Masukan nama pengguna
Bab 1 – Rumah Baru, Awal Baru
Rumah itu berdiri dengan tenang di ujung jalan buntu, diselimuti bayangan pepohonan rindang yang seolah memeluknya. Cat putihnya yang mengelupas di sana-sini, atap genting yang menghitam karena lumut, dan jendela-jendela yang tampak kosong, semua memancarkan aura melankolis yang aneh. Bagi sebagian orang, itu adalah rumah yang perlu direnovasi total. Bagi Bima, itu adalah satu-satunya pilihan.
“Lihat, Bu, halaman belakangnya luas sekali!” seru Bima, berusaha keras terdengar antusias. Senyumnya dipaksakan, disembunyikan di balik kumis tipisnya. Ia melirik Rini, istrinya, yang wajahnya masih memancarkan gurat kekhawatiran. Mata Rini menyusuri setiap sudut rumah, seolah mencari-cari celah atau tanda-tanda bahaya tersembunyi.
“Ya, tapi… apa kita yakin, Mas?” Rini berbisik, suaranya pelan nyaris tak terdengar. Ia mendekap Dara, putri semata wayang mereka yang baru berusia enam tahun. Dara sendiri tampak tidak terpengaruh, matanya yang besar dan jernih sibuk menjelajahi setiap sudut baru yang asing ini.
Keluarga Bima adalah keluarga kecil yang sedang berjuang. PHK massal di perusahaan Bima telah meluluhlantakkan stabilitas finansial mereka. Tabungan menipis, cicilan menumpuk, dan tekanan hidup di kota besar semakin menyesakkan. Rumah tua ini, yang dijual dengan harga yang luar biasa murah—seolah pemiliknya ingin cepat-cepat lepas dari beban—adalah jawaban yang mereka butuhkan. Atau setidaknya, yang mereka kira mereka butuhkan.
“Ini cuma sementara, Sayang,” Bima mencoba meyakinkan, lebih kepada dirinya sendiri daripada Rini. “Kita akan renovasi sedikit-sedikit, cari kerjaan baru, lalu kita bisa beli rumah yang lebih bagus. Yang ini… lumayan lah untuk permulaan.”
Mereka melangkah masuk. Aroma apek, debu tebal, dan kelembaban langsung menyergap indra penciuman. Udara terasa berat, seolah menyimpan napas dari tahun-tahun yang telah berlalu. Namun, Rini mencoba melihat sisi positifnya. Ruangan-ruangan luas, langit-langit tinggi, dan jendela-jendela besar yang memungkinkan cahaya matahari masuk—meski sedikit terhalang dedaunan.
Dara, dengan rasa ingin tahu khas anak-anak, langsung berlari ke arah pintu belakang yang mengarah ke halaman. “Ayah, Ibu, lihat! Ada sumur!” teriaknya riang.
Bima dan Rini saling pandang. Sumur? Mereka tidak ingat ada sumur di foto iklan penjualan. Mungkin tersembunyi di balik semak-semak lebat. Mereka bergegas menyusul Dara.
Di tengah halaman belakang, dikelilingi rumput liar yang tingginya selutut dan beberapa pohon kamboja tua yang bunganya berguguran, berdiri sebuah sumur tua. Bibir sumur terbuat dari susunan batu bata yang menghitam karena usia dan lumut. Sebuah katrol besi berkarat menggantung di atasnya, dengan tali rami yang sudah rapuh melilit porosnya. Sumur itu tampak kuno, peninggalan dari masa lalu yang jauh.
“Wah, sudah lama tidak ada sumur begini ya,” komentar Bima, mencoba tersenyum. Ia melangkah mendekat, melongok ke dalam. Gelap. Hanya pantulan samar cahaya dari permukaan air yang terlihat jauh di bawah. Aroma tanah basah dan sesuatu yang tidak biasa, seperti bau mineral bercampur lumut, menguar tipis.
Dara tidak melongok. Dia hanya berdiri di dekat bibir sumur, jari-jari kecilnya menyentuh batu bata yang dingin dan kasar. Wajahnya yang ceria tiba-tiba berubah. Matanya menerawang, seolah melihat sesuatu yang tidak kasat mata.
“Dara, kenapa, Nak?” Rini berjongkok, mengusap lembut rambut putrinya.
Dara menoleh ke arah Rini, matanya sedikit berkaca-kaca. “Ada yang manggil dari dalam, Bu,” bisiknya, suaranya rendah dan penuh misteri. “Suaranya lembut sekali… tapi aku nggak tahu siapa.”
Rini dan Bima kembali saling pandang. Mereka mengira itu hanya imajinasi anak-anak. Mungkin suara angin yang masuk ke dalam sumur, menciptakan gema yang aneh. “Mungkin itu cuma angin, Sayang,” kata Bima, berusaha menenangkan. “Jangan dekat-dekat sumur ini ya. Bahaya.”
Mereka segera mengalihkan perhatian Dara, mengajaknya berkeliling rumah lagi. Hari itu dihabiskan dengan membersihkan rumah seadanya, mengeluarkan barang-barang dari kardus, dan mencoba menata sedikit demi sedikit. Cahaya matahari mulai meredup, menyisakan bias oranye di cakrawala. Udara mulai terasa dingin, dan keheningan rumah tua itu perlahan terasa menusuk.
Tepat saat jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul tujuh malam, suasana berubah. Sebuah desiran halus, seperti bisikan angin yang berputar-putar di sekitar rumah, mulai terdengar. Rini sedang menyiapkan makan malam di dapur, sementara Bima menemani Dara membaca buku cerita di ruang tamu.
“Dengar, Ayah?” Dara mendongak dari bukunya. “Suara itu lagi.”
Bima mengernyit. Ia memang mendengar sesuatu, suara yang samar-samar seperti bisikan. Awalnya ia kira itu suara jangkrik atau desau angin di dedaunan. Tapi sekarang, ia bisa mendengar lebih jelas. Sebuah suara, seperti panggilan lembut, berulang-ulang memanggil, “Rini… Rini…”
Rini, yang sedang memotong sayuran di dapur, tiba-tiba berhenti. Tangannya terpaku di udara, pisau tergeletak di samping talenan. Ia merasa seolah ada seseorang di belakangnya, memanggil namanya dengan nada yang akrab, namun asing. Jantungnya berdebar kencang.
“Mas, kamu dengar itu?” Rini muncul di ambang pintu dapur, wajahnya pucat.
Bima mengangguk. “Iya. Suara apa itu? Sepertinya dari luar.”
Mereka bertiga terdiam, terpaku. Suara itu terus berulang, semakin jelas, semakin mendesak. Bukan bisikan lagi, melainkan seperti gumaman pelan yang mengandung melodi aneh.
“Rini… kemarilah…”
Suara itu seolah menarik Rini, memaksanya untuk melangkah. Tanpa sadar, ia mulai bergerak menuju pintu belakang. Bima menangkap tangannya.
“Mau ke mana, Sayang? Jangan keluar!” Bima merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ada aura dingin yang menyelimuti suara itu, sebuah tarikan tak terlihat yang sangat kuat.
Rini seperti tersadar dari lamunan. Ia menggelengkan kepala, terkesiap. “Aku… aku tidak tahu, Mas. Aku merasa seperti ada yang memanggilku… dari arah sumur.”
Mata mereka berdua tertuju pada pintu belakang yang terbuka sedikit. Dari sana, udara dingin merambat masuk. Di luar, kegelapan telah menelan halaman belakang, hanya menyisakan siluet samar sumur tua yang berdiri tegak.
“Jangan ke sana, Bu!” Dara tiba-tiba berteriak, suaranya parau karena ketakutan. Anak itu tahu, ada sesuatu yang jahat di sumur itu.
Bima memeluk Rini dan Dara erat-erat. Malam pertama di rumah baru ini, horor telah mengucap salam.
Bab 2 – Daya Tarik Terlarang
Malam itu, Rini tidak bisa tidur nyenyak. Suara panggilan dari sumur, yang ia rasakan begitu nyata, terus menghantuinya. Setiap kali ia memejamkan mata, ia seperti mendengar bisikan lembut yang tak putus-putusnya memanggil namanya, mencoba membujuknya untuk mendekat. Aroma tanah basah dan mineral yang aneh itu seolah menempel di indra penciumannya.
Esok paginya, Rini mencoba mengabaikan kejadian semalam. Ia meyakinkan dirinya bahwa itu hanya kelelahan, imajinasi yang terlalu liar, atau mungkin efek dari rumah tua yang menyeramkan. Bima pun mencoba bersikap tenang, meskipun raut wajahnya menunjukkan kecemasan yang mendalam. Mereka berdua sepakat untuk tidak membahasnya di depan Dara, agar anak itu tidak ketakutan.
Beberapa hari berikutnya berlalu dengan tenang. Bima mulai mencari pekerjaan baru, sementara Rini mulai membersihkan dan menata rumah. Mereka mencoba menciptakan suasana normal, suasana rumah tangga yang hangat, di tengah dinginnya udara rumah tua ini. Namun, setiap kali jam dinding menunjuk angka tujuh, Rini merasa ada sesuatu yang berubah.
Pada hari kelima mereka di rumah itu, Rini sedang melipat pakaian di kamar tidur utama. Suara jam dinding di ruang tamu berdenting tujuh kali. Ding-dong. Ding-dong. Ding-dong. Setiap dentingan seolah menghantam gendang telinga Rini, menggemakan kembali bisikan misterius yang ia dengar beberapa malam lalu.
Jantung Rini mulai berdebar tak karuan. Ada dorongan aneh, sebuah rasa penasaran yang tak bisa ia jelaskan, yang tiba-tiba menguasai dirinya. Rasa penasaran itu seperti magnet, menariknya keluar dari kamar, menuruni tangga, dan menuju pintu belakang. Ia mencoba melawan, otaknya berteriak untuk berhenti, untuk tidak pergi. Namun kakinya terasa kaku, seolah bergerak dengan sendirinya.
Ia tahu ke mana ia pergi. Ke sumur.
Langkah kakinya terasa berat, namun ia terus bergerak, terdorong oleh kekuatan yang tak terlihat. Udara di luar dingin, namun Rini tidak merasakannya. Pikirannya kosong, hanya terfokus pada sumur yang kini tampak lebih dekat.
Akhirnya, ia berdiri di tepi bibir sumur. Kegelapan di dalamnya tampak menelan semua cahaya, seolah sumur itu adalah lubang hitam yang tak berdasar. Aroma tanah basah dan mineral itu kini terasa lebih kuat, bercampur dengan bau apak yang asing.
Rini membungkuk. Ia menatap ke dalam, mencoba menembus kegelapan. Untuk sesaat, ia hanya melihat pantulan samar wajahnya sendiri di permukaan air yang tenang di bawah. Tapi kemudian, pantulan itu mulai berubah.
Wajahnya sendiri memudar, digantikan oleh wajah lain. Wajah yang sangat dikenalnya. Wajah kakaknya, Rama.
Rama tersenyum. Senyum itu tampak damai, namun ada kesedihan mendalam di matanya. Di latar belakang, Rini melihat siluet samar. Mobil berwarna gelap, suara benturan keras, dan teriakan-teriakan panik. Rama mencoba mengatakan sesuatu, namun suaranya teredam, seperti suara yang datang dari bawah air. Lalu, wajahnya memudar, digantikan lagi oleh pantulan wajah Rini sendiri.
Rini terkesiap. Ia tersentak mundur, napasnya memburu. Keringat dingin membanjiri dahinya. Apa itu tadi? Sebuah ilusi? Halusinasi?
Ia bergegas masuk ke dalam rumah, jantungnya masih berdetak kencang di dadanya. Ia mencari Bima, namun suaminya belum pulang kerja. Dara sedang tidur siang. Rini mondar-mandir di ruang tamu, mencoba mencerna apa yang baru saja ia lihat. Sebuah adegan kecelakaan? Rama? Tidak, tidak mungkin. Rama baik-baik saja. Ia baru saja menelepon kemarin.
Namun, bayangan wajah Rama di air sumur, senyum sedihnya, dan siluet kecelakaan itu terus berputar-putar di benaknya. Rini mencoba mengusirnya, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia hanya sedang berhalusinasi.
Keesokan paginya, telepon di rumah berdering. Rini mengangkatnya, jantungnya mencelos saat mendengar suara ibu mertuanya yang parau karena tangisan.
“Rini… Rama…” Suara ibu mertuanya tersendat-sendat. “Rama… meninggal, Nak.”
Dunia Rini runtuh. Ia menjatuhkan gagang telepon, tubuhnya lemas. Ia tidak bisa bernapas. Kakaknya? Rama? Meninggal?
“Kecelakaan mobil…” Ibu mertuanya melanjutkan, suaranya pecah. “Tabrakan beruntun di jalan tol kemarin sore… mobilnya ringsek… langsung di tempat…”
Kemarin sore. Pukul tujuh malam.
Rini tiba-tiba teringat apa yang ia lihat di sumur. Wajah Rama. Adegan kecelakaan. Semuanya persis sama. Seperti prediksi.
Tubuhnya gemetar. Bukan hanya karena duka kehilangan kakaknya, tetapi juga karena ketakutan yang mencekam. Sumur itu… bukan sumur biasa. Sumur itu menunjukkan masa depan. Masa depan yang mengerikan.
Ia menceritakan semuanya kepada Bima malam itu, setelah mereka pulang dari rumah duka. Bima mendengarkan dengan saksama, wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi kengerian. Ia memeluk Rini, mencoba menenangkan.
“Sayang, ini hanya kebetulan,” kata Bima, meskipun suaranya sendiri terdengar tidak yakin. “Kamu syok, jadi imajinasi kamu… bercampur dengan kenyataan.”
“Tidak, Mas. Aku melihatnya. Aku melihat Rama. Aku melihat kecelakaan itu. Aku melihatnya di sumur.” Rini bersikeras, air matanya mengalir deras. “Ini bukan kebetulan. Sumur itu… terkutuk.”
Keduanya terdiam. Suasana di rumah terasa semakin berat, dipenuhi oleh duka dan ketakutan yang baru saja mereka alami. Lampu di ruang tamu berkedip-kedip sebentar, menambah kesan menyeramkan. Jam dinding menunjukkan pukul sembilan. Namun, Rini masih bisa merasakan sisa-sisa bisikan itu, sisa-sisa daya tarik yang tak terlihat dari sumur di halaman belakang.
Bab 3 – Pengulangan Kematian
Duka atas kepergian Rama belum juga mereda. Rumah terasa lebih sunyi, diliputi bayangan kesedihan yang pekat. Rini masih berusaha mencerna apa yang terjadi, bergulat antara akal sehat dan pengalaman mengerikan yang ia alami di sumur. Bima pun tampak lebih pendiam, sering melamun, seolah memikirkan sesuatu yang berat.
Satu minggu berlalu. Suasana rumah sedikit demi sedikit kembali ke rutinitas. Bima mulai aktif melamar pekerjaan, sementara Rini kembali mengurus rumah dan Dara. Namun, ada satu hal yang tidak berubah: setiap kali jam menunjukkan pukul tujuh malam, Rini akan merasakan dorongan yang sama, bisikan yang sama, dan rasa penasaran yang sama untuk mendekati sumur. Ia mencoba melawan, mengunci pintu belakang, bahkan menutupi jendela yang mengarah ke halaman. Namun, kekuatan itu terlalu kuat.
Pada hari kesepuluh setelah kematian Rama, Rini sedang menyiapkan makan malam. Ia berusaha keras untuk tidak memikirkan jam tujuh. Namun, entah bagaimana, tangannya bergerak sendiri, meraih kunci pintu belakang. Ia membuka kuncinya. Dan ia melangkah keluar.
Kali ini, ketakutan Rini lebih besar. Ia tahu apa yang akan terjadi. Ia tahu siapa yang akan ia lihat. Dengan jantung berdebar kencang, ia mendekati sumur, langkahnya seolah bukan miliknya sendiri.
Ia membungkuk, menatap ke dalam kegelapan.
Dan di sana, di permukaan air, muncul wajah lain. Wajah adik iparnya, Nina. Istri dari adik Bima. Nina tampak sedang berenang, namun ekspresinya berubah panik. Air di sekelilingnya tampak gelap, keruh. Ia terlihat berusaha menggapai sesuatu, namun tangannya hanya mencakar udara. Lalu, air bergolak, dan wajah Nina tenggelam, menghilang di kedalaman.
Rini menjerit. Sebuah jeritan yang memecah kesunyian malam. Ia mundur terhuyung-huyung, tubuhnya menggigil hebat. Ini bukan kebetulan. Ini kutukan. Kutukan dari sumur ini.
Bima, yang mendengar jeritan Rini dari dalam rumah, bergegas keluar. Ia menemukan Rini tergeletak di tanah, gemetar dan menangis histeris.
“Ada apa, Sayang?!” Bima memeluk Rini, mencoba menenangkannya.
“Nina… Nina… aku melihat Nina…” Rini terisak-isak, suaranya parau. “Dia… dia tenggelam… di air… gelap…”
Bima mencoba meyakinkan Rini bahwa itu hanya mimpi buruk, sisa trauma dari kematian Rama. Namun, ia melihat ketakutan yang begitu nyata di mata istrinya. Ia tahu, Rini tidak berbohong.
Keesokan harinya, kabar buruk itu datang lagi. Nina, adik ipar mereka, ditemukan tewas tenggelam di danau saat sedang berlibur. Ia sedang berenang sendirian, entah bagaimana bisa sampai ke area danau yang dalam dan terlarang. Polisi menyebutnya sebagai kecelakaan murni.
Bagi Bima dan Rini, ini adalah pukulan telak. Mereka tidak bisa lagi menyangkalnya. Sumur itu benar-benar sumber malapetaka.
Bima merasa marah, takut, dan putus asa. Ia tidak bisa membiarkan ini terjadi lagi. Ia harus menghentikan sumur itu. Dengan tekad membara, ia mulai bertindak.
Pertama, ia mencari bahan-bahan. Papan-papan kayu tebal, palu, paku-paku besar. Ia memutuskan untuk menutup sumur itu. Ia membangun pagar setinggi dua meter di sekeliling sumur, mengelilinginya dengan kawat berduri. Kemudian, ia menutup bibir sumur dengan beberapa lapisan papan kayu tebal, memaku erat setiap sisinya. Ia bahkan menumpuk beberapa batu besar di atasnya, seolah ingin memastikan tidak ada yang bisa membukanya lagi.
“Ini tidak akan terjadi lagi,” gumam Bima, saat ia selesai dengan pekerjaannya. Keringat membasahi dahinya, namun ia merasa sedikit lega. Setidaknya, ia telah mencoba.
Namun, kelegaan itu tidak bertahan lama.
Setiap malam, tepat saat jam dinding menunjukkan pukul tujuh, Bima dan Rini akan mendengar suara aneh dari halaman belakang. Suara gesekan kayu, suara batu yang bergeser.
Ketika mereka memberanikan diri untuk memeriksa, mereka akan menemukan hal yang sama: pagar yang ia pasang entah bagaimana telah terbuka. Papan-papan yang ia paku dengan susah payah telah bergeser. Batu-batu yang ia tumpuk telah terlempar ke samping. Dan bibir sumur… terbuka lagi, menganga dalam kegelapan, seolah tak pernah disentuh.
Rini menangis histeris. “Tidak bisa, Mas! Tidak bisa ditutup! Dia… dia tidak mau ditutup!”
Bima merasa putus asa. Ia sudah mencoba segala cara. Ia bahkan mencoba menyemen pagar itu ke tanah, namun esok harinya semen itu retak, dan pagar itu kembali terbuka. Seolah ada kekuatan tak kasat mata yang dengan sengaja menggagalkan usahanya.
Di tengah semua kekacauan ini, ada satu hal yang paling membuat hati Rini dan Bima hancur: perubahan pada Dara. Anak mereka yang ceria kini menjadi pendiam, sering melamun, dan matanya sering kali menatap kosong ke arah halaman belakang.
Suatu malam, Rini mendengar Dara bicara sendiri di kamarnya. Rini mendekat, menguping dari balik pintu yang sedikit terbuka.
“Nanti aku datang,” bisik Dara, suaranya kecil. “Mama tidak tahu. Ayah tidak tahu. Jangan takut, aku akan datang.”
Jantung Rini mencelos. Ia membuka pintu. Dara sedang duduk di tengah karpet kamarnya, membelakangi pintu. Ia tidak sedang bermain dengan boneka, atau menggambar. Ia hanya duduk diam, berbicara kepada sesuatu yang tidak terlihat.
“Dara, kamu bicara dengan siapa, Nak?” Rini bertanya, suaranya gemetar.
Dara menoleh, matanya masih terlihat kosong, seolah jiwanya tidak sepenuhnya berada di sana. “Ada yang memanggilku, Bu,” jawabnya, dengan nada yang aneh, seperti bukan suara anak-anak. “Dia bilang, dia kesepian di dalam. Dia ingin aku datang.”
Rini merasakan ketakutan yang dingin merayapi tulang punggungnya. Sumur itu tidak hanya memanggil orang dewasa. Sumur itu juga memanggil anaknya. Ia harus melakukan sesuatu. Sekarang.
Bab 4 – Menantang Takdir
Kepanikan telah mencapai puncaknya. Bima tidak bisa lagi hidup dalam ketakutan yang terus-menerus ini. Ia tidak bisa membiarkan kutukan sumur itu mengancam keluarganya, terutama Dara. Ia harus menemukan cara untuk menghentikannya, apa pun risikonya.
Suatu sore, saat ia sedang membersihkan loteng yang berdebu dan penuh sarang laba-laba, ia menemukan sebuah peti kayu tua yang terkunci. Bau apak dan sesuatu yang busuk menguar dari celahnya. Dengan susah payah, ia membukanya. Di dalamnya, tergeletak beberapa benda aneh: sebuah jubah hitam lusuh, beberapa lilin yang sudah meleleh, dan sebuah buku tebal bersampul kulit yang sudah usang.
Bima mengangkat buku itu. Kulitnya terasa dingin dan kasar di bawah sentuhannya. Judulnya tidak tercetak, namun ada tulisan tangan yang terukir di sampulnya: “Kitab Catatan Mata Kematian.”
Jantung Bima berdebar kencang. Mata Kematian. Itu adalah julukan yang ia dengar dari tetangga, yang pernah mencoba memperingatkannya tentang reputasi rumah ini, namun Bima hanya menganggapnya omong kosong. Ia membuka buku itu dengan tangan gemetar.
Halaman-halaman di dalamnya dipenuhi tulisan tangan yang rapi, namun tinta yang digunakan sudah memudar dimakan usia. Ada juga beberapa sketsa dan gambar-gambar aneh, simbol-simbol yang tidak ia kenali. Ia membaca, dan setiap kata yang ia baca seolah mengukir kengerian baru di benaknya.
Buku itu adalah catatan seorang mantan penghuni rumah ini, seorang pria bernama Pak Jaka, yang tampaknya memiliki ketertarikan pada ilmu hitam dan praktik spiritual. Ia menuliskan pengamatannya tentang sumur tua di halaman belakang. Sumur itu, menurutnya, bukanlah sumur biasa. Ia adalah “Mata Kematian,” sebuah portal atau penghubung ke alam lain, di mana orang-orang yang sudah meninggal atau yang akan meninggal dapat menampakkan diri.
“Sumur ini,” tulis Pak Jaka, “bukanlah sekadar sumber air. Ia adalah cermin jiwa, yang memantulkan takdir yang tak terelakkan. Barang siapa yang memandang ke dalamnya saat jam tujuh malam, akan melihat masa depan kematian. Takdir yang telah ditentukan, yang tak bisa diubah.”
Bima semakin membaca. Pak Jaka juga menuliskan bahwa sumur itu memiliki kekuatan tarik yang tak bisa ditolak, terutama bagi mereka yang memiliki “darah murni” atau jiwa yang sensitif—anak-anak. Ia menceritakan bagaimana ia mencoba menutup sumur itu, menyegelnya, bahkan membacakan doa-doa. Namun, setiap usaha selalu gagal. Sumur itu seolah memiliki kehendaknya sendiri, sebuah kekuatan purba yang menolak untuk dibungkam.
“Satu-satunya cara untuk menghentikan sumur ini,” tulis Pak Jaka di akhir catatannya, dengan tulisan yang lebih buram dan tidak rapi, seolah ditulis dalam keadaan panik, “adalah dengan mengisi kekosongan yang ia inginkan. Darah. Darah pemilik rumah. Pengorbanan. Hanya dengan pengorbanan terbesarlah ia akan terpuaskan, mungkin hanya untuk sementara, atau selamanya.”
Bima menutup buku itu, tubuhnya menggigil. Darah pemilik rumah? Pengorbanan? Jadi, itu sebabnya pemilik sebelumnya menjual rumah ini dengan sangat murah? Karena mereka tidak sanggup lagi?
Ia memikirkan Rama, lalu Nina. Dan sekarang, Dara. Ia tidak akan membiarkan putrinya menjadi korban selanjutnya. Ia tidak peduli dengan takdir atau pengorbanan. Ia akan menyegel sumur itu dengan cara apa pun.
Bima keluar dari loteng, membawa buku itu bersamanya. Ia menemui Rini, yang sedang duduk termenung di ruang tamu. Dengan suara bergetar, ia menceritakan semua yang ia baca. Rini mendengarkan dengan tatapan kosong, air mata mengalir di pipinya.
“Kita harus pergi dari sini, Mas,” bisik Rini. “Kita harus pergi sebelum… sebelum terjadi sesuatu pada Dara.”
“Tidak,” kata Bima, suaranya mantap. “Kita tidak bisa lari. Sumur ini akan terus mengintai kita. Kita harus menghentikannya. Sekarang.”
Bima membuat rencana. Ia akan mencoba metode yang belum pernah ia coba sebelumnya. Menggunakan semen dan besi cor. Ia akan membuat penutup permanen untuk sumur itu. Ia akan memastikan tidak ada celah sedikit pun. Ia akan membacakan doa-doa, apa pun yang ia tahu, untuk mencoba membentengi sumur itu dari kekuatan jahat.
Ia membeli semen, besi cor, dan batu bata yang lebih kuat. Dibantu oleh seorang tukang bangunan lokal yang tidak tahu-menahu tentang reputasi sumur itu, mereka mulai bekerja keesokan harinya. Bima mengawasi setiap prosesnya, memastikan setiap celah tertutup, setiap sambungan kokoh. Ia membangun penutup sumur yang terbuat dari beton tebal, dengan lapisan besi cor di dalamnya. Ia bahkan meminta tukang itu untuk mengukir simbol-simbol doa yang ia temukan di buku Pak Jaka pada permukaan beton.
“Ini akan jadi permanen, Pak,” kata tukang itu, menyeka keringat di dahinya. “Dijamin tidak ada yang bisa membukanya lagi. Kokoh sekali.”
Bima mengangguk. Hatinya sedikit lega. Ini pasti berhasil. Ini harus berhasil.
Saat matahari mulai terbenam, pekerjaan itu selesai. Bibir sumur kini tertutup rapat oleh beton yang kokoh, seolah tidak pernah ada sumur di sana. Bima mengusap tangannya yang kotor, memandang hasil pekerjaannya dengan napas lega. Akhirnya. Akhirnya ia telah menghentikan kutukan ini.
Ia melangkah mundur, mengambil napas dalam-dalam. Namun, tepat saat ia berbalik untuk masuk ke rumah, jam dinding di ruang tamu berdenting, tujuh kali. Ding-dong. Ding-dong. Ding-dong.
Dan udara di sekeliling Bima tiba-tiba terasa dingin, menusuk hingga ke tulang. Sebuah bisikan, lebih jelas dan lebih kuat dari sebelumnya, terdengar di telinganya.
“Kau… telah menantangku.”
Bima menoleh kembali ke arah sumur. Permukaan beton itu, yang seharusnya kokoh dan kering, kini tampak basah. Dan di sana, di permukaan yang basah itu, genangan air kecil mulai terbentuk. Air itu bergolak pelan, membentuk riak-riak. Dan di dalam riak-riak itu, sebuah pantulan mulai muncul.
Itu adalah wajah Bima sendiri.
Wajahnya tampak pucat, matanya membelalak ketakutan. Di latar belakang, Rini berdiri di ambang pintu, berteriak histeris, menunjuk ke arah Bima. Dan kemudian, wajah Bima di air itu terhuyung-huyung, seolah didorong oleh kekuatan tak terlihat, lalu jatuh. Jatuh ke dalam kegelapan.
Bima terkesiap. Ia merasakan pusing yang luar biasa, kakinya lemas. Ia mundur satu langkah, lalu dua. Ia ingin berlari, namun tubuhnya terasa lumpuh.
Dan kemudian, kakinya tersandung sesuatu. Sebuah batu bata yang entah bagaimana bisa berada di sana, di dekat sumur. Ia kehilangan keseimbangan.
Napasnya tertahan di tenggorokan. Ia melihat ke bawah, melihat bibir sumur yang sudah tertutup beton, kini seolah menganga lagi. Ia melihat kegelapan di dalamnya, seolah memanggilnya.
Ia jatuh.
Beberapa menit kemudian, Rini, yang mendengar suara gaduh dari luar, berlari keluar. Ia melihat Bima terhuyung-huyung, lalu tersandung dan jatuh. Tubuhnya menghantam bibir sumur, lalu terlempar ke dalam kegelapan.
Rini berteriak, sebuah jeritan yang paling mengerikan yang pernah ia hasilkan. Ia berlari ke sumur, melongok ke dalam. Gelap. Hanya pantulan samar cahaya dari senter ponselnya yang berhasil menembus kegelapan, menunjukkan permukaan air yang keruh jauh di bawah.
“Mas! Mas Bima!” teriak Rini, suaranya pecah. Namun, tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang mematikan dari dalam sumur.
Bab 5 – Sisa Kutukan
Dunia Rini hancur lebur. Kematian Bima adalah pukulan terakhir yang menghancurkan jiwanya. Suaminya, pelindungnya, satu-satunya yang ia miliki di dunia ini, telah tiada. Tertelan oleh sumur terkutuk itu. Duka yang tak terhingga bercampur dengan rasa bersalah yang menusuk. Seandainya mereka tidak pernah pindah ke rumah ini. Seandainya ia lebih mendengarkan peringatan Dara.
Rini hidup dalam kabut kesedihan. Hari-harinya berlalu tanpa makna. Ia sering kali ditemukan duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah pintu belakang, seolah menanti Bima kembali. Ia tidak makan, tidak tidur. Hanya menangis.
Namun, di tengah kesedihan itu, ia tidak bisa mengabaikan satu hal: Dara. Putrinya.
Kematian Bima semakin memperburuk kondisi mental Dara. Anak itu kini benar-benar terpuruk. Ia jarang bicara, sering melamun, dan matanya selalu memancarkan ketakutan yang dalam. Ia seringkali mengigau di malam hari, memanggil nama “Ayah” dan “sumur.”
Rini menyadari bahwa ia tidak bisa membiarkan Dara terus-menerus hidup di rumah yang terkutuk ini. Ia harus pergi. Pergi sejauh mungkin.
Suatu malam, Rini tidak bisa tidur. Ia bangkit dari tempat tidurnya, berjalan tanpa tujuan ke ruang kerja Bima. Meja kerja Bima masih rapi, dengan beberapa barang peninggalannya. Di sudut meja, ia melihat sebuah flash disk kecil.
Rini teringat Bima pernah memasang kamera pengawas di halaman belakang, setelah insiden pagar sumur yang selalu terbuka. Ia ingin tahu apakah ada orang yang sengaja mengganggu mereka. Sekarang, ia ingin melihat rekaman itu. Mungkin ada petunjuk. Mungkin ada yang bisa menjelaskan mengapa Bima terjatuh.
Dengan tangan gemetar, Rini memasukkan flash disk itu ke laptop Bima. Ia mencari file video yang tersimpan di sana. Tanggal kematian Bima. Pukul tujuh malam.
Ia menekan tombol play.
Rekaman itu menunjukkan halaman belakang yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya remang-remang dari lampu rumah. Ia melihat Bima berdiri di dekat sumur, memandangi penutup beton yang baru saja selesai dipasang. Bima tampak lega, bahkan sedikit bangga.
Lalu, jam menunjukkan pukul tujuh malam.
Di layar, tubuh Bima tiba-tiba menegang. Matanya membelalak. Ia terlihat pucat, seolah melihat hantu. Lalu, ia terhuyung-huyung mundur, satu langkah, lalu dua. Ia ingin berlari, namun kakinya kaku.
Dan kemudian, adegan yang paling mengerikan itu terjadi.
Bima tidak tersandung batu. Tidak ada batu bata yang terlihat di rekaman. Ia tidak didorong oleh angin, atau oleh sosok tak terlihat. Tubuhnya hanya… tertarik. Seperti magnet yang ditarik oleh kekuatan tak kasat mata. Bima mencoba melawan, tangannya mencakar udara, namun ia tidak berdaya. Tubuhnya tertarik ke arah sumur, lalu jatuh.
Rini menjerit. Itu bukan kecelakaan. Itu bukan takdir. Itu adalah kekuatan jahat yang menarik Bima ke dalam sumur, memaksanya untuk menjadi korban.
Rekaman itu menunjukkan semuanya dengan jelas. Tidak ada angin, tidak ada dorongan. Bima benar-benar seolah tertarik sendiri ke sumur, ke dalam kegelapan yang menunggunya.
Rini mematikan rekaman itu, tubuhnya menggigil hebat. Ini adalah bukti. Bukti bahwa sumur itu hidup, berakal, dan haus akan nyawa. Ia tidak bisa lagi tinggal di rumah ini. Sedetik pun.
Dengan tekad yang membara, Rini menghubungi agen properti. Ia tidak peduli dengan harga. Ia tidak peduli jika rugi. Ia hanya ingin rumah ini pergi. Ia ingin melarikan diri dari kutukan ini, dari sumur itu, dari kenangan mengerikan yang melekat pada setiap sudut rumah ini.
Agen properti terkejut dengan keputusan Rini yang mendadak. Namun, Rini hanya menjawab singkat, “Saya tidak bisa tinggal di sini lagi. Jual saja. Secepatnya.”
Agen properti itu, yang sudah mendengar selentingan aneh tentang rumah itu, tidak banyak bertanya. Ia tahu rumah ini sulit dijual, apalagi dengan sejarah pemiliknya yang meninggal mendadak. Namun, Rini memaksa. Ia mengatakan akan menerima berapa pun harga yang ditawarkan, asalkan rumah itu cepat terjual.
Berita rumah dijual dengan harga sangat murah menyebar dengan cepat. Rini berharap, dengan menjualnya, ia bisa mengakhiri siklus kutukan ini. Ia berharap, sumur itu akan puas dengan korban yang telah ia ambil. Ia berharap, ia dan Dara bisa memulai hidup baru, jauh dari bayangan kematian yang mencekam.
Bab 6 – Pembeli Baru
Waktu berlalu. Rini dan Dara telah pindah ke sebuah apartemen kecil di kota lain, jauh dari rumah tua yang terkutuk itu. Rini masih dihantui trauma, namun ia berusaha keras untuk pulih demi Dara. Ia mencari pekerjaan baru, mencoba membangun kembali kehidupan mereka yang telah hancur. Dara, perlahan-lahan, menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Ia mulai tersenyum lagi, meski senyumnya masih diliputi kesedihan yang tak terucapkan.
Sementara itu, di kota tempat rumah tua itu berada, kabar tentang rumah murah itu akhirnya menarik perhatian. Sebuah keluarga muda dari luar kota, keluarga Pramana, sedang mencari rumah pertama mereka. Mereka baru saja menikah, dan berencana untuk memulai keluarga. Keuangan mereka terbatas, sehingga tawaran rumah tua yang dijual dengan harga sangat murah itu, meskipun lokasinya sedikit di pinggir kota, terdengar seperti anugerah.
“Sayang, lihat ini! Rumah ini besar sekali, dan harganya… luar biasa murah!” seru Yoga, seorang desainer grafis muda yang selalu optimis, kepada istrinya, Maya. “Ini pasti rezeki kita!”
Maya, seorang guru sekolah dasar, sedikit skeptis. “Murah sekali, Mas. Apa tidak ada masalah? Terlalu bagus untuk jadi kenyataan.”
“Mungkin pemiliknya sedang butuh uang cepat,” Yoga mencoba meyakinkan. “Lagipula, ada sumur di belakang. Mungkin mereka ingin menjualnya cepat karena sumur itu. Tidak apa-apa, nanti kita tutup saja.”
Setelah berdiskusi panjang, dan didorong oleh keterbatasan anggaran mereka, Yoga dan Maya akhirnya memutuskan untuk membeli rumah itu. Mereka tidak mengetahui sejarah mengerikan yang melekat pada dinding-dindingnya, atau pada sumur tua di halaman belakang. Agen properti, yang hanya ingin segera menjual rumah itu, tidak menceritakan detail-detail yang menyeramkan. Ia hanya mengatakan bahwa pemilik sebelumnya pindah karena alasan keluarga.
Pada hari kepindahan mereka, mobil pick-up pengangkut barang terparkir di depan rumah. Yoga, Maya, dan putri kecil mereka yang berusia lima tahun, Luna, turun dari mobil dengan wajah berbinar. Luna, yang memiliki rambut ikal cokelat dan mata jernih seperti kelereng, langsung berlari ke dalam rumah, penuh semangat menjelajahi setiap sudut.
“Rumah kita, Ayah! Rumah kita!” Luna berseru riang.
Yoga dan Maya tersenyum, hati mereka dipenuhi kebahagiaan. Ini adalah awal baru bagi mereka.
Luna terus berlari, hingga ia mencapai pintu belakang. Pintu itu sedikit terbuka, mengundang. Dengan rasa ingin tahu khas anak-anak, Luna melangkah keluar ke halaman belakang.
Rumput liar telah tumbuh tinggi lagi, menutupi area di sekitar sumur. Namun, bibir sumur yang terbuat dari beton kokoh, yang telah dipasang Bima, masih terlihat jelas. Sebuah lapisan tipis lumut telah mulai tumbuh di permukaannya, namun tulisan-tulisan doa yang diukir Bima masih samar terlihat.
Luna mendekati sumur itu. Ia tidak takut. Wajahnya yang polos tampak memancarkan rasa ingin tahu yang besar. Ia menyentuh permukaan beton yang dingin. Lalu, ia membungkuk, menempelkan telinganya ke permukaan sumur.
Yoga dan Maya sedang sibuk menurunkan barang-barang dari mobil. Maya sesekali melirik ke arah Luna, yang kini berdiri di dekat sumur.
“Luna, jangan main di dekat sumur ya, Nak,” Maya memanggil, meskipun suaranya sedikit teredam oleh kebisingan. “Nanti kotor.”
Luna tidak menjawab. Ia tetap terpaku di sana, seolah sedang mendengarkan sesuatu. Lalu, ia menegakkan tubuhnya. Ia menoleh ke arah Maya, matanya yang jernih memancarkan tatapan yang aneh, seolah ia sedang berbicara kepada seseorang yang tidak terlihat.
“Ibu,” kata Luna, suaranya kecil namun terdengar sangat jelas di tengah heningnya sore itu. “Ada yang manggil dari dalam sumur.”
Yoga dan Maya berhenti. Mereka saling pandang. Sebuah firasat buruk merayapi punggung Maya. Yoga mencoba tersenyum, menganggap itu hanya imajinasi anak-anak.
“Mungkin cuma angin, Sayang,” kata Yoga, berjalan mendekati Luna.
Namun, Luna menggelengkan kepalanya. Ia menunjuk ke arah sumur. “Bukan. Ada suara. Dia bilang… dia ingin aku datang. Dia kesepian.”
Mata Maya membelalak. Kata-kata itu. Bisikan-bisikan itu. Bukankah itu sama persis dengan apa yang Dara, putri Rini, pernah katakan?
Tiba-tiba, suara dentingan jam dinding dari dalam rumah terdengar. Ding-dong. Ding-dong. Ding-dong. Tujuh kali.
Dan udara di halaman belakang itu, yang sebelumnya terasa hangat, kini terasa dingin, menusuk hingga ke tulang. Sebuah bisikan samar, namun jelas, terdengar di telinga Yoga dan Maya. Sebuah bisikan yang memanggil nama.
“Luna… Luna…”
Luna tersenyum. Senyum yang polos, namun entah mengapa terasa begitu menyeramkan. Ia melangkah satu langkah lebih dekat ke sumur.
Yoga dan Maya saling pandang, wajah mereka pucat pasi. Ketakutan yang mencekam kini merayapi mereka. Mereka melihat mata Luna yang kosong, seolah ada entitas lain yang menguasai putrinya.