Cerpen
Disukai
2
Dilihat
967
Pelaku
Misteri

Udara dingin dari Danau Kaca menusuk kulit Tika, mengabaikan jaket tebal yang ia kenakan. Kaki telanjangnya menginjak pasir basah, meninggalkan jejak yang cepat terhapus oleh ombak kecil. Malam itu, di bawah kerlipan bintang yang tak terhitung, ia duduk sendirian, merenungi keputusan-keputusan yang telah membawanya ke titik ini.

"Maaf," bisiknya ke arah danau yang gelap, seolah meminta pengampunan dari sesuatu yang tak terlihat. Ia memejamkan mata, membiarkan memori masa lalu membanjiri benaknya. Ingatan tentang seorang pemuda yang wajahnya selalu tertunduk, seorang pemuda yang pernah ia dan teman-temannya siksa dengan ejekan dan perbuatan kejam. Roni. Nama itu terucap dari bibirnya, sebuah desahan penyesalan yang membeku di udara malam.

Rasa takut tiba-tiba merayap. Tika membuka mata, pandangannya menyapu sekeliling. Tidak ada siapa-siapa, hanya pohon-pohon pinus yang menjulang, membentuk siluet gelap di bawah cahaya rembulan. Ia mencoba menenangkan diri, menyakinkan dirinya bahwa ketakutan itu hanyalah paranoia. Tetapi, bisikan dari arah hutan membuat bulu kuduknya berdiri. Bisikan itu memanggil namanya, bukan dengan nada lembut, tetapi dengan bisikan yang terdengar seperti angin berdesir di antara dedaunan.

Tika bangkit, kakinya tersandung akar pohon. Ia berbalik, dan di sana, berdiri di antara bayangan, adalah sosok yang tak jelas. Sosok itu mengenakan jubah hitam, wajahnya tertutup topeng, dan di tangannya, sebuah lonceng kecil berayun, menghasilkan suara nyaring yang memecah kesunyian malam.

"Roni?" Tika bertanya, suaranya gemetar. Ia tidak mendapat jawaban, hanya lonceng yang berbunyi semakin keras. Sosok itu bergerak cepat, dan dalam sekejap, Tika merasakan sakit yang menusuk di pergelangan tangannya. Darah mengalir, membasahi pasir putih di tepi danau. Tika jatuh berlutut, pandangannya buram. Hal terakhir yang ia dengar adalah lonceng yang berhenti berbunyi, dan sebuah bisikan dingin yang berbisik di telinganya, "Akhirnya, damai."

Pagi itu, Rian, seorang detektif muda yang baru saja dipindahkan ke kota kecil itu, berdiri di samping mayat Tika. Kota ini, yang dulunya damai, kini dicoreng oleh kejahatan yang mengerikan. Ia memandang ke arah mayat Tika, yang kini tergeletak dengan pergelangan tangan teriris dan sebuah lonceng kecil diletakkan di dadanya.

"Budi, apa yang kita punya?" Rian bertanya, suaranya tenang meskipun di dalam hatinya ia merasa gelisah.

"Korban adalah Tika, seorang wanita berusia 25 tahun, bekerja sebagai guru TK," Budi, partner Rian, menjawab, suaranya terdengar tegang. "Kami menemukan ini," Budi menyerahkan sebuah buku harian.

Rian membuka buku harian itu. Tika menulis tentang ketakutan dan penyesalannya. Ia menulis tentang Roni, seorang pemuda yang pernah mereka sakiti.

"Roni?" Rian bertanya, mengangkat alis.

"Ya," Budi mengangguk. "Roni adalah seorang pemuda yang dulunya sering di-bully oleh Tika dan teman-temannya. Ia sekarang menjadi novelis sukses."

Rian merasakan keanehan. Sebuah lonceng kecil, sebuah buku harian yang menceritakan masa lalu, dan seorang novelis misteri. Ia merasa bahwa kasus ini lebih dari sekadar pembunuhan biasa. Ia merasa bahwa kasus ini adalah sebuah teka-teki yang sengaja dibuat untuknya.

"Kita cari tahu tentang Roni," Rian berkata, pandangannya terfokus pada danau yang tenang, tetapi di dalam hatinya, ia merasa bahwa badai akan datang. Ia merasa bahwa ini hanyalah permulaan.

Pagi berikutnya, Rian kembali ke kantornya, pikirannya dipenuhi oleh kasus Tika. Ia tidak bisa berhenti memikirkan detail-detail aneh yang ditemukannya. Sebuah lonceng, sebuah buku harian, dan seorang novelis misteri. Semua ini terasa seperti potongan-potongan teka-teki yang sengaja diletakkan di tempat kejadian.

"Budi, apa yang kita dapatkan dari TKP?" Rian bertanya saat ia memasuki ruangan, meletakkan kopi di mejanya.

"Tidak banyak," Budi menjawab, suaranya terdengar lelah. "Tidak ada sidik jari yang jelas, tidak ada jejak kaki, dan tidak ada saksi yang melihat sesuatu."

Rian menghela napas. "Bagaimana dengan buku harian Tika?"

"Kami sudah membacanya," kata Budi sambil menyerahkan buku harian itu kepada Rian. "Tika menulis banyak tentang masa lalunya. Ia menulis tentang Roni, seorang pria yang dulunya sering ia dan teman-temannya siksa. Tika merasa bersalah dan menyesalinya, ia bahkan menulis tentang mimpi buruknya tentang Roni yang datang untuk membalas dendam."

Rian membaca buku harian itu. Tika menulis tentang kejahatan-kejahatan mereka yang mengerikan, tentang bagaimana mereka melemparkan cat ke wajah Roni, tentang bagaimana mereka mengejeknya, dan tentang bagaimana mereka merusak semua lukisan Roni. Semua ini membuat Rian merasa mual. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Roni saat itu.

"Bagaimana dengan teman-teman Tika?" Rian bertanya.

"Kami sudah mewawancarai mereka," Budi menjawab. "Mereka semua kaget dan tidak percaya bahwa Tika meninggal. Mereka semua mengatakan bahwa Tika adalah orang baik dan tidak punya musuh."

"Tentu saja," Rian menghela napas. "Mereka tidak akan mengakui kesalahan mereka."

"Tapi, ada sesuatu yang aneh," Budi berkata, suaranya terdengar ragu-ragu. "Salah satu dari teman-teman Tika, seorang pria bernama Indra, ia terlihat sangat tegang. Ia terlihat seperti menyembunyikan sesuatu."

"Indra," Rian mengulang nama itu. "Kita akan menemuinya."

Rian dan Budi pergi ke rumah Indra. Indra adalah seorang pengusaha sukses yang tinggal di sebuah rumah mewah di pinggir kota. Saat mereka memasuki rumahnya, mereka disambut oleh seorang pria paruh baya yang terlihat kuyu dan pucat.

"Tolong, duduk," kata Indra, suaranya bergetar. "Ada apa?"

"Kami ingin bertanya tentang Tika," Rian berkata.

Indra mengangguk. "Tika adalah teman baik saya. Saya tidak percaya bahwa ia sudah meninggal."

"Apakah ada sesuatu yang aneh tentang Tika akhir-akhir ini?" Rian bertanya.

"Tidak," Indra menggelengkan kepalanya. "Ia baik-baik saja."

"Apakah Anda tahu tentang Roni?" Rian bertanya, suaranya terdengar tenang.

Mendengar nama itu, Indra tertegun, wajahnya menjadi pucat pasi. "Roni... ia... ia sudah lama pergi. Saya tidak pernah melihatnya lagi."

"Tika menulis tentang penyesalannya di buku hariannya," Rian berkata, pandangannya tertuju pada Indra. "Apakah Anda juga merasa menyesal?"

Indra tidak menjawab, ia hanya menatap Rian dengan tatapan kosong. Tiba-tiba, ia berdiri dan menunjuk ke arah Rian. "Kenapa kalian bertanya tentang hal-hal ini?! Ini tidak ada hubungannya dengan kasus ini!"

"Tentu saja ada," Rian berdiri. "Kami menemukan sebuah lonceng kecil di TKP. Apakah Anda tahu apa arti lonceng itu?"

Indra terdiam. Ia menatap Rian dengan tatapan takut, seolah-olah ia melihat hantu. "Saya... saya tidak tahu apa-apa. Tolong, tinggalkan saya sendirian."

Rian dan Budi meninggalkan rumah Indra, tetapi mereka tahu bahwa Indra menyembunyikan sesuatu. Indra bukanlah seorang saksi, ia adalah tersangka.

"Dia tahu sesuatu," Rian berkata. "Ia tahu tentang lonceng itu."

"Tapi, bagaimana kita membuktikannya?" Budi bertanya.

"Kita akan mencarinya," Rian berkata. "Kita akan mencari tahu apa arti lonceng itu."

Di kantor polisi, Rian dan Budi mencari informasi tentang Roni. Mereka menemukan bahwa Roni adalah seorang novelis sukses yang novel-novelnya selalu menjadi bestseller. Mereka juga menemukan bahwa Roni adalah seorang pria yang sangat tertutup, ia jarang muncul di depan publik dan tidak memiliki banyak teman.

"Ini aneh," Rian berkata. "Seorang novelis sukses, tetapi ia tidak memiliki banyak teman?"

"Mungkin ia seorang introvert," Budi berkata.

"Atau, mungkin ia punya rahasia," Rian berkata, pandangannya terfokus pada foto Roni.

Rian dan Budi memutuskan untuk menemui Roni. Mereka pergi ke rumahnya, sebuah rumah tua yang terletak di pinggir danau, tidak jauh dari tempat Tika ditemukan.

Mereka mengetuk pintu, dan setelah beberapa saat, pintu terbuka. Di sana, berdiri Roni, seorang pria paruh baya dengan rambut acak-acakan dan mata yang terlihat lelah. Ia terlihat sangat berbeda dari foto yang mereka lihat.

"Roni?" Rian bertanya.

"Ya, saya," Roni mengangguk. "Ada apa?"

"Kami detektif dari kepolisian. Kami ingin bertanya tentang Tika," Rian berkata.

Roni terdiam, matanya yang lelah menatap Rian. "Tika? Saya tidak mengenalnya."

"Jangan berbohong," Rian berkata, suaranya tenang, tetapi di dalamnya ada nada ancaman. "Kami tahu bahwa Tika pernah menyakiti Anda di masa lalu."

Roni menghela napas. "Dulu... ya. Tapi, itu sudah lama sekali. Saya sudah memaafkannya."

"Anda yakin?" Rian bertanya.

Roni mengangguk. "Ya. Saya tidak punya alasan untuk membunuhnya."

"Lalu, kenapa Tika menulis di buku hariannya bahwa ia takut pada Anda?" Rian bertanya.

Roni tidak menjawab, ia hanya menundukkan kepalanya. "Saya tidak tahu."

Tiba-tiba, dari arah hutan, terdengar suara aneh. Suara itu terdengar seperti suara jeritan, tetapi juga terdengar seperti suara tawa. Rian dan Budi saling memandang, mereka tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

"Apakah ada seseorang di sana?" Rian bertanya pada Roni.

Roni menggelengkan kepalanya. "Tidak... itu hanya... itu hanya suara anjing liar."

Rian dan Budi tidak percaya. Mereka melihat ke arah hutan dan melihat sebuah bayangan bergerak cepat di antara pohon-pohon. Bayangan itu menghilang saat mereka mencoba untuk mendekat.

Saat Rian dan Budi kembali ke mobil, mereka melihat Indra, pria yang mereka wawancarai sebelumnya, berdiri di dekat mobilnya. Indra melihat ke arah mereka dan kemudian pergi dengan cepat.

Rian dan Budi saling memandang. "Ini aneh," Budi berkata.

"Ya," Rian mengangguk. "Ini aneh."

"Rian, saya mendapatkan sesuatu," Budi berkata, sambil melihat ke ponselnya. "Kami menemukan sebuah buku harian lain di TKP."

Rian terkejut. "Buku harian lain?"

"Ya," Budi mengangguk. "Kami menemukannya di saku Tika. Itu adalah buku harian yang sangat kecil, tidak lebih besar dari sebuah kartu nama."

"Apa isinya?" Rian bertanya.

Budi membuka buku harian itu. "Tika menulis tentang Indra. Ia menulis bahwa Indra mengancamnya dan menyuruhnya untuk tutup mulut tentang sesuatu."

Rian dan Budi saling memandang. "Ini bukan tentang Roni," Rian berkata. "Ini tentang Indra. Indra adalah pelakunya."

Rian dan Budi kembali ke rumah Indra. Mereka mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Rian mencoba membuka pintu, tetapi pintu itu terkunci.

"Kita akan masuk secara paksa," Rian berkata.

Mereka mendobrak pintu dan masuk ke dalam rumah. Rumah itu gelap dan sunyi, seperti tidak ada orang di dalamnya. Mereka mencari di setiap ruangan, tetapi tidak menemukan Indra.

Saat mereka berada di ruang kerja Indra, mereka menemukan sebuah foto lama. Dalam foto itu, ada Indra, Tika, dan seorang pria lain yang tidak mereka kenal. Di belakang foto itu, ada sebuah tulisan, "Kita berempat akan selamanya menyembunyikan rahasia ini."

Rian dan Budi saling memandang. "Tiga orang," Rian berkata. "Tika, Indra, dan seorang pria lain yang tidak kita kenal. Apa yang mereka sembunyikan?"

Tiba-tiba, mereka mendengar suara aneh dari lantai atas. Suara itu terdengar seperti suara tangisan, tetapi juga terdengar seperti suara tawa. Rian dan Budi saling memandang. "Itu suara yang sama yang kita dengar di hutan," Budi berkata.

Mereka naik ke lantai atas dan masuk ke dalam sebuah ruangan yang terkunci. Rian mendobrak pintu dan masuk ke dalam. Di dalam, mereka menemukan seorang wanita terikat di kursi. Wanita itu terkejut melihat mereka, matanya dipenuhi air mata.

"Tolong, bantu saya," wanita itu berteriak.

"Siapa Anda?" Rian bertanya.

"Saya adalah istri Indra," wanita itu berkata. "Indra... ia... ia gila. Ia mengancam akan membunuh saya jika saya memberitahu siapa pun tentang rahasia itu."

"Rahasia apa?" Rian bertanya.

"Tentang pembunuhan," wanita itu berkata, matanya yang dipenuhi air mata menatap Rian. "Indra... ia membunuh Roni. Ia membunuhnya dengan lonceng itu."

Rian dan Budi saling memandang. Mereka terkejut. "Tapi... Roni masih hidup," Rian berkata. "Kami baru saja menemuinya."

"Tidak," wanita itu menggelengkan kepalanya. "Indra membunuh Roni. Ia membunuhnya saat mereka berempat. Roni... ia... ia sudah meninggal. Tapi, Tika dan yang lain menyembunyikannya."

"Tunggu," Rian berkata. "Jika Roni sudah meninggal, lalu siapa pria yang kita temui?"

"Saya tidak tahu," wanita itu berkata, wajahnya pucat. "Mungkin... mungkin itu adalah hantu."

Rian dan Budi saling memandang, pikiran mereka berputar. Apakah Roni benar-benar sudah meninggal? Jika demikian, siapa pria yang mereka temui? Apakah Indra benar-benar pembunuhnya?

"Apa yang mereka sembunyikan?" Rian bertanya.

"Mereka menyembunyikan pembunuhan Roni," wanita itu berkata, suaranya bergetar. "Mereka membunuhnya karena Roni... ia... ia menemukan rahasia mereka."

Rian dan Budi terkejut. Roni bukan korban perundungan, ia adalah korban pembunuhan. Dan Tika, Indra, dan pria lain yang tidak mereka kenal, adalah pembunuh.

"Apa rahasia itu?" Rian bertanya.

Wanita itu menggelengkan kepalanya. "Saya tidak tahu. Indra tidak pernah memberitahu saya."

Rian dan Budi saling memandang. Mereka telah memecahkan teka-teki, tetapi mereka juga telah menciptakan teka-teki baru. Siapa pria yang mereka temui? Dan apa rahasia yang Roni temukan?

Saat mereka meninggalkan rumah Indra, Rian melihat ke arah hutan. Di sana, berdiri bayangan yang sama yang mereka lihat di dekat rumah Roni. Bayangan itu menghilang saat mereka melihatnya.

"Siapa itu?" Budi bertanya.

"Saya tidak tahu," Rian berkata, suaranya terdengar lelah. "Tapi, saya merasa bahwa kita sedang berurusan dengan sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kita pikirkan."

Rian dan Budi kembali ke kantor polisi, pikiran mereka berputar. Kebenaran yang mereka temukan di rumah Indra mengubah segalanya. Roni bukan korban perundungan, melainkan korban pembunuhan. Dan pelakunya, menurut istri Indra, adalah Indra sendiri, bersama dengan Tika dan seorang pria misterius. Namun, ada satu hal yang mengganjal: Roni yang mereka temui di rumahnya. Siapa dia sebenarnya?

"Ini tidak masuk akal, Budi," kata Rian, menyandarkan kepalanya di kursi. "Jika Roni sudah meninggal, siapa pria yang kita temui?"

Budi menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu. Tapi, istri Indra terdengar sangat meyakinkan."

"Tentu saja," Rian menghela napas. "Dia takut. Dia tidak akan berani berbohong."

"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?" Budi bertanya.

"Kita harus mencari tahu siapa pria yang ada di foto itu," Rian berkata, pandangannya terfokus pada foto yang mereka temukan di rumah Indra. "Mungkin dia tahu sesuatu."

Mereka mencari informasi tentang pria di foto itu, tetapi tidak menemukan apa-apa. Pria itu tidak ada di catatan kepolisian, tidak ada di media sosial, dan tidak ada di buku tahunan sekolah Tika, Indra, dan Roni. Pria itu seperti tidak pernah ada.

"Ini aneh," Budi berkata. "Bagaimana bisa seseorang tidak memiliki jejak digital?"

"Mungkin dia bukan orang biasa," Rian berkata. "Mungkin dia seorang pembunuh bayaran, atau... mungkin dia seorang psikiater."

"Psikiater?" Budi bertanya, mengangkat alisnya.

"Ya," Rian mengangguk. "Ingat, Tika menulis di buku hariannya bahwa ia merasa gila. Mungkin ia mencari bantuan dari seorang psikiater."

Mereka mencari psikiater yang memiliki kantor di dekat rumah Indra, tetapi tidak menemukan siapa-siapa. Mereka kembali ke kantor polisi, pikiran mereka dipenuhi dengan teka-teki yang semakin rumit.

Malam itu, Rian duduk sendirian di kantornya, mencoba menyatukan potongan-potongan teka-teki. Sebuah lonceng, sebuah buku harian, seorang novelis misteri, seorang pria yang tidak memiliki jejak, dan sebuah pembunuhan yang disembunyikan. Semua ini terasa seperti plot dari sebuah novel misteri, dan Rian merasa bahwa ia adalah karakter utama.

Rian mengambil buku harian Tika dan membacanya lagi. Kali ini, ia memperhatikan detail-detail kecil yang ia lewatkan sebelumnya. Tika menulis tentang mimpi buruknya, tentang Roni yang datang untuk membalas dendam. Tapi, Tika juga menulis tentang seorang pria lain, seorang pria yang memberikannya sebuah lonceng.

"Siapa pria ini?" Rian bertanya pada dirinya sendiri.

Rian melihat ke arah foto yang mereka temukan di rumah Indra. Pria itu, Tika, dan Indra. Mereka bertiga. Tiga orang yang menyembunyikan sebuah rahasia.

Tiba-tiba, Rian mendapatkan sebuah ide. Ia mengambil buku harian Tika dan mencarinya di mesin pencari. Rian menemukan bahwa buku harian itu adalah sebuah buku harian khusus, yang hanya dijual di sebuah toko buku di pinggir kota.

Rian pergi ke toko buku itu, berharap bisa menemukan sesuatu. Saat ia memasuki toko buku, ia disambut oleh seorang wanita paruh baya yang terlihat ramah.

"Selamat datang," wanita itu berkata. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya mencari buku harian ini," Rian berkata, menunjukkan buku harian Tika.

Wanita itu tersenyum. "Ah, buku harian khusus. Kami hanya menjualnya kepada pelanggan setia. Apakah Anda mengenalnya?"

"Ya," Rian berbohong. "Saya ingin tahu siapa yang membelinya."

Wanita itu ragu-ragu. "Maaf, tetapi saya tidak bisa memberitahu Anda."

"Saya seorang detektif," Rian berkata, menunjukkan lencananya. "Ini kasus pembunuhan. Saya butuh informasi Anda."

Wanita itu terdiam, matanya yang ramah menatap Rian dengan tatapan takut. "Baiklah," katanya. "Tetapi, Anda harus berjanji untuk tidak memberitahu siapa pun."

"Saya janji," Rian berkata.

"Buku harian itu dibeli oleh seorang pria," wanita itu berkata. "Seorang pria yang terlihat sangat aneh. Ia selalu mengenakan jubah hitam dan memakai topeng."

"Topeng?" Rian bertanya, terkejut.

Wanita itu mengangguk. "Ya. Ia selalu datang ke toko pada malam hari, saat tidak ada orang. Ia tidak pernah berbicara, ia hanya menunjuk ke arah buku harian yang ia inginkan."

Rian merasa bahwa ia semakin dekat dengan kebenaran. "Apakah Anda tahu namanya?"

"Tidak," wanita itu menggelengkan kepalanya. "Tapi, ia selalu membayar dengan uang tunai. Ia tidak pernah menggunakan kartu kredit."

Rian merasa kecewa. Ia tidak mendapatkan nama, tetapi ia mendapatkan deskripsi yang jelas. Seorang pria dengan jubah hitam dan topeng. Rian tahu bahwa ia pernah melihatnya.

Rian meninggalkan toko buku, pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan. Siapa pria itu? Apakah ia adalah pria di foto? Apakah ia adalah pembunuh Tika?

Pagi berikutnya, Rian kembali ke kantornya, pikirannya dipenuhi dengan misteri yang semakin rumit. Ia menceritakan semuanya kepada Budi, dan Budi juga merasa bahwa kasus ini semakin aneh.

"Pria itu," Budi berkata, "deskripsinya sama dengan yang dilihat saksi di dekat danau."

"Ya," Rian mengangguk. "Jadi, pria itu adalah pembunuhnya."

"Tapi, kenapa ia membunuh Tika?" Budi bertanya. "Dan kenapa ia meninggalkan buku harian dan lonceng itu?"

"Itu yang harus kita cari tahu," Rian berkata.

Rian dan Budi kembali ke rumah Indra, kali ini dengan surat perintah penggeledahan. Mereka memasuki rumah itu dan mencari di setiap sudut, tetapi tidak menemukan apa-apa.

Saat mereka berada di ruang kerja Indra, Rian melihat ke arah foto yang mereka temukan. Pria itu, Tika, dan Indra. Mereka bertiga. Rian mengambil foto itu dan membalikkannya. Di belakang foto itu, ada sebuah tulisan lain yang ia lewatkan sebelumnya.

"Ada apa, Rian?" Budi bertanya.

"Ada tulisan lain di sini," Rian berkata. "Sebuah kode. M K H."

"M K H?" Budi mengulang. "Apa artinya itu?"

Rian dan Budi mencari di mesin pencari, tetapi tidak menemukan apa-apa. Mereka merasa bahwa kode itu adalah kunci untuk membuka rahasia yang tersembunyi.

"Mungkin itu adalah nama," Rian berkata. "Nama seorang pria. Mungkin itu adalah inisial pria di foto."

Mereka mencari nama-nama psikiater dengan inisial M K H, dan mereka menemukan satu nama: Dr. Mahardika Kusuma Hadi.

Rian dan Budi pergi ke kantor Dr. Mahardika. Kantor itu terletak di sebuah gedung tua di pusat kota. Saat mereka memasuki kantor, mereka disambut oleh seorang wanita paruh baya yang terlihat ramah.

"Selamat datang," wanita itu berkata. "Apakah ada yang bisa saya bantu?"

"Kami mencari Dr. Mahardika," Rian berkata.

"Ah, Dr. Mahardika," wanita itu tersenyum. "Maaf, tetapi Dr. Mahardika sudah tidak bekerja di sini. Ia pindah ke luar kota setahun yang lalu."

"Apakah Anda tahu di mana ia sekarang?" Rian bertanya.

"Tidak," wanita itu menggelengkan kepalanya. "Tetapi, ia meninggalkan sesuatu untuk Anda."

Wanita itu menyerahkan sebuah amplop kepada Rian. Di dalam amplop itu, ada sebuah surat dan sebuah foto. Surat itu ditujukan kepada Rian, dan isinya membuat Rian merasa merinding.

"Saya tahu Anda akan datang," Rian membaca. "Saya tahu Anda akan mencari tahu tentang Tika dan Indra. Saya tahu Anda akan mencari tahu tentang Roni. Tetapi, Anda tidak akan pernah menemukan saya. Karena, saya ada di mana-mana. Saya adalah setiap bayangan yang Anda lihat. Saya adalah setiap suara yang Anda dengar. Saya adalah setiap ketakutan yang Anda rasakan."

Rian dan Budi saling memandang, wajah mereka pucat. Mereka tahu bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang psikopat.

"Apa yang ada di foto itu?" Budi bertanya, suaranya bergetar.

Rian membuka foto itu. Di dalam foto itu, ada Dr. Mahardika, Tika, dan Indra. Mereka bertiga. Tetapi, ada satu hal yang aneh. Di belakang mereka, ada bayangan seorang pria lain, seorang pria dengan jubah hitam dan topeng. Dan di tangannya, ia memegang sebuah lonceng.

Rian dan Budi saling memandang. Mereka tahu bahwa mereka telah menemukan pelakunya. Tetapi, mereka juga tahu bahwa mereka tidak akan pernah bisa menangkapnya. Karena, ia adalah bayangan, ia adalah ketakutan, ia adalah setiap hal yang tidak bisa mereka lihat.

"Ini belum berakhir, Budi," Rian berkata, pandangannya terfokus pada foto itu. "Ini baru saja dimulai."

Pagi berikutnya, kantor Rian dipenuhi dengan tumpukan dokumen yang berkaitan dengan kasus Tika dan Indra. Setiap halaman terasa seperti teka-teki baru. Surat dari Dr. Mahardika masih tergeletak di mejanya, kata-katanya menusuk seperti pisau. "Saya adalah setiap bayangan yang Anda lihat. Saya adalah setiap suara yang Anda dengar." Kalimat itu terus terngiang di benaknya, menciptakan rasa takut yang tak bisa ia jelaskan.

"Rian, apa yang kita punya?" tanya Budi, suaranya tegang. Ia juga terpengaruh oleh suasana mencekam yang menyelimuti kasus ini.

"Kita punya Dr. Mahardika, seorang psikiater yang sepertinya tahu segalanya. Kita punya Tika dan Indra, yang menyembunyikan rahasia besar. Dan kita punya Roni, yang seharusnya sudah mati, tapi kita temui masih hidup," jawab Rian sambil menghela napas.

"Bagaimana dengan istri Indra?" tanya Budi.

"Aku sudah coba menghubunginya, tapi nomornya tidak aktif. Mungkin dia ketakutan dan kabur," jawab Rian.

"Jadi, kita kembali ke nol?" tanya Budi, frustrasi.

"Tidak," jawab Rian, matanya berbinar. "Kita akan kembali ke rumah Roni. Aku punya firasat, dia tahu sesuatu yang tidak kita tahu."

Rian dan Budi kembali ke rumah Roni, sebuah rumah tua yang dikelilingi oleh pohon-pohon pinus. Suasana di sana terasa mencekam, seolah-olah ada sesuatu yang mengawasi mereka. Mereka mengetuk pintu, dan Roni membukanya.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya, suaranya tenang, tetapi matanya terlihat lelah dan kosong.

"Kami ingin bicara lagi," kata Rian. "Tentang masa lalu Anda."

Roni mengangguk dan mengundang mereka masuk. Rumahnya bersih dan rapi, tetapi terasa dingin dan kosong. Tidak ada foto, tidak ada hiasan, hanya buku-buku yang memenuhi setiap sudut. Rian merasa bahwa Roni adalah seorang pria yang hidup dalam bayangan, dalam dunianya sendiri.

"Saya sudah bilang, saya sudah memaafkan mereka," kata Roni, suaranya bergetar.

"Apa yang Anda sembunyikan, Roni?" tanya Rian.

Roni tidak menjawab, ia hanya menatap Rian dengan tatapan kosong. "Saya tidak tahu apa yang Anda bicarakan," katanya, suaranya terdengar hampa.

"Kami tahu Anda bohong," Rian berkata. "Kami tahu bahwa Tika dan Indra membunuh Anda."

Mendengar itu, Roni terdiam. Matanya yang kosong kini dipenuhi dengan amarah. "Apa yang kalian bicarakan?!" teriaknya. "Saya tidak pernah dibunuh! Saya masih hidup!"

"Lalu, kenapa istri Indra mengatakan bahwa Anda sudah meninggal?" tanya Rian.

Roni menggelengkan kepalanya. "Saya tidak tahu. Mungkin dia gila."

"Tidak," Rian berkata. "Dia mengatakan bahwa Anda dibunuh oleh Tika, Indra, dan seorang pria lain."

"Itu tidak benar!" Roni berteriak, suaranya bergetar. "Mereka tidak pernah membunuhku! Mereka hanya... mereka hanya menyakitiku."

Rian dan Budi saling memandang. Mereka tahu bahwa Roni menyembunyikan sesuatu, tetapi mereka tidak tahu apa.

"Roni, apa yang Anda sembunyikan?" tanya Rian, suaranya lembut, mencoba untuk menenangkan Roni.

"Saya tidak menyembunyikan apa-apa," jawab Roni. "Saya hanya... saya hanya ingin hidup tenang. Saya sudah terlalu lama disakiti. Saya tidak ingin diganggu lagi."

"Kami tidak akan mengganggu Anda," Rian berkata. "Kami hanya ingin tahu kebenarannya."

"Kebenarannya adalah... saya masih hidup," Roni berkata. "Saya bukan hantu. Saya bukan mayat. Saya Roni."

Rian dan Budi meninggalkan rumah Roni, pikiran mereka dipenuhi dengan keraguan. Apakah Roni benar-benar masih hidup? Atau, apakah ia adalah seorang pria yang hidup dalam bayangan masa lalu?

Malam itu, Rian duduk sendirian di kantornya, mencoba menyatukan potongan-potongan teka-teki yang semakin membingungkan. Sebuah lonceng, sebuah buku harian, seorang novelis misteri, seorang pria yang tidak memiliki jejak, sebuah pembunuhan yang disembunyikan, dan seorang pria yang seharusnya sudah mati, tetapi masih hidup.

Rian mengambil buku harian Tika dan membacanya lagi. Tika menulis tentang ketakutannya, tentang Roni yang datang untuk membalas dendam. Tapi, Tika juga menulis tentang seorang pria lain, seorang pria yang memberikannya sebuah lonceng. Rian merasa bahwa pria itu adalah kunci untuk membuka rahasia ini.

"Siapa pria ini?" Rian bertanya pada dirinya sendiri. "Dan kenapa ia meninggalkan lonceng itu?"

Rian mencari di mesin pencari, tetapi tidak menemukan apa-apa. Ia merasa frustrasi. Ia merasa bahwa ia sedang berputar-putar di tempat yang sama, tanpa bisa menemukan jalan keluar.

Tiba-tiba, ia mendapatkan sebuah ide. Ia mengambil buku harian Roni yang ia temukan di meja Roni. Buku harian itu adalah sebuah buku harian khusus, yang hanya dijual di sebuah toko buku di pinggir kota. Rian mengambil buku harian itu dan membacanya.

Roni menulis tentang masa lalunya yang kelam, tentang bagaimana Tika dan teman-temannya menyakitinya. Tapi, Roni juga menulis tentang seorang pria lain, seorang pria yang memberikannya sebuah lonceng. Rian merasa merinding.

"Pria itu," Rian berkata, "pria itu adalah Dr. Mahardika. Ia adalah psikiater yang membantu Roni. Atau, ia adalah seorang pembunuh yang memanfaatkan Roni?"

Rian dan Budi kembali ke rumah Roni, kali ini dengan surat perintah penggeledahan. Mereka memasuki rumah itu dan mencari di setiap sudut. Mereka menemukan sebuah buku harian lain di bawah tempat tidur Roni. Buku harian itu ditulis oleh Dr. Mahardika.

Rian mengambil buku harian itu dan membacanya. Dr. Mahardika menulis tentang Roni, tentang traumanya, dan tentang bagaimana ia mencoba untuk menyembuhkan Roni. Tapi, Dr. Mahardika juga menulis tentang sisi gelap Roni, tentang sisi yang ingin membalas dendam.

"Dr. Mahardika adalah psikiaternya," Rian berkata, suaranya bergetar. "Ia mencoba untuk menyembuhkan Roni, tetapi... ia juga menyembunyikan sesuatu."

"Apa yang ia sembunyikan?" Budi bertanya.

"Aku tidak tahu," Rian berkata. "Tapi, aku punya firasat, ini tidak akan berakhir baik."

Rian dan Budi kembali ke kantornya, pikiran mereka dipenuhi dengan misteri yang semakin rumit. Roni, Dr. Mahardika, Tika, Indra. Semua ini terasa seperti plot dari sebuah novel misteri, dan Rian merasa bahwa ia adalah karakter utama.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Budi bertanya.

"Kita akan kembali ke rumah Roni," Rian berkata. "Kita akan menanyakan tentang Dr. Mahardika. Aku punya firasat, dia tahu lebih dari yang dia katakan."

Rian dan Budi kembali ke rumah Roni, kali ini dengan perasaan yang berbeda. Mereka tidak lagi mencari tersangka, mereka mencari korban. Mereka mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban.

Mereka mendobrak pintu dan masuk ke dalam. Rumah itu gelap dan sunyi, seperti tidak ada orang di dalamnya. Mereka mencari di setiap ruangan, tetapi tidak menemukan Roni.

Saat mereka berada di ruang kerja Roni, mereka melihat sebuah buku harian lain di atas meja. Buku harian itu adalah buku harian Roni, tetapi isinya berbeda. Isinya adalah tulisan tangan Rian.

"Apa ini?" Budi bertanya, terkejut.

Rian membuka buku harian itu dan membacanya. Rian menulis tentang Tika, tentang Indra, dan tentang Dr. Mahardika. Rian menulis tentang bagaimana ia membunuh mereka. Rian menulis tentang bagaimana ia menikmati membunuh mereka.

"Ini... ini tidak mungkin," Budi berkata, wajahnya pucat.

"Ya," Rian berkata. "Ini tidak mungkin."

Rian dan Budi saling memandang, pikiran mereka dipenuhi dengan ketakutan. Apakah Rian adalah pembunuhnya? Apakah Rian memiliki kepribadian ganda? Apakah Rian adalah psikopat yang mereka cari?

Di luar, terdengar suara nyaring dari sebuah lonceng. Rian dan Budi saling menatap. Mereka tahu bahwa ini belum berakhir.

Jarum jam di dinding kantor berdetak, setiap detiknya terasa seperti palu yang menghantam telinga Rian. Ia masih mematung di depan meja kerjanya, menatap buku harian yang seolah menertawakannya. Tulisan tangannya sendiri, di buku harian Roni, menceritakan detail pembunuhan yang begitu kejam. Budi, di sampingnya, juga terdiam, wajahnya pucat pasi.

"Ini... ini tidak mungkin, Budi," bisik Rian, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku tidak pernah menulis ini. Aku tidak pernah melakukan ini."

"Tapi... itu tulisan tanganmu, Rian," Budi menunjuk. "Dan isinya... isinya sangat detail. Bagaimana kamu bisa tahu semua itu?"

Rian menggelengkan kepalanya, berusaha keras mengingat setiap jam, setiap menit, dari hari-hari yang ia tulis di buku itu. Ingatannya kosong. Ia hanya ingat ia berada di kantor, menyelidiki kasus ini. Tidak ada pembunuhan, tidak ada lonceng, tidak ada Dr. Mahardika.

Tiba-tiba, suara nyaring lonceng kembali terdengar. Kali ini, bukan dari luar, melainkan dari dalam kantor. Rian dan Budi terkejut, mencari asal suara. Lonceng itu tergeletak di atas meja Rian, di samping buku harian. Itu adalah lonceng yang sama yang ditemukan di TKP.

"Bagaimana bisa...?" Budi terkesiap, mundur selangkah.

Rian mengambil lonceng itu, tangannya gemetar. Lonceng itu terasa dingin, seolah-olah baru saja dipegang oleh seseorang. Tiba-tiba, ia merasakan sakit kepala yang luar biasa. Ingatan-ingatan kabur membanjiri otaknya. Bayangan-bayangan Tika, Indra, dan seorang pria lain yang tidak ia kenal. Wajah mereka ketakutan, dan ia... ia tersenyum.

"Rian, ada apa?" Budi bertanya, melihat wajah Rian yang memerah dan berkeringat.

"Aku... aku tidak tahu," Rian menjawab, suaranya bergetar. "Aku... aku melihat sesuatu."

Rian memejamkan mata, berusaha mengusir bayangan-bayangan itu. Ia tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan sesuatu yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Sesuatu yang mampu memanipulasi pikirannya, memorinya, bahkan tulisan tangannya.

"Budi, kita harus mencari tahu siapa Roni sebenarnya," kata Rian, suaranya kembali tenang, tetapi ada nada urgensi di dalamnya. "Bukan novelis yang kita temui, tapi Roni yang sebenarnya."

Mereka kembali ke kantor polisi, mencari setiap petunjuk tentang Roni. Mereka menemukan bahwa Roni dulunya adalah seorang pelukis yang sangat berbakat. Ia melukis potret-potret yang begitu hidup, seolah-olah ia bisa melihat jiwa di balik mata setiap orang. Namun, setelah insiden perundungan, ia berhenti melukis.

"Roni adalah pelukis," Budi berkata, suaranya terdengar terkejut. "Tapi... ia menjadi novelis? Ini tidak masuk akal."

"Mungkin... ia tidak bisa melukis lagi," kata Rian. "Mungkin traumanya terlalu berat."

Rian dan Budi kembali ke rumah Roni. Rumah itu masih kosong dan sunyi. Mereka mencari di setiap sudut, tetapi tidak menemukan apa-apa. Tiba-tiba, Rian melihat sebuah lukisan yang tertutup kain di sudut ruangan. Ia membuka kain itu, dan di sana, ada sebuah potret. Potret seorang pria, seorang pria yang tidak ia kenal, seorang pria yang memiliki senyum menyeramkan dan mata yang penuh dengan kegilaan. Dan di tangannya, ia memegang sebuah lonceng.

"Siapa ini?" Budi bertanya, wajahnya pucat.

"Aku tidak tahu," Rian menjawab. "Tapi... ia terlihat familiar."

Rian dan Budi saling memandang. Mereka tahu bahwa mereka telah menemukan potongan teka-teki terakhir. Potret itu adalah kunci untuk membuka rahasia ini.

Rian dan Budi kembali ke kantor, pikiran mereka dipenuhi dengan potret itu. Pria itu, lonceng itu, dan senyum menyeramkan itu. Mereka merasa bahwa mereka telah melihat pria itu di suatu tempat.

"Budi, kita harus mencari tahu siapa pria di potret itu," kata Rian. "Aku punya firasat, dia adalah kunci dari semuanya."

Mereka mencari di setiap arsip, setiap database, setiap catatan kepolisian, tetapi tidak menemukan siapa-siapa. Pria itu seperti tidak pernah ada.

"Ini tidak mungkin," Budi berkata, frustrasi. "Bagaimana bisa seseorang tidak memiliki jejak?"

"Mungkin... ia adalah hantu," Rian berbisik, suaranya bergetar.

Malam itu, Rian duduk sendirian di kantornya, menatap potret itu. Ia merasa seolah-olah potret itu menatap balik kepadanya. Ia merasakan sakit kepala yang sama seperti sebelumnya, dan bayangan-bayangan kembali membanjiri otaknya. Kali ini, ia melihat Roni, bukan novelis, tetapi pelukis. Roni melukis potret itu, tetapi dengan paksaan. Seseorang mengancamnya, menyuruhnya untuk melukis potret itu. Seseorang yang... memiliki suara yang sama dengan Rian.

Rian terkejut. "Tidak," bisiknya. "Tidak mungkin."

Rian memejamkan mata, berusaha mengusir bayangan-bayangan itu. Ia tahu bahwa ia harus pergi ke suatu tempat. Ke tempat di mana semuanya dimulai. Ke Danau Kaca.

Rian mengemudikan mobilnya ke Danau Kaca. Malam itu, danau itu terlihat lebih gelap dari biasanya. Pohon-pohon pinus di sekitarnya membentuk siluet menyeramkan. Rian turun dari mobilnya dan berjalan ke tepi danau. Di sana, ia melihat bayangan seorang pria, pria yang sama di potret itu. Pria itu menatap Rian dengan senyum menyeramkan, dan di tangannya, ia memegang sebuah lonceng.

"Siapa kau?" Rian bertanya, suaranya bergetar.

"Aku adalah dirimu," pria itu berkata, suaranya bergema di udara malam. "Aku adalah sisi gelapmu."

Rian terdiam, tubuhnya membeku. Pria itu berjalan ke arahnya, dan Rian melihat wajahnya dengan jelas. Itu adalah wajahnya sendiri, tetapi dengan mata yang kosong dan senyum yang menyeramkan.

"Aku membunuh mereka," pria itu berkata, suaranya berbisik di telinga Rian. "Aku membunuh mereka karena mereka menyakitimu. Aku membunuh mereka karena mereka merusak senimu. Aku membunuh mereka karena mereka pantas mati."

Rian terkejut. "Tidak," bisiknya. "Aku tidak membunuh siapa pun."

"Ya, kau membunuh mereka," pria itu berkata. "Kau adalah aku. Dan aku adalah kau."

Rian merasa sakit kepala yang luar biasa. Ia jatuh berlutut, memegangi kepalanya. Bayangan-bayangan kembali membanjiri otaknya. Kali ini, ia melihat dirinya sendiri, dengan jubah hitam dan topeng. Ia melihat dirinya sendiri membunuh Tika, Indra, dan seorang pria lain. Ia melihat dirinya sendiri tertawa, menikmati setiap momen.

Rian berteriak, suaranya bergema di udara malam. Ia tahu bahwa ia adalah pembunuhnya. Ia adalah psikopat yang selama ini ia cari. Dan ia tidak bisa lari dari dirinya sendiri.

Rian melihat ke arah lonceng di tangan pria itu. Lonceng itu berbunyi, dan ia merasakan sakit kepala yang luar biasa. Ia tahu bahwa setiap kali lonceng itu berbunyi, ia akan kembali menjadi monster.

"Aku akan kembali," pria itu berkata, suaranya berbisik di telinga Rian. "Dan kali ini, tidak ada yang bisa menghentikanku."

Rian terdiam, tubuhnya gemetar. Ia tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan dirinya sendiri. Dan ia tahu bahwa ia tidak akan bisa menang.

Dinginnya lantai beton terasa hingga ke tulang Rian saat ia tersadar. Kepalanya berdenyut, kenangan malam sebelumnya seperti pecahan kaca yang berserakan. Ia ingat Bayangan di tepi danau, yang memiliki wajahnya sendiri, dan bisikan mengerikan tentang pembunuhan. Budi, yang tertidur di kursi di seberangnya, tampak lelah. Rian menyadari ia telah tertidur di kantornya sendiri, sebuah fakta yang semakin memperkuat keanehan yang melingkupinya.

"Budi," panggil Rian, suaranya serak. Budi terbangun, matanya memandang Rian dengan cemas.

"Rian, kamu baik-baik saja? Kamu berteriak semalam," kata Budi.

"Aku... aku tidak tahu," jawab Rian, kepalanya masih terasa berat. "Aku melihat sesuatu. Aku melihat diriku sendiri... membunuh mereka."

Budi menatapnya dengan tatapan khawatir. "Rian, mungkin kamu butuh istirahat. Kasus ini... ini terlalu berat untukmu."

Rian menggelengkan kepalanya. "Tidak, Budi. Aku tidak gila. Aku tahu apa yang kulihat. Ada sesuatu yang mengendalikan pikiranku. Sesuatu yang mampu memanipulasi kenyataan."

"Siapa?" tanya Budi.

Rian terdiam. Ia tidak tahu. Ia hanya memiliki potongan-potongan teka-teki yang semakin membingungkan. Lonceng, buku harian Roni, potret, dan sekarang, Bayangan yang memiliki wajahnya sendiri.

"Kita harus mencari tahu lebih banyak tentang Dr. Mahardika," kata Rian, mengambil file kasus. "Aku punya firasat, dia adalah kuncinya."

Mereka kembali ke kantor Dr. Mahardika. Kantor itu terlihat sama seperti sebelumnya, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Ada sebuah lukisan yang baru saja digantung. Lukisan itu adalah potret seorang pria, seorang pria yang tidak mereka kenal, seorang pria yang memiliki senyum menyeramkan dan mata yang penuh dengan kegilaan. Lukisan itu persis sama dengan yang mereka temukan di rumah Roni.

"Ini... ini tidak mungkin," Budi berbisik, wajahnya pucat.

Rian merasa merinding. Lukisan itu adalah bukti bahwa Dr. Mahardika masih ada, masih mengawasi mereka.

Rian dan Budi mencari di setiap sudut kantor. Mereka tidak menemukan apa-apa, sampai Rian melihat sebuah buku di rak buku yang tidak terlihat sebelumnya. Buku itu adalah sebuah buku harian lain, buku harian Dr. Mahardika.

Rian mengambil buku harian itu dan membacanya. Dr. Mahardika menulis tentang Roni, tentang traumanya, dan tentang bagaimana ia mencoba untuk menyembuhkan Roni. Tapi, Dr. Mahardika juga menulis tentang sebuah eksperimen, sebuah eksperimen yang ia lakukan pada Roni.

"Apa yang ia tulis?" tanya Budi, suaranya bergetar.

"Ia menulis bahwa ia menemukan cara untuk memisahkan kepribadian ganda," jawab Rian, suaranya berbisik. "Ia menemukan cara untuk mengambil sisi gelap seseorang, dan memberikannya kepada orang lain."

Budi terdiam, matanya melebar. "Tidak... tidak mungkin."

"Ya, itu mungkin," kata Rian. "Dr. Mahardika mengambil sisi gelap Roni, dan ia memberikannya kepada... seseorang. Seseorang yang dulunya adalah Roni, tetapi kini adalah pembunuh."

"Siapa?" tanya Budi.

Rian memejamkan matanya, berusaha mengingat Bayangan di tepi danau. Wajahnya sendiri. Suaranya sendiri. "Aku... aku tidak tahu," jawab Rian. "Tapi... aku tahu, aku adalah korban."

Rian dan Budi kembali ke kantornya, pikiran mereka dipenuhi dengan teori yang mengerikan. Dr. Mahardika adalah seorang psikopat yang menemukan cara untuk menciptakan pembunuh. Ia mengambil sisi gelap Roni, dan memberikannya kepada orang lain, seseorang yang dulunya adalah Roni, tetapi kini adalah pembunuh. Dan orang itu, adalah Rian.

"Tidak, Rian," Budi menggelengkan kepalanya. "Ini tidak masuk akal. Kamu bukan pembunuh."

"Aku tidak tahu," Rian berbisik. "Aku tidak tahu lagi siapa diriku."

Malam itu, Rian duduk sendirian di kantornya, menatap potret itu. Potret itu adalah kunci untuk membuka rahasia ini. Potret itu adalah bukti bahwa ia adalah korban, bukan pelaku. Tetapi, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa lari dari dirinya sendiri.

Tiba-tiba, ponselnya berdering. Budi menelepon, suaranya terdengar tegang. "Rian, ada sesuatu yang aneh. Aku menemukan sebuah video di emailku. Video itu... itu adalah video pembunuhan Tika."

Rian terkejut. "Siapa yang mengirimnya?"

"Aku tidak tahu," Budi menjawab. "Pengirimnya adalah anonim."

Rian membuka emailnya dan menonton video itu. Video itu diambil dari jarak jauh, tetapi cukup jelas untuk melihat apa yang terjadi. Seorang pria dengan jubah hitam dan topeng membunuh Tika dengan lonceng. Pria itu tertawa, dan tawa itu... tawa itu terdengar persis seperti tawa Rian.

Rian terdiam, tubuhnya membeku. Ia tahu bahwa ia adalah pembunuhnya. Ia adalah psikopat yang selama ini ia cari. Dan ia tidak bisa lari dari dirinya sendiri.

Tiba-tiba, ia merasakan sakit kepala yang luar biasa. Ia jatuh berlutut, memegangi kepalanya. Bayangan-bayangan kembali membanjiri otaknya. Kali ini, ia melihat dirinya sendiri, dengan jubah hitam dan topeng. Ia melihat dirinya sendiri membunuh Tika, Indra, dan seorang pria lain. Ia melihat dirinya sendiri tertawa, menikmati setiap momen.

"Tidak," Rian berteriak, suaranya bergema di kantor.

Rian berteriak, suaranya bergema di udara malam. Ia tahu bahwa ia adalah pembunuhnya. Ia adalah psikopat yang selama ini ia cari. Dan ia tidak bisa lari dari dirinya sendiri.

Ia mengambil lonceng itu dan melemparkannya ke dinding. Lonceng itu pecah, dan ia merasakan sakit kepala yang luar biasa. Ia tahu bahwa ia telah memecahkan segelnya, dan ia telah membebaskan monster di dalam dirinya.

Rian melihat ke arah cermin. Di dalam cermin, ia melihat dirinya sendiri, tetapi dengan mata yang kosong dan senyum yang menyeramkan. Ia tahu bahwa ia adalah pembunuhnya. Ia adalah psikopat yang selama ini ia cari. Dan ia tidak bisa lari dari dirinya sendiri.

Malam itu, kantor polisi terasa mencekam. Lonceng yang pecah tergeletak di lantai, pecahan-pecahannya berkilauan di bawah cahaya lampu. Rian menatap pantulan dirinya di pecahan kaca itu, melihat wajah yang asing, wajah yang ia benci. Budi menatapnya dengan ketakutan di matanya, tidak berani mendekat.

"Budi, tolong... tolong percaya padaku," bisik Rian, suaranya parau. "Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku tidak tahu apa yang kulakukan."

Budi tidak menjawab. Ia hanya menatap Rian, matanya dipenuhi keraguan. Bagaimana ia bisa mempercayai Rian? Video itu, tawa itu, semuanya terlalu nyata.

"Kita harus mencari tahu tentang Dr. Mahardika," kata Rian, suaranya kembali tenang. "Dia adalah kuncinya. Dia adalah orang yang membuat ini semua terjadi."

Budi mengangguk, masih ragu-ragu. "Tapi... kita tidak tahu di mana dia."

"Aku tahu di mana kita bisa menemukannya," kata Rian, matanya terfokus pada buku harian Dr. Mahardika. "Di sini, ia menulis tentang 'Rumah Senyap.' Ia mengatakan bahwa 'Rumah Senyap' adalah tempat di mana ia melakukan eksperimennya."

Rian dan Budi mencari informasi tentang 'Rumah Senyap.' Mereka menemukan bahwa 'Rumah Senyap' adalah sebuah rumah sakit jiwa tua yang sudah tidak digunakan, terletak di sebuah hutan yang jauh dari kota. Tempat itu dikenal sebagai tempat yang angker, dan tidak ada yang berani mendekatinya.

"Rian, kita tidak bisa pergi ke sana," Budi berkata, suaranya bergetar. "Tempat itu berbahaya."

"Aku harus pergi," kata Rian. "Aku harus mencari tahu kebenarannya. Aku harus tahu siapa diriku."

Rian pergi sendirian ke 'Rumah Senyap.' Ia mengemudikan mobilnya ke dalam hutan, melewati pohon-pohon pinus yang menjulang, hingga ia tiba di depan sebuah bangunan tua yang terlihat menyeramkan. Jendela-jendela bangunan itu pecah, dan daun-daun kering menutupi setiap sudut.

Rian memasuki bangunan itu, dan ia disambut oleh keheningan yang mencekam. Udara di dalam terasa dingin dan lembap. Ia berjalan di lorong-lorong yang gelap, melewati ruangan-ruangan yang dulunya adalah kamar-kamar pasien. Di setiap ruangan, ia melihat coretan-coretan aneh di dinding, coretan-coretan yang ia kenal. Coretan-coretan itu persis sama dengan yang ia temukan di buku harian Roni.

"Ini semua adalah pekerjaannya," bisik Rian, suaranya bergetar. "Ia adalah orang yang mengendalikan semuanya."

Rian berjalan ke sebuah ruangan di ujung lorong. Ruangan itu adalah sebuah laboratorium tua, dengan peralatan-peralatan aneh yang berserakan di mana-mana. Di tengah ruangan, ada sebuah kursi, sebuah kursi yang terlihat seperti kursi terapi. Dan di atas meja, ada sebuah buku harian lain. Buku harian itu adalah buku harian Roni, yang ia tulis sebelum ia menjadi novelis.

Rian mengambil buku harian itu dan membacanya. Roni menulis tentang kebahagiaannya, tentang lukisannya, dan tentang seorang pria yang ia cintai. Roni menulis tentang seorang pria yang ia temui di sebuah galeri, seorang pria yang memberikannya sebuah lonceng.

"Tidak," bisik Rian, suaranya bergetar. "Tidak mungkin."

Rian membaca halaman terakhir buku harian itu. Roni menulis tentang seorang pria yang ia cintai, seorang pria yang memiliki senyum menyeramkan dan mata yang penuh dengan kegilaan. Roni menulis bahwa ia mencintai pria itu, tetapi pria itu ingin mengendalikan dirinya. Roni menulis bahwa pria itu adalah Dr. Mahardika.

Rian terkejut. "Dr. Mahardika?" bisiknya.

Tiba-tiba, ia merasakan sakit kepala yang luar biasa. Ingatan-ingatan kembali membanjiri otaknya. Kali ini, ia melihat Roni, bukan pelukis, tetapi pasien. Roni adalah pasien Dr. Mahardika. Dr. Mahardika mencintai Roni, tetapi Roni menolaknya. Dr. Mahardika marah, dan ia menggunakan lonceng untuk mengendalikan Roni. Ia mengambil sisi gelap Roni dan memberikannya kepada Rian.

"Tidak," Rian berbisik, matanya dipenuhi air mata. "Aku... aku bukan pembunuh. Aku adalah korban."

Rian jatuh berlutut, memegangi kepalanya. Ia tahu bahwa ia adalah korban, bukan pelaku. Tetapi, ia juga tahu bahwa ia adalah pembunuh. Ia adalah Roni.

"Apa yang terjadi?" Budi bertanya, masuk ke dalam ruangan. Budi telah mengikuti Rian, tidak berani membiarkannya sendirian.

"Aku... aku tahu kebenarannya," kata Rian, suaranya bergetar. "Dr. Mahardika adalah pelakunya. Dia adalah seorang psikopat yang mencintai Roni, tetapi Roni menolaknya. Ia menggunakan lonceng untuk mengendalikan Roni dan membuatnya menjadi pembunuh. Dan... dan aku adalah Roni."

Budi terkejut. "Roni...?"

"Ya," Rian mengangguk. "Aku adalah Roni. Aku adalah korban, tetapi aku juga pembunuh."

Tiba-tiba, suara lonceng kembali terdengar. Lonceng itu berbunyi dari arah belakang mereka. Rian dan Budi berbalik, dan di sana, berdiri Roni, seorang novelis. Ia memegang sebuah lonceng, dan ia menatap Rian dengan senyum menyeramkan.

"Kau bodoh, Rian," katanya, suaranya dingin. "Kau pikir kau bisa menghentikanku?"

"Roni?" Rian bertanya, suaranya bergetar.

"Aku bukan Roni," pria itu berkata. "Aku adalah Dr. Mahardika."

Rian dan Budi terkejut. "Dr. Mahardika?"

"Ya," pria itu mengangguk. "Roni sudah lama meninggal. Aku membunuhnya. Aku mengambil sisi gelapnya, dan aku memberikannya kepadamu. Aku mengambil wajahnya, dan aku memberikannya kepada diriku. Aku adalah Roni. Dan kau... kau adalah diriku yang lain."

Rian dan Budi saling memandang, pikiran mereka dipenuhi dengan kebingungan. Rian adalah Roni? Pria di depan mereka adalah Dr. Mahardika? Apa yang sebenarnya terjadi?

Malam yang seharusnya sunyi di 'Rumah Senyap' kini dipenuhi ketegangan. Rian dan Budi berdiri mematung, menatap sosok di depan mereka. Sosok yang mengaku sebagai Dr. Mahardika, namun berwajah Roni, novelis yang mereka temui. Lonceng di tangannya berayun perlahan, menciptakan suara nyaring yang mengiris telinga.

"Apa maksudmu?" Rian bertanya, suaranya serak. "Aku Roni? Kau Dr. Mahardika?"

Pria itu tersenyum, senyum yang sama mengerikannya dengan yang ia lihat dalam potret. "Roni sudah mati, Detektif. Mati di tangan Tika, Indra, dan seorang teman mereka. Mereka membunuhnya karena Roni menemukan rahasia kotor mereka."

Budi melangkah maju. "Kau bohong! Kami sudah menemui Roni!"

"Tidak," pria itu menggelengkan kepalanya. "Kau menemui aku. Aku yang mengambil wajah Roni. Setelah aku membunuh mereka, aku menemukan cara untuk menggabungkan kepribadian Roni ke dalam diriku. Aku adalah Roni yang kau temui. Roni yang sukses, yang trauma, dan yang kini membalas dendam."

"Jadi, kau yang membunuh Tika dan Indra?" Rian bertanya, suaranya bergetar.

"Tidak," pria itu tertawa. "Aku tidak pernah mengotori tanganku. Aku memiliki alat untuk itu. Alat yang bernama... Rian."

Rian dan Budi terdiam. Mereka melihat lonceng di tangan pria itu. Lonceng itu berayun, dan Rian merasakan sakit kepala yang luar biasa. Ia jatuh berlutut, memegangi kepalanya. Ingatan-ingatan kabur membanjiri otaknya. Kali ini, ia melihat dirinya sendiri, dengan jubah hitam dan topeng. Ia melihat dirinya sendiri membunuh Tika, Indra, dan seorang pria lain. Ia melihat dirinya sendiri tertawa, menikmati setiap momen.

"Tidak," Rian berteriak, suaranya bergema di 'Rumah Senyap'. "Aku bukan pembunuh! Aku Roni!"

Pria itu tertawa. "Kau memang Roni, tapi kau adalah Roni yang lain. Roni yang dibenci, Roni yang disakiti, dan Roni yang ingin membalas dendam."

Rian memejamkan matanya, berusaha mengusir suara itu. Ia tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang psikopat yang sangat cerdas. Psikopat yang menggunakan ilmu psikologi untuk memanipulasi orang lain, untuk menciptakan pembunuh, untuk menciptakan dirinya sendiri.

"Siapa pria lain yang mereka bunuh?" Budi bertanya, suaranya terdengar takut.

Pria itu tersenyum. "Kau ingin tahu? Itu adalah rahasia yang paling gelap. Rahasia yang membuat mereka takut, yang membuat mereka membunuh Roni."

Rian dan Budi saling memandang. Mereka tahu bahwa mereka harus mencari tahu rahasia itu. Rahasia itu adalah kunci untuk menghentikan pria itu.

Tiba-tiba, suara sirene terdengar dari luar. Pria itu menatap Rian dan Budi, senyumnya menghilang. "Sial," bisiknya. "Aku harus pergi."

Pria itu berlari keluar, meninggalkan Rian dan Budi sendirian di 'Rumah Senyap'. Budi membantu Rian berdiri, wajahnya dipenuhi kekhawatiran.

"Rian, kau baik-baik saja?" tanyanya.

"Aku tidak tahu, Budi," jawab Rian. "Aku tidak tahu lagi siapa diriku."

Pagi berikutnya, Rian dan Budi kembali ke kantor polisi. Kasus ini kini menjadi kasus yang jauh lebih besar. Mereka tidak lagi mencari pembunuh, mereka mencari seorang psikopat yang cerdas, yang mampu memanipulasi orang lain.

"Dr. Mahardika," Rian berbisik. "Nama itu... nama itu terus terngiang di kepalaku."

"Kenapa?" tanya Budi.

"Aku tidak tahu," Rian menjawab. "Aku hanya merasa bahwa ia adalah kuncinya. Ia adalah orang yang memanipulasi semuanya."

Rian mengambil buku harian Roni yang ia temukan di 'Rumah Senyap.' Ia membacanya lagi. Roni menulis tentang kebahagiaannya, tentang lukisannya, dan tentang seorang pria yang ia cintai. Roni menulis tentang seorang pria yang ia temui di sebuah galeri, seorang pria yang memberikannya sebuah lonceng.

"Galeri?" Rian berbisik. "Kita harus pergi ke sana."

Rian dan Budi pergi ke galeri tempat Roni bertemu dengan Dr. Mahardika. Galeri itu sudah lama tutup, tetapi mereka berhasil masuk. Di dalam, mereka melihat lukisan-lukisan Roni, lukisan-lukisan yang begitu hidup, seolah-olah mereka bisa berbicara.

Di tengah galeri, ada sebuah potret, potret yang sama dengan yang mereka temukan di 'Rumah Senyap.' Potret seorang pria, seorang pria yang memiliki senyum menyeramkan dan mata yang penuh dengan kegilaan. Dan di tangannya, ia memegang sebuah lonceng.

"Siapa dia?" Budi bertanya.

"Aku tidak tahu," Rian menjawab. "Tapi... aku tahu, ia adalah Dr. Mahardika."

Tiba-tiba, suara lonceng kembali terdengar. Kali ini, dari sebuah ruangan di ujung galeri. Rian dan Budi saling memandang, dan mereka berlari ke arah suara.

Di dalam ruangan itu, ada sebuah video. Video itu menunjukkan Dr. Mahardika, dengan wajah Roni, berbicara di depan kamera.

"Detektif Rian," katanya, suaranya dingin. "Kau pasti bertanya-tanya, siapa pria lain yang mereka bunuh? Pria lain itu... adalah dirimu yang sebenarnya. Dirimu yang dulunya adalah seorang psikiater, yang mencintai Roni."

Rian dan Budi terdiam, mata mereka melebar. "Tidak... tidak mungkin," Budi berbisik.

"Ya, itu mungkin," pria di video itu tersenyum. "Kau membunuh mereka, Rian. Kau membunuh mereka, tetapi kau tidak tahu. Aku yang mengendalikanmu. Aku yang membuatmu menjadi pembunuh."

"Kau bohong!" Rian berteriak.

"Tidak," pria di video itu tertawa. "Kau adalah aku. Dan aku adalah kau. Kita adalah satu."

Video itu berakhir, dan Rian dan Budi saling memandang, pikiran mereka dipenuhi dengan kebingungan. Apakah Rian benar-benar seorang psikiater? Apakah Rian benar-benar pembunuh? Atau, apakah semua ini adalah permainan psikopat yang cerdas?

"Kita harus mencari tahu siapa Rian yang sebenarnya," kata Budi, suaranya bergetar. "Kita harus mencari tahu tentang masa lalumu."

Rian mengangguk. Ia tahu bahwa ia harus melakukannya. Ia harus mencari tahu kebenarannya, bahkan jika kebenaran itu adalah kenyataan yang mengerikan.

Rian menatap Budi, kebingungan dan ketakutan terpancar jelas di matanya. "Aku seorang psikiater?" Ia mengulangi kata-kata dari video, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri. "Itu tidak mungkin. Aku seorang detektif."

Budi, meskipun masih syok, mencoba berpikir logis. "Rian, kita harus cari tahu masa lalumu. Semua ini terlalu aneh. Video itu... Dr. Mahardika di video itu, dia punya wajah Roni. Mungkin dia yang memanipulasi kita sejak awal. Mungkin identitasnya memang Roni."

Mereka kembali ke kantor polisi, malam itu terasa semakin panjang. Rian memeriksa arsipnya, mencari catatan tentang dirinya sendiri sebelum ia menjadi detektif. Tidak ada. Riwayat hidupnya seolah dimulai saat ia menjadi detektif di kota itu. Tidak ada foto masa kecil, tidak ada catatan sekolah, tidak ada apa-apa.

"Ini tidak mungkin," Rian berbisik. "Semua orang punya masa lalu."

Budi mencoba mencari di database lain. "Ada yang aneh, Rian. Aku menemukan catatan tentang seorang psikiater bernama Dr. Rian Mahardika. Dia bekerja di sebuah rumah sakit jiwa, di sebuah kota kecil."

Jantung Rian berdegup kencang. "Dr. Rian Mahardika?"

"Ya," Budi mengangguk. "Tepat sebelum kau dipindahkan ke sini, Dr. Rian Mahardika menghilang. Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi."

Rian merasakan sakit kepala yang luar biasa. Ia jatuh berlutut, memegangi kepalanya. Ingatan-ingatan kabur kembali membanjiri otaknya. Kali ini, ia melihat dirinya sendiri, bukan sebagai detektif, tetapi sebagai seorang psikiater. Ia melihat dirinya sendiri di sebuah rumah sakit jiwa, berbicara dengan seorang pasien. Pasien itu adalah Roni.

"Tidak... tidak," Rian berbisik, matanya dipenuhi air mata. "Aku... aku adalah dia."

Rian teringat percakapannya dengan Roni, dengan Roni yang novelis. Roni mengatakan bahwa ia merasa tidak enak badan, dan Rian mengatakan bahwa ia bisa membantunya. Roni mengatakan bahwa ia adalah seorang novelis, dan Rian mengatakan bahwa ia adalah seorang psikiater. Roni tersenyum, dan Rian merasa bahwa ia sedang berhadapan dengan sebuah cermin.

Rian kembali ke kantor polisi. Ia duduk di mejanya, menatap foto yang ia temukan di rumah Indra. Foto Tika, Indra, dan seorang pria lain. Pria lain itu... Rian kini tahu, pria itu adalah dirinya sendiri. Dr. Rian Mahardika.

"Apa yang terjadi?" Budi bertanya.

"Aku... aku adalah psikiater yang membunuh Roni," Rian berbisik. "Aku adalah orang yang mencintai Roni. Aku adalah orang yang ingin membalas dendam."

Budi terkejut. "Tapi... kau membunuh mereka?"

"Tidak," Rian menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu. Aku tidak tahu apa yang terjadi."

Rian dan Budi mencari di setiap arsip, setiap database, setiap catatan kepolisian, tetapi tidak menemukan apa-apa. Mereka merasa bahwa mereka sedang berhadapan dengan sebuah teka-teki yang tidak bisa dipecahkan.

Tiba-tiba, suara sirene terdengar dari luar. Rian dan Budi saling memandang, dan mereka berlari ke luar. Di sana, di tengah lapangan, ada sebuah mobil ambulans. Dan di samping mobil ambulans, ada seorang pria, seorang pria yang mengenakan jubah hitam dan topeng.

Pria itu berbalik, dan ia menatap Rian. Di tangannya, ia memegang sebuah lonceng, dan ia mengayunkannya. Lonceng itu berbunyi, dan Rian merasakan sakit kepala yang luar biasa. Ia jatuh berlutut, memegangi kepalanya.

Ingatan-ingatan kabur membanjiri otaknya. Kali ini, ia melihat dirinya sendiri, bukan sebagai psikiater, tetapi sebagai seorang detektif. Ia melihat dirinya sendiri di sebuah rumah sakit, berbicara dengan seorang perawat. Perawat itu mengatakan bahwa ia adalah seorang detektif, dan ia datang untuk mencari Roni. Rian melihat dirinya sendiri di sebuah rumah, berbicara dengan Roni, Roni yang novelis. Roni mengatakan bahwa ia adalah seorang novelis, dan Rian mengatakan bahwa ia adalah seorang detektif.

Rian terkejut. "Tidak," ia berbisik. "Aku... aku bukan dia."

Rian membuka matanya, dan ia melihat ke arah pria itu. Pria itu menatap Rian dengan senyum menyeramkan, dan ia melepas topengnya. Di balik topeng itu, ada wajah seorang pria yang tidak ia kenal, seorang pria dengan mata yang kosong dan senyum yang penuh dengan kegilaan. Dan di tangannya, ia memegang sebuah lonceng.

"Siapa kau?" Rian bertanya.

"Aku... aku adalah Rian," pria itu berkata. "Rian yang sesungguhnya."

"Tapi... siapa aku?" Rian bertanya, suaranya bergetar.

"Kau adalah Roni," pria itu tersenyum. "Roni yang dibenci, Roni yang disakiti, dan Roni yang ingin membalas dendam."

Rian dan Budi saling memandang, pikiran mereka dipenuhi dengan kebingungan. Rian adalah Roni? Pria di depan mereka adalah Rian? Apa yang sebenarnya terjadi?

Pria itu, Rian yang sesungguhnya, mengangkat loncengnya, dan ia mengayunkannya. Lonceng itu berbunyi, dan Rian merasakan sakit kepala yang luar biasa. Ia jatuh berlutut, memegangi kepalanya. Ingatan-ingatan kabur membanjiri otaknya. Kali ini, ia melihat dirinya sendiri, bukan sebagai detektif, tetapi sebagai seorang psikiater. Ia melihat dirinya sendiri di sebuah rumah sakit jiwa, berbicara dengan seorang pasien. Pasien itu adalah Roni.

Rian berteriak, suaranya bergema di udara malam. Ia tahu bahwa ia adalah korban, tetapi ia juga tahu bahwa ia adalah pembunuh. Ia adalah Roni, yang dibunuh oleh Tika, Indra, dan seorang pria lain. Dan ia adalah Dr. Rian Mahardika, seorang psikiater yang mencintai Roni, dan yang ingin membalas dendam.

Ia tidak bisa lari dari dirinya sendiri. Karena, ia adalah keduanya.

Lonceng berayun untuk terakhir kalinya, memecah keheningan malam dengan bunyi nyaring yang memekakkan telinga Rian. Ia jatuh terhempas ke tanah, kepalanya serasa terbelah. Di depannya, berdiri pria yang mengaku sebagai Rian yang sesungguhnya. Wajahnya bukanlah wajah Rian, melainkan wajah seorang pria yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya, seorang pria dengan mata kosong dan senyum dingin. Sementara itu, Budi berdiri mematung, kebingungan dan ketakutan terpancar dari matanya.

"Kau adalah Roni," pria itu berkata, suaranya menusuk. "Kau adalah Roni yang malang. Roni yang mati di tangan mereka. Aku, Rian Mahardika, seorang psikiater, yang mencintai Roni. Dan mereka membunuhnya."

Rian, yang tergeletak di tanah, tidak bisa berkata apa-apa. Otaknya dipenuhi dengan ingatan yang berbenturan: dirinya sebagai seorang detektif, dirinya sebagai seorang psikiater, dan dirinya sebagai Roni, seorang seniman yang disakiti. Ia tidak tahu mana yang nyata.

Pria itu melanjutkan, "Aku tidak bisa membiarkan mereka lolos begitu saja. Jadi, aku menciptakan dirimu. Aku menggunakan lonceng ini untuk memisahkan kepribadian ganda Roni dan memberikannya padamu, Roni yang pembunuh."

Budi, yang akhirnya bisa berbicara, menatap Rian. "Rian, apa yang terjadi?"

"Aku tidak tahu," Rian menjawab, suaranya parau. "Aku tidak tahu siapa aku."

Pria itu tertawa, tawa yang terdengar dingin. "Kau adalah korban, Roni. Tapi kau juga pembunuh. Kau membunuh Tika dan Indra, dan seorang pria lain, seorang pria yang dulunya adalah Rian Mahardika. Aku yang asli."

Rian dan Budi terkejut. "Tidak," bisik Budi. "Kau bilang kau Rian Mahardika."

"Ya," pria itu mengangguk. "Aku Rian Mahardika yang asli. Pria yang mencintai Roni. Pria yang dibunuh oleh mereka. Pria yang ingin membalas dendam."

Rian menatap pria itu, matanya dipenuhi air mata. "Kau... kau adalah hantu?"

"Ya," pria itu tersenyum. "Aku adalah hantu. Hantu Rian Mahardika. Aku kembali untuk membalas dendam."

"Tapi... siapa Roni yang kami temui?" Budi bertanya. "Roni novelis?"

"Ah, Roni itu," pria itu tertawa. "Dia adalah Roni yang tidak pernah mati. Roni yang aku ciptakan, Roni yang aku manipulasi, Roni yang aku jadikan sebagai alibi. Aku adalah Roni yang sesungguhnya, Roni yang mati, dan aku juga Rian Mahardika, psikiater yang mencintai Roni."

Rian dan Budi terdiam. Mereka tidak tahu lagi mana yang nyata dan mana yang fiksi. Mereka berhadapan dengan seorang psikopat yang sangat cerdas, yang mampu memanipulasi kenyataan.

Tiba-tiba, pria itu menunjuk ke arah Rian. "Roni, kau adalah pembunuh. Kau membunuh mereka semua. Dan aku... aku adalah orang yang membantumu. Aku adalah orang yang mengendalikanmu."

Lonceng berayun untuk terakhir kalinya, dan Rian merasakan sakit kepala yang luar biasa. Ia jatuh ke tanah, matanya terpejam, dan ia melihat dirinya sendiri, dengan jubah hitam dan topeng. Ia melihat dirinya sendiri membunuh Tika, Indra, dan seorang pria lain. Ia melihat dirinya sendiri tertawa, menikmati setiap momen.

Rian membuka matanya, dan ia melihat ke arah pria itu. Pria itu menatap Rian dengan senyum menyeramkan, dan ia menghilang. Rian dan Budi ditinggalkan sendirian, di tengah malam yang gelap.

Pagi berikutnya, Rian dan Budi kembali ke kantor polisi. Mereka melaporkan apa yang terjadi, tetapi tidak ada yang percaya. Tidak ada yang percaya bahwa mereka berhadapan dengan seorang hantu. Tidak ada yang percaya bahwa Rian adalah korban, dan juga pembunuh.

Rian duduk di mejanya, menatap buku hariannya. Buku harian yang isinya adalah tulisan tangan Rian, tentang pembunuhan yang ia lakukan. Ia tidak tahu mana yang nyata dan mana yang fiksi. Ia tidak tahu siapa dirinya.

Tiba-tiba, ia mendapatkan sebuah ide. Ia mengambil buku harian itu dan membacanya lagi. Kali ini, ia memperhatikan detail-detail kecil yang ia lewatkan sebelumnya. Ia menemukan sebuah tulisan yang aneh, tulisan yang tidak ia kenal.

"Aku adalah Roni. Aku mati. Aku adalah pembunuh. Aku adalah Rian."

Rian terkejut. Ia tahu bahwa ia adalah Roni. Ia tahu bahwa ia mati. Ia tahu bahwa ia adalah pembunuh. Dan ia tahu bahwa ia adalah Rian.

"Tidak," ia berbisik. "Ini tidak mungkin."

Rian memejamkan matanya, dan ia melihat dirinya sendiri di sebuah rumah sakit jiwa. Ia melihat dirinya sendiri, sebagai Rian Mahardika, seorang psikiater. Ia melihat dirinya sendiri berbicara dengan seorang pasien, seorang pasien yang bernama Roni. Roni adalah seorang pelukis yang depresi, dan ia mencintai Rian Mahardika. Rian Mahardika juga mencintai Roni, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa bersamanya.

Tiba-tiba, ia melihat Roni, seorang novelis, di sebuah kafe. Roni adalah seorang novelis, dan ia bertemu dengan Rian, seorang detektif. Roni dan Rian saling jatuh cinta, tetapi Rian tahu bahwa ia tidak bisa bersamanya.

Rian membuka matanya, dan ia melihat ke arah cermin. Di dalam cermin, ia melihat dirinya sendiri, tetapi dengan mata yang kosong dan senyum yang menyeramkan. Ia tahu bahwa ia adalah Roni, seorang pelukis yang mati. Ia tahu bahwa ia adalah Rian Mahardika, seorang psikiater yang mencintai Roni. Ia tahu bahwa ia adalah pembunuh, yang membunuh Tika, Indra, dan seorang pria lain.

Rian menatap cermin, dan ia melihat dirinya sendiri, tetapi dengan mata yang dipenuhi air mata. Ia tahu bahwa ia adalah korban, tetapi ia juga tahu bahwa ia adalah pembunuh. Ia tidak bisa lari dari dirinya sendiri. Karena, ia adalah keduanya.

Rian menutup bukunya, menatap sampulnya yang kosong. Kasus ini tidak pernah terpecahkan. Rian tidak pernah bisa membuktikan bahwa ia adalah Roni yang dibunuh. Ia juga tidak bisa membuktikan bahwa ia adalah Rian Mahardika, psikiater yang mencintai Roni. Ia hanya memiliki potongan-potongan teka-teki yang semakin membingungkan.

Rian memandang ke luar jendela, menatap Danau Kaca yang tenang. Di sana, di tepi danau, ia melihat bayangan seorang pria, seorang pria dengan jubah hitam dan topeng. Pria itu menatap Rian, dan ia mengayunkan lonceng. Lonceng itu tidak berbunyi, tetapi Rian tahu apa artinya.

Ia tahu bahwa ia adalah Roni, yang dibunuh oleh mereka. Ia tahu bahwa ia adalah Rian Mahardika, yang mencintai Roni dan ingin membalas dendam. Ia tahu bahwa ia adalah pembunuh, yang membunuh Tika, Indra, dan seorang pria lain.

Dan ia tahu, ia akan terus hidup dalam bayangan itu, selamanya.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)