Masukan nama pengguna
Deringan Tengah Malam dan Bayangan di Cermin
Ardi tidak pernah tahu bahwa malam akan menjadi kanvas terornya. Bukan karena ia takut gelap—tidak sama sekali. Bagi Ardi, gelap adalah sekutu, sebuah selimut nyaman yang membungkusnya dalam konsentrasi murni. Sebagai mahasiswa jurusan desain grafis semester akhir, ia adalah seorang "kalong" sejati. Otaknya baru mulai memanas ketika jarum jam menunjuk angka sembilan malam, dan puncak kreativitasnya sering kali baru dicapai di dini hari, saat dunia di luar kamar kosnya sudah terlelap dalam keheningan total.
Kosannya, sebuah bangunan tua berlantai dua di pinggir kota yang sudah sepi sejak pukul sepuluh malam, menjadi saksi bisu perjuangan Ardi. Dindingnya yang menguning dan catnya yang mengelupas di beberapa sudut menyiratkan usia, bukan sekadar gaya usang. Ada bisik-bisik di antara penghuni lain tentang sejarah kelam bangunan itu, tentang penghuni sebelumnya yang tiba-tiba pindah tanpa pamit, atau tentang suara tangisan samar dari kamar kosong di lantai bawah. Ardi, yang cenderung pragmatis, selalu menepisnya sebagai bualan belaka, bumbu cerita seram khas anak kosan. Kamarnya sendiri, di lantai dua, adalah benteng pribadinya. Selalu dipenuhi cahaya temaram dari monitor ultrawide-nya, gunung kaleng kopi kosong yang tak pernah sempat ia buang, dan tumpukan buku-buku referensi desain yang berserakan di mana-mana. Aroma kopi instan bercampur bau karet penghapus dan cat semprot selalu menjadi parfum khas kamarnya.
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Ardi tenggelam dalam pekerjaannya. Pukul 02:45 dini hari. Ia sedang berkutat dengan revisi terakhir desain logo untuk proyek UAS-nya: sebuah logo futuristik untuk perusahaan teknologi fiktif. Matanya sudah terasa pedih, kelopak matanya berat, dan punggungnya mulai nyeri, namun semangatnya masih membara. Ia hanya perlu sedikit lagi, beberapa sentuhan akhir pada gradien warna, dan ia bisa rebah di kasur tipisnya.
Tiba-tiba, ponselnya yang tergeletak di samping keyboard—sebuah smartphone Android keluaran lama yang setia—berdering. Layarnya yang kusam menampilkan sederet angka yang ganjil dan belum pernah ia lihat: 0000.
Ardi mengernyitkan dahi. "Nomor apaan nih? Iseng banget," gumamnya, setengah kesal karena konsentrasinya yang rapuh terpecah. Ia ragu-ragu sejenak. Pikiran pertamanya adalah telemarketing atau spam call yang entah bagaimana bisa lolos dari filter. Namun, angka "0000" itu sendiri sudah terasa aneh. Nomor telepon biasanya tidak diawali dengan nol sebanyak itu, apalagi hanya nol semata. Rasa penasaran, penyakit khas para seniman digital yang selalu mencari sesuatu yang baru, mengalahkan logikanya. Ia menggeser ikon hijau di layarnya.
"Halo?" sapanya, suaranya sedikit serak dan mengantuk.
Tidak ada jawaban. Hanya derau statis, persis seperti frekuensi radio yang tidak tertangkap sempurna. Di antara derau itu, samar-samar, Ardi bisa mendengar sesuatu. Sebuah desahan napas. Berat. Terengah-engah. Bukan desahan manusia biasa, melainkan seperti suara udara yang bergesekan dengan sesuatu yang kasar di dalam tenggorokan. Ada nada aneh, serak, seolah-olah penelpon itu sedang berjuang untuk bernapas, atau mungkin, sesuatu yang lain sedang bernapas melalui penelpon itu.
"Halo? Siapa ini?" Ardi mencoba lagi, nadanya sedikit lebih tegas, matanya beralih dari layar monitor ke ponselnya.
Hening. Derau statis itu semakin kuat, mendominasi, lalu tiba-tiba menghilang, digantikan oleh keheningan total yang lebih menakutkan dari derau sebelumnya. Keheningan yang dingin, menusuk, seolah udara di sekitarnya tiba-tiba dihisap keluar. Panggilan itu terputus.
Ardi mengangkat bahu, mencoba meyakinkan diri sendiri. "Salah sambung kali," pikirnya, meskipun perasaan aneh itu sudah mulai menggantung di udara, dingin dan tak menyenangkan. Ia kembali pada pekerjaannya, mencoba fokus pada layar, tapi pikirannya terusik. Siapa yang menelepon pukul tiga pagi dengan nomor seperti itu? Dan suara desahan napas itu...
Tepat pukul 03:00, jarum jam di dinding tua berdetak pelan, ponsel Ardi kembali berdering. Layarnya kembali menyala, menampilkan angka yang sama: 0000.
Kali ini, jantung Ardi berdebar lebih kencang, memukul-mukul rusuknya seperti genderang perang. Ini bukan salah sambung biasa. Ini adalah sesuatu yang janggal. Ada sesuatu yang tidak beres. Ia menatap layar ponselnya, ragu-ragu. Haruskah diangkat? Rasa takut mulai menyelinap, merayapi sarafnya, tapi rasa penasaran yang lebih kuat, seperti godaan dari jurang, mendorongnya untuk menggeser ikon hijau.
"Halo?" Ardi berbisik, suaranya tercekat di tenggorokan.
Derau statis itu kembali, kali ini lebih jelas, lebih nyaring, seolah-olah penelpon itu berada di ambang pintu kamarnya. Desahan napas berat itu pun kembali, terdengar lebih dekat, lebih nyata, lebih mengerikan. Kali ini, Ardi bisa merasakan napas itu di telinganya, dingin dan pengap, seolah-olah penelpon itu berdiri tepat di sampingnya, membungkuk dan berbisik ke lubang suara ponsel. Ardi menelan ludah. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Ia menoleh ke arah jendela yang tertutup gorden tebal, lalu ke arah pintu kamar yang terkunci rapat. Tidak ada apa-apa. Namun, ia bisa merasakan udara di sekitarnya menjadi berat, dipenuhi aura yang tidak menyenangkan.
Beberapa detik berlalu, terasa seperti keabadian. Setiap detak jantungnya menggema di telinganya. Desahan itu terus berlanjut, konsisten, mengerikan, tanpa henti. Ardi tidak tahan lagi. Ia harus tahu.
"Siapa ini? Kenapa telepon saya terus?" Suaranya keluar dengan susah payah, bergetar, namun ia berusaha membuatnya terdengar tegas.
Hening sejenak. Derau statis itu mereda, lalu sebuah suara, parau dan serak, seperti pasir bergesekan di tenggorokan, berbisik pelan, hanya untuk Ardi dengar, menusuk langsung ke gendang telinganya, seolah-olah suara itu berasal dari dalam kepalanya sendiri: "Aku sudah di belakangmu."
Darah Ardi seolah membeku. Tubuhnya menegang, otot-ototnya mengeras. Ia tidak berani bernapas. Otaknya berteriak, menyuruhnya untuk tidak menoleh, untuk lari, untuk membuang ponselnya. Namun, rasa takut bercampur penasaran yang luar biasa, rasa ingin tahu yang mematikan, memaksanya untuk melakukannya. Perlahan, sangat perlahan, seolah-olah lehernya disangga oleh beban yang tak terlihat, ia memutar kepalanya ke belakang. Matanya menatap kosong ke dinding putih di belakang kursinya, tempat rak buku mungil dan poster band indie favoritnya tergantung.
Kosong. Tidak ada siapa-siapa.
Ardi menghela napas lega, sebuah napas yang terlalu cepat, terlalu terburu-buru. Namun, napas itu tertahan di tenggorokan saat matanya menangkap pantulan dirinya di cermin besar yang tergantung di dinding di hadapannya. Cermin tua dengan bingkai kayu yang sedikit retak, peninggalan penghuni lama yang tak sempat ia copot.
Bayangan Ardi di cermin itu, yang seharusnya meniru gerakannya dengan sempurna, tidak bergerak. Bahkan, bayangan itu perlahan-lahan, dengan senyum lebar yang mengerikan, menyeringai. Senyum itu terlalu lebar, terlalu memanjang, terlalu mengerikan untuk wajah manusia, seperti topeng yang dipaksakan. Ada terlalu banyak gigi di sana, terlalu putih, terlalu tajam. Matanya, di bayangan itu, berkedip, sekali, perlahan, padahal Ardi sendiri tahu ia tidak berkedip. Mata itu kosong, gelap, tanpa pupil, dan menatap lurus ke arahnya, tidak ke arah belakang, tidak ke arah dinding. Mata itu menatap langsung ke dalam jiwa Ardi.
Ardi tercekat. Ia mencoba berteriak, namun suaranya tidak keluar. Tenggorokannya seolah tersumbat. Tubuhnya terasa berat, seolah ada beban tak kasat mata yang menimpanya, menekannya ke kursi. Ia mencoba menggerakkan tangannya, mencoba meraih ponselnya untuk memutuskan panggilan itu, tapi otot-ototnya seolah lumpuh, membeku. Di cermin, bayangannya terkekeh pelan, tawa yang tidak berwujud suara, namun terasa menusuk ke ulu hati Ardi, menggetarkan setiap saraf di tubuhnya. Itu adalah tawa tanpa sukacita, tawa tanpa emosi, tawa dari kekosongan.
Bayangan itu, dengan gerakan lambat yang mengerikan, mulai mengangkat tangan kanannya. Jari-jari di bayangan itu perlahan melengkung, memanjang, membentuk cakar yang panjang dan tajam, kuku-kuku hitam yang mengerikan, meskipun di dunia nyata, tangan Ardi masih terkulai lemas di pangkuannya, tak berdaya. Cakar itu bergerak mendekati leher bayangan Ardi sendiri di cermin, seolah akan mencekiknya, memutus napasnya. Senyum di wajah bayangan itu semakin lebar, menunjukkan barisan gigi yang semakin banyak dan semakin tajam, seperti gigi-gigi hiu.
Panggilan dari nomor "0000" masih tersambung di ponselnya, yang kini terasa begitu jauh, tergeletak di samping keyboard. Layar ponselnya berkedip, menampilkan durasi panggilan yang terus berjalan, angka-angka yang terus bertambah, detik demi detik, menit demi menit. Ardi hanya bisa menatap bayangannya di cermin, yang kini mulai mendekatkan cakar mengerikannya ke lehernya. Ia merasakan hawa dingin yang luar biasa, menusuk tulang, seolah ada tangan tak kasat mata yang memegang lehernya di dunia nyata.
Lalu, gelap. Bukan gelap yang dihasilkan dari memejamkan mata, melainkan gelap yang menyeluruh, dingin, dan pekat, menelannya ke dalam kehampaan yang tak berujung. Ponselnya terlepas dari tangannya, jatuh, dan layarnya yang sudah retak semakin hancur, pecah seperti jaring laba-laba. Panggilan dari "0000" masih terus tersambung, durasinya terus berjalan, mengukur waktu yang semakin menipis bagi Ardi.
Keheningan Pagi dan Misteri yang Menggantung
Pagi itu, mentari pagi menyusup malu-malu melalui celah gorden yang sedikit tersibak di kamar Doni, mencoba membangunkan dunia dari tidurnya. Cahaya keemasan yang biasanya membawa semangat, pagi itu terasa dingin dan asing. Doni, teman sekamar Ardi, terbangun lebih awal dari biasanya. Ada janji kuliah pagi yang tak bisa ditawar—kuliah wajib kalkulus yang dosennya dikenal paling kejam soal toleransi keterlambatan. Ia meregangkan badannya, meraba-raba nakas mencari ponselnya, lalu melirik ke tempat tidur Ardi yang masih berantakan.
"Di, bangun! Udah pagi nih!" panggil Doni, suaranya masih sedikit serak karena mengantuk. Biasanya, Ardi akan menggeliat, menggerutu, atau setidaknya merengek meminta dibangunkan dengan kopi di tangan. Namun, pagi itu, tidak ada sahutan. Tempat tidur Ardi kosong, seprai kusutnya menjadi satu-satunya saksi keberadaannya semalam.
Doni mengernyitkan dahi. "Ke mana nih anak? Tumben banget jam segini udah rapi." Ardi adalah tipikal mahasiswa yang baru akan bangun lima belas menit sebelum kuliah dimulai, lalu mandi kilat dan melesat seperti peluru. Hilang tanpa jejak di pagi hari adalah hal yang tidak biasa. Doni beranjak dari kasurnya, melangkah ke arah meja belajar Ardi, berharap menemukan petunjuk. Laptop Ardi masih menyala, menampilkan layar desain yang belum selesai, persis seperti yang ia lihat semalam saat ia pergi tidur. Buku-buku berserakan, kaleng kopi kosong yang berjejer, dan kabel-kabel charger yang ruwet—semuanya sama seperti malam sebelumnya, kecuali satu hal yang mencolok.
Ponsel Ardi tergeletak di lantai, di samping kursi belajar yang rebah ke belakang. Layarnya retak parah, seperti habis dibanting atau terinjak dengan kekuatan penuh. Serpihan kecil kaca berserakan di sekitar sudut layarnya. Doni membungkuk, mengambil ponsel itu. Jantungnya berdebar kencang melihat kondisi ponsel tersebut. Ardi sangat menjaga barang-barangnya. Ponsel adalah senjata utamanya untuk desain, dan merusaknya adalah hal yang mustahil baginya, apalagi sampai seperti ini. Ini bukan sekadar terjatuh. Ini seperti ada kekuatan besar yang menghantamnya.
Doni mencoba menyalakan ponsel itu. Untungnya, masih bisa. Layarnya berkedip, menampilkan tampilan utama. Doni langsung membuka riwayat panggilan terakhir, berharap menemukan jejak Ardi atau nomor yang terakhir dihubungi.
Matanya terbelalak. Di bagian riwayat panggilan, tertera dengan jelas: "0000 – 03:00 – Durasi: 6 jam 66 menit."
"Enam jam enam puluh enam menit?" gumam Doni, tidak percaya, suaranya tercekat. Angka "66 menit" terasa aneh dan tidak masuk akal. Durasi panggilan seharusnya berakhir di "59 menit" sebelum berganti ke jam berikutnya. Ini jelas anomali. Dan nomor "0000" itu… Doni belum pernah melihatnya. Nomor ponsel tidak pernah seperti itu. Otaknya yang pragmatis mulai mencari penjelasan logis: mungkin bug sistem? Kesalahan provider? Tapi mengapa hanya di ponsel Ardi?
Perasaan tidak enak mulai menjalar di benak Doni. Dingin dan tajam, seperti pisau es yang melesat dari tulang ekornya hingga ke tengkuk. Ardi menghilang, ponselnya rusak dengan riwayat panggilan aneh, dan durasi panggilan yang mustahil. Ia merasakan hawa dingin merambat di punggungnya, padahal suhu kamar normal. Ia melihat sekeliling kamar Ardi, mencari petunjuk lain. Tidak ada.
Doni mencoba menghubungi Ardi. Tentu saja, ponsel Ardi ada di tangannya. Ia mencoba menghubungi Ardi melalui ponselnya sendiri. Ia menekan nomor Ardi, menempelkan ponsel ke telinganya. Hanya nada sambung yang terus berdering, tidak ada jawaban. Kosong. Ia mencoba mencari Ardi di kamar mandi, di dapur kos, bahkan berkeliling lantai dua, mengetuk beberapa pintu teman yang mungkin tahu. Tidak ada yang melihat Ardi sejak semalam. Sebagian besar masih tidur, dan yang sudah bangun hanya menggelengkan kepala.
Kepanikan mulai menguasai Doni. Ia tahu ada yang tidak beres. Ardi tidak mungkin menghilang tanpa kabar. Ardi tidak punya keluarga di kota ini, kecuali bibinya yang tinggal jauh di pinggir kota. Ia mencoba menenangkan diri, berpikir logis. Mungkin Ardi pergi ke rumah saudaranya? Tapi ia tidak pernah memberitahu Doni. Ardi selalu memberitahu jika ia akan pergi jauh, apalagi semalaman.
Doni kembali ke kamar Ardi, menatap laptop yang masih menyala. Matanya tertuju pada cermin besar yang tergantung di dinding. Ia ingat Ardi pernah mengeluh kalau cermin itu terkadang memantulkan bayangan aneh di malam hari, bayangan samar yang bergerak di sudut pandang, tapi Doni tidak pernah terlalu percaya. Ia selalu menganggapnya hanya karena Ardi sering begadang dan kurang tidur. Doni mendekati cermin itu, menatap pantulan dirinya sendiri. Semuanya normal, hanya wajahnya yang tampak lelah dan sedikit khawatir.
Tiba-tiba, Doni merasakan sesuatu. Sebuah aura dingin, menekan, seolah ada kehadiran tak terlihat di dekatnya. Bulu kuduknya merinding, meskipun ia mencoba menepisnya sebagai sugesti dari ponsel Ardi yang rusak. Ia menoleh ke belakang, ke arah pintu kamar yang sedikit terbuka. Tidak ada apa-apa. Namun, perasaan itu semakin kuat, seolah ada sepasang mata yang mengawasinya dari kegelapan di luar pintu. Ia buru-buru menutup pintu, lalu menguncinya.
Doni memutuskan untuk mencari bantuan. Ia menghubungi teman-teman Ardi yang lain, orang tua Ardi di kampung, bahkan pihak kampus. Namun, nihil. Tidak ada yang tahu keberadaan Ardi. Ardi lenyap ditelan malam, meninggalkan misteri nomor "0000" dan durasi panggilan yang tidak masuk akal.
Setelah seharian mencari dan menghubungi berbagai pihak tanpa hasil, Doni kembali ke kosan dengan perasaan campur aduk antara lelah, takut, dan frustrasi. Polisi tidak bisa berbuat banyak tanpa ada bukti kejahatan yang jelas, mereka hanya mencatat laporan orang hilang. Orang tua Ardi panik, tapi tidak bisa langsung datang. Teman-teman Ardi pun hanya bisa menawarkan dukungan moral, karena mereka sendiri bingung.
Malam harinya, Doni memutuskan untuk berjaga di kamar. Ia merasa tidak aman sendirian, namun rasa ingin tahu dan kekhawatiran terhadap Ardi jauh lebih besar. Ia tidak bisa membiarkan misteri ini menggantung begitu saja. Ia duduk di kursi belajar Ardi, menatap layar laptop yang masih menyala. Kali ini, ia tidak menyentuh desain Ardi. Ia membuka browser, mulai mencari informasi tentang nomor telepon misterius, fenomena aneh di ponsel, atau kejadian misterius di kosan itu.
Kos-kosan itu memang sudah tua. Banyak cerita beredar di kalangan penghuni tentang kejadian-kejadian aneh di masa lalu. Ada yang bilang pernah mendengar suara tangisan dari kamar kosong di lantai satu yang sudah bertahun-tahun tidak dihuni. Ada yang bersumpah melihat bayangan hitam melintas cepat di koridor lantai dua di tengah malam. Barang-barang yang berpindah tempat sendiri, lampu yang berkedip tanpa sebab, bahkan ada cerita tentang seorang mahasiswa yang tiba-tiba depresi dan berhenti kuliah setelah beberapa minggu tinggal di kamar nomor 13 (kamar Ardi adalah nomor 14). Namun, Doni selalu menganggapnya sebagai isapan jempol belaka, cerita yang dibesar-besarkan untuk menakut-nakuti anak-anak baru agar tidak terlalu gaduh.
Doni mengetikkan kata kunci seperti "nomor telepon 0000 horor," "panggilan misterius jam 3 pagi," "bayangan cermin bergerak," dan "kosan angker [nama kota]". Ia menemukan banyak forum diskusi horor dan blog pribadi. Ada beberapa kisah tentang nomor telepon aneh, mirip dengan pengalaman Ardi. Beberapa menyebutkan "panggilan dari dimensi lain," "panggilan dari alam kematian," atau "nomor telepon hantu." Ia membaca tentang kasus-kasus di mana orang yang menerima panggilan tersebut mengalami nasib buruk, atau bahkan menghilang. Semakin ia membaca, semakin merinding bulu kuduknya. Ada satu thread di sebuah forum supranatural yang membahas tentang fenomena "waktu hantu"—jam 3 pagi—sebagai waktu di mana batas antara dunia nyata dan dunia gaib menjadi paling tipis.
Saat Doni sibuk mencari, jam di laptopnya menunjukkan pukul 02:58. Dua menit lagi menuju pukul tiga. Ketegangan di dalam kamar terasa semakin tebal. Ia merasakan udara menjadi lebih dingin, padahal kipas angin sudah ia matikan. Suara-suara kecil dari luar, seperti desauan angin atau gesekan daun, terasa seperti bisikan.
Tiba-tiba, ponselnya sendiri, yang ia letakkan di meja di samping laptop, berdering. Doni terlonjak kaget, nyaris menjatuhkan laptop. Layar ponselnya menyala, menampilkan nama yang membuatnya tercekat, darahnya seolah berhenti mengalir: "Ardi."
Doni menatap ponsel itu, lalu menatap ponsel Ardi yang rusak parah tergeletak di meja di dekatnya. Mustahil. Ponsel Ardi ada padanya, dan rusak parah, tidak mungkin menyala apalagi melakukan panggilan. Bagaimana Ardi bisa menelepon? Jantungnya berdegup kencang, memukul-mukul dadanya. Ia ragu-ragu, tangannya gemetar. Ada rasa takut yang luar biasa, tapi juga harapan kecil yang membakar, harapan bodoh bahwa Ardi mungkin baik-baik saja, bahwa ini hanya lelucon aneh, atau Ardi berhasil menemukan ponsel lain. Dengan tangan gemetar, ia menggeser ikon hijau.
"Halo... Ardi?" Suaranya terdengar serak, hampir tidak lebih dari bisikan.
Dari seberang, tidak ada suara Ardi yang dikenalnya. Tidak ada tawa renyah atau keluhan lelah. Tidak ada suara nafas atau desahan. Hanya derau statis, persis seperti yang Ardi dengar semalam. Derau itu terdengar sangat dekat, seolah-olah penelpon itu berada di dalam kamarnya, berdiri tepat di sampingnya. Dan kemudian, perlahan, sebuah bisikan parau, serak, seperti suara dedaunan kering yang digerus, keluar dari speaker ponsel, sama seperti yang Ardi dengar:
"Sekarang, giliranmu..."
Bisikan itu bukan milik Ardi. Suara itu terasa dingin, menusuk, dan dipenuhi kekosongan. Doni menjatuhkan ponselnya. Layarnya retak, sama seperti ponsel Ardi, saat jatuh ke lantai keramik. Di dalam kegelapan kamar yang hanya diterangi cahaya temaram dari layar laptop dan senter kecil, ia bisa merasakan kehadiran dingin yang semakin mendekat, mengelilinginya, merangkulnya seperti kabut beku. Suhu ruangan tiba-tiba anjlok drastis. Ia menoleh ke belakang, ke arah cermin tua yang tergantung di dinding.
Dan di sana, di pantulan cermin, ia melihat dirinya sendiri. Tapi, bayangannya, tersenyum lebar. Senyum yang mengerikan, kosong, dan tidak mencerminkan senyum Doni sama sekali. Senyum itu terlalu lebar, memperlihatkan barisan gigi yang terlalu banyak dan terlalu tajam. Matanya di bayangan itu, berkedip sekali, perlahan. Doni tahu, ia tidak berkedip. Ia tahu, ia sendirian di ruangan itu. Atau setidaknya, itu yang ia harapkan. Cermin itu memantulkan sesuatu yang seharusnya tidak ada. Sesuatu telah datang, mencari korban baru, dan Doni tahu, dengan ketakutan yang merayap hingga ke sumsum tulang, bahwa ia adalah yang berikutnya.