Cerpen
Disukai
6
Dilihat
1,418
Novel Tanpa Akhir
Horor

Buku Tanpa Judul

Andra mengusap debu dari punggung buku itu, napasnya terasa berat, bercampur dengan aroma apek dan memori yang menyesakkan. Rumah mendiang pamannya, sebuah labirin kenangan dan tumpukan barang yang tak terhitung, kini menjadi miliknya—atau lebih tepatnya, beban yang harus ia bereskan. Sebagai seorang guru sastra SMA, Andra memiliki kecintaan pada buku, tapi tumpukan di hadapannya ini terasa lebih seperti kuburan daripada perpustakaan. Debu tebal menyelimuti setiap sudut, menghadirkan aroma masa lalu yang lembap dan terperangkap. Setiap kali ia menyentuh sebuah kotak atau tumpukan majalah, jejak laba-laba dan serangga kecil akan berhamburan, seolah-olah Andra mengganggu kedamaian yang sudah lama terjalin.

Di antara tumpukan arsip lama dan majalah usang, tersembunyi sebuah objek yang aneh. Itu bukan buku dalam arti konvensional, melainkan sebuah naskah yang dijilid rapi, seolah-olah siap untuk dicetak namun tidak pernah jadi. Tanpa judul, tanpa nama penulis. Sampulnya polos, berwarna cokelat kusam, dengan sedikit noda yang Andra tak bisa pastikan asalnya—apakah itu noda air, atau sesuatu yang lebih gelap, seperti bercak darah kering yang sudah memudar? Ia mengangkatnya, merasakan bobot yang tak biasa untuk buku setebal itu, seolah-olah ada sesuatu yang padat di dalamnya.

Ia membalik halaman pertama dengan hati-hati. Kertasnya menguning, rapuh di bagian tepinya, namun teks di dalamnya diketik dengan rapi, menggunakan mesin tik kuno. Font-nya klasik, serif, namun ada sesuatu yang tidak biasa pada spasi dan margin, seolah-olah penulisnya ingin memastikan setiap kata menempati tempatnya dengan presisi yang aneh. Di bagian paling atas, dengan huruf kapital yang terasa seperti desisan angin dingin, seperti napas yang berembus di telinganya, tertulis:

“JANGAN BACA SAMPAI HABIS.”

Alis Andra terangkat. Sebuah peringatan? Atau sekadar gaya penulisan yang unik untuk menarik perhatian? Rasa ingin tahunya tergelitik. Sebagai seorang pengajar sastra, ia terbiasa dengan novel-novel yang bermain dengan pembacanya, yang mencoba memecahkan "dinding keempat", tapi ini terasa berbeda. Ada nuansa yang lebih suram, lebih personal, seperti bisikan ancaman yang samar. Ia mengabaikan peringatan itu, menganggapnya sebagai bagian dari narasi yang akan ia nikmati. Mungkin ini semacam horor metafiksi, pikirnya, sebuah metafora untuk obsesi pembaca. Ia memutuskan untuk membawanya pulang, jauh dari tumpukan barang-barang peninggalan yang memuakkan itu dan bayang-bayang pamannya yang masih terasa.

Malam itu, di apartemennya yang sunyi, di bawah temaram lampu baca, secangkir kopi hangat di sisinya, Andra membuka Bab Pertama dari novel tanpa judul itu. Udara terasa dingin, meskipun jendela tertutup rapat.

"Hujan turun lebat. Suara petir menggelegar, membelah langit malam, disusul gemuruh guntur yang membuat jendela bergetar. Di dalam sebuah rumah tua yang gelap, yang sudah lama ditinggalkan oleh kehangatan dan cahaya, seorang gadis kecil bernama Sarah bersembunyi di bawah meja kayu yang kokoh, matanya membelalak ketakutan, napasnya tercekik di antara isak tangis yang tertahan. Sosok bayangan hitam perlahan merayap dari sudut ruangan, semakin dekat, diiringi suara langkah kaki basah yang menyeret di lantai kayu yang lapuk…"

Andra tenggelam dalam alur cerita, menikmati setiap kata. Deskripsi yang kuat, nuansa yang mencekam. Ia selalu percaya bahwa buku adalah jendela ke dunia lain, dan novel ini, meskipun aneh dan sedikit mengganggu, mulai menariknya masuk. Ia merasa terhubung dengan ketakutan Sarah, merasakan hawa dingin yang sama yang digambarkan. Ia membaca hingga larut malam, hingga matanya perih dan kantuk menyerang, namun ia tidak bisa berhenti. Tanpa ia sadari, di luar jendela kamarnya, rintik hujan mulai turun dengan lebat, dan kilatan cahaya menerangi langit yang gelap, diiringi guntur yang samar. Angin dingin berdesir di bawah celah pintu apartemennya.

Tragedi Dimulai

Keesokan harinya, suasana di sekolah terasa lebih muram dari biasanya. Langit mendung seolah ikut merasakan kesedihan yang tak terlihat. Andra merasakan firasat buruk sejak bangun tidur, sebuah beban tak kasat mata yang menekan dadanya, lebih berat dari kelelahan biasa. Ia mencoba mengabaikannya, menghubungkan perasaan itu dengan kurang tidur semalam dan mimpi-mimpi aneh yang samar-samar ia ingat, tentang bayangan dan hujan lebat.

Saat jam istirahat, ponselnya bergetar. Nama Bu Ratih, guru BP, muncul di layar. Firasat buruk itu semakin kuat, seperti cengkeraman es di perutnya.

"Andra, bisa ke kantor saya sekarang? Ada kabar buruk." Suara Bu Ratih terdengar serak, dipenuhi kesedihan yang mendalam dan tidak bisa ia sembunyikan.

Jantung Andra berdebar kencang. Kabar buruk? Siapa? Apa yang terjadi? Ia bergegas menuju kantor Bu Ratih, langkahnya terasa berat seolah kakinya terbebani timah.

Di kantor Bu Ratih, ia bertemu dengan Kepala Sekolah dan beberapa guru lain. Wajah-wajah mereka pucat, mata mereka sembab, dan suasana yang tegang memenuhi ruangan. Ruangan itu terasa dingin, meskipun pemanas ruangan berfungsi.

"Andra, ini tentang Rama dan Lidya," kata Kepala Sekolah, suaranya pelan, seolah takut mengucapkannya. Ia menunduk, menghindari tatapan Andra. "Mereka... mereka mengalami kecelakaan tadi malam."

Dunia Andra runtuh. Rama dan Lidya. Dua muridnya yang paling ceria, paling bersemangat dalam pelajaran sastra. Rama yang selalu berdebat dengan antusias tentang interpretasi puisi, dengan senyum usilnya, dan Lidya yang punya senyum secerah mentari, selalu menulis esai dengan detail imajinatif. Mereka adalah harapan bagi Andra, alasan mengapa ia mencintai pekerjaannya.

"Kecelakaan tunggal," lanjut Kepala Sekolah, suaranya tercekat. "Motor mereka terpeleset karena hujan deras... sangat deras, semalam. Menabrak pohon besar di tikungan jalan setapak dekat sungai. Keduanya tewas di tempat." Kepala Sekolah menghela napas berat, seolah baru saja mengangkat beban gunung.

Andra merasakan darahnya mengering di pembuluh darahnya. Hujan deras? Menabrak pohon? Ia teringat bab pertama yang ia baca semalam. Novel itu dimulai dengan deskripsi hujan lebat dan petir, seorang gadis yang ketakutan di tengah badai. Lalu ia ingat paragraf yang lebih detail di Bab Tiga yang ia baca semalam: "Dua anak muda yang ceria, dalam perjalanan pulang di tengah badai, kehilangan kendali, dan kehidupan mereka berakhir tragis di bawah pohon yang tumbang."

"Dan... Lidya..." Bu Ratih terdiam sejenak, menahan isak tangis yang nyaris pecah. Ia menghapus air mata dengan punggung tangannya. "Saksi mata bilang, Pak. Sebelum motornya menghantam pohon, Lidya sempat berteriak... teriakannya sangat keras, katanya, 'Tidak! Jangan dekat-dekat! Jangan sentuh aku!' Persis seperti yang sering kamu kutip di kelas, Andra. Kutipan dari novel horor itu..."

Andra terhenyak. Sebuah kebetulan lagi? Ia memang pernah membahas kutipan-kutipan menarik dari novel klasik di kelasnya, yang seringkali memiliki unsur ketakutan atau misteri, tapi ia tidak pernah membahas novel tanpa judul itu dengan siapa pun. Bagaimana Bu Ratih bisa tahu? Ini gila.

"Bagaimana Ibu tahu saya membaca novel itu?" tanya Andra, suaranya bergetar, lebih karena kengerian daripada kesedihan. Ia merasa seperti sedang bermimpi buruk yang nyata.

Bu Ratih menatapnya aneh, sedikit bingung. "Maksud saya, kutipan karakter dalam novel horor klasik yang pernah kamu jadikan contoh di kelas, Andra. Yang tentang ketakutan akan sesuatu yang mendekat. Saya ingat Lidya pernah bertanya tentang arti kutipan itu pada saya."

Andra tersadar. Bu Ratih salah paham. Kutipan yang dimaksud Bu Ratih adalah kutipan umum tentang ketakutan dari novel klasik. Tapi bagi Andra, itu adalah deskripsi yang sangat mirip dengan dialog terakhir Lidya yang diucapkan dalam novel yang baru ia baca, sebuah dialog yang bahkan lebih spesifik dan mengerikan dalam naskah itu. Ia menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran aneh itu. Ini pasti kebetulan. Hanya kebetulan yang sangat mengerikan, pikirnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri, meskipun hatinya menolak.

Malam harinya, Andra mencoba menenangkan diri. Ia duduk di sofa ruang tamunya, memandangi novel tanpa judul yang tergeletak di meja kopi. Bayangan gelap dari lampu baca membuatnya terlihat semakin suram. Ia harus membuktikan bahwa ini hanya kebetulan. Ia harus mencari penjelasan logis. Ia membuka kembali novel tanpa judul itu, membiarkan jemarinya menyentuh kertas yang terasa dingin. Ia membuka Bab Keenam yang semalam belum sempat ia sentuh.

"Tokoh utama, yang kini mulai menyadari bahaya di sekelilingnya, dan merasakan beban takdir yang memberatkan pundaknya, bertemu dengan sepupunya, seorang pengacara sukses bernama Rendra. Rendra, yang dikenal skeptis terhadap cerita-cerita tahayul dan hal-hal di luar nalar, memutuskan untuk bersantai di kolam renang pribadinya di tengah malam yang sunyi, mencari ketenangan dari tekanan pekerjaannya. Ia tidak tahu, air yang memanggilnya adalah awal dari kehancurannya..."

Andra membaca dengan cepat, jantungnya berdebar kencang, seolah ada drum yang ditabuh di dalam dadanya. Deskripsi novel itu terlalu detail. Terlalu mirip dengan kenyataan yang baru saja ia alami. Sebuah hawa dingin menjalari tulang punggungnya. Ia tak bisa berhenti membaca, seolah ada kekuatan tak terlihat yang memaksa matanya terpaku pada halaman-halaman itu, sebuah daya tarik yang mematikan. Di luar jendela apartemennya, bulan bersinar terang, namun bayangan gelap mulai merayapi dinding-dinding kamarnya, seolah-olah novel itu sendiri mulai bernapas di sekitarnya, menunggunya menyelesaikan setiap kalimat.

Korban Bertambah

Firasat buruk Andra semakin menjadi kenyataan, sebuah ramalan yang dituliskan dengan tinta dan darah. Pagi berikutnya, teleponnya berdering lagi. Kali ini dari adiknya, Laras. Suaranya terdengar panik dan putus asa, isakan yang tertahan nyaris tidak bisa dimengerti.

"Mas Andra! Kakak ipar… Mas Rendra… Dia meninggal!" Isakan Laras memecah keheningan pagi, memotong udara seperti pecahan kaca.

Andra merasakan dunianya berputar, seperti pusaran air yang menariknya ke dalam kegelapan. Rendra. Kakak ipar yang ia kenal baik, yang selalu menasihatinya tentang investasi dan masa depan, seorang pria yang selalu penuh dengan tawa dan logika. Mustahil.

"Meninggal bagaimana, Ras?" tanya Andra, suaranya tercekat, ia sudah tahu jawabannya, namun ia perlu mendengarnya terucap dari bibir orang lain, seolah itu bisa membuatnya nyata.

"Ditemukan… ditemukan di kolam renangnya, Mas. Polisi bilang tidak ada tanda-tanda kekerasan, tidak ada penyakit jantung. Seolah-olah dia… tenggelam begitu saja, tanpa perlawanan. Padahal dia jago berenang, Mas! Dia bahkan sering ikut lomba!" Laras kembali terisak, suaranya semakin pilu. "Aneh sekali, Mas! Air kolamnya sangat tenang, tidak ada riak sedikit pun saat dia ditemukan."

Andra menjatuhkan ponselnya ke sofa, tangannya gemetar hebat. Ia meraih novel itu, seolah terpaksa. Ia membuka kembali Bab Keenam. Kata-kata itu menari-nari di depan matanya, mengukir kengerian yang tak terhingga, seperti tulisan tangan takdir.

"Rendra, sang pengacara yang skeptis terhadap cerita-cerita tahayul, memutuskan untuk bersantai di kolam renang pribadinya di tengah malam yang sunyi. Ia tenggelam. Tanpa perlawanan. Seolah-olah ada tangan tak terlihat yang menariknya ke bawah, menahannya, bisikan-bisikan dingin memaksanya menyerah, hingga napasnya berhenti. Air kolam itu tetap tenang, memantulkan cahaya bulan yang sinis."

Ini bukan kebetulan. Tidak mungkin. Lidya, Rama, dan sekarang Rendra. Semua tewas persis seperti yang digambarkan dalam novel. Nama dan hubungan korban di novel sama persis dengan orang-orang di hidupnya. Bahkan detail-detail kecil seperti "hujan deras" atau "air kolam yang tenang" itu sama. Novel ini… novel ini hidup. Novel ini membunuh. Novel ini menuliskan takdir.

Andra mencoba menutup buku itu, namun tangannya seolah lumpuh, terpaku pada halaman yang mematikan itu. Matanya terpaku pada halaman berikutnya yang tiba-tiba terbuka sendiri, seolah ada angin tak terlihat yang membalikkan lembaran. Sebuah paragraf baru muncul, seolah-olah novel itu sedang menulis dirinya sendiri, di hadapan matanya, dengan tinta yang kini tampak lebih pekat dan beraroma aneh.

"Sang protagonis, yang kini mulai merasakan cengkeraman takdir yang tak terhindarkan, akan kehilangan lebih banyak lagi. Lingkaran terdekatnya akan hancur. Mereka yang paling dekat dengannya, satu per satu, akan jatuh. Seperti daun-daun kering yang diterbangkan badai ke jurang tak berdasar, mereka akan lenyap, menyisakan kekosongan yang tak terisi, kehampaan yang tak terlukiskan."

Keringat dingin membanjiri pelipis Andra. Ia merasakan hawa dingin merayapi punggungnya, meskipun suhu ruangan normal. Sebuah bisikan halus terdengar di telinganya, seperti desisan ular, seolah-olah novel itu sedang berbicara, meremehkan setiap usahanya untuk melarikan diri, mengejek keputusasaannya. Andra tahu, ia harus melakukan sesuatu. Ia harus menghentikan ini. Ia harus mencari tahu apa buku terkutuk ini, sebelum ia sendiri menjadi paragraf berikutnya.

Kumpulan Catatan Terdahulu

Malam itu, Andra tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi oleh novel terkutuk itu dan kematian-kematian mengerikan yang mengikutinya. Setiap bayangan di kamarnya terasa seperti sosok yang mengintai, setiap suara angin di luar seperti bisikan arwah. Ia memutuskan untuk beralih ke senjata yang ia kenal baik: riset. Jika buku ini benar-benar ada, jika ada yang pernah mengalaminya, pasti ada jejaknya di suatu tempat, di internet, di arsip, di sudut-sudut gelap dunia maya.

Dengan laptop di pangkuan, di bawah selimut yang terasa seperti satu-satunya pelindungnya, Andra memulai pencariannya. Jari-jarinya gemetar di atas keyboard. Ia mencoba berbagai kata kunci: "novel kutukan tanpa judul", "buku yang membunuh pembacanya", "manuskrip tua misterius", "buku yang menulis takdir". Berjam-jam berlalu tanpa hasil yang berarti, hanya forum-forum teori konspirasi yang tidak relevan. Sampai ia mencoba mencari kombinasi deskripsi fisiknya yang sangat spesifik: "buku jilid rapi tanpa judul ketikan tua kertas menguning".

Sebuah forum daring usang dari tahun 2007 tiba-tiba muncul di layar. Nama forumnya "Pecinta Misteri Paranormal". Andra mengklik tautan itu, hatinya berdebar tak karuan, seolah akan melompat keluar dari dadanya. Ada banyak postingan tentang cerita hantu urban legend, tapi satu utas menarik perhatiannya, judulnya membuat darahnya berdesir dingin: "Buku yang Memakan Orang-orang di Sekitarku."

Penulis utas itu adalah seorang wanita bernama Clara. Andra mulai membaca, setiap kata seperti jaring laba-laba yang semakin menjeratnya lebih dalam ke dalam kisah kengerian yang sudah ia alami.

* Clara (2007-03-15, 14:20): "Ada yang pernah dengar tentang buku aneh? Saya menemukannya di toko barang antik kecil di pinggir kota. Tidak ada judul, tidak ada nama penulis. Sampulnya polos, tapi entah mengapa saya merasa harus membawanya pulang. Tapi setiap kali saya membaca satu bab, sesuatu yang buruk terjadi pada orang-orang di sekitar saya. Ini kedengaran gila, saya tahu. Ini seperti... novel itu menuliskan takdir. Ibu saya tiba-tiba sakit parah, koma, setelah saya membaca Bab 3 yang bercerita tentang seorang wanita tua yang menderita penyakit misterius. Sekarang kakak saya mengalami kecelakaan mobil aneh setelah saya membaca Bab 5 yang berisi adegan kecelakaan tunggal. Saya merasa gila."

Andra merasakan merinding di sekujur tubuhnya. Ini dia. Ini persis seperti yang ia alami, detailnya pun serupa. Clara terus menceritakan pengalamannya, bagaimana korban-korban berjatuhan, semua sesuai dengan alur cerita dalam buku itu. Clara mencoba membakar buku itu di tungku perapiannya, tapi api tidak mempan, seolah buku itu terbuat dari bahan yang tidak bisa terbakar. Clara mencoba menguburnya di halaman belakang rumah, tapi buku itu selalu muncul kembali di dekatnya, di meja samping tempat tidurnya, seolah mengejek setiap usahanya untuk melarikan diri.

* Clara (2007-07-29, 09:10): "Sudah delapan orang yang meninggal. Delapan. Keluarga, teman-teman, bahkan tetangga. Saya tidak bisa berhenti membacanya, seolah-olah ada yang memaksa saya, mengikat mata saya ke setiap halaman. Setiap kali saya menolak, rasa pusing dan mual luar biasa menyerang, diikuti oleh bisikan-bisikan di telinga saya yang mendesak untuk melanjutkan. Saya merasa dikendalikan. Ini seperti parasit. Saya tidak bisa tidur, tidak bisa makan. Saya melihat bayangan di sudut mata saya."

Postingan terakhir Clara membuat Andra tercekat, napasnya tertahan di tenggorokan.

* Clara (2007-10-01, 23:45): "Bab terakhir mulai menulis namaku... Aku melihatnya. Namaku... Clara Permata Sari, 29 tahun, meninggal dengan cara yang mengerikan setelah membaca novel ini hingga akhir. Aku merasakannya. Sensasi terbakar di dalam tubuhku. Ini akan menjadi akhirku. Tolong, jika ada yang menemukan postingan ini, jangan dekati buku itu. Jangan pernah membacanya. Hentikan. Hentikan sekarang juga. Sebelum terlambat... Aku mendengar mereka datang..."

Setelah postingan itu, blog Clara menghilang dari internet. Tidak ada jejaknya. Tidak ada balasan dari anggota forum lain setelah postingan terakhir itu, seolah-olah Clara dan blognya lenyap ditelan bumi, sebuah misteri yang tak terpecahkan. Sebuah pikiran dingin merayapi benak Andra: Clara adalah pembaca sebelumnya. Dan ia tewas, persis seperti yang mungkin akan menimpanya. Novel itu tidak hanya membunuh, ia memilih korbannya secara berurutan.

Andra menutup laptopnya, jari-jarinya gemetar. Ruangan terasa sesak, seolah-olah dinding-dindingnya mendekat. Ia tidak sendirian. Entitas yang mengikat buku ini padanya juga hadir di ruangan itu, mengawasinya, menunggu, sebuah kehadiran tak terlihat yang membebani setiap sudut.

Upacara Pemutus Kutukan

Panik mulai merayap di benak Andra, sebuah cengkeraman ketakutan yang tak tertahankan. Ia tidak bisa menghadapi ini sendirian. Setelah apa yang ia baca tentang Clara, ia tahu bahwa mencoba melawan buku itu dengan cara biasa adalah sia-sia. Logika dan ilmu pengetahuan tidak akan mempan. Ia membutuhkan bantuan. Bantuan yang lebih dari sekadar logika dan akal sehat, sesuatu yang melampaui batas dimensi ini.

Ia mencari paranormal. Setelah beberapa kali panggilan dan penolakan, bahkan ejekan, ia menemukan "Ki Guntur", seorang paranormal yang cukup terkenal di kota dengan reputasi bisa menangani kasus-kasus mistis yang rumit, yang bahkan pernah dimuat di koran lokal. Pertemuan mereka diadakan di rumah Andra, suasana yang terasa berat dan mencekam, seolah-olah udara itu sendiri dipenuhi energi negatif.

Ki Guntur, seorang pria paruh baya dengan sorot mata tajam yang tampak tembus pandang dan rambut putih panjang yang diikat di belakang, memeriksa buku itu dengan hati-hati. Ia tidak menyentuhnya langsung, melainkan menggunakan sarung tangan kain putih yang terlihat kusam. Wajahnya menunjukkan ekspresi sangat serius, keningnya berkerut dalam, sesekali menghela napas panjang, seolah merasakan beban yang luar biasa.

"Buku ini... memiliki energi yang sangat gelap, Nak Andra," kata Ki Guntur, suaranya berat dan serak, seperti suara dari kedalaman sumur. "Ini bukan sekadar kutukan biasa, ini lebih seperti entitas yang merasuki, sebuah parasit spiritual yang memanipulasi takdir. Ini memakan jiwa, menyerap esensi kehidupan dari setiap orang yang disentuhnya." Ia menunjuk buku itu dengan dagunya. "Ini hidup. Dan ia lapar."

Ki Guntur membawa asistennya, seorang wanita muda bernama Retno, yang juga memiliki kemampuan merasakan energi supranatural, matanya tampak gelisah.

Mereka memutuskan untuk melakukan upacara pemutusan kutukan. Lingkaran garam murni dibuat di tengah ruangan, dengan simbol-simbol kuno yang digambar di sekelilingnya. Lilin-lilin hitam diletakkan di setiap sudut lingkaran, apinya menari-nari lemah di tengah udara yang dingin. Buku itu diletakkan di tengah lingkaran, di atas sebuah kain sutra hitam. Ki Guntur mulai membacakan mantra-mantra kuno dalam bahasa yang tidak Andra mengerti, suaranya bergema di ruangan yang sunyi. Retno duduk bersila di belakangnya, memejamkan mata, tangannya terkepal di dada, memfokuskan energinya, wajahnya menunjukkan ketegangan.

Andra menyaksikan dengan napas tertahan, keringat dingin membasahi punggungnya, berharap ini akan mengakhiri mimpi buruknya. Asap dupa yang berbau melati dan cendana memenuhi ruangan, menciptakan aura mistis yang mencekam, seolah-olah batas antara dunia nyata dan dunia gaib semakin menipis. Ki Guntur memejamkan mata, konsentrasinya penuh, keningnya berkerut dalam.

"Api adalah pemurni! Api adalah pelindung! Bakar habis energi kegelapan ini! Kembali ke tempat asalmu!" teriak Ki Guntur, suaranya naik satu oktaf, tangannya mengayunkan api kecil dari obor yang ia pegang ke arah buku itu.

Namun, api itu melayang di atas buku tanpa menyentuhnya. Tidak ada asap, tidak ada bau kertas terbakar, tidak ada tanda-tanda buku itu terpengaruh. Buku itu tetap utuh, bahkan tampak semakin gelap, seolah-olah api itu hanyalah ilusi yang tak berdaya melawannya. Ki Guntur membuka matanya, ekspresi terkejut terlihat jelas, wajahnya memucat.

Tiba-tiba, Ki Guntur terhuyung, tubuhnya bergetar hebat. Wajahnya memucat, napasnya tersengal-sengal, seperti ikan yang terdampar di daratan. Tangannya memegangi dada, mencengkeram erat kemejanya. "A-apa ini...?" bisiknya, suaranya bergetar, nyaris tak terdengar. Matanya melebar, menatap buku itu dengan kengerian yang murni.

Retno panik. "Ki Guntur! Ada apa?" Ia mencoba mendekat, namun Ki Guntur melambaikan tangan, melarangnya.

Tubuh Ki Guntur kejang, matanya melotot, pandangannya kosong. Sebuah bisikan, hanya Andra yang mendengarnya, seolah-olah berasal dari buku itu, terdengar pelan di telinganya, seperti desisan angin dingin di musim gugur: "Ki Guntur, sang pembaca mantra, mati karena serangan jantung mendadak, tubuhnya menegang dan kaku sebelum ambruk tak bernyawa."

Ki Guntur ambruk, tubuhnya menghantam lantai dengan suara yang menggema. Napasnya berhenti. Wajahnya membiru, matanya masih terbuka lebar, menatap ke atas. Retno berteriak histeris, air mata membanjiri wajahnya, mencoba memberikan pertolongan pertama, memijat dada Ki Guntur, namun sudah terlambat. Ki Guntur meninggal di tempat.

Andra menatap buku itu, matanya melebar ketakutan. Di halaman yang kini terbuka, sebuah paragraf baru telah muncul, ditulis dengan tinta yang tampak lebih gelap dan lebih pekat dari sebelumnya, seolah-olah baru saja meresap dari dalam buku itu sendiri.

"Ki Guntur, sang paranormal, meninggal mendadak akibat serangan jantung saat mencoba memadamkan kekuatan gelap yang tak terkalahkan oleh api maupun mantra. Upacaranya gagal, dan arwahnya kini terikat pada buku ini, menjadi bagian dari kisahnya."

Kutukan itu tidak hanya tidak terpatahkan, melainkan semakin kuat, semakin ganas. Ia tidak hanya membunuh siapa pun yang terkait dengan cerita, tetapi juga siapa pun yang mencoba menghentikannya, yang berani menantang takdir yang ditulisnya. Andra merasakan keputusasaan yang menggerogoti jiwanya, sebuah lubang hitam yang semakin membesar di dadanya. Ia terjebak. Dan novel itu, kini, telah menemukan cara untuk menulis kematian di hadapannya, secara langsung. Ia melihat bayangan Ki Guntur di sudut matanya, berdiri di samping Retno yang masih menangis, tatapannya kosong, sama seperti para korban lainnya.

Kutukan Meningkat

Setelah kematian Ki Guntur, Andra merasa dikelilingi oleh bayangan. Setiap telepon berdering, setiap ketukan di pintu, setiap sapaan tetangga terasa seperti ancaman yang mengerikan, sebuah pertanda buruk yang akan datang. Ia berusaha mengabaikan buku itu, menyembunyikannya di laci terkunci di bawah tumpukan pakaian, bahkan membungkusnya dengan kain tebal yang diikat dengan tali, seolah itu bisa menghentikan kekuatan jahatnya. Namun, setiap kali ia mencoba menghindarinya, rasa pusing dan mual akan menyerangnya dengan intensitas yang luar biasa, diikuti oleh bisikan-bisikan halus yang mendesaknya untuk membaca, bisikan yang terasa seperti napas dingin di tengkuknya.

Seolah-olah buku itu memiliki kehendaknya sendiri, ia selalu menemukan cara untuk muncul kembali. Kadang di meja samping tempat tidurnya, kadang di bawah bantalnya, kadang bahkan di dalam tas kerjanya, seolah mengejek setiap usahanya untuk melarikan diri, mengejek kepengecutannya. Dan Andra, yang kini ketakutan namun juga terhipnotis oleh kengeriannya sendiri, tak bisa menolak dorongan untuk membukanya. Setiap malam, halaman-halaman baru muncul, tintanya terlihat masih basah, dan Andra tahu, ini bukan fiksi lagi. Ini adalah buku kematiannya, yang menulis sendiri naskah kehancuran, bab demi bab, korban demi korban.

Korban terus berjatuhan, dengan cara yang semakin brutal dan tidak masuk akal, seolah-olah novel itu semakin haus darah dan keputusasaan:

Mantan pacar Andra, Maya. Suatu pagi, ia menerima telepon dari teman dekat Maya, suaranya gemetar. Maya ditemukan gantung diri di apartemennya yang rapi, tanpa surat wasiat, tanpa motif jelas. Polisi mengira itu bunuh diri karena depresi. Andra membuka novel dengan tangan gemetar, dan di sana, tercetak kalimat dengan tinta yang terasa dingin: "Maya, cinta lama sang protagonis, ditemukan tergantung, lehernya terjerat tali takdir yang tak terlihat, di apartemennya yang sunyi. Senyum terakhirnya membeku dalam kengerian." Andra ingat pernah membaca bagian di mana tokoh utama bertemu kembali dengan mantan kekasihnya, kini ia tahu itu adalah Maya. Kengerian mencengkeramnya. Ia merasa mual, membayangkan wajah Maya yang dulu ceria, kini tergantung kaku.

Tetangga sebelah, Ibu Lastri. Seorang ibu-ibu lansia yang ramah, selalu memberinya masakan dan menyapa dengan senyum tulus. Suatu malam, Andra terbangun karena suara sirine pemadam kebakaran yang memekakkan telinga. Ia bergegas keluar, dan pemandangan di sana membuatnya terpaku. Dapur Ibu Lastri meledak, api melahap seluruh rumah, menewaskan beliau terpanggang. Bau daging terbakar yang menyengat memenuhi udara. Di halaman buku, tertulis dengan jelas: "Nyonya tua di sebelah rumah, seorang tetangga yang ramah yang selalu membawa kebaikan, terpanggang dalam kobaran api yang tiba-tiba melahap dapurnya, tubuhnya menjadi arang."

Kepala Sekolah Andra, Bapak Budi. Andra dipanggil ke kantor polisi. Bapak Budi, yang selama ini dikenal sebagai sosok yang tenang, berwibawa, dan sangat rasional, tiba-tiba mengamuk di kantornya, matanya merah, berteriak-teriak tentang "bisikan setan" dan "kertas terkutuk", menghancurkan barang-barang. Kemudian, dalam sebuah ledakan kemarahan yang mengerikan, ia menikam dirinya sendiri dengan gunting surat berkali-kali hingga tewas di meja kerjanya. Novel itu menulis: "Pemimpin yang disegani, Bapak Budi, sang kepala sekolah, tiba-tiba kehilangan akal sehatnya, mengamuk tak terkendali, dan mengakhiri hidupnya dengan cara yang mengerikan, berlumuran darahnya sendiri di atas tumpukan berkas yang tak berarti."

Semua korban ini telah muncul sebagai karakter "sampingan" dalam novel, yang awalnya terasa samar, kini semakin jelas merujuk pada orang-orang di hidup Andra. Novel itu tidak hanya menulis kisah, tetapi juga menentukan takdir dengan presisi yang menakutkan, seolah ia adalah dewa yang mengendalikan benang kehidupan.

Andra melihat dirinya di cermin. Mata bengkak, cekung, wajah pucat pasi, rambut acak-acakan. Ia seperti mayat hidup, kulitnya terlihat transparan. Ia tidak bisa lagi makan atau tidur nyenyak. Setiap gigitan makanan terasa seperti pasir di mulutnya, dan setiap kali ia mencoba tidur, ia melihat wajah-wajah para korban mengintainya dari kegelapan. Paranormal gagal. Menghindari buku itu juga gagal. Ia merasa terjebak dalam lingkaran setan yang semakin mengencang, sebuah jerat tak terlihat yang menariknya ke jurang.

Kini, setiap malam, Andra merasakan sensasi aneh yang tak terlukiskan. Tinta di halaman-halaman buku itu seolah-olah mengalir, membentuk kata-kata baru, paragraf baru, seperti sungai darah yang mengukir nasib. Novel itu menulis dirinya sendiri, dan Andra tak bisa berhenti membacanya, seolah-olah otaknya telah diprogram untuk mematuhi perintah buku itu. Setiap kali ia menyelesaikan satu bab, ia merasa lega sejenak, namun kemudian ketakutan baru merayapi hatinya, menunggu siapa lagi yang akan menjadi korban berikutnya.

Ia tahu, bab terakhir akan segera tiba. Dan di bab terakhir itu, akan ada satu nama yang dituliskan. Nama dirinya.

Bab 7 – Penulis yang Tidak Pernah Ada

Andra tahu ia harus menemukan asal-usul buku ini. Jika ia bisa memahami siapa yang menulisnya, atau mengapa buku ini ada, siapa yang memberinya kekuatan mengerikan ini, mungkin ada cara untuk menghentikan kutukan ini. Ia tidak lagi percaya pada paranormal atau ritual. Ia membutuhkan fakta, sejarah, sesuatu yang nyata untuk dipegang, bahkan jika itu datang dari masa lalu yang kelam.

Ia pergi ke Perpustakaan Nasional. Bangunan megah yang dipenuhi aroma kertas tua dan kebijaksanaan yang tak terhingga, sebuah tempat yang seharusnya aman, namun kini terasa mencekam bagi Andra. Ia menemui kepala arsip, seorang pustakawan tua yang ramah bernama Bapak Surya, dengan kacamata tebal dan rambut yang memutih.

Andra menjelaskan tentang buku itu, mencoba terdengar sesantai mungkin, meskipun jantungnya berdebar kencang, nyaris tidak bisa ia kendalikan. Ia membawa foto halaman pertama dan beberapa detail tentang fisik buku itu, termasuk deskripsi tinta dan jenis kertasnya. Bapak Surya mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk, namun raut wajahnya tetap tenang, profesional.

"Novel tanpa judul, tanpa nama penulis, ketikan kuno... Kertas menguning, tapi jilidannya rapi..." Bapak Surya bergumam, matanya menerawang, seolah sedang memindai memorinya yang luas. "Kedengarannya seperti manuskrip yang belum dipublikasikan, atau mungkin naskah percobaan yang sangat langka."

Andra mengangguk. "Saya sudah mencari di semua katalog penerbitan, Pak. Dari tahun ke tahun. Tidak ada yang cocok. Bahkan tidak ada yang mirip."

Bapak Surya mulai mencari di database arsip mereka, memeriksa catatan-catatan publikasi, manuskrip yang diserahkan, bahkan koleksi pribadi yang disumbangkan yang jarang dilihat publik. Jam demi jam berlalu. Cahaya sore mulai meredup, menyaring melalui jendela besar perpustakaan, menciptakan bayangan panjang. Andra menunggu dengan gelisah, sesekali melirik jam dinding yang berdetak pelan, setiap detiknya terasa seperti hitungan mundur sisa waktu hidupnya.

"Menarik," kata Bapak Surya tiba-tiba, suaranya sedikit meninggi, matanya terpaku pada layar komputernya. Ia membetulkan kacamatanya. "Novel ini... tidak pernah diterbitkan secara resmi. Tidak ada catatan cetakan massal atau penerbitan resmi. Tapi saya menemukan sesuatu yang aneh. Sebuah catatan yang sangat tersembunyi, di bagian arsip kasus kriminal lama."

Bapak Surya memutar monitornya agar Andra bisa melihat. Itu adalah arsip laporan kriminal lama, dari tahun 1950-an, sebuah dokumen yang sudah sangat tua, discan dalam resolusi rendah.

LAPORAN KEJADIAN – 14 MARET 1957

KASUS BUNUH DIRI DISERTAI PEMBUNUHAN KELUARGA – TRAGEDI RUMAH JL. CEMARA NO. 17

PELAKU: YUSUF R. HIDAYAT (45 TAHUN) – SEORANG PENULIS NOVEL FIKSI HOROR DAN CERPEN MISTERI. KEPRIBADIAN MENYENDIRI.

KORBAN: FATIMAH BINTI HUSIN (ISTRI, 42 TAHUN), ARIF HIDAYAT (ANAK LAKI-LAKI, 10 TAHUN), SITI HIDAYAT (ANAK PEREMPUAN, 8 TAHUN).

LOKASI: RUMAH JL. CEMARA NO. 17, PERUMAHAN LAMA KOTA X.

KETERANGAN:

Yusuf R. Hidayat ditemukan tewas dengan sayatan dalam di pergelangan tangan kirinya, tergeletak di lantai ruang kerjanya yang berantakan, di sampingnya tergeletak sebuah manuskrip novel tanpa judul, dengan noda yang diduga darah kering di sampulnya. Istri dan kedua anaknya ditemukan tewas di kamar tidur mereka, dengan luka tusuk yang parah di dada dan leher, posisi tidur mereka tampak tak terganggu. Polisi menemukan catatan bunuh diri dari Yusuf R. Hidayat yang ditulis dengan tangan yang gemetar, yang secara eksplisit menyebutkan bahwa "novel yang baru saja ia selesaikan telah menewaskan istri dan anak-anaknya, dan kini gilirannya untuk menjadi yang terakhir." Ia menuliskan detail kematian keluarganya yang sangat mirip dengan adegan-adegan mengerikan yang ditemukan dalam manuskrip tersebut, seolah ia hanya mereplikasi apa yang sudah ia tulis. Manuskrip itu sendiri disita sebagai barang bukti utama, namun kemudian dilaporkan menghilang secara misterius dari penyimpanan arsip kepolisian pada tahun 1959, tanpa jejak. Pencarian telah dilakukan namun tidak ditemukan. Kasus ini masih terbuka dan belum terpecahkan sepenuhnya.

Dunia Andra serasa berhenti. Napasnya tercekat. Ia membaca kembali laporan itu, kata demi kata, memastikan ia tidak salah membaca. Yusuf R. Hidayat. Seorang penulis yang bunuh diri setelah novelnya menewaskan keluarga sendiri. "Yang menewaskan istri dan anak-anaknya." Itu dia. Penulis yang tidak pernah ada itu memang ada. Dan ia adalah korban pertama dari buku itu, atau mungkin... penciptanya? Pencipta kutukan ini?

"Ini... ini buku yang sama, Pak Surya," kata Andra, suaranya nyaris tak terdengar, sebuah bisikan penuh kengerian. Tangannya gemetar menunjuk layar.

Bapak Surya menatapnya dengan pandangan khawatir, menyadari betapa dalam Andra terlibat. "Manuskrip ini... menghilang. Tidak ada jejaknya setelah kasus itu. Dan deskripsi fisik manuskripnya... sangat cocok dengan yang Anda sebutkan, bahkan nodanya."

Andra tahu. Buku itu tidak pernah menghilang. Buku itu hanya menemukan pemilik baru. Sejak tahun 1950-an, dari Yusuf R. Hidayat, mungkin ke Clara, dan sekarang… kepadanya. Ia merasakan kengerian yang sesungguhnya. Buku itu bukan hanya kutukan yang pasif. Buku itu adalah makhluk hidup, sebuah entitas yang haus, yang memilih korbannya, yang melakukan perjalanan melalui waktu dan tangan, dari satu jiwa ke jiwa berikutnya. Dan ia, Andra, adalah mangsa terbarunya, yang sedang ditulis takdirnya. Ia tidak lagi melihat Bapak Surya, melainkan melihat wajah Yusuf R. Hidayat yang putus asa, wajah Clara yang ketakutan.

Nama Terakhir di Halaman

Andra kembali ke apartemennya, langkahnya gontai, seolah setiap ototnya ditarik oleh beban tak terlihat. Ia menutup pintu, menguncinya, mengunci dirinya dari dunia luar, seolah-olah itu bisa melindungi dirinya dari takdir yang sudah tertulis, dari kematian yang menunggunya. Novel itu tergeletak di meja, terbuka pada halaman baru yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Halaman terakhir. Tinta di halaman itu tampak lebih pekat, lebih hitam, hampir seperti jelaga yang baru saja tumpah. Sebuah bau anyir samar tercium di udara, bau darah kering dan kematian.

Ia tidak bisa menolak. Ada kekuatan yang menariknya, mengikat matanya ke halaman itu. Tangannya terulur, dan matanya membaca. Jantungnya berdegup kencang, memukul-mukul rusuknya seolah ingin keluar, setiap detaknya terasa seperti hitungan mundur.

Sebuah paragraf pendek. Hanya beberapa kalimat. Namun setiap kata adalah palu yang memukul jiwanya.

"Sang pembaca, yang kini telah mengetahui kebenaran pahit di balik setiap halaman, mencapai akhir perjalanannya yang mengerikan. Setiap bab telah ditulis, setiap takdir telah digariskan, setiap korban telah jatuh. Dan di halaman terakhir ini, tinta abadi mengukir nama sang tokoh utama, sang korban terakhir, yang akan menutup kisah ini untuk selamanya."

Andra menahan napas. Ia sudah tahu. Ia sudah tahu nama itu. Tapi melihatnya tertulis, di sana, di hadapan matanya sendiri, adalah kengerian yang tak terbayangkan. Huruf-huruf itu terasa seperti api yang membakar matanya.

"Andra Fadillah, lelaki 37 tahun, guru sastra yang malang, ditemukan mati mengenaskan setelah novel ini ditutup untuk terakhir kalinya. Tubuhnya hangus dan gosong, seolah terbakar dari dalam, meninggalkan jejak abu, keputusasaan, dan keheningan yang abadi."

Andra merasakan kakinya lemas, lututnya ambruk. Ia nyaris terjatuh ke lantai. Kalimat itu seperti cap kematian yang tak terhindarkan, sebuah ramalan yang pasti terjadi. Tubuhnya hangus, seolah terbakar dari dalam. Ia menatap tangannya, gemetar, melihat kulitnya, membayangkan api melahapnya dari dalam. Apakah ini akan terjadi padanya? Apakah ia akan merasakan setiap detiknya?

Tiba-tiba, sebuah suara. TOK TOK TOK. Suara ketukan pelan di jendela kamarnya.

Andra menoleh perlahan, lehernya terasa kaku. Jantungnya melompat ke tenggorokan.

Di balik kaca jendela, wajah Rama. Matanya kosong, bibirnya tersenyum lebar, senyum yang sama seperti saat ia sering bercanda di kelas, namun kini penuh dengan kehampaan yang mengerikan.

Lalu Lidya. Wajahnya pucat pasi, rambutnya basah, matanya menatapnya tanpa ekspresi. Ia tersenyum, senyum yang sama sebelum ia berteriak di jalan, kini penuh ejekan.

Di belakang mereka, Rendra, kakak iparnya, dengan mata terpejam dan rambut basah, seolah baru saja keluar dari kolam renang yang dingin, meneteskan air yang tak pernah kering.

Lalu Ki Guntur, dengan wajah kebiruan dan tangan memegangi dada, mengulurkan tangan kearahnya.

Maya, menggantung di udara, lehernya terjerat tali tak terlihat, matanya menatap Andra tanpa berkedip.

Ibu Lastri, wajahnya hangus, asap tipis masih mengepul dari rambutnya yang keriting.

Bapak Budi, dengan gunting tertancap di dadanya, darah kering mengotori kemejanya.

Mereka semua ada di sana, di luar jendela, menatapnya, berjajar rapi seperti barisan tentara mayat hidup. Tersenyum. Senyum-senyum mengerikan yang mengatakan: "Kami menunggumu. Giliranmu. Kamu adalah yang terakhir. Sambutlah kami."

Tinta di novel itu mulai menetes. Bukan lagi tinta biasa. Cairan hitam kental itu menetes seperti darah, meresap ke dalam kertas, membentuk genangan kecil di halaman yang baru saja menuliskan namanya. Bau anyir semakin menusuk hidung Andra, membuatnya mual.

Andra panik. Napasnya tersengal-sengal, tercekik oleh ketakutan yang mencekik. Ia harus melakukan sesuatu. Ia harus mengubahnya. Ini miliknya. Ini adalah bukunya. Ia meraih pena dari mejanya, tangan gemetar hebat, dan mencoba menulis ulang akhir cerita. Ia menulis, "Andra Fadillah, lelaki 37 tahun, berhasil menghancurkan novel kutukan ini dan hidup bahagia selamanya, bebas dari bayang-bayang kematian..."

Namun, saat ia menulis, tinta yang ia torehkan berubah. Setiap huruf yang ia tulis, meskipun ia berusaha keras, setiap kata yang ia goreskan dengan putus asa, berubah menjadi satu kalimat yang sama, berulang-ulang, dengan tinta hitam pekat yang kini terasa panas di bawah ujung penanya, seolah buku itu menolak takdir yang berbeda:

"AKHIR CERITA ADALAH KAMU."

"AKHIR CERITA ADALAH KAMU."

"AKHIR CERITA ADALAH KAMU."

"INI BUKAN PILIHANMU, TAPI NASIBMU."

Novel itu bergetar hebat di tangannya, seolah berdenyut. Halamannya berbalik sendiri dengan kecepatan luar biasa, berhenti tepat di halaman terakhir. Suara tawa pelan, seperti bisikan ribuan arwah yang terkekeh, memenuhi ruangan, mengelilingi Andra dari segala arah. Andra menjerit. Ia menjatuhkan pena. Ia tahu ia tidak bisa melarikan diri. Takdirnya telah ditulis. Dan ia adalah bab terakhir, korban terakhir, yang akan mengakhiri siklus ini—untuk sementara.

Pembaca Baru

Keesokan harinya, aroma hangus yang sangat menyengat memenuhi udara di sekitar apartemen Andra, bahkan tercium hingga ke koridor gedung. Tetangga yang curiga karena tidak melihat Andra keluar rumah selama dua hari terakhir, dan mencium bau aneh yang persis seperti bau daging terbakar dari dalam, akhirnya memanggil polisi.

Pintu didobrak. Pemandangan di dalamnya mengerikan, bahkan bagi petugas yang berpengalaman.

Andra ditemukan di ruang tamu, tergeletak di lantai, dalam kondisi hangus dan gosong yang parah, seolah-olah terbakar dari dalam tubuhnya sendiri. Kulitnya melepuh, rambutnya menjadi abu, dan tubuhnya mengepulkan asap tipis. Tidak ada tanda-tanda api di sekitar ruangan, tidak ada kerusakan pada perabotan lain, tidak ada bekas hangus di lantai atau dinding, hanya tubuh Andra yang hangus tak dikenali, seolah ia adalah pusat dari api yang tak terlihat. Dokter forensik kemudian akan bingung menjelaskan penyebab kematiannya, karena tidak ada sumber eksternal api yang ditemukan.

Di sebelahnya, di atas lantai kayu yang bersih dari bekas terbakar, tergeletak sebuah novel tua tanpa judul. Halaman-halamannya utuh, tanpa noda hangus sedikitpun. Sampulnya yang cokelat kusam tampak bersih, seolah baru saja dicetak, atau mungkin baru saja dicuci bersih. Polisi menyita buku itu sebagai barang bukti, sebuah objek yang sangat aneh dalam TKP yang membingungkan. Mereka menganggapnya sebagai barang pribadi korban.

Beberapa bulan kemudian, kasus kematian Andra Fadillah masih menjadi misteri yang belum terpecahkan. Novel tanpa judul itu, setelah beberapa waktu disimpan di gudang barang bukti kepolisian yang minim pengawasan, entah bagaimana "hilang" dari sana, seperti lenyap ditelan bumi, tanpa ada jejak pencurian atau kehilangan yang tercatat. Tidak ada yang bisa menjelaskan ke mana perginya.

Kemudian, buku itu muncul di sebuah toko loak kecil di sudut kota, tersembunyi di balik tumpukan buku-buku lama yang lusuh dan berdebu. Seorang pegawai toko yang tidak tahu-menahu tentang sejarah kelam buku itu, yang hanya peduli pada inventaris dan harga, meletakkannya di rak buku horor misteri, dengan label harga murah yang ditempelkan di sampulnya.

Sore itu, suasana toko sepi, hanya ada beberapa pelanggan yang mencari barang antik. Seorang remaja laki-laki bernama Danu masuk ke toko. Danu adalah penggemar berat kisah horor misteri, selalu mencari novel-novel aneh dan langka yang bisa menantang imajinasinya. Matanya terpaku pada sebuah buku tua tanpa judul, sampulnya yang polos justru menarik perhatiannya, memancarkan aura misterius yang tak bisa ia jelaskan. Ia merasakan dorongan aneh untuk mengambilnya, seolah ada tangan tak terlihat yang menuntunnya.

"Wah, ini kayaknya seru," gumam Danu pada dirinya sendiri, menyunggingkan senyum penasaran. "Novel tanpa judul? Pasti horornya mendalam nih." Ia membelinya dengan beberapa lembar uang.

Malam harinya, di kamar tidurnya yang nyaman, lampu belajarnya menerangi buku itu, Danu membuka halaman pertama novel itu. Aroma kertas tua memenuhi indra penciumannya. Di halaman awal, dengan huruf kapital yang terasa dingin, seperti bisikan angin di malam hari, tertulis:

“JANGAN BACA SAMPAI HABIS.”

Danu tersenyum lebar. "Peringatan kayak gini malah bikin makin penasaran!" Ia mengabaikan peringatan itu, menganggapnya sebagai bagian dari daya tarik buku horor, sebuah trik pemasaran yang cerdas. Ia mulai membaca Bab Pertama, tenggelam dalam kata-kata yang memikat.

Dan cerita dimulai kembali. Lingkaran kutukan itu tidak pernah putus, hanya berpindah tangan, dari satu korban ke korban berikutnya. Dan sang novel, Bab Terakhir yang Tak Pernah Ditulis, menunggu pembaca berikutnya, siap untuk menuliskan takdir kematian mereka, satu demi satu, hingga ia merasa puas. Siklus itu akan terus berlanjut, tak terbatas.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)