: ia tidak bisa lagi lari. Ia telah menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan menghindari konflik, menyembunyikan kesalahan, dan memilih jalan yang paling mudah. Tapi jalan termudah, seperti yang ia pelajari dari arwah, bisa jadi adalah jalan menuju kehampaan, menuju kematian yang disamarkan.
Jika "satu jalan akan membangunkanmu" dan "satu jalan akan membunuhmu", dan jalan cahaya adalah "ketenangan abadi" yang ditawarkan kematian, maka hanya ada satu kesimpulan logis. Jalan kegelapan adalah jalan menuju kehidupan. Kehidupan, pada hakikatnya, tidak pernah mudah. Ia penuh dengan kegelapan, rintangan, ketakutan, dan kebenaran yang sulit diterima. Untuk benar-benar hidup, seseorang harus berani menghadapinya. Untuk bangun dari mimpi ini, untuk kembali ke dunia nyata, ia harus memilih perjuangan, bukan pelarian.
Ada saat hening yang terasa abadi. Waktu seolah membeku, seperti jarum jam di rumah lamanya. Raka bisa merasakan getaran dari setiap serat keberadaannya, beresonansi dengan keputusan yang akan ia buat. Ini bukan hanya tentang bertahan hidup dari mimpi buruk. Ini tentang memutuskan siapa dirinya, dan siapa yang ingin ia menjadi. Apakah ia akan terus menjadi pengecut yang lari dari tanggung jawab, atau ia akan menghadapi konsekuensi dari perbuatannya, dan menemukan kekuatan dalam dirinya untuk bangkit?
Ia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan setiap ons keberanian yang ia miliki. Rasa takut masih ada, dingin dan menggerogoti. Tapi kini, rasa takut itu bercampur dengan tekad yang membara. Ia tidak bisa kembali. Ia harus maju. Ia harus menghadapi apa pun yang ada di balik jalan kegelapan itu, karena di sanalah terletak kesempatan untuk penebusan, untuk kehidupan yang sesungguhnya.
Dengan resolusi yang baru ditemukan, Raka mengangkat kepalanya, matanya terfokus pada jalan kegelapan. Ia membayangkan rasa sakit, perjuangan, dan ketidakpastian yang mungkin menantinya. Tapi ia juga membayangkan kemungkinan kebangkitan, kesempatan kedua, dan kekuatan yang ia butuhkan untuk menghadapi dunia nyata yang rumit.
Ia akhirnya mengangkat kakinya. Gerakannya lambat, penuh pertimbangan, seolah setiap ototnya menolak, namun jiwanya memaksa. Satu langkah ke depan. Ia tidak terburu-buru. Ini adalah keputusan yang sadar, sebuah pernyataan tekad. Kaki kirinya menyentuh permukaan jalan yang gelap, terasa dingin dan kasar di bawah sepatu. Sebuah sensasi aneh menjalar ke atas kakinya, bukan rasa sakit, melainkan sebuah kejutan energi, sebuah getaran yang dalam.
Dan ia melangkah ke salah satu jalan...
Menuju kegelapan.
Saat kaki kanannya menyusul, menjejakkan diri sepenuhnya di jalan hitam itu, kegelapan yang pekat di sekelilingnya seolah menelan Raka. Kabut yang tersisa berputar-putar, melingkupinya, dan cahaya samar dari jalan yang lain menghilang, seolah tidak pernah ada. Ia merasakan sensasi tertarik, seolah terhisap ke dalam jurang tak berdasar. Apakah ini akhir? Apakah ia salah memilih? Apakah ia baru saja melangkah menuju kematian?
Hanya ada kehampaan, dingin yang menusuk, dan kegelapan total yang menyelimutinya, sebelum semuanya... lenyap.