Masukan nama pengguna
Bab 1 – Papan Terlarang
Matahari sore merayap perlahan di balik deretan pohon pinus, melemparkan bayangan panjang yang menari-nari di dinding rumah tua itu. Rumah itu milik mendiang Kakek Harjo, sebuah bangunan kolonial yang lapuk dimakan usia, dengan cat yang mengelupas dan jendela-jendela berdebu seperti mata buta. Bagi enam remaja yang menyelinap masuk sore itu – Arga, Bima, Candra, Dania, Erika, dan Farah – rumah itu lebih dari sekadar tumpukan kayu dan batu bata; itu adalah kapsul waktu yang menyimpan rahasia, gema tawa dan bisikan dari masa lalu yang tak terjangkau. Mereka sudah sering menjelajahi setiap sudutnya, dari loteng berdebu hingga ruang bawah tanah yang lembap, mencari petualangan kecil untuk membunuh kebosanan liburan sekolah.
Arga, dengan perawakan atletisnya dan rambut gondrong yang selalu diikat, memimpin jalan. Dia cucu Kakek Harjo, dan meskipun orang tuanya melarang keras, rasa penasaran selalu mendorongnya untuk kembali ke sana. "Sudah lama kita tidak ke gudang belakang," katanya, suaranya sedikit bergema di lorong yang kosong. "Kakek bilang banyak barang-barang aneh di sana."
Bima, si pemikir dari kelompok itu, seorang kutu buku dengan kacamata tebal dan kaos band metal, mengangguk setuju. "Siapa tahu ada harta karun," candanya, mencoba meringankan suasana yang mulai terasa berat. Tapi Bima selalu menyimpan sedikit ketidaknyamanan tentang tempat ini, semacam firasat samar yang selalu dia abaikan.
Candra, yang terkenal paling berani dan selalu ingin membuktikan dirinya, mengentakkan kaki. "Ayo! Jangan buang waktu!" Dia adalah tipe yang akan selalu mendorong batas, bahkan jika itu berarti mengabaikan instingnya sendiri. Di antara mereka, Candra adalah yang paling rentan terhadap pengaruh negatif, selalu haus akan sensasi.
Di belakang mereka, para gadis berjalan beriringan. Dania, si periang dengan tawa renyah, mencoba mengusir kecanggungan dengan melontarkan lelucon. Dia berusaha keras untuk tidak menunjukkan ketakutannya, sebuah topeng yang sering dia kenakan. Erika, yang selalu tampil modis dan terkesan cuek, sibuk memeriksa ponselnya, sesekali mendongak dengan tatapan bosan. Dia hadir karena dorongan Candra, pacarnya, dan sebenarnya lebih memilih menghabiskan waktu di mall. Namun, di balik penampilannya yang angkuh, Erika adalah yang paling sensitif di antara mereka, sangat rentan terhadap kritik dan opini orang lain. Dia selalu berusaha menjaga citra sempurna, menyembunyikan sisi gelap yang dia yakini tidak akan diterima siapa pun.
Dan Farah, yang paling pendiam di antara mereka. Rambut panjangnya selalu menutupi sebagian wajahnya, dan matanya seringkali memancarkan kesedihan yang tak terucapkan. Dia jarang berbicara, lebih memilih mengamati. Di antara semua, Farah adalah yang paling tulus, namun ironisnya, juga yang paling terbebani oleh rahasia yang dia simpan sendiri. Dia datang karena ikatan pertemanan yang dalam dengan Dania, dan karena jauh di lubuk hatinya, dia berharap menemukan sesuatu di rumah tua ini yang bisa mengalihkan perhatiannya dari pikirannya sendiri.
Gudang itu gelap dan berbau apak, dipenuhi tumpukan barang-barang usang yang diselimuti sarang laba-laba tebal. Debu melayang di udara saat mereka melangkah masuk, mengganggu partikel cahaya yang menyusup dari celah-celah papan. Ada lemari tua tanpa pintu, kursi goyang yang kehilangan salah satu kakinya, dan tumpukan majalah lusuh yang mungkin berusia puluhan tahun.
"Lihat ini!" seru Arga, suaranya dipenuhi antusiasme, dari sudut yang paling gelap. Dia sedang menyapu jaring laba-laba dari sebuah kotak kayu persegi panjang yang tergeletak di bawah tumpukan kain tua. Kotak itu, meskipun kotor, memancarkan aura kuno yang menarik.
Bima mendekat, menyipitkan mata. "Kotak apa itu?"
Arga dengan hati-hati membersihkan debu dari permukaan kotak. Ukirannya rumit, namun samar-samar terlihat motif bunga dan garis-garis misterius yang membentuk simbol-simbol aneh. Saat debu terakhir tersapu, sebuah papan kayu gelap muncul. Di permukaannya, huruf-huruf alfabet terukir rapi dalam bentuk setengah lingkaran, diikuti oleh angka 0-9. Di bagian bawah, kata-kata "YES" dan "NO" tertera jelas, dan di tengah-tengahnya, gambar matahari dan bulan yang saling berhadapan. Di samping papan itu, sebuah planchette berbentuk hati dengan kaca pembesar kecil di tengahnya.
"Papan Ouija!" seru Candra, matanya berbinar. "Astaga, aku pernah membaca tentang ini! Ini untuk memanggil roh, kan?"
Dania tersentak mundur sedikit. "Memanggil roh? Candra, jangan aneh-aneh! Itu berbahaya!" Raut wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan yang jelas, berusaha menahan kegelisahan yang mulai merayapi.
"Ayolah, Dania, itu cuma mitos," bantah Candra, senyum mengejek menghiasi wajahnya. "Paling-paling, kita bisa menakut-nakuti Arga."
Erika, yang sebelumnya hanya bermain-main dengan ponselnya, kini mengangkat kepala, tertarik. "Kedengarannya seru. Tapi aku tidak percaya hal-hal begitu." Meskipun suaranya terdengar meremehkan, ada kilatan penasaran di matanya. Dia melihat ini sebagai kesempatan untuk membuktikan keberaniannya, dan juga untuk mendapatkan perhatian Candra.
Farah, yang sejak tadi hanya diam mengamati, perlahan mendekat. Tangannya gemetar saat menyentuh ukiran pada papan itu. Ada sesuatu yang menariknya, seolah papan itu memancarkan daya tarik yang tak bisa dia tolak. Di dalam hati, Farah merasa sedikit ngeri, tetapi sekaligus merasa tertarik. Dia selalu merasa terhubung dengan hal-hal yang tidak terlihat, dan papan ini seolah memanggilnya.
"Kakekku tidak pernah mengizinkan siapa pun menyentuh ini," kata Arga, suaranya sedikit melunak. "Dia selalu bilang, 'Ada hal-hal yang lebih baik dibiarkan tersembunyi.' Aku tidak tahu kalau itu papan Ouija." Dia ingat kakeknya selalu menjaga gudang ini terkunci, sebuah keanehan yang baru dia sadari sekarang.
"Kalau begitu, ini kesempatan kita," desak Candra, semangatnya meluap-luap. "Bayangkan! Kita bisa bicara dengan hantu!" Ia membayangkan sensasi dan cerita yang bisa mereka bagikan nanti.
Bima, yang biasanya rasional, merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Aku rasa ini bukan ide yang bagus, teman-teman. Ada banyak cerita seram tentang papan Ouija. Kalian tahu, hal-hal yang tidak bisa dijelaskan." Dia mencoba mencari argumen yang kuat, tetapi entah mengapa suaranya terdengar ragu-ragu. Firasat buruk yang selalu dia rasakan di rumah ini semakin menguat.
"Oh, Bima, jangan jadi penakut," ejek Candra. "Kita cuma main-main. Anggap saja ini petualangan." Candra tahu betul titik lemah Bima, yaitu keinginan untuk diterima dan tidak dicap sebagai pengecut.
Perdebatan singkat pun terjadi. Dania dan Bima menentang keras, sementara Candra dan Erika sangat antusias. Arga, sebagai pemilik rumah, berada di tengah, terombang-ambing antara rasa tanggung jawab dan rasa penasaran yang menggebu. Farah, seperti biasa, tetap diam, tetapi tatapannya terpaku pada papan itu, seolah menunggu keputusan yang akan dibuat oleh orang lain.
Akhirnya, suara Arga memecah kebuntuan. "Bagaimana kalau kita coba saja? Tapi… kita tidak akan melakukan hal gila. Cuma coba panggil nama, itu saja. Kalau tidak ada apa-apa, ya sudah." Dia berargumen bahwa ini hanya permainan, sebuah eksperimen. Namun, di dalam hatinya, Arga merasakan dorongan aneh, seolah papan itu memang sengaja ditemukan oleh mereka. Rasa ingin tahu yang terpendam, keinginan untuk membuktikan diri kepada Candra, dan sedikit bumbu kenakalan masa remaja, semua itu bercampur aduk.
Dania menghela napas pasrah. "Baiklah, tapi kalau ada yang aneh, kita langsung berhenti, janji?" Dia menatap Arga, mencari kepastian.
"Janji," jawab Arga, meskipun dalam hati dia tahu bahwa janji semacam itu seringkali hanya formalitas belaka.
Mereka memutuskan untuk membawa papan itu ke rumah Arga malam itu. Suasana berubah dari ketegangan menjadi kegembiraan yang campur aduk dengan sedikit rasa takut. Mereka tidak tahu bahwa keputusan sederhana ini akan membuka gerbang menuju kegelapan yang tak terbayangkan, ke dalam sebuah siklus teror yang telah lama tertidur di dalam papan berukiran kuno itu. Simbol matahari dan bulan pada papan itu, yang seharusnya melambangkan keseimbangan, kini terasa seperti janin yang siap melahirkan kegelapan. Mereka tidak tahu bahwa papan itu, yang mereka anggap hanya mainan, sebenarnya adalah sebuah gerbang, sebuah kontrak yang harus dibayar dengan harga yang tak terhingga. Rahasia demi rahasia, nyawa demi nyawa. Papan itu, bukan hanya sebuah alat, melainkan sebuah entitas yang menunggu untuk diaktifkan kembali.
Bab 2 – Pemanggilan
Malam itu, di kamar Arga, suasana terasa berbeda. Tirai jendela ditutup rapat, menghalangi cahaya bulan dan gemerlap lampu kota. Lampu utama dimatikan, digantikan oleh enam lilin putih yang mereka letakkan di sekeliling papan Ouija. Api lilin menari-nari, memantulkan bayangan aneh di dinding kamar, menambah nuansa mistis yang mencekam. Aroma lilin bercampur dengan bau apak papan Ouija yang masih sedikit menempel.
Mereka duduk bersila di lantai, membentuk lingkaran mengelilingi papan. Di tengah, planchette berbentuk hati itu terasa dingin di bawah sentuhan jari mereka. Arga duduk di sebelah Candra, yang di sebelahnya ada Erika. Dania duduk berhadapan dengan Bima, dan Farah duduk di antara Dania dan Arga. Ketegangan menggantung di udara, lebih pekat dari asap lilin yang mengepul.
"Baik, jadi... bagaimana caranya?" tanya Dania, suaranya sedikit bergetar. Dia mencoba terdengar berani, tapi nada gugupnya jelas. Dia merasa perutnya melilit, sebuah firasat buruk yang dia coba abaikan.
Bima mengeluarkan sebuah buku tua yang dia temukan di gudang bersama papan itu. "Di sini tertulis, kita harus meletakkan jari telunjuk kita di atas planchette, dan semua orang harus fokus. Lalu, kita memanggil roh dengan pertanyaan spesifik." Dia membaca instruksi dengan suara pelan, berusaha menyembunyikan getaran di tangannya. Buku itu, yang sampulnya lusuh dan kertasnya menguning, memuat tulisan tangan kuno yang menjelaskan ritual Ouija secara mendalam, bukan hanya sebagai permainan. Di halaman depan, ada gambar siluet seorang wanita dengan rambut panjang dan mata hitam pekat, seolah menatap langsung ke arah mereka. Simbol-simbol yang sama dengan yang ada di papan Ouija juga terukir di sana.
"Apakah ini sungguhan?" bisik Erika, meskipun dia sudah meletakkan jari telunjuknya dengan ragu-ragu di atas planchette, mengikuti yang lain. Rasa takut mulai menyelinap, menembus lapisan kepura-puraannya.
"Kita akan cari tahu," jawab Candra, suaranya terdengar lebih percaya diri dari siapapun. Dia sudah lama merindukan sensasi seperti ini, sesuatu yang bisa memompa adrenalinnya dan membuktikan bahwa dia tidak takut pada apa pun. Candra selalu mencari cara untuk menonjol, untuk menjadi pusat perhatian, dan pengalaman ini, menurutnya, akan menjadi kisah epik yang bisa dia ceritakan berulang kali.
"Baiklah," kata Arga, mengambil napas dalam-dalam. "Kita semua sudah menempelkan jari?" Setelah memastikan semua orang meletakkan jari telunjuknya di planchette, ia memulai, mengulang kata-kata yang tertera di buku tua: "Wahai roh yang hadir, kami memanggilmu. Kami ingin berbicara denganmu. Apakah ada roh yang ingin berkomunikasi dengan kami?"
Keheningan memenuhi kamar. Hanya suara napas mereka yang teratur dan nyala lilin yang berkedip. Beberapa detik berlalu, terasa seperti keabadian. Tidak ada yang terjadi. Planchette tetap diam di tengah papan.
Dania menghela napas lega, namun ada sedikit kekecewaan juga. "Aku sudah bilang, ini tidak akan berhasil."
Tiba-tiba, suhu di dalam kamar mendadak anjlok. Dinginnya menusuk tulang, seolah mereka berada di dalam lemari es. Bulu kuduk mereka merinding serentak. Lilin-lilin berkedip-kedip liar, apinya memanjang dan memendek seolah ditiup angin tak kasat mata, meskipun tidak ada jendela yang terbuka. Aroma apak yang samar kini semakin pekat, bercampur dengan bau melati yang menusuk hidung, aroma yang aneh dan tidak wajar di tempat seperti itu.
Planchette mulai bergetar. Perlahan, sangat perlahan, ia bergerak. Semua mata terpaku pada benda kecil itu, menahan napas. Gerakannya tersentak-sentak, lalu mulai meluncur mulus. Pertama, ia bergerak ke arah huruf "Y", lalu ke "E", dan berhenti di "S".
"Ya!" seru Arga, suaranya tercekat. Mata mereka membulat, ketidakpercayaan bercampur dengan ketakutan.
"Ada... ada roh di sini," bisik Bima, matanya membelalak di balik kacamatanya. Tubuhnya gemetar hebat, namun rasa ingin tahu yang kuat menahannya untuk tidak menarik tangannya. Dia adalah seorang skeptis, namun pengalaman ini meruntuhkan semua argumen rasionalnya.
"Siapa namamu?" tanya Candra, suaranya sedikit bergetar, namun masih menyimpan nada keberanian yang disengaja.
Planchette bergerak lagi, kali ini lebih cepat dan tegas. R-A-T-R-I.
"Ratri..." gumam Farah, suaranya nyaris tak terdengar. Nama itu terasa familiar di telinganya, namun dia tidak tahu mengapa. Ada kesedihan yang mendalam dalam nama itu, seolah nama itu membawa beban masa lalu.
"Ratri," ulang Arga. "Apa yang kamu inginkan dari kami?"
Planchette berhenti di huruf "T". Lalu ke "U". Kemudian "K". "A". "R". "Tukar?" Arga mengerutkan kening.
"Maksudnya apa, Ratri?" tanya Dania, kini sedikit lebih berani, meskipun tubuhnya masih gemetar.
Planchette bergerak lagi, kali ini lebih cepat dan membentuk sebuah kalimat: "RAHASIA DENGAN RAHASIA."
Mereka saling pandang, bingung. "Rahasia dengan rahasia?" ulang Erika, nada suaranya terdengar jijik, seolah menuduh roh itu bermain-main. Dia belum sepenuhnya percaya, menganggap ini mungkin hanya lelucon teman-temannya.
Tiba-tiba, hembusan angin dingin menyapu kamar, memadamkan salah satu lilin. Aroma melati semakin menyengat, dan hawa dingin menusuk hingga ke sumsum tulang. Planchette bergerak cepat menuju angka "6", lalu kembali ke "Y".
"Enam orang..." bisik Bima, wajahnya memucat. "Kita ada enam orang."
Suasana semakin mencekam. Mereka tahu ini bukan lagi permainan. Roh yang mereka panggil benar-benar ada, dan ia menginginkan sesuatu dari mereka. Ketakutan yang sebelumnya hanya bisikan kini berubah menjadi raungan di benak mereka. Farah merasakan sesuatu yang lebih dalam, seolah roh itu bukan hanya sekadar entitas, melainkan sebuah cermin yang akan memantulkan kembali apa yang tersembunyi di hati mereka.
Tiba-tiba, planchette bergetar hebat. Jari-jari mereka seperti terpaku di atasnya, tidak bisa ditarik. Cahaya lilin yang tersisa berkedip-kedip gila. Aroma melati yang memualkan semakin kuat, seolah ada bunga melati yang mekar di dekat hidung mereka.
Bab 3 – Kerasukan Pertama
Gelombang energi dingin tiba-tiba menerpa mereka, membuat semua orang tersentak. Planchette berputar liar di atas papan, lalu dengan kekuatan tak terduga, melesat ke arah Arga. Tangan Arga, yang terpasang di planchette, terangkat paksa, dan tubuhnya ambruk ke belakang, menabrak dinding dengan suara keras. Mata Arga terpejam rapat, tubuhnya kejang-kejang. Planchette terlepas dari jarinya, melayang sejenak di udara, lalu jatuh di lantai dengan bunyi ‘klunting’ yang memekakkan telinga dalam keheningan yang tiba-tiba.
"Arga!" seru Dania panik, mencoba menggerakkan tubuhnya untuk mendekat, namun kakinya terasa kaku.
Candra terpaku di tempat, matanya membulat sempurna. Erika terkesiap, tangan menutup mulutnya, berusaha menahan jeritan. Bima, meskipun ketakutan, masih mencoba mencari penjelasan logis, namun otaknya terasa beku. Farah hanya bisa menatap Arga dengan tatapan kosong, seolah dia tahu apa yang akan terjadi. Ada keheningan yang mengerikan di dalam kamar, hanya napas terengah-engah mereka yang terdengar.
Kemudian, mata Arga terbuka. Bukan mata Arga yang mereka kenal. Irisnya memerah menyala, pupilnya melebar hingga nyaris memenuhi seluruh bola mata. Senyum lebar dan mengerikan tersungging di bibirnya, memperlihatkan deretan gigi yang tampak lebih tajam dari biasanya. Suara yang keluar dari tenggorokannya adalah suara yang asing, berat, serak, dan penuh kebencian.
"Kalian memanggilku..." suara itu mendesis, memecah keheningan. "Kalian membangunkanku dari tidur panjangku."
Mereka semua mundur, merangkak menjauh dari Arga yang kini tampak seperti orang asing. Ini bukan lagi Arga. Ini adalah... sesuatu yang lain.
"Siapa... siapa kamu?" tanya Bima, suaranya bergetar hebat. Dia tidak bisa lagi berpikir logis. Semua yang dia pelajari tentang sains dan logika seolah lenyap di hadapan fenomena ini.
"Aku adalah Ratri," desis suara itu dari mulut Arga. "Dan kalian... kalian punya banyak rahasia."
Ketegangan mencapai puncaknya. Roh itu benar-benar merasuki Arga. Ini bukan sandiwara. Ini nyata.
"Apa yang kamu inginkan?" tanya Candra, berusaha tampil berani, meskipun tubuhnya gemetar tak terkendali.
Wajah Arga yang dirasuki menyeringai. "Kalian telah memanggilku, mengisi kekosonganku. Kini saatnya kalian membayar. Rahasia dengan rahasia. Aku akan membantu kalian mengungkapkan kebenaran. Kebenaran yang kalian sembunyikan." Mata merah itu menatap tajam satu per satu dari mereka. Tatapan itu menelanjangi jiwa, seolah melihat langsung ke dalam pikiran terdalam mereka.
Lalu, tatapan itu berhenti pada Arga sendiri. Mata merah itu berkedip, seolah roh itu sedang menyesuaikan diri dengan tubuh barunya. "Kau... kau menyimpan banyak hal, bocah. Mari kita mulai denganmu."
Tiba-tiba, Arga yang dirasuki mulai tertawa. Tawa yang dingin, menusuk, dan memuakkan. Lalu, dengan suara yang masih serak namun kini terdengar sedikit lebih mirip suara Arga, bercampur dengan suara asing, ia mulai berbicara.
"Aku... aku pernah mencoba membunuh adikku."
Seketika, semua orang terkesiap. Mereka tahu Arga punya adik laki-laki, Rio, yang setahun lebih muda. Hubungan mereka memang tidak terlalu akur, sering bertengkar, tapi tidak pernah ada yang menyangka akan sejauh ini. Arga selalu menunjukkan diri sebagai kakak yang bertanggung jawab.
Arga yang dirasuki itu melanjutkan, seolah dipaksa untuk berbicara, dengan nada yang penuh penyesalan dan keputusasaan yang bukan miliknya. "Rio... dia selalu jadi kesayangan. Apa pun yang kulakukan, selalu dia yang dipuji. Aku benci itu. Suatu malam... saat dia tidur... aku mengambil bantal dan..." Suaranya tercekat, seolah Arga yang asli sedang melawan. "Aku menekannya ke wajahnya. Aku ingin dia berhenti bernapas. Aku ingin dia menghilang."
Dania menutup mulutnya dengan tangan, matanya berkaca-kaca. Erika memandang Arga dengan ngeri. Candra, untuk pertama kalinya, terlihat syok. Dia selalu menganggap Arga sebagai sosok yang teguh, seorang pemimpin yang tidak akan pernah melakukan hal sekeji itu. Bima hanya bisa menatap, wajahnya pucat pasi. Dia selalu mengagumi Arga, dan pengakuan ini meruntuhkan citra sempurna yang dia miliki tentang temannya.
Farah, sebaliknya, tidak terlihat terkejut. Ada tatapan memahami di matanya, seolah dia sudah lama mengetahui bahwa setiap manusia memiliki sisi gelap yang tersembunyi.
"Tapi... tapi aku tidak bisa melakukannya," suara Arga yang dirasuki berlanjut, nada suaranya penuh siksaan. "Aku berhenti. Aku lari dari kamarnya. Aku tidak pernah menceritakannya kepada siapa pun. Aku berpura-pura semuanya baik-baik saja." Suara itu kemudian berubah kembali menjadi desisan yang mengerikan. "Kau hidup dengan rasa bersalah itu, bocah. Rasa bersalah yang membusuk di dalam jiwamu."
Tiba-tiba, tubuh Arga yang dirasuki tersentak kuat. Matanya terpejam, dan ia ambruk tak sadarkan diri. Seketika, suhu di kamar kembali normal. Aroma melati perlahan memudar.
Dania segera menghampiri Arga, mengguncang bahunya. "Arga! Arga, bangun!"
Perlahan, Arga membuka matanya. Pandangannya kosong, bingung. "Ada apa? Apa yang terjadi?" Dia melihat teman-temannya yang menatapnya dengan tatapan campur aduk antara takut, kaget, dan jijik.
"Kau... kau dirasuki," kata Candra, suaranya masih terguncang. "Dan kau... kau mengatakan sesuatu yang mengerikan."
Arga berusaha mengingat, tapi kepalanya terasa berdenyut. "Aku tidak ingat apa-apa... hanya... mimpi buruk. Aku merasa sangat dingin."
Ketegangan di antara mereka tak terhindarkan. Rahasia terkelam Arga telah terbongkar, di hadapan semua teman-temannya, bahkan di hadapan dirinya sendiri. Ada rasa malu, takut, dan cemoohan yang samar di mata sebagian dari mereka. Arga mencoba untuk mengukur reaksi teman-temannya, mencari tahu apakah mereka percaya, apakah mereka akan menghakiminya. Hatinya mencelos ketika melihat tatapan Bima yang sebelumnya penuh kagum kini dipenuhi kekecewaan.
"Kita harus berhenti," kata Dania, suaranya tegas. "Ini gila. Kita harus berhenti sekarang!"
"Tidak bisa," desis suara yang tiba-tiba muncul dari arah papan Ouija, yang planchette-nya sudah kembali ke tengah. Planchette itu bergerak lagi, dengan gerakan yang lebih cepat dan lebih yakin dari sebelumnya. "Permainan sudah dimulai. Kalian sudah membayar dengan rahasia pertamamu. Sekarang, giliran berikutnya."
Semua mata tertuju pada planchette itu. Dengan gerakan yang menakutkan, planchette itu meluncur, bukan ke arah siapa pun di antara mereka, melainkan ke arah lambang bulan di papan. Lalu, ia berhenti sejenak, sebelum kembali bergerak, menunjuk ke arah Erika.
Erika tersentak. Wajahnya pucat pasi. "Tidak! Aku tidak mau! Ini bohong! Ini cuma akal-akalan kalian!" Dia berusaha menarik tangannya dari papan, tetapi jari-jarinya seolah terpaku kuat. Roh itu belum keluar, ia masih ada, mengendalikan papan itu, seolah ia bisa mengendalikan kehendak mereka. Sebuah sensasi dingin merayapi punggung Erika, seolah ada tangan tak kasat mata yang menjulur dari balik papan, meraihnya. Ketakutan yang selama ini dia sembunyikan di balik topeng kesombongannya kini menguasai dirinya sepenuhnya.
Arga, yang baru saja pulih dari kerasukan, menatap papan itu dengan ketakutan yang dalam. Dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan dia tahu, tidak ada jalan untuk melarikan diri dari permainan yang telah mereka mulai ini.
Bab 4 – Rasa Takut Menghantui
Erika merasakan gelombang dingin menyapu tubuhnya. Matanya terpejam erat, bibirnya bergetar, berusaha mengeluarkan suara, namun tak ada yang keluar. Jari-jarinya, yang terpasang di planchette, terasa kaku dan mati rasa. Udara di sekelilingnya menjadi berat, penuh dengan energi yang menekan, dan aroma melati kembali menusuk hidung, lebih kuat dan memuakkan dari sebelumnya. Dia bisa merasakan sensasi aneh, seperti ada sesuatu yang mencoba merayap masuk ke dalam dirinya, sebuah bisikan yang berdesir di telinganya, bukan dalam bahasa yang dia kenal, namun maknanya jelas: menyerah.
Lalu, tubuh Erika tersentak. Ia ambruk ke belakang, seperti Arga sebelumnya, namun tidak menabrak dinding. Matanya terbuka, tetapi sorotnya kosong, irisnya kini memancarkan warna merah yang sama dengan Arga sebelumnya. Senyum sinis tersungging di bibirnya, bukan senyum Erika yang angkuh, melainkan seringai dingin yang mengerikan.
"Kau pikir kau bisa lari, Erika?" suara serak, bukan miliknya, keluar dari tenggorokannya. Suara itu memiliki resonansi yang berbeda, lebih dalam, lebih tua, dan penuh ejekan. "Kau menyembunyikan dirimu di balik topeng kesempurnaanmu. Tapi aku melihatmu. Aku melihat semua kekotoranmu."
Dania, yang masih syok dengan pengakuan Arga, kini menatap Erika dengan ngeri. Candra yang sebelumnya paling antusias kini memucat, tangannya gemetar. Dia melihat pacarnya, tetapi yang berbicara bukanlah Erika. Bima menelan ludah, firasat buruknya kini menjadi kenyataan yang jauh lebih mengerikan. Farah hanya mengamati, seolah sudah mengantisipasi hal ini.
"Apa... apa yang dia sembunyikan?" tanya Candra, suaranya hampir tak terdengar. Meskipun takut, dia masih memiliki rasa penasaran yang besar, sebuah dorongan untuk mengetahui rahasia orang lain. Candra sendiri punya banyak rahasia, dan dia tahu, gilirannya akan segera tiba.
Erika yang dirasuki tertawa, tawa yang tidak wajar, tawa yang menusuk telinga. "Dia tidak sebaik yang kalian kira. Dia... dia seorang pembunuh, bukan?" Suara itu penuh ironi dan ejekan, seolah mengejek dirinya sendiri.
Kata "pembunuh" menggantung di udara, membuat semua orang terkesiap. Dania dan Arga saling pandang, bingung. Mustahil Erika seorang pembunuh.
Lalu, suara Erika yang dirasuki berubah, menjadi lebih berat, lebih dipaksakan, seolah Erika yang asli sedang berjuang untuk menahan pengakuan itu. "Aku... aku adalah penyebab kematian Jessica..." Suaranya bergetar, penuh penyesalan yang mendalam.
Jessica adalah teman sekolah mereka. Beberapa bulan yang lalu, Jessica ditemukan meninggal karena bunuh diri. Kejadian itu menggemparkan sekolah, dan penyebabnya selalu menjadi misteri.
"Jessica? Apa maksudmu?" tanya Bima, suaranya panik. Jessica adalah teman dekatnya di kelas. Bima merasa mual, tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
Erika yang dirasuki melanjutkan, dengan nada yang penuh siksaan dan rasa bersalah yang menusuk. "Aku... aku menyebarkan rumor tentang dia. Rumor tentang... tentang foto-foto pribadinya yang bocor. Aku tahu itu tidak benar, tapi aku ingin... aku ingin dia dihina. Aku ingin dia jatuh." Suaranya terdengar seperti bisikan, penuh dengan kepedihan yang mendalam. "Aku iri padanya. Dia cantik, populer, dan selalu jadi pusat perhatian. Aku benci melihatnya bersinar."
Air mata mulai mengalir dari mata merah Erika yang dirasuki. Ini adalah air mata Erika yang asli, air mata penyesalan yang selama ini dia sembunyikan. "Aku... aku menulis pesan-pesan anonim di media sosial, menghasut orang lain untuk membencinya. Aku memutarbalikkan fakta, membuat semua orang percaya dia adalah gadis nakal. Aku tidak tahu dia akan... akan bunuh diri." Suara itu tercekat, seolah dicekik oleh rasa bersalah yang tak terhingga. "Aku hanya ingin dia menderita sedikit... tapi dia... dia malah mati."
Semua orang terpaku. Pengakuan itu jauh lebih mengerikan dari apa yang mereka bayangkan. Candra menatap Erika dengan tatapan kosong, campuran antara jijik dan ketidakpercayaan. Erika, pacarnya, seorang pembully yang menyebabkan seseorang bunuh diri? Ini merusak citra sempurna yang dia miliki tentang gadis itu. Dania terisak pelan, tidak bisa membayangkan bahwa teman mereka bisa melakukan hal sekeji itu. Arga mengepalkan tangannya, marah dan kecewa. Bima merasa dunianya runtuh. Dia telah kehilangan Jessica, dan kini dia tahu penyebabnya adalah Erika. Ada rasa marah yang membakar di dalam dirinya.
Suara Ratri, yang lebih dalam dan penuh kepuasan, kembali mengambil alih. "Kau adalah pengecut, Erika. Kau membiarkan orang lain menanggung akibat dari kebencianmu. Dan kau... kau hidup dengan kebohongan itu, dengan senyuman palsu di wajahmu."
Tiba-tiba, tubuh Erika tersentak lagi, lebih kuat dari Arga. Matanya terpejam, dan ia ambruk tak sadarkan diri di lantai. Roh itu telah keluar.
Keheningan yang dingin kembali menyelimuti kamar. Aura ketakutan terasa lebih pekat dari sebelumnya. Aroma melati memudar, digantikan oleh bau anyir samar yang entah dari mana asalnya.
"Kita... kita harus pergi," bisik Dania, suaranya gemetar tak terkendali. "Kita harus keluar dari sini." Dia berusaha bangkit, namun tubuhnya terasa sangat lemah.
"Kita tidak bisa," kata Bima, suaranya serak. Dia menunjuk ke arah papan Ouija. Planchette telah kembali ke tengah, dan sekarang bergerak perlahan ke arah huruf "N", lalu "O". Kemudian kembali ke "W". "Now."
"Permainan belum selesai," bisik Farah, suaranya tenang, namun penuh kesedihan. Dia tahu bahwa ini adalah sebuah kutukan, sebuah siklus yang tidak akan berakhir sampai semua rahasia terungkap, dan harganya terbayar. "Dia menginginkan rahasia kita semua. Satu per satu."
Candra menatap Erika yang tergeletak tak sadarkan diri, lalu menatap teman-temannya. Raut wajahnya dipenuhi rasa takut. Dia tahu gilirannya bisa saja berikutnya. Rahasia yang dia simpan terasa seperti bara api yang membakar di dadanya, mengancam untuk meledak kapan saja.
Mereka semua duduk kembali, terperangkap dalam lingkaran ketakutan dan rasa bersalah. Tidak ada yang berani menarik diri dari lingkaran itu. Mereka telah mengundang kegelapan, dan kini kegelapan itu menuntut balas. Mereka semua adalah tawanan, terikat oleh benang merah rahasia yang mengerikan, dan Roh Ratri adalah dalang di balik semua itu. Ketegangan semakin meningkat, bukan hanya karena kehadiran roh, tetapi juga karena saling curiga yang mulai tumbuh di antara mereka. Mereka baru saja menyaksikan dua teman mereka, Arga dan Erika, mengungkap sisi tergelap mereka. Siapa lagi? Dan apa yang akan terungkap selanjutnya?
Bab 5 – Semakin Gelap
Suasana di kamar Arga kini terasa seperti penjara yang dingin, dipenuhi dengan kecurigaan dan ketakutan yang mencekik. Arga telah sadar, tapi pandangannya kosong dan penuh rasa malu. Erika juga telah siuman, namun tatapannya nanar, air mata terus mengalir tanpa suara, seolah jiwa di dalam dirinya telah rusak. Aroma anyir samar semakin kuat, bercampur dengan melati, menciptakan kombinasi bau yang memuakkan dan menyesakkan. Lilin-lilin yang masih menyala kini tampak seperti obor di kuburan, menerangi wajah-wajah pucat yang dipenuhi teror.
Planchette di papan Ouija kembali bergerak. Kali ini, ia meluncur pelan, seolah menikmati setiap momen ketakutan mereka, sebelum akhirnya berhenti di depan Candra.
Candra tersentak. Wajahnya seketika pucat pasi, lebih pucat dari siapapun di ruangan itu. Dia mencoba menarik tangannya, tapi seperti Arga dan Erika, jarinya seolah terpaku kuat pada planchette. Sebuah desisan dingin keluar dari papan itu, seolah Roh Ratri mengejek perlawanannya.
Tubuh Candra menegang. Matanya berkedip cepat, lalu terbuka lebar, memperlihatkan iris merah menyala yang mengerikan. Senyum sinis Ratri terukir di wajahnya, jauh lebih lebar dan kejam dari sebelumnya. Suara yang keluar dari tenggorokannya adalah desisan yang menggerus, penuh kepuasan yang brutal.
"Giliranmu, anak muda," desis Ratri melalui Candra. "Kau pikir kau bisa menyembunyikan sisi bejatmu di balik topeng keberanianmu? Kau salah. Aku melihat semua."
Dania memejamkan mata, tidak sanggup melihat apa yang akan terungkap selanjutnya. Bima mengepalkan tangannya, bersiap mendengar kebenaran mengerikan lainnya. Arga dan Erika hanya bisa menatap kosong, terperangkap dalam siksaan dan rasa bersalah mereka sendiri.
"Ceritakan pada mereka, Candra," desis Ratri. "Ceritakan pada teman-temanmu, apa yang kau lakukan di pesta kelulusan itu. Tentang gadis itu... Maya."
Nama Maya membuat semua orang terkesiap. Maya adalah salah satu teman sekolah mereka, seorang gadis pendiam yang tiba-tiba pindah sekolah setelah pesta kelulusan setahun yang lalu, tanpa penjelasan. Rumor beredar bahwa dia mengalami depresi berat, tetapi tidak ada yang tahu penyebab pastinya.
Suara Candra yang dirasuki keluar, serak, dipaksakan, penuh rasa jijik pada dirinya sendiri. "Aku... aku memperkosa Maya..."
Ruangan itu hening seketika. Sebuah keheningan yang lebih memekakkan telinga dari jeritan apapun. Dania tersentak, menutup mulutnya dengan kedua tangan, air mata langsung mengalir di pipinya. Bima merasa mual, ingin muntah. Arga mengepalkan tangannya begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Erika, meskipun terganggu dengan rahasianya sendiri, merasakan gelombang jijik yang luar biasa.
Candra selalu digambarkan sebagai playboy, penakluk wanita, tetapi tidak ada yang menyangka dia akan melakukan hal sekeji itu.
"Dia... dia terlalu banyak minum," suara Candra yang dirasuki melanjutkan, nada penyesalan yang dalam memenuhi suaranya, seolah Candra yang asli sedang berjuang menentang Ratri. "Aku... aku mengikutinya ke kamar kosong. Aku tahu dia tidak sadar. Tapi aku... aku tidak peduli. Aku hanya ingin... aku hanya ingin memilikinya." Suaranya tercekat, penuh dengan penyesalan yang dalam. "Aku memaksanya. Aku tahu itu salah. Aku tahu dia tidak ingin. Tapi aku melakukannya."
Dania terisak histeris. "Candra! Bagaimana bisa kau melakukan itu?!"
Candra yang dirasuki mendongak, matanya yang merah menyala menatap Dania dengan tatapan kosong, seolah tidak melihatnya. "Aku... aku takut. Aku panik setelahnya. Aku meninggalkannya begitu saja. Dan aku... aku tidak pernah memberitahu siapa pun. Aku selalu berpura-pura tidak tahu apa-apa saat rumor tentang Maya menyebar."
Ratri kembali mengambil alih, suaranya penuh kepuasan sadis. "Kau pengecut, Candra. Kau membiarkan seorang gadis menderita dalam kesendirian, sementara kau terus berpura-pura menjadi pahlawan. Kau adalah sampah."
Tubuh Candra yang dirasuki tersentak kuat, lalu ambruk tak sadarkan diri di lantai. Roh itu telah keluar, meninggalkan jejak kekejian yang tak terhingga.
Farah menatap Bima. Sebuah isyarat tanpa kata yang membuat Bima mengerti. Bima menelan ludah, firasatnya mengatakan gilirannya akan tiba. Dan memang benar. Plancette itu kini bergerak, meluncur tanpa ragu, berhenti tepat di depan Bima.
Bima menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu gila. Dia sudah menduga ini. Dia tahu rahasianya adalah yang paling berat. Matanya memejam.
Tubuhnya menegang, lalu ambruk seperti yang lain. Mata Bima terbuka, merah menyala. Suara Ratri keluar, penuh kekuasaan yang absolut. "Kau, si pintar. Kau pikir kau bisa menyembunyikan keculasanmu di balik buku-buku tebalmu? Aku melihatmu."
"Apa... apa yang dia lakukan?" tanya Arga, suaranya nyaris berbisik. Setelah mendengar pengakuan Candra, dia tidak yakin apa lagi yang bisa mengejutkannya.
Bima yang dirasuki menghela napas panjang, sebuah desahan kesakitan yang dalam. Suaranya, yang biasanya cerdas dan tenang, kini terdengar pecah dan penuh dengan rasa sakit yang mendalam. "Aku... aku telah mengkhianati sahabatku sendiri..."
Sahabat Bima adalah Kevin, teman sebangku yang selalu bersamanya sejak SMP. Kevin adalah seorang yatim piatu yang berjuang keras untuk mendapatkan beasiswa ke universitas impian mereka. Bima dan Kevin adalah rival sekaligus sahabat, selalu bersaing secara sehat dalam akademik.
"Aku... aku menukar jawaban ujian Kevin. Saat ujian masuk universitas..." Suara itu tercekat. "Kevin... dia sangat mengandalkanku. Kami belajar bersama, kami berjanji akan saling membantu."
"Aku menukar jawabannya dengan jawaban yang salah. Aku sengaja melakukannya." Suara itu penuh dengan kepahitan. "Aku tahu dia pasti gagal. Aku tahu dia tidak akan bisa masuk universitas impian kami. Dan dia... dia memang gagal. Dia sangat terpukul. Dia putus asa dan tidak pernah mencoba lagi."
Dania terkesiap. "Bima! Mengapa kau melakukan itu?!"
"Aku takut..." suara Bima yang dirasuki berbisik, air mata mengalir di pipinya. Air mata kesakitan yang murni. "Aku takut dia lebih pintar dariku. Aku takut dia akan mengalahkanku. Aku ingin menjadi yang terbaik. Aku ingin orang tuaku bangga padaku." Dia tidak pernah cukup baik bagi orang tuanya, selalu di bawah bayang-bayang kakaknya yang sempurna. Keinginan untuk diakui, untuk menjadi yang terbaik, mendorongnya melakukan kejahatan ini. "Aku... aku menghancurkan mimpinya. Aku menghancurkan hidupnya. Dan aku hidup dengan kebohongan itu setiap hari."
Suara Ratri kembali, penuh ejekan. "Kau adalah pengecut, Bima. Kau merenggut masa depan sahabatmu demi ambisimu yang picik. Kau tidak lebih baik dari mereka."
Tubuh Bima tersentak hebat, dan ia ambruk tak sadarkan diri.
Keheningan yang mengerikan kembali menyelimuti kamar. Aroma anyir semakin kuat, bau busuk yang memualkan. Lilin-lilin berkedip-kedip semakin lemah, seolah energi mereka terkuras habis. Mereka semua duduk terpaku, saling memandang dengan tatapan campur aduk antara jijik, takut, dan rasa bersalah yang menusuk. Mereka telah menyaksikan teman-teman mereka mengungkapkan sisi tergelap mereka, sisi yang tidak pernah mereka bayangkan ada. Tidak ada yang benar-benar "baik" di antara mereka. Semua orang menyimpan rahasia busuk yang kini terbongkar.
Dania menatap Farah. Kini hanya mereka berdua yang belum dirasuki. Dania tahu gilirannya bisa saja berikutnya. Ketakutan itu memuncak. Dia merasa dirinya mulai gila.
Bab 6 – Pemain Terakhir
Suasana di kamar Arga kini terasa begitu berat, seolah udara itu sendiri terbebani oleh pengakuan-pengakuan mengerikan yang baru saja terungkap. Cahaya lilin yang semakin meredup melemparkan bayangan-bayangan panjang yang menari-nari di dinding, menambah kesan angker. Arga, Erika, dan Bima tergeletak tak sadarkan diri di lantai, atau duduk tersandar dengan tatapan kosong, wajah mereka pucat pasi, bekas air mata dan keringat dingin menghiasi wajah mereka. Candra juga sama, tubuhnya gemetar, matanya terpaku pada papan Ouija.
Kini hanya Dania dan Farah yang masih sepenuhnya sadar, meskipun ketakutan telah merenggut sebagian jiwa mereka. Aroma anyir dan melati semakin pekat, memenuhi ruangan hingga menyesakkan napas. Mereka berdua duduk berhadapan dengan planchette yang masih di tengah papan, seolah menunggu mangsa berikutnya.
Dania merasakan jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul dadanya seperti genderang perang. Dia tahu gilirannya sudah dekat. Rahasia yang dia simpan, sebuah rahasia yang telah menghantuinya selama bertahun-tahun, kini terasa seperti bom waktu yang siap meledak. Dia adalah orang yang selalu mencoba menjadi periang, menyembunyikan beban di baliknya. Dania adalah anak tunggal dari keluarga yang sangat religius, dan dia selalu berjuang untuk memenuhi ekspektasi orang tuanya. Ada sesuatu yang dia lakukan di masa lalu, sesuatu yang akan menghancurkan citra dirinya sepenuhnya.
Planchette bergerak lagi, perlahan namun pasti, meluncur ke arah Dania.
Dania memejamkan mata erat-erat, air mata mengalir dari sudut matanya. "Tidak... tidak..." bisiknya, namun suaranya terlalu lemah. Dia tidak bisa menarik tangannya. Jari-jarinya terasa terpaku pada planchette, terikat pada nasib mengerikan ini.
Tubuh Dania tersentak kuat, tubuhnya ambruk ke belakang, lalu menegang. Matanya terbuka, tetapi bukan mata Dania yang ramah. Irisnya merah menyala, dan senyum Ratri yang kejam terukir di bibirnya. Kali ini, senyum itu lebih lebar, lebih memuakkan, seolah roh itu sudah lama menanti momen ini.
"Akhirnya, si munafik," desis suara Ratri melalui Dania, lebih tajam dan menusuk dari sebelumnya. "Kau selalu berpura-pura menjadi gadis baik-baik, anak Tuhan yang patuh. Tapi kau menyimpan dosa yang bahkan kau sendiri tak berani mengakuinya."
Candra menatap Dania dengan ngeri. "Apa lagi ini?" gumamnya, suaranya penuh rasa muak.
Dania yang dirasuki tertawa, tawa yang menusuk tulang. Tawa yang sama seperti tawa yang keluar dari tubuh Arga dan Erika. "Dia adalah pendusta! Dia menghancurkan keluarga sendiri dengan kebohongannya!"
Kemudian, suara Ratri bercampur dengan suara Dania yang terdistorsi, penuh penyesalan dan keputusasaan. "Aku... aku menggugurkan bayiku..."
Mendengar itu, semua orang terkesiap. Sebuah keheningan yang lebih pekat dari malam itu sendiri menyelimuti kamar. Arga, Erika, dan Bima yang setengah sadar, kini tersentak, mencoba memahami apa yang mereka dengar. Ini adalah kejutan yang paling besar. Dania, gadis polos dan religius, melakukan hal seperti itu?
"Aku... aku hamil dengan pacarku. Dia... dia tidak mau bertanggung jawab. Aku takut... aku takut orang tuaku tahu. Aku takut semua orang akan menghakimiku. Aku takut akan mencoreng nama baik keluargaku." Suara itu bergetar, penuh dengan rasa sakit yang tak terlukiskan. "Aku pergi ke klinik gelap. Aku melakukannya sendiri. Aku membunuh bayiku sendiri."
Air mata mengalir deras dari mata merah Dania yang dirasuki. Ini adalah tangisan penyesalan yang mendalam, tangisan yang telah dia pendam selama bertahun-tahun. "Aku... aku bilang kepada orang tuaku aku keguguran karena kecelakaan. Aku berbohong kepada semua orang. Aku berpura-pura tidak pernah terjadi apa-apa. Tapi setiap malam... setiap malam aku mendengar tangisan bayi." Suaranya tercekat. "Aku adalah pembunuh. Aku adalah monster."
Suara Ratri kembali mendominasi, penuh kepuasan. "Kau membiarkan ketakutanmu mengambil alih, Dania. Kau membunuh bagian dari dirimu sendiri untuk mempertahankan citra palsu. Dan sekarang... sekarang kau akan membayar."
Tubuh Dania tersentak hebat, lalu ambruk tak sadarkan diri di lantai. Ia tergeletak di samping yang lain, wajahnya pucat, air mata masih membasahi pipinya.
Kini hanya Farah yang tersisa. Dia duduk tegak, matanya tenang, menatap planchette yang kini bergerak ke arahnya. Farah tidak mencoba melawan, tidak ada ketakutan di matanya, hanya penerimaan yang sunyi. Dia tahu dia adalah yang terakhir, dan dia sudah lama menanti momen ini. Dia adalah yang paling tulus, tetapi juga yang paling terbebani.
Planchette berhenti tepat di depannya. Aroma melati begitu kuat hingga terasa seperti mencekik. Hawa dingin merambat di sekujur tubuhnya, menembus kulit dan tulang. Tanpa perlawanan, Farah meletakkan jarinya di atas planchette.
Tubuhnya tersentak, tidak ambruk seperti yang lain, melainkan menegang. Matanya terbuka, irisnya tidak lagi merah menyala, melainkan hitam pekat, sedalam jurang tak berdasar. Senyum yang terukir di bibirnya bukanlah senyum Ratri yang sinis, melainkan senyum yang jauh lebih mengerikan, senyum yang dingin, kosong, dan tidak manusiawi.
"Kalian memanggilku," suara itu keluar dari tenggorokan Farah, bukan desisan Ratri, melainkan suara seorang wanita yang jernih, namun penuh dengan otoritas dan kekuasaan yang absolut. Suara itu adalah suara Ratri yang asli, suara yang tidak lagi membutuhkan perantara. Suara itu menggema di seluruh ruangan, seolah berasal dari mana-mana. "Kalian menyuruhku bekerja. Kalian memaksa rahasia-rahasia ini terungkap."
Mereka yang setengah sadar kini mendongak, mencoba memahami. Candra menatap Farah, matanya melebar dalam ketakutan yang murni. Ini berbeda. Ini bukan kerasukan yang sama. Ini adalah... penguasaan penuh.
Farah yang dirasuki berdiri. Gerakannya anggun, namun penuh dengan kekuatan tak terlihat. Lilin-lilin di sekeliling papan Ouija tiba-tiba padam satu per satu, bukan karena tiupan angin, melainkan seperti dihantam kekuatan tak kasat mata. Kegelapan menyelimuti kamar, hanya sedikit cahaya samar yang masuk dari celah tirai.
"Kini saatnya kalian membayar," suara Farah yang dirasuki bergema di kegelapan. "Rahasia punya harga. Dan harganya... adalah nyawa."
Tiba-tiba, lampu padam. Bukan hanya lampu kamar, melainkan seluruh rumah. Kegelapan total menyelimuti mereka, tebal dan mencekik. Hanya kegelapan dan suara napas ketakutan mereka yang terdengar. Di tengah kegelapan itu, mereka mendengar suara langkah kaki Farah, perlahan namun pasti, mendekat. Dan kemudian, sebuah suara lain.
Suara gesekan logam yang menusuk telinga. Suara pisau.
Bab 7 – Teror Berdarah
Kegelapan total memenuhi kamar, lebih pekat dari malam tergelap sekalipun. Aroma anyir yang sebelumnya samar kini terasa begitu kuat, menusuk hidung, seolah mereka berada di rumah jagal. Bau melati yang memuakkan bercampur dengan bau darah segar yang belum tercium, namun sudah tercium oleh insting ketakutan mereka. Detak jantung mereka berpacu gila, menggema di telinga mereka sendiri, lebih keras dari suara apapun.
"Di mana dia?" bisik Candra panik, suaranya bergetar. Dia merangkak mundur, mencari dinding untuk bersandar. Dia bisa mendengar napas teman-temannya yang terengah-engah di sekelilingnya, namun dia tidak bisa melihat apa pun.
Tiba-tiba, sebuah jeritan menusuk telinga memecah keheningan yang mencekam. Jeritan itu adalah jeritan Arga. Jeritan yang singkat, terputus, penuh dengan kepedihan yang luar biasa, seolah-olah dicekik secara brutal. Lalu, suara benda basah yang terlepas dari tubuh, diikuti suara ‘plop’ di lantai.
Semua orang terkesiap. Mereka tahu Arga adalah korban pertama.
"Arga!" teriak Dania, suaranya pecah, di tengah kegelapan.
Namun tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang lebih mencekam, diselingi suara isakan pelan Dania. Kemudian, mereka mendengar suara langkah kaki Farah, pelan dan tanpa suara, seperti bayangan yang bergerak di kegelapan. Mereka tidak tahu ke mana dia bergerak, ke arah siapa dia akan menyerang berikutnya. Kegelapan telah menjadi sekutu sang pembunuh.
"Dia... dia mengambil jantungnya," bisik Bima, suaranya bergetar hebat. Dia mengingat kata-kata Ratri di Bab 6: "Rahasia punya harga. Dan harganya... adalah nyawa." Dan kalimat "Rahasia punya harga" ditulis dengan darah di akhir cerita. Harga yang harus dibayar adalah jantung, inti dari setiap rahasia yang tersembunyi.
Sebuah suara terkesiap lagi. Kali ini, suara Erika. Suara yang penuh dengan rasa sakit yang tak terlukiskan, namun lebih pendek dari jeritan Arga, seolah dia tidak sempat berteriak panjang. Disusul suara ‘plop’ yang sama.
"Erika!" teriak Candra, tidak lagi peduli dengan topeng keberaniannya. Dia merangkak lebih cepat, mencoba mencapai pintu kamar. Dia harus keluar dari sini. Ketakutan telah mengambil alih dirinya. Dia bisa mendengar suara langkah kaki Farah, mendekat ke arahnya.
"Kau tidak bisa lari, Candra," suara Farah yang dingin dan tidak manusiawi itu bergema di kegelapan, seolah datang dari segala arah, bukan dari satu titik. "Kau sudah membayar dengan rahasiamu. Kini saatnya membayar dengan nyawamu."
Suara gesekan logam yang menusuk telinga semakin dekat. Candra mencoba bangkit, tapi kakinya gemetar. Dia merasakan napas dingin di tengkuknya. Sebuah tangan yang kuat mencengkeram bahunya.
Candra menjerit, sebuah jeritan yang penuh keputusasaan. Dia berjuang, meronta, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman yang tak terlihat. Suara pergelutan, benturan tubuh, dan napas terengah-engah Candra yang panik. Lalu, sebuah suara robekan yang mengerikan. Candra menjerit untuk terakhir kalinya, jeritan yang putus, disusul suara ‘plop’ yang lebih keras dan menjijikkan.
Bima terisak pelan. Dia bisa mencium bau darah yang kini semakin kuat, bau logam yang memualkan. Udara terasa tebal dan panas, meskipun suhu ruangan dingin. Dia bisa mendengar suara napas Farah yang berat, namun tanpa suara, seolah dia tidak bernapas seperti manusia biasa.
"Sekarang giliranmu, Bima," suara dingin itu berbisik, langsung di samping telinganya.
Bima tersentak. Dia merangkak mundur, secepat yang dia bisa. Dia merasakan dinding di belakangnya. Tidak ada jalan keluar. Dia terpojok.
"Kau menghancurkan mimpi orang lain," suara itu melanjutkan, kini terdengar lebih dekat, lebih mengancam. "Kini, impianmu akan hancur bersama dengan hidupmu."
Bima merasakan sesuatu yang dingin dan tajam menempel di dadanya. Dia memejamkan mata, menunggu. Dia tidak bisa berteriak, suaranya tercekat di tenggorokan. Sebuah kekuatan tak terlihat menekan tubuhnya ke dinding.
"Tidak!" Bima menjerit dalam hati. Dia tidak ingin mati. Dia belum siap mati.
Suara robekan yang mengerikan kembali terdengar, lebih dekat dari sebelumnya. Bima merasakan sakit yang luar biasa, rasa sakit yang membakar di dadanya. Dia terkesiap, dan pandangannya mulai kabur. Sebelum kegelapan merenggutnya, dia mendengar suara ‘plop’ yang terakhir.
Kini hanya Dania yang tersisa, sendirian di tengah kamar yang penuh mayat. Dia terisak, menggigil hebat. Dia bisa merasakan darah di sekelilingnya, mencium bau kematian yang pekat. Dia tahu dia adalah yang terakhir. Dia mendengar langkah kaki Farah yang mendekat, pelan namun penuh tujuan.
Dania mencoba merangkak, mencari tempat bersembunyi. Dia meraba-raba di kegelapan, mencari pintu, jendela, apa pun yang bisa memberinya jalan keluar. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya. Dia ingin berteriak, tapi ketakutan telah membungkamnya.
"Kau tidak bisa lari dari takdirmu, Dania," suara Farah yang tidak manusiawi itu berbisik dari belakangnya. Suara itu terasa seperti bisikan langsung di otaknya, bukan melalui udara. "Kau bersembunyi di balik doa-doamu, tapi kau adalah pendosa terbesar."
Dania merasakan tangan dingin mencengkeram rambutnya, menariknya ke belakang. Dia menjerit, sebuah jeritan singkat yang terputus. Dia mencoba meronta, mencakar, menendang, tetapi cengkeraman itu terlalu kuat. Sebuah kekuatan tak terlihat mengangkatnya, lalu membantingnya ke lantai. Rasa sakit menusuk seluruh tubuhnya.
"Kau membayar dengan darah. Kalian semua membayar dengan darah," suara itu mendesis, penuh kepuasan yang brutal.
Dania merasakan rasa sakit yang luar biasa di dadanya. Dia terkesiap, napasnya tercekat. Pandangannya menggelap. Dia bisa merasakan sensasi dingin dan lengket di tangannya. Dia mencoba meraih, tapi tubuhnya sudah terlalu lemah.
Dia mendengar suara ‘plop’ yang terakhir, diikuti oleh keheningan yang absolut.
Bab 8 – Pembayaran Selesai
Keheningan yang mematikan kini menyelimuti kamar Arga. Kegelapan masih pekat, tanpa satu pun cahaya yang menyusup masuk. Bau darah yang menusuk hidung terasa sangat kuat, seolah meresap ke dalam pori-pori kulit. Lima mayat tergeletak di lantai, tanpa jantung, dalam posisi yang mengerikan, seolah-olah mereka telah disiksa sebelum mati. Suara napas tidak ada, hanya keheningan yang kosong.
Di tengah kegelapan itu, terdengar suara langkah kaki yang pelan, tenang, langkah kaki Farah. Sebuah kilatan cahaya samar muncul, hanya cukup untuk memperlihatkan siluet Farah yang berdiri di tengah lingkaran kematian. Di tangannya, sebuah pisau panjang berlumuran darah segar, memantulkan sedikit cahaya dari bulan yang samar-samar menembus celah tirai.
Wajah Farah, yang sebelumnya pendiam dan sedih, kini tersenyum. Bukan senyum Farah yang biasa, melainkan senyum yang dingin, kosong, dan tidak manusiawi. Matanya, yang sebelumnya hitam pekat, kini memancarkan cahaya merah samar, seolah dia telah menyerap semua kejahatan yang terungkap malam ini.
"Kini semua lunas," suara Farah yang tidak manusiawi itu bergema di dalam kamar, suaranya jernih namun dingin, penuh dengan otoritas yang absolut. Tidak ada lagi desisan Ratri yang terdistorsi. Ini adalah suara Roh Ratri yang telah sepenuhnya mengambil alih, suara yang puas atas pembalasan yang telah dia dapatkan. "Rahasia punya harga. Dan kalian telah membayarnya. Dengan darah."
Ia menatap mayat-mayat yang tergeletak di kakinya, satu per satu. Arga, Erika, Candra, Bima, dan Dania. Mereka semua telah membayar harga atas rahasia gelap mereka. Farah yang dirasuki kemudian mengangkat pisau berlumur darah itu.
Dengan gerakan yang anggun, ia menusukkan pisau itu ke jantungnya sendiri. Tidak ada jeritan, tidak ada suara rintihan. Hanya suara ‘plop’ yang terakhir, yang jauh lebih pelan dari suara-suara sebelumnya, seolah itu adalah suara tetesan darah yang terakhir.
Tubuh Farah terhuyung, lalu ambruk ke lantai, menimpa genangan darah yang sudah membasahi karpet. Pisau itu tertancap dalam di dadanya, tempat jantungnya seharusnya berada. Darah segar menyembur keluar, membasahi tubuhnya dan karpet di sekitarnya.
Beberapa detik berlalu. Lalu, sebuah cahaya samar muncul dari tubuh Farah, berdenyut pelan, lalu menghilang ke dalam kegelapan. Seketika itu juga, aroma melati dan anyir menghilang, digantikan oleh bau anyir darah yang menusuk hidung. Suhu di kamar kembali normal. Lampu utama di kamar itu tiba-tiba menyala, seperti sihir.
Cahaya lampu menerangi pemandangan mengerikan di dalam kamar.
Mayat Arga, Erika, Candra, Bima, dan Dania tergeletak dalam genangan darah, dengan lubang menganga di dada mereka. Di samping mereka, tergeletak tubuh Farah, dengan pisau tertancap di dadanya, dan darah mengalir deras dari luka itu.
Di dinding, di samping papan Ouija, sebuah tulisan tangan yang terbuat dari darah terukir jelas:
"Rahasia punya harga."
Tulisan itu terlihat seperti tulisan tangan Farah, tetapi dengan kerapian yang menyeramkan.
Papan Ouija itu sendiri tergeletak di lantai, di antara genangan darah. Planchette-nya terlempar jauh, terpisah dari papan. Papan itu tampak kotor, seolah telah menyerap semua kekejian yang terjadi di sana. Simbol matahari dan bulan yang terukir di papan itu kini terlihat lebih gelap, lebih menyeramkan.
Seolah-olah roh Ratri telah menyelesaikan misinya, mengumpulkan semua rahasia dan menuntut bayaran yang telah dijanjikan. Ia telah menggunakan Farah sebagai wadah terakhirnya, sebagai alat untuk menuntaskan pembalasan dendamnya. Dan kini, ia kembali ke tempat asalnya, mungkin ke papan itu sendiri, menunggu korban berikutnya.
Bab 9 – Lingkaran Baru
Pagi harinya, mentari bersinar cerah, menembus celah-celah tirai rumah Arga yang kini terbuka lebar. Namun, kecerahan itu tidak bisa menyembunyikan kengerian yang tersembunyi di dalamnya. Jeritan pertama terdengar dari tetangga yang kebetulan lewat dan melihat pintu rumah terbuka lebar. Tak lama kemudian, sirene polisi dan ambulans memecah keheningan pagi. Warga berkerumun di sekitar rumah, mata mereka dipenuhi rasa ingin tahu yang mengerikan dan ketakutan.
Polisi memasuki kamar Arga dan menemukan pemandangan yang tak pernah mereka lupakan. Enam mayat remaja tergeletak berserakan di lantai, semuanya tanpa jantung. Mayat Arga, Erika, Candra, Bima, dan Dania, dan di tengah-tengah mereka, mayat Farah dengan pisau tertancap di dadanya. Bau anyir darah memenuhi ruangan, dan noda darah ada di mana-mana. Tulisan "Rahasia punya harga" yang terbuat dari darah di dinding menambah nuansa misteri yang mengerikan.
Penyelidikan besar-besaran pun dilakukan. Namun, tidak ada jejak pelaku. Tidak ada sidik jari lain selain sidik jari keenam remaja itu. Pintu dan jendela terkunci dari dalam. Tidak ada tanda-tanda perampokan atau orang asing yang masuk. Para petugas kepolisian kebingungan. Bagaimana mungkin enam orang remaja tewas secara brutal di dalam ruangan terkunci tanpa adanya pelaku eksternal? Dan mengapa jantung mereka hilang?
Penyebab kematian ditetapkan sebagai pembunuhan massal yang misterius, dengan Farah sebagai pelaku utama, berdasarkan pisau yang ditemukan tertancap di dadanya dan tulisan darah di dinding. Namun, motifnya tetap menjadi misteri. Mengapa Farah membunuh teman-temannya sendiri, lalu bunuh diri? Apakah dia gila? Atau ada kekuatan lain yang bermain?
Cerita tentang pembantaian di rumah tua itu menyebar dengan cepat ke seluruh kota, berubah menjadi legenda urban yang menakutkan. Rumah itu kini dicap sebagai rumah berhantu, tempat di mana roh-roh jahat bersemayam dan menuntut balas. Kisah tentang Ouija, rahasia-rahasia gelap yang terbongkar, dan kematian brutal, menjadi topik hangat di kalangan remaja. Mereka berbisik-bisik tentang Ratri, roh wanita yang konon menghantui rumah itu, menunggu korban berikutnya.
Di antara desas-desus yang beredar, sebuah teori samar muncul: bahwa roh Ratri telah merasuki Farah, memaksanya untuk membongkar rahasia teman-temannya, dan kemudian membunuh mereka sebagai harga dari rahasia yang terungkap. Teori ini didukung oleh kesaksian beberapa orang yang mengenal keenam remaja itu, yang mengatakan bahwa mereka telah terlihat membawa papan Ouija ke rumah Arga pada malam kejadian. Namun, tidak ada bukti konkret untuk mendukung teori supranatural ini, dan polisi menolaknya sebagai takhayul.
Malam harinya, di sebuah rumah kosong yang berbeda, berjarak beberapa kilometer dari rumah Arga, sekelompok remaja lain berkumpul. Mereka adalah siswa-siswa dari sekolah yang sama, mungkin teman-teman sekelas atau kenalan dari keenam korban sebelumnya, yang mendengar desas-desus tentang papan Ouija dan kisah mengerikan yang menyertainya. Rasa ingin tahu, keberanian bodoh, dan sedikit bumbu kenakalan remaja, mendorong mereka untuk mencari pengalaman yang sama.
Mereka baru saja menemukan sebuah papan Ouija tua yang tampak identik dengan papan yang ditemukan di rumah Arga, mungkin dari sumber yang sama, atau mungkin papan itu sendiri memiliki banyak salinan, atau bahkan berpindah tangan secara misterius. Ada yang bilang papan Ouija yang asli memiliki kemampuan untuk mereplikasi diri, atau mungkin hanya legenda yang beredar.
Lilin-lilin dinyalakan, diletakkan di sekeliling papan. Cahaya redup menerangi wajah-wajah muda yang dipenuhi campuran antusiasme dan ketakutan yang samar. Salah satu dari mereka, seorang gadis dengan rambut panjang sebahu dan mata lebar yang penuh rasa ingin tahu, membaca petunjuk dari sebuah buku tua yang mereka temukan bersama papan itu. Buku itu tampak persis seperti buku yang ditemukan Bima.
"Wahai roh yang hadir, kami memanggilmu," suara gadis itu bergema di dalam rumah kosong. "Kami ingin berbicara denganmu. Apakah ada roh yang ingin berkomunikasi dengan kami?"
Keheningan melingkupi mereka, diiringi suara napas yang tertahan. Aroma melati yang samar mulai tercium di udara, aroma yang asing dan menenangkan sekaligus mengancam. Beberapa detik berlalu. Lalu, suhu di dalam rumah itu mendadak anjlok. Dinginnya menusuk tulang. Lilin-lilin berkedip-kedip liar.
Planchette di papan Ouija mulai bergetar. Perlahan, sangat perlahan, ia bergerak. Pertama, ia meluncur ke arah huruf "Y", lalu ke "E", dan berhenti di "S".
Senyum samar tersungging di bibir gadis itu. "Ada..." bisiknya, suaranya dipenuhi campuran ketakutan dan kegembiraan yang mengerikan.
Lingkaran telah berulang. Roh Ratri telah menemukan korban baru, siap untuk memulai kembali permainannya yang kejam, menuntut pembayaran atas rahasia yang tersembunyi. Siklus teror, yang bersembunyi di balik papan berukir kuno itu, terus berputar, tak berkesudahan, menunggu mangsa berikutnya yang berani memanggilnya.