Cerpen
Disukai
2
Dilihat
14,865
NINGRAT
Drama

Keluarga Harjo Sumitro adalah keluarga terpandang di kota kecil ini. Mereka masih keturunan darah biru dari klan salah satu Keraton Jawa. Dua dari tiga anaknya, adalah pengusaha di bidang masing-masing, mengikuti jejak orang tua. Hanya si bungsu—Syailendra—yang berprofesi berbeda, dia lebih memilih mengabdi pada negara, sebagai tenaga pendidik. Setahun terakhir dirinya bertugas di sebuah kepulauan Kawasan Indonesia Timur. 


R.M. Harjo Sumitro sebenarnya lebih menyukai si anak--R. Syailendra—untuk mengikuti jejak beliau dan kakak-kakaknya. Si anak berkukuh ingin menjalani profesinya meski harus hidup terpisah jauh di pelosok sebuah kepulauan.

***


Hari ini Syailendra—panggilan yang diinginkannya tanpa embel-embel—terpaksa naik perahu untuk pergi mengajar. Jalan yang biasa dia lalui licin penuh lumpur tak bisa dilalui kendaraan roda dua, seperti motornya. Sebuah ransel bertengger di punggung dan sebuah map tergenggam di tangan.


Pria berambut cepak ini mulai menyusuri jalan dengan motornya ke arah dermaga kecil. Seorang pria tua bertopi lusuh, mengisap rokok kreteknya dalam-dalam menunggu calon penumpang di samping perahu yang tertambat.


Si pria tua menoleh mendengar suara motor Syailendra, lalu tersenyum menampakkan gigi-gigi rapi berlapis merah sisa kunyahan pinang. Sudah menjadi tradisi di daerah ini, hampir sebagian besar orang dewasa mengunyah pinang. Dulu saat awal tinggal, Syailendra merasa jijik melihat gigi mereka merah sisa pinang.


“Selamat pagi, Bapak Guru,” sapanya ramah sembari membantu dorong motor ke atas kapal, Syailendra tetap di atas motor dengan hati-hati mengatur gas motor.


“Selamat pagi juga, Pak. Tumben sepi?”


“Banyak yang sakit, Bapak. Malaria merajalela,” jawab Pak Tua sembari melepas ikatan tali tambang. Perahu siap dijalankan.


“Kena satu kampung, Pak?” Syailendra makin penasaran.


Pak Tua akhirnya bercerita panjang lebar mengenai penduduk kampungnya yang kena pandemi malaria. Beruntung dia tinggal di luar desa, karena tinggal di kampung istrinya. Perahu mulai berlabuh, Pak Guru mulai mengangkat motor dibantu Pak Tua, setelah itu selembar uang warna biru dia selipkan ke telapak keriput si penarik perahu. Seketika senyum lebar tersuguh di hadapannya. Pak guru muda merasa lega, sembari melambai berpamitan.

***


Situasi sekolah tampak lengang, hanya satu dua murid hilir mudik, belum nampak pula ada pengajar lain di sekolah. Syailendra memasuki ruang guru yang kosong tak berpenghuni. Sampai jam sekolah dimulai, tak ada seorang guru pun yang datang dan Syailendra memutuskan menyatukan beberapa murid yang datang dalam satu ruangan kelas, agar lebih gampang melakukan pengajaran. Keadaan tak berubah sampai jam sekolah usai, hanya Syailendra ditemani beberapa murid menutup ruang kelas dan kemudian pulang dengan beriring. 


Murid dengan jarak rumah terjauh diantarkan pulang, sengaja ingin bersilaturahmi dengan orang tua murid sekalian melihat keadaan warga yang diserang pandemi malaria. Sejak hari itu Pak Guru Syae—begitu murid dan warga memanggilnya—sering mengunjungi murid-muridnya memberi semangat dan sekadar bantuan untuk keluarga si murid.


***

Sejak semalam Pak Guru Syae merasa tak nyaman dengan badannya. Kepalanya mulai demam dan pusing, badan menggigil, lalu oleh salah satu tetangga diantar ke Puskesmas. Bisa jadi karena faktor kecapekan dan hari-hari terakhir sering mengunjungi daerah pandemi malaria, akhirnya Pak Guru Syae ikut terjangkit dan harus menjalani rawat inap di tempat tersebut. 


Dia memerlukan pendonor darah karena persediaan darah untuk kriteria darah Pak Guru Syae termasuk langka dan kebetulan sedang habis. Beruntunglah ada salah satu teman gurunya mempunyai kriteria darah yang sama, dengan senang hati jadi pendonor.


Setelah tiga hari dirawat, orang tua dan kakak tertuanya datang membesuk. Mereka kaget setelah mengetahui bahwa si pendonor darah adalah kaum biasa, bukan kalangan bangsawan. Mereka mengajukan keberatan dengan tindakan tenaga para medis yang telah menangani perawatan si putra. 


Si pendonor—Bu Guru Halimah—yang mengetahui hal tersebut merasa direndahkan, akhirnya memilih pulang. Dia yang selama ini tanpa lelah menjaga Pak Guru Syae karena merasa sama-sama jauh dari sanak keluarga, ada perasaan senasib. Hari itu Bu Guru Halimah hingga beberapa hari selanjutnya tak datang berkunjung lagi. Hal ini membuat ada sesuatu yang hilang di hati Pak Guru Syae. Entahlah, sejak kapan ada rasa itu dan sekarang mulai dirasakan olehnya.


Akhirnya, rasa itu juga yang mendorongnya untuk mencoba menghubungi Bu Guru Halimah dan ponsel sedang tak aktif, lalu mencoba berkirim pesan, sampai tengah hari pesan pun tak berbalas. Pak guru ganteng tak kehilangan akal, diam-diam di belakang keluarga, menelepon Bu Guru Halimah dengan nekat meminjam ponsel salah satu perawat di situ.


Setelah terhubung, Pak Guru Syae memberi penjelasan pada bu guru dan meminta maaf, akhirnya mau mengerti penjelasan Pak Guru Syae, tapi masih enggan berkunjung meski ada rasa khawatir dengan keadaan rekan sejawat yang telah mampu mencuri separuh hatinya itu.


Selama ini Bu Guru Halimah adalah wanita lajang dan mandiri yang tak pernah menjalin hubungan mesra dengan lawan jenis. Postur tubuh dan wajah yang rupawan bersanding dengan kecerdasan otaknya, cukup membuat minder lawan jenis. 


Sekarang wanita idaman para pria ini telah tertambat hatinya oleh pria berdarah bangsawan. Bu Guru Halimah hanya bisa menunggu, Pak Guru Syae mengutarakan isi hatinya.


Beberapa hari tak masuk, akhirnya Pak Guru Syae datang ke sekolah meski masih bermuka pucat masuk kerja. Dia tak datang sendiri, ada orang tua dan kakaknya. Keluarga Pak Guru datang karena mau mengantar si putra dan sekalian ada pembicaraan khusus dengan Bu Guru Halimah. 


“Kami hanya ingin mengganti darah yang dipakai anakku,” ucap R.M. Harjo Sumitro kepada Bu Guru Halimah sambil menyodorkan sebuah amplop berwarna coklat terlihat penuh mengelembung.


Melihat sikap ramanya yang seakan meremehkan wanita di depannya, Pak Guru Syae seketika meradang, padahal biasanya menjadi anak penurut


“Apa maksud, Romo?” tanya si anak, sungguh tak terima dengan pertanyaan si Romo.


“Romo hanya ingin membalas budi baik Beliau. Itu saja,” jawab R.M. Harjo Sumitro dengan senyum misterius.

Melihat ada gelagat tidak baik, Bu Guru Halimah berusaha bersikap sebijak mungkin menghargai keluarga teman sejawatnya.


“Terima kasih sekali dan minta maaf sebanyak-banyaknya, bukan saya tidak menghargai kebaikan Bapak dan Ibu. Saya memberi darah tersebut ikhlas karena Allah, tolong kasih saya kesempatan untuk mendapat pahala-Nya. Mohon simpan kembali amplopnya, insyaallah gaji saya sudah cukup. Saya pamit mengajar dulu, permisi, “ ucap bu guru berhijab ini sembari menangkupkan kedua tangan di depan dada dan berlalu dari hadapan para tamunya. 


Melihat Bu Halimah berlalu, Pak Guru Syae buru-buru menyusul langkah wanita idamannya tersebut, tapi keburu masuk kelas. Pria berambut cepak ini akhirnya balik langkah ke arah ruang guru dan berusaha memberi pengertian pada keluarganya, meminta mereka untuk kembali ke rumah.

***


Beberapa hari kemudian sekolah mendadak kedatangan Tamu Agung, pemilik sebagian besar perkebunan kelapa di pulau tersebut dan sekaligus donatur tetap sekolah. Beliau adalah masih keturunan Sultan dari Sulawesi. Tentu saja pihak sekolah dibuat kalang kabut dibuatnya. Dalam upacara khusus si Bangsawan Sulawesi secara simbolis memberikan bantuan untuk pembangunan gedung baru beserta lahannya.


“Saya ingin memperkenalkan anak satu-satunya sekaligus penerus garis keturanan keluarga Ananda Andi Halimatus Sa’diah.”


Semua yang hadir memandang tak percaya, karena selama ini Bu Guru Halimah hidup dengan bersahaja tak pernah terlihat seorang putri keturunan Sultan. Keluarga Pak Guru Syae yang ikut menghadiri acara tersebut dibuat terbengong-bengong.


TAMAT




Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)