Masukan nama pengguna
Bab 1 – Peti Terlarang
Mendung tebal menggantung di atas Desa Sukamaju, sebuah desa kecil di pedalaman Kalimantan Timur, tempat waktu seolah bergerak lebih lambat. Pohon-pohon rindang melambaikan dahan-dahan keringnya dalam hembusan angin yang dingin, membawa aroma tanah basah dan dedaunan lapuk. Di tengah ketenangan yang menyesatkan itu, lima sosok muda berjalan menyusuri jalan setapak yang ditumbuhi lumut. Mereka adalah Rio, Mitha, Tegar, Andi, dan Winda—sekelompok mahasiswa yang menghabiskan liburan semester mereka dengan sebuah petualangan yang tak terduga.
Tujuan mereka adalah sebuah rumah tua bekas tempat penyucian desa yang telah ditinggalkan sejak puluhan tahun lalu. Bangunan itu berdiri gagah namun renta, dengan jendela-jendela kosong seperti mata buta yang menatap kosong ke arah langit mendung. Catnya telah mengelupas, menampilkan lapisan-lapisan kelabu di bawahnya, dan atapnya dipenuhi lumut tebal. Rio, dengan ransel penuh peralatan arkeologinya, melihat bangunan itu sebagai sebuah artefak hidup. Ia tertarik pada ukiran-ukiran kayu yang samar di ambang pintu dan arsitektur kuno yang mencerminkan sejarah lokal.
"Serius, ini cuma rumah tua biasa, kan? Tidak ada hantu atau apa pun," Tegar mengatakannya dengan nada mengejek, mencoba menghilangkan ketegangan yang mulai menyelimuti mereka. Ia sibuk merekam setiap sudut dengan ponselnya, sesekali mengarahkan kamera ke wajah Andi yang sedikit pucat. Tegar adalah seorang influencer ambisius yang selalu mencari sensasi untuk konten media sosialnya. "Ini pasti seru buat konten! #HororExploration #DesaMisteri."
Rio hanya menghela napas. "Secara arkeologi, ini situs menarik, Tegar. Banyak simbol kuno yang mungkin punya arti. Aku lebih tertarik pada nilai historisnya daripada cerita seram." Mitha, pacar Rio, mengangguk setuju. Ia adalah seorang gadis yang intuitif, dan sejak awal ia merasakan ada energi aneh yang memancar dari rumah itu, sebuah firasat buruk yang membuat bulu kuduknya merinding. Winda, gadis pemalu dengan rambut panjang yang selalu menutupi sebagian wajahnya, hanya diam membisu, mengikuti di belakang, matanya sesekali melirik ke arah Mitha seolah mencari kenyamanan.
Mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Udara di dalamnya terasa lebih dingin dan lembap, seperti telah terperangkap selama berabad-abad. Aroma apek, debu, dan kayu lapuk menusuk indra penciuman. Lantainya berderit di setiap langkah, dan jaring laba-laba tebal menghiasi setiap sudut. Di salah satu ruangan, Rio menemukan sebuah ukiran aneh di dinding, berbentuk pusaran yang melingkar dengan simbol seperti api di tengahnya. "Ini menarik," gumamnya, mengeluarkan sketsa dari ranselnya. "Ini pasti berhubungan dengan ritual penyucian yang pernah dilakukan di sini."
Tegar dan Andi lebih fokus pada mencari "bahan" horor. Mereka membuka setiap lemari usang, menendang tumpukan puing, dan tertawa cekikikan ketika menemukan boneka tua tanpa mata. "Ini dia jump scare yang kita butuhkan!" seru Andi, mendekatkan boneka itu ke kamera Tegar.
Setelah menjelajahi lantai atas dan utama, mereka menemukan sebuah tangga sempit yang menurun ke ruang bawah tanah. Udara di sana terasa lebih berat, seolah ada beban tak kasat mata yang menekan. Ruang bawah tanah itu lembap dan gelap gulita, hanya diterangi oleh cahaya senter dari ponsel mereka. Di sudut ruangan, tersembunyi di balik tumpukan kayu lapuk dan karung goni yang membusuk, mereka menemukan sebuah peti tua yang terbuat dari kayu ulin gelap. Peti itu diukir dengan simbol-simbol kuno yang tidak mereka pahami, namun terasa anehnya familier. Sebuah rantai besi berkarat melilitnya, mengikat peti dengan gembok tua yang besar. Di bagian tengah gembok, terdapat ukiran aneh berbentuk mata kuda membara.
"Lihat ini! Simbol ini mirip ukiran di surat nenekku!" bisik Mitha, suaranya sedikit bergetar. Ia menyentuh ukiran mata kuda itu. Sebuah sensasi dingin merambat di tangannya, seolah energi beku memancar dari peti itu. Firasat buruknya semakin kuat.
"Palingan cuma mitos kuno," sahut Tegar, nadanya terdengar sedikit gemetar kali ini, namun ia berusaha menutupi kegugupannya dengan kesombongan. Ia mengeluarkan ponselnya. "Ini pasti seru buat konten! Siap-siap, guys, ini pasti viral!" Tanpa mempedulikan peringatan Rio dan Mitha, Tegar mengeluarkan sebuah linggis kecil yang ia bawa, mencoba mematahkan gembok. Rio berusaha menghentikannya, "Tegar, jangan! Kita tidak tahu apa isinya. Mungkin ini segel kuno!"
"Ah, kau terlalu serius, Rio! Ini abad ke-21!" Tegar tertawa hambar, lalu dengan sekuat tenaga, ia menghantam gembok itu. Crack! Gembok berkarat itu patah, dan rantai terlepas dengan suara berderak. Tegar terengah-engah, lalu dengan senyum bangga, ia mendorong tutup peti.
Saat peti terbuka, debu tebal mengepul, mengaburkan pandangan mereka sesaat. Bersamaan dengan itu, sebuah suara derap kuda samar terdengar dari kejauhan, seolah melintasi dimensi. Suara itu semakin lama semakin mendekat, tap-tap-tap-tap, membuat bulu kuduk mereka merinding. Suara itu seolah berasal dari dalam bumi, naik ke permukaan, sebuah detak jantung yang mengerikan. Lima sahabat itu membeku, saling pandang dengan mata membelalak. Wajah Tegar yang tadinya sombong, kini pucat pasi.
Tiba-tiba, suara derap kuda itu menghilang, digantikan oleh keheningan yang memekakkan telinga. Atmosfer di sekitar mereka terasa lebih dingin, seperti ada sesuatu yang besar baru saja dilepaskan. Sebuah hawa kematian menyelimuti mereka. Tegar, meski sedikit pucat, mencoba menutupi kegugupannya dengan tawa hambar. "Lihat, kan? Tidak ada apa-apa. Cuma angin." Tapi matanya berkhianat, menunjukkan ketakutan yang nyata.
Malam itu, pukul 22.00 WITA. Desa Sukamaju yang biasanya ramai dengan obrolan tetangga dan suara televisi, kini sepi. Hanya suara jangkrik malam dan lolongan anjing mengisi kekosongan. Lampu-lampu rumah mulai dipadamkan satu per satu, karena kepercayaan kuno mengatakan bahwa kegelapan bisa melindungi dari roh jahat. Pak RT Sudiro, seorang pria paruh baya yang dihormati dan bertugas sebagai penjaga malam, sedang duduk di pos ronda. Ia menyesap kopi panasnya, sesekali melirik jam tangannya. Tepat pukul 22.00, sebuah kabut tipis mulai menyelimuti pos ronda. Pak RT merasa kedinginan, bulu kuduknya merinding. Ia mendengar suara derap kuda yang samar, semakin lama semakin jelas. Ia mencoba berdiri, tetapi kakinya terasa lemas. Sosok hitam pekat muncul dari kabut, mata kudanya menyala merah. Pak RT Sudiro tidak sempat berteriak. Ia menghilang secara misterius di depan pos ronda yang gelap.
Pagi harinya, warga menemukan sepatu Pak RT yang tergeletak di tanah dengan bekas jejak kuda membara di sekitarnya. Jejak itu seperti bekas terbakar dan berbau belerang. Warga mulai panik. Desas-desus tentang legenda Penunggang Kuda Hitam mulai beredar. Polisi setempat menyelidiki, namun jejak kuda yang membara itu menjadi anomali yang tak bisa dijelaskan. Ketakutan mulai merayap di setiap sudut desa.
Bab 2 – Legenda dan Larangan
Kepanikan menyebar seperti api di Desa Sukamaju. Hilangnya Pak RT Sudiro yang tiba-tiba, ditambah dengan jejak kuda yang membara, memicu histeria massal. Warga berkumpul di balai desa, bisikan ketakutan mengisi udara, mencampuradukkan rumor dan teori-teori gila. Beberapa menuduh hantu, yang lain mencurigai pembunuhan berantai.
Di tengah kekacauan itu, Bu Lurah Ratmi, seorang wanita paruh baya yang dihormati dan memiliki aura kebijaksanaan yang menenangkan, mengumpulkan warganya. Matanya yang tajam menatap satu per satu wajah-wajah yang dipenuhi ketakutan. "Warga sekalian," katanya dengan suara tenang namun tegas, yang entah bagaimana berhasil meredakan ketegangan. "Saya tahu kalian takut. Tapi kita harus ingat, ini bukan pertama kalinya desa kita diuji."
Ia kemudian mengingatkan mereka tentang legenda Penunggang Kuda Hitam yang sudah lama menjadi dongeng pengantar tidur bagi anak-anak. "Legenda itu bukan sekadar cerita, warga sekalian," katanya, suaranya sedikit bergetar. "Ini adalah peringatan akan sesuatu yang nyata." Bu Lurah menjelaskan bahwa Penunggang Kuda Hitam adalah entitas kuno, dulunya adalah penjaga batas dunia hidup dan mati, namun keserakahannya memburu jiwa manusia membuatnya dikutuk dan disegel oleh leluhur desa 100 tahun yang lalu. "Penunggang itu hanya akan bangkit jika segelnya dibuka, dan hanya bisa dikembalikan ke alamnya melalui ritual darah pelindung pada malam tanpa bulan (new moon). Ritual itu harus dilakukan oleh keturunan dari pelindung asli desa."
Rio dan Mitha saling pandang. Mereka teringat peti yang mereka buka, ukiran mata kuda membara. Sebuah kecurigaan mulai tumbuh di benak mereka.
Di tengah penjelasan Bu Lurah, Tegar dengan arogannya menolak percaya. "Ini cuma dongeng orang tua, Bu Lurah! Semua ini cuma kebetulan!" ejeknya, suaranya lantang di tengah keheningan balai desa. Beberapa warga menatapnya sinis, yang lain gemetar. Tegar bahkan sesumbar akan membuktikan bahwa Penunggang itu tidak nyata. "Yang hilang itu pasti cuma orang yang cari sensasi atau pergi ke kota. Kuda membara? Itu cuma jejak bakar ban motor!"
Mitha, yang terus merasakan firasat buruk, mengabaikan perkataan Tegar. Ia kembali ke rumahnya, membuka kembali surat dari neneknya yang sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu. Surat itu, yang selama ini ia anggap hanya coretan-coretan acak seorang lansia, kini terlihat berbeda. Di sela-sela tulisan tangan neneknya yang rapi, ada coretan aneh dan simbol-simbol kuno. Mitha membandingkannya dengan ukiran di peti tua yang sempat ia lihat. Simbol-simbol itu sangat mirip, terutama ukiran mata kuda. Sebuah coretan samar pada surat itu mengindikasikan adanya simbol ritual yang harus dilakukan dengan darah keturunan pelindung. Ia mulai curiga bahwa neneknya memiliki koneksi yang jauh lebih dalam dengan legenda ini daripada yang ia tahu.
Malam berikutnya, Tegar, yang merasa tertantang oleh ketakutan warga, nekat pulang sendirian setelah membuat konten video di rumah tua. Ia ingin membuktikan bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan. Di tengah jalan pulang yang sepi, ia sempat melakukan siaran langsung di Instagram, sesumbar tentang keberaniannya. "Lihat, guys, ini pukul setengah sepuluh malam. Tidak ada Penunggang Kuda Hitam atau apapun itu! Cuma cerita bohong!"
Tiba-tiba, kamera ponselnya menangkap perubahan atmosfer. Kabut hitam pekat tiba-tiba muncul dari kegelapan, menyelimuti jalannya. Kabut itu tidak seperti kabut biasa; ia terasa dingin, mengeluarkan suara mendesis samar, dan memiliki bau belerang yang samar. Tegar mulai panik. "A-apa ini?" suaranya bergetar. Ia mencoba berlari, namun kabut itu bergerak lebih cepat, melingkupinya. Dari dalam kabut, terdengar ringkikan kuda yang menyeramkan, diikuti oleh derap kaki yang semakin keras, seolah sebuah kavaleri tak kasat mata mendekat. "TIDAK! TIDAAAAAK!" jeritan Tegar terdengar putus asa sebelum siaran langsung itu terputus tiba-tiba. Ponselnya ditemukan tergeletak di jalan, layarnya retak dan menampilkan gambar terakhir: siluet samar Penunggang Kuda Hitam di tengah kabut, mata merah menyala.
Hilangnya Tegar secara mengerikan memberikan kejutan besar bagi Rio, Mitha, Andi, dan Winda. Skeptisisme Rio runtuh seketika. "Tidak mungkin," gumamnya, matanya kosong melihat foto ponsel Tegar. Andi gemetar, menatap horor ke arah Rio. "Aku tidak mau ke sana lagi!" Winda, yang tadinya hanya diam, kini menangis sesenggukan. Mitha merasa bersalah dan tertekan, takdir seolah sedang mengejar mereka.
Hilangnya Tegar menegaskan ketakutan warga. Mereka mulai menyalahkan Rio dan teman-temannya karena telah membuka peti. "Mereka yang membawa kutukan ini!" teriak seorang ibu. "Usir mereka dari desa!" Rio dan Mitha menyadari bahwa mereka harus segera menemukan cara menghentikan Penunggang. Waktu terus berjalan, dan bulan mati tinggal beberapa malam lagi. Mereka berpacu dengan waktu. Winda, yang sekarang lebih terbuka, secara tidak sengaja mendengar percakapan Rio dan Mitha tentang mencari solusi. Ia teringat akan cerita-cerita neneknya, seorang dukun desa terdahulu, dan memberikan petunjuk samar tentang Kitab Kunci—naskah kuno yang berisi ritual penghentian siklus.
Bab 3 – 22:00: Waktu Kematian
Teror kini memiliki pola yang mengerikan. Terungkap bahwa makhluk tersebut mencuri jiwa setiap malam tepat pukul 22.00 WITA. Pada jam tersebut, batas antara dunia manusia dan dunia arwah menjadi sangat tipis, seperti tirai tipis yang terangkat, memungkinkan Penunggang Kuda Hitam beraksi. Ini bukan sekadar kebetulan; ini adalah sebuah ritual maut yang sistematis, sebuah jam yang ditandai oleh kematian.
Setiap malam menjelang pukul 22.00, seluruh desa Sukamaju dicekam ketakutan yang mencekik. Jalanan yang biasanya ramai dengan anak-anak bermain atau obrolan tetangga, kini menjadi sangat sepi setelah pukul sembilan malam. Lampu-lampu rumah dimatikan, pintu dan jendela dikunci rapat, dan warga bersembunyi di dalam rumah, berdoa agar mereka tidak menjadi korban selanjutnya. Beberapa bahkan mencoba ritual perlindungan sederhana, seperti menaburkan garam di ambang pintu atau menggantung jimat. Namun, semua itu terasa sia-sia.
Setiap hari, laporan orang hilang terus bertambah. Bukan hanya orang yang nekat berada di luar rumah, tetapi juga beberapa orang yang nekat terjaga atau melakukan aktivitas saat jam kutukan. Ada petani yang menghilang dari saung sawahnya, seorang kakek yang raib dari ranjangnya meski pintu terkunci, dan seorang gadis yang lenyap dari kamar mandi setelah jarum jam menunjuk angka dua puluh dua. Nama-nama korban diumumkan di corong masjid, menambah daftar duka dan memperdalam kepanikan massal.
Andi, yang masih tergila-gila dengan ide konten horor, meskipun ketakutannya kini jauh melebihi ambisinya, mencoba membuat jebakan kamera. Ia memasang beberapa kamera dengan night vision di sekitar rumah Tegar, berharap bisa merekam penampakan Penunggang Kuda Hitam sebagai bukti nyata yang bisa ia bagikan – jika ia selamat. Ia menyambungkan kamera-kamera itu ke laptopnya yang ia letakkan di kamar yang terkunci rapat.
Malam itu, Rio, Mitha, dan Winda menemaninya, memberikan dukungan moral meskipun mereka sendiri ketakutan. Tepat pukul 22.00, layar laptop Andi mulai menunjukkan pergerakan. Di salah satu kamera yang terpasang di dekat jendela, ia melihat siluet Penunggang Kuda Hitam dari kejauhan, melintas dengan kecepatan tinggi. Sosok itu seperti bayangan hitam pekat yang tak berbentuk, hanya menyisakan aura dingin yang membeku. Kuda hitamnya melaju tanpa suara, seolah menembus ruang dan waktu.
"Lihat! Itu dia!" bisik Andi, suaranya tercekat di tenggorokan. Jantungnya berdebar kencang. Ia mencoba memperbesar gambar, namun tiba-tiba, sinyal kamera terputus. Layar laptop menjadi hitam. Andi panik, ia bergegas memeriksa kamera utama. Ia menemukan kamera itu hangus terbakar, seperti tersambar api gaib. Lensa hancur, bodi meleleh sebagian. Bau hangus dan belerang yang kuat menyengat hidung mereka. Kejadian ini membuat Andi sangat trauma, dan ia terpaksa mengakui kekalahannya di hadapan kekuatan tak kasat mata ini. Tangannya gemetar hebat, ia tidak lagi tertarik pada konten horor.
Tekanan waktu semakin mendesak. Rio dan Mitha menyadari bahwa mereka harus segera menemukan cara menghentikan Penunggang. Waktu terus berjalan, dan bulan mati tinggal beberapa malam lagi. Mereka berpacu dengan waktu. Winda, yang sekarang lebih terbuka setelah melihat bukti mengerikan dari kekuatan Penunggang, akhirnya mau berbicara lebih banyak. Ia menceritakan tentang neneknya yang sering menyebut tentang Kitab Kunci, sebuah naskah kuno yang berisi detail ritual penghentian siklus Penunggang Kuda Hitam. Kitab itu dipercaya tersembunyi di suatu tempat di desa, dijaga oleh keturunan pelindung.
"Nenekku sering bilang kalau Kitab itu harusnya dijaga di rumah leluhur, di tempat paling aman," bisik Winda, matanya masih merah karena menangis.
Rio, dengan keahliannya dalam sejarah dan arkeologi, mulai meneliti lebih dalam arsip-arsip desa dan bertanya kepada warga yang lebih tua. Mitha, dengan intuisi dan petunjuk dari surat neneknya, mencoba mencari tahu lokasi Kitab Kunci. Mereka bekerja sama, dibantu oleh Winda yang kadang memberikan petunjuk samar dari ingatannya tentang cerita neneknya. Rio menyusun hipotesis, dan Mitha mengandalkan firasatnya.
Kepanikan massal telah mencapai puncaknya di desa. Beberapa keluarga mulai mengungsi, meninggalkan desa dalam ketakutan. Jalanan menjadi sepi setelah gelap, hanya suara anjing melolong yang sesekali terdengar. Sebagian warga yang lebih tua, yang sangat percaya pada takhayul, mulai menyalahkan Rio, Mitha, dan teman-temannya. Mereka percaya bahwa kelima pemuda itu telah memicu kutukan dan ingin mengusir mereka dari desa, bahkan mengancam akan menghakimi mereka.
"Mereka yang membuka segelnya! Mereka yang membawa bencana!" teriak seorang warga di balai desa, tatapan matanya penuh amarah dan ketakutan. Rio dan Mitha harus bersembunyi dan bergerak hati-hati, bersembunyi di gudang-gudang kosong atau rumah kerabat yang berbaik hati, demi keselamatan mereka sendiri. Mereka menjadi buronan di desa yang seharusnya menjadi tempat perlindungan mereka.
Bab 4 – Warisan Pelindung
Setelah berhari-hari pencarian yang melelahkan, diiringi ketakutan akan serangan Penunggang dan kejaran warga desa, Rio dan Mitha akhirnya menemukan petunjuk penting. Dengan informasi samar dari Winda tentang "tempat leluhur yang aman" dan petunjuk siluet yang mereka temukan di Kitab Kunci, mereka menyelinap masuk ke rumah Bu Lurah Ratmi yang sudah tampak begitu lelah dan putus asa. Bu Lurah, yang juga seorang keturunan dari salah satu keluarga tertua di desa, menyadari bahwa takdir mereka kini terjalin. Ia membawa mereka ke sebuah ruangan tersembunyi di bawah lantai rumahnya, yang tidak pernah ia tunjukkan kepada siapa pun.
Di sana, di dalam sebuah kotak kayu berukir yang tersembunyi di bawah papan lantai yang longgar, Rio dan Mitha menemukan Kitab Kunci. Kitab itu sebuah naskah kuno yang tebal, sampulnya terbuat dari kulit hewan yang sudah menguning, dan halamannya dipenuhi tulisan tangan kuno dan gambar-gambar simbolis yang rumit. Kitab itu disimpan rapi, terawat, dan memancarkan aura kuno yang kuat.
Dengan hati-hati, Rio membuka Kitab Kunci. Isinya penuh dengan gambar, simbol, dan tulisan kuno yang hanya bisa dipahami olehnya berkat latar belakang arkeologinya. Ia membacanya dengan cermat, kadang membandingkannya dengan ukiran di peti tua. Di dalamnya, Rio menemukan sebuah bagian yang menjelaskan tentang garis keturunan para pelindung. Mata Rio membelalak saat ia mengikuti alur silsilah yang rumit. Ia menyadari sebuah fakta yang mengejutkan: Mitha adalah keturunan langsung dari Sura Lelana, pelindung pertama yang berhasil mengurung Penunggang Kuda Hitam 100 tahun yang lalu.
Rio menatap Mitha, matanya penuh keterkejutan dan kekaguman. "Mitha… kau adalah keturunan Sura Lelana! Nenek buyutmu, atau entah siapanya. Kau adalah pelindung yang dimaksud dalam legenda ini!"
Mitha terkejut dan sedikit ketakutan. Ia tidak pernah tahu tentang sejarah keluarganya yang kelam dan takdir luar biasa ini. Ia merasa terbebani dengan takdir yang tiba-tiba menimpanya, sebuah warisan yang kini mengharuskan dia untuk melakukan pengorbanan yang tak terbayangkan. "Aku? Aku tidak tahu apa-apa tentang ini. Aku tidak punya kekuatan apa pun," bisiknya, suaranya gemetar.
Kitab Kunci juga menjelaskan detail ritual untuk mengembalikan Penunggang ke alamnya. Untuk mengembalikan roh itu, Mitha harus mempersembahkan darahnya ke batu Rantai Hitam. Batu itu adalah artefak kuno yang digunakan Sura Lelana untuk mengikat Penunggang. Kitab itu memberikan instruksi yang sangat spesifik tentang bagaimana darah harus diteteskan, mantra apa yang harus diucapkan, dan simbol apa yang harus digambar.
Ritual harus dilakukan di padang maut, sebuah area terpencil di pinggir desa, tempat pertama kali kutukan dilepaskan dan segel dihancurkan oleh Penunggang. Yang paling penting, ritual ini hanya bisa dilakukan saat malam tanpa bulan (new moon), yaitu saat kegelapan paling pekat berkuasa. Rio menghitung tanggal di kalendernya. Bulan mati tinggal 2 malam lagi. Tekanan waktu semakin memuncak, seperti detak jam yang mempercepat menuju kehancuran.
Sementara itu, Andi, yang masih trauma dengan kejadian kamera hangus, menolak untuk terlibat lebih jauh dalam pencarian. Ia mencoba menjauhkan diri dari Rio dan Mitha, mencari cara untuk keluar dari desa. Ia mengunci diri di rumah, berharap Penunggang tidak akan menemukannya. Namun, ia tidak menyadari bahwa Penunggang Kuda Hitam kini semakin kuat dan mampu menembus batas-batas.
Malam itu, saat jam mendekati pukul 22.00, Andi mencoba melarikan diri dari desa melalui jalan belakang. Ia bersembunyi di balik semak-semak, berencana menyelinap keluar saat jalanan sepi. Namun, ia tidak menyadari ada sesuatu yang mengawasinya. Hilangnya Andi disaksikan oleh Winda dari jendela rumahnya. Winda, yang sedang mencuri pandang ke luar, melihat kabut hitam tebal muncul entah dari mana, menyelimuti Andi. Winda melihat Penunggang muncul seolah dari bayangan gelap, sosoknya kini terlihat lebih jelas dan mengerikan, dengan mata merah menyala dan kuda yang berapi-api. Penunggang itu melesat cepat, menembus tembok pagar rumah Andi yang telah ia lewati, dan membawa Andi pergi. Winda berteriak histeris, tapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Suaranya tercekat di tenggorokan, menyaksikan adegan horor itu dengan mata membelalak.
Kejadian ini membuat Winda sangat terpukul. Ia merasa bertanggung jawab karena tidak bisa membantu Andi. Trauma itu juga memicu Winda untuk lebih aktif membantu Rio dan Mitha. Ia merasa inilah satu-satunya cara untuk menebus rasa bersalahnya. Dengan petunjuk dari Kitab Kunci, Rio, Mitha, dan Winda mulai mencari lokasi batu Rantai Hitam. Batu itu dipercaya tersembunyi di suatu tempat di padang maut. Kitab Kunci juga memberikan petunjuk samar tentang sebuah gua kecil yang tersembunyi di antara akar-akar pohon besar, tempat batu itu disegel.
Mereka menghadapi rintangan tidak hanya dari Penunggang, tetapi juga dari warga yang semakin marah dan curiga. Beberapa kali, mereka hampir tertangkap oleh kelompok warga yang ingin mengusir mereka, bahkan mengancam akan melakukan tindakan main hakim sendiri. "Mereka harus pergi! Mereka pembawa kutukan!" teriak seorang warga, mengacungkan obor. Bu Lurah Ratmi diam-diam membantu mereka, memberikan informasi dan rute aman yang tidak diketahui warga lain, bahkan menyediakan perbekalan kecil untuk perjalanan mereka. Ia percaya bahwa Rio dan Mitha adalah satu-satunya harapan desa.
Bab 5 – Kuda dalam Kabut
Ketegangan di Desa Sukamaju mencapai puncaknya. Jika sebelumnya Penunggang Kuda Hitam hanya beraksi di luar rumah, kini teror itu semakin merajalela dan tak terduga. Desa dipenuhi kabut hitam pekat setiap malam, bahkan di siang hari, kabut tipis masih menggantung di udara, membuat matahari tampak seperti bulatan pucat dan menyedihkan. Kabut ini bukan kabut biasa; ia terasa dingin menusuk tulang, membawa aroma busuk yang mengerikan seperti belerang dan kematian, dan seolah memiliki kesadarannya sendiri, bergerak perlahan, menyelimuti rumah-rumah.
Yang paling mengerikan, Penampakan Penunggang Kuda Hitam semakin nyata. Ia tidak lagi hanya siluet atau bayangan samar; ia muncul sebagai sosok ksatria hitam pekat dengan baju zirah kuno yang usang, mata merah menyala seperti bara api, dan kuda berbulu kelam yang mengeluarkan asap dari hidungnya. Derap kudanya yang berat dan serak terdengar jelas, bahkan ketika tidak ada kuda di sekitarnya. Suara itu seolah bergema dari dimensi lain, menggetarkan setiap jendela dan pintu di desa.
Lebih parah lagi, Penunggang kini mulai bisa masuk ke dalam rumah meskipun diberi pagar garam atau jimat pelindung. Garam yang ditaburkan di ambang pintu seolah menguap begitu saja saat kabut hitam menyentuhnya, dan jimat-jimat hangus terbakar menjadi abu hitam, meninggalkan bau gosong yang mengerikan. Tidak ada tempat yang aman lagi. Warga yang mencoba bersembunyi di dalam rumah mereka kini juga menjadi target. Teror itu benar-benar tak terkendali.
Bu Lurah Ratmi, yang melihat keputusasaan di mata Rio dan Mitha serta kepanikan yang melanda desanya, merasa perlu untuk mengungkapkan kebenaran pahit yang ia ketahui dari sejarah keluarganya. Ia mengundang Rio, Mitha, dan Winda ke rumahnya lagi, wajahnya tampak lelah dan penuh beban. "Ada hal yang tidak tertulis lengkap di Kitab Kunci," katanya, suaranya nyaris berbisik. "Para leluhur menyembunyikan sebagian besar kebenaran untuk melindungi generasi selanjutnya dari takdir yang terlalu berat."
Bu Lurah menjelaskan bahwa dulu, ritual tidak hanya membutuhkan darah keturunan pelindung, tetapi juga jiwa relawan untuk mengikat Penunggang Kuda Hitam. "Sura Lelana, pelindung pertama," lanjutnya, "tidak hanya mengorbankan darahnya, tetapi juga ada seorang relawan dari keluarga lain yang secara sukarela menyerahkan jiwanya untuk menjadi penambat, agar Penunggang itu terikat sepenuhnya pada batu dan tidak bisa memakan jiwa lagi."
Pengungkapan ini membuat Mitha sangat ketakutan. Wajahnya pucat pasi. "Jiwa relawan? Maksudnya... aku harus mengorbankan diriku?" bisiknya, suaranya tercekat. Ia bertanya-tanya apakah darahnya saja akan cukup, atau apakah ia juga harus mengorbankan jiwanya sendiri seperti relawan masa lalu. Rio mencoba menenangkan Mitha, bersikeras bahwa mereka hanya perlu mengikuti instruksi Kitab Kunci dan mencari cara lain. Ia percaya bahwa ada solusi yang tidak melibatkan pengorbanan nyawa Mitha.
Kepanikan warga desa telah mencapai titik didih. Mereka melihat Rio dan Mitha sebagai pembawa malapetaka, sebagai akar dari semua masalah ini. Beberapa warga yang paling panik dan berani membentuk kelompok untuk memburu Rio dan Mitha. Mereka percaya bahwa dengan menyingkirkan penyebab kutukan, teror akan berakhir. Mereka bersenjatakan obor, golok, dan amarah. Rio, Mitha, dan Winda kini tidak hanya dikejar oleh Penunggang, tetapi juga oleh penduduk desa mereka sendiri. Mereka harus bersembunyi di hutan atau tempat-tempat terpencil, bergerak dalam bayangan, dan menghindari kontak dengan siapa pun.
"Kita harus mencari tahu apa arti 'kunci utama' di sumur lama itu, Rio," desak Mitha. "Mungkin ada cara lain selain pengorbanan jiwa."
Dalam pelarian mereka, Rio terus mempelajari Kitab Kunci. Ia menemukan sebuah catatan samar yang menunjukkan bahwa peti yang mereka buka bukanlah satu-satunya kunci. Peti itu hanya "membuka pintu", sebuah pemicu awal yang membangunkan Penunggang. Namun, kunci utama untuk mengunci Penunggang Kuda Hitam kembali ke alamnya berada di tempat lain. Rio melihat sebuah sketsa kuno di dalam kitab yang menunjukkan sumur yang telah kering dan sebuah ukiran yang mirip dengan gembok peti.
Rio menyadari bahwa kunci utama itu tersembunyi di sumur lama yang telah kering di pinggir desa, sebuah tempat yang jarang didatangi orang karena telah lama dianggap tidak berguna dan angker. Ia mengingatnya sebagai sumur batu dengan penutup kayu yang besar dan berat, diselimuti lumut. "Kita harus mengambil kunci itu sebelum melakukan ritual," kata Rio. "Mungkin itu yang akan melengkapi ritual darah, tanpa perlu jiwa relawan." Mitha dan Winda setuju, sebuah harapan kecil muncul di tengah keputusasaan mereka. Mereka bergegas menuju sumur lama, menyelinap di antara bayangan, berpacu dengan waktu dan Penunggang yang semakin mendekat.
Bab 6 – Malam Tanpa Bulan
Malam tanpa bulan, saat kegelapan paling pekat, akhirnya tiba. Atmosfer desa terasa mencekam, lebih dari malam-malam sebelumnya. Angin berembus kencang, membawa hawa dingin yang menusuk tulang, seolah alam sendiri menahan napas. Rio, Mitha, dan Winda, yang sekarang sangat putus asa dan kelelahan, memutuskan untuk pergi ke padang maut. Ini adalah satu-satunya kesempatan mereka.
Mereka membawa batu Rantai Hitam yang sudah mereka temukan tersembunyi di dalam gua kecil di dekat padang maut—sebuah batu basal hitam legam yang dingin saat disentuh, dengan ukiran spiral kuno di permukaannya. Mereka juga membawa Kitab Kunci yang tergulung rapi dan simbol warisan dari silsilah Mitha, sebuah liontin perak berbentuk mata kuda kecil yang diturunkan oleh nenek Mitha. Dengan hati-hati, mereka menyelinap keluar desa.
Di tengah perjalanan mereka, mereka harus menghadapi ancaman ganda. Kelompok warga yang berpatroli, yang sekarang lebih agresif dan putus asa, mencoba menangkap mereka. "Mereka di sana! Tangkap mereka!" teriak seorang warga, mengacungkan obor. Namun, dengan bantuan Bu Lurah Ratmi yang memberikan rute aman melalui jalan setapak tersembunyi di hutan, mereka berhasil lolos dari kejaran warga. Bu Lurah bahkan membekali mereka dengan sedikit air dan biskuit kering, tatapan matanya penuh harapan.
Namun, di padang maut, bahaya yang sebenarnya menanti. Saat mereka tiba di lokasi yang ditunjuk Kitab Kunci, sebuah lapangan terbuka luas yang dikelilingi pohon-pohon mati, Penunggang Kuda Hitam muncul lebih cepat dari jam 22.00. Ia muncul dari kabut tebal yang tiba-tiba menyelimuti padang maut, sebuah entitas yang kini tampak sangat solid dan nyata, dengan suara derap kuda yang menggelegar.
Kabut yang dibawa Penunggang bukan hanya pekat, tetapi juga memiliki efek aneh. Ia merusak kompas dan membuat pandangan kabur, memutar arah, dan membuat ilusi. Mereka tersesat di tengah padang maut yang luas, di mana ilusi dan ketakutan muncul dari setiap bayangan. Pohon-pohon mati tampak seperti tangan-tangan kerangka yang mencengkeram.
"Rio, kompasnya tidak berfungsi!" teriak Winda, menunjuk ke arah kompas yang jarumnya berputar liar.
"Sial! Ini jebakan!" Rio mencoba mencari arah, namun kabut terlalu tebal.
Dari kejauhan, terdengar jeritan-jeritan putus asa. Kelompok warga yang mengikuti mereka untuk menghentikan ritual justru menjadi korban Penunggang. Jeritan dan teriakan terdengar di kejauhan, menambah kengerian dan keputusasaan mereka. Mereka tahu bahwa Penunggang sedang berpesta, memanen jiwa-jiwa di sekeliling mereka.
Mitha, dengan gemetar, mencoba memulai ritual. Rio membimbingnya dengan membaca mantra dari Kitab Kunci. Winda membantu mempersiapkan bahan-bahan: menempatkan batu Rantai Hitam di tengah lingkaran yang digambar Rio dengan serbuk kunyit, dan menaruh liontin warisan Mitha di sampingnya. Mitha menggores pergelangan tangannya dengan pisau kecil, membiarkan darahnya menetes ke batu Rantai Hitam. Darah merah pekat itu meresap ke dalam batu hitam, dan Mitha mulai membacakan mantra yang ada di kitab, suaranya bergetar namun tegas.
"Wahai Roh Penjaga Batas, kembali ke tempatmu! Darah pelindung memanggilmu pulang!"
Namun, ritual tersebut gagal sebagian. Simbol darah pada batu tidak menyala sempurna. Ada bagian yang kosong, seolah membutuhkan lebih dari sekadar darah. Batu itu hanya memancarkan cahaya redup, tidak seperti yang digambarkan di Kitab Kunci. Rio segera menyadari bahwa mereka belum menemukan "kunci utama" di sumur lama, yang ia pikir akan melengkapi ritual ini.
Penunggang Kuda Hitam, yang tadinya hanya mengawasi dari kejauhan, murka. Ia melesat dengan cepat, kudanya menginjak tanah dengan derap memekakkan telinga, dan menyerang Winda dengan kekuatan dahsyat. Sebuah hawa dingin tak terlihat menerjang Winda, membuatnya terlempar ke belakang, kepalanya membentur batu. Ia terhuyung-huyung, nyaris pingsan. Rio dan Mitha berusaha melindunginya, namun kekuatan Penunggang terlalu besar. Mata merah menyala Penunggang menatap tajam ke arah Mitha, seolah tahu ia adalah kunci utamanya.
Melihat Winda yang terancam dan ritual yang gagal, Mitha menyadari apa yang kurang. Ia teringat kata-kata Bu Lurah tentang "jiwa relawan". Ia menatap Rio, matanya penuh air mata namun juga determinasi. "Rio, aku tahu apa yang harus kulakukan," bisiknya. "Ini satu-satunya cara."
Rio menggelengkan kepala. "Tidak, Mitha! Jangan! Pasti ada cara lain!"
"Tidak ada waktu, Rio! Dia akan membunuh kita semua!" Mitha mengambil keputusan yang mengerikan. Dengan keberanian luar biasa, ia mengambil pisau kecil itu lagi, dan tanpa ragu, ia mengiris lebih dalam pergelangan tangannya. Darahnya mengalir deras, membanjiri batu Rantai Hitam. Ia menumpahkan darahnya, menyerahkan dirinya sebagai tumbal. Saat darahnya meresap, simbol-simbol pada batu menyala terang, memancarkan cahaya hitam yang kuat. Darahnya mencukupi pengaktifan segel batu rantai, sebuah pengorbanan terakhir yang mengerikan. Mitha merasakan energinya terkuras habis, jiwanya seolah ditarik keluar dari tubuhnya.
Bab 7 – Segel Kembali, Tapi...
Saat darah Mitha meresap sepenuhnya ke batu Rantai Hitam, sebuah energi dahsyat terlepas. Batu itu bergetar hebat, dan sebuah pusaran cahaya api hitam yang sangat terang dan menderu muncul di tengah padang maut. Pusaran itu berputar dengan cepat, mengeluarkan suara menderu yang memekakkan telinga, seolah-olah membuka portal ke dimensi lain. Aroma belerang dan bau tanah basah semakin kuat, namun kali ini bercampur dengan aroma yang aneh, seperti bunga-bunga kering yang terbakar.
Sosok Penunggang Kuda Hitam, yang tadinya mengamuk dan hendak menyerang Rio dan Winda, tiba-tiba berhenti. Ia mengeluarkan ringkikan marah, namun tubuhnya mulai tertarik kuat ke dalam pusaran cahaya api hitam. Ia meronta, kudanya menendang-nendang udara, namun tidak berdaya melawan kekuatan pusaran itu. Perlahan tapi pasti, Penunggang Kuda Hitam tertarik masuk ke dalam pusaran dan menghilang di dalamnya, seolah ditarik kembali ke alamnya. Pusaran itu kemudian mengecil, meredup, dan lenyap, menyisakan keheningan yang dalam dan dingin. Sebuah keheningan yang begitu pekat, seolah seluruh alam semesta menahan napas.
Mitha terhuyung, tubuhnya lemas dan pucat karena kehilangan banyak darah. Ia kehilangan kesadaran, jatuh ke pelukan Rio. Rio segera menopangnya, membalut luka di pergelangan tangan Mitha dengan sisa kain yang ia miliki. Winda, yang juga syok, dengan cepat membantu. Mereka merasakan kelegaan yang luar biasa, terbebas dari cengkeraman teror, namun juga diliputi kesedihan mendalam atas pengorbanan Mitha. Rio memeluk Mitha erat, air matanya menetes.
Saat Penunggang menghilang, kabut hitam yang selama ini menyelimuti desa sirna seketika. Udara menjadi bersih dan segar kembali, meskipun masih terasa dingin. Langit malam yang tadinya kelam total, kini menampakkan bintang-bintang yang berkelip, dan cahaya samar bulan mati terlihat samar di ufuk. Jam 22.00 WITA kini menjadi waktu biasa lagi. Tidak ada lagi teror yang melanda saat jam tersebut berdentang. Desa perlahan kembali ke normal, meskipun dengan luka-luka yang mendalam.
Namun, ada satu hal yang tidak kembali: jiwa-jiwa yang hilang tidak kembali. Para korban Penunggang Kuda Hitam, termasuk Tegar dan Andi, tetap menjadi kenangan pahit, jiwa mereka telah terenggut selamanya. Sebuah pengorbanan telah dilakukan, tetapi dampaknya permanen dan tidak bisa dibatalkan. Rio dan Winda merasakan kesedihan yang mendalam atas fakta ini, sebuah pengorbanan yang begitu besar namun tidak bisa mengembalikan apa yang hilang.
Batu Rantai Hitam, yang tadinya berwarna gelap, kini berubah menjadi hitam pekat sepenuhnya, seperti menyerap semua kegelapan dan energi Penunggang. Permukaannya terasa dingin saat disentuh, dan di sana, muncul tulisan-tulisan kuno yang menyala samar dengan cahaya keperakan. Rio membaca tulisan itu dengan gemetar, hatinya terasa teremas.
"Kunci akan terbuka lagi bila yang terlahir dari darah pelindung kembali mengkhianati tanahnya sendiri."
Tulisan ini mengungkapkan sebuah ancaman yang mengerikan, bahwa kutukan bisa bangkit lagi jika keturunan pelindung melanggar sumpah mereka. Ini menyisakan pertanyaan besar: Apakah pengorbanan Mitha telah mengakhiri siklus, atau hanya menundanya? Apakah ada ancaman tersembunyi yang menunggu di masa depan? Rio memegang batu itu erat-erat, beban yang baru kini terasa lebih berat.
Epilog:
Tiga tahun berlalu. Desa Sukamaju telah pulih dari teror, meskipun kenangan pahit masih membekas seperti bekas luka yang takkan hilang. Rumah-rumah yang ditinggalkan mulai dihuni kembali, dan tawa anak-anak mulai terdengar lagi di jalanan. Rio dan Winda kini menjadi teman dekat, saling mendukung setelah trauma yang mereka alami. Rio, dengan bekal pengetahuannya tentang sejarah dan legenda kuno, memutuskan untuk menjadi seorang arkeolog terkenal, melakukan penelitian yang lebih mendalam tentang peradaban kuno dan misteri yang belum terpecahkan. Ia sering melakukan ekspedisi, namun sesekali selalu kembali ke Desa Sukamaju, menjaga ikatan dengan Mitha yang selalu ada di hatinya. Winda, di sisi lain, menggunakan indra keenamnya dan pengetahuannya yang diwarisi dari neneknya untuk membantu menjaga keseimbangan spiritual desa, menjadi semacam pelindung baru bagi Sukamaju. Ia mengajarkan warga tentang perlindungan sederhana dan cara menghormati batas antara dua dunia.
Makam Mitha dibangun di puncak bukit, menghadap ke desa. Rio dan Winda sering mengunjunginya, meletakkan bunga dan berdoa. Mitha dikenang sebagai pahlawan, pengorbanannya telah menyelamatkan desa. Namun, seringkali, Rio dan Winda bertukar pandang penuh makna, mengingat tulisan di Batu Rantai Hitam. Mereka tahu, kedamaian ini mungkin hanya sementara.
Di suatu sore yang cerah, udara terasa hangat dan burung-burung berkicau riang. Seorang anak kecil bernama Bima, yang baru berusia lima tahun, sedang bermain di dekat sumur lama yang kini tidak lagi digunakan. Sumur itu telah ditutup dengan papan kayu yang tebal dan berat, diikat dengan rantai berkarat, agar tidak ada lagi yang bisa mengaksesnya. Sumur itu sudah kering, dulunya tempat Rio menemukan petunjuk tentang "kunci utama" yang sayangnya tidak sempat ia raih tepat waktu.
Bima, yang penasaran, menggeser beberapa tumpukan batu di samping sumur. Di sana, ia menemukan sebuah benda kecil yang tersembunyi, liontin Tegar yang sudah berkarat. Liontin itu adalah peninggalan Tegar, yang pernah terjatuh dari sakunya saat ia mencoba melarikan diri malam itu, namun tidak pernah ditemukan karena tertutup tanah. Bima memungut liontin itu, membersihkan kotoran yang menempel di permukaannya dengan jemarinya yang kecil.
Saat liontin itu disentuh oleh anak tersebut, sebuah derap kuda samar terdengar dari kejauhan... Tap... tap... tap... Suara itu, meskipun samar, cukup jelas untuk membuat bulu kuduk merinding. Suara itu berasal dari arah padang maut, tempat Penunggang Kuda Hitam disegel. Bima, meskipun tidak mengerti, merasakan sesuatu yang aneh. Ia menoleh ke arah datangnya suara, matanya yang polos sedikit bingung.
Penunggang Kuda Hitam mungkin telah disegel, tetapi apakah ia benar-benar pergi? Atau hanya menunggu saatnya untuk kembali, sesuai dengan ramalan kuno, ketika seorang keturunan pelindung "mengkhianati tanahnya sendiri" atau ketika segelnya tanpa sengaja tersentuh lagi? Kisah ini mungkin baru saja dimulai.