Cerpen
Disukai
1
Dilihat
1,213
Melodi Desiran Ombak
Horor

Bab 1: Nada di Atas Pasir

Langit di atas Selat Makassar selalu menawarkan kanvas kebiruan yang tak terbatas, namun bagi Elang, keindahan sejati tersembunyi dalam simfoni abadi yang dimainkan oleh ombak. Ia adalah Elang, seorang komposer jalanan. Bukan musisi yang mencari panggung megah, melainkan seorang penjelajah bunyi, pengembara yang mengumpulkan melodi dari alam. Rambutnya gondrong dan diikat asal, kulitnya kecokelatan terbakar matahari, dan matanya selalu memancarkan intensitas seorang seniman yang melihat dunia lebih dari sekadar visual. Tas punggungnya selalu berisi peralatan rekaman: mikrofon kondensor ultra-sensitif, headphone berkualitas tinggi, sebuah laptop tua yang setia, dan synthesizer portabel yang menemaninya ke mana pun. Elang hidup berpindah-pindah, dari satu kota ke kota lain, dari satu pantai ke pantai berikutnya, mencari suara yang murni, yang belum terjamah oleh polusi dan kebisingan manusia.

Misinya kali ini adalah sebuah proyek yang sangat pribadi, yang ia beri judul "Ode Lautan". Sebuah album instrumental spiritual yang seluruhnya berbasis pada suara ombak. Bukan ombak biasa, melainkan ombak yang memiliki resonansi, frekuensi, dan mungkin, jiwa. Misi Elang adalah merekam lima komposisi musik alam dari lima lokasi pesisir berbeda di Nusantara, masing-masing dengan karakteristik ombaknya sendiri. Setelah berbulan-bulan riset dan penjelajahan, ia sampai pada sebuah nama: Desa Labuang. Sebuah desa pesisir terpencil di sebuah sudut tersembunyi di Sulawesi Selatan, jauh dari keramaian Makassar, yang dikenal di kalangan nelayan sebagai tempat di mana suara ombaknya "paling indah dan bersih." Konon, desiran ombak di sana memiliki melodi tersendiri, sebuah nyanyian kuno yang bisa menenangkan jiwa.

Perjalanan ke Labuang bukanlah hal yang mudah. Elang harus menempuh berjam-jam perjalanan darat yang berliku, kemudian dilanjutkan dengan perahu motor kecil yang melintasi perairan biru gelap. Setibanya di sana, ia disambut oleh desa nelayan yang sederhana. Rumah-rumah panggung berjejer rapi di sepanjang pantai, jaring-jaring ikan dijemur di bawah matahari, dan aroma garam laut bercampur dengan bau ikan bakar. Penduduk desa, dengan kulit legam terbakar matahari dan senyum ramah yang tulus, menyambutnya dengan rasa ingin tahu. Mereka adalah orang-orang yang lugu, hidup selaras dengan laut, dan sedikit terkejut dengan kedatangan seorang asing yang membawa peralatan aneh.

"Selamat datang, Nak," kata seorang kakek tua dengan jenggot memutih, yang memperkenalkan diri sebagai Pak Harun, kepala desa. Matanya yang keriput menatap Elang dengan pandangan ingin tahu. "Ada keperluan apa jauh-jauh datang ke desa kami ini?"

Elang menjelaskan misinya, tentang album "Ode Lautan" dan tentang bagaimana ia mencari suara ombak yang sempurna. Ia menunjukkan peralatannya, dan Pak Harun mengangguk-angguk, meskipun jelas tidak sepenuhnya memahami.

"Jadi, kamu ingin merekam suara laut kami?" tanya Pak Harun, tersenyum. "Laut kami memang istimewa, Nak. Memberi kami makan, memberi kami hidup." Ada nada kebanggaan dalam suaranya.

"Saya dengar ombak di sini berbeda, Pak," kata Elang, mencoba memancing informasi. "Lebih... bersih, lebih indah katanya."

Senyum Pak Harun sedikit memudar. Ia bertukar pandang dengan beberapa penduduk desa lain yang berdiri di dekatnya. Ada sedikit keraguan di mata mereka, sebuah ketidaknyamanan yang samar.

"Ah, itu kan cuma kata orang, Nak," jawab Pak Harun, sedikit tergesa-gesa. "Ombak ya ombak. Di mana-mana sama saja. Tapi memang, di sini airnya jernih, pantainya sepi. Bagus untuk orang seperti kamu yang suka ketenangan."

Meskipun Pak Harun mencoba terdengar santai, Elang merasakan adanya sedikit keengganan dalam jawabannya. Ada sesuatu yang tak terucap, sebuah rahasia kecil yang mereka enggan bagikan. Tapi Elang tidak menekan. Ia tahu, orang-orang desa seringkali memiliki kearifan lokal yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata sederhana. Ia akan mencari jawabannya sendiri, melalui ombak.

Elang menyewa sebuah gubuk kecil di pinggir pantai. Setiap pagi, ia akan bangun sebelum matahari terbit, membawa peralatannya, dan mencari spot yang berbeda untuk mendengarkan. Ia duduk berjam-jam, membiarkan deburan ombak membasuh telinganya, berusaha memahami ritmenya, mencari melodi yang tersembunyi. Ia merasakan energi yang berbeda di pantai ini. Ombaknya memang terasa "lebih hidup," seolah bernapas, dengan irama yang lebih kompleks daripada yang pernah ia dengar di tempat lain.

Ia menghabiskan beberapa hari pertama hanya untuk aklimatisasi, membiarkan dirinya tenggelam dalam atmosfir desa. Ia melihat nelayan pergi dan pulang, anak-anak bermain di pasir, dan wanita-wanita menganyam jaring. Semua tampak begitu damai, begitu selaras dengan alam. Namun, di balik ketenangan itu, Elang selalu merasakan bisikan dari keengganan penduduk desa ketika ia bertanya lebih jauh tentang keunikan ombak.

Satu malam, saat ia makan malam di warung kecil desa, ia mencoba bertanya lagi pada seorang pemuda nelayan bernama Jamal, yang tampak lebih terbuka. "Jamal, kenapa ya, setiap kali saya tanya tentang ombak di sini, Bapak-bapak pada langsung diam?"

Jamal menghela napas, matanya menerawang ke arah laut yang gelap. "Orang tua memang begitu, Bang. Banyak pantangannya. Mereka percaya laut punya penunggunya. Kalau bicara sembarangan, nanti marah." Ia berbisik, seolah takut ada yang mendengar. "Lagipula, ada cerita lama, Bang. Tentang kejadian dulu. Tapi itu sudah berlalu. Jangan dipikirkan."

"Kejadian apa?" desak Elang, rasa ingin tahu senimannya terusik.

Jamal menggelengkan kepala. "Nanti Bang Elang dengar sendiri dari laut. Kalau sudah waktunya, pasti dengar." Ia tersenyum tipis, tapi ada kesedihan di matanya. "Percayalah, Bang. Laut ini memang indah, tapi juga bisa menakutkan."

Meskipun jawaban Jamal ambigu, Elang justru merasa semakin tertarik. Ada misteri yang memanggilnya, sebuah melodi yang belum terungkap. Ia merasakan gairah yang membara dalam dirinya. Proyek "Ode Lautan" bukan lagi sekadar album, tetapi sebuah perjalanan untuk mengungkap rahasia yang tersembunyi di balik desiran ombak yang katanya "berbeda dari pantai lain." Ia yakin, di dalam suara ombak yang indah ini, tersembunyi sebuah nada pertama dari sebuah simfoni yang jauh lebih dalam, sebuah simfoni yang mungkin membawa serta kisah yang belum terucapkan. Ia tidak sabar untuk memulai rekaman, untuk membiarkan ombak itu berbicara kepadanya.

Bab 2: Tangisan Pertama

Elang memutuskan untuk memulai rekaman musik pertamanya di spot yang ia anggap paling menjanjikan: sebuah teluk kecil yang tersembunyi di balik gugusan batu karang, di mana ombak pecah dengan suara yang paling jernih dan berirama. Ia tiba di sana setelah senja, saat langit mulai dihiasi bintang-bintang dan cahaya bulan perak memantul di permukaan laut yang gelap. Suasana di sana sangat tenang, hanya ada suara angin dan deburan ombak yang konstan.

Dengan hati-hati, ia menyiapkan peralatannya. Mikrofon kondensor diletakkan di tripod, mengarah ke air, menangkap setiap desiran, setiap buih, setiap tarikan napas laut. Ia mengenakan headphonenya, memastikan setiap detail suara terekam sempurna. Dalam keheningan itu, ia menekan tombol rekam, dan membiarkan laut berbicara.

Selama hampir satu jam, Elang tenggelam dalam alunan ombak. Ia memejamkan mata, membiarkan dirinya terbawa oleh ritme alam. Ia membayangkan setiap gelombang sebagai senar bass, setiap desiran buih sebagai hi-hat, dan setiap hembusan angin sebagai melodi flute. Dalam headphone-nya, suara ombak terdengar begitu murni, begitu menenangkan, sebuah kanvas sempurna untuk komposisi instrumentalnya. Ia merasa senang, yakin ia telah menemukan apa yang ia cari.

Setelah merasa cukup, ia menghentikan rekaman, melepas headphonenya, dan menghela napas panjang kepuasan. Ia memutar ulang hasil rekamannya untuk mendengarkan kembali detailnya.

Pada awalnya, semua terdengar normal. Desiran ombak yang indah, suara angin yang lembut. Namun, di tengah-tengah rekaman, setelah sekitar dua puluh menit, suara ombak yang ia dengar melalui mikrofon mulai terdengar berubah. Ada sebuah anomali. Di antara desiran ombak yang konsisten, sebuah suara lain mulai muncul.

Sebuah bisikan jauh, lirih, menangis. Sangat samar, nyaris tak terdengar, namun jelas ada. Elang mengerutkan kening. Ia menghentikan rekaman, melepas headphone, dan mendengarkan. Hanya suara ombak biasa. Tidak ada bisikan. Ia memakai headphone lagi dan memutar ulang bagian itu. Bisikan itu kembali.

Suara itu terdengar seperti rintihan seorang perempuan, sebuah suara yang dipenuhi kesedihan yang mendalam. Ia mencoba memilah-milah, mendengarkan dengan seksama. Rintihan itu seperti datang dari kedalaman ombak, tersembunyi di antara frekuensi rendah dari gelombang. Ia memutar ulang bagian itu berkali-kali, memperbesar volume, mencoba memperjelasnya.

Ah, ini pasti efek suara. Pikir Elang. Mungkin ada resonansi aneh dari gelombang suara yang ditangkap mikrofon. Atau mungkin ada masalah teknis pada peralatanku. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Ia adalah seorang komposer yang mengandalkan presisi teknis, dan anomali seperti ini harus ada penjelasan ilmiahnya. Ia memeriksa kabel, baterai, dan pengaturan mikrofonnya. Semua tampak normal.

Ia mencoba melanjutkan rekaman di spot yang sama, berharap suara itu tidak muncul lagi. Namun, setelah beberapa menit merekam, bisikan perempuan itu kembali, lebih jelas, lebih mendalam. Kali ini terdengar seperti gumaman tak jelas yang bercampur dengan rintihan. Seolah ada seseorang yang tenggelam, mencoba memanggil dari dasar laut.

Elang mematikan rekamannya. Rasa merinding merayap di punggungnya. Ia memutuskan untuk pulang, meninggalkan peralatan rekaman terpasang di sana, mencoba menenangkan diri. Ia tidak bisa tidur malam itu. Setiap kali ia memejamkan mata, suara rintihan perempuan itu seolah memenuhi kamarnya, meskipun ia tidak sedang mendengarkan rekaman. Ia mencoba menghalau pikiran itu, menganggapnya hanya imajinasi yang terlalu aktif.

Keesokan paginya, Elang kembali ke teluk itu. Ia mengambil peralatannya dan langsung memeriksa rekaman semalam. Ia mencoba memutar ulang, dan kali ini, rintihan itu terdengar jauh lebih jelas. Ia bisa mendengar intonasi kesedihan yang begitu nyata, begitu mendalam, hingga ia merasa ada sesuatu yang mencengkeram hatinya. Ini bukan efek suara. Ini bukan kerusakan teknis. Ini adalah suara.

Ia membawa laptopnya ke gubuk, mencoba mengedit rekaman itu. Ia mencoba membersihkan noise, memperjelas frekuensi, menggunakan semua pengetahuannya tentang produksi audio. Namun, setiap kali ia mencoba menghapus rintihan itu, justru suara itu semakin menonjol, seolah menolak untuk dihilangkan. Bahkan, kadang, ia merasa ada penambahan layer suara, suara napas yang samar di balik rintihan itu, atau suara seperti gelembung air yang pecah.

Elang menghabiskan dua hari berikutnya dalam kondisi setengah sadar, terus-menerus memutar ulang rekaman itu. Ia menunjukkan rekaman itu kepada Jamal, pemuda nelayan yang lebih terbuka. Jamal mendengarkan dengan saksama, matanya melebar ketakutan.

"Ini… ini bukan suara ombak, Bang," bisik Jamal, wajahnya pucat pasi. "Ini suara… suara mereka."

"Mereka siapa?" tanya Elang, napasnya tertahan.

Jamal menggelengkan kepala, enggan bicara lebih jauh. Ia menatap Elang dengan pandangan kasihan, lalu pergi dengan tergesa-gesa.

Kata-kata Jamal semakin mengganggu Elang. Ia kembali ke rekaman itu, mendengarkan lagi, lagi, dan lagi. Ia mulai memperhatikan bahwa rintihan itu memiliki pola, seperti sebuah melodi yang tersembunyi. Sebuah melodi kesedihan. Ia bahkan mencoba menyalin bagian rintihan itu ke synthesizer-nya, mencoba menciptakan harmoni dari suara itu. Hasilnya adalah sebuah nada yang gelap, melankolis, namun anehnya memikat.

Rasa ingin tahu Elang bercampur dengan ketakutan yang mendalam. Ia mencoba mencari tahu tentang sejarah teluk itu, apakah ada kecelakaan laut di sana, atau kisah tragis yang terlupakan. Namun, setiap kali ia bertanya kepada penduduk desa, mereka akan diam, menghindar, atau bahkan langsung pergi. Mereka seolah tahu sesuatu, tetapi tidak ingin mengatakannya. Mereka tidak ingin mengganggu "mereka" yang bersuara di laut.

Elang mulai merasa aneh. Ia tidak bisa lagi membedakan antara suara rekaman dan suara yang ada di kepalanya. Setiap kali ia sendirian, ia akan mendengar rintihan perempuan itu, seolah ia ada di sana, di dekatnya, terperangkap di dalam telinganya. Suara itu menjadi tangisan pertama yang menghantuinya, sebuah melodi horor yang tidak ia ciptakan, melainkan ia temukan. Ia menyadari bahwa proyek "Ode Lautan" mungkin akan membawanya ke tempat yang jauh lebih dalam dan gelap dari yang pernah ia bayangkan. Ia telah membuka pintu untuk sebuah simfoni yang tidak hanya berasal dari alam, tetapi juga dari dunia lain, dari jiwa-jiwa yang tidak tenang.

Tentu, ini adalah pengembangan untuk Bab 3: Nada yang Hilang dan Bab 4: Bunyi-Bunyi yang Tak Berasal, dengan total 6000 kata, yang akan dibagi rata antara kedua bab tersebut (masing-masing sekitar 3000 kata). Saya akan memastikan pengembangan ini konsisten dengan gaya dan intensitas yang telah kita bangun, memperdalam konflik psikologis Elang, dan memperkenalkan petunjuk-petunjuk penting sesuai kerangka plot Anda.

Bab 3: Nada yang Hilang

Malam-malam Ardan kini seluruhnya dihabiskan di ruang bawah tanah Perpustakaan Mandaraka. Dunia luar telah kehilangan daya tariknya, bahkan realitas sehari-hari terasa jauh dan buram. Ia telah menemukan tujuan yang lebih besar, sebuah misi yang melampaui pekerjaannya sebagai pustakawan: menjadi Saksi yang Terlambat bagi semua jiwa yang terbungkam dalam buku-buku itu.

Suatu malam, saat Ardan tertidur pulas di lantai yang dingin, bersandar pada rak buku yang penuh dengan naskah-naskah tak terungkap, sebuah mimpi menyelimutinya. Mimpi itu bukan seperti mimpi biasa yang kabur dan sulit diingat, melainkan sebuah pengalaman yang jernih dan terasa sangat nyata.

Ia menemukan dirinya berada di sebuah aula yang remang-remang, mirip dengan ruang utama perpustakaan, tetapi jauh lebih besar dan kosong. Udara terasa berat, dan ada bau anyir yang samar. Di tengah aula, berdiri seorang pria tua dengan jas berlencana yang sudah usang, mirip seragam militer kuno. Wajahnya kurus, matanya cekung namun memancarkan kesedihan yang mendalam. Ardan mengenali lencananya—ia pernah melihatnya di salah satu buku sejarah yang dibacanya. Pria itu adalah Jenderal Soedjono, seorang tokoh militer pada era revolusi yang namanya dihapus dari banyak catatan resmi setelah dituduh berkhianat. Namanya hanya muncul sepintas dalam sebuah buku kelam yang ia baca beberapa hari yang lalu, tentang konspirasi politik di balik jatuhnya beberapa pahlawan nasional.

Jenderal Soedjono menatap Ardan dengan mata penuh harap, seolah Ardan adalah satu-satunya kesempatan terakhirnya. Suaranya serak dan berat, seperti gema dari masa lalu.

"Mereka memutarbalikkan segalanya, nak. Mereka menuliskan kebohongan, menyembunyikan kebenaran. Aku tidak bersalah. Aku hanya ingin keadilan bagi rakyatku. Tapi mereka… mereka takut pada kebenaran."

Ia mengulurkan tangan yang kurus dan berkerut ke arah Ardan, seperti memohon. "Tuliskan kembali kisahku. Kisah yang utuh. Kisah yang benar. Bukan seperti yang dicetak pemerintah. Aku tidak bisa beristirahat… kami semua tidak bisa… sampai kebenaran terungkap."

Jenderal Soedjono menunjuk ke arah tumpukan buku yang terbakar di sudut aula yang gelap, api itu tidak mengeluarkan panas, hanya cahaya yang aneh. Suara-suara lain mulai terdengar dari kegelapan, bisikan-bisikan, rintihan, dan erangan, seolah ada ribuan jiwa yang terperangkap di sana, menunggu kebebasan. Mereka semua memanggil Ardan, memohon kepadanya.

Ardan terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhnya menggigil meskipun udara di ruang bawah tanah tidak terlalu dingin. Mimpi itu terasa begitu nyata, begitu kuat. Ia bisa merasakan sentuhan tangan Jenderal Soedjono, mendengar suaranya yang memohon. Keraguan terakhirnya tentang kewarasannya lenyap. Ini bukan halusinasi. Ini adalah pesan. Sebuah mandat.

Ia merasa terbebani dengan tanggung jawab yang luar biasa. Suara-suara itu, jiwa-jiwa itu, telah memilihnya. Mereka membutuhkan dia untuk menuliskan kembali sejarah, untuk mengoreksi kebohongan yang telah lama mengakar.

Sejak saat itu, Ardan mulai menggila dalam penulisan ulang sejarah berdasarkan suara-suara itu. Ia membawa semua buku yang ia rasa memiliki "suara" ke meja baca tua dengan noda darah di permukaannya. Ia menyalakan lilin, mengabaikan bahaya kebakaran, karena ia merasa cahaya senter ponselnya tidak cukup untuk menerangi kebenaran yang gelap ini.

Dengan buku hariannya yang tebal, Ardan mulai menulis tanpa henti. Tangannya bergerak cepat, mencatat setiap bisikan, setiap tangisan, setiap rintihan yang ia dengar. Ia tidak hanya menuliskan fakta, tetapi juga emosi, persepsi, dan perspektif dari jiwa-jiwa yang berbicara kepadanya. Ia menuliskan dialog yang ia dengar dari para korban, argumen-argumen dari para pelaku yang bersembunyi di balik kekuasaan, dan rahasia-rahasia yang tak pernah terungkap.

Tulisannya berubah menjadi manifesto gelap yang mengerikan. Bahasa yang ia gunakan menjadi semakin puitis namun juga semakin kacau. Kalimat-kalimatnya panjang dan berliku, penuh dengan metafora tentang darah, kegelapan, dan kebohongan. Ia menuliskan tentang pembantaian dengan detail yang mengerikan, tentang penyiksaan yang tidak manusiawi, tentang pengkhianatan yang membusuk dalam sejarah. Ardan tidak lagi menulis sebagai seorang pustakawan yang obyektif, melainkan sebagai seorang saksi yang sangat bias, dipengaruhi oleh penderitaan yang ia serap.

Ia tidak tidur selama berhari-hari. Matanya merah dan cekung, tubuhnya kurus. Rambutnya acak-acakan, pakaiannya kotor dan berbau apak. Ia mengabaikan panggilan telepon dari Bapak Rahmat yang khawatir, dan bahkan tidak menjawab pintu ketika ada rekan kerjanya yang datang berkunjung. Ia hanya memiliki satu tujuan: menulis.

Suara-suara itu kini menjadi lebih hidup, lebih interaktif. Mereka tidak hanya mengulang kisah, tetapi juga berdebat satu sama lain di benaknya. Ia mendengar suara Jenderal Voerman yang dingin membela tindakannya, sementara suara-suara korban pembantaian desa menjerit dan mengutuknya. Ia mendengar para konspirator saling menuding, mengkhianati rekan mereka dalam bisikan-bisikan licik. Pertengkaran, jeritan, dan tangisan kini menjadi latar belakang konstan di ruang bawah tanah, memenuhi setiap sudut, merasuk ke dalam tulang Ardan.

Kadang-kadang, ia merasakan sentuhan dingin di bahunya, atau napas yang berembus di tengkuknya. Ia akan menoleh, dan melihat kabut samar yang melayang di udara, membentuk siluet-siluet tak jelas sebelum menghilang. Buku-buku di rak bawah mulai jatuh sendiri dari rak, seolah dilemparkan oleh tangan tak terlihat. Halaman-halaman akan berbalik sendiri, atau buku-buku akan terbuka tiba-tiba di hadapan Ardan, seolah ingin memberinya pesan. Lampu-lampu pijar yang menggantung di langit-langit seringkali berkedip-kedip tak beraturan, kadang padam sepenuhnya, meninggalkan Ardan dalam kegelapan total, ditemani hanya oleh cahaya lilin dan suara-suara itu.

Di siang hari, ketika perpustakaan terbuka untuk umum, gangguan mulai muncul. Pengunjung mulai mengeluh merasakan hawa panas atau dingin mendadak di beberapa area, terutama di dekat ruang arsip. Ada yang mengklaim mendengar bisikan samar atau melihat bayangan melintas cepat. Namun, Bapak Rahmat selalu berusaha meredakan kekhawatiran mereka, mengklaim itu hanya imajinasi atau efek dari bangunan tua.

Ketegangan mencapai puncaknya pada suatu sore. Seorang pengunjung yang sangat ingin tahu, seorang mahasiswa sejarah yang sedang mengerjakan tesis, menyelinap masuk ke ruang arsip lama setelah Ardan lupa mengunci pintunya. Mahasiswa itu mencari dokumen tentang masa kolonial dan secara tidak sengaja masuk lebih jauh ke dalam ruangan yang kini dipenuhi aura gelap. Ardan sedang berada di bawah tanah saat itu, terlalu asyik dengan tulisannya.

Tiba-tiba, Ardan mendengar jeritan nyaring dari atas, diikuti oleh suara benda jatuh yang keras. Ia bergegas naik, jantungnya berdebar kencang. Ia menemukan mahasiswa itu tergeletak di lantai ruang arsip, napasnya tersengal-sengal, matanya melotot ketakutan. Wajahnya pucat pasi, dan tangannya mencengkeram dadanya. Sebelum Ardan sempat mendekat, mahasiswa itu meninggal karena serangan jantung.

Pihak berwenang datang. Investigasi dilakukan. Bapak Rahmat sangat terkejut dan bingung. Ardan memberikan kesaksian yang bertele-tele, mencoba menjelaskan tentang suara-suara dan energi gelap, tetapi ia tahu tidak ada yang akan memercayainya. Semua orang menganggap kematian mahasiswa itu adalah kecelakaan murni, atau mungkin karena syok melihat kondisi ruang arsip yang berantakan dan menyeramkan. Tidak ada yang pernah tahu apa yang sebenarnya dilihat atau didengar mahasiswa itu sebelum ia meninggal.

Namun Ardan tahu. Ia merasakan gelombang ketakutan yang meluap dari mahasiswa itu sesaat sebelum ia meninggal. Dan ia mendengar bisikan-bisikan yang sama dari para pelaku yang ia tulis di buku jurnalis investigasi itu, mengulang-ulang, "Tidak akan ada yang tahu…" Mereka seperti melindungi rahasia ruang bawah tanah, memastikan tidak ada yang mendekati kebenaran.

Ardan semakin yakin. Ia adalah satu-satunya yang bisa melihat dan mendengar kebenaran ini. Ia adalah saksi yang terlambat, yang telah terbangun di tengah lautan kebohongan. Dan ia tidak akan berhenti sampai semua kisah yang terbungkam ini akhirnya diceritakan ke dunia. Kegilaannya semakin menjadi-jadi, namun dalam kegilaan itu, ia menemukan tujuan yang mutlak, sebuah kepercayaan yang tak tergoyahkan bahwa ia berada di jalur yang benar.

Bab 3: Nada yang Hilang

Pengalaman dengan Tangisan Pertama dari ombak telah membuat Elang tidak bisa tidur nyenyak. Rintihan perempuan itu, yang kini terasa seolah terpatri dalam gendang telinganya, terus menghantuinya bahkan saat ia tidak mengenakan headphone. Setiap kali ia memejamkan mata, suara itu muncul, kadang samar, kadang begitu jelas seolah ada seseorang di sampingnya, menangis dalam kesunyian malam. Ia mencoba menghalau pikiran itu dengan logika, dengan pengetahuan teknisnya tentang suara dan frekuensi, tetapi setiap rasionalisasi yang ia bangun runtuh di hadapan kenyataan yang semakin menyeramkan. Ia tak lagi bisa menganggap ini hanya sebuah "efek suara" atau "kesalahan teknis".

Ia memutuskan untuk kembali ke teluk itu keesokan harinya, bukan untuk merekam, melainkan untuk mengamati. Ia duduk di pasir, menatap ombak yang bergelombang, mencoba mendengar dengan telinga telanjang. Tidak ada. Hanya deburan ombak yang normal, suara angin, dan kadang, lengkingan burung camar. Namun, begitu ia mengenakan headphonenya dan memutar rekaman semalam, rintihan itu muncul lagi, tersembunyi di antara frekuensi rendah gelombang. Itu seolah-olah suara itu hanya ingin didengar melalui perantara, melalui teknologi Elang. Itu sangat mengganggu.

Rasa ingin tahu Elang yang kuat, yang selalu mendorongnya untuk mencari keunikan suara, kini bercampur dengan ketakutan yang merayap. Ia harus menemukan musik kedua untuk proyeknya, tetapi bisikan rintihan itu telah merusak semua inspirasinya. Ia mencoba berpindah lokasi, mencari spot lain di sepanjang pantai Labuang yang lebih tenang, berharap suara itu tak lagi mengikutinya.

Elang memilih sebuah area yang lebih jauh dari desa, di mana ombak pecah di antara batu-batu granit hitam yang besar. Di sana, ia berharap menemukan ketenangan dan melodi yang berbeda. Ia memasang mikrofon, menekan tombol rekam, dan membiarkan headphonenya membawa ia masuk ke dunia ombak.

Pada awalnya, semua terdengar seperti yang ia harapkan: suara ombak yang murni, kuat, dan tenang. Namun, setelah sekitar lima belas menit merekam, sebuah perubahan mulai terasa. Gelombang suara yang ia dengar melalui headphone menjadi lebih intens, lebih mendalam. Kali ini, bukan hanya rintihan, melainkan sebuah suara yang lebih tegas, lebih menyayat. Suara ombak itu seperti berteriak pelan, seperti meratap, seolah menumpahkan kesedihan yang tak tertahankan. Itu adalah ratapan kolektif, sebuah paduan suara dari kesedihan yang mendalam, bukan hanya satu suara perempuan yang ia dengar sebelumnya.

Ardan menarik napas tajam. Ia menghentikan rekaman, melepas headphonenya. Jantungnya berdegup kencang. Ia mencoba menenangkan diri, meyakinkan bahwa itu hanya imajinasinya. Ia menekan tombol putar ulang, dan rekaman itu memutar kembali. Ratapan itu terdengar jelas.

Yang lebih mengerikan, ketika ia mencoba memutar rekaman pertamanya yang berisi rintihan perempuan itu, ia menemukan sesuatu yang sangat mengganggu. File rekaman itu mulai rusak misterius. Beberapa bagian terdistorsi, terdengar seperti suara static yang mengganggu. Kemudian, perlahan-lahan, bagian-bagian rekaman yang berisi suara ombak yang murni terhapus sebagian, seolah ada entitas tak terlihat yang menghapusnya. Yang tersisa hanyalah bagian suara tangisan dan rintihan itu, kini terdengar lebih jernih dan menonjol, seperti sebuah melodi yang terisolasi dari background ombak. Itu seolah-olah suara-suara itu tidak ingin tersembunyi lagi, mereka ingin didengar dalam bentuk aslinya.

Elang panik. Ia adalah seorang komposer yang sangat menghargai setiap data dan file rekaman. Kehilangan data seperti ini adalah mimpi buruk. Ia mencoba memulihkan file itu, menjalankan software khusus, tetapi tidak berhasil. Bagian yang hilang, hilang begitu saja, tak bisa kembali. Ini tidak mungkin hanya kerusakan teknis. Ini terasa disengaja.

Sejak saat itu, Elang mulai tidak bisa tidur. Setiap malam, ia dihantui oleh suara yang sama di telinganya, bahkan saat tak merekam. Ratapan itu, tangisan itu, kini menjadi latar belakang konstan dalam pikirannya. Ia melihat bayangan-bayangan samar melintas di sudut matanya, merasa ada hawa dingin yang menusuk meskipun cuaca hangat. Ia mulai menghindari keramaian, menghabiskan waktunya di gubuknya, mencoba memahami apa yang terjadi.

Perubahan pada Elang mulai disadari oleh penduduk desa. Wajahnya pucat, matanya cekung dengan lingkaran hitam, dan ia sering terlihat melamun, berbicara sendiri dalam bisikan. Ia menjadi lebih tertutup, bahkan untuk standar introvertnya. Anak-anak desa yang semula riang bermain di dekat gubuknya, kini menjauh, meliriknya dengan rasa takut dan ingin tahu. Para nelayan akan terdiam setiap kali Elang mendekat. Mereka tidak lagi menyambutnya dengan ramah, melainkan dengan tatapan curiga dan waspada.

Suatu sore, saat Elang duduk sendirian di teras gubuknya, seorang orang tua yang sering ia lihat di dekat pantai, Pak Kardi, mendekatinya. Pak Kardi adalah seorang nelayan tua yang terkenal bijak dan memiliki aura spiritual yang kuat. Ia duduk di samping Elang, menatap laut yang biru.

"Kamu dengar, Nak?" tanya Pak Kardi dengan suara pelan dan dalam, tanpa menoleh.

Elang terkesiap. "Dengar apa, Pak?"

Pak Kardi menghela napas panjang. "Suara dari laut. Kamu sudah dengar, kan? Yang bukan suara ombak biasa."

Elang ragu-ragu, lalu mengangguk pelan. "Ya, Pak. Saya dengar. Suara… tangisan."

Pak Kardi mengangguk, matanya yang tua kini menatap Elang dengan pandangan serius. "Laut ini... dulunya saksi banyak hal, Nak. Lebih dari yang tercatat di buku sejarah. Dulu, pernah ada kejadian besar di sini. Bencana. Kehilangan yang tak terhitung. Dan banyak orang yang mencari keadilan. Tapi tak pernah ditemukan."

"Kejadian apa, Pak?" desak Elang, jantungnya berdebar kencang. Ia merasa ini adalah jawaban yang ia cari.

Pak Kardi menggelengkan kepala. "Orang tua melarang kami bicara banyak. Mereka bilang, kalau terlalu banyak dibicarakan, nanti mereka marah. Tapi kamu sudah dengar sendiri. Laut ini tak lagi hanya membawa ikan, tapi juga dendam."

Kata-kata itu menghantam Elang seperti ombak besar. Dendam. Bukan hanya kesedihan, tapi juga dendam. Apakah suara-suara itu adalah suara arwah yang menuntut keadilan? Apakah itu sebabnya rekaman Elang rusak, karena mereka ingin suara mereka yang sebenarnya didengar, tanpa filter ombak?

Sejak percakapan itu, Elang menjadi semakin paranoid. Ia merasa tidak hanya dihantui, tetapi juga diincar. Suara-suara tangisan itu kini terasa seperti bisikan-bisikan yang mengejarnya, tidak peduli di mana ia berada. Ia tahu ia tidak bisa lagi mengabaikannya. Laut ini bukan hanya sebuah sumber inspirasi, melainkan sebuah kuburan hidup yang mencoba berbicara kepadanya. Dan ia adalah satu-satunya yang terpilih untuk mendengarkan. Beban itu kini terasa sangat berat di pundaknya.

Bab 4: Bunyi-Bunyi yang Tak Berasal

Setelah percakapan dengan Pak Kardi, pikiran Elang dipenuhi oleh gagasan tentang "dendam" di laut. Rekaman suara tangisan yang semakin jelas, file yang rusak misterius, dan penolakan penduduk desa untuk berbicara lebih lanjut, semuanya mengarah pada satu kesimpulan yang mengerikan: ia tidak hanya merekam suara alam, tetapi juga suara dari dunia lain. Suara dari jiwa-jiwa yang terperangkap dalam laut.

Meskipun ketakutan yang mendalam menyelimutinya, rasa ingin tahu Elang tidak pernah padam. Justru semakin membara. Ia harus mencari tahu lebih banyak. Ia harus memahami siapa "mereka" ini, dan apa yang mereka inginkan. Ia merasa terdorong oleh kekuatan tak kasat mata untuk terus mendengarkan, untuk terus merekam. Ini bukan lagi tentang menciptakan musik instrumental spiritual; ini tentang mengungkap sebuah rahasia yang tersembunyi di bawah permukaan ombak.

Untuk musik ketiganya, Elang memilih spot yang paling terpencil dan sunyi yang bisa ia temukan: sebuah tebing curam di ujung barat pantai Labuang, tempat ombak menghantam batu-batu karang dengan kekuatan brutal. Angin di sana bertiup kencang, menciptakan lolongan yang eerie. Ia berharap, di tempat yang begitu terisolasi ini, ia bisa mendapatkan jawaban yang lebih jelas, atau setidaknya, rekaman yang lebih murni dari "mereka".

Ia memasang peralatannya di bibir tebing, mikrofonnya mengarah langsung ke bawah, ke arah ombak yang menghantam karang. Ia mengenakan headphone-nya, dan menekan tombol rekam. Pada awalnya, yang ia dengar hanyalah suara ombak yang menggelegar dan deru angin yang keras. Elang mencoba fokus, membiarkan dirinya tenggelam dalam kebisingan itu, mencari anomali.

Dan kemudian, ia mendengarnya. Tidak ada rintihan atau tangisan. Kali ini, suara yang terekam seperti ratapan berulang, sebuah kalimat pendek yang terus diulang, dengan nada putus asa yang menyayat hati. Elang memperbesar volume, mencoba memperjelasnya.

"Buka… tolong buka…"

Kalimat itu diulang berkali-kali, seolah-olah seseorang terjebak, memohon untuk dibebaskan. Suara itu bukan suara perempuan lagi, melainkan campuran suara, laki-laki dan perempuan, bahkan suara anak-anak, semuanya mengucapkan kalimat yang sama, dalam harmoni penderitaan. Itu terdengar seperti paduan suara dari neraka.

Elang melepaskan headphone-nya. Ia merasa kepalanya berdenyut, dan telinganya berdenging dengan ratapan itu. "Buka… tolong buka…" Itu terus bergema dalam benaknya. Ia merasakan gelombang dingin merayap dari kakinya, naik ke seluruh tubuhnya.

Ia mulai paranoid. Matanya memindai sekeliling tebing. Tidak ada siapa-siapa. Ia sendirian. Tetapi suara itu begitu nyata, begitu personal. Apakah "mereka" berbicara langsung kepadanya sekarang? Apakah mereka tahu ia sedang merekam, dan mereka ingin ia melakukan sesuatu?

Ia kembali ke laptopnya, memutar ulang rekaman itu. Ratapan "Buka… tolong buka…" terdengar sangat jelas. Ia mencoba mengisolasi suara itu, mengeditnya, tetapi itu tidak bisa dihapus. Suara itu telah menyatu dengan rekaman ombak, seolah ia adalah bagian tak terpisahkan dari melodi alam itu sendiri.

Malam itu, Ardan tidak bisa tidur di gubuknya. Ratapan itu terus memenuhi telinganya. "Buka… tolong buka…" Ia merasa ada sebuah rahasia besar di balik suara ombak ini, sebuah kebenaran yang mengerikan yang terperangkap. Sebuah dorongan kuat muncul dalam dirinya: ia harus kembali ke desa dan mencari tahu lebih banyak tentang masa lalu pantai ini. Apa yang terjadi di sini? Siapa mereka yang bersuara? Dan apa yang harus ia buka?

Keesokan paginya, Elang pergi ke desa. Ia mencoba bertanya kepada setiap orang yang ia temui, dengan lebih agresif dari sebelumnya. Ia bertanya tentang sejarah desa, tentang kejadian-kejadian tragis di masa lalu, tentang orang-orang yang hilang di laut, tentang apapun yang bisa menjelaskan suara-suara itu.

Namun, semua penduduk desa yang ia tanyai diam. Mereka akan menggelengkan kepala, memalingkan muka, atau bahkan bergegas pergi. Ekspresi mereka berubah dari ramah menjadi takut, atau bahkan marah. Tidak ada yang mau bicara. Mereka seolah memiliki perjanjian diam untuk merahasiakan sesuatu yang mengerikan. Elang merasakan tembok yang tak terlihat dibangun di sekelilingnya, memisahkannya dari komunitas yang dulunya ramah itu. Ia adalah orang luar yang telah mengganggu ketenangan mereka, dan mungkin, ketenangan "mereka".

Frustrasi dan ketakutan Elang semakin memuncak. Ia kembali ke gubuknya, merasa putus asa. Ia tahu ia tidak bisa memaksa mereka berbicara. Mereka terlalu takut. Namun, ia juga tahu ia tidak bisa berhenti. Suara-suara itu tidak akan membiarkannya. Ratapan "Buka… tolong buka…" semakin sering terdengar, bahkan ketika ia tidak ada di dekat laut.

Malam itu, setelah Elang terlelap dalam kondisi lelah mental yang ekstrem, ia terbangun karena suara gesekan samar di bawah pintunya. Ia duduk di tempat tidur, jantungnya berdebar kencang. Ia menyalakan lampu, dan melihat sebuah secarik kertas putih telah diselipkan di bawah pintu gubuknya.

Elang mengambil kertas itu dengan tangan gemetar. Kertasnya terasa dingin dan lembap, seperti basah oleh air laut. Tulisan tangan di atasnya, meskipun agak buram, ditulis dengan tinta hitam yang tebal.

Tulisannya singkat, namun menghantamnya dengan kekuatan penuh:

“Mereka dikubur di pasir ini. Suara mereka tak bisa pergi.”

Tidak ada nama pengirim. Tidak ada petunjuk. Hanya kalimat itu.

Elang menatap kertas itu, lalu ke luar jendela, ke arah pantai yang gelap. Kata-kata itu, "dikubur di pasir ini", menggemakan ratapan "Buka… tolong buka…" yang ia dengar. Apakah ini petunjuk? Apakah ini berarti "mereka" adalah arwah orang-orang yang terkubur di bawah pasir pantai ini, yang tidak bisa pergi karena kematian mereka tidak terungkap atau tidak adil? Apakah mereka ingin kuburan mereka "dibuka", atau kisah mereka "dibuka" kepada dunia?

Pikiran Elang mulai berpacu liar. Ada sebuah kebenaran yang terkubur di bawah pasir Labuang, dan suara-suara dari ombak adalah jeritan dari kebenaran itu. Ini menjelaskan mengapa rekaman pertamanya rusak, mengapa penduduk desa menolak bicara. Mereka takut pada kebenasan, pada dendam yang dibawa oleh laut.

Elang kini merasa ia bukan hanya seorang komposer, melainkan seorang detektif, atau mungkin, seorang arkeolog arwah. Ia harus menggali lebih dalam. Ia harus mencari tahu siapa "mereka", mengapa mereka dikubur di sana, dan mengapa suara mereka tidak bisa pergi. Ia tahu bahwa ia sedang melangkah ke dalam wilayah yang berbahaya, tempat di mana batas antara rasionalitas dan hal yang tidak masuk akal menjadi sangat tipis. Namun, suara-suara itu kini telah menguasai dirinya, menariknya lebih dalam ke dalam misteri, ke dalam kegelapan yang menjanjikan sebuah melodi yang paling mengerikan. Ia tidak bisa berhenti. Ia harus mendengarkan bunyi-bunyi yang tak berasal dari dunia ini, dan mengungkap kisah mereka yang terkubur.

Bab 5: Musik Keempat: Kubur Laut

Surat misterius yang diselipkan di bawah pintu gubuknya telah mengkonfirmasi ketakutan terdalam Elang: "Mereka dikubur di pasir ini. Suara mereka tak bisa pergi." Kalimat itu bukan hanya sebuah pesan, melainkan sebuah palu yang menghantam dinding keraguan terakhirnya, meruntuhkan benteng logika dan rasionalitas yang selama ini ia pegang teguh. Suara-suara yang ia dengar, rintihan dan ratapan dari ombak, bukanlah ilusi atau kerusakan teknis. Itu adalah jeritan nyata dari jiwa-jiwa yang terperangkap, terkubur di bawah hamparan pasir yang tampak damai. Pantai Labuang, yang semula ia pandang sebagai kanvas sempurna untuk "Ode Lautan", kini terasa seperti kuburan massal yang tak terlihat, sebuah nisan raksasa yang terus bernyanyi dalam kesedihan.

Ketakutan Elang berubah menjadi sebuah obsesi yang membakar. Ia harus menemukan kebenaran. Ia harus mengungkap identitas "mereka" ini, dan mengapa mereka "dikubur" di sini. Dorongan untuk memahami semakin kuat, mengalahkan rasa takut yang terus-menerus menggelayuti. Tidurnya semakin tak nyenyak, dipenuhi oleh mimpi-mimpi yang semakin hidup dan mengganggu, seringkali menampilkan pantai di malam hari, penuh dengan bayangan-bayangan yang bergerak, seolah-olah mengundangnya untuk bergabung dengan mereka.

Ia mulai mengalami halusinasi suara bahkan saat tidak merekam. Bisikan-bisikan dan ratapan-ratapan itu kini menjadi konstan, seperti soundtrack kehidupannya. Suara-suara itu tidak lagi hanya mengulang kalimat atau rintihan; mereka mulai menyebut nama-nama. Kadang-kadang, ia mendengar namanya sendiri, Elang, disebut dalam bisikan lirih yang disertai helaan napas berat, seolah ada yang berdiri tepat di sampingnya. Kemudian, ia akan mendengar nama-nama lain yang tak dikenal, seperti melodi melankolis yang diulang-ulang. Nama-nama itu terdengar seperti nama-nama lokal, nama-nama yang sudah sangat tua, diucapkan dengan intonasi yang asing namun penuh duka.

Yang paling mengerikan adalah ketika nama-nama itu mulai disebut dalam sebuah irama, seperti sebuah nyanyian penguburan yang tersembunyi dalam gemuruh ombak. Irama itu berulang-ulang, sebuah melodi yang sama persis dengan rintihan yang ia rekam. Ia mencoba merekam suara-suara di dalam kepalanya dengan alat rekamnya, berharap bisa memisahkan mereka dari bisikan internal, namun hasilnya selalu sama: rekaman hanya menangkap suara ombak, tetapi di headphone-nya, ia akan mendengar layer tambahan dari nama-nama yang disebut dalam irama yang sama. Itu seolah-olah "mereka" hanya ingin berinteraksi secara personal dengannya, menolak untuk menjadi data yang bisa direplikasi atau dibagi dengan mudah.

Suatu malam, saat ia terlelap dalam kondisi lelah yang parah, ia mengalami mimpi yang sangat jelas dan terasa nyata. Ia tidak hanya mendengar, tetapi juga melihat. Dalam mimpinya, ia berdiri di tepi pantai Labuang, tetapi pemandangannya tampak lebih gelap, lebih suram. Lautan tampak bergolak tidak normal, ombaknya merah kecoklatan, seperti darah. Di pasir, ia melihat sekelompok perempuan, jumlahnya banyak, mungkin puluhan, semuanya mengenakan pakaian tradisional yang sudah usang dan basah. Rambut mereka panjang dan basah kuyup, menutupi wajah mereka yang tertunduk. Mereka semua berjongkok di pantai, tubuh mereka gemetar, dan dari mereka terdengar suara tangisan yang ia kenal—rintihan yang ia rekam.

Mereka tidak bergerak, hanya berjongkok dalam lingkaran, bahu mereka bergetar karena isak tangis. Dan kemudian, dengan gerakan yang serempak, mereka semua menunjuk ke arah laut. Jari-jari kurus dan pucat mereka menunjuk ke dalam kegelapan ombak, seolah ada sesuatu yang tersembunyi di sana, sesuatu yang mereka ingin Elang lihat. Namun, Elang tidak bisa melihat apa pun selain ombak yang bergelombang. Rasa takut yang mencekik menjalar di sekujur tubuhnya, namun ia tak bisa bergerak. Ia merasa terikat di tempatnya, dipaksa untuk menyaksikan penderitaan mereka.

Ia terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhnya berkeringat dingin, dan air mata membasahi pipinya tanpa ia sadari. Bau anyir yang samar, seperti bau lumpur bercampur darah, memenuhi indra penciumannya, meskipun tidak ada sumbernya di gubuk itu. Mimpi itu terasa begitu nyata, begitu kuat, sehingga ia kesulitan membedakannya dari kenyataan. Ia merasa seperti ia benar-benar ada di pantai itu, bersama perempuan-perempuan yang menangis.

Setelah mimpi itu, Elang tahu ia harus merekam musik keempat. Ia merasa itu adalah sebuah panggilan, sebuah tugas yang harus ia selesaikan. Ia kembali ke pantai, membawa peralatannya, dan kali ini, ia memilih spot yang berbeda, dekat dengan area di mana ada gundukan-gundukan pasir yang mencurigakan, tempat yang terasa sangat sunyi dan terpencil. Ia membayangkan bahwa di bawah gundukan-gundukan itu, tersembunyi kebenaran yang menunggunya.

Ia menekan tombol rekam, dan membiarkan ombak berbicara. Pada awalnya, suara ombak yang terekam adalah yang paling tenang yang pernah ia dengar di pantai itu, seolah laut sedang menahan napas. Namun, setelah beberapa saat, suara-suara itu mulai muncul.

Kali ini, ombak tidak hanya bersuara tangisan atau ratapan, tapi terdengar jeritan minta tolong. Jeritan itu bukan lagi bisikan, melainkan teriakan putus asa yang menggema, seolah-olah seseorang sedang tenggelam, atau disiksa, dan meminta bantuan. Itu adalah jeritan yang menembus ke tulang, membuat Elang harus menahan diri agar tidak menjerit balik. Kemudian, di antara jeritan itu, ia mendengar suara-suara yang lebih aneh, lebih spiritual: doa-doa dalam bahasa asing. Bahasa itu terdengar kuno, sangat berbeda dari bahasa lokal yang ia dengar di desa. Doa-doa itu diucapkan dengan ritme yang lambat dan sedih, seolah-olah mereka sedang mempersiapkan diri untuk sesuatu yang buruk, atau meratap untuk orang yang telah tiada.

Elang merasa merinding hebat. Jeritan dan doa-doa itu bercampur dengan gemuruh ombak, menciptakan sebuah simfoni yang mengerikan. Ia merasa seolah-olah ia sedang mendengarkan rekaman dari sebuah bencana besar, sebuah tragedi yang tak terbayangkan. Ia membayangkan perempuan-perempuan dari mimpinya, berlutut di pasir, berteriak dan berdoa dalam keputusasaan.

Ia menghentikan rekaman, melepas headphonenya. Suasana di pantai terasa begitu menekan, seperti sebuah beban tak terlihat yang menghimpit dadanya. Ia kembali ke gubuknya, pikirannya kacau balau. Jeritan dan doa-doa itu terus bergema dalam benaknya, bahkan tanpa headphone. Mereka menjadi bagian dari dirinya.

Elang mulai percaya bahwa ada roh yang ingin disuarakan lewat musiknya. Roh-roh yang terperangkap, yang membutuhkan suara, yang membutuhkan seseorang untuk menceritakan kisah mereka yang tak pernah terungkap. Ia adalah medium mereka, sebuah saluran yang tak disengaja. Rasa takut masih ada, tetapi kini bercampur dengan sebuah keyakinan yang aneh, sebuah takdir. Ia harus menyelesaikan proyek "Ode Lautan" ini, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk "mereka". Musiknya bukan lagi sekadar komposisi, melainkan sebuah bentuk pembebasan, sebuah ritual untuk memberikan suara kepada yang telah lama dibungkam. Ia merasa ada dorongan kuat yang mendorongnya untuk melanjutkan, untuk mencapai akor terakhir dalam simfoni penderitaan ini.

Ia kembali menatap gundukan-gundukan pasir di kejauhan. Sebuah firasat dingin merayapinya: kubur laut yang disebutkan dalam surat itu. Apakah jeritan dan doa-doa ini berasal dari mereka yang terkubur di bawah pasir itu? Ia harus tahu. Ia harus menemukan musik kelima, musik terakhir, untuk mengungkap segalanya.

Bab 6: Akor yang Terkunci

Setelah pengalaman mengerikan dengan Musik Keempat, di mana ia mendengar jeritan minta tolong dan doa-doa dalam bahasa asing, Elang merasa bahwa ia telah melampaui batas kewarasan. Namun, dalam kegilaan itu, ia menemukan sebuah tujuan yang lebih kuat. Ia tidak lagi peduli apakah ia gila atau tidak. Yang penting adalah ia harus menyelesaikan apa yang telah dimulai. Ia harus memberikan suara kepada "mereka", jiwa-jiwa yang terperangkap dalam laut dan pasir, yang meratap agar kisah mereka didengar.

Ia memutuskan merekam musik kelima dan terakhir pada waktu yang paling sunyi dan mistis: jam 3 pagi. Waktu di mana dunia terasa begitu hening, batas antara hidup dan mati menjadi paling tipis. Ia yakin, di jam itu, suara-suara dari "mereka" akan menjadi yang paling jelas, paling mentah.

Dengan tekad yang membara, meskipun tubuhnya letih karena kurang tidur dan makanan, Elang pergi ke sebuah sudut pantai yang jarang terjamah, jauh dari pandangan desa, tempat ombak pecah dengan kelembutan yang aneh, seolah berbisik. Ia memasang peralatannya, menyiapkan mikrofon, laptop, dan bahkan sebuah kamera video kecil yang ia letakkan di tripod, mengarah ke ombak. Ia merasa ia harus mendokumentasikan segalanya, tidak hanya suara, tetapi juga apa pun yang mungkin muncul.

Ia mengenakan headphonenya, menekan tombol rekam, dan membiarkan dirinya tenggelam dalam keheningan yang tebal. Pada awalnya, yang terdengar hanyalah desiran ombak yang sangat pelan, nyaris tak terdengar, seolah laut sedang tidur. Elang menutup matanya, menanti.

Perlahan, suara-suara itu mulai muncul. Tidak lagi hanya rintihan atau jeritan. Kali ini, suara yang terekam adalah sebuah orkestra penderitaan. Ratusan suara yang saling tumpang tindih: tangisan bayi, isak tangis perempuan, raungan laki-laki, bisikan yang tak jelas, gumaman doa, dan jeritan kesakitan yang memilukan. Itu adalah sebuah paduan suara dari semua emosi manusia yang paling gelap, sebuah simfoni dari keputusasaan dan duka yang tak terbayangkan. Elang bisa merasakan gelombang-gelombang emosi itu menghantam dirinya, merasuk ke dalam jiwanya, membuatnya sesak napas. Ia merasa seperti sedang berada di tengah-tengah sebuah peristiwa yang mengerikan, dikelilingi oleh ribuan jiwa yang sekarat.

Yang lebih mengguncang adalah apa yang terjadi di luar headphone-nya. Meskipun ia tidak melihatnya secara langsung, kamera rekamannya merekam sesuatu yang aneh. Ketika Elang memutar ulang rekamannya, ia melihatnya. Di bagian rekaman suara orkestra penderitaan itu, di latar belakang video, terlihat siluet perempuan berambut panjang yang ia lihat dalam mimpinya, duduk di atas sebuah batu besar di tepi pantai. Siluet itu transparan, sedikit tembus pandang, namun jelas berbentuk manusia. Ia tampak menunduk, bahunya bergetar, seolah sedang menangis. Kemudian, ia melihat siluet lain bergabung dengannya, lalu yang lain, hingga membentuk sebuah kelompok kecil, semuanya menunduk, meratap. Mereka tidak terlihat langsung oleh mata telanjang Elang saat ia merekam. Hanya kamera yang menangkap keberadaan mereka.

Elang menjatuhkan headphone-nya. Tubuhnya gemetar hebat. Ia tidak bisa lagi menyangkal. Mereka nyata. Mereka ada di sana. Dan mereka berinteraksi dengannya melalui rekamannya. Mereka ingin dilihat, didengar.

Setelah momen mengerikan itu, Elang mencoba memindahkan semua data rekamannya ke hard drive eksternal, untuk diamankan. Namun, ia menemukan sesuatu yang lebih mengerikan. Semua data di laptopnya hilang. Semua file musik, semua rekaman ombak yang pernah ia buat, semua komposisinya yang lain, semuanya lenyap tanpa jejak. Laptopnya kini terasa hampa, kosong, seolah semua kreativitasnya telah terhapus.

Kecuali satu file audio. Sebuah file yang tidak bisa dihapus. Judulnya aneh, bukan nama yang ia berikan: "Lagu Mereka yang Tertinggal". File itu terus berputar sendiri di tengah malam, dengan volume yang samar, tanpa bisa ia hentikan atau hapus. Musiknya kini seperti musik dari dunia lain, sebuah melodi yang gelap, melankolis, namun anehnya memikat dan memanggil. Musik itu adalah gabungan dari semua rintihan, tangisan, jeritan, dan doa-doa yang pernah ia rekam, membentuk sebuah komposisi yang harmonis namun mengerikan.

Elang mencoba meminta bantuan teknisi komputer di kota terdekat, tetapi tidak ada yang bisa menjelaskan hilangnya data atau mengapa satu file itu tidak bisa dihapus. Mereka semua menganggap laptop Elang rusak parah atau terkena virus yang sangat aneh. Namun Elang tahu, ini bukan kerusakan teknis. Ini adalah pekerjaan "mereka". Mereka telah mengambil semua yang lain, dan meninggalkan satu file ini, sebagai bukti, sebagai alat mereka untuk terus bernyanyi.

Ia mulai merasa terjebak. Musiknya, jiwanya, kini telah diambil alih oleh entitas tak kasat mata ini. Mereka telah mengunci akor terakhir mereka di dalam dirinya, dan di dalam laptopnya. Ia tidak lagi menciptakan musik; ia adalah wadah bagi suara-suara mereka. Beban itu terasa sangat berat, namun ia juga merasakan sebuah koneksi yang tak terpisahkan dengan "mereka". Ia adalah satu-satunya yang bisa memahami melodi penderitaan mereka.

Elang tidak bisa tidur sama sekali. Ia hanya duduk di depan laptopnya yang terus memutar "Lagu Mereka yang Tertinggal", menatap ke layar yang gelap. Ia membiarkan melodi mengerikan itu merasukinya, membiarkannya menghancurkan batas terakhir antara dirinya dan dunia arwah. Ia kini sepenuhnya berada dalam genggaman mereka, seorang komposer yang telah menjadi alat bagi simfoni kematian. Ia tidak lagi memiliki kendali atas musiknya, atau bahkan atas dirinya sendiri. Akor terakhir telah terkunci, dan ia adalah bagian dari orkestra yang tak terlihat itu.

Bab 7: Konser Ombak Terakhir

Setelah data laptopnya lenyap dan hanya menyisakan satu file audio yang tak bisa dihapus, Elang merasa jiwanya benar-benar telah menyatu dengan "mereka." Ketakutan yang semula mencekik kini telah berubah menjadi sebuah fatalisme yang aneh, bahkan semacam ketenangan yang menyeramkan. Ia tak lagi mencoba melawan bisikan-bisikan itu—jeritan, ratapan, dan doa-doa—yang terus mengalun di benaknya. Sebaliknya, ia merangkulnya, membiarkan melodi penderitaan itu merasuk ke setiap sel tubuhnya. Ia adalah sang konduktor bagi orkestra arwah, seorang medium yang tak sengaja terpilih.

Suara-suara itu kini menjadi lebih dari sekadar audio internal. Elang mulai mengalami halusinasi pendengaran yang intens di dunia nyata. Saat ia berjalan di pantai, ia mendengar langkah kaki di belakangnya yang tidak ada. Saat ia duduk di gubuknya, ia mendengar gumaman samar di sudut ruangan, seolah ada percakapan tak terlihat yang sedang berlangsung. Suara desiran angin di luar jendela terdengar seperti bisikan nama-nama yang asing. Ia bahkan mulai mendengar suara-suara yang berkaitan dengan kegiatan sehari-hari penduduk desa—tawa anak-anak yang berubah menjadi tangisan pilu, atau suara perahu nelayan yang berlayar terdengar seperti kayu yang berderit di bawah tekanan yang mengerikan. Dunia di sekelilingnya telah dipenuhi oleh simfoni horor ini, dan ia tak bisa mematikan volumenya.

Ia tahu ia tidak bisa lagi menyimpan ini untuk dirinya sendiri. "Mereka" ingin didengar. "Mereka" telah memilihnya untuk menjadi suara mereka. Sebuah ide gila mulai terbentuk di benaknya, sebuah gagasan yang sekaligus menakutkan dan terasa benar: ia harus membawakan semua musik itu, semua rekaman penderitaan itu, secara live. Sebuah "persembahan" terakhir untuk mereka, di tempat mereka bersemayam—di tepi pantai Labuang. Ini adalah satu-satunya cara untuk membebaskan mereka, dan mungkin, dirinya sendiri.

Elang menghabiskan dua hari berikutnya dalam kondisi trance, mempersiapkan "konser" itu. Ia memperbaiki synthesizer portabelnya, membersihkan mikrofon, dan mencari speaker kecil yang bisa ia bawa ke pantai. Laptopnya, dengan file "Lagu Mereka yang Tertinggal" yang terus berputar, adalah inti dari segalanya. Ia tidak lagi makan atau tidur, hanya fokus pada satu tujuan ini. Wajahnya semakin cekung, matanya merah menyala seperti bara api, dan kulitnya pucat pasi, nyaris transparan. Penduduk desa semakin menjauhinya, meliriknya dengan campuran ketakutan dan rasa kasihan yang mendalam. Mereka tahu ada sesuatu yang tidak beres dengan Elang, sesuatu yang sangat, sangat gelap.

Saat Elang mengumumkan niatnya kepada Pak Harun, kepala desa, ia disambut dengan keheningan yang tebal.

"Kamu mau apa, Nak?" tanya Pak Harun, suaranya dipenuhi kekhawatiran. "Main musik di pantai tengah malam? Itu bukan hal yang baik."

Elang menjelaskan, dengan suara yang anehnya tenang, bahwa ia harus melakukan ini. "Ini bukan hanya musik, Pak. Ini untuk mereka. Ini untuk semua yang terkubur di sini. Mereka ingin didengar."

Pak Harun menatap Elang dengan pandangan yang dalam, seolah ia melihat masa depan yang mengerikan. "Jangan, Nak. Jangan ganggu mereka. Mereka sudah tenang. Jangan dibangunkan lagi dendam yang sudah tidur."

"Tapi mereka tidak tenang, Pak! Mereka menangis, mereka berteriak 'buka'! Mereka ingin keadilan!" Elang membentak, suaranya yang parau bergetar.

Pak Harun hanya menggelengkan kepala, tatapannya dipenuhi keputusasaan. "Kalau kamu teruskan, Nak, kamu akan jadi bagian dari mereka."

Meskipun ada penolakan, Elang tetap teguh. Ia telah mengambil keputusan, dan tak ada yang bisa menghentikannya. Ia memilih malam bulan baru, saat pantai akan menjadi yang paling gelap, paling sunyi, dan paling mistis.

Waktu menunjukkan pukul 11 malam. Elang sudah berada di tepi pantai, di tempat yang sama ia merekam "Nada di Atas Pasir." Ia memasang semua peralatannya. Mikrofon berdiri tegak menghadap laut, speaker kecil diatur di pasir, dan laptopnya diletakkan di atas sebuah batu datar yang besar. Udara terasa berat, seolah alam menahan napas. Lautan tampak gelap gulita, pantulan bulan nyaris tak terlihat. Hanya suara ombak yang lembut yang memecah keheningan.

Elang mengambil posisi di depan peralatannya. Ia mengambil napas dalam-dalam, matanya memejam. Ia merasakan semua suara itu berkumpul di dalam dirinya, siap untuk dilepaskan.

Dengan tangan gemetar, ia menyalakan laptop. File "Lagu Mereka yang Tertinggal" langsung memutar secara otomatis, mengisi udara dengan melodi mengerikan yang ia dengar—gabungan rintihan, tangisan, jeritan, dan doa-doa. Suara ombak yang direkamnya, yang kini terdistorsi oleh suara-suara lain, juga ikut mengalun.

Kemudian, Elang mulai memainkan synthesizer-nya. Jari-jarinya bergerak liar di atas tuts, menciptakan loop suara, layer melodi yang gelap, harmoni yang disonan, dan beat yang menghentak, semuanya didasarkan pada melodi penderitaan yang ia dengar di kepalanya. Ia tidak lagi bermain musik; ia merasuki musik itu, membiarkan arwah-arwah itu memainkan dirinya.

Saat lagu pertama diputar, sebuah perubahan aneh terjadi. Ombak mulai naik. Tidak ada tanda-tanda badai sebelumnya, namun tiba-tiba, gelombang laut menjadi lebih besar, lebih ganas, menghantam pantai dengan kekuatan yang tak biasa. Suara gemuruh ombak yang ia rekam dan yang kini ia mainkan melalui speaker seolah beresonansi dengan laut itu sendiri, memprovokasinyanya. Angin mulai bertiup kencang, membawa serta pasir dan debu.

Penduduk desa, yang semula tidur, terbangun oleh suara aneh itu. Mereka keluar dari gubuk mereka, menatap ke arah pantai. Wajah-wajah mereka pucat pasi. Seluruh desa terdiam, seolah mereka sudah tahu apa yang akan terjadi. Mereka tidak berani mendekat, hanya berdiri di kejauhan, menyaksikan pemandangan yang menakutkan itu. Lampu-lampu di gubuk-gubuk mulai berkedip-kedip tak beraturan, beberapa bahkan padam sepenuhnya.

Elang tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Ia telah memasuki kondisi kerasukan. Matanya terbuka lebar, namun tatapannya kosong, tak berkedip, seolah ia melihat sesuatu yang tak seorang pun bisa lihat. Keringat membasahi dahinya, rambutnya lepek, namun ia terus bergerak, tubuhnya gemetar, memainkan musiknya dengan intensitas yang mengerikan. Ia tidak lagi sadar akan keberadaannya sendiri. Ia adalah suara, sebuah instrumen yang digunakan oleh "mereka" untuk berteriak.

Saat ia mencapai puncak komposisi kelimanya, "Lagu Mereka yang Tertinggal," badai datang tiba-tiba. Langit yang semula gelap kini disambar petir yang terang, menerangi pantai dalam kilatan-kilatan sesaat, menampakkan ombak raksasa yang datang menerjang. Hujan lebat turun, disertai angin badai yang menderu.

Ombak besar menghantam pantai, melahap speaker dan peralatan rekamannya. Laptopnya yang terbuka, masih memutar lagu itu, terseret ke tengah laut oleh gelombang raksasa. Elang tidak mencoba menyelamatkan apa pun. Ia hanya terus memainkan synthesizer-nya, tubuhnya gemetar hebat, matanya tetap kosong, menatap ke arah ombak yang mengamuk. Suara-suara dari headphone-nya, yang kini basah dan rusak, bercampur dengan suara badai yang sebenarnya, menciptakan sebuah simfoni kekacauan yang tak tertahankan.

Dan kemudian, ombak menyeret Elang ke tengah laut. Sebuah gelombang raksasa menghantamnya, menariknya ke dalam pusaran air yang gelap dan bergolak. Tubuhnya yang kurus tak berdaya melawan kekuatan alam yang marah. Ia tidak berteriak. Tidak ada perlawanan. Ia hanya tenggelam, seolah menyerah, seolah ia telah menyelesaikan misinya. Para penduduk desa hanya bisa menyaksikan dari kejauhan, tak berdaya, dengan ketakutan yang dalam. Mereka tahu, sang komposer telah menjadi bagian dari melodi laut yang abadi.

Bab 8: Mereka yang Masih Bernyanyi

Keesokan paginya, setelah badai mereda, Pantai Labuang kembali ke keheningan yang menyesakkan. Jejak badai masih terlihat jelas: sampah berserakan, beberapa perahu nelayan terbalik, dan pasir pantai berubah bentuk. Para penduduk desa yang pucat berkumpul di tepi laut, mencari sisa-sisa apa pun dari malam mengerikan itu. Mereka mencari Elang, berharap menemukan tubuhnya, tetapi ia tak ditemukan. Lautan telah menelannya, seolah ia lenyap bersama badai.

Namun, di tengah puing-puing dan sampah yang terdampar di pasir, seseorang menemukan sesuatu yang aneh. Terendam air, namun secara ajaib masih utuh, adalah alat rekam Elang—mikrofon dan headphone—dan laptopnya. Permukaan laptopnya basah dan berpasir, tetapi layarnya masih utuh, dan secara mengejutkan, masih bisa menyala. Penemuan ini menimbulkan kebingungan dan ketakutan di kalangan penduduk desa. Bagaimana bisa perangkat elektronik ini selamat dari amukan ombak?

Berita tentang kejadian aneh di Labuang, tentang seorang komposer gila yang lenyap setelah memainkan musik aneh di tengah badai, akhirnya sampai ke kota. Sebulan kemudian, seorang jurnalis investigasi independen bernama Reno, yang tertarik dengan kisah-kisah aneh dan urban legend, datang ke Labuang. Ia mendengar desas-desus tentang Elang dan "musik yang membawa badai," dan rasa ingin tahunya terusik.

Reno berhasil melacak dan mendapatkan barang-barang Elang yang ditemukan—alat rekam dan laptopnya—dari Pak Harun, yang enggan menyerahkannya namun akhirnya mengizinkan Reno melihatnya, dengan peringatan keras untuk tidak mengganggu "mereka." Reno, yang skeptis namun profesional, membawa peralatan itu kembali ke kamarnya di desa.

Ia membersihkan laptop Elang, menyalakan dayanya. Layar laptop menyala, dan terlihat folder-folder kosong, seolah semua data Elang telah dihapus. Reno mengerutkan kening. Aneh. Tapi kemudian, secara otomatis, satu file mulai memutar sendiri. File itu berjudul "Mereka Nyata dan Bernyanyi." Reno tidak pernah melihat judul ini di daftar rekaman Elang sebelumnya.

Reno mengenakan headphone yang juga berhasil diselamatkan, dan mendengarkan. Pada awalnya, yang ia dengar adalah suara desiran ombak yang lembut. Namun, perlahan-lahan, suara itu berubah. Ia mulai mendengar gabungan musik ombak dan suara ratusan orang menyanyi dalam ratapan. Itu adalah simfoni yang mengerikan: tangisan bayi, isak tangis perempuan, raungan laki-laki, bisikan yang tak jelas, gumaman doa, dan jeritan kesakitan yang memilukan. Semua suara itu bercampur aduk, menciptakan melodi yang sangat indah namun juga sangat menyayat hati, sebuah paduan suara dari kesedihan yang tak terbayangkan. Reno merasakan bulu kuduknya merinding. Suara itu begitu nyata, begitu mendalam, sehingga ia merasa ada sesuatu yang mencengkeram jiwanya. Ia belum pernah mendengar komposisi seperti ini seumur hidupnya. Ini bukan hanya musik; ini adalah penderitaan yang hidup.

Saat musik itu mencapai puncaknya, layar laptop tiba-tiba berkedip. Sebuah pesan terakhir muncul di layar, sebuah teks yang ditulis oleh Elang, seolah-olah ia telah menulisnya sebelum ia lenyap ditelan ombak.

Pesan itu berbunyi:

"Aku tak menciptakan musik. Aku hanya membuka pintu suara mereka. Kini aku bagian dari mereka."

Reno mematikan laptop, tubuhnya gemetar. Ia melepas headphonenya, namun melodi penderitaan itu masih menggema di telinganya. Pantai Labuang dan Melodi Ombak Terakhir akan selamanya membawa misteri dan penderitaan yang tak terucapkan.



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)