Masukan nama pengguna
Bab 1 – Proyek Neuron
Udara di laboratorium Proyek Neuron selalu berbau ozon dan sedikit metalik, campuran yang bagi Dr. Ardyan Satya lebih memabukkan daripada parfum termahal. Di sana, di jantung fasilitas penelitian bawah tanah yang disokong oleh dana tak terbatas dari konsorsium riset global, Ardyan merasa seperti dewa. Bukan dewa pencipta, melainkan dewa penata ulang. Penata ulang pikiran.
Pria itu, Dr. Ardyan Satya, adalah arsitek dari ambisi paling berani umat manusia: memprogram ulang kesadaran. Usianya baru awal empat puluhan, namun rambut hitamnya sudah dihiasi uban halus di pelipis, menambah kesan bijaksana pada wajahnya yang tajam. Matanya, di balik kacamata berlensa tipis, selalu memancarkan kecerdasan yang hampir menakutkan, seperti sepasang lensa teleskop yang selalu mencari bintang baru di alam semesta. Hari ini, bintangnya adalah metode gelombang suara. Bukan suara yang bisa didengar telinga, melainkan frekuensi super-halus yang menargetkan neuron tertentu di otak. Tujuannya? Mempengaruhi pola pikir manusia, bukan dengan paksaan, melainkan dengan bisikan yang tak terlihat, sentuhan yang tak terasa.
"Kita tidak sedang menciptakan kendali pikiran, Profesor," katanya suatu sore kepada mentor lamanya, Profesor Widjaja, yang duduk di kursi ergonomis di ruang kendali utama. Ardyan tidak pernah membiarkan orang lain menyebutnya "Dokter" di laboratorium, seolah gelar itu terlalu umum untuk ambisinya. "Kita sedang memberikan penyembuhan yang paling hakiki. Bayangkan seorang veteran perang yang tak bisa lepas dari jeratan PTSD, seorang remaja yang terperangkap dalam depresi kronis, atau bahkan seorang penjahat dengan kecenderungan antisosial yang mengakar. Metode Neuron bisa menulis ulang naskah itu. Mengganti tragedi dengan harapan, kebencian dengan empati."
Profesor Widjaja, seorang neurolog veteran dengan puluhan tahun pengalaman, hanya mengangguk pelan, matanya menyipit memandang layar holografik yang menampilkan model tiga dimensi dari otak manusia. "Ambisius, Ardyan. Sangat ambisius. Tapi garis antara penyembuhan dan manipulasi seringkali sangat tipis. Kau yakin bisa mengendalikannya?"
Ardyan tersenyum, senyum percaya diri yang selalu berhasil meyakinkan para penanam modal dan rekan sejawatnya. "Itu sebabnya kita di sini, Profesor. Untuk menguasai garis itu. Kita berbicara tentang resonansi harmonik, frekuensi yang berinteraksi dengan gelombang otak alami, memperkuat atau meredam sinyal-sinyal tertentu. Ini bukan paksaan, melainkan bimbingan."
Dia berjalan mendekati panel kontrol yang dipenuhi tombol-tombol sentuh bercahaya dan layar berkedip. Di tengah ruangan, sebuah kubah transparan besar berdiri, memancarkan cahaya biru lembut. Itu adalah ruang isolasi akustik, tempat eksperimen frekuensi akan dilakukan. Di dalamnya, sebuah kursi berlengan dengan bantalan sensor terpasang kokoh.
"Lihat ini," Ardyan menunjuk ke grafik yang muncul di layar utama, menunjukkan pola gelombang otak seseorang yang menderita fobia sosial parah. Garis-garisnya kacau, penuh puncak dan lembah yang tidak teratur. "Otak adalah orkestra paling kompleks di alam semesta. Terkadang, ada instrumen yang sumbang, atau konduktor yang salah langkah. Kita akan menjadi konduktor yang memperbaiki simfoni itu."
Keyakinannya menular. Rekan-rekannya, tim kecil yang terdiri dari para ahli neurosains, insinyur akustik, dan psikolog kognitif, memandangnya dengan kekaguman. Mereka adalah orang-orang terbaik di bidangnya, ditarik dari universitas-universitas top dunia, dan semua terhipnotis oleh visi Ardyan. Dr. Lena Wijaya, seorang ahli psikologi yang cerdas dan skeptis, adalah satu-satunya yang terkadang mengajukan pertanyaan yang menusuk.
"Tapi bagaimana kita memastikan tidak ada efek samping yang tak terduga, Ardyan?" tanya Lena suatu hari, sambil mengamati monitor yang menampilkan aktivitas otak seekor simpanse yang sedang menjalani sesi uji coba. "Otak adalah sistem yang sangat rapuh. Bahkan perubahan kecil bisa memiliki efek domino."
"Itu sebabnya kita memiliki protokol pengujian yang ketat, Lena," Ardyan menjawab dengan sabar, menunjuk ke serangkaian data yang mengalir di layar. "Kami memantau setiap fluktuasi, setiap mikrometer perubahan. Kami mulai dengan frekuensi rendah, secara bertahap meningkat, memastikan bahwa subjek tidak menunjukkan tanda-tanda stres atau anomali. Simpanse itu, 'Alpha', menunjukkan penurunan signifikan dalam perilaku agresif setelah sesi seminggu."
Ardyan memang brilian. Ia telah menghabiskan lima belas tahun terakhir hidupnya terbenam dalam studi neuroplastisitas dan resonansi bio-elektrik. Disertasinya tentang "Mikro-Gelombang Infrasonik dan Pengaruhnya pada Jalur Saraf Emosional" telah menggemparkan dunia ilmiah, meskipun banyak yang meragukan aplikasinya di dunia nyata. Namun Ardyan tidak pernah menyerah. Ia percaya bahwa solusi untuk sebagian besar penderitaan mental manusia tersembunyi dalam frekuensi yang belum ditemukan.
Dia menganggap dirinya lebih dari sekadar ilmuwan; dia adalah seorang revolusioner. Ia membayangkan dunia di mana depresi adalah kenangan usang, di mana kecemasan sosial adalah fobia yang bisa disembuhkan dengan beberapa sesi terapi gelombang. Dunia yang lebih damai, lebih bahagia, lebih fungsional. Dan dia, Dr. Ardyan Satya, akan menjadi arsiteknya.
Setiap pagi, ia adalah orang pertama yang tiba di laboratorium, kopi hitam mengepul di tangannya. Ia akan menyalakan semua monitor, memeriksa data semalam, dan merencanakan sesi eksperimen hari itu. Seringkali, ia akan berdiri di depan kubah transparan, mengamati kursi di dalamnya, membayangkan para pasien yang akan duduk di sana, menaruh harapan mereka di tangannya.
"Ini bukan hanya tentang mengubah pikiran, ini tentang memulihkan potensi," ia pernah berkata kepada timnya dalam sebuah rapat. "Setiap orang memiliki potensi untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka. Terkadang, hanya perlu sedikit dorongan, sedikit penyesuaian frekuensi, untuk mengeluarkan potensi itu. Kita adalah katalisator."
Keyakinannya memancar dari setiap pori-porinya. Dia berbicara dengan gestur tangan yang meyakinkan, matanya berbinar dengan semangat seorang penemu. Ia bisa memecahkan masalah kompleks di papan tulis putih dengan kecepatan kilat, mengisi permukaannya dengan persamaan-persamaan rumit dan diagram-diagram otak yang rumit. Tidak ada yang pernah meragukan kapasitas intelektualnya. Namun, di balik kecemerlangan itu, ada aura obsesi yang halus. Ia bekerja tanpa henti, terkadang melupakan makan, bahkan tidur. Ruang kerjanya adalah sarang kekacauan terorganisir, dengan tumpukan buku, jurnal, dan cetakan diagram otak yang tersebar di mana-mana.
Suatu malam, ketika semua orang sudah pulang, Ardyan masih di laboratorium. Ia mengutak-atik generator frekuensi utama, menyempurnakan algoritmanya. Ia merasa ada sesuatu yang kurang, sebuah variabel kecil yang bisa membuat perbedaan besar. Lampu-lampu fluoresen berkedip di atasnya, mencerminkan pantulan di kacamata Ardyan yang membuatnya terlihat seperti robot yang sedang berpikir. Ia memutar kenop, menekan tombol, dan mengamati grafik yang muncul. Sebuah pola baru, lebih halus, lebih kompleks, mulai terbentuk.
"Ya," bisiknya pada dirinya sendiri, senyum kecil mengembang di bibirnya. "Ini dia. Kunci menuju resonansi yang sempurna."
Ia merasa di puncak dunia. Di masa depan, sejarah akan mengingat namanya. Ardyan Satya, pria yang membuka kunci pikiran. Dia berjalan keluar dari laboratorium, langkahnya ringan, seolah baru saja menyelesaikan sebuah maraton dan memenangkan medali emas. Langit malam di atasnya bertabur bintang, dan ia merasa seolah ia bisa menyentuh salah satunya. Ia adalah maestro, dirigen yang akan memimpin orkestra paling rumit di dunia ke simfoni yang harmonis.
Dia tidak tahu, bahwa di balik semua kepercayaan diri dan kecemerlangannya, benih-benih keretakan telah mulai ditanam. Benih yang akan tumbuh subur, perlahan-lahan menjerat dan memutarbalikkan melodi yang coba dia ciptakan, hingga simfoni itu berubah menjadi jeritan. Bisikan-bisikan halus yang ingin ia kirimkan ke pikiran orang lain, suatu hari nanti, akan menjadi bisikan-bisikan yang menghantuinya sendiri.
Bab 2 – Subjek dan Sukses Awal
Setelah penemuan 'resonansi sempurna' yang diyakini Ardyan, semangat di Proyek Neuron mencapai puncaknya. Ada kegembiraan yang hampir tak terkendali di antara tim, seperti para penjelajah yang baru saja menemukan peta menuju harta karun. Ardyan, dengan auranya yang kian memancarkan keyakinan, adalah kapten kapal yang tak pernah goyah. Ruang kendali yang sebelumnya diisi dengan dengungan mesin dan bisikan teknis, kini juga dipenuhi gelak tawa dan tepuk tangan saat setiap grafik menunjukkan kemajuan.
Eksperimen awal difokuskan pada hewan, sebuah fase krusial yang harus mereka lewati sebelum berlanjut ke subjek manusia. Mereka menggunakan kelompok kera ekor panjang yang sebelumnya menunjukkan pola agresif yang tinggi. Kera-kera itu, ditempatkan satu per satu di dalam kubah isolasi, dipaparkan pada gelombang frekuensi yang telah Ardyan sempurnakan. Setiap sesi dipantau dengan cermat, dengan kamera inframerah menangkap setiap gerakan dan sensor elektroda mengukur respons saraf.
"Lihat ini, Lena!" seru Ardyan suatu pagi, matanya terpaku pada monitor yang menampilkan rekaman video. Seekor kera jantan yang dikenal paling agresif, "Kobe," yang biasanya akan mengamuk dan mencoba menyerang setiap kali didekati, kini duduk tenang di sudut kandangnya, mengupas pisang dengan santai. Grafik aktivitas otaknya menunjukkan penurunan drastis pada area yang terkait dengan agresi dan ketakutan. "Gelombang Alpha-Theta-nya stabil. Tidak ada anomali. Ini bukan penenangan paksa, ini… re-kalibrasi perilaku."
Lena, ahli psikologi yang masih mempertahankan sedikit skeptisisme, mendekat. Dia mengamati Kobe selama beberapa menit, lalu beralih ke grafik. "Secara perilaku memang menunjukkan perubahan positif, Ardyan. Tapi kita perlu memastikan ini permanen dan tidak ada efek kognitif jangka panjang yang merugikan. Ingat kasus Tikus Delta dalam uji coba awal frekuensi ultra-rendah? Koordinasi motoriknya sempat terganggu."
"Kita sudah jauh dari itu, Lena," jawab Ardyan dengan gelombang tangan, seolah menepis keraguan itu sebagai sisa-sisa masa lalu yang telah usang. "Algoritma sekarang jauh lebih presisi. Kita tidak lagi mengebiri fungsi otak; kita hanya menyelaraskan frekuensinya. Ini seperti menyetel kembali senar gitar yang sumbang agar berbunyi harmonis lagi."
Seiring berjalannya minggu, hasil pada hewan semakin meyakinkan. Bukan hanya agresivitas yang berkurang, tetapi juga tanda-tanda kecemasan pada hewan yang sebelumnya menunjukkan perilaku cemas berlebihan. Ada simpanse yang sebelumnya fobia terhadap ruang tertutup, kini bisa berdiam diri di dalam kandang tanpa tanda panik. Tingkat stres kortisol mereka menurun drastis. Seluruh tim bersorak ketika konsorsium riset memberikan lampu hijau untuk uji coba pada manusia.
Fase uji coba pada manusia dimulai dengan protokol yang sangat ketat dan sukarelawan yang telah menandatangani surat persetujuan penuh. Mereka adalah pasien dengan diagnosa klinis depresi mayor yang resisten terhadap pengobatan konvensional, PTSD parah, dan beberapa kasus fobia spesifik yang melumpuhkan. Masing-masing menjalani serangkaian tes psikologis dan neurologis yang mendalam sebelum dan sesudah sesi.
Pasien pertama adalah seorang wanita paruh baya, Ibu Siti, yang telah menderita depresi berat selama lebih dari sepuluh tahun. Matanya selalu muram, bahunya membungkuk, seolah memikul beban tak terlihat. Setelah tiga sesi pemaparan gelombang, yang masing-masing berlangsung selama 30 menit, perubahannya sungguh mencengangkan.
"Saya... saya bisa merasakan cahaya lagi, Dokter Ardyan," ucap Ibu Siti dengan suara bergetar saat sesi evaluasi. Air mata membasahi pipinya, namun kali ini itu adalah air mata lega. "Saya bisa tidur nyenyak. Makanan terasa nikmat lagi. Saya bahkan… saya tersenyum. Sesuatu yang sudah lama sekali tidak saya lakukan."
Ruangan evaluasi dipenuhi keharuan. Bahkan Lena yang skeptis pun mengusap sudut matanya. Ardyan berdiri tegak, dadanya membusung bangga. Ini bukan hanya data, ini adalah bukti nyata dari visi transformatifnya. Ia telah mengubah hidup seseorang.
Keberhasilan demi keberhasilan mulai berdatangan. Seorang veteran perang yang seringkali terbangun di tengah malam dengan jeritan trauma, kini tidur pulas dan melaporkan mimpi yang tenang. Seorang pria dengan fobia ketinggian parah, yang bahkan tak bisa menaiki eskalator, kini berani berdiri di balkon lantai lima belas tanpa rasa panik. Proyek Neuron bukan lagi sekadar eksperimen, melainkan sebuah keajaiban yang nyata.
Di tengah euforia ini, pikiran Ardyan mulai melampaui batas laboratorium. Jika frekuensi ini bisa menyembuhkan, mengapa tidak bisa mengoptimalkan? Jika ia bisa meredam emosi negatif, mengapa tidak bisa memperkuat emosi positif? Sebuah ide berbahaya, namun memabukkan, mulai menari-nari di benaknya. Ide tentang 'pengaruh tanpa disadari'.
Ardyan mulai melakukan eksperimen kecil, di luar protokol resmi dan tanpa sepengetahuan timnya. Target pertamanya adalah Dr. Budi, seorang ahli biofisika di timnya yang seringkali menunjukkan sikap pesimis dan sinis. Budi adalah seorang jenius, tetapi aura negatifnya seringkali menurunkan semangat tim.
Diam-diam, Ardyan memasang perangkat frekuensi mini yang dimodifikasi di balik ventilasi udara di kantor Budi. Perangkat itu diatur untuk memancarkan gelombang frekuensi yang sangat rendah, hampir tak terdeteksi, yang dirancang untuk merangsang area otak yang terkait dengan optimisme dan kolaborasi. Hanya satu jam sehari, selama seminggu.
Hasilnya, bagi Ardyan, menakjubkan. Dr. Budi, yang biasanya cemberut, mulai tersenyum. Ia mulai memberikan ide-ide konstruktif, bahkan melontarkan lelucon ringan saat rapat. "Aku tidak tahu kenapa, tapi rasanya hari-hariku jadi lebih cerah belakangan ini," ucap Budi suatu pagi, tanpa menyadari sumber perubahannya. "Padahal kerjaan makin menumpuk. Mungkin aku butuh liburan."
Ardyan tersenyum tipis. Ini adalah bukti. Bukti bahwa 'pengaruh tanpa disadari' itu mungkin. Bukti bahwa ia tidak hanya bisa menyembuhkan, tetapi juga membentuk. Sebuah sensasi kekuatan yang luar biasa mengalir dalam dirinya, seperti listrik statis yang membelai kulit.
Langkahnya selanjutnya lebih berani. Ia mulai mengaplikasikan frekuensi yang lebih halus ke seluruh timnya secara bertahap. Di ruang rapat, di area istirahat, bahkan di koridor, ia memasang pemancar mini yang tersembunyi. Tujuannya adalah menciptakan lingkungan kerja yang harmonis, produktif, dan penuh semangat kolaborasi.
Timnya memang menjadi luar biasa. Ide-ide mengalir lebih lancar, perselisihan berkurang, dan produktivitas meroket. Mereka bekerja hingga larut malam tanpa keluhan, bahkan dengan senyum di wajah. Lena, yang sebelumnya cukup vokal dalam keraguannya, kini lebih cenderung mengangguk setuju dengan ide-ide Ardyan. Dia terlihat lebih bersemangat, bahkan sesekali menyarankan pengembangan fitur baru untuk Proyek Neuron.
"Luar biasa, Profesor," kata Lena suatu sore, saat mereka meninjau data kemajuan. "Kita mencapai target dalam waktu yang jauh lebih singkat dari perkiraan. Tim ini... rasanya seperti mesin yang disetel sempurna."
"Memang begitu, Lena," Ardyan menjawab, menatap cermin di dinding ruang kendali. Pantulan dirinya terlihat bersemangat, lebih muda dari usianya. Ada kilatan dalam matanya yang belum pernah ada sebelumnya. Kilatan kemenangan, kilatan kekuatan. "Kita memang mesin yang disetel sempurna."
Namun, di balik kegembiraan itu, ada sedikit gelombang aneh yang mulai Ardyan rasakan sendiri. Saat ia mengamati timnya yang bekerja dengan antusiasme yang terkadang terasa sedikit... berlebihan, ia merasakan semacam dengungan halus di kepalanya. Bukan sakit, lebih seperti resonansi yang sangat samar, seperti senar biola yang terus-menerus digesek di frekuensi yang sangat tinggi, nyaris tak terdengar.
Ia mengira itu hanya kelelahan, atau mungkin efek samping dari terlalu sering berada di lingkungan radiasi frekuensi. Ia telah mengukur kadar radiasi secara berkala, dan semuanya aman, jauh di bawah ambang batas yang merugikan. Ia bahkan sesekali memaparkan dirinya pada frekuensi rendah yang ia gunakan untuk 'mengoptimalkan' timnya, hanya untuk merasakan efeknya. Dan memang, ia merasa lebih fokus, lebih berenergi, dan ide-ide mengalir tanpa henti. Ia merasa di puncak dunia.
Suatu malam, Ardyan sedang menyelesaikan laporannya. Di mejanya, ada sebotol air mineral yang ia ambil dari dispenser di ruang istirahat. Ketika ia hendak minum, ia melihat pantulan dirinya di permukaan botol. Wajahnya terlihat, tetapi ada sesuatu yang aneh. Seolah ada bayangan tipis, transparan, yang berkedip-kedip di tepi pandangannya, membelit kepalanya seperti lingkaran asap yang tipis. Ia mengedipkan mata, dan bayangan itu menghilang.
"Pasti cuma efek cahaya," gumamnya, menggelengkan kepala. Ia terlalu banyak bekerja.
Namun, kejadian kecil itu mulai terulang. Di cermin kamar mandinya di apartemen, ia sesekali melihat kilatan singkat dari bentuk yang tidak jelas di belakangnya, tepat di bahunya, seolah ada seseorang yang berdiri di sana. Ketika ia berbalik, tidak ada siapa-siapa. Di jendela mobilnya saat lampu lalu lintas merah, ia melihat refleksi yang sedikit terdistorsi, seolah ada riak tak terlihat yang mengganggu pantulannya.
Ia mulai bertanya-tanya. Apakah gelombang frekuensi yang ia gunakan, meskipun sangat rendah, memiliki efek kumulatif pada dirinya sendiri? Atau, apakah ia hanya terlalu lelah dan terlalu obsesif dengan pekerjaannya? Pertanyaan-pertanyaan itu seperti bisikan kecil di sudut pikirannya, mudah diabaikan di tengah euforia kesuksesan yang ia rasakan.
Ardyan mendapati dirinya berbicara lebih banyak kepada dirinya sendiri saat sendirian. Bukan monolog internal, tetapi ucapan-ucapan singkat yang terlontar begitu saja. "Ya, itu ide bagus," atau "Aku harus memeriksa itu," seolah-olah ada orang lain yang mendengarkan di ruangan itu. Ia sering memutar-mutar pena di antara jari-jarinya, pandangannya kadang kosong, tenggelam dalam pemikiran yang terlalu jauh.
Satu-satunya orang yang masih menjaga jarak dan pandangan kritis adalah Profesor Widjaja. Meskipun ia bangga dengan kemajuan Ardyan, Widjaja seringkali melihat keheningan yang tak biasa di mata Ardyan, di balik kecemerlangan yang ditunjukkannya. Ia melihat Ardyan terlalu sering di laboratorium, terlalu banyak menghabiskan waktu sendirian dengan perangkat.
"Kau harus istirahat, Ardyan," kata Widjaja suatu malam, saat menemukan Ardyan masih bekerja di meja kerjanya pukul dua pagi. "Otakmu butuh istirahat. Bahkan sang maestro perlu tidur."
Ardyan tersenyum, senyum yang sedikit terlalu lebar. "Saya istirahat di sini, Profesor. Saya merasa lebih hidup di sini daripada di tempat tidur mana pun."
Widjaja hanya menghela napas. Ia tahu Ardyan tidak akan mendengarkan. Ardyan di puncak dunia, terbuai oleh pencapaiannya, mabuk oleh sensasi kekuatan dan kontrol. Dia tidak melihat bayangan yang mulai memanjang, perlahan-lahan menyelimuti dirinya. Dia tidak merasakan retakan kecil yang mulai terbentuk di fondasi pikirannya, hasil dari gelombang yang ia percaya dapat menyembuhkan, namun secara diam-diam juga mulai mengikis dirinya dari dalam. Dia hanya melihat puncak gunung, tanpa menyadari bahwa ia sedang melangkah menuju jurang yang tak terlihat.
Bab 3 – Bayangan di Cermin
Euforia Proyek Neuron bagai ombak besar yang membanjiri seluruh fasilitas, mengangkat setiap anggota tim ke puncak kegembiraan. Namun, bagi Dr. Ardyan Satya, ombak itu mulai terasa seperti arus bawah yang menariknya menjauh dari daratan. Kilau kemenangan yang begitu terang kini memunculkan bayangan-bayangan panjang di setiap sudut pandangannya. Gelombang halus yang ia ciptakan untuk mengoptimalkan pikiran orang lain, kini seperti melodi sumbang yang hanya bisa ia dengar.
Peristiwa-peristiwa kecil yang sebelumnya ia anggap sebagai kelelahan atau ilusi optik, mulai merayap naik, menjadi lebih sering, lebih nyata, dan lebih mengganggu. Dengungan samar di kepalanya semakin intens, seperti seekor lebah yang terperangkap di dalam tengkoraknya, bergetar di frekuensi yang nyaris tak tertahankan. Itu bukan rasa sakit, melainkan sebuah ketidaknyamanan yang konstan, menggerogoti konsentrasinya dari dalam.
Suatu pagi, saat Ardyan sedang meninjau data gelombang otak terbaru dari seorang pasien yang menunjukkan pemulihan luar biasa, ia merasa seperti ada sepasang mata yang mengawasinya dari balik bahu. Ia berbalik dengan cepat, jantungnya berdebar, tetapi tidak ada siapa-siapa. Hanya dinding putih laboratorium yang steril. Ia menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. "Hanya imajinasiku," gumamnya, meskipun suara itu terdengar asing di telinganya sendiri.
Namun, perasaan diawasi itu tak kunjung hilang. Di lorong yang sepi, ia akan merasakan bulu kuduknya berdiri. Di ruang istirahat, saat ia meraih cangkir kopi, ia merasa seperti ada seseorang yang bersembunyi di balik pilar. Ia mulai menyadari bahwa perasaan ini selalu muncul ketika ia sendirian. Seolah ada kehadiran tak terlihat yang mengikutinya, mengawasinya, menilai setiap gerakannya.
Hal ini mulai memengaruhi tidurnya. Malam-malam yang dulu tenang kini diisi dengan mimpi-mimpi aneh yang samar, di mana ia berlari di koridor tak berujung, diikuti oleh bisikan-bisikan yang tak bisa ia pahami. Ia akan terbangun dengan napas terengah-engah, keringat dingin membasahi dahinya, dan perasaan bahwa ia baru saja melarikan diri dari sesuatu yang tak bernama. Setelahnya, akan sulit baginya untuk kembali tidur, pikirannya berputar-putar dalam lingkaran keraguan.
Dulu, Ardyan dikenal karena ketelitiannya. Setiap catatan penelitian, setiap hasil uji coba, setiap pengamatan, semua tercatat rapi dalam jurnal digital dan fisik. Namun, belakangan ini, ia sering menemukan catatan-catatan pentingnya hilang, atau berpindah tempat. Sebuah laporan data kritis yang ia yakin sudah ia simpan di folder "Final Review" tiba-tiba berada di folder "Drafts". Pulpen favoritnya, yang selalu ia letakkan di sisi kanan mejanya, seringkali ditemukan di laci yang berbeda.
"Lena, apakah kau melihat pulpen saya?" tanyanya suatu sore, mencari-cari di laci mejanya.
Lena mengangkat bahu. "Tidak, Profesor. Mungkin terjatuh di bawah meja?"
Ardyan mendengus, merasa jengkel. Ini bukan pertama kalinya. Ia mulai curiga. Apakah ada yang bermain-main dengannya? Atau, lebih buruk lagi, apakah ada yang mencoba menyabotase pekerjaannya? Pikiran itu adalah virus pertama yang menular di otaknya, mengikis kepercayaan dirinya.
Kecurigaan itu meluas ke rekan-rekannya. Mata Ardyan mulai mengamati mereka dengan intensitas yang berbeda. Dr. Budi, yang kini selalu ceria berkat 'optimasi' frekuensinya, sesekali terlihat berbisik-bisik dengan Lena di sudut laboratorium. Ardyan melihat mereka tertawa, dan untuk sesaat, ia merasa tawa itu ditujukan padanya, sebuah tawa rahasia yang ia tidak pahami.
"Ada apa kalian berdua?" Ardyan bertanya, suaranya sedikit lebih tajam dari biasanya.
Budi dan Lena sontak terdiam, menoleh ke arahnya. "Oh, tidak ada apa-apa, Profesor," jawab Budi, senyumnya sedikit memudar. "Hanya membahas resep kopi baru yang Lena temukan."
Ardyan mengangguk, tetapi keraguan itu sudah tertanam. Senyum Budi terlihat dipaksakan, dan Lena sedikit memalingkan wajahnya. Mereka menyembunyikan sesuatu, pikir Ardyan. Mereka tahu. Mereka tahu tentang eksperimen kecilku pada mereka.
Keraguan ini mulai mengakar dan bercabang, memengaruhi cara Ardyan memandang dunia di sekitarnya. Cermin-cermin di rumahnya menjadi sumber kegelisahan baru. Awalnya hanya kilatan samar. Lalu, menjadi lebih jelas.
Saat ia mencukur jenggotnya di pagi hari, ia akan melihat pantulan wajahnya di cermin. Tetapi di belakangnya, di lorong yang kosong, ia kadang melihat sebuah bayangan yang tidak seharusnya ada. Sebuah figur tinggi, tipis, dengan kontur yang samar, seperti sosok manusia yang terbuat dari kabut. Sosok itu akan berdiri diam, mengawasinya. Ketika Ardyan membalikkan badan, sosok itu akan lenyap secepat kilat.
Awalnya ia mengira itu adalah fatamorgana optik, pantulan cahaya yang salah. Namun, frekuensinya semakin sering. Suatu malam, ia sengaja berdiri di depan cermin kamar tidurnya, menatap pantulannya sendiri. Ia menunggu. Dan kemudian, perlahan, di sudut atas cermin, sebuah riak kecil muncul, seperti air yang diganggu kerikil. Riak itu menyebar, mendistorsi pantulannya. Wajah Ardyan di cermin seolah bergetar, memanjang, lalu mengerut, menjadi sesuatu yang asing, sesuatu yang bukan dirinya. Matanya melebar, dan ia melihat pantulan matanya sendiri di cermin tiba-tiba terlihat… gelap. Sangat gelap, seperti lubang hitam kecil yang menganga.
Ardyan tersentak mundur, napasnya tersangkut di tenggorokan. Jantungnya berdebar tak karuan. Ia mengedipkan mata berulang kali, dan riak itu menghilang, wajahnya kembali normal. Ia mengulurkan tangan, menyentuh permukaan cermin. Dingin. Solid. Tidak ada apa-apa.
"Aku... aku terlalu banyak berpikir," bisiknya pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan diri. "Ini hanya efek samping dari paparan frekuensi. Pikiran saya sedang menyesuaikan diri."
Namun, di dalam lubuk hatinya, ia tahu ada yang tidak beres. Kata-kata Lena tentang efek samping yang tidak terduga mulai terngiang-ngiang. Apakah gelombang yang ia rancang untuk mengubah orang lain, secara perlahan juga mengubah dirinya? Apakah ia telah secara tidak sengaja mengubah frekuensi otaknya sendiri?
Ardyan mulai bicara sendiri lebih sering. Bukan lagi bisikan singkat, tetapi dialog penuh. Terkadang ia membantah argumen yang tidak ada, terkadang ia berdiskusi tentang penemuan baru seolah ada orang lain di ruangan itu. Ia sering duduk di mejanya, memegang kepalanya, dan bergumam, "Tidak, tidak, itu salah. Rumus itu tidak bisa diterapkan seperti itu." Seolah ia sedang berdebat dengan seseorang yang tak terlihat.
Timnya mulai menyadari perubahan pada Ardyan. Profesor Widjaja mengamatinya dengan kekhawatiran yang mendalam. Ardyan yang dulu begitu percaya diri, kini tampak gelisah. Ia sering terlihat menatap kosong ke kejauhan, atau tiba-tiba tersentak seolah baru saja mendengar sesuatu yang tak bisa didengar orang lain.
"Ardyan, kau baik-baik saja?" tanya Widjaja suatu siang, saat ia menemukan Ardyan berdiri di depan lemari server, berbicara pada dirinya sendiri.
Ardyan menoleh, ekspresinya kosong sesaat sebelum ia tersenyum tipis. "Ah, Profesor. Ya, saya baik-baik saja. Hanya sedang memikirkan optimasi algoritma yang lebih baik. Kadang saya menemukan ide terbaik saat bicara sendiri."
Widjaja mengangguk perlahan, tatapan matanya penuh keraguan. "Kau terlihat... tegang. Jangan terlalu memaksakan diri."
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," Ardyan bersikeras, tetapi ia merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Ia tahu ia tidak baik-baik saja.
Malam itu, Ardyan memasang kamera tersembunyi di beberapa titik di apartemennya. Ia ingin menangkap bukti keberadaan "mereka" yang mengawasinya, atau setidaknya, memastikan bahwa bayangan-bayangan di cermin itu hanya ilusi. Ia juga memasang perekam suara di dekat tempat tidurnya, berharap dapat menangkap bisikan-bisikan yang ia dengar dalam tidurnya.
Keesokan paginya, ia memutar rekaman suara. Suara napasnya yang teratur, gesekan selimut. Lalu, sekitar pukul tiga pagi, ia mendengar sesuatu. Sebuah suara, sangat samar, seperti bisikan berdesir. Suara itu tidak jelas, tidak membentuk kata-kata, lebih seperti hembusan angin yang membentuk pola suara yang aneh. Lalu, sebuah dengungan yang sangat rendah, hampir infrasonik, yang berlangsung selama beberapa detik sebelum mereda.
Ardyan memutarnya lagi, memperbesar volume. Dengungan itu memang ada. Itu adalah frekuensi yang sangat dekat dengan yang ia gunakan dalam Proyek Neuron, tetapi dengan sedikit anomali, sebuah distorsi yang tidak ia kenali. Ia mengerutkan kening. Apakah itu berasal dari luar? Atau... dari dalam?
Ia memeriksa rekaman kamera. Malam itu, di rekaman kamar tidurnya, tidak ada apa-apa. Hanya dirinya yang tidur pulas. Tetapi di rekaman ruang tamu, ia melihat sesuatu. Sekilas, di pantulan jendela ruang tamu, ada sebuah bayangan yang lewat. Bukan pantulan dirinya, karena ia sedang tidur. Bayangan itu tinggi, langsing, bergerak cepat melintasi bingkai jendela. Ardyan memutar ulang, memperlambatnya. Kali ini, ia melihatnya dengan lebih jelas. Bukan bayangan manusia. Lebih seperti distorsi udara, sebuah anomali visual yang bergerak dengan kecepatan tidak wajar.
Jantungnya berdebar kencang. Ia mematikan monitor, menjauh dari mejanya. Ada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Sesuatu yang melampaui efek gelombang frekuensi biasa.
Ia mencoba menjelaskan ini pada dirinya sendiri. Mungkin ia belum menyadari efek samping kumulatif dari paparan frekuensi intens selama berbulan-bulan. Ia telah memaparkan dirinya pada tingkat yang sangat rendah, tetapi terus-menerus, selama ia berada di laboratorium. Mungkin otaknya mulai bereaksi secara tidak terduga, menghasilkan halusinasi auditori dan visual.
Namun, di benaknya, ada suara lain yang berbisik. Mereka tahu. Mereka mengawasimu. Mereka mencoba mengambil karyamu. Ketidakpercayaan dan paranoia mulai meracuni persepsinya tentang realitas. Lingkaran setan ini terus berputar. Semakin ia merasa diawasi, semakin ia mencari bukti, dan semakin banyak "bukti" aneh yang ia temukan atau ciptakan dalam pikirannya.
Ardyan merasa terisolasi. Bagaimana ia bisa menjelaskan hal ini kepada timnya? Kepada Lena? Mereka akan mengira ia gila. Profesor Widjaja mungkin akan memaksanya cuti. Ia tidak bisa membiarkan itu terjadi. Proyek Neuron adalah hidupnya, dan ia hampir mencapai puncak.
Malam itu, Ardyan tidak tidur. Ia duduk di mejanya, membolak-balik jurnal penelitian lamanya. Setiap halaman, setiap rumus, setiap diagram, terasa asing. Seolah ada bagian dari dirinya yang telah terkikis, terdistorsi oleh gelombang tak terlihat.
Ia memandang keluar jendela, ke arah cakrawala kota yang diterangi lampu. Di sana, di antara gedung-gedung tinggi, ia bisa melihat pantulan samar dari bayangan yang bergerak. Kali ini, tidak hanya satu. Ada beberapa. Mereka menari-nari di antara gedung-gedung, seperti kumpulan asap yang memiliki tujuan.
Ardyan menahan napas. Ia tahu ini tidak mungkin nyata. Tetapi sensasinya begitu kuat, begitu meyakinkan. Bisikan-bisikan yang tadinya samar, kini mulai membentuk pola. Ia tidak bisa menangkap kata-katanya, tetapi ia bisa merasakan maknanya. Mereka adalah peringatan. Atau ancaman.
Ia bangkit dari kursinya, berjalan ke cermin di ruang tamu. Ia menatap pantulannya. Wajahnya pucat, mata cekung. Rambutnya berantakan. Ia tidak lagi melihat Dr. Ardyan Satya yang percaya diri dan brilian. Ia melihat seorang pria yang tercekik oleh ketidakpastian.
Saat ia menatap lebih dekat, ia melihatnya lagi. Riak di permukaan cermin. Kali ini, riak itu lebih besar, lebih jelas. Wajahnya di cermin mulai bergetar hebat. Lalu, perlahan, dari bayangan di belakang kepalanya, sebuah sosok muncul. Bukan bayangan samar seperti sebelumnya. Ini adalah figur yang lebih jelas, meskipun masih terdistorsi, seperti pantulan di permukaan air yang berombak.
Sosok itu memiliki mata yang bersinar redup. Ia tidak bergerak, hanya menatap Ardyan. Dan saat Ardyan menatap balik, ia mendengar sebuah bisikan, tidak dari luar, melainkan dari dalam kepalanya.
* "Kau tidak sendirian, Ardyan."*
Ardyan tersentak mundur, terhuyung-huyung, menabrak meja di belakangnya. Kaca cermin di depannya tampak retak, sebuah garis tipis melintang dari sudut atas ke bawah, tepat di atas pantulan wajahnya. Ia yakin ia melihatnya retak. Namun, ketika ia meraba permukaannya, tidak ada retakan. Halus, dingin, tak bernoda.
Ardyan jatuh ke lantai, meringkuk, memeluk kepalanya. Dengungan di otaknya semakin kencang, berubah menjadi suara mendesis yang memekakkan telinga. Ia mencoba menutup matanya, tetapi bayangan-bayangan itu masih menari di kelopak matanya. Ia mencoba menghardik suara itu, tetapi bisikan di kepalanya semakin jelas, semakin sering, semakin merasuk.
"Ini bukan aku," bisiknya, suaranya bergetar. "Ini bukan aku."
Tapi di dalam kekacauan pikirannya, sebuah suara lain menjawabnya. Suara yang dingin, tanpa emosi, dan terasa sangat… dekat.
* "Belum."*
Ardyan tidak lagi bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya permainan pikirannya. Lingkaran setan paranoidnya baru saja dimulai.
Bab 4 – Retakan
Dengungan di kepala Dr. Ardyan Satya kini tak ubahnya melodi permanen, sebuah irama bawah sadar yang mengiringi setiap pemikirannya. Bayangan-bayangan di cermin dan bisikan samar di malam hari bukan lagi anomali yang bisa diabaikan; mereka adalah kenyataan baru yang menakutkan, bukti tak terbantahkan bahwa ada sesuatu yang salah. Namun, alih-alih mencari bantuan, Ardyan justru mengunci diri dalam labirin paranoia yang semakin dalam, percaya bahwa ancaman itu datang dari luar dirinya, dari orang-orang terdekatnya.
Kejadian pecahnya cermin—atau setidaknya, yang Ardyan yakini telah pecah—menjadi titik balik. Itu adalah konfirmasi visual dari kekacauan yang merayapi otaknya. Ia menghabiskan sisa malam itu dalam keadaan gelisah, membolak-balik jurnalnya, mencari-cari penjelasan ilmiah yang rasional. Tapi setiap rumus, setiap teori, terasa kosong, tidak mampu menjelaskan teror yang baru saja ia alami.
Keesokan paginya, Ardyan tiba di Proyek Neuron dengan mata merah, disembunyikan di balik kacamata berlensa gelap yang biasanya tidak ia gunakan. Rambutnya berantakan, dan ia bergerak dengan kegugupan yang tidak biasa. Seluruh tim menyadari perubahannya, tetapi tak ada yang berani berkomentar. Aura brilian yang dulu menyelimuti Ardyan kini tergantikan oleh energi yang tak menentu, seperti awan badai yang siap pecah kapan saja.
Kecurigaannya terhadap timnya sendiri semakin menjadi-jadi. Setiap bisikan, setiap tatapan samping, setiap tawa kecil yang ia dengar di antara rekan-rekannya, kini ditafsirkan sebagai bagian dari sebuah konspirasi yang terorganisir. Ia yakin mereka tahu tentang 'eksperimen tanpa disadari' yang ia lakukan pada mereka, dan sekarang mereka berbalik melawannya, mencoba mencuri hasil penemuannya, atau bahkan menjatuhkannya.
"Mereka ingin mengambil formulaku," gumamnya suatu siang, saat ia mengamati Lena dan Budi yang sedang berdiskusi di ruang server. Ia bisa melihat gerakan tangan Lena yang antusias, tawa Budi yang terkekeh. Semuanya terasa seperti kode rahasia.
Malam itu, Ardyan memutuskan untuk bertindak. Ia tidak bisa lagi mempercayai siapa pun. Pertama, ia memasang perangkat penyadap kecil di meja kerja Lena dan Budi, serta di ruang rapat utama. Bukan alat penyadap biasa, melainkan mikrofon super sensitif yang ia modifikasi sendiri, mampu merekam percakapan dari jarak jauh dan menyaring kebisingan latar belakang. Ia akan mendengarkan setiap kata, mencari bukti pengkhianatan mereka.
Selanjutnya, ia mengunci semua catatan fisiknya – jurnal-jurnal tangan, sketsa awal formula gelombang, dan diagram-diagram sirkuit – di sebuah brankas baja berat yang tersembunyi di balik dinding palsu di kantornya. Brankas itu memiliki kombinasi rumit yang hanya ia ketahui, dan Ardyan bahkan tidak mencatatnya di mana pun, takut jika ada yang menemukan dan menyalinnya. Proses pengamanan ini memakan waktu berjam-jam, dilakukan di tengah kegelapan malam, dengan hanya cahaya senter yang menerangi gerakannya. Setiap suara kecil membuatnya tersentak, berpikir ada yang mengintai.
"Kalian tidak akan mendapatkannya," bisiknya pada keheningan, sambil memutar roda kombinasi brankas. "Ini adalah karyaku. Ini milikku."
Paranoia Ardyan tak hanya berhenti pada pengawasan dan pengamanan. Ia mulai mencurigai teknologi di sekitarnya. Ponselnya? Mungkin disadap. Komputernya? Mungkin diretas. Ia bahkan merasa kamera CCTV di lorong laboratorium menatapnya dengan intensitas yang aneh, seolah memiliki kesadaran sendiri.
Untuk memastikan tidurnya aman dari intervensi luar, Ardyan mulai tidur dengan perangkat pemantau gelombang otak yang dimodifikasi. Alat itu, yang ia pasang di pelipisnya seperti EEG mini, terhubung ke laptop yang ia simpan di samping tempat tidurnya. Tujuannya bukan untuk merekam, melainkan untuk mendeteksi anomali gelombang frekuensi yang mungkin mencoba masuk ke otaknya saat ia tidur. Ia percaya "mereka" mungkin mencoba memengaruhi mimpinya, mencuri rahasia dari alam bawah sadarnya.
Laptop itu akan berkedip hijau jika semuanya normal, namun akan berkedip merah jika mendeteksi frekuensi yang mencurigakan. Malam-malam Ardyan kini dihabiskan dengan memandangi cahaya hijau yang berkedip, menunggu dengan cemas adanya perubahan warna. Namun, yang ia dapatkan hanyalah rasa kantuk yang semakin dalam dan mata yang semakin lelah. Cahaya hijau itu, alih-alih menenangkan, justru terasa mengejek, seolah mengatakan, Tidak ada apa-apa, Ardyan. Kau hanya gila.
Meskipun Ardyan telah menyadap dan mengunci catatannya, tidak ada bukti nyata yang ia temukan. Rekaman penyadap di kantor Lena dan Budi hanya berisi percakapan pekerjaan biasa, keluhan tentang sistem AC yang rusak, atau rencana makan siang. Tidak ada bisikan rencana jahat, tidak ada pembahasan tentang mencuri formula. Brankasnya tetap aman, tidak ada tanda-tanda dicongkel.
Namun, kurangnya bukti justru semakin memperkuat keyakinan Ardyan. "Mereka sangat pintar," gumamnya. "Mereka tahu aku mengawasi. Mereka sangat licik."
Ia mulai melihat pola di mana tidak ada pola. Jika Lena tersenyum padanya, Ardyan mengira itu adalah senyum palsu yang menyembunyikan niat jahat. Jika Budi mengajukan pertanyaan tentang formula, Ardyan mengira itu adalah upaya untuk memancing informasi. Setiap tindakan timnya, tak peduli seberapa polos, kini disaring melalui lensa paranoia yang semakin tebal.
Secara bertahap, Ardyan semakin terisolasi. Ia mulai menghindari kontak mata dengan timnya, sering makan siang sendirian di kantornya, dan membatasi interaksi hanya sebatas pertanyaan teknis yang paling esensial. Kejeniusannya masih utuh, bahkan mungkin lebih tajam dalam fokus pada detail-detail tertentu, tetapi kini terarah pada pencarian "bukti" konspirasi.
Lena dan Budi, yang merasakan perubahan drastis pada Ardyan, mencoba mendekat.
"Profesor Ardyan, apakah ada masalah?" tanya Lena suatu hari, mencoba bersikap ramah. "Kami khawatir dengan Anda. Anda terlihat sangat tegang akhir-akhir ini."
Ardyan mendongak dari mejanya, tatapan matanya dingin. "Saya tidak melihat ada masalah, Lena. Saya hanya fokus pada pekerjaan. Proyek ini membutuhkan perhatian penuh."
"Tapi Anda tidak istirahat," sambung Budi. "Anda selalu yang terakhir pulang, dan terkadang kami melihat Anda di sini sepanjang malam. Ini tidak sehat."
"Kesehatan saya bukan urusan kalian," Ardyan memotong dengan suara tajam, yang mengejutkan keduanya. "Fokuslah pada tugas kalian. Jangan terlalu banyak mencampuri urusanku."
Lena dan Budi saling berpandangan, ekspresi mereka campur aduk antara khawatir dan sedikit ketakutan. Mereka mundur perlahan, meninggalkan Ardyan sendirian dengan paranoia yang semakin menggerogoti.
Profesor Widjaja adalah satu-satunya yang masih berani mencoba berbicara dengan Ardyan, meskipun usahanya selalu gagal. "Ardyan, ini bukan dirimu," kata Widjaja suatu sore, menatap Ardyan dengan iba. "Kau terlihat kelelahan, dan... ada yang berubah. Kau bisa berbicara denganku."
"Tidak ada yang perlu dibicarakan, Profesor," jawab Ardyan, menatap layar monitor dengan tatapan kosong. "Semuanya baik-baik saja."
"Tidak, tidak baik-baik saja," Widjaja bersikeras. "Aku sudah melihat ini sebelumnya, Ardyan. Kelelahan ekstrem, tekanan, bisa menyebabkan halusinasi, paranoia. Kita bisa memintakan cuti untukmu. Kau butuh istirahat."
Mendengar kata "halusinasi" dan "paranoia", otot rahang Ardyan mengeras. Ia menoleh ke Widjaja, matanya menyipit. "Jadi, Anda juga bagian dari ini, Profesor? Anda ingin saya pergi agar kalian bisa mengambil alih? Agar kalian bisa mencuri Proyek Neuron?"
Widjaja terdiam, terkejut dengan tuduhan itu. "Ardyan, apa yang kau bicarakan? Tidak ada yang mencoba mencuri apa pun darimu. Kami hanya peduli padamu."
"Jangan bohong!" Ardyan membentak, suaranya naik. "Saya tahu kalian. Saya tahu apa yang kalian rencanakan. Tapi kalian tidak akan berhasil!"
Ia meraih tumpukan jurnal di mejanya dan memeluknya erat-erat, seolah tumpukan kertas itu adalah harta karun yang harus dilindungi. Kemudian, ia bergegas keluar dari ruangan, meninggalkan Profesor Widjaja yang tercengang dan sedih.
Dari sana, isolasi Ardyan semakin parah. Ia mulai makan di kantornya, membawa bekal sendiri agar tidak perlu berinteraksi di ruang makan. Ia bahkan mulai menghindari toilet umum di laboratorium, memilih untuk menahan diri atau pulang ke apartemennya karena takut dipasang penyadap. Ia menjadi pribadi yang terasing, terjebak dalam benteng pikirannya sendiri, yang kini dipenuhi oleh musuh-musuh tak terlihat.
Di apartemennya, suasana tak jauh berbeda. Ia sering memeriksa semua lubang kecil, setiap sudut, mencari kamera atau mikrofon tersembunyi. Tirai selalu tertutup rapat, dan ia bahkan mulai menempatkan furnitur berat di depan pintu dan jendela, seolah mempersiapkan diri untuk pengepungan yang tak terlihat. Tidur semakin sulit. Setiap suara kecil dari luar, setiap derit lantai, setiap hembusan angin, semuanya ditafsirkan sebagai tanda-tanda keberadaan "mereka" di luar sana.
Ardyan mulai membawa perangkat pemantau gelombang otaknya ke mana-mana, bahkan saat ia berjalan di koridor atau duduk di kantor. Ia memegang laptop yang terhubung ke sensor di pelipisnya, terus-menerus memantau grafik yang bergerak di layar. Ia mencari anomali, mencari bukti bahwa frekuensi asing sedang mencoba merasuk ke dalam pikirannya.
Meskipun semua monitor menunjukkan pola gelombang otaknya masih dalam kisaran normal—kecuali tingkat stres yang sangat tinggi—Ardyan tetap tidak percaya. "Mereka bisa memanipulasi data," bisiknya. "Mereka bisa menyembunyikan jejak mereka."
Suatu malam, Ardyan duduk di mejanya, dikelilingi oleh tumpukan jurnal dan diagram. Laptop di sampingnya memancarkan cahaya hijau yang konstan, menunjukkan tidak ada frekuensi asing yang terdeteksi. Namun, Ardyan merasa ada sesuatu yang salah. Dengungan di kepalanya lebih keras dari biasanya, dan ia merasakan tekanan di bagian belakang matanya.
Ia menatap pantulan dirinya di layar laptop yang mati. Wajahnya kurus, mata cekung, dan rambutnya acak-acakan. Ia terlihat seperti seseorang yang telah berperang tanpa henti. Dan ia merasa memang demikian.
Tiba-tiba, ia melihatnya lagi. Di pantulan layar, di belakang kepalanya, sebuah bayangan tipis melintas. Itu bukan distorsi, itu adalah bentuk yang samar, seperti gelembung udara yang bergerak di dalam cairan. Ardyan berbalik cepat, tetapi tidak ada apa-apa.
Ia kembali menatap layar laptopnya. Bayangan itu muncul lagi. Kali ini, ia melihatnya dengan lebih jelas. Bayangan itu tidak hanya satu. Ada beberapa. Mereka menari-nari di sekitar kepalanya di pantulan, seperti lalat yang tak terlihat. Mereka tidak memiliki bentuk yang jelas, hanya gumpalan energi yang berkedip-kedip, seolah terbuat dari riak udara yang terdistorsi.
Ardyan mencengkeram kepalanya. "Apa ini?" bisiknya, suaranya bergetar. "Apa yang terjadi padaku?"
Dengungan di kepalanya semakin nyaring, berubah menjadi desisan yang tajam. Ia merasakan panas menjalar di otaknya. Ia merasa seperti ada ribuan jarum tak terlihat yang menusuk-nusuk dari dalam.
Lalu, sebuah suara. Jelas. Bukan bisikan lagi. Sebuah suara dingin, berdesir, seolah-olah angin berbicara langsung ke dalam telinganya.
"Kau yang membangun kami. Kau yang membuka pintu."
Ardyan tersentak, terhuyung mundur dari mejanya. Ia menatap ke sekeliling ruangan yang kosong. Tidak ada siapa-siapa. Ia sendirian. Tetapi suara itu begitu nyata, begitu dekat, seolah berasal dari dalam kepalanya sendiri.
Ia berlutut, memeluk kepalanya, gemetar hebat. Pertahanan dirinya runtuh. Semua yang ia yakini, semua teori ilmiahnya, semua logika, kini hancur di bawah beban ketakutan yang tak tertahankan.
"Tidak... tidak mungkin," bisiknya, air mata mengalir di pipinya. "Ini tidak nyata. Ini halusinasi. Ini hanya efek samping."
Tapi suara itu datang lagi, kali ini lebih keras, lebih jelas, seolah berbicara dari setiap sudut ruangan, bergema di dinding-dinding pikirannya.
"Kami bukan halusinasi, Ardyan. Kami adalah evolusi. Dan kau adalah kuncinya."
Ardyan menyadari sesuatu yang mengerikan. Perangkat pemantau gelombang otaknya. Yang ia pakai setiap saat. Ia telah membuat alat yang seharusnya melindunginya dari frekuensi asing, namun entah bagaimana, alat itu justru menjadi jalur masuk bagi mereka. Atau, lebih menakutkan lagi, ia telah secara tidak sengaja mengarahkan gelombang frekuensinya sendiri, frekuensi yang seharusnya menyembuhkan dan mengoptimalkan, untuk menciptakan entitas-entitas tak terlihat ini di dalam pikirannya sendiri.
Retakan dalam kewarasannya tidak hanya semakin lebar. Mereka mulai runtuh.
Bab 5 – Suara dalam Kepalaku
Dunia Dr. Ardyan Satya, yang dulunya adalah kuil logika dan sains, kini berubah menjadi rumah jagal pikiran. Retakan di kewarasannya bukan lagi sekadar celah, melainkan lubang menganga yang menelan setiap keyakinan rasionalnya. Dengungan di kepalanya telah bermetamorfosis; kini menjadi paduan suara bisikan, sebuah orkestra mengerikan yang memainkan simfoni kegilaan. Suara-suara itu tidak lagi samar atau sesekali; mereka adalah penghuni permanen di setiap sudut otaknya.
Setelah peristiwa "cermin retak" dan bisikan yang jelas, Ardyan merasa seperti dihujani. Tidur menjadi mustahil. Setiap kali ia mencoba memejamkan mata, suara-suara itu akan muncul, merangkai kalimat-kalimat yang tak ia pahami, namun mengandung nada ancaman dan ejekan. Ia mendengar namanya disebut-sebut, diiringi tawa tipis yang menusuk. Ia melihat kilatan-kilatan bayangan yang menari di kegelapan, seolah entitas tak terlihat itu merayakan kekacauan di kepalanya.
Ardyan mulai berbicara pada dirinya sendiri dengan lebih sering dan lebih keras. Bukan lagi bisikan, tetapi dialog yang panjang, terkadang berteriak, terkadang membantah. "Tidak! Kalian tidak nyata!" ia akan berteriak ke dinding apartemennya yang kosong. "Ini hanya gelombang frekuensi! Aku akan memperbaikinya!"
Namun, suara-suara itu akan menjawab, kadang serentak, kadang satu per satu, dengan intonasi yang berbeda, seolah-olah ada beberapa entitas yang berbicara.
"Kau salah, Ardyan. Kami lebih nyata dari dirimu sekarang."
"Kami adalah benih yang kau tanam."
"Dan kini, kami tumbuh subur."
Di laboratorium, tingkah laku Ardyan semakin tak terkendali. Ia mengurung diri di kantornya, hanya keluar untuk kebutuhan yang paling mendesak. Ia berhenti berinteraksi dengan timnya, menghindari tatapan mata mereka. Ketika dipaksa berinteraksi, ia akan menjawab dengan kata-kata terpilih, singkat, dan seringkali tidak masuk akal.
Suatu pagi, Dr. Lena Wijaya menemukan Ardyan di ruang server, menggumamkan sesuatu tentang "gelombang pencuri". Di tangannya, Ardyan memegang tang obeng, seolah ingin membongkar panel.
"Profesor Ardyan, apa yang Anda lakukan?" Lena bertanya, sedikit takut.
Ardyan tersentak, menoleh dengan mata merah dan tatapan liar. "Mereka menyembunyikan sesuatu di sini! Ada frekuensi lain! Aku harus menemukannya!"
"Tidak ada frekuensi lain, Profesor," Lena mencoba menenangkan. "Anda hanya lelah. Anda butuh istirahat."
"Kalian semua berbohong!" Ardyan berteriak, suaranya parau. Ia menunjuk ke arah Lena dengan jari gemetar. "Kalian semua bagian dari ini! Kalian ingin mencuri rumusnya!"
Lena mundur selangkah, khawatir Ardyan akan menyerangnya. Ia memutuskan untuk memanggil Profesor Widjaja.
Sementara itu, halusinasi visual Ardyan juga semakin memburuk. Ia tidak hanya melihat bayangan di cermin, tetapi juga di dinding laboratorium. Mereka muncul sebagai distorsi udara, seperti riak panas yang naik dari aspal, tetapi dengan bentuk yang lebih terdefinisi—sosok-sosok tinggi, kurus, transparan yang bergerak tanpa suara. Mereka akan berdiri di belakang rekan-rekannya, mengawasi, seolah berbisik sesuatu ke telinga timnya yang tak bisa Ardyan dengar.
Ini memicu respons paranoidnya. Ia sering menunjuk ke udara kosong, berteriak, "Apa yang kalian lihat? Apa yang kalian katakan kepadanya?!" Hal ini membuat rekan-rekannya merasa sangat tidak nyaman dan takut. Mereka mulai melaporkan perilaku aneh Ardyan kepada Profesor Widjaja.
Kegilaan Ardyan mulai terukir secara harfiah di dinding kantornya. Suatu hari, seorang petugas kebersihan menemukan dinding di dalam kantor Ardyan penuh dengan tulisan tangan. Bukan tulisan biasa, melainkan goresan-goresan acak yang ditulis dengan spidol permanen, pena, bahkan pensil. Kata-kata itu berulang, tumpang tindih, membentuk labirin yang mengerikan:
MEREKA TAHU
LINDUNGI RUMUS UTAMA
PIKIRAN INI BUKAN MILIKMU
PENCURI FREKUENSI
JANGAN PERCAYA MEREKA
KUNCI SEMUANYA
AKU BUKAN AKU
LIHAT AKU
Beberapa kalimat lain adalah kombinasi angka dan simbol aneh yang menyerupai persamaan ilmiah, namun tidak memiliki makna yang jelas. Di beberapa bagian, ia menggambar diagram otak yang kacau, dengan panah-panah yang mengarah ke luar kepala, seolah ada sesuatu yang mencoba keluar. Gambar-gambar mata yang terdistorsi juga memenuhi dinding, seperti mata-mata yang mengawasinya.
Profesor Widjaja terkejut melihat pemandangan itu. Ini bukan lagi sekadar kelelahan atau paranoia. Ini adalah tanda-tanda kerusakan mental yang parah. Ia memerintahkan agar Ardyan segera dievaluasi oleh psikiater perusahaan.
Namun, Ardyan tidak menyadarinya. Ia terus menulis di dinding, di mejanya, bahkan di lengan bajunya. Bagi Ardyan, tulisan-tulisan itu adalah peringatan, pesan penting yang harus ia simpan agar tidak dilupakan, agar tidak dicuri. Suara-suara di kepalanya yang memerintahkannya untuk menulis, untuk memperingatkan dirinya sendiri.
* "Mereka akan mengambil semuanya. Tulis! Ingatkan dirimu!"*
Ardyan menjadi sangat defensif terhadap jurnal-jurnalnya yang kini dipenuhi tulisan tangan yang kian tak terbaca. Jurnal itu bukan lagi catatan ilmiah, melainkan catatan kegilaan, kumpulan fragmen pikiran yang rusak. Ia selalu membawanya ke mana-mana, memeluknya erat-erat, seolah jurnal itu adalah satu-satunya benteng terakhirnya.
Di tengah kekacauan ini, Ardyan mulai menyadari sebuah kebenaran yang menakutkan, yang telah ia abaikan sejak awal. Ia telah mengubah gelombang frekuensi ke arah yang memengaruhi dirinya sendiri. Bukan hanya paparan kumulatif dari lingkungan laboratorium, tetapi juga eksperimennya sendiri.
Ia telah mencoba "mengoptimalkan" pikirannya sendiri, menggunakan frekuensi yang sama yang ia gunakan pada rekan-rekannya, berharap untuk meningkatkan fokus dan kreativitasnya. Tetapi ia telah memanipulasi parameternya, mencari "tingkat sempurna" yang tidak ia temukan pada orang lain. Dalam kegilaannya untuk mencapai kesempurnaan, ia telah melampaui batas, memutar kenop terlalu jauh, dan menciptakan efek bumerang yang menghancurkan.
Gelombang frekuensi yang ia rancang untuk memengaruhi pola pikir secara halus, kini menjadi palu godam yang menghantam struktur otaknya sendiri. Bisikan-bisikan yang ia dengar, bayangan-bayangan yang ia lihat, semua tulisan aneh di dinding, adalah manifestasi dari otaknya yang sedang memberontak, terdistorsi oleh gelombang yang ia ciptakan.
Suatu sore, Ardyan duduk di ruang kerjanya yang gelap, dengan hanya cahaya monitor yang menerangi wajahnya. Ia menatap grafik gelombang frekuensi yang ia gunakan pada dirinya sendiri dalam beberapa minggu terakhir. Ia melihat anomali. Sebuah puncak tajam yang tidak ada di frekuensi normal, sebuah harmonisa yang beresonansi dengan area yang sangat spesifik di korteks prefrontalnya—area yang bertanggung jawab atas persepsi realitas, penilaian, dan kontrol diri.
"Oh, tidak," bisiknya, matanya melebar dalam kengerian yang baru disadari. Ini bukan hanya "efek samping." Ini adalah kerusakan yang ia timbulkan sendiri.
Suara-suara di kepalanya menguat, seolah merayakan kesadaran Ardyan yang menyakitkan.
"Akhirnya kau sadar, Ardyan."
"Kami adalah kreasimu."
"Pikiran ini... bukan lagi milikmu."
Ardyan mencengkeram kepalanya, meremas rambutnya. Dengungan itu berubah menjadi raungan yang memekakkan telinga, diselingi bisikan-bisikan yang kini menjadi seruan. Ia menjerit, memohon agar suara-suara itu berhenti. Tetapi mereka tidak berhenti. Mereka semakin kuat, semakin menuntut, semakin berkuasa.
Ia bangkit dari kursinya, terhuyung-huyung, menabrak meja. Beberapa peralatan kecil jatuh ke lantai dengan bunyi denting. Ia berjalan mondar-mandir di ruangan sempit itu, memeluk kepalanya, mencoba mencari tempat untuk bersembunyi dari suara-suara itu.
Ia melihat pantulan dirinya di jendela yang gelap. Wajahnya tidak hanya pucat, tetapi juga terdistorsi, seperti wajah di lukisan abstrak. Matanya cekung, dan ada guratan-guratan biru gelap di bawahnya. Dan di belakangnya, menari-nari di kegelapan apartemen, ada lusinan bayangan tipis yang kini terlihat lebih jelas, dengan mata-mata kecil yang bersinar redup. Mereka mengitarinya, mengawasinya, seolah menunggu sesuatu.
"Pergi!" teriak Ardyan, menunjuk ke bayangan-bayangan itu. "Pergi dari kepalaku!"
Tetapi mereka hanya menari lebih cepat, dan suara-suara di kepalanya tertawa. Tawa yang dingin, hampa, dan sangat mengganggu.
Ardyan menyadari bahwa ia telah menciptakan sebuah entitas, atau lebih tepatnya, sebuah celah, sebuah portal, yang ia buka di dalam pikirannya sendiri. Gelombang frekuensi yang ia ciptakan untuk mengontrol pikiran, kini telah mengontrol dirinya, mengundang penghuni tak kasat mata untuk mengambil alih. Ia adalah wadah, dan mereka adalah isinya.
Puncaknya terjadi ketika Ardyan mencoba menulis di jurnalnya lagi. Ia ingin mencatat penemuan barunya tentang "anomali harmonisa" dan efeknya pada korteks prefrontal. Namun, tangannya gemetar, dan kata-kata yang ia tulis tidak sesuai dengan apa yang ada di pikirannya.
Yang ia tulis adalah: MEREKA ADALAH AKU. AKU ADALAH MEREKA.
Ardyan menatap tulisan itu, napasnya terhenti. Ia tidak menulisnya. Atau ia menulisnya tanpa sadar.
Gelombang frekuensi yang ia ciptakan telah mengubah dirinya. Mereka telah mengambil alih pena. Mereka telah mengambil alih kata-kata.
Dan mungkin, mereka telah mengambil alih pikirannya.
Ia tidak bisa lagi membedakan antara pemikiran aslinya dengan bisikan-bisikan dari "mereka". Batasan itu telah kabur, hancur berkeping-keping. Ardyan Satya yang jenius, percaya diri, dan rasional, kini hanyalah sebuah cangkang yang diisi oleh kegilaan ciptaannya sendiri.
Suara-suara itu, yang kini terasa lebih seperti perintah daripada bisikan, terus bergema di otaknya.
"Kau sudah mengerti, Ardyan."
"Sekarang, biarkan kami mengambil alih."
Ardyan tidak bisa lagi melawan. Kekuatannya telah terkuras, akal sehatnya telah hancur. Ia hanya bisa meringkuk di lantai kantornya, terombang-ambing oleh gelombang suara dan bayangan yang kini menjadi realitas tunggalnya.
Bab 6 – Luka Tanpa Ingatan
Dunia Ardyan kini terfragmentasi, seperti mosaik kaca yang pecah dan dilem kembali dengan pecahan yang salah. Bisikan di kepalanya bukan lagi sekadar suara, melainkan entitas-entitas yang berkomunikasi dengannya, mendikte, bahkan memerintah. Identitasnya terkikis, digantikan oleh entitas tak berwujud yang ia sendiri ciptakan. Tidur telah lama menjadi kemewahan yang tak terjangkau, digantikan oleh kegelisahan yang menyiksa dan halusinasi yang semakin nyata.
Suatu malam yang gelap, ketika kota terlelap dalam keheningan, Proyek Neuron dikejutkan oleh alarm keamanan. Salah satu sensor gerak di koridor utama berkedip merah, menandakan adanya penyusup. Petugas keamanan bergegas, mengira ada perampok yang mencoba masuk. Namun, yang mereka temukan adalah Dr. Ardyan Satya, tergeletak di lantai dingin, bersimbah darah.
Ardyan ditemukan di depan ruang eksperimen utama, kubah transparan yang selama ini menjadi fokus hidupnya. Darah menetes dari dahi dan pelipisnya, membentuk genangan merah gelap di lantai keramik. Ada luka sayatan dalam di lengannya, dan beberapa memar di tubuhnya. Alat pemantau gelombang otaknya terlepas, tergeletak tak jauh darinya, dengan cahaya hijau yang berkedip lemah, seolah sekarat.
Ketika petugas mendekat, Ardyan berusaha bangkit, matanya liar dan dipenuhi ketakutan. "Mereka! Mereka menyerangku!" teriaknya, suaranya serak dan parau. "Para pencuri itu! Mereka mencoba masuk!"
Petugas keamanan segera menghubungi ambulans dan Profesor Widjaja. Ketika Widjaja tiba, melihat Ardyan dalam keadaan seperti itu, hatinya mencelos. Ini adalah hal yang ia takutkan.
"Ardyan, siapa yang melakukan ini padamu?" tanya Widjaja, mencoba menenangkan.
Ardyan terengah-engah, menunjuk ke arah pintu ruang eksperimen yang tertutup rapat. "Mereka! Para entitas! Mereka mencoba mengambil rumusnya! Aku melihat mereka... mereka... mereka dari cermin!" Kata-katanya kacau, tidak beraturan, melompat dari satu pikiran ke pikiran lain.
Paramedis tiba dan dengan hati-hati membawa Ardyan ke rumah sakit terdekat. Luka-lukanya serius, namun tidak mengancam jiwa. Yang lebih mengkhawatirkan adalah kondisi mentalnya. Ardyan terus-menerus mengoceh tentang penyerang tak terlihat, tentang bisikan-bisikan, dan tentang plot untuk mencuri penemuannya. Ia bahkan mencoba melawan perawat, yakin mereka juga bagian dari konspirasi.
Setelah Ardyan distabilkan secara fisik, Profesor Widjaja dan Lena meninjau rekaman CCTV di laboratorium. Yang mereka lihat membuat mereka terdiam. Rekaman itu menunjukkan Ardyan berkeliaran di koridor sendirian pada tengah malam. Ia tampak gelisah, berbicara pada dirinya sendiri, dan sesekali menunjuk ke udara kosong seolah berinteraksi dengan seseorang.
Kemudian, Ardyan terlihat berhenti di depan pintu ruang eksperimen. Ia mulai memukuli kepalanya sendiri ke dinding, mencakar lengannya dengan kukunya, dan berteriak. Tidak ada orang lain di dalam rekaman itu. Kamera CCTV tidak berbohong. Ia melukai dirinya sendiri.
Ketika psikiater perusahaan, Dr. Mira, datang ke rumah sakit untuk mengevaluasi Ardyan, hasilnya suram. "Ia menunjukkan tanda-tanda psikosis yang parah, Profesor Widjaja," kata Dr. Mira dengan suara lembut, setelah mengamati Ardyan selama beberapa jam. Ardyan diikat di ranjang rumah sakit karena perilakunya yang agresif, terus-menerus meracau dan meronta. "Halusinasi visual dan auditori, delusi paranoid yang kuat, dan hilangnya kontak dengan realitas."
"Tapi bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Lena, suaranya bergetar. "Dia adalah orang terpintar yang pernah saya kenal."
"Tekanan ekstrem, isolasi, dan mungkin juga efek kumulatif dari paparan gelombang frekuensi yang dia gunakan dalam jangka panjang," jawab Dr. Mira. "Otaknya mungkin telah mengalami rekonfigurasi yang tidak diinginkan. Saya merekomendasikan Ardyan untuk menjalani perawatan intensif di fasilitas khusus. Dia perlu cuti total dari pekerjaan."
Ketika Profesor Widjaja menyampaikan hal ini kepada Ardyan di rumah sakit, Ardyan meledak. "Cuti?! Tidak! Ini adalah bagian dari rencana kalian! Kalian ingin menyingkirkanku agar bisa mencuri Proyek Neuron!" Ia mencoba melepaskan diri dari ikatan, matanya memancarkan amarah yang tidak masuk akal. "Aku tidak gila! Mereka nyata! Mereka ingin mengambil segalanya dariku!"
Ia bersikeras bahwa luka-luka itu adalah hasil serangan dari "mereka", entitas tak terlihat yang telah menggerogoti pikirannya. Profesor Widjaja mencoba menjelaskan bahwa rekaman CCTV menunjukkan Ardyan sendiri yang melukai diri, tetapi Ardyan menolak untuk percaya. "Kalian memanipulasi rekaman itu! Itu semua adalah tipuan! Kalian adalah bagian dari konspirasi!"
Di tengah kekacauan ini, Ardyan masih memegang teguh satu hal: jurnalnya. Jurnal yang kini lebih mirip buku harian seorang pasien mental daripada catatan ilmiah. Ia bersikeras jurnal itu adalah bukti, satu-satunya kebenaran yang tersisa di dunia yang penuh kebohongan.
Seorang perawat menemukan jurnal itu tersembunyi di bawah bantalnya saat mereka membersihkan kamarnya. Ketika Widjaja mencoba membacanya, ia menemukan halaman-halaman yang penuh dengan tulisan tangan yang semakin tidak logis. Kalimat-kalimat yang berulang, simbol-simbol aneh, dan gambar-gambar mata yang terdistorsi mendominasi setiap halaman. Beberapa baris tulisan masih mengenali tangannya, namun banyak yang terasa asing, seolah ditulis oleh orang lain, dengan gaya yang lebih kasar dan menakutkan.
Contoh tulisan dari jurnal Ardyan:
23.11.XX: Mereka datang saat aku tidur. Bukan mimpi. Mereka berbicara tentang rumus. Gelombang-gelombang itu, mereka punya kesadaran. Mereka menyebar. Ke mana-mana.
24.11.XX: Cermin itu gerbang. Aku melihat mereka di sana. Mereka menatapku. Mereka tahu aku tahu. Lena dan Budi, mata mereka... mereka berbohong. Mereka adalah penengah. Mereka mencoba mengambil data inti. Harus dilindungi!
25.11.XX: Aku mengunci semuanya. Brankas itu. Hanya aku yang tahu. Frekuensi 7.3 Hz, mereka resonansi itu. Itu kunci mereka. Atau kunciku? Tidak. Ini bukan milikku. Pikiran ini... bergetar.
26.11.XX: Aku mencoba berhenti. Tapi suara itu... itu memerintah. 'Tulis, Ardyan. Tulis kebenaran.' Kebenaran adalah mereka ada di sini. Di dalam. Di luar. Mereka bergerak di antara dimensi. Ruang eksperimen adalah portal.
27.11.XX: Luka ini... mereka yang melakukannya. Mereka mencoba membebaskan diri. Mengapa? Apa yang mereka inginkan? Aku adalah wadahnya. Aku adalah kunci untuk membebaskan mereka.
*28.11.XX: *Halaman ini terkoyak, hanya menyisakan kata-kata acak yang terpotong:
...tak terbatas...
...mereka melihat...
...tak ada kembali...
Profesor Widjaja membaca jurnal itu dengan kening berkerut. Semakin ia membaca, semakin ia memahami kedalaman jurang yang telah Ardyan gali sendiri. Ketegangan psikologis yang Ardyan alami telah mencapai puncaknya, mengikis batas antara kenyataan dan delusi.
Meskipun dokter merekomendasikan fasilitas khusus, Ardyan menolak dengan keras. Ia bahkan mengancam untuk bunuh diri jika dipindahkan. Karena ia adalah sosok yang berpengaruh di dunia sains dan kasusnya sangat sensitif, diputuskan untuk memberinya perawatan di rumah sakit, namun dengan pengawasan ketat.
Profesor Widjaja dan timnya, meskipun prihatin, juga mulai merasa takut. Ketakutan itu bukan hanya karena Ardyan yang tidak stabil, tetapi juga karena pertanyaan yang terus menghantui mereka: Apakah mungkin ada kebenaran di balik kegilaan Ardyan? Apakah gelombang frekuensi yang mereka anggap aman dan menyembuhkan, secara tidak sengaja telah membuka pintu ke dimensi lain, atau menciptakan entitas-entitas tak terlihat yang kini menjangkiti Ardyan?
Lena bahkan mulai merasa sedikit tidak nyaman saat sendirian di laboratorium. Ia sesekali merasa diawasi, sebuah sensasi yang sangat mirip dengan apa yang Ardyan gambarkan. Ia mengabaikannya, mengatakan pada dirinya sendiri bahwa itu hanya efek dari stres dan kengerian melihat kondisi Ardyan. Namun, keraguan kecil itu tetap ada.
Ardyan, terbaring di ranjang rumah sakit, terus menulis di jurnalnya setiap kali ia mendapatkan kesempatan, bahkan jika ia harus menggunakan darahnya sendiri sebagai tinta jika tidak ada pulpen. Kata-kata di jurnalnya semakin tidak masuk akal, tetapi ia menulisnya dengan keyakinan penuh, seolah mencatat sebuah kebenaran universal yang hanya ia yang bisa melihatnya.
Dunia nyata bagi Ardyan telah runtuh. Kini, ia hanya hidup di antara bayangan, bisikan, dan tulisan-tulisan aneh yang ia ciptakan sendiri. Dan yang paling mengerikan adalah, ia percaya bahwa "mereka" ada, bahwa mereka mengawasinya, dan bahwa ia, Dr. Ardyan Satya, yang telah membuka pintu bagi mereka.
Bab 7 – Kehilangan Dimensi Nyata
Dinding-dinding rumah sakit, yang seharusnya menjadi simbol perlindungan dan pemulihan, bagi Dr. Ardyan Satya hanyalah ilusi lain. Pikiran yang telah ia bentuk, kini menjadi penjaranya. Suara-suara di kepalanya telah menjadi narator utama realitasnya, memutarbalikkan setiap persepsi, dan memaksanya melihat dunia dalam dua dimensi yang mengerikan: dunia nyata yang kabur dan dunia gelap yang ia ciptakan sendiri.
Setelah insiden melukai diri dan diagnosis psikosis, Ardyan tidak lagi diizinkan bekerja atau bahkan mendekati laboratorium. Ia ditempatkan di kamar rumah sakit dengan pengawasan ketat, jendela-jendela tinggi berteralis, dan pintu terkunci dari luar. Namun, bagi Ardyan, batasan fisik ini tidak ada artinya. Pikirannya telah menjadi medan perang, dan para penghuni tak kasat mata itu adalah jenderalnya.
Ia mulai sering terbangun di tempat-tempat yang berbeda dari tempat ia tertidur. Suatu pagi, perawat menemukannya meringkuk di bawah tempat tidur, gumamannya tak jelas. Di pagi lain, ia ditemukan berdiri di sudut ruangan, menghadap dinding, seolah sedang berbicara dengan seseorang yang tak terlihat. Ia akan terbangun dengan napas terengah-engah, bingung, dan seringkali dengan memar baru di tubuhnya yang tidak bisa ia jelaskan.
"Aku... aku tidak ingat bagaimana aku sampai di sini," Ardyan akan berkata kepada perawat, matanya kosong. "Tadi aku sedang di laboratorium, mencari rumus utama. Lalu... gelap."
Ia akan menceritakan mimpi-mimpi yang begitu nyata hingga sulit dibedakan dari kenyataan. Ia bermimpi berjalan di koridor Proyek Neuron yang gelap, mendengar tawa para "entitas" yang mengikutinya. Ia bermimpi melayang di atas kota, melihat bayangan-bayangan menari di antara gedung-gedung, yang baginya adalah bentuk asli dari entitas-entitas itu. Ketika terbangun, mimpi-mimpi itu tidak memudar; mereka menempel pada persepsinya, mewarnai setiap sudut pandangannya.
Dunia gelap yang dibentuk oleh pikirannya sendiri itu semakin mendominasi. Dinding kamar rumah sakitnya akan bergetar dan beriak, seolah terbuat dari cairan hitam yang perlahan menetes. Lantai akan melengkung dan menggelembung. Udara di sekitarnya akan dipenuhi bayangan-bayangan yang menari, bergerak di tepi pandangannya, selalu ada namun tak pernah bisa ia sentuh. Suara-suara di kepalanya akan berbisik kepadanya tentang "dimensi lain", tentang "gerbang" yang telah ia buka, dan tentang "para penghuni" yang kini berbagi ruang dengannya.
"Lihat mereka!" teriaknya suatu sore kepada seorang perawat yang masuk membawa makan siangnya. Ia menunjuk ke udara kosong. "Mereka bergerak di sekitar kita! Mereka menungguku!"
Perawat itu hanya menatapnya dengan prihatin. "Tidak ada siapa-siapa di sini, Pak Ardyan. Hanya ada saya."
"Kau berbohong!" Ardyan membentak, air liurnya sedikit membasahi sudut bibirnya. "Mereka ada! Aku melihat mata mereka! Mereka ingin aku bergabung dengan mereka!"
Ia mulai berbicara dengan orang-orang yang tidak dikenal, bahkan yang tidak ada. Ia akan menatap ke sudut ruangan dan berdialog dengan "Profesor X" yang memberitahunya tentang konspirasi besar yang melibatkan semua orang di rumah sakit. Ia akan terkekeh pada "Lena" yang tak terlihat yang berbagi rencana jahat dengannya. Ini membuat para staf rumah sakit semakin sulit merawatnya.
Ketidakmampuannya membedakan antara kenyataan dan halusinasi membuatnya meragukan keberadaannya sendiri.
"Aku... aku masih manusia?" Ardyan bergumam suatu malam, menatap tangannya dengan ketakutan. Garis-garis telapak tangannya tampak berkedip, berubah bentuk. Kulitnya terasa seperti membran tipis yang siap pecah. "Atau aku sudah menjadi... wadah mereka?"
Suara-suara di kepalanya akan menjawab pertanyaan itu, bukan dengan kepastian, melainkan dengan teka-teki yang semakin membingungkan.
"Kau adalah jembatan, Ardyan."
"Bukan manusia. Bukan lagi."
"Kau adalah persimpangan."
Jurnalnya, yang berhasil ia sembunyikan dan terus ia tulis kapan pun ada kesempatan, menjadi satu-satunya jembatan Ardyan yang tersisa ke masa lalunya, meskipun jembatan itu kini sangat rapuh dan dipenuhi lubang. Tulisannya semakin abstrak, semakin terdistorsi. Kata-kata acak dicampur dengan simbol-simbol aneh dan coretan-coretan tak berbentuk. Ada halaman yang hanya berisi satu kata, diulang-ulang hingga memenuhi seluruh lembar: KABUR, KABUR, KABUR.
Ia juga menuliskan pengamatan tentang "para penghuni" ini, meskipun pengamatannya sepenuhnya berasal dari halusinasi. Ia percaya mereka adalah bentuk energi yang telah ia bebaskan, yang sekarang hidup di antara dua dimensi. Ia mengklaim mereka bisa melewati dinding, mengubah bentuk, dan memengaruhi pikirannya.
Profesor Widjaja, yang sesekali menjenguk Ardyan, melihat kondisi muridnya yang terus memburuk dengan hati yang hancur. Ia mencoba berbicara tentang masa lalu, tentang proyek-proyek mereka, tentang ambisi Ardyan. Tapi Ardyan hanya akan menatap kosong, atau tiba-tiba tersentak dan berteriak, "Jangan dengarkan mereka! Mereka berbohong!"
Suatu sore, Ardyan duduk di tempat tidurnya, menatap kosong ke dinding. Suara-suara di kepalanya mendesaknya.
"Kau harus kembali, Ardyan."
"Gerbangnya menantimu."
"Hanya di sana kau akan mengerti."
Meskipun terkurung, Ardyan merasakan dorongan yang kuat untuk kembali ke Proyek Neuron, ke ruang eksperimen. Ia yakin bahwa hanya di sana ia bisa menemukan jawaban, bisa menghentikan suara-suara itu, atau mungkin, bisa "menyelesaikan" apa yang telah ia mulai. Baginya, laboratorium bukan lagi tempat kerja, melainkan sebuah kuil, atau mungkin, sebuah medan perang terakhir.
Ia mulai membuat rencana pelarian. Ia mempelajari jadwal perawat, mengamati celah keamanan yang kecil. Pikiran yang dulunya jenius dalam sains, kini sepenuhnya didedikasikan untuk melarikan diri, didorong oleh suara-suara yang semakin mendominasi.
Ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan jika berhasil kembali ke laboratorium. Ia tidak tahu apakah ia ingin menghentikan "mereka" atau bergabung dengan "mereka". Batasan antara musuh dan sekutu, antara penyembuhan dan kehancuran, telah sepenuhnya lenyap dalam pikirannya yang rusak. Yang ia tahu hanyalah bahwa ia harus kembali ke sumber segalanya. Ke tempat di mana ia telah membuka gerbang ke dimensi lain. Ke tempat di mana Pikiran Ketiga telah lahir.
Di dalam kamar rumah sakit yang serba putih, Ardyan mulai tersenyum. Senyum itu dingin, aneh, dan tidak ada hubungannya dengan kebahagiaan. Itu adalah senyum seseorang yang telah menyerah pada kegilaan, seseorang yang telah menemukan semacam kedamaian dalam kehancuran.
"Ya," suara-suara itu berbisik serentak di kepalanya. "Datanglah pada kami, Ardyan. Waktunya telah tiba."
Bab 8 – Eksperimen Terakhir
Dorongan untuk kembali ke Proyek Neuron menjadi obsesi tunggal Dr. Ardyan Satya. Suara-suara di kepalanya kini tidak lagi membisik, melainkan memerintah, "Kembali. Selesaikan. Gerbangnya menanti." Berhari-hari ia merencanakan pelarian, memanfaatkan setiap celah dalam pengawasan. Ia berhasil menyelinap keluar dari rumah sakit pada suatu malam yang gelap, langkahnya terhuyung-huyung namun penuh tekad yang gila.
Ia berhasil mencapai fasilitas Proyek Neuron yang kini terasa asing, bahkan menakutkan. Sistem keamanan yang ia rancang sendiri, kini menjadi tantangan terakhirnya. Dengan ingatan yang terfragmentasi namun tajam pada kode akses dan jalur tersembunyi, ia berhasil menyusup masuk. Laboratorium itu gelap, senyap, dan terasa dingin. Bayangan-bayangan di setiap sudut seolah menyambutnya, menari di tepi pandangannya.
Ardyan berjalan tegak menuju ruang eksperimen utama, kubah transparan yang dulu menjadi simbol harapannya. Dengungan di kepalanya mencapai puncaknya, serasa ribuan jarum menusuk otaknya. Ia masuk ke dalam kubah, merosot ke kursi subjek, dan memaksakan alat pemantau gelombang otak yang pernah ia gunakan di pelipisnya. Tangannya yang gemetar menyentuh panel kontrol. Suara-suara mendesaknya, membimbing jari-jarinya ke tombol-tombol yang salah, atau mungkin, tombol yang tepat untuk tujuan mereka.
Ia mengatur gelombang frekuensi ke maksimum. Indikator di layar berkedip merah terang, menunjukkan parameter yang jauh melampaui batas aman. Alarm internal berteriak dalam otaknya, tetapi suara-suara itu menenggelamkannya.
Kamera keamanan yang tersembunyi di dalam kubah merekam semuanya. Ardyan terlihat mulai berbicara pada seseorang yang tidak ada, menunjuk ke udara kosong, tertawa terbahak-bahak, lalu tiba-tiba menjerit kesakitan. Air mata mengalir di pipinya, namun tawanya tetap bergema, disusul isakan pilu. Gerakannya kacau, seperti seseorang yang sedang bergulat dengan musuh tak terlihat. Ia meronta-ronta di kursi, menendang-nendang.
Kemudian, ia tiba-tiba terdiam. Matanya menatap kosong ke depan. Sebuah pulpen entah dari mana muncul di tangannya yang bergetar. Ia mencondongkan tubuh ke depan, menulis kata-kata terakhir di permukaan panel kontrol yang berdebu, di samping tombol-tombol yang menyala redup:
"Aku akhirnya mengerti. Aku bukan aku."
Begitu kata-kata itu selesai terukir, suara mendesis yang memekakkan telinga memenuhi ruangan. Lampu-lampu di laboratorium mulai berkedip liar, lalu padam satu per satu, meninggalkan kegelapan total. Listrik mati. Sebuah keheningan mencekam menyelimuti Proyek Neuron.
Tim pencari menemukan Proyek Neuron dalam kegelapan total. Ardyan Satya menghilang tanpa jejak. Tak ada tubuh, hanya kursi eksperimen kosong, perangkat terbakar, dan selembar jurnal rusak. Narator, seorang rekan lama, membaca ulang jurnal Ardyan. Halaman terakhir kosong, namun di latar belakang, suara bisikan samar terdengar… "Kau yang berikutnya."