Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,130
Mawar Kematian
Horor

Bab 1: Mawar Pertama

Kompleks perumahan Griya Arunika, sebuah enclave yang terletak di pinggiran kota, selalu membanggakan diri sebagai oase ketenangan. Dikelilingi oleh pepohonan rindang dan dikelola dengan ketat, Griya Arunika adalah definisi dari kedamaian suburban. Anak-anak bermain di taman tanpa pengawasan ketat, pintu-pintu dibiarkan sedikit terbuka di siang hari, dan gosip terbesar yang pernah beredar hanyalah tentang siapa yang paling cepat membayar iuran keamanan bulanan. Di sana, hiduplah Bu Ratna, seorang ibu rumah tangga paruh baya yang jadwalnya teratur seperti jam. Setiap pagi, pukul enam, ia akan menyirami anggreknya yang berjejer rapi di teras, dilanjutkan dengan menyiapkan sarapan untuk suaminya, Pak Budi, seorang pensiunan guru yang hobi membaca koran pagi.

Pagi itu, Selasa yang cerah, Bu Ratna keluar dengan ember siraman aluminiumnya. Aroma embun dan tanah basah menyambutnya, seperti biasa. Namun, ada yang berbeda. Di ambang pintu rumahnya, tepat di atas keset "Selamat Datang" yang usang, tergeletak setangkai mawar merah segar. Kelopaknya masih berembun, seolah baru dipetik dari kebun yang baru saja disiram. Bu Ratna mengerutkan kening. Ia tidak memiliki kebun mawar, dan tetangga terdekatnya, Bu Wati, selalu memangkas habis mawar kuningnya begitu mekar. Siapa yang bisa meletakkan bunga seindah ini di depan rumahnya?

Ia membungkuk, mengambil mawar itu. Tangkainya berduri halus, tapi tidak menyakitkan. Aroma mawarnya kuat, manis, dan sedikit memabukkan. Sebuah sensasi aneh menjalari lengannya, seperti sentuhan dingin dari udara pagi yang lembab, namun lebih dalam, menusuk tulang. "Budi, lihat ini!" serunya, mengangkat bunga itu. Pak Budi yang sedang membaca koran di ruang tamu, hanya melirik sekilas dari balik kacamata bacanya. "Mungkin dari tukang kebun, Ratna. Dia kan suka merapikan tanaman di depan rumah," sahutnya, tanpa menaruh perhatian lebih.

Bu Ratna tahu itu bukan tukang kebun. Pak Joni, tukang kebun kompleks, hanya datang hari Kamis. Dan ia tidak pernah meninggalkan bunga. Rasa ingin tahu bercampur sedikit kegelisahan menggelayuti pikirannya sepanjang hari. Ia mencoba bertanya pada Bu Wati saat mereka bertemu di warung sayur Bu Sumi. "Bu Wati, apa ibu tahu siapa yang belakangan ini sering meletakkan bunga di depan rumah warga?" Bu Wati menggeleng. "Tidak ada, Bu Ratna. Palingan juga anak-anak iseng," jawabnya enteng, sibuk memilih terong ungu.

Bu Ratna pulang dengan mawar itu di dalam vas bunga di meja makan. Setiap kali ia melihatnya, perasaan tidak nyaman itu kembali. Ada sesuatu yang salah dengan bunga ini. Kelopaknya tampak terlalu sempurna, warnanya terlalu merah, dan wanginya terlalu intens. Malamnya, ia menceritakan kejadian itu kepada putra bungsunya, Rio, yang sedang menemaninya menonton televisi di ruang keluarga. Rio, yang masih remaja, hanya terkekeh. "Mungkin pengagum rahasia, Bu," godanya. Bu Ratna hanya tersenyum tipis, tapi hatinya tidak tenang.

Ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam, Bu Ratna beranjak menuju kamar tidur. Pak Budi sudah terlelap pulas. Ia memastikan semua pintu terkunci dan lampu padam, kebiasaan yang selalu ia lakukan. Di kamar, ia sempat melirik vas bunga di meja rias. Mawar itu seolah memancarkan cahaya redup dalam kegelapan. Sebuah bisikan samar, hampir tak terdengar, melayang di udara. Seperti gesekan daun kering, atau perhaps, bisikan dari dalam dirinya sendiri. Ia mengabaikannya, mengira itu hanya imajinasinya yang lelah.

Bu Ratna naik ke tempat tidur. Udara terasa dingin, meskipun pendingin ruangan sudah dimatikan. Ia menarik selimut hingga ke leher, mencoba menemukan kenyamanan. Bisikan itu terdengar lagi, kali ini sedikit lebih jelas, seperti desahan lembut yang merayap di sudut ruangan. Bulu kuduknya merinding. Ia memejamkan mata, berharap suara itu akan hilang.

Namun, suara itu tidak hilang. Ia perlahan berubah menjadi melodi aneh, sebuah dengungan rendah yang bergetar di telinganya. Seperti lagu nina bobo yang dinyanyikan oleh seseorang dengan suara serak, namun dengan nada yang mengerikan. Ia mencoba membuka matanya, tapi kelopak matanya terasa berat, seolah dilem. Ia merasa seperti terperangkap di antara tidur dan terjaga, dalam sebuah kabut yang kental.

Lalu, sebuah sensasi dingin yang familiar kembali. Dingin yang sama seperti ketika ia memegang mawar itu di pagi hari, kini merayap dari kakinya, naik perlahan, mengikat setiap sendi. Jantung Bu Ratna mulai berdetak tak beraturan, berpacu seperti drum yang dipukul tergesa-gesa. Ia ingin berteriak, memanggil Pak Budi, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan. Lidahnya terasa kaku, otot-ototnya menegang.

Gambar-gambar mulai bermunculan di benak Bu Ratna, seperti kilasan cepat dari proyektor tua. Wajah-wajah tak dikenal, dengan mata hitam pekat dan senyum yang terlalu lebar, melintas di depan matanya. Mereka berbisik, berbisik, bisikan yang sama yang kini mengelilinginya, membentuk paduan suara mengerikan. Di antara wajah-wajah itu, ia melihat setangkai mawar merah, sama persis dengan yang ada di mejanya, berputar-putar di udara, semakin dekat, semakin dekat. Aromanya kini memenuhi paru-parunya, manis dan memuakkan.

Ia merasakan ada sesuatu yang menariknya, mengangkatnya dari tempat tidur, perlahan. Kakinya tidak lagi menyentuh lantai. Sebuah kekuatan tak kasatmata mengangkat tubuhnya, membuatnya melayang di udara. Ia ingin melawan, tapi tubuhnya tak berdaya. Bisikan itu kini terdengar jelas di telinganya, seolah seseorang berbisik tepat di sampingnya: “Mawar adalah gerbangnya… jiwamu adalah kuncinya…”

Rasa takut yang luar biasa menguasai Bu Ratna. Ia memaksakan matanya terbuka sedikit. Dalam kegelapan yang remang-remang, ia melihat bayangan hitam menjulang di sudut kamar. Bentuknya tidak jelas, hanya siluet samar yang tinggi dan kurus, dengan dua titik merah menyala yang mungkin adalah matanya. Di tangan bayangan itu, seolah-olah, ada setangkai mawar merah. Mawar itu berputar, dan kelopak-kelopaknya mulai berguguran, satu per satu, jatuh ke lantai.

Setiap kelopak yang jatuh, membawa serta potongan-potongan terakhir dari kesadarannya. Rasa dingin semakin intens, kini mencapai lehernya. Ia merasakan sesuatu melingkar di lehernya, ketat, mencekik. Namun anehnya, tidak ada rasa sakit. Hanya sensasi dingin yang membeku dan bisikan yang semakin keras, semakin memekakkan. Wajah-wajah berkerudung hitam dari visinya kini berputar di sekelilingnya, menari, menyeringai. Mawar merah di meja riasnya seolah berdenyut, memancarkan aura mengerikan.

Hal terakhir yang diingat Bu Ratna adalah sebuah senyum. Bukan senyumnya sendiri, melainkan senyum yang dipaksakan di wajahnya, senyum yang dingin dan mengerikan, yang tidak ia kendalikan. Dan kemudian, kegelapan total.

Keesokan paginya, matahari bersinar cerah seperti tidak ada yang terjadi. Pak Budi terbangun dan menemukan sisi tempat tidur Bu Ratna kosong. Ia mengira istrinya sudah bangun dan sedang menyirami anggreknya. Ia bangkit, keluar dari kamar, dan terkejut melihat pintu kamar mandi tertutup rapat. Biasanya, Bu Ratna tidak pernah mengunci pintu kamar mandi. Dengan sedikit rasa penasaran, ia mengetuk pintu. Tidak ada jawaban.

"Ratna? Kamu di dalam?" panggilnya. Hening.

Rasa khawatir mulai merayapi Pak Budi. Ia mencoba membuka pintu, tetapi terkunci dari dalam. Dengan panik, ia mendobrak pintu itu. Pintu terbuka dengan suara berderit pelan.

Pemandangan yang menyambutnya membuat darahnya seolah berhenti mengalir.

Di tengah kamar mandi, Bu Ratna tergantung. Tubuhnya menjuntai kaku dari gantungan handuk di langit-langit. Wajahnya membengkak dan pucat, tapi di bibirnya, tersungging sebuah senyum lebar yang aneh, kosong, dan mengerikan. Senyum yang sama persis dengan senyum yang terakhir diingat Bu Ratna dalam kegelapan. Mawar merah yang kemarin ia bawa, tergeletak di lantai, tepat di bawah kakinya yang menjuntai, kelopak-kelopaknya berserakan seperti pecahan hati.

Pak Budi menjerit, jeritan yang membuat seisi Griya Arunika terbangun. Jeritan yang menandai berakhirnya kedamaian semu di kompleks itu, dan dimulainya sebuah kengerian yang baru. Polisi datang, melakukan penyelidikan, dan menyimpulkan sebagai bunuh diri. Tidak ada tanda-tanda paksaan, tidak ada jejak orang lain. Hanya Bu Ratna, tergantung dengan senyum mengerikan di wajahnya, dan setangkai mawar merah yang telah gugur kelopaknya.

Namun, Pak Budi tahu. Ia tahu itu bukan bunuh diri. Ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang dingin, misterius, dan membawa aroma mawar yang mematikan.

Bab 2: Anak Tanpa Identitas

Kematian Bu Ratna meninggalkan luka menganga di Griya Arunika. Atmosfer yang semula tenang dan damai, kini diselimuti kabut kecurigaan dan ketakutan. Polisi telah menutup kasusnya sebagai bunuh diri, sebuah kesimpulan yang tidak dapat diterima oleh Pak Budi, suaminya. Bagaimana mungkin Bu Ratna, wanita yang begitu ceria dan teratur, mengakhiri hidupnya dengan senyum mengerikan di wajahnya? Dan lagi, mawar itu… Pak Budi terus-menerus menatap vas bunga kosong di meja rias istrinya, mencoba mencari jawaban yang tidak bisa ia temukan.

Keesokan harinya, saat mentari mulai menghangatkan bumi, beberapa warga mulai menjalankan rutinitas pagi mereka dengan langkah yang lebih hati-hati. Mata mereka awas, mengamati setiap sudut, setiap bayangan. Bu Wati, tetangga Bu Ratna, melangkahkan kakinya keluar rumah untuk mengambil koran. Udara pagi terasa dingin menusuk, tidak seperti biasanya. Ia melirik ke arah rumah Pak Budi yang masih dipasang garis polisi, sebuah pemandangan yang terasa asing di kompleks perumahan yang rapi ini.

Saat ia berbalik untuk masuk kembali, matanya menangkap sebuah sosok kecil di ujung jalan, dekat pos keamanan. Seorang anak laki-laki, mungkin berusia sekitar 10 tahun, berdiri diam di sana. Ia mengenakan kaus putih polos yang sedikit kebesaran dan celana pendek selutut berwarna biru dongker. Rambutnya hitam legam, dipangkas rapi, dan menutupi sebagian keningnya. Di tangannya, anak itu memegang sebuah keranjang anyaman berisi penuh mawar merah segar.

Bu Wati mengerutkan kening. Ia belum pernah melihat anak itu sebelumnya di kompleks ini. Griya Arunika memiliki daftar penghuni yang ketat, dan anak-anak yang bermain di taman biasanya adalah putra-putri warga tetap. Anak itu tidak bergerak, hanya berdiri diam, menatap ke arah rumah-rumah di sepanjang jalan, seolah sedang melakukan survei. Wajahnya polos, dengan mata yang besar dan hitam, dan sebuah senyuman tipis yang terasa... aneh. Bukan senyum ramah seorang anak, melainkan senyum yang kosong, hampir tanpa ekspresi.

Bu Wati sempat berpikir untuk mendekatinya dan bertanya siapa dia, tetapi sesuatu dalam tatapan anak itu, dalam kesunyiannya yang mencolok, membuatnya ragu. Ia merasa merinding tanpa sebab yang jelas. Ia cepat-cepat masuk ke dalam rumah, mengunci pintu, dan mengintip dari balik tirai jendela. Anak itu masih di sana, berdiri seperti patung.

Beberapa menit kemudian, Bu Wati melihat anak itu mulai bergerak. Perlahan, ia berjalan menyusuri deretan rumah, berhenti di beberapa titik. Ia tidak mengetuk pintu, tidak memanggil siapa pun. Ia hanya diam-diam meletakkan setangkai mawar merah segar di ambang pintu beberapa rumah, lalu beranjak pergi tanpa suara, menghilang di balik tikungan jalan seolah tak pernah ada.

Pagi itu, cerita tentang "anak mawar" mulai menyebar seperti bisikan angin di Griya Arunika. Pak RT, Pak Joni, yang juga tukang kebun kompleks, adalah salah satu yang menerima mawar di depan rumahnya. Ia menemukan bunga itu saat hendak berangkat ke pasar. "Siapa pula yang iseng begini?" gumamnya. Namun, berita kematian Bu Ratna dan mawar di ambang pintunya membuat Pak Joni teringat akan bunga itu. Mungkinkah ada hubungannya? Ia segera menghubungi warga lain melalui grup WhatsApp kompleks.

Satu per satu, warga melaporkan hal yang sama: mereka menemukan mawar merah di depan rumah mereka, diletakkan tanpa jejak. Jumlahnya tidak banyak, hanya sekitar lima atau enam rumah. Rumah Pak Budi, yang masih diliputi duka, tidak menerima mawar.

Kepala keamanan kompleks, Pak Arman, seorang mantan polisi, mulai curiga. Ia menginstruksikan anak buahnya untuk memutar rekaman CCTV pos keamanan. Griya Arunika memang bangga dengan sistem keamanannya, dengan kamera pengawas yang terpasang di setiap sudut penting kompleks. Rekaman pagi itu diputar ulang berkali-kali.

"Apa ada anak kecil yang lewat sini, Har?" tanya Pak Arman kepada anak buahnya.

Haris, operator CCTV, menggeleng. "Tidak ada, Pak. Semua rekaman bersih. Hanya mobil Pak RT dan Bu Wati yang lewat."

Pak Arman mengerutkan kening. "Tapi warga melihatnya! Ada anak kecil membagikan mawar!"

"Saya cek lagi, Pak," jawab Haris, mengulang rekaman dengan lebih cermat. Namun, hasilnya tetap sama. Tidak ada sosok anak kecil yang terekam oleh kamera di pos keamanan, bahkan saat Bu Wati bersumpah ia melihatnya berdiri di ujung jalan yang persis berada dalam jangkauan kamera.

Anak itu seolah tidak memiliki identitas. Tidak ada yang tahu siapa dia, dari mana asalnya, atau mengapa ia melakukan itu. Ia tidak pernah bicara, tidak pernah merespons panggilan, hanya tersenyum tipis dan diam. Keberadaannya seolah hantu, muncul dan menghilang tanpa jejak.

Ketakutan mulai merayap di bawah permukaan ketenangan Griya Arunika. Jika kematian Bu Ratna hanya sebuah insiden, mengapa ada anak misterius yang membagikan mawar? Apakah bunga itu adalah pertanda, atau bahkan pemicu? Obrolan di warung Bu Sumi, yang biasanya ramai dengan gosip ringan, kini dipenuhi bisikan-bisikan horor. Para ibu-ibu mulai khawatir akan keselamatan anak-anak mereka.

Seorang ibu muda bernama Maya, yang baru saja pindah ke Griya Arunika bersama putri tunggalnya, Kinan, merasa cemas. Ia menemukan mawar merah di depan rumahnya pagi itu. Ia membuangnya ke tempat sampah, tetapi sepanjang hari, pikirannya terusik. Setiap kali ia melirik jendela, ia merasa seolah ada sepasang mata yang mengawasinya. Kinan, putrinya yang berusia tujuh tahun, juga sempat melihat anak misterius itu dari jendela kamarnya.

"Mama, tadi ada anak kecil pegang bunga banyak sekali di depan rumah," ujar Kinan polos saat makan malam. "Dia senyum sama Kinan."

Maya merasa hatinya mencelos. "Jangan bicara sembarangan, Kinan. Tidak ada siapa-siapa," jawabnya, mencoba menenangkan diri.

"Tapi dia senyum, Mama. Senyumnya aneh," Kinan bersikeras.

Maya mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya imajinasi anak-anak. Namun, senyum mengerikan Bu Ratna yang diceritakan Pak Budi, terus terbayang di benaknya. Ia tidak bisa tidur nyenyak malam itu, terus-menerus terbangun karena suara-suara kecil di luar, atau bayangan yang melintas di balik tirai.

Beberapa hari berikutnya, pola itu terus berulang. Setiap pagi, di beberapa rumah yang berbeda, mawar merah segar akan muncul. Dan setiap hari, ketegangan di Griya Arunika semakin meningkat. Warga yang menerima mawar akan dilanda kecemasan yang mendalam sepanjang hari. Mereka mencoba membuang bunga itu, membakarnya, bahkan menguburnya. Tetapi, perasaan tidak nyaman itu tetap ada.

Salah satu penghuni, Pak Rahmat, seorang pensiunan guru yang skeptis terhadap hal-hal mistis, menemukan mawar di ambang pintu rumahnya. Ia terkekeh. "Paling juga anak-anak nakal," katanya kepada istrinya, Bu Ida. Ia mengambil bunga itu dan melemparkannya ke tong sampah tanpa pikir panjang.

Namun, di malam hari, saat Pak Rahmat sedang menonton berita di ruang keluarga, ia mulai merasakan ada yang aneh. Udara di sekelilingnya terasa dingin, meskipun pendingin ruangan mati. Sebuah suara, sangat samar, seperti bisikan berdesir, mulai terdengar di telinganya. Ia mencoba mengabaikannya, menganggap itu hanya suara angin.

Tapi suara itu semakin jelas, semakin dekat. Bukan bisikan angin, melainkan seperti suara anak kecil yang sedang berbisik, memanggil namanya. "Pak Rahmat... Pak Rahmat..." Suara itu tidak terdengar menakutkan, justru terdengar sedih, memelas, seperti tangisan yang ditahan.

Pak Rahmat mulai merasa tidak nyaman. Ia melihat ke sekeliling ruangan, tetapi tidak ada siapa-siapa. Bu Ida sudah tidur di kamar. Ia meraih remote TV untuk mengeraskan suara, berharap suara itu akan hilang. Tapi bisikan itu menembus suara TV, semakin memekakkan.

Ia bangkit dari sofa, berjalan menuju jendela. Ia mencoba melihat keluar, namun kegelapan malam menutupi segalanya. Lalu, di luar jendela, di tengah kegelapan pekat, ia melihat sebuah kilasan cahaya merah redup. Seolah-olah, ada sesuatu yang memancarkan cahaya merah dari kejauhan.

Tiba-tiba, suara bisikan itu berubah. Tidak lagi sedih, tapi kini menjadi tawa cekikikan yang mengerikan, tawa yang terdengar dingin dan tanpa emosi, tawa yang membuat bulu kuduk Pak Rahmat merinding. Ia merasakan hawa dingin menusuk tulang, seolah ada tangan tak kasatmata yang membelai tengkuknya.

Pak Rahmat berbalik, berniat menyalakan semua lampu di rumah. Namun, saat ia berbalik, ia melihatnya. Di sudut ruangan, di balik sofa, berdiri seorang anak kecil. Persis seperti deskripsi yang ia dengar dari warga: rambut hitam, kaus putih, celana pendek. Dan senyuman yang sama, senyum yang dingin, tanpa ekspresi, tapi entah mengapa terasa penuh ancaman. Di tangan anak itu, seolah terbuat dari kegelapan, ada setangkai mawar merah yang berdenyut, memancarkan cahaya merah redup yang sama persis dengan yang ia lihat di luar jendela.

"Siapa kamu?" bisik Pak Rahmat, suaranya tercekat.

Anak itu tidak menjawab. Ia hanya terus tersenyum, matanya yang hitam menatap lurus ke arah Pak Rahmat, seolah menembus jiwanya. Lalu, perlahan, anak itu mengangkat tangannya yang memegang mawar. Ia mengayunkan mawar itu ke udara, seolah sedang melakukan gerakan sihir.

Dan saat itulah, Pak Rahmat merasakan sesuatu yang aneh. Ia merasakan tubuhnya menegang, otot-ototnya kaku. Ia tidak bisa bergerak, tidak bisa berteriak. Bisikan dan tawa cekikikan itu memenuhi otaknya, berputar-putar, semakin keras. Mawar merah di tangan anak itu seolah bersinar lebih terang, dan kelopak-kelopaknya mulai bergerak, seolah-olah bernapas.

Pak Rahmat merasakan tenggorokannya tercekat, seolah ada sesuatu yang menghimpitnya dari dalam. Ia berusaha bernapas, tetapi udara tidak mau masuk. Matanya membelalak, melihat anak itu yang masih tersenyum. Senyumnya kini tampak lebih lebar, lebih mengerikan.

Dan kemudian, Pak Rahmat merasakan hal terakhir yang ia rasakan: sebuah tekanan yang sangat kuat di kepalanya, seolah ada sesuatu yang mencoba meremukkan otaknya. Sebuah suara, seperti pecahan kaca yang tak terlihat, berdering di telinganya. Lalu, kegelapan.

Pagi harinya, Bu Ida menemukan Pak Rahmat tergeletak di lantai ruang keluarga, dengan kepala terbentur meja kopi. Darah mengalir dari kepalanya. Namun, yang lebih mengerikan, di bibir Pak Rahmat, terpampang senyum yang sama persis dengan senyum Bu Ratna, senyum yang dingin, kaku, dan penuh kengerian. Di samping kepalanya, tergeletak setangkai mawar merah, kelopaknya berserakan, dan wanginya yang manis-memuakkan memenuhi ruangan.

Kematian kedua dalam waktu kurang dari seminggu. Kali ini, polisi tidak bisa lagi dengan mudah menyimpulkan bunuh diri. Meskipun tidak ada bukti fisik yang kuat, cerita tentang anak misterius yang membagikan mawar, dan senyum aneh yang selalu terukir di wajah korban, mulai menciptakan benang merah yang menakutkan.

Griya Arunika, kompleks perumahan yang tenang itu, kini telah berubah menjadi sarang ketakutan. Para warga mulai mengunci pintu rapat-rapat, tidak berani keluar rumah setelah senja. Mereka saling mencurigai, mencari jawaban atas misteri anak tanpa identitas yang membawa maut dengan mawar merahnya. Mereka tahu, ini bukan lagi tentang kecelakaan atau bunuh diri. Ini adalah sesuatu yang lebih gelap, lebih kuno, dan lebih jahat dari yang bisa mereka bayangkan.

Bab 3: Korban Kedua

Kematian Pak Rahmat, hanya berselang beberapa hari setelah tragedi Bu Ratna, melemparkan Griya Arunika ke dalam jurang kepanikan. Jika kematian Bu Ratna bisa dianggap bunuh diri, kematian Pak Rahmat dengan luka kepala dan senyum mengerikan yang sama, serta mawar merah di dekatnya, secara definitif mengikis narasi itu. Ini bukan lagi kebetulan. Ini adalah pola yang menakutkan.

Kabar tentang anak misterius yang membagikan mawar dan selalu hadir sebelum kematian menyebar dengan cepat, mengubah bisikan menjadi teriakan. Ibu-ibu melarang anak-anak mereka bermain di luar. Pintu-pintu dikunci ganda, bahkan di siang hari. Jendela ditutup rapat, tirai ditarik, seolah bisa melindungi mereka dari ancaman yang tak terlihat. Atmosfer di Griya Arunika yang dulunya ramah, kini digantikan oleh aura paranoia dan ketidakpercayaan. Setiap bayangan yang bergerak, setiap suara angin, menimbulkan rasa takut.

Pak Dani, seorang pensiunan tentara dengan perawakan kekar dan rambut putih yang gagah, adalah tipe orang yang tidak percaya takhayul. Usianya sudah menginjak kepala enam, dan hidupnya penuh dengan pengalaman pahit di medan perang. Baginya, setiap masalah punya solusi logis. Jadi, ketika ia menemukan setangkai mawar merah segar tergeletak di ambang pintu rumahnya pada suatu pagi, ia hanya terkekeh.

"Dasar anak-anak iseng," gumamnya, matanya menatap tajam ke sekeliling, mencari jejak anak kecil yang mungkin berlari setelah meletakkan bunga itu. Namun, tidak ada siapa pun. Halaman depan rumahnya yang luas dan rapi terlihat kosong.

Istrinya, Bu Lastri, yang jauh lebih spiritual dan mudah cemas, melihat mawar itu dan langsung merasakan firasat buruk. "Jangan-jangan ini mawar dari anak itu, Pak! Cepat buang!" serunya, suaranya sedikit bergetar. Berita tentang Bu Ratna dan Pak Rahmat sudah cukup membuatnya gelisah.

Pak Dani hanya mengangkat bahu. "Omong kosong, Lastri. Itu cuma bunga. Mungkin ada anak tetangga yang salah alamat." Dengan santai, ia mengambil mawar itu. Tangkainya berduri, tetapi ia tidak merasakan dingin atau sensasi aneh yang dikeluhkan Bu Ratna. "Cuma mawar, bukan bom." Ia pun melemparkannya ke tempat sampah di halaman belakang, di antara tumpukan sampah kebun.

Sepanjang hari itu, Pak Dani melanjutkan rutinitasnya seperti biasa. Ia membaca koran, menyirami tanamannya, dan sore harinya, ia memutuskan untuk berenang di kolam renang pribadinya yang bersih di belakang rumah. Kolam itu adalah kebanggaannya, tempat ia biasa menghabiskan waktu sore untuk bersantai dan melatih kebugaran.

Air kolam terasa sejuk dan menyegarkan. Pak Dani berenang beberapa putaran, menikmati ketenangan sore. Namun, saat ia sedang berenang, ia merasakan sesuatu yang aneh. Air di sekelilingnya tiba-tiba terasa dingin, jauh lebih dingin dari biasanya. Seperti ada gelombang es yang merambat di dalam air, memeluk tubuhnya. Ia menggigil, meskipun udara di luar kolam masih hangat.

Lalu, sebuah suara. Sangat samar pada awalnya, seperti gesekan daun atau bisikan angin. Tapi perlahan, suara itu menjadi lebih jelas. Sebuah bisikan yang dalam dan serak, seperti suara yang keluar dari dasar sumur. Bisikan itu memanggil namanya, berulang kali: "Dani... Dani... ikutlah..."

Pak Dani, yang memang dikenal pemberani, mencoba menepis rasa takutnya. "Siapa di sana?!" teriaknya, suaranya menggema di sekitar kolam. Ia mengira ada seseorang yang sengaja mengganggunya. Ia berbalik, mencari sumber suara. Namun, tidak ada siapa pun. Rumahnya terisolasi dengan tembok tinggi, dan tidak ada tetangga yang bisa melihat atau mendengar.

Bisikan itu semakin kuat, kini diiringi dengan gemericik air yang aneh, seolah ada sesuatu yang bergerak di bawah permukaan kolam bersamanya. Pak Dani merasa bulu kuduknya merinding. Ia mempercepat renangnya menuju tepi kolam, ingin segera keluar dari air yang tiba-tiba terasa begitu dingin dan asing.

Namun, saat tangannya hampir mencapai tepi, ia merasakan sesuatu yang menarik kakinya. Sebuah tarikan yang kuat, tak terlihat, menariknya ke bawah. Pak Dani mencoba melawan, mengayunkan tangannya dengan panik. Ia adalah mantan tentara, fisiknya masih kuat, tetapi kekuatan yang menariknya jauh lebih besar.

Ia ditarik ke dasar kolam. Air masuk ke hidungnya, ke mulutnya, membuatnya terbatuk dan megap-megap. Ia membuka matanya di bawah air yang keruh, berharap bisa melihat apa yang menariknya. Namun, yang ia lihat hanyalah bayangan samar yang melayang di sekelilingnya, bentuknya tidak jelas, seperti gumpalan asap yang bergerak.

Bisikan itu kini memenuhi kepalanya, bukan lagi suara dari luar, melainkan suara yang bergema di dalam pikirannya, memekakkan. "Tenggelam... tenggelam... bersama mawar..." Sebuah tawa cekikikan yang dingin dan tajam mengikuti bisikan itu, tawa yang menusuk hingga ke sumsum tulang.

Pak Dani merasakan dadanya sesak, paru-parunya terbakar. Ia mencoba berjuang, menggapai permukaan, tetapi setiap kali ia berusaha naik, tarikan itu semakin kuat, menariknya semakin dalam ke dasar kolam. Ia melihat ke atas, ke arah permukaan air yang berkilauan oleh pantulan lampu taman. Di sana, di tepi kolam, ia melihat kilasan sesosok kecil. Hanya sekilas, seperti bayangan yang lewat begitu cepat, namun ia bisa melihatnya: anak kecil itu, dengan rambut hitam, berdiri diam, menatapnya dari tepi kolam. Dan di tangan anak itu, sebuah mawar merah yang memancarkan cahaya redup.

Anak itu tidak melakukan apa-apa, hanya berdiri diam, mengamatinya, dan tersenyum. Senyum yang sama, senyum yang dingin, kosong, dan sangat mengerikan. Senyum itu adalah hal terakhir yang Pak Dani lihat sebelum pandangannya menjadi gelap. Tarikan itu menghilang, dan tubuhnya melayang tanpa daya di dasar kolam, perlahan-lahan kehabisan napas.

Keesokan paginya, Bu Lastri menemukan Pak Dani. Ia sudah cemas karena suaminya tidak muncul untuk sarapan. Saat ia mencari ke belakang rumah, ia melihat Pak Dani tergeletak di dasar kolam renang. Seketika, ia menjerit, jeritan yang memilukan.

Tim medis dan polisi segera tiba. Ketika tubuh Pak Dani diangkat, kondisi tubuhnya membuat semua orang terkejut. Tubuhnya membiru secara tidak wajar, seolah seluruh darahnya membeku. Matanya melotot, dan seperti Bu Ratna dan Pak Rahmat, sebuah senyum mengerikan terukir di wajahnya. Di tepi kolam, tidak jauh dari tempat tubuhnya ditemukan, tergeletak setangkai mawar merah segar, kelopaknya berserakan di sekitar genangan air.

Penyelidikan polisi menemukan hal yang lebih mengganggu. Kolam renang Pak Dani dilengkapi dengan CCTV bawah air untuk memantau kejernihan air dan keamanan. Rekaman CCTV itu diputar berulang kali di kantor polisi.

Rekaman menunjukkan Pak Dani berenang sendirian. Tidak ada orang lain yang memasuki area kolam. Namun, saat Pak Dani mulai berjuang, terlihat kilasan samar sesosok kecil di pinggir frame. Sosok itu terlalu cepat untuk dikenali dengan jelas, hanya siluet yang lewat seperti bayangan. Dan yang paling mengerikan, ketika rekaman diperlambat dan diperbesar, terlihat bayangan mawar merah yang berdenyut di tangan sosok itu, seolah-olah bunga itu hidup.

"Ini tidak masuk akal," kata seorang detektif muda, mencoba memahami rekaman itu. "Tidak ada jejak orang lain masuk ke rumah. Pintu terkunci, pagar tinggi. Bagaimana bisa anak itu ada di sana?"

Kepala kepolisian, yang sudah menangani kasus Bu Ratna dan Pak Rahmat, menghela napas berat. "Kita tidak bisa mengesampingkan hal-hal yang tidak logis lagi. Dua kematian dengan pola yang sama, ditambah kesaksian warga tentang anak misterius itu... Ada sesuatu yang sangat salah di Griya Arunika."

Di Griya Arunika, kematian Pak Dani adalah pukulan terakhir. Ketakutan yang sebelumnya hanya bisikan, kini menjadi raungan. Warga tidak lagi berani meninggalkan rumah. Kompleks yang dulunya tenang dan penuh tawa anak-anak, kini diselimuti keheningan mencekam. Setiap hari, mereka menanti dengan cemas, siapa lagi yang akan menjadi korban "anak mawar" berikutnya.

Mawar-mawar merah itu terus muncul di pagi hari, di ambang pintu rumah-rumah yang berbeda. Tidak ada yang berani menyentuhnya. Mereka membiarkannya di sana, sebuah penanda kematian yang mengerikan. Anak tanpa identitas itu terus muncul, diam-diam, tanpa suara, meletakkan bunga-bunga itu dan menghilang, seolah mengejek ketidakberdayaan para penghuni. Griya Arunika bukan lagi surga, melainkan sebuah penjara ketakutan, menunggu giliran siapa yang akan menerima mawar berikutnya.

Bab 4: Ketakutan Menyebar

Tiga kematian dalam kurun waktu kurang dari dua minggu. Griya Arunika, yang dulunya adalah gambaran idealisasi ketenangan suburban, kini menjelma menjadi sarang ketakutan yang membeku. Berita tentang Pak Dani yang meninggal di kolam renangnya, dengan kondisi tubuh membiru dan senyum mengerikan yang sama, serta mawar merah di dekatnya, menyebar seperti api. Ketakutan itu menjalar dari satu rumah ke rumah lainnya, mengikis setiap sendi kepercayaan dan rasa aman yang dulu begitu melekat pada kompleks ini.

Para penghuni tidak lagi tidur nyenyak. Setiap suara kecil di malam hari, setiap bayangan yang melintas di balik jendela, memicu gelombang panik. Pintu-pintu dikunci berlapis, tirai ditarik rapat, dan lampu-lampu dibiarkan menyala sepanjang malam. Anak-anak yang dulunya riang bermain di taman, kini dilarang keluar rumah. Mereka hanya bisa mengintip dari balik jendela, melihat kompleks yang sepi dan sunyi, diselimuti aura kelabu yang tak terlihat.

Para ibu-ibu, yang biasanya berkumpul di warung Bu Sumi untuk gosip pagi, kini hanya berani keluar untuk membeli kebutuhan pokok, dengan mata awas dan langkah tergesa-gesa. Obrolan mereka bukan lagi tentang resep masakan atau harga kebutuhan pokok, melainkan bisikan-bisikan cemas tentang "anak mawar" dan korban berikutnya. Mereka saling menatap dengan kecurigaan, seolah mencari tahu siapa di antara mereka yang mungkin akan menjadi target selanjutnya.

"Kupikir ini semua ulah setan," bisik Bu Wati kepada Bu Lastri, istri Pak Dani yang masih berduka. "Tidak mungkin manusia bisa melakukan ini tanpa jejak."

Bu Lastri, yang kehilangan suaminya secara misterius, hanya bisa menangis. "Aku tidak tahu lagi harus percaya apa, Bu. Kolam itu... tidak ada yang masuk ke sana. Tapi Pak Dani... dia meninggal dengan senyum itu."

Rasa saling mencurigai mulai merajalela. Setiap warga adalah saksi, sekaligus calon korban. Siapa yang tahu siapa anak itu? Mungkinkah dia salah satu anak penghuni yang entah bagaimana kerasukan? Atau mungkinkah ada orang dewasa di balik semua ini, menggunakan anak itu sebagai kedok? Spekulasi liar bermunculan, dari mulai kutukan tanah, ritual ilmu hitam, hingga teori konspirasi paling absurd. Tidak ada yang bisa dipercaya lagi.

Pak RT, Bapak Joni, yang dulunya adalah sosok yang dihormati dan disegani, kini terlihat lelah dan putus asa. Ia sudah mencoba menghubungi polisi, namun tidak ada kemajuan berarti dalam penyelidikan. Polisi masih terkendala kurangnya bukti fisik yang jelas dan keganjilan-keganjilan yang terjadi. CCTV yang hanya menampilkan kilasan samar, dan tidak pernah merekam anak itu secara utuh, membuat mereka kesulitan.

Melihat kondisi kompleks yang semakin kacau, Pak RT akhirnya memutuskan untuk mengadakan rapat RT luar biasa. Pengumuman rapat disebarkan melalui grup WhatsApp dan ditempel di pos keamanan. Rapat itu diselenggarakan di aula serbaguna kompleks, dan dihadiri oleh hampir seluruh kepala keluarga. Wajah-wajah yang hadir di sana dipenuhi dengan ketegangan, ketakutan, dan kemarahan.

"Saudara-saudaraku sekalian," Pak RT memulai dengan suara bergetar, "kita semua tahu bahwa kita sedang menghadapi situasi yang sangat genting. Tiga nyawa telah melayang dengan cara yang tidak wajar. Kita harus mencari jalan keluar."

Seorang warga, Pak Dodi, yang biasanya pendiam, tiba-tiba berdiri. "Pak RT, saya tidak bisa tidur. Anak saya ketakutan. Polisi tidak bisa berbuat apa-apa. Kita harus melakukan sesuatu sendiri!" serunya, suaranya dipenuhi frustrasi.

"Ya, Pak RT! Kita harus tangkap anak itu!" teriak warga lain. "Anak itu yang membawa mawar, anak itu yang muncul sebelum kematian!"

Rapat itu segera berubah menjadi kekacauan. Warga saling berteriak, mengemukakan teori-teori gila, dan melampiaskan kemarahan mereka. Ada yang menyarankan untuk mengadakan ronda malam besar-besaran. Ada yang menyarankan untuk memanggil paranormal. Ada yang bahkan menyarankan untuk meninggalkan Griya Arunika, meskipun gagasan itu segera dibantah karena nilai properti yang tinggi dan tidak mudah untuk dijual dalam situasi seperti ini.

"Bagaimana cara kita menangkapnya?!" teriak seorang warga, seorang ibu muda bernama Sarah. "Anak itu tidak pernah terlihat di CCTV! Dia muncul begitu saja, meletakkan mawar, dan menghilang!"

"Kita harus memperketat keamanan! Pasang CCTV lebih banyak!" usul Pak Arman, kepala keamanan kompleks, yang juga terlihat bingung.

Namun, usulan itu ditentang. "Untuk apa CCTV lebih banyak kalau dia tidak pernah terekam?!" teriak yang lain. "Ini bukan masalah kamera, ini masalah lain!"

Rapat itu berlangsung berjam-jam, dipenuhi dengan argumen sengit dan tidak ada keputusan konkret yang bisa diambil. Setiap gagasan yang diajukan, selalu ada sanggahan atau ketidaksepakatan. Akhirnya, dengan putus asa, Pak RT terpaksa menutup rapat tanpa menghasilkan solusi yang jelas. Malam itu, ketidakberdayaan semakin mencekik Griya Arunika.

Dan yang paling menakutkan, di tengah semua kepanikan dan kekacauan itu, anak misterius itu terus muncul.

Setiap pagi, seperti jam, anak itu akan muncul di suatu tempat di kompleks. Kadang di ujung jalan utama, kadang di dekat taman bermain, kadang di dekat pintu masuk kompleks. Ia selalu membawa keranjang anyaman berisi mawar merah segar. Ia tidak pernah berbicara, tidak pernah berinteraksi. Ia hanya berdiri diam, mengamati, dengan senyum kosong yang sama di wajahnya.

Warga yang melihatnya dari jauh, di balik jendela atau dari balik pintu yang sedikit terbuka, akan segera gemetar. Mereka tidak berani mendekat. Rasa takut melumpuhkan mereka. Bahkan beberapa warga yang mencoba berani dan melangkah keluar, akan mendapati anak itu sudah menghilang begitu saja, seolah menguap ke udara.

Ia mulai terlihat di depan rumah-rumah yang berbeda setiap harinya, diam-diam meletakkan mawar dan menghilang. Mawar itu menjadi simbol teror. Setiap kali ada mawar baru muncul di ambang pintu, pemilik rumah akan dilanda ketakutan yang luar biasa. Mereka tahu, itu adalah penanda kematian.

Ada yang mencoba membakar mawar itu. Asapnya hitam pekat, dan bau mawarnya justru semakin menyengat, memenuhi udara dengan aroma yang manis namun memuakkan. Ada yang mencoba membuangnya ke parit, namun entah bagaimana, keesokan harinya, mawar yang sama atau mawar baru akan muncul lagi di ambang pintu mereka.

Seorang ibu muda bernama Dian, yang baru saja menerima mawar di depan rumahnya, hampir pingsan. Ia memeluk erat putrinya yang berusia lima tahun. "Kita harus pergi, nak," bisiknya kepada suaminya. Namun, dengan harga rumah yang anjlok drastis dan tidak ada yang berani membeli, mereka terperangkap.

Anak itu tidak menunjukkan permusuhan. Ia tidak mengejar siapa pun, tidak mengancam siapa pun. Ia hanya melakukan satu hal: membagikan bunga setiap pagi. Namun, tindakannya yang sederhana itu, yang seharusnya indah, kini menjadi ritual kematian yang mengerikan. Senyum polosnya, matanya yang hitam legam, dan keranjang penuh mawar merahnya, semua itu berubah menjadi simbol teror yang tak terhingga.

Setiap hari, ketegangan di Griya Arunika semakin memuncak. Warga hidup dalam penantian yang mengerikan, menunggu siapa lagi yang akan menjadi korban berikutnya. Mereka saling melirik dengan mata penuh curiga, mencoba mencari jawaban yang tidak ada. Kompleks yang dulunya dipenuhi tawa dan kebahagiaan, kini diselimuti oleh keheningan yang mencekam, hanya sesekali dipecahkan oleh suara jeritan ketakutan yang samar atau bisikan doa-doa putus asa.

Paranoia menjadi penyakit baru di Griya Arunika. Hubungan antar tetangga yang dulu erat, kini renggang. Setiap orang hanya peduli pada keselamatan diri dan keluarganya. Mereka mengunci diri di rumah masing-masing, terperangkap dalam ketakutan yang tak berujung, menunggu giliran untuk menerima mawar merah yang mematikan.

Anak misterius itu, dengan senyum kosongnya dan keranjang mawar merahnya, telah mengubah surga kecil mereka menjadi neraka pribadi. Dan tidak ada yang tahu bagaimana cara menghentikannya, atau apa sebenarnya yang diinginkannya.

Bab 5: Penyelidikan Anak Kos

Di tengah gelombang kepanikan dan ketidakberdayaan yang melanda Griya Arunika, ada seorang mahasiswa bernama Andra yang menolak untuk menyerah pada ketakutan. Andra adalah anak kos yang tinggal di salah satu rumah sewaan di sudut kompleks. Ia adalah mahasiswa tingkat akhir jurusan Kriminologi di sebuah universitas ternama di kota, dikenal cerdas, analitis, dan memiliki rasa ingin tahu yang besar. Berita tentang kematian berantai dan anak misterius itu, alih-alih membuatnya takut, justru memicu naluri penyelidiknya.

Andra mengikuti semua berita, membaca laporan polisi yang samar, dan mendengarkan gosip warga dengan seksama. Ia tidak percaya pada takhayul atau hal-hal mistis, setidaknya belum. Baginya, semua ini pasti memiliki penjelasan logis, semisterius apa pun kelihatannya. Ia mulai membangun sebuah papan investigasi di kamarnya, penuh dengan foto korban, peta kompleks, dan catatan-catatan tulisan tangan.

Ia mulai mengamati pola kemunculan anak dan mawar itu. Setiap pagi, ia akan bangun sebelum subuh, menyelinap keluar, dan bersembunyi di balik semak-semak atau di dalam mobilnya yang diparkir, mencoba melihat anak itu secara langsung. Dan benar saja, ia melihatnya. Sosok kecil itu muncul entah dari mana, tanpa suara, meletakkan mawar di ambang pintu, dan menghilang. Anak itu memang nyata, bukan hanya ilusi massa.

Andra mencatat setiap detail: waktu kemunculan, rumah yang menerima mawar, bahkan ekspresi kosong di wajah anak itu. Setelah berminggu-minggu observasi, ia menemukan dua hal yang selalu konsisten, selain kehadiran mawar merah:

* Mawar Merah Segar: Setiap korban selalu menerima mawar merah sesaat sebelum kematian mereka. Bunga itu selalu segar, seolah baru dipetik.

* Suara Bisikan Sebelum Kematian: Pak Budi dan Bu Ida, para saksi tak langsung dari kematian pasangan mereka, menyebutkan mendengar suara bisikan samar sebelum tragedi terjadi. Pak Budi mendengar bisikan sebelum Bu Ratna ditemukan, dan Bu Ida mendengar bisikan sebelum Pak Rahmat ditemukan. Pak Dani juga sempat mendengar bisikan di kolam renangnya.

Dua poin inilah yang paling menarik perhatian Andra. Jika mawar adalah penanda, bisikan itu mungkin adalah kunci.

Andra mulai menyelidiki lebih dalam tentang "bisikan" itu. Ia mencari tahu dari para saksi, mencoba memancing detail. Pak Budi menggambarkannya sebagai "desahan lembut yang menyerupai nina bobo," lalu berubah menjadi "dengungan rendah yang bergetar." Bu Ida menyebutnya "suara anak kecil yang memanggil nama," kemudian berubah menjadi "tawa cekikikan yang mengerikan." Semua orang yang pernah mendengarnya mengalami sensasi dingin yang mendalam.

Andra memutuskan untuk mencoba merekam suara itu. Ia membeli sebuah perekam suara digital dengan sensitivitas tinggi. Malam-malam berikutnya, ia tidak tidur. Ia duduk di kamarnya, di dekat jendela yang terbuka sedikit, dengan perekam di tangannya, menunggu. Ia tahu, jika ada bisikan, itu pasti akan muncul di rumah yang menerima mawar di pagi harinya. Ia sudah mencatat rumah mana yang menjadi target berikutnya.

Malam itu, giliran rumah Bu Sari, seorang janda yang tinggal sendirian, yang menjadi target. Andra tahu mawar sudah tergeletak di ambang pintu Bu Sari sejak pagi. Jantungnya berdebar kencang. Ia mengaktifkan perekamnya.

Kegelapan malam Griya Arunika terasa semakin mencekam. Suara jangkrik adalah satu-satunya melodi yang terdengar. Andra menahan napas, matanya fokus pada layar perekam yang menunjukkan garis-garis volume suara. Beberapa menit berlalu. Tidak ada apa-apa. Ia mulai merasa mengantuk.

Tiba-tiba, ia merasakannya. Sebuah hawa dingin yang menusuk, merayap dari kakinya, naik ke seluruh tubuhnya. Sama seperti deskripsi para korban. Bersamaan dengan itu, sebuah bisikan samar mulai terdengar. Sangat pelan pada awalnya, hampir tidak terdengar, seperti hembusan angin yang lewat di antara pepohonan.

Andra segera mendekatkan perekamnya ke telinganya, meskipun ia bisa mendengar suara itu dengan jelas tanpa bantuan alat. Bisikan itu semakin menguat, membentuk pola suara yang aneh. Itu bukan bahasa, bukan kata-kata. Lebih seperti paduan suara yang berdesir, terdiri dari banyak suara kecil, seolah ratusan anak-anak berbisik bersamaan. Suara itu terasa sangat kuno dan asing, namun juga menakutkan, seperti melodi dari dunia lain.

Ia merasakan kepalanya mulai pusing. Bisikan itu seolah menggetarkan otaknya. Ia mencoba tetap fokus, merekam setiap detail suara yang bisa ditangkap oleh alatnya. Namun, bisikan itu semakin intens, frekuensinya semakin tinggi, dan perlahan berubah menjadi lolongan yang menyakitkan. Bukan lolongan kesedihan, melainkan lolongan yang memekakkan telinga dan terasa sangat jahat, seolah suara itu mencoba merobek gendang telinganya dari dalam.

Andra merasakan nyeri tajam di telinganya. Seperti ada jarum yang menusuk masuk ke otaknya. Ia mencoba mematikan perekamnya, ingin menghentikan suara mengerikan itu, tetapi tangannya membeku. Ia merasakan tubuhnya limbung, dan pandangannya mulai kabur. Bisikan itu kini berubah menjadi jeritan melengking yang menusuk, dan matanya mulai terasa panas, seolah ada tekanan kuat di dalamnya.

Dan kemudian, ia merasakan cairan hangat mengalir dari telinganya. Ia menyentuhnya, dan jari-jarinya basah oleh darah. Gelap. Andra merasakan tubuhnya ambruk ke lantai, perekam di tangannya terlepas dan membentur lantai dengan suara 'gedebuk'.

Keesokan paginya, pemilik kos menemukan Andra tergeletak pingsan di kamarnya, dengan darah kering membekas di telinganya. Perekam suara digitalnya hancur. Pemilik kos segera memanggil tim medis, dan Andra dibawa ke klinik terdekat. Dokter mengatakan Andra mengalami gangguan pendengaran sementara dan migrain parah akibat tekanan suara yang ekstrem, tetapi tidak ada kerusakan permanen.

Ketika Andra terbangun beberapa jam kemudian, ia segera mencari perekamnya. Ia berhasil menyelamatkan kartu memori yang masih utuh. Ia segera memasangnya ke laptop dan memutar rekaman terakhir.

Suara bisikan itu terdengar jelas di rekaman. Dimulai dari desiran samar, berubah menjadi paduan suara berdesir, lalu lolongan, dan akhirnya, jeritan memekakkan telinga yang membuat bulu kuduknya merinding. Rekaman itu berhenti tiba-tiba di tengah jeritan, tepat pada saat ia pingsan.

Andra memutar rekaman itu berulang kali, mencoba menganalisisnya. Ia yakin suara itu bukan suara manusia biasa. Ada sesuatu yang sangat kuno dan supranatural di dalamnya. Ini bukan hanya anak kecil yang iseng. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih besar, lebih tua, dan lebih jahat.

Meskipun telinganya masih berdenging dan kepalanya terasa berdenyut, Andra merasakan sebuah campuran antara ketakutan dan tekad yang kuat. Ia telah menemukan petunjuk krusial: mawar adalah penanda, dan bisikan itu adalah serangan, suara yang merusak jiwa. Ini bukan kasus kriminal biasa. Ini adalah sesuatu yang jauh melampaui pemahaman logisnya.

Ia tahu ia tidak bisa melawan sendiri. Ia harus membagikan informasi ini kepada warga lain. Tapi siapa yang akan percaya padanya? Siapa yang akan percaya pada mahasiswa yang mengaku hampir mati karena mendengarkan bisikan hantu? Namun, Andra tidak punya pilihan. Ia harus mencoba. Griya Arunika sedang dalam bahaya, dan ia telah melihat wajah sejati dari teror itu.

Bab 6: Mawar untuk Anak Kecil

Ketegangan di Griya Arunika semakin mencekik. Setelah insiden Andra yang pingsan dengan telinga berdarah akibat "bisikan," beberapa warga mulai percaya bahwa ini bukan lagi masalah rasional. Para ibu semakin paranoid, tak berani melepas pandangan dari anak-anak mereka. Mereka tak bisa tidur, terus-menerus mengintip dari balik tirai jendela, berharap tidak ada mawar merah di ambang pintu mereka esok pagi.

Pagi itu, ketakutan yang paling mengerikan akhirnya menjadi kenyataan. Di antara tumpukan mainan di teras rumah keluarga Wijaya, yang dihuni oleh pasangan muda, Pak Anton dan Bu Rina, bersama putri semata wayang mereka, Mia, tergeletak setangkai mawar merah segar. Bu Rina yang pertama menemukannya saat hendak menjemur pakaian. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Ia tahu persis apa artinya mawar itu.

Mia, anak perempuan berusia lima tahun yang ceria dan penuh rasa ingin tahu, melihat ibunya mematung. "Mama, bunga cantik sekali!" serunya riang, hendak meraih mawar itu.

"Jangan disentuh, Mia!" teriak Bu Rina panik, tangannya sigap menepis tangan mungil Mia. Ia segera mengambil mawar itu dengan tissue, membuangnya ke tempat sampah paling belakang, dan menyiramnya dengan pemutih, berharap bisa menghilangkan jejaknya.

Sepanjang hari, Bu Rina tidak bisa tenang. Ia terus memeluk Mia, memeluknya seolah itu adalah pelukan terakhir. Ia memasak makanan kesukaan Mia, membacakan dongeng favoritnya, mencoba menciptakan benteng kebahagiaan di tengah bayang-bayang kematian. Pak Anton, suaminya, yang biasanya kalem, juga terlihat tegang. Ia terus-menerus memeriksa kunci pintu dan jendela.

Malam harinya, setelah Mia tertidur lelap, Bu Rina masuk ke kamar putrinya untuk memastikan semua aman. Ia memeriksa setiap sudut ruangan, bahkan di bawah tempat tidur. Hatinya mencelos. Di atas bantal Mia, di samping boneka beruang kesayangannya, mawar merah itu muncul lagi. Sama persis, segar, dan memancarkan aura dingin yang menusuk. Bu Rina menjerit tertahan. Ia segera meraih mawar itu dan membakarnya di wastafel dapur, abu dan baunya yang memuakkan memenuhi ruangan. Ia bersumpah akan menjaga Mia sepanjang malam.

Ia duduk di samping tempat tidur Mia, memegang tangan mungil putrinya. Sesekali, ia melirik ke arah jendela, jantungnya berdebar setiap kali ada angin berdesir. Suara bisikan samar, seperti dengungan lebah, mulai terdengar di telinganya. Sama seperti yang digambarkan Andra. Bu Rina menggigil, memejamkan mata, mencoba mengabaikannya.

Namun, bisikan itu semakin jelas, seolah suara anak-anak yang tak terhitung jumlahnya berbisik bersamaan. "Ikutlah... bersama kami... Mia..."

Bu Rina membuka matanya. Ia melihat sekeliling kamar Mia. Tidak ada apa-apa. Ia merasakan napas Mia yang tenang di sampingnya. Ia memeluk erat Mia.

Sekitar pukul tiga pagi, Bu Rina merasakan kantuk yang tak tertahankan. Ia berusaha tetap terjaga, namun matanya semakin berat. Ia memejamkan mata, hanya untuk sedetik.

Ketika ia membuka mata kembali, pagi sudah tiba. Sinar matahari menerobos masuk dari sela gorden. Suara burung-burung mulai terdengar. Hening. Bisikan itu telah hilang.

Bu Rina merasakan kelegaan yang luar biasa. Mungkin ia hanya berhalusinasi karena kelelahan. Ia melirik ke sampingnya, mencari Mia.

Kosong.

Mia tidak ada di tempat tidur. Selimutnya berantakan, boneka beruangnya tergeletak di lantai. Sebuah lubang menganga di hati Bu Rina. "Mia! Mia!" teriaknya panik. Ia bergegas keluar kamar, memeriksa setiap sudut rumah. Pak Anton yang terbangun ikut mencari. Mereka berteriak memanggil nama Mia, tetapi tidak ada jawaban.

Warga Griya Arunika yang mendengar teriakan itu segera datang. Mereka membantu mencari Mia. Semua orang berharap Mia hanya bermain petak umpet, atau mungkin berjalan keluar rumah tanpa sengaja.

Pencarian berjam-jam tidak membuahkan hasil. Sampai akhirnya, Pak Arman, kepala keamanan kompleks, menerima laporan dari petugas ronda di taman kompleks.

"Pak Arman! Kita menemukan sesuatu!"

Mereka bergegas ke taman tengah kompleks, tempat anak-anak biasa bermain. Di sana, di antara hamparan bunga kamboja yang rimbun, tergeletak tubuh kecil Mia. Wajahnya pucat, matanya terpejam. Di bibirnya, terukir senyum yang sama, senyum dingin dan mengerikan seperti para korban sebelumnya.

Namun, yang paling mengerikan adalah ini: kelopak-kelopak mawar merah segar memenuhi mulut Mia, seolah ia baru saja memakan sekuntum bunga utuh. Beberapa kelopak juga bertebaran di sekitar tubuhnya.

Bu Rina menjerit, jeritan yang membuat semua orang merinding. Griya Arunika kini telah menyeberangi batas teror. Ini bukan lagi hanya kematian orang dewasa. Ini adalah penculikan dan pembunuhan seorang anak kecil. Anak tanpa identitas itu kini telah mengambil sesuatu yang paling berharga dari mereka.

Bab 7: Warga Melawan

Kematian Mia adalah titik balik. Jika sebelumnya ketakutan membuat warga Griya Arunika terisolasi dalam rumah masing-masing, kini kemarahan dan keputusasaan menyulut sebuah perlawanan. Anak-anak adalah batas yang tak boleh dilanggar. Setelah tragedi Mia, tidak ada lagi yang bisa tenang. Raungan pilu Bu Rina dan Pak Anton menggema di seluruh kompleks, mengukir rasa sakit yang tak terlupakan di hati setiap orang tua.

Rapat RT yang semula gagal menghasilkan solusi, kini diadakan kembali, namun dengan suasana yang sangat berbeda. Kali ini, bukan lagi bisikan ketakutan, melainkan raungan amarah.

"Kita tidak bisa hanya menunggu lagi!" teriak Pak Dodi, matanya memerah. "Kita harus bertindak!"

"Anak itu! Kita harus tangkap dia!" seru yang lain.

Meskipun polisi masih belum menemukan petunjuk yang jelas, warga memutuskan untuk bergerak sendiri. Mereka membentuk kelompok penjaga malam yang terorganisir. Tidak hanya bapak-bapak, para ibu juga ikut terlibat, membawa senter, tongkat, bahkan alat apa pun yang bisa digunakan untuk melindungi diri. Mereka dibagi dalam beberapa regu, berpatroli keliling kompleks setiap malam, dengan mata awas mencari sosok anak misterius itu. Andra, dengan pengalaman tragisnya, turut bergabung, menawarkan analisis dan instingnya.

Malam pertama patroli berlangsung tegang. Setiap bayangan adalah musuh, setiap suara adalah ancaman. Mereka memeriksa setiap sudut gelap, setiap semak-semak, namun tidak menemukan apa-apa. Anak itu tidak muncul. Harapan mereka mulai menipis, apakah anak itu tahu mereka sedang mengincarnya?

Kemudian, pada malam ketiga, di tengah patroli yang hening, seorang warga bernama Pak Hadi melihatnya. Di tengah taman bermain, tepat di bawah ayunan yang kosong, berdiri anak itu. Diam, tanpa bergerak, dengan keranjang penuh mawar merah di tangannya, dan senyum kosong yang mengerikan di wajahnya.

"Dia di sana!" teriak Pak Hadi, menunjuk dengan gemetar.

Seluruh kelompok penjaga malam segera menyerbu ke arah taman. Sekitar dua puluh orang, bersenjatakan tongkat dan senter, berlari mengejar anak itu. "Tangkap dia! Jangan biarkan dia lari!" teriak Pak Arman, kepala keamanan yang memimpin kelompok itu.

Mereka mengepung anak itu. Lingkaran semakin mengecil. Andra berada di garis depan, jantungnya berdegup kencang. Ini adalah kesempatan mereka.

Saat jarak mereka hanya beberapa meter, Pak Dodi mengulurkan tangannya, mencoba menangkap anak itu. Tangannya menembus tubuh anak itu. Seolah-olah, tubuh anak itu hanyalah ilusi, asap yang bisa ditembus. Pak Dodi terjatuh, kaget dan bingung.

"Dia bukan manusia!" teriak seorang ibu histeris.

Saat itulah, listrik di seluruh Griya Arunika mendadak padam. Kompleks itu seketika gelap gulita, diselimuti kegelapan yang pekat. Hanya cahaya senter yang menari-nari panik, menambah kekacauan.

Dan kemudian, dari kegelapan yang pekat itu, terdengar. Suara tangisan anak-anak. Bukan hanya satu, melainkan ratusan, ribuan suara tangisan yang menggema dari segala arah, memenuhi udara dengan melodi kesedihan dan penderitaan yang tak terhingga. Suara itu begitu nyaring dan menusuk, seolah-olah seluruh jiwa anak-anak yang telah tiada sedang menangis di sekeliling mereka.

Para warga panik. Mereka saling berteriak, tersandung dalam kegelapan. Beberapa jatuh, yang lain mencoba berlari menjauh dari suara mengerikan itu. Andra berusaha tetap tenang, ia mengarahkan senternya ke tempat anak itu tadi berdiri. Kosong. Anak itu telah menghilang, seolah menguap bersamaan dengan padamnya listrik dan suara tangisan itu.

Ketika listrik kembali menyala beberapa menit kemudian, kompleks itu kembali terang. Namun, trauma telah terukir dalam benak setiap warga. Mereka tahu, ini bukan hanya anak kecil biasa. Ini adalah entitas yang tidak dapat disentuh, yang mampu memanipulasi lingkungan, dan yang membawa serta penderitaan jiwa-jiwa lain. Perlawanan mereka telah gagal total, dan ketakutan kembali mencengkeram Griya Arunika, lebih kuat dari sebelumnya.

Bab 8: Leluhur dan Kutukan

Kekalahan telak kelompok penjaga malam membuat semangat warga Griya Arunika runtuh sepenuhnya. Kejadian di taman, saat tubuh anak itu tak bisa disentuh dan listrik padam disertai tangisan ribuan anak-anak, mengonfirmasi ketakutan terdalam mereka: ini bukan makhluk fana. Keputusasaan melanda, membuat mereka semakin mengurung diri dalam cengkeraman teror.

Di tengah keputusasaan itu, seorang warga tua bernama Bu Sulastri muncul sebagai satu-satunya harapan. Bu Sulastri adalah salah satu penghuni paling lama di Griya Arunika, tinggal di sana jauh sebelum kompleks perumahan ini dibangun. Ia adalah seorang wanita sepuh yang pendiam, dengan mata yang menyimpan banyak rahasia dan kisah masa lalu. Selama ini, ia hanya mengamati dalam diam, namun tragedi Mia dan kegagalan warga membuatnya merasa terpanggil.

Bu Sulastri meminta Pak RT untuk mengumpulkan beberapa warga inti, termasuk Andra yang dianggapnya memiliki "kepekaan" terhadap fenomena ini. Mereka berkumpul di rumah Bu Sulastri yang tua, dengan penerangan remang-remang yang menambah aura misteri.

"Saya tahu siapa anak itu," bisik Bu Sulastri, suaranya parau namun penuh keyakinan. "Saya pernah melihatnya... sekitar 40 tahun yang lalu."

Warga yang hadir terkesiap. Empat puluh tahun lalu? Griya Arunika bahkan belum ada saat itu.

"Dulu, tempat ini... bukan perumahan," lanjut Bu Sulastri, matanya menerawang jauh. "Ini adalah ladang tebu yang luas. Pemilik ladang itu, seorang tuan tanah kaya bernama Wiryawan, terkenal akan kekejamannya. Dia sangat terobsesi dengan kekayaan dan kekuasaan."

Bu Sulastri menjelaskan, Wiryawan percaya pada ritual kuno yang menjanjikan kekayaan abadi dan perlindungan dari malapetaka, asalkan ada tumbal pengorbanan. "Bukan hewan," bisik Bu Sulastri, "tapi anak-anak kecil."

Warga bergidik ngeri. Andra mencatat setiap kata.

"Konon," lanjut Bu Sulastri, "Wiryawan melakukan ritual itu di ladang ini. Anak-anak dari desa sekitar diculik, atau dibeli dari keluarga miskin. Mereka diikat dan dikorbankan di bawah pohon beringin tua yang sekarang sudah ditebang untuk pembangunan kompleks ini."

"Apa hubungannya dengan mawar itu?" tanya Andra, memberanikan diri.

"Mawar itu... adalah simbol jiwa-jiwa yang terperangkap," jawab Bu Sulastri, matanya menatap tajam. "Setiap mawar yang dia berikan, itu adalah undangan. Anak itu... dia adalah penjaga dari kutukan itu. Dia adalah perwujudan dari kemarahan jiwa-jiwa anak-anak yang terkorban, yang tidak pernah bisa tenang."

Bu Sulastri melanjutkan bahwa tempat ini, tanah di mana Griya Arunika berdiri, adalah tanah yang belum "dibersihkan". Kutukan itu tidak pernah diangkat. Jiwa-jiwa itu terjebak, dan anak misterius itu adalah perantara mereka, yang bertugas mengumpulkan lebih banyak jiwa sebagai penebusan atas dosa masa lalu.

"Dia muncul kembali sekarang karena dia lapar," kata Bu Sulastri, suaranya bergetar. "Lapar akan jiwa, karena arwah leluhur yang mengikatnya semakin kuat menuntut pembalasan."

Kisah Bu Sulastri yang mengerikan itu memberi gambaran yang jelas, meskipun menakutkan, tentang apa yang sebenarnya mereka hadapi. Ini bukan lagi sekadar hantu atau makhluk iseng. Ini adalah kutukan kuno, yang berakar pada sejarah kelam tanah yang mereka pijak. Dan anak itu, dengan mawar dan senyumnya, adalah pelaksana kutukan tersebut. Mereka harus menemukan cara untuk membersihkan tanah ini, atau kutukan itu akan terus menuntut tumbal.

Bab 9: Upaya Terakhir

Kisah Bu Sulastri tentang kutukan kuno dan pengorbanan anak-anak menggetarkan hati warga Griya Arunika. Rasa takut kini bercampur dengan keinginan kuat untuk mengakhiri teror ini. Mereka tak lagi hanya menunggu, tapi mulai berpikir tentang bagaimana cara menghentikan siklus kematian yang mengerikan ini. Semua mata tertuju pada Andra. Meskipun ia mahasiswa, pengetahuannya yang logis bercampur dengan kejadian yang ia alami sendiri membuatnya menjadi pemimpin tak resmi dalam situasi genting ini.

Andra merenungkan setiap kata Bu Sulastri. Jika mawar adalah simbol jiwa dan anak itu adalah perantara, maka mawar itu sendiri mungkin memiliki kunci. Ia teringat bagaimana ia hampir pingsan dan telinganya berdarah saat mencoba merekam bisikan. Bisikan itu berasal dari mawar, dari energi jahat yang terperangkap di dalamnya.

"Jika mawar itu adalah gerbangnya, maka kita harus menutup gerbang itu," ucap Andra dalam pertemuan dengan Pak RT, Pak Arman, dan beberapa warga lain yang berani. "Mungkin, dengan menghancurkan mawar itu, kita bisa memutus kekuatannya."

Beberapa warga tampak ragu. "Bukankah Bu Rina sudah mencoba membakar mawar Mia? Dan itu tidak berhasil," kata seorang ibu.

"Benar," sahut Andra, "tapi mungkin bukan hanya satu mawar. Mungkin kita harus membakar semua mawar yang pernah dia berikan, atau bahkan mawar yang dia bawa di keranjangnya."

Ide ini terdengar nekat, tetapi mereka tak punya pilihan lain. Mereka memutuskan untuk mengambil tindakan. Dengan hati-hati, Andra dan beberapa warga yang paling berani, termasuk Pak Dodi dan Pak Arman, memulai misi berbahaya mereka. Mereka memutuskan untuk mencari semua mawar yang telah ditinggalkan di ambang pintu rumah warga, mawar yang selama ini tidak berani mereka sentuh. Aroma manis memuakkan dari bunga-bunga itu masih tercium, meskipun sudah berhari-hari dibiarkan di sana.

Dengan menggunakan sarung tangan dan plastik tebal, mereka mengumpulkan mawar-mawar itu satu per satu. Setiap kali mereka menyentuh bunga itu, rasa dingin aneh menjalari tangan mereka, seolah bunga itu memancarkan aura es. Mereka merasakan bisikan samar, seolah suara-suara kesedihan dan penderitaan mencoba merayapi pikiran mereka.

Setelah mengumpulkan semua mawar, mereka membawanya ke sebuah lahan kosong di pinggir kompleks, jauh dari pemukiman. Mereka menumpuk mawar-mawar itu di atas tumpukan kayu kering dan menyiramnya dengan bensin. Dengan napas tertahan, Andra menyulut korek api dan melemparkannya ke tumpukan bunga.

Api segera berkobar, melahap mawar-mawar merah itu. Asap hitam tebal mengepul ke udara, memenuhi langit dengan bau gosong yang aneh, bercampur dengan aroma mawar yang memuakkan.

Namun, yang terjadi selanjutnya membuat mereka terpaku dalam kengerian.

Dari dalam asap yang mengepul, wajah-wajah mulai terbentuk. Wajah-wajah pucat, dengan mata kosong, melayang di antara kepulan asap. Wajah-wajah itu familiar. Itu adalah wajah Bu Ratna, Pak Rahmat, Pak Dani, dan bahkan Mia. Mereka muncul satu per satu, menatap tajam ke arah warga, dengan senyum mengerikan yang sama seperti saat mereka meninggal.

Dan bersamaan dengan munculnya wajah-wajah itu, terdengar jeritan pilu dan tawa cekikikan yang mengerikan, seolah jiwa-jiwa itu sedang tersiksa dan mengejek mereka. Jeritan itu tidak berasal dari asap, melainkan dari dalam diri mereka sendiri, sebuah gema penderitaan yang tak terbayangkan.

Andra dan warga lainnya mundur ketakutan, menjatuhkan diri ke tanah. Mereka merasakan hawa dingin yang menusuk tulang, lebih parah dari sebelumnya. Mereka menyadari sebuah kebenaran yang mengerikan: bunga-bunga mawar itu bukan sekadar penanda kutukan. Mawar-mawar itu adalah wadah.

"Mawar itu bukan hanya simbol..." bisik Andra, suaranya gemetar, matanya terpaku pada wajah-wajah yang menari di asap. "...Bunga itu adalah penanda jiwa yang akan diklaim. Dia menggunakan mawar itu untuk menjebak mereka, untuk mengikat jiwa-jiwa korban."

Mereka sadar bahwa membakar mawar itu justru melepaskan sebagian energi gelap yang terperangkap, memperlihatkan betapa kuatnya ikatan antara bunga dan jiwa korban. Upaya mereka untuk memutus kutukan malah membuka tabir kengerian yang lebih dalam. Mereka bukan sedang melawan anak kecil, melainkan kekuatan yang mengikat jiwa-jiwa, sebuah kekuatan yang jauh lebih kuno dan jahat dari yang mereka bayangkan.

Bab 10: Pengusiran

Melihat wajah-wajah korban muncul dari asap mawar yang terbakar, kesadaran pahit menghantam Andra dan warga lainnya: ini bukan tentang menghancurkan mawar, melainkan tentang memutus ikatan jiwa yang telah terbentuk. Keputusasaan sempat melanda, namun kali ini, Bu Sulastri kembali menjadi penuntun.

"Mawar itu hanya jembatan," ujarnya dengan suara tenang namun tegas. "Kutukannya ada pada anak itu. Dia adalah pusat dari semua ini. Jika kita ingin mengakhiri teror ini, kita harus mengusirnya dari tanah ini."

Gagasan itu terdengar gila, tapi tidak ada pilihan lain. Berbekal informasi dari Bu Sulastri tentang ritual pengorbanan kuno, Andra mulai menyusun rencana. Jika kutukan ini berakar pada ritual jahat, mungkin ritual pembersihan bisa melawannya.

Mereka memutuskan untuk mengadakan upacara pembersihan besar-besaran. Namun, kali ini, bukan sekadar doa atau pembakaran biasa. Mereka tahu mereka harus berhadapan langsung dengan anak itu. Mereka mempersiapkan segalanya: lilin, garam, air suci, dan benda-benda spiritual lain yang direkomendasikan Bu Sulastri dari berbagai tradisi. Para warga mengumpulkan semua keberanian yang tersisa.

Pagi harinya, saat anak itu muncul lagi di ujung jalan dengan keranjang mawar merahnya, sekelompok warga yang dipimpin oleh Andra dan Pak Arman bergerak cepat. Mereka tidak lari, tidak bersembunyi. Mereka bertekad. Mereka mengepung anak itu di taman tengah kompleks, lokasi yang sama di mana Mia ditemukan dan tempat mereka gagal menangkapnya sebelumnya.

Kali ini, mereka tidak mencoba menyentuhnya. Sebaliknya, mereka mulai membentuk lingkaran, melafalkan doa-doa dengan suara keras, menyebarkan garam di sekelilingnya, dan memercikkan air suci. Beberapa warga yang lebih religius melantunkan ayat-ayat suci, berharap bisa melemahkan entitas itu.

Anak itu tetap diam, hanya tersenyum kosong. Namun, seiring dengan semakin kuatnya lantunan doa dan energi pembersihan, senyumnya mulai memudar. Matanya yang hitam pekat tampak berkedip. Ia mulai menunjukkan tanda-tanda ketidaknyamanan. Tubuhnya yang transparan mulai bergetar.

"Terus! Jangan berhenti!" teriak Andra, suaranya parau.

Mereka kemudian melakukan langkah paling berani: mereka mengurung seluruh keranjang bunga mawar yang dibawa anak itu dengan jaring dan menyeretnya ke tengah lingkaran. Tanpa ragu, mereka menyiram keranjang itu dengan bensin dan menyulutnya.

Api membumbung tinggi, melahap mawar-mawar itu. Kali ini, tidak ada wajah korban yang muncul. Namun, dari api itu, terdengar jeritan yang mengerikan, lebih dahsyat dari bisikan atau lolongan yang pernah Andra dengar. Itu adalah jeritan penderitaan yang tak tertahankan, suara yang bukan berasal dari manusia, tetapi dari sesuatu yang terkoyak.

Anak itu, yang tadinya diam, kini mulai menjerit bersamaan dengan terbakarnya keranjang bunga. Jeritannya adalah kombinasi dari amarah, kesakitan, dan keputusasaan yang luar biasa. Tubuhnya mulai berkedip-kedip, semakin transparan. Senyum di wajahnya kini digantikan oleh ekspresi kesakitan yang parah.

Saat api melahap habis mawar terakhir, anak itu mengeluarkan jeritan terakhir yang memekakkan telinga, diikuti oleh ledakan suara tangis yang tak terhitung jumlahnya, seolah ribuan jiwa yang terperangkap akhirnya dilepaskan. Bersamaan dengan itu, terdengar suara pecahan cermin tak kasatmata yang tak terhitung jumlahnya, memecah kesunyian dengan suara yang menakutkan.

Dalam sekejap, anak itu menghilang. Ia lenyap di udara, meninggalkan ketiadaan, hanya menyisakan bau gosong dan aroma mawar yang samar. Udara di sekitar mereka terasa lebih ringan, dan ketegangan yang mencekik selama berminggu-minggu akhirnya terangkat.

Warga Griya Arunika, lelah namun lega, berdiri terdiam. Mereka telah mengusir teror yang menghantui mereka.

Bab 11: Damai yang Semu

Setelah pengusiran dramatis anak misterius itu, Griya Arunika diselimuti kelegaan yang mendalam, meskipun masih diselimuti duka. Beberapa hari berlalu tanpa kematian baru, tanpa mawar merah yang muncul, dan tanpa bisikan mengerikan yang menghantui. Perlahan, seperti luka yang mulai mengering, kompleks itu mencoba kembali ke kehidupan normalnya. Anak-anak diizinkan bermain di taman lagi, meskipun orang tua mereka tetap mengawasi dengan cermat. Pintu-pintu mulai dibuka di siang hari, dan tawa samar mulai terdengar lagi di antara rumah-rumah.

Warga mencoba melupakan kengerian yang baru saja mereka alami, tetapi trauma itu membekas dalam. Setiap kali mereka melewati rumah Bu Ratna, Pak Rahmat, Pak Dani, atau terutama rumah keluarga Wijaya, hati mereka mencelos. Senyum mengerikan yang terukir di wajah para korban, aroma manis memuakkan dari mawar yang mematikan, dan jeritan pilu Mia, semua itu akan selamanya menghantui ingatan mereka.

Andra, meskipun lega, tidak sepenuhnya yakin. Ia masih menyimpan rekaman bisikan itu, bukti nyata bahwa mereka telah berhadapan dengan sesuatu yang di luar nalar. Rasa ingin tahu profesionalnya mendorongnya untuk menganalisis lebih lanjut. Ia kembali ke rekaman CCTV kompleks, khususnya rekaman dari hari-hari ketika anak itu terlihat jelas oleh warga, namun tidak pernah muncul di kamera.

Dengan tekun, Andra memutar ulang rekaman berulang kali, memperlambatnya, memperbesar bagian-bagian tertentu. Ia bahkan meminta bantuan seorang teman yang ahli dalam forensik digital. Hasilnya mengejutkan dan menegaskan apa yang sudah mereka curigai: anak misterius itu memang tidak pernah terekam di kamera mana pun.

"Lihat ini, Andra," kata temannya, menunjuk layar. "Di sini, Bu Wati bersumpah dia melihat anak itu di ujung jalan. Area ini tercakup penuh oleh CCTV, tapi tidak ada apa-apa di rekaman. Kosong."

Kemudian, temannya menunjukkan rekaman saat kelompok penjaga malam mengepung anak itu di taman. "Dan di sini, saat kalian semua mengelilinginya, saat Pak Dodi mencoba menyentuhnya, kamera tidak menangkap apa pun selain kalian yang panik dan terkejut."

Anak itu adalah entitas tak kasatmata bagi teknologi modern. Ia bisa dilihat dengan mata telanjang, bahkan berinteraksi dengan lingkungan (dengan meletakkan mawar), tetapi keberadaannya tidak dapat dideteksi oleh perangkat elektronik. Itu menjelaskan mengapa tidak ada jejak sidik jari, tidak ada bukti fisik, dan mengapa polisi selalu menemui jalan buntu.

Kesadaran itu membuat Andra merinding. Mereka tidak pernah benar-benar menangkap atau menyentuh anak itu. Mereka hanya berhasil mengusirnya, melepaskan ikatan yang mungkin menahannya. Apakah itu berarti dia tidak akan kembali? Atau apakah dia hanya pergi untuk sementara, menunggu waktu yang tepat untuk menuntut lebih banyak jiwa?

Damai di Griya Arunika terasa semu, rapuh seperti pecahan cermin. Meskipun teror telah mereda, bayang-bayangnya masih melayang di setiap sudut kompleks.

Bab 12: Mawar Kembali Mekar

Minggu-minggu berlalu. Griya Arunika perlahan mulai pulih dari trauma. Tawa anak-anak kembali terdengar di taman, meskipun masih dengan pengawasan ketat orang tua. Para ibu kembali berkumpul di warung sayur, meski sesekali bisikan tentang "kejadian itu" masih muncul. Kehidupan berputar kembali, meskipun dengan bekas luka yang tak terlihat. Andra, yang kini menjadi semacam pahlawan lokal, masih tinggal di kompleks itu, selalu waspada, hatinya merasa damai ini terlalu rapuh.

Suatu pagi yang cerah, sebuah truk pindahan besar memasuki gerbang Griya Arunika. Sebuah keluarga baru akan menempati rumah di ujung jalan, yang telah kosong sejak tragedi Pak Rahmat. Warga saling berbisik, penasaran siapa yang berani pindah ke kompleks yang baru saja diguncang teror supranatural.

Dari truk itu turun seorang janda muda yang tampak ramah, dengan senyum tipis di wajahnya. Tangannya menggandeng seorang anak laki-laki kecil, mungkin berusia sekitar lima atau enam tahun. Anak itu memiliki rambut hitam legam yang rapi dan mata besar yang jernih, mirip seperti mata anak-anak pada umumnya. Ia tampak ceria, melambaikan tangan kepada beberapa tetangga yang melintas.

Para warga menyambut mereka dengan senyum canggung, mencoba bersikap normal. Namun, ada sesuatu yang terasa sedikit aneh. Anak laki-laki itu, sesaat setelah turun dari truk, langsung berlari ke arah taman kompleks, seolah ia sudah mengenalnya. Janda muda itu tersenyum meminta maaf kepada tetangga, "Maaf, anak saya memang suka sekali bunga dan taman."

Sore harinya, saat matahari mulai condong ke barat dan bayangan memanjang, beberapa tetangga melihat anak laki-laki itu di taman. Ia tidak bermain ayunan atau perosotan. Ia sedang jongkok di antara semak-semak, fokus pada sesuatu di tangannya.

Seorang ibu muda, Bu Santi, yang sedang berjalan-jalan sore dengan anjingnya, melirik ke arah anak itu. Ia melihat anak itu perlahan memetik setangkai bunga mawar merah segar dari semak-semak mawar di taman, yang selama ini tidak pernah disentuh warga sejak kejadian mengerikan itu. Mawar-mawar di semak itu tampak begitu merah, begitu sempurna, seolah baru saja mekar penuh.

Anak itu berdiri, memegang mawar merah itu dengan jemari kecilnya. Ia menatap bunga itu sejenak, lalu tersenyum. Bukan senyum ceria seorang anak yang mendapatkan mainan baru, melainkan sebuah senyum yang sangat familiar dan mengerikan: senyum kosong, tanpa ekspresi, yang memancarkan aura dingin yang menusuk. Senyum yang sama persis dengan senyum anak misterius yang telah mereka usir.

Bu Santi merasakan darahnya membeku. Tangannya gemetar, mencengkeram erat tali anjingnya. Ia ingin berteriak, memperingatkan yang lain, namun suaranya tercekat di tenggorokan. Anak itu menoleh, matanya yang hitam menatap lurus ke arah Bu Santi, dan senyum mengerikannya semakin lebar.

Saat Bu Santi, dengan napas terengah-engah dan jantung berdebar kencang, berlari pulang ke rumahnya.

Keesokan paginya, ketika mentari terbit menyinari Griya Arunika, Pak Budi, yang kini tinggal sendiri, membuka pintu rumahnya untuk mengambil koran. Di ambang pintunya, tergeletak satu tangkai mawar merah segar. Kelopaknya masih berembun, seolah baru dipetik dari kebun yang baru saja disiram. Aroma manisnya, yang kini terasa begitu memuakkan dan familiar, menyebar di udara.

Mawar telah kembali mekar di Griya Arunika. Dan teror yang mereka kira telah usai, ternyata hanyalah awal dari siklus yang tidak pernah benar-benar berakhir.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)