Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,377
Notifikasi Terakhir
Horor

Judul: Notifikasi Terakhir

Bab 1: Video Pertama

Malam itu, Raka, seorang remaja 17 tahun dengan aura introver yang pekat, sedang tenggelam dalam lautan linimasa media sosialnya. Kamar tidurnya yang remang-remang hanya diterangi oleh cahaya kebiruan dari layar ponselnya, menciptakan bayangan aneh yang menari di dinding. Ia adalah tipikal siswa SMA akhir yang lebih memilih interaksi virtual daripada dunia nyata, bersembunyi di balik profil daringnya dari tuntutan sosial yang terasa melelahkan. Jemarinya menari lincah di atas layar, menelusuri unggahan teman-temannya yang riuh, meme-meme receh, dan berita-berita viral yang silih berganti memenuhi perhatian. Sebuah rutinitas malam yang monoton, namun menenangkan bagi jiwanya yang selalu merasa sedikit canggung di keramaian.

Namun, ketenangan itu seketika terusik. Sebuah notifikasi aneh tiba-tiba muncul di layar ponselnya. Biasanya, notifikasi itu berasal dari akun-akun yang ia kenal atau grup-grup obrolan yang ia ikuti. Tapi kali ini berbeda. Nama pengirimnya adalah deretan karakter acak yang tidak familiar, semacam kode samar tanpa makna, dan profilnya hanya berupa ikon kosong tanpa foto. Rasa penasaran bercampur sedikit kecurigaan menyeruak. Jarang sekali ia menerima notifikasi dari akun tak dikenal, apalagi yang terasa begitu misterius.

Dengan sedikit ragu, Raka mengetuk notifikasi tersebut. Layar ponselnya seketika berpindah ke aplikasi pemutar video. Sebuah video berdurasi 30 detik mulai diputar otomatis, tanpa sempat ia menekan tombol play. Detik pertama video itu menampilkan kegelapan pekat, disusul suara hujan deras yang mengguyur, dan kilatan petir yang sesekali menerangi. Raka mengerutkan kening. Apa ini? Prank? Video creepy-pasta yang sering dibagikan di internet?

Lalu, sebuah objek mulai terlihat samar-samar. Sebuah jalan raya yang basah kuyup, diterangi remang-remang lampu jalan yang buram oleh tetesan air hujan di lensa kamera. Pandangan kamera bergerak cepat, seolah dipegang oleh seseorang yang berlari atau melaju kencang. Raka merasakan firasat aneh mencengkeram dadanya. Semakin jelas gambar itu, semakin dingin tangannya.

Video itu menunjukkan sebuah tikungan tajam, Jalan Wijaya—ia mengenali lokasi itu. Tiba-tiba, sebuah motor melaju kencang dari arah berlawanan, menembus derasnya hujan. Motor itu adalah motor Rani, kakaknya. Jantung Raka berdegup tak karuan. Ia tahu motor Rani. Ia tahu jaket hujan merah yang dikenakan pengendara itu adalah milik Rani. Suara desingan motor dan deru hujan yang semakin kencang mengisi telinganya.

Detik-detik berikutnya terasa seperti diputar dalam gerak lambat yang menyiksa. Motor Rani, yang melaju terlalu cepat di tikungan licin itu, kehilangan kendali. Ban belakangnya selip, tubuh motor oleng tak terkendali. Raka melihat dengan jelas sosok Rani terpental dari motornya, terlempar ke aspal yang basah. Suara benturan keras, seperti pecahan kaca dan logam yang beradu, memekakkan telinga. Lalu, keheningan. Hanya suara hujan yang terus mengguyur dan napas Raka yang tercekat.

Kamera mendekat, fokus pada tubuh yang tergeletak tak bergerak di genangan air, di bawah cahaya redup lampu jalan yang berkedip-kedip. Rambut hitam panjang yang basah kuyup, jaket merah yang robek di beberapa bagian, dan genangan merah pekat yang mulai menyebar di sekitar kepala. Rani. Tidak salah lagi. Itu adalah kakaknya, tewas dalam kecelakaan motor, persis di tikungan Jalan Wijaya, saat malam hujan.

Raka menjatuhkan ponselnya ke kasur. Dadanya naik turun dengan napas tersengal-sengal. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Video itu terlihat sangat nyata, terlalu nyata untuk menjadi sebuah rekayasa. Darah itu, ekspresi kosong di mata Rani yang samar terlihat, gerakan tubuhnya yang terlempar—semuanya terasa otentik, mengerikan, dan tak mungkin dibayangkan.

Tapi... Rani masih hidup. Ia baru saja melihat kakaknya beberapa jam yang lalu, sebelum Rani pamit pergi untuk mengerjakan tugas kelompok di rumah temannya. Rani bahkan sempat menggodanya karena ia masih saja sibuk dengan ponselnya. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin ada video yang menampilkan kematian kakaknya, padahal kakaknya masih hidup?

Raka buru-buru meraih ponselnya lagi, jari-jarinya gemetar saat mencoba mencari akun pengirim video itu. Namun, akun tersebut telah menghilang. Tidak ada jejaknya. Tidak ada nama pengguna, tidak ada riwayat pencarian. Seolah-olah akun itu tidak pernah ada. Ponselnya, yang tadinya terasa dingin di genggamannya, kini terasa panas membakar.

Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini hanyalah lelucon kejam, atau mungkin editan video yang sangat cila. Mungkin seseorang ingin menakutinya. Tapi kengerian yang ia rasakan begitu dalam, begitu nyata, hingga sulit untuk menepisnya begitu saja. Setiap detail dalam video itu terukir kuat di benaknya: tikungan, hujan deras, jaket merah, dan genangan darah.

Malam itu, Raka tidak bisa tidur. Setiap kali ia menutup mata, adegan kecelakaan itu berputar-putar di benaknya. Ia berulang kali memeriksa ponselnya, berharap menemukan jejak akun pengirim, atau setidaknya tanda bahwa video itu hanyalah rekayasa. Namun nihil. Kegelisahan memburunya sepanjang malam, membuatnya terjebak di antara mimpi buruk dan kenyataan yang terasa sama menakutkannya.

Keesokan harinya, Raka mencoba bersikap normal. Ia sarapan bersama kedua orang tuanya, dan tentu saja, Rani. Kakaknya tampak ceria seperti biasa, mengomelinya karena bangun kesiangan, dan sesekali melempar lelucon. Raka berusaha keras menyembunyikan kegelisahannya. Ia memandangi Rani, mencari-cari tanda-tanda kejanggalan, namun kakaknya tampak baik-baik saja, sama seperti hari-hari sebelumnya. Firasat buruk itu masih melekat, namun ia mencoba mengabaikannya. "Ini pasti cuma paranoidku saja," bisiknya dalam hati. "Ini cuma video editan."

Siang harinya, Rani pamit untuk pergi lagi ke rumah temannya untuk melanjutkan tugas kelompok. "Hati-hati, Ran," kata Raka, suaranya sedikit tercekat. Rani menoleh, tersenyum tipis. "Kenapa? Tumben perhatian?" candanya. Raka hanya bisa memaksakan senyum. Ia menyaksikan Rani keluar dari rumah, naik ke motor kesayangannya, dan melesat pergi di bawah langit yang mulai mendung.

Malam harinya, hujan turun deras, sama seperti yang terlihat dalam video. Raka duduk di ruang tamu, jantungnya berdegup kencang setiap kali mendengar suara petir. Ia tidak bisa berkonsentrasi pada apapun. Setiap dering ponsel orang tuanya, setiap suara klakson dari jalan, membuatnya terlonjak. Ia terus-menerus melihat jam dinding, menunggu Rani pulang.

Pukul sembilan malam. Rani belum juga pulang. Ibu mulai gelisah. Ayah mencoba menenangkan, mengatakan mungkin Rani terjebak hujan. Namun, Raka tahu. Ia tahu itu. Perasaan dingin itu kembali merayapi tulang punggungnya. Ia mencoba menepisnya, berulang kali mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ini adalah kebetulan. Hujan deras sering terjadi di malam hari. Rani sering pulang larut.

Kemudian, suara dering telepon rumah memecah kesunyian. Kali ini, bukan ponsel Raka. Kali ini, telepon rumah berdering nyaring, menggetarkan seisi ruangan. Ibu bergegas mengangkatnya, raut wajahnya berubah cemas. Dari ekspresinya, Raka tahu. Ia tahu persis apa yang akan terjadi.

Beberapa menit kemudian, Ibu menjatuhkan gagang teleponnya. Wajahnya pucat pasi, matanya berkaca-kaca. Ayah segera mendekat, berusaha memegang bahu Ibu yang gemetar hebat. "Ada apa, Bu?" tanyanya panik.

"Rani..." Suara Ibu serak, hampir tak terdengar. "Rani... kecelakaan."

Dunia Raka terasa runtuh. Kakinya lemas, tubuhnya membeku. Ia tidak perlu bertanya di mana atau bagaimana. Ia sudah tahu. Ia sudah melihatnya.

"Di mana?" tanya Ayah, suaranya bergetar.

"Jalan Wijaya... di tikungan..." Ibu tak sanggup melanjutkan. Ia terisak, tangisnya pecah.

Raka merasakan gelombang mual melanda perutnya. Pandangannya mengabur, dipenuhi air mata yang tak bisa ia tahan. Rani benar-benar tewas. Persis seperti dalam video. Persis seperti yang ia lihat dua malam lalu. Kakaknya, yang ceria dan penuh semangat, kini terbaring tak bernyawa di aspal basah, di tikungan Jalan Wijaya, dalam malam yang diguyur hujan.

Ponsel di saku celananya terasa berat, dingin, dan seolah-olah memiliki beban yang jauh lebih besar dari sekadar gadget biasa. Notifikasi pertama. Kematian pertama. Raka menyadari, kengerian yang ia rasakan dua malam lalu bukanlah paranoia, melainkan sebuah peringatan. Sebuah firasat yang terwujud. Dan yang lebih menakutkan, ia merasa ini hanyalah awal dari serangkaian teror yang akan menimpanya. Sebuah ketakutan yang merayap perlahan, mencengkeram erat, dan tak akan pernah melepaskannya.

Bab 2: Pola Kematian

Setelah hari pemakaman Rani yang kelabu dan penuh duka, Raka mencoba mengembalikan sedikit ketenangan dalam hidupnya yang porak-poranda. Namun, di dalam benaknya, bayangan video mengerikan itu terus menghantui. Setiap kali ia sendirian, detail kecelakaan itu berputar-putar, dan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab terus mendesak. Siapa pengirim video itu? Bagaimana mereka tahu? Dan yang paling penting, apakah ini hanya kebetulan yang sangat mengerikan, atau ada sesuatu yang lebih gelap di baliknya?

Dengan tekad bulat, Raka mulai melakukan pencarian obsesif. Ia mencoba mencari akun yang mengirimkan video kematian Rani di berbagai platform media sosial yang ia gunakan—Instagram, TikTok, Twitter, bahkan forum-forum daring yang lebih tersembunyi. Ia memasukkan deretan karakter acak yang ia ingat sebagai nama akun tersebut, mencari jejak melalui log notifikasi, dan bahkan mencoba fitur pencarian lanjutan. Namun, hasilnya selalu nihil. Akun itu seperti hantu digital, muncul sesaat, mengirimkan teror, lalu menghilang tanpa jejak seolah tak pernah ada. Setiap kali ia berhasil melacak notifikasi dan menemukan sekilas nama akunnya, dalam hitungan menit, akun itu akan menghilang. Seolah ada seseorang atau sesuatu yang dengan sengaja menghapusnya, atau mungkin memang dirancang untuk lenyap setelah tugasnya selesai.

Keputusasaan mulai menyelimuti Raka. Ia tidak bisa lagi menahan beban ini sendirian. Suatu sore, ia memutuskan untuk menceritakan semua yang terjadi kepada Fajar, sahabatnya sejak SMP. Fajar adalah kebalikan Raka: ceria, blak-blakan, dan selalu berpikir logis. Raka berharap Fajar bisa memberinya pandangan rasional, mungkin ada penjelasan yang masuk akal di balik semua ini.

Mereka bertemu di kafe dekat sekolah, tempat favorit mereka untuk sekadar nongkrong dan melepas penat. Dengan suara pelan dan hati-hati, Raka menceritakan semuanya, mulai dari notifikasi misterius, video kecelakaan Rani yang mengerikan, hingga kenyataan pahit bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi persis seperti yang ia lihat. Ia menunjukkan riwayat notifikasi yang masih tertera, meskipun nama akunnya sudah menghilang, sebagai bukti.

Fajar mendengarkan dengan saksama, sesekali menyeruput es tehnya. Ekspresinya menunjukkan campuran antara rasa ingin tahu dan sedikit kebingungan. Ketika Raka selesai, Fajar menatapnya dengan tatapan geli, lalu tertawa kecil. "Lo serius, Rak? Kedengaran kayak plot film horor murahan tahu enggak," katanya, mencoba meredakan ketegangan. "Jangan-jangan lo kebanyakan nonton film horor nih, sampai delusi."

Raka merasa hampa. Ia sudah menduga reaksi seperti ini. "Ini bukan delusi, Jar. Ini nyata. Rani... Rani beneran meninggal persis kayak di video itu," ucap Raka, suaranya tercekat. Ia mencoba menjelaskan detailnya, mencoba meyakinkan Fajar tentang kengerian dan keaslian video tersebut. Namun, Fajar hanya mengernyitkan dahi.

"Oke, oke, gue ngerti lo syok karena Rani meninggal," Fajar mencoba menenangkan. "Tapi, video kayak gitu kan gampang banget diedit sekarang. Mungkin ada orang iseng atau psikopat yang ngedit terus kirim ke lo. Kebetulan aja pas sama kejadian Rani. Kan namanya musibah, siapa yang tahu?" Fajar mencoba mencari penjelasan paling logis, seolah-olah ia sedang menjelaskan soal fisika, bukan kematian.

"Tapi... akunnya hilang, Jar. Setiap kali gue coba cari, hilang," Raka bersikeras.

Fajar mengendikkan bahu. "Ya itu kan gampang juga. Bikin akun baru, kirim video, terus hapus. Banyak orang iseng kayak gitu di internet. Udah, lo jangan terlalu dipikirin. Mungkin itu cara otak lo coping sama kesedihan. Otak kan suka bikin cerita aneh-aneh kalau lagi stres."

Raka tidak bisa membantah lebih jauh. Fajar tidak melihat videonya. Ia tidak merasakan kengerian yang sama. Bagaimana Raka bisa meyakinkan Fajar tentang sesuatu yang terdengar begitu tidak masuk akal? Akhirnya, ia hanya mengangguk, menyembunyikan kekecewaannya. Percuma. Tidak ada yang akan percaya padanya. Ia sendirian menghadapi teror ini.

Dua hari berlalu dalam ketegangan yang mencekam. Raka mencoba kembali ke rutinitasnya, tapi selalu waspada. Ia memeriksa ponselnya setiap beberapa menit, khawatir akan notifikasi berikutnya. Ia bahkan sempat berpikir untuk menonaktifkan semua akun media sosialnya, namun naluri aneh menahannya. Entah mengapa, ia merasa perlu untuk tetap terhubung, seolah-olah itu adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan "peringatan" lagi.

Dan benar saja, pada malam kedua setelah percakapannya dengan Fajar, sebuah notifikasi baru muncul. Nama pengirimnya kembali berupa deretan karakter acak yang berbeda dari sebelumnya, namun pola kemunculannya sama. Jantung Raka berdegup kencang, mengisi dadanya dengan rasa takut yang dingin. Ia menekan notifikasi itu dengan tangan gemetar.

Kali ini, video berdurasi lebih panjang, sekitar 45 detik. Adegan pertama menunjukkan sebuah ruangan yang familiar: laboratorium kimia sekolah. Suara khas alat-alat laboratorium yang beradu dan bau khas reagen kimia yang samar tercium, seolah-olah ia berada di sana. Lalu, kamera bergeser perlahan, menyoroti sudut ruangan yang penuh dengan tabung reaksi, pembakar spiritus, dan botol-botol kimia.

Kemudian, sosok seorang wanita muncul di tengah video. Sosok itu adalah Bu Lilis, guru kimia favorit Raka. Bu Lilis adalah guru yang sabar, cerdas, dan selalu memberikan motivasi. Ia sering menghabiskan waktu di laboratorium, melakukan eksperimen atau membimbing siswa. Di video, Bu Lilis tampak sedang sibuk dengan sebuah beker berisi cairan biru yang mendidih di atas pembakar spiritus.

Tiba-tiba, beker itu pecah. Cairan biru tumpah, langsung mengenai api pembakar spiritus. Dalam hitungan detik, api menyambar, melalap cairan itu dengan cepat. Bu Lilis terkejut, mencoba menjauh, namun api dengan cepat menyebar ke pakaiannya. Ia berteriak, panik, berusaha memadamkan api yang kini membakar seluruh tubuhnya. Asap tebal mulai memenuhi ruangan, dan kobaran api semakin membesar, menerangi wajah Bu Lilis yang dipenuhi kengerian dan kesakitan.

Video berakhir dengan Bu Lilis yang terbakar hebat, tergeletak di lantai laboratorium yang diselimuti api. Suara teriakan Bu Lilis, disusul oleh suara dentuman dan pecahan kaca, dan akhirnya, keheningan yang mencekam, hanya diisi oleh suara kobaran api yang terus melahap.

Raka menjatuhkan ponselnya lagi. Ketakutan yang ia rasakan jauh lebih dalam dari sebelumnya. Bukan hanya karena kengerian adegan itu, tapi karena ini adalah orang kedua. Ini bukan lagi kebetulan. Ini adalah sebuah pola yang mengerikan. Ada yang tahu. Ada yang tahu apa yang akan terjadi. Dan entitas di balik video ini ingin ia melihatnya.

Tanpa berpikir panjang, Raka segera mengambil ponselnya, mengabaikan fakta bahwa akun pengirim video itu sudah menghilang lagi. Ia harus memperingatkan Bu Lilis. Ia harus mencegah ini terjadi. Meskipun Fajar tidak percaya padanya, ia harus mencoba.

Raka mencoba menelepon nomor rumah Bu Lilis, lalu nomor ponselnya. Tidak ada jawaban. Panic menyerbu. Ia mengirim pesan singkat, mencoba menjelaskan tentang video itu, mencoba memperingatkan Bu Lilis untuk tidak pergi ke laboratorium, atau setidaknya berhati-hati. Namun, ia tahu ini terdengar gila. Bagaimana mungkin Bu Lilis akan percaya pada pesan aneh dari muridnya tentang video kematiannya sendiri?

Keesokan harinya, Raka mencoba menemui Bu Lilis di sekolah. Ia mencari di ruang guru, di kantin, bahkan di parkiran. Nihil. Ia merasa ada yang salah. Bu Lilis tidak pernah absen tanpa alasan yang jelas. Ia bertanya kepada teman-teman guru lain, namun mereka juga tidak tahu.

Tiga hari kemudian, ketakutan terburuk Raka menjadi kenyataan. Berita menyebar bagai api. Bu Lilis tewas. Sebuah kecelakaan tragis di laboratorium kimia sekolah. Ia ditemukan terbakar, dengan penyebab yang diduga karena ledakan tak sengaja saat melakukan eksperimen.

Polisi dan tim pemadam kebakaran datang ke sekolah. Raka menyaksikan dari kejauhan, matanya terpaku pada garis polisi kuning yang membentang di depan laboratorium. Asap hitam masih mengepul dari jendela yang pecah. Bau gosong yang menyengat menusuk hidungnya, seolah ia bisa merasakan panasnya api yang melalap Bu Lilis.

Raka teringat setiap detail dalam video: beker yang pecah, cairan biru yang tumpah, api yang melalap, dan teriakan Bu Lilis. Semuanya terjadi persis seperti yang ia lihat. Persis. Tidak ada satu pun detail yang berbeda. Ini bukan kebetulan. Ini adalah takdir yang telah direkam. Sebuah pertunjukan mengerikan yang ditayangkan padanya, sebagai penonton yang tak berdaya.

Kini, Raka tahu. Ini bukan lelucon. Ini bukan halusinasi. Ini adalah ancaman. Dan ia adalah satu-satunya orang yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Beban ini terlalu berat untuk ditanggung sendiri, terutama ketika tidak ada yang percaya padanya. Pertanyaan baru muncul, yang lebih mengerikan dari sebelumnya: siapa target selanjutnya? Dan yang paling penting, kapan giliran Raka sendiri? Fajar mungkin menganggapnya gila, tapi Raka tahu ia sedang berada di tengah-tengah mimpi buruk yang menjadi kenyataan.

Bab 3: Di Balik Layar

Kematian Bu Lilis merobek sisa-sisa kewarasan Raka. Dua orang terdekatnya tewas, persis seperti yang ia lihat dalam video-video mengerikan itu. Fajar yang awalnya meremehkan, kini mulai menunjukkan gelagat aneh. Tatapan matanya seringkali menyiratkan rasa kasihan bercampur kecurigaan setiap kali melihat Raka, terutama setelah Raka berkali-kali mencoba memperingatkan Bu Lilis. Raka tahu Fajar mengira ia sudah gila, atau lebih buruk, entah bagaimana terlibat dalam rentetan kematian ini. Tidak ada yang akan percaya padanya. Ia benar-benar sendirian.

Panik mulai merayap naik, mencengkeram Raka dengan kuat. Apa gunanya memiliki peringatan jika ia tak bisa mencegahnya? Apa gunanya melihat takdir jika takdir itu tak bisa diubah? Rasa frustrasi yang membakar mendorongnya pada tindakan drastis. Ia memutuskan untuk menonaktifkan semua akun media sosialnya. Instagram, TikTok, Twitter, bahkan akun gaming-nya—semua lenyap. Ia berharap, dengan memutus semua koneksi digitalnya, notifikasi terkutuk itu tidak akan bisa lagi mencarinya. Ia bahkan mematikan ponselnya, menyimpannya di laci, dan mencoba hidup tanpa koneksi internet sama sekali. Ini adalah upaya terakhirnya untuk mencari kedamaian, untuk melepaskan diri dari rantai teror yang melilitnya.

Namun, kedamaian itu hanya bertahan beberapa jam. Saat malam tiba, Raka sedang membaca buku di kamarnya, berusaha mengalihkan pikiran dari semua kengerian. Tiba-tiba, di atas meja belajarnya, ponselnya yang mati dan tersimpan di dalam laci, menyala sendiri. Layarnya memancarkan cahaya biru yang redup dalam kegelapan kamar. Jantung Raka serasa berhenti berdetak. Ia mendekat dengan langkah ragu, takut-takut.

Sebuah notifikasi baru muncul. Bukan dari Instagram atau TikTok, atau platform lain yang ia nonaktifkan. Notifikasi itu muncul dari aplikasi bawaan ponsel, seolah-olah sistem operasi itu sendiri yang menjadi perantara. Tidak ada nama akun pengirim, hanya sebuah ikon misterius seperti mata yang mengintip. Raka menekan notifikasi itu. Video baru muncul, sama seperti sebelumnya. Bukan lagi melalui aplikasi media sosial, melainkan langsung dari galeri ponsel, seolah video itu diunduh dan disimpan secara paksa ke dalam perangkatnya. Bahkan ketika ia mencoba mematikan ponselnya lagi, video itu akan muncul lagi tak lama kemudian, seolah perangkat itu punya pikiran sendiri.

Kini, Raka sadar. Ini bukan soal aplikasi. Ini bukan soal internet. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih dalam, jauh lebih menyeramkan. Entitas ini tidak membutuhkan koneksi internet untuk menemukannya. Entitas ini sudah berada di dalam ponselnya, atau mungkin, di dalam hidupnya.

Dalam keputusasaan, Raka teringat pada seorang teman lama bernama Agni. Agni adalah sosok eksentrik, dikenal karena minatnya yang mendalam pada hal-hal berbau supranatural, mitos urban, teknologi gelap, dan segala sesuatu yang berada di luar nalar umum. Mereka dulu sempat dekat saat SD, sama-sama diasingkan oleh teman-teman lain karena kegemaran mereka pada hal-hal aneh. Namun, pertemanan itu merenggang seiring berjalannya waktu. Agni melanjutkan minatnya dengan serius, bahkan sering menghabiskan waktu di forum-forum dark web dan komunitas paranormal online.

Dengan sedikit ragu, Raka mencari kontak lama Agni di ponselnya. Ia tidak yakin Agni akan percaya, apalagi membantu. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Agni adalah satu-satunya orang yang mungkin punya pemahaman, atau setidaknya keterbukaan pikiran, untuk menghadapi fenomena semacam ini. Ia mengirim pesan singkat, singkat dan padat, meminta untuk bertemu secepatnya karena ada hal mendesak yang harus diceritakan.

Agni, yang mengejutkan, langsung menyanggupi. Ia meminta Raka datang ke apartemennya yang berantakan, dipenuhi buku-buku kuno, tumpukan hardware komputer, dan berbagai jimat aneh. Saat Raka menceritakan semuanya, dari awal hingga akhir, Agni mendengarkan dengan saksama, matanya yang tajam sesekali berkilat di balik kacamata tebalnya. Tidak ada senyum ejekan, tidak ada tatapan skeptis. Hanya fokus dan keseriusan.

Setelah Raka selesai, Agni terdiam sejenak, mengelus dagunya yang ditumbuhi janggut tipis. "Menarik," gumamnya, alih-alih mengatakan "gila" seperti Fajar. "Jadi, videonya muncul di berbagai platform, bahkan saat HP lo mati, dan selalu menghilang setelah satu jam?"

Raka mengangguk, merasa sedikit lega karena ada yang mendengarkan tanpa menghakimi. "Persis. Kayak hantu digital."

Agni berjalan ke arah salah satu rak bukunya, mengambil beberapa jilid tebal, dan meletakkannya di meja. "Ini bukan hantu biasa, Raka. Ini jauh lebih kompleks. Dari apa yang lo ceritakan, ini bisa jadi makhluk arwah digital, atau yang biasa disebut di beberapa literatur 'Watcher'."

Raka mengerutkan kening. "Watcher? Apa itu?"

"Watcher itu bukan entitas gaib tradisional yang menampakkan diri secara fisik," Agni menjelaskan, matanya memancarkan cahaya semangat. "Mereka adalah entitas gaib yang punya kemampuan untuk memanipulasi teknologi, terutama media visual dan suara. Mereka tidak berinteraksi langsung, tapi mengamati dan memanipulasi realitas melalui media digital."

Agni membuka salah satu buku, menunjuk sebuah ilustrasi kuno. "Beberapa mitos kuno menyebutkan tentang 'mata-mata' dari dimensi lain yang bisa menembus batas realitas kita melalui cermin, air, atau medium pantul lainnya. Di era modern, medium itu berkembang. Smartphone kita, kamera, layar televisi—mereka adalah jendela baru bagi entitas semacam ini. Mereka merekam, memutar ulang, dan bahkan bisa mempresentasikan masa depan yang sudah mereka lihat."

"Masa depan? Jadi mereka bisa melihat masa depan?" tanya Raka, suaranya tercekat.

"Bukan melihat masa depan dalam arti kita bisa mengubahnya," Agni menggeleng. "Lebih tepatnya, mereka melihat takdir yang sudah ditulis. Mereka tidak menciptakan peristiwa, mereka hanya merepresentasikan apa yang akan terjadi. Semacam proyektor realitas dari dimensi lain, yang sengaja menampilkannya padamu. Dan fakta bahwa videonya selalu menghilang setelah satu jam itu juga menarik. Itu bisa jadi batasan kekuatan mereka, atau bagian dari 'permainan' mereka."

"Permainan? Jadi ini kayak... game?"

"Bagi mereka, mungkin. Bagi kita, ini neraka," Agni membalas serius. "Tapi ada satu hal yang penting. Entitas semacam ini biasanya punya alasan untuk menampakkan diri. Mereka tidak muncul begitu saja. Ada sesuatu yang menarik perhatian mereka padamu, atau pada orang-orang di sekitarmu. Mungkin ada semacam ikatan karmik atau jejak digital yang menghubungkanmu dengan mereka."

Raka terdiam, memikirkan kata-kata Agni. Ikatan karmik? Jejak digital? Apa yang bisa menjadi penyebabnya? Ia merasa begitu tak berdaya di hadapan penjelasan yang terlalu jauh dari akal sehat ini, namun di sisi lain, penjelasan itu terasa lebih masuk akal daripada sekadar kebetulan atau lelucon iseng.

"Ada cara untuk menghentikan mereka?" tanya Raka, penuh harap.

Agni menghela napas. "Menghentikan 'Watcher' itu hampir mustahil, Raka. Mereka tidak punya fisik yang bisa dihancurkan. Mereka adalah bagian dari data, dari energi. Tapi, kita bisa mencari tahu kenapa mereka memilihmu. Biasanya, ada motif, ada koneksi. Entitas ini seringkali terhubung dengan kejadian tragis di masa lalu, terutama yang berhubungan dengan teknologi atau rekaman. Kita harus mencoba melacak metadata video-video itu, atau mencari tahu sejarah digital ponselmu. Mungkin ada petunjuk di sana."

Raka mengangguk, sebuah percikan harapan menyala di tengah kegelapan yang pekat. Agni mungkin gila di mata orang lain, tapi baginya, Agni adalah satu-satunya jembatan menuju pemahaman. Satu-satunya orang yang melihat kengerian ini bukan sebagai delusi, melainkan sebagai fenomena nyata yang harus dipecahkan. Meskipun Agni menyebut ini sebagai 'Watcher', sebuah entitas yang memanipulasi realitas melalui video, Raka tahu satu hal: entitas ini tidak akan berhenti. Dan ia, si penonton yang tak berdaya, adalah target selanjutnya.

Bab 4: Takdir yang Terekam

Kamar Agni yang berantakan, dipenuhi aroma dupa dan sisa kopi dingin, menjadi pusat strategi Raka dan Agni. Ponsel Raka tergeletak di meja, sebuah objek yang kini terasa lebih seperti kutukan daripada alat komunikasi. Ketegangan menggantung di udara, sama pekatnya dengan asap rokok Agni yang sesekali mengepul. Agni sedang sibuk dengan laptopnya, jari-jemarinya menari di atas keyboard, menelusuri data, mencoba melacak jejak digital dari video-video terkutuk itu. Raka hanya bisa duduk gelisah, hatinya dipenuhi campuran ketakutan dan harapan. Harapan bahwa Agni, dengan pengetahuannya yang tidak konvensional, bisa menemukan solusi.

Saat Raka melamun, tiba-tiba, ponselnya kembali bergetar. Sebuah notifikasi baru muncul. Bukan dari aplikasi media sosial, bukan dari sistem. Kali ini, notifikasi itu muncul di layar kunci ponsel, dengan ikon mata yang mengintip, sama seperti saat video Bu Lilis. Jantung Raka berpacu. Ia menelan ludah, tangannya gemetar saat mengambil ponsel.

Agni yang menyadari perubahan pada raut wajah Raka, langsung mengalihkan perhatiannya. "Ada apa?" tanyanya, suaranya tegang.

Raka tidak menjawab, matanya terpaku pada layar. Ia mengetuk notifikasi itu. Sebuah video baru mulai diputar. Kali ini, durasinya lebih pendek, sekitar 20 detik, namun kengeriannya tak kalah hebat.

Video itu menampilkan pemandangan yang familiar: kolam renang sekolah. Air biru jernih, pantulan cahaya matahari, dan bangku-bangku di pinggir kolam. Suara riang anak-anak terdengar samar, mungkin dari video lama. Lalu, kamera bergerak, memperlihatkan seorang anak laki-laki yang sedang berenang di kolam. Bocah itu mengenakan kacamata renang berwarna kuning cerah. Raka terkesiap. Ia mengenali sosok itu. Itu Dito, sahabat masa kecilnya. Dito, yang kini sudah kelas tiga SMP, punya kebiasaan berenang di kolam sekolah setiap akhir pekan.

Video itu menunjukkan Dito berenang dengan riang. Tiba-tiba, ia berhenti. Gerakannya melambat, dan tubuhnya mulai tenggelam perlahan ke dasar kolam. Gelembung-gelembung udara keluar dari mulutnya, disusul oleh busa-busa kecil. Pandangan kamera mendekat, memperlihatkan mata Dito yang terbuka lebar, namun tak lagi bernyawa. Tubuhnya melayang tak bergerak di bawah permukaan air, seolah tak ada kekuatan yang bisa menariknya kembali. Video berakhir dengan tubuh Dito yang sepenuhnya tenggelam, cahaya kolam yang cerah kontras dengan kematian yang sunyi di dasarnya.

Raka memekik. "Dito!"

Agni buru-buru mendekat, melihat video yang baru saja berakhir. Wajahnya mengeras. "Target ketiga?"

"Dia... dia sahabatku," Raka berbisik, napasnya tersengal. "Kita harus mencegahnya! Dia sering ke kolam renang sekolah di akhir pekan!"

Tanpa membuang waktu, Raka berdiri. "Kita harus ke sekolah sekarang!"

Agni mengangguk, memahami urgensi situasi. Ia mematikan laptopnya dan meraih kunci motor. "Cepat, Raka. Kita tidak punya banyak waktu."

Mereka bergegas menuju sekolah dengan motor Agni. Raka menatap jalanan yang lengang, jantungnya berpacu dalam irama yang tak karuan. Setiap detik terasa seperti berjam-jam. Ia harus mencapai Dito, menariknya menjauh dari kolam renang itu. Ia harus memecahkan pola ini. Ia tidak bisa membiarkan takdir video itu terwujud lagi.

Sesampainya di sekolah, gerbang utama sudah dikunci. Namun, Raka tahu ada celah di pagar belakang yang sering digunakan siswa untuk menyelinap. Mereka memarkir motor Agni di semak-semak dan menyelinap masuk. Suasana sekolah sepi, hanya ada beberapa petugas kebersihan yang bekerja.

Raka dan Agni berlari menuju area kolam renang. Dari kejauhan, Raka bisa melihat Dito, persis seperti dalam video, sedang berenang dengan kacamata kuningnya. Jantungnya mencelos, rasa takut bercampur lega. Setidaknya, ia masih punya waktu.

"DITO!" Raka berteriak sekuat tenaga, suaranya memecah keheningan.

Dito menoleh, terkejut melihat Raka dan Agni yang tiba-tiba muncul. Ia berenang ke pinggir kolam, mengangkat kepalanya. "Raka? Agni? Ada apa?" tanyanya, kebingungan.

"Keluar dari sana, To! Jangan berenang lagi!" Raka berteriak, napasnya terengah-engah.

Dito menatapnya aneh, namun Raka tidak punya waktu untuk menjelaskan. Ia melompat ke pinggir kolam dan menarik tangan Dito, memaksa bocah itu untuk keluar dari air. Dito yang terkejut dan sedikit kesal, menggerutu. "Ada apa sih, Rak? Gue lagi seru-serunya."

"Nanti gue jelasin! Pokoknya, kita pergi dari sini sekarang!" Raka menarik Dito, mengabaikan protesnya. Agni mengikuti di belakang, matanya waspada.

Mereka berjalan cepat menjauh dari area kolam renang, melewati koridor yang sepi. Raka merasakan sedikit harapan muncul. Ia berhasil. Ia berhasil mencegah takdir itu. Dito tidak tenggelam. Ia telah mengubah video itu!

Namun, saat mereka melintasi area dekat kamar mandi sekolah, lantai keramik yang basah karena bekas cucian petugas kebersihan terlihat licin. Raka terlalu fokus menarik Dito, dan Dito sendiri masih menggerutu kesal sambil membalikkan badan. Tiba-tiba, kaki Dito terpeleset.

"AWAS!" Raka berteriak, mencoba meraih Dito.

Tapi sudah terlambat. Dito kehilangan keseimbangan, tubuhnya oleng tak terkendali. Dalam sepersekian detik yang mengerikan, kepala Dito membentur lantai keramik dengan suara "DUG!" yang tumpul.

Dito jatuh tergeletak, matanya terpejam. Sebuah genangan merah mulai meluas perlahan di bawah kepalanya. Napasnya terhenti.

Raka berlutut, jantungnya hancur berkeping-keping. "Dito! Dito!" Ia mengguncang tubuh sahabatnya, namun tak ada respons. Wajah Dito pucat, dan matanya masih terpejam.

Agni mendekat, wajahnya juga pucat. Ia merasakan nadi Dito. Setelah beberapa saat, ia menggelengkan kepala pelan, tatapan matanya penuh kesedihan. "Raka... dia..."

Raka menatap genangan darah yang semakin membesar, lalu ke wajah Dito yang damai namun tak bernyawa. Kacamata renang kuningnya terlepas, tergeletak di samping kepalanya yang terluka. Ia teringat video itu: Dito mati. Video itu tidak spesifik mengatakan Dito tenggelam. Video itu hanya menunjukkan kematian Dito di area kolam renang sekolah. Cara kematiannya... berubah. Tapi hasil akhirnya... tetap sama.

Sebuah realisasi mengerikan menghantam Raka seperti palu godam. Ini bukan tentang mencegah. Ini adalah tentang cara. Takdir yang direkam dalam video itu adalah sebuah ketetapan. Ia tidak bisa mencegah kematian. Ia hanya bisa mengubah jalannya kematian. Seperti sebuah sungai yang arusnya terlalu kuat untuk dibendung, ia hanya bisa mengubah sedikit alurnya, namun aliran airnya tetap menuju muara yang sama.

Rasa putus asa yang mendalam menyelimutinya. Ia telah berusaha. Ia telah berjuang. Ia telah mempertaruhkan segalanya. Namun, takdir yang terekam itu tak bisa ditolak. Ia hanya bisa menontonnya, dan terkadang, secara tidak sengaja, menjadi bagian dari perubahan kecil dalam skenario yang sudah dituliskan. Air mata mengalir deras di pipi Raka, bercampur dengan darah Dito di lantai. Ia terisak, menyadari bahwa ia telah melihat kematian, namun tak pernah sanggup mencegahnya. Ia hanya menjadi saksi bisu bagi pertunjukan mengerikan yang terus berlanjut. Dan ia tahu, dengan sangat jelas, bahwa ia adalah bagian dari pertunjukan itu.

Bab 5: Menjadi Tersangka

Kematian Dito di area sekolah, tak lama setelah Raka dan Agni terlihat bersamanya, memicu gelombang kecurigaan yang tak terhindarkan. Polisi mulai mencurigai Raka. Bukan hanya karena ia selalu berada di dekat lokasi kematian sebelum atau saat kejadian, tapi juga karena riwayat telepon dan pesannya kepada Bu Lilis yang penuh peringatan aneh. Raka dipanggil untuk dimintai keterangan. Ia menceritakan segalanya tentang video-video itu, tentang Agni, tentang Watcher. Namun, polisi hanya menatapnya dengan tatapan tidak percaya, menganggapnya tertekan akibat kematian berturut-turut orang-orang terdekatnya, atau lebih buruk, sebagai pelaku yang mencoba mengalihkan perhatian dengan cerita karangan gila.

Fajar, yang tadinya hanya menganggap Raka delusi, kini mulai menghindarinya. Tatapan teman-teman sekolah pun berubah. Bisik-bisik mengerikan menyebar seperti api. "Si Raka itu bawa sial," "Setiap dia deket sama siapa, pasti meninggal," "Jangan-jangan dia yang bunuh mereka." Raka mendapati dirinya terisolasi, dijauhi oleh semua orang, dianggap sebagai pembawa kutukan yang mengerikan. Setiap langkahnya terasa diawasi, setiap tatapan terasa menghakimi. Rumahnya, sekolahnya, bahkan media sosial yang kini ia buka kembali untuk mencari informasi—semuanya terasa asing dan penuh permusuhan. Ia adalah orang gila yang mengetahui kebenaran yang tak akan dipercaya siapa pun.

Di tengah isolasi yang menyakitkan itu, ponsel Raka kembali bergetar. Notifikasi baru muncul, tanpa nama pengirim, hanya ikon mata yang mengintip. Raka menelan ludah, tangannya gemetar hebat. Ia sudah tahu apa yang akan terjadi. Ini adalah video berikutnya. Kematian siapa lagi kali ini?

Ia menekan notifikasi itu, dan sebuah video mulai diputar. Kengerian yang ia rasakan sebelumnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang ia lihat sekarang. Video itu menampilkan interior rumahnya sendiri. Ruang keluarga, lalu bergeser ke arah balkon di lantai dua. Dan di sana, berdiri di pagar pembatas balkon, adalah sosok yang sangat ia kenal. Ibunya sendiri.

Video itu menunjukkan Ibunya sedang menyiram tanaman di pot-pot gantung. Suara langkah Ibunya terdengar jelas. Tiba-tiba, entah bagaimana, kaki Ibunya terpeleset. Ibunya mencoba berpegangan pada pagar, wajahnya memucat karena terkejut dan takut. Namun, pegangannya terlepas. Ibunya terjatuh. Kamera bergerak cepat, mengikuti jatuhnya tubuh Ibunya dari ketinggian, dan berakhir dengan suara benturan keras yang memekakkan telinga di lantai dasar. Layar menjadi gelap.

Raka menjerit. Ia menjatuhkan ponselnya, namun tak peduli. Air mata mengalir deras di pipinya. Ibu. Ibunya sendiri. Target berikutnya adalah Ibunya. Panic menyerbu, lebih kuat dari sebelumnya. Ia sudah melihat bagaimana ia tak bisa mengubah takdir, hanya caranya saja yang berbeda. Lalu, bagaimana ia bisa melindungi Ibunya dari sesuatu yang sudah tertulis?

Ia bergegas ke bawah, mencari Ibunya. Ibunya sedang duduk di ruang keluarga, membaca koran, tampak baik-baik saja. Wajahnya tenang, penuh kedamaian. Kontras yang menyakitkan dengan adegan yang baru saja ia lihat.

"Ibu! Jangan ke balkon! Jangan ke mana-mana!" Raka berteriak histeris, napasnya tersengal.

Ibunya terkejut, menjatuhkan koran. "Raka? Ada apa? Kamu kenapa, Nak?"

Raka menarik tangan Ibunya, memaksanya berdiri. "Ibu harus aman! Ibu tidak boleh ke mana-mana!"

Dengan kekuatan yang entah datang dari mana, Raka menyeret Ibunya ke kamar tidur utama di lantai bawah. Ia mengunci pintu dari dalam, menarik semua tirai jendela hingga kamar menjadi gelap. "Ibu harus tetap di sini. Jangan keluar. Jangan dekat-dekat balkon!"

Ibunya menatap Raka dengan tatapan khawatir bercampur takut. "Raka, kamu kenapa? Kamu sakit?"

"Tidak, Bu! Aku baik-baik saja! Tapi Ibu tidak aman. Ibu harus tetap di sini. Bersamaku," Raka mencoba menjelaskan, namun kata-katanya terdengar tidak masuk akal. Ia tak mungkin menjelaskan tentang video terkutuk itu. Ibunya pasti akan menganggapnya gila, sama seperti yang lain.

Selama 24 jam berikutnya, Raka mengurung Ibunya di dalam kamar. Ia menempatkan kursi di depan pintu, menjaga ketat agar Ibunya tidak keluar. Ia melarang Ibunya mendekati jendela, apalagi membuka tirai. Ia bahkan mengantar makanan dan minuman ke dalam kamar, tidak membiarkan Ibunya sendirian sedikit pun. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa jika Ibunya tidak pernah mendekati balkon, takdir itu tidak akan terwujud. Ia bisa mengubah caranya, sehingga hasil akhirnya pun berubah. Harapan itu, betapapun tipisnya, masih menyala.

Ayah Raka, yang pulang dari kantor dan mendapati istrinya dikurung dalam kamar, panik. Ia mencoba berbicara dengan Raka, berusaha membuka pintu, namun Raka menolak. "Ayah tidak mengerti! Ibu dalam bahaya!"

Ayah Raka mencoba berbagai cara untuk menenangkan putranya, bahkan mengancam akan memanggil bantuan profesional. Namun Raka bergeming. Ia hanya ingin melindungi Ibunya, satu-satunya orang yang masih ia miliki. Ketakutannya begitu besar, melampaui logika.

Malam harinya, saat Raka sedang duduk di depan pintu kamar, berjaga. Ibunya tertidur pulas di tempat tidur, mungkin kelelahan setelah seharian dikurung. Raka merasa sedikit lega. Ibunya aman. Ia berhasil.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari dalam kamar. Raka segera bangkit, mendekati tempat tidur Ibunya. Ibunya tampak menggeliat dalam tidur, lalu tiba-tiba batuk-batuk. Raka segera mendekat, "Ibu kenapa?"

Ibunya membuka mata, tampak bingung. "Haus... Ibu haus..."

Raka merasa sedikit lega. Ia buru-buru mengambil segelas air dari meja. Namun, saat ia berbalik untuk memberikan air, Ibunya bangkit dari tempat tidur. Raka terkejut. "Ibu mau ke mana?"

"Ibu kebelet pipis, Nak," kata Ibunya dengan suara serak, lalu berjalan menuju kamar mandi di dalam kamar.

Raka merasakan firasat aneh mencengkeram. Kamar mandi itu... ada jendelanya. Jendela itu menghadap ke halaman belakang. Agak curam, tapi tidak setinggi balkon. Raka segera mengikuti Ibunya.

Saat Ibunya masuk ke kamar mandi, Raka mendengar suara kecil, seperti gesekan. Ia mendorong pintu kamar mandi yang tidak terkunci. Ibunya sudah berada di depan jendela kecil, yang entah bagaimana, terbuka sedikit. Ibunya memegang tiang gorden, mencoba meraih sesuatu di luar jendela.

"Ibu, jangan! Itu bahaya!" Raka berteriak.

Namun, belum sempat Raka meraihnya, tiang gorden itu patah. Ibunya kehilangan keseimbangan. Dan dalam sepersekian detik yang mengerikan, tubuh Ibunya terjatuh ke luar jendela, menuju halaman belakang yang gelap.

Raka berlari ke jendela, menjulurkan kepalanya. Di bawah, Ibunya tergeletak tak bergerak di atas tumpukan batu dekorasi taman. Sebuah genangan merah mulai menyebar perlahan. Napas Raka tercekat.

Ia berlari keluar kamar, menuruni tangga menuju halaman belakang. Ayahnya, yang mendengar suara gaduh, juga keluar. Mereka berdua menemukan Ibu Raka tergeletak tak bernyawa. Bukan terjatuh dari balkon lantai dua, melainkan dari jendela kamar mandi di lantai satu. Cara kematiannya berbeda. Tapi hasil akhirnya... tetap sama. Ibunya meninggal karena terjatuh.

Air mata membanjiri mata Raka. Ia tidak sanggup lagi. Ia sudah mencoba. Ia sudah berusaha sekuat tenaga untuk mengubah takdir, namun ia gagal. Kematian Ibunya, meskipun dengan cara yang berbeda, tetap terjadi, persis seperti yang diumumkan oleh video terkutuk itu. Takdir itu adalah sebuah naskah yang tak bisa diubah, dan ia, Raka, hanyalah seorang aktor yang dipaksa memainkan peran dalam tragedi ini. Terlalu takut, terlalu lelah, terlalu putus asa. Kini, ia benar-benar sendirian.

Bab 6: Jejak Penonton

Setelah kematian Ibunya, Raka terhuyung dalam kehampaan yang tak terkira. Rumahnya terasa dingin dan sunyi, bukan lagi tempat yang aman. Setiap sudut mengingatkannya pada kekalahannya yang menyakitkan. Polisi semakin memperketat pengawasan, tatapan mereka dingin dan penuh sangka. Raka adalah tersangka utama, namun tidak ada bukti konkret, hanya serangkaian "kebetulan" yang terlalu aneh untuk diabaikan. Ia tahu bahwa setiap orang di sekitarnya, bahkan tetangga dan kerabat, menatapnya dengan pandangan campur aduk antara simpati dan ketakutan. Ia adalah pembawa sial, si pembunuh, atau si gila.

Dalam kegelapan yang menelan, satu-satunya secercah cahaya adalah Agni. Ia tidak pernah meninggalkan Raka. Agni terus melakukan penelitiannya, menggali lebih dalam ke dunia digital yang gelap. Ia percaya pada cerita Raka, dan itulah yang membuat Raka tetap bertahan.

Suatu malam, beberapa hari setelah pemakaman Ibunya, Agni datang ke rumah Raka dengan raut wajah tegang, namun ada secercah penemuan di matanya. "Raka, aku menemukan sesuatu," katanya, napasnya terengah-engah. Ia membawa laptopnya dan meletakkannya di meja.

"Aku berhasil melacak log metadata dari video-video itu," Agni menjelaskan, menunjuk deretan kode dan angka di layar. "Butuh waktu lama, dan aku harus masuk ke beberapa server gelap yang sangat tersembunyi. Tapi aku berhasil menembus enkripsinya."

Jantung Raka berdegup kencang. Ini adalah harapan, setipis apa pun. "Apa yang kamu temukan?"

"Semua video itu, meskipun dikirim dari akun yang berbeda-beda, punya jejak digital yang sama. Seolah-olah mereka berasal dari satu sumber inti. Dan sumber inti itu..." Agni menunjuk sebuah alamat IP yang sangat spesifik, tersembunyi jauh di dalam lapisan dark web. "...mengarah ke sebuah akun lama yang sudah tidak aktif selama tujuh tahun."

"Akun siapa?" tanya Raka, firasat buruk mulai merayapi.

Agni menghela napas. "Nama akunnya Bagas Nurdianto. Dan yang mengerikan, akun itu milik seorang siswa SMA yang bunuh diri tujuh tahun lalu."

Dunia Raka serasa berhenti berputar. Bagas Nurdianto. Nama itu... tidak asing. Tapi ia tidak bisa mengingatnya dengan jelas. "Bunuh diri? Kenapa?"

"Kasus bullying," Agni menjawab, suaranya pelan. "Bagas adalah korban bullying yang parah di sekolahnya. Ia dikucilkan, dihina, bahkan ada video-video bullying yang disebar diam-diam di media sosial. Akhirnya, ia tidak tahan dan bunuh diri. Kasusnya sempat heboh, tapi kemudian ditutup begitu saja. Tidak ada yang dihukum berat."

Agni menunjukkan beberapa artikel berita lama yang ia temukan. Foto Bagas terpampang di layar: seorang remaja laki-laki dengan mata sedih dan tubuh kurus. Raka menatapnya, merasa ada sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya. Sebuah ingatan yang terkubur, berusaha muncul ke permukaan.

"Tapi, apa hubungannya denganku dan semua kematian ini?" tanya Raka, masih bingung.

Agni membuka tab baru di browser-nya, menampilkan daftar nama. "Aku juga melacak pola korban, Raka. Rani, Bu Lilis, Dito, dan Ibumu. Mereka semua punya satu kesamaan: mereka terlibat langsung maupun tak langsung dalam kasus bullying Bagas Nurdianto."

Raka terkesiap. "Apa maksudmu?"

"Rani, kakakmu," Agni mulai menjelaskan, suaranya tenang namun menusuk. "Dia adalah salah satu siswa populer di sekolah saat itu. Meskipun tidak ikut mem-bully secara fisik, dia tahu tentang bullying itu dan tidak pernah melakukan apa pun untuk menghentikannya. Bahkan, beberapa kali ia melihat Bagas dibully di koridor, tapi hanya lewat begitu saja."

"Bu Lilis," Agni melanjutkan, "dia adalah guru kimia saat itu. Dia tahu ada kasus bullying di sekolah, tapi tidak pernah mengambil tindakan serius. Mungkin karena takut merusak reputasi sekolah, atau karena memang tidak terlalu peduli. Ada laporan internal yang mencatat namanya terkait kurangnya respons terhadap insiden bullying Bagas."

"Dito," Agni menatap Raka. "Sahabat masa kecilmu itu, dia sering berada di kelompok yang sama dengan para pembully. Dia bukan pembully utama, tapi dia tidak pernah membela Bagas. Bahkan, ia sering tertawa ketika Bagas dihina di depan umum."

Raka merasa mual. Setiap nama yang disebutkan Agni menusuknya, memunculkan potongan-potongan ingatan yang ia coba lupakan. Itu adalah masa lalu yang gelap, yang ia harap tak pernah terungkap.

"Dan Ibumu," Agni melanjutkan, suaranya sedikit melunak, "dia adalah salah satu orang tua yang mengkritik sekolah karena kasus bullying yang tidak ditangani dengan baik. Tapi kritik itu hanya sebatas keluhan, tidak sampai pada tindakan serius untuk mengungkap kebenaran atau memperjuangkan keadilan bagi Bagas. Ia hanya seorang penonton pasif yang menyadari kebobrokan, namun tidak bertindak."

Raka menunduk, otaknya berputar cepat, mencoba mencerna semua informasi itu. Ia mulai melihat polanya, benang merah yang menghubungkan semua tragedi ini. Sebuah dendam, sebuah balas dendam dari masa lalu.

Agni menatap Raka dengan tatapan yang penuh arti. "Ada satu nama lagi, Raka. Seseorang yang juga terlibat dalam kasus bullying Bagas. Seseorang yang pernah menyebarkan video bullying itu secara diam-diam. Seseorang yang membagikan penderitaan Bagas demi popularitas, atau mungkin, sekadar iseng."

Raka mengangkat kepalanya, matanya dipenuhi ketakutan yang dingin. Ia tahu siapa yang dimaksud Agni. Ingatan yang terkubur itu kini muncul sepenuhnya, membanjiri benaknya dengan rasa malu dan penyesalan yang mendalam. Tujuh tahun lalu, saat ia masih bocah labil yang ingin diterima di lingkungan pertemanan, ia pernah menerima video Bagas yang sedang dibully di kamar mandi sekolah. Video itu dikirim oleh salah satu pembully. Dan Raka, bodohnya, dengan cepat menyebarkannya ke beberapa teman terdekatnya, bahkan menyematkannya di story media sosialnya yang singkat, tanpa memikirkan konsekuensinya. Ia telah menghapusnya segera setelah itu, bahkan ia sempat lupa. Tapi entitas ini... si Watcher... tidak pernah lupa.

Raka menatap Agni, suaranya bergetar. "Aku... aku juga. Aku pernah menyebarkan videonya, diam-diam."

Agni mengangguk. "Aku tahu, Raka. Log digital tidak pernah berbohong. Jejakmu ada di sana. Dan itulah mengapa entitas ini memilihmu. Kamu bukan hanya seorang penonton pasif, Raka. Kamu adalah panggung utama mereka. Kamu adalah orang yang harus melihat semua kematian ini terungkap, karena kamu adalah bagian dari dosa masa lalu yang ingin mereka balas."

Kesadaran itu menghantam Raka seperti gelombang tsunami. Ia adalah target utama, bukan hanya penonton. Semua kematian itu adalah pesan, sebuah pertunjukan mengerikan yang ditujukan padanya, agar ia merasakan kengerian yang sama seperti yang dirasakan Bagas. Ini adalah balas dendam. Dendam dari sebuah jiwa yang tersiksa, yang kini bangkit sebagai entitas digital yang melihat dan memanipulasi takdir. Raka merasakan merinding di sekujur tubuhnya. Lalu, ia tahu. Ini belum berakhir. Ia adalah bagian dari daftar itu. Dan giliran dia akan segera tiba.

Bab 7: Video Terakhir

Pengungkapan Agni bagai badai yang menerjang, mengoyak sisa-sisa denial dalam diri Raka. Setiap kepingan memori masa lalu, setiap detail penderitaan Bagas Nurdianto yang pernah ia sebar, kini menghantamnya sebagai penyesalan yang membakar. Ia bukan hanya penonton, ia adalah bagian dari lingkaran pemicu. Raka adalah orang yang dicari oleh dendam yang tak terlihat itu. Dan itu berarti, gilirannya akan segera tiba.

Saat Agni sedang sibuk menguraikan lebih lanjut tentang jejak digital yang mengarah pada aktivitas Raka tujuh tahun lalu, ponsel Agni bergetar. Sebuah notifikasi aneh muncul di layar, dengan ikon mata yang mengintip, persis sama dengan yang selama ini muncul di ponsel Raka. Agni terkesiap, wajahnya memucat. Raka merasakan jantungnya mencelos, firasat buruk menyeruak. Ia sudah tahu.

Agni membuka notifikasi itu dengan tangan gemetar. Video mulai diputar. Adegan pertama menunjukkan sebuah ruangan yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya monitor komputer yang berkedip-kedip. Raka mengenali tempat itu. Itu warnet langganan Agni, tempat ia sering menghabiskan waktu berjam-jam untuk menelusuri seluk-beluk dark web dan forum-forum supranatural.

Video itu menunjukkan Agni yang sedang serius menatap layar monitor. Ia tampak sedang melakukan sesuatu yang rumit, jari-jarinya menari di atas keyboard. Tiba-tiba, percikan api terlihat dari CPU komputer di bawah meja. Percikan itu dengan cepat membesar, melalap kabel-kabel yang menjuntai. Agni terkejut, mencoba menjauh, namun api dengan cepat menyebar ke meja dan kursi.

Panik melanda. Agni berusaha memadamkan api dengan tangannya, namun api justru semakin membesar, melalap seluruh bilik warnet. Suara Agni berteriak, suaranya tercekat oleh asap tebal yang memenuhi ruangan. Kobaran api semakin membumbung tinggi, menelan Agni yang kini sudah terperangkap di antara kobaran api dan reruntuhan komputer yang terbakar. Video berakhir dengan Agni yang terbakar hebat, tergeletak tak berdaya di tengah lautan api dan asap hitam pekat.

Raka menjerit. "AGNI!"

Agni sendiri, yang baru saja menyaksikan kematiannya sendiri, menjatuhkan ponselnya. Napasnya tersengal-sengal, matanya membelalak ketakutan. "Tidak... ini tidak mungkin..."

"Kita harus pergi!" Raka menarik tangan Agni, mendesaknya untuk segera meninggalkan apartemen. "Kita harus ke warnetmu! Cepat!"

Mereka berdua berlari keluar, bergegas menuruni tangga. Agni meraih kunci motornya dengan tangan gemetar. Di sepanjang perjalanan menuju warnet, Raka terus melirik spion, khawatir akan ada tanda-tanda api atau asap yang mengepul. Ia sudah belajar. Ia tidak bisa mencegah takdir, tapi mungkin ia bisa mengubah caranya. Mungkin jika mereka tiba tepat waktu, Agni bisa keluar dari sana.

Namun, harapan itu hancur berkeping-keping saat mereka tiba di depan warnet. Asap hitam tebal mengepul dari jendela-jendela yang pecah. Api melalap bagian dalam bangunan, nyala merahnya menari-nari di kegelapan malam. Sirine mobil pemadam kebakaran sudah meraung-raung di kejauhan. Warga sekitar berkerumun, menatap kobaran api dengan wajah cemas.

Raka merasakan tubuhnya lemas. Ia terlambat. Terlambat lagi. Agni, yang berdiri di sampingnya, menjatuhkan diri berlutut, wajahnya dipenuhi air mata. Ia melihat kematiannya sendiri, dan kini, ia menyaksikannya terwujud di depan matanya.

"Tidak... tidak mungkin..." Agni berbisik, suaranya hampa. Ia terisak. Raka hanya bisa menatap api yang melalap bangunan itu, hatinya dipenuhi keputusasaan yang tak terlukiskan. Agni, satu-satunya orang yang percaya padanya, satu-satunya orang yang mencoba membantunya, kini telah tiada. Ia benar-benar sendirian sekarang.

Tepat saat kobaran api mencapai puncaknya, di tengah keputusasaan yang melumpuhkan, ponsel Raka kembali bergetar. Sebuah notifikasi terakhir. Bukan hanya ikon mata, tapi juga ada sebuah countdown timer di sampingnya, menunjukkan sisa waktu 15 menit. Jantung Raka berdegup sangat kencang hingga terasa sakit. Ia tahu ini adalah giliran dia. Ini adalah video terakhir.

Ia membuka notifikasi itu. Video diputar. Kali ini, objek utama adalah dirinya sendiri. Video itu memperlihatkan Raka berjalan perlahan di koridor sekolah yang sepi, menaiki tangga demi tangga. Gerakannya tampak kaku, seolah dipaksa oleh kekuatan tak terlihat. Raka di video terus naik, melewati lantai dua, lantai tiga, hingga mencapai lantai lima gedung sekolah. Lalu, ia berjalan menuju pinggir pagar pembatas, menatap ke bawah. Tanpa ragu, Raka di video itu melangkah maju, menjatuhkan diri. Terjun dari ketinggian, tubuhnya menghantam tanah di bawah dengan suara "DUG!" yang memekakkan telinga. Layar menjadi gelap.

Raka menjatuhkan ponselnya ke aspal, merasakan mual luar biasa. Kematiannya. Ia akan mati terjun dari lantai lima gedung sekolah, persis seperti Bagas Nurdianto. Ini adalah klimaks dari balas dendam Watcher. Ia adalah korban terakhir, pengorbanan yang disempurnakan.

Ia menatap kerumunan orang yang menyaksikan kebakaran warnet, wajah mereka diterangi oleh nyala api. Tidak ada yang menatapnya. Tidak ada yang menyadari kengerian yang baru saja ia saksikan. Ia adalah satu-satunya yang tahu. Ia sudah mencoba memperingatkan Rani, Bu Lilis, Dito, bahkan Ibunya. Ia gagal. Setiap kali ia mencoba mengubah takdir, hanya caranya yang berubah, namun hasilnya tetap sama. Dan kini, tak ada lagi yang bisa ia peringatkan. Tak ada lagi yang akan percaya padanya. Semua orang sudah menyerah padanya, menganggapnya gila, pembawa sial, atau bahkan pembunuh.

Rasa lelah yang amat sangat menghinggapi Raka. Perlawanannya sia-sia. Ia telah melihat takdirnya sendiri. Takdir yang tak bisa dihindari, tak bisa diubah. Ia hanya bisa menunggu, menjadi saksi bisu bagi eksekusinya sendiri. Dalam keputusasaan yang mendalam, Raka berjalan menjauh dari kerumunan, langkahnya berat, menuju kegelapan yang menunggunya di gedung sekolah.

Bab 8: Rekaman Abadi

Sirine mobil pemadam kebakaran terus melolong di kejauhan, mengiringi langkah gontai Raka menuju sekolah. Tubuhnya terasa hampa, kakinya melangkah otomatis, seolah ada kekuatan tak terlihat yang menuntunnya. Countdown timer di ponselnya terus berdetak, mengingatkan Raka bahwa takdirnya sudah ditetapkan. Ini adalah perpisahan terakhir, sebuah eksekusi yang telah direkam dan ditayangkan berulang kali kepadanya.

Keesokan harinya, sekolah menyelenggarakan upacara peringatan sederhana untuk para korban: Rani, Bu Lilis, Dito, dan Agni. Aula sekolah dipenuhi duka dan kesedihan. Raka berdiri di belakang kerumunan, tersembunyi di balik bayang-bayang. Ia mendengar bisikan-bisikan, tatapan menghakimi yang mengikutinya. Mereka menganggapnya orang gila, pembawa sial, atau bahkan entah bagaimana bertanggung jawab atas semua tragedi ini. Ia tidak peduli lagi. Semua itu terasa tidak berarti di hadapan kematian yang menunggunya.

Saat upacara berlangsung, Raka merasakan dorongan kuat yang menariknya. Dorongan itu bukan dari tubuhnya sendiri, melainkan sebuah kekuatan tak terlihat yang menuntunnya. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Sebuah skenario yang sudah tertulis, yang kini harus ia mainkan.

Raka perlahan menyelinap keluar dari aula, menghindari tatapan orang-orang. Ia menuju ke toilet sekolah yang sepi, mengunci diri di dalamnya. Ia terduduk di lantai yang dingin, memeluk lututnya, mencoba bertahan. Ia tidak ingin mengikuti "takdir video" itu. Ia ingin melawan. Ia ingin membuktikan bahwa ia bisa mengubah akhir cerita ini, meskipun Agni sudah mengatakan itu mustahil.

Namun, semakin ia mencoba melawan, semakin kuat dorongan itu. Seolah ada benang tak kasat mata yang terikat di tubuhnya, menariknya keluar dari toilet, menuntunnya melewati koridor yang sepi. Langkah kakinya terasa bukan miliknya. Ia melihat bayangannya sendiri di cermin, matanya kosong, dipenuhi ketakutan yang dalam.

Ia berjalan menaiki tangga. Lantai demi lantai terlewati. Lantai satu, lantai dua, lantai tiga. Jantung Raka berdegup kencang, napasnya tersengal-sengal. Setiap langkah terasa berat, sebuah perjuangan melawan kekuatan yang tidak terlihat. Ia mencoba berpegangan pada pegangan tangga, mencoba melawan dorongan itu, namun tangannya terasa licin, dan tubuhnya terus ditarik ke atas.

Akhirnya, ia mencapai lantai lima. Angin berhembus kencang di koridor atas. Kaca jendela memantulkan bayangan Raka yang pucat. Ia merasakan dorongan yang sangat kuat menariknya ke arah pagar pembatas. Ia mencoba berpegangan, menancapkan kukunya pada dinding, namun semua sia-sia. Kakinya melangkah sendiri, membawa tubuhnya ke pinggir pagar.

Raka memejamkan mata, air mata mengalir di pipinya. Ia merasakan hembusan angin dingin menerpa wajahnya. Di bawah sana, lapangan sekolah tampak kecil. Ia tahu. Ia tahu apa yang akan terjadi. Ini adalah akhir.

Namun, kita tidak melihat Raka melompat. Kita tidak melihat ia jatuh. Tiba-tiba, kamera ponselnya yang tadi ia letakkan di sakunya, menyala sendiri. Layarnya memancarkan cahaya redup, lalu mulai merekam. Kamera itu mengarah ke bawah, merekam pemandangan dari atas gedung, dengan Raka yang berdiri di pinggir pagar.

Sebuah suara static terdengar dari ponsel. Lalu, layar menjadi gelap total.

Keheningan menyelimuti. Tidak ada suara Raka, tidak ada suara benturan. Hanya keheningan yang mencekam, seolah sang Watcher telah menyelesaikan pekerjaannya dan mematikan rekaman.

Namun, beberapa saat kemudian, di kegelapan yang sama, sebuah notifikasi berbunyi lagi…

Bukan di ponsel Raka yang kini tergeletak entah di mana. Notifikasi itu berbunyi di ponsel lain. Sebuah ponsel yang tergeletak di meja di ruang tamu rumah yang berbeda. Ponsel itu milik seorang remaja laki-laki, yang sedang asyik bermain game. Ia adalah sahabat baru Raka di kelas, yang baru pindah minggu lalu, dan belum tahu apa-apa tentang kengerian yang menimpa Raka dan orang-orang di sekitarnya.

Layar ponsel itu menampilkan ikon mata yang mengintip, dan sebuah video baru siap diputar. Kisah horor tentang Watcher dan takdir yang terekam, telah menemukan penonton barunya. Dan lingkaran teror itu, mungkin, akan terus berlanjut.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)