Cerpen
Disukai
0
Dilihat
682
Luka Di Kota Tua
Misteri

Senja merayap, menyelimuti Kota Tua dengan rona jingga keemasan. Detik-detik terakhir sinar matahari menembus jendela kaca besar sebuah galeri seni, menari di atas kanvas-kanvas mahal yang dipajang. Namun, keindahan itu seketika sirna saat seorang penjaga malam menemukan pemandangan yang tak pernah terbayangkan: di tengah ruangan utama, bersimbah darah, tergeletak tubuh seorang wanita muda.

Namanya Clara, seorang kurator seni yang baru dua bulan bekerja di galeri itu. Matanya terbuka lebar, menatap kosong langit-langit, seolah menyaksikan sesuatu yang tak terlukiskan. Di lehernya, sebuah luka sayatan rapi membentuk simbol aneh—sebuah lambang yang tidak dikenali, mirip goresan kuas yang tajam dan disengaja. Tidak ada tanda-tanda perlawanan, tidak ada barang yang hilang. Hanya tubuh tak bernyawa dan sebuah luka yang seolah sebuah tanda tangan.

Tim forensik tiba. Lampu sorot mereka membelah kegelapan, menerangi setiap sudut ruangan. Udara dingin di dalam galeri terasa menusuk, seolah membeku karena ketegangan. Di sana, di tengah kerumunan seragam polisi, berdiri Detektif Arya. Wajahnya tampak lelah, garis-garis di dahinya menunjukkan beban pikiran yang berat. Baru tiga minggu ia dipindahkan ke Kota Tua, sebuah kota yang katanya damai dan tanpa masalah. Tapi kini, kota ini menyambutnya dengan kasus pembunuhan paling mengerikan yang pernah ia tangani.

Arya mendekat. Ia melihat bagaimana tim forensik bekerja dengan hati-hati, memotret setiap sudut, mengumpulkan setiap helai rambut yang mungkin tersembunyi. Ia mengamati korban. Rambut coklat panjangnya terurai, gaun hitamnya sudah berubah warna menjadi merah tua. Arya berlutut, mengamati lebih dekat luka di leher Clara. Bukan sekadar sayatan, tapi sebuah karya yang kejam. Luka itu dibuat dengan presisi yang luar biasa, seolah si pembunuh adalah seorang seniman yang sedang menyelesaikan sebuah mahakarya.

"Tidak ada sidik jari di gagang pisau, Pak," lapor salah satu forensik. "Sepertinya pelaku menggunakan sarung tangan. Pisau itu bersih, tidak ada sidik jari sama sekali."

"Bagaimana dengan pintu? Jendela?" tanya Arya.

"Tidak ada tanda-tanda pembobolan. Sepertinya korban kenal dengan pelakunya. Atau, pelaku punya kunci cadangan."

Arya menghela napas. Pembunuhan berencana. Pelaku sangat rapi, tidak meninggalkan jejak. Ia mengalihkan pandangannya ke dinding di dekat tubuh korban. Ada sebuah lukisan sketsa kecil, dibuat dengan arang, tergantung di samping sebuah lukisan abstrak besar. Sketsa itu menampilkan wajah Clara, namun dengan mata yang dipenuhi ketakutan dan luka yang sama di lehernya. Di bawah sketsa itu, ada tulisan kecil: Maka berakhirlah senandung luka.

"Sketsa ini... apakah ini dari galeri ini?" tanya Arya.

"Tidak, Pak. Semua lukisan di sini tercatat. Sketsa ini tidak ada di daftar," jawab manajer galeri yang wajahnya pucat pasi. "Itu pasti karya si pelaku."

Sketsa itu menjadi petunjuk pertama, dan satu-satunya, yang mereka miliki. Arya mengambil foto sketsa tersebut. Ini bukan sekadar pembunuhan, ini adalah pesan. Si pembunuh ingin mereka tahu, ia bangga dengan perbuatannya.

Malam itu, Arya pulang ke apartemennya yang kecil dengan kepala penuh. Ia menatap foto sketsa itu berulang kali. Garis-garis arang yang tajam, ekspresi ketakutan yang begitu hidup, dan tulisan yang puitis namun mengerikan. Senandung luka. Kata-kata itu terus berputar di benaknya. Siapa yang bisa membunuh dengan kejam, lalu menciptakan karya seni dari korbannya?

Keesokan harinya, penyelidikan dimulai. Arya dan timnya mulai memeriksa setiap detail tentang Clara. Mereka menemukan bahwa Clara adalah seorang pendatang baru di Kota Tua. Ia memiliki kehidupan yang cukup tertutup, tidak banyak teman, dan baru saja putus dengan kekasihnya yang bernama Raka. Raka adalah seorang seniman. Arya merasakan ada hubungan antara Raka, Clara, dan lukisan-lukisan. Ia memutuskan untuk menemui Raka.

Raka tinggal di sebuah studio kecil di pinggir kota. Saat Arya datang, ia sedang melukis. Kanvasnya dipenuhi dengan warna-warna gelap dan goresan abstrak yang kacau.

"Anda Detektif Arya?" tanya Raka, suaranya tenang. "Saya sudah tahu Anda akan datang."

"Saya perlu bicara dengan Anda, Tuan Raka. Mengenai Clara."

Wajah Raka tidak menunjukkan ekspresi apapun. Ia meletakkan kuasnya. "Kami sudah putus beberapa minggu lalu. Saya tidak tahu menahu tentang kematiannya. Ini sungguh mengejutkan."

"Di mana Anda saat Clara meninggal?" tanya Arya.

"Saya berada di studio, melukis. Sendiri."

Alibi yang lemah. Arya mengamati studio Raka. Karya-karyanya terasa dingin dan penuh emosi. Tidak ada lukisan potret seperti sketsa yang ditemukan di TKP. Arya menunjukkan foto sketsa itu pada Raka. Raka melihatnya sejenak.

"Itu bukan karya saya," katanya datar. "Goresannya berbeda. Saya tidak pernah melukis dengan gaya seperti itu."

Arya tidak sepenuhnya percaya. Ada sesuatu yang janggal dari Raka. Ia terlalu tenang, terlalu datar. Ia seolah-olah sudah siap menghadapi pertanyaan ini. Arya meminta Raka untuk ikut ke kantor polisi untuk dimintai keterangan lebih lanjut. Raka setuju tanpa perlawanan, yang semakin membuat Arya curiga.

Di kantor, Raka menjawab semua pertanyaan dengan sabar dan tenang. Ia memberikan alibi yang sama: ia berada di studio. Tidak ada saksi, tidak ada bukti yang membantah. Polisi tidak bisa menahannya. Arya merasa frustasi. Ia yakin Raka adalah pelakunya, tapi ia tidak punya bukti.

Beberapa hari kemudian, Arya menerima sebuah amplop coklat anonim. Di dalamnya, ada sebuah foto. Foto itu diambil dari sebuah sudut tersembunyi, menunjukkan Clara dan Raka sedang bertengkar hebat beberapa hari sebelum pembunuhan. Raka terlihat sangat marah, wajahnya dipenuhi amarah. Foto itu tidak cukup untuk menahan Raka, tetapi cukup untuk menguatkan kecurigaan Arya. Seseorang ingin Arya tahu tentang Raka. Siapa?

Arya kembali ke galeri seni. Ia meneliti setiap lukisan yang dipajang. Semuanya indah, penuh makna. Tapi ada satu yang menarik perhatiannya: sebuah lukisan berjudul Luka yang Menanti. Lukisan itu menggambarkan seorang wanita yang sedang berdiri di bawah langit yang gelap, dengan bayangan pisau di sampingnya. Gaya lukisan itu mirip dengan sketsa yang ditemukan di TKP. Arya memanggil manajer galeri.

"Lukisan ini... siapa yang membuatnya?"

"Itu lukisan dari seorang seniman anonim, Detektif. Dibuat khusus untuk acara ini. Kami tidak punya data tentang senimannya."

Jantung Arya berdebar kencang. Ini bukan kebetulan. Ini adalah petunjuk. Sang pembunuh tidak hanya meninggalkan jejak di lokasi pembunuhan, tetapi juga di seluruh galeri. Ia adalah bagian dari komunitas seni. Arya yakin, orang itu adalah Raka. Ia punya motif, ia punya gaya yang sama, dan ia tahu segalanya tentang Clara.

Namun, ia tetap tidak memiliki bukti yang kuat. Kasus ini seperti teka-teki yang sengaja dibuat untuknya, dan setiap kepingnya dipenuhi dengan trik dan jebakan. Arya merasa bahwa ia sedang bermain dengan pikiran seorang jenius yang kejam. Dan ia tahu, permainan ini baru saja dimulai. Di luar sana, di antara hiruk pikuk Kota Tua, sang pembunuh sedang tersenyum, menanti langkah Arya selanjutnya. Dan ia akan melangkah, dengan harapan bisa mengakhiri senandung luka ini sebelum korban berikutnya jatuh.

Satu minggu berlalu. Kota Tua yang tadinya damai kini diselimuti ketakutan. Polisi terus bekerja, media gencar memberitakan, tapi tidak ada kemajuan berarti dalam kasus pembunuhan Clara. Detektif Arya semakin frustrasi. Ia yakin Raka adalah pelakunya, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa tanpa bukti yang kuat. Raka tetap tenang, menjalani hidupnya seperti biasa, seolah ia tak pernah tahu apa yang terjadi.

Arya memutuskan untuk kembali ke studio Raka. Kali ini, ia tidak datang sebagai polisi, melainkan sebagai seorang penikmat seni yang penasaran. Ia mengenakan pakaian kasual dan bersembunyi di keramaian. Raka sedang melukis, kuas di tangannya bergerak dengan luwes, menciptakan goresan-goresan abstrak yang penuh makna. Arya mengamati dari kejauhan, mencoba membaca bahasa tubuh Raka. Ia tidak menemukan tanda-tanda kegelisahan atau rasa bersalah. Raka terlihat seperti seniman pada umumnya, fokus dan tenggelam dalam karyanya.

Namun, sesuatu menarik perhatian Arya. Di sudut studio, ada sebuah kanvas yang ditutupi kain. Raka tidak pernah menyentuhnya. Arya merasakan ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya. Ia tahu, ia harus mencari cara untuk melihat lukisan itu.

Malam itu, Arya kembali ke kantor. Ia memandang papan buletin yang dipenuhi foto-foto dan catatan tentang kasus Clara. Ia merasa buntu. Tiba-tiba, teleponnya berdering. Itu dari Inspektur Kepala.

"Arya, ada pembunuhan lagi," kata Inspektur Kepala dengan nada lelah. "Korban kedua. Modusnya sama persis."

Jantung Arya berdegup kencang. Ia segera menuju lokasi kejadian, sebuah kafe di pusat kota. Di sana, pemandangan yang sama kembali terulang. Tubuh seorang wanita muda tergeletak di lantai, bersimbah darah. Korban bernama Sarah, seorang barista yang dikenal ramah dan ceria. Di lehernya, ada luka yang sama dengan Clara, membentuk simbol aneh. Dan di dinding, sebuah sketsa arang yang menggambarkan wajah Sarah dengan luka yang sama, dan di bawahnya, tulisan yang sama: Maka berakhirlah senandung luka.

Arya merasakan adrenalin mengalir deras di nadinya. Ia tidak bisa salah lagi. Ini adalah pembunuh berantai. Dan modus operandi yang sama, menunjukkan pelaku yang sama. Ia segera meminta timnya untuk memeriksa alibi Raka.

"Raka... dia bilang dia di rumah, Pak," lapor salah satu polisi. "Dia bilang dia sedang sakit dan tidak bisa bekerja."

Alibi yang lemah lagi. Arya mendengus. Ia tahu, Raka mencoba menutupi jejaknya. Tapi mengapa? Apa yang menghubungkan kedua korban? Arya memanggil timnya untuk menyelidiki hubungan antara Clara dan Sarah. Dan hasilnya sangat mengejutkan.

Clara dan Sarah adalah mantan kekasih dari Raka. Raka bertemu Clara saat ia menjadi kurator di sebuah pameran seni, dan ia bertemu Sarah saat ia menjadi pelanggan tetap di kafe tempat Sarah bekerja. Keduanya pernah menjalin hubungan asmara dengan Raka, dan keduanya berakhir dengan tragis.

"Ini bukan kebetulan," gumam Arya. "Raka adalah pelakunya."

Dengan bukti ini, Arya merasa memiliki pegangan. Ia kembali ke studio Raka, kali ini dengan surat perintah. Raka tidak ada. Ia mencoba menelepon, tetapi tidak ada jawaban. Arya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia memerintahkan timnya untuk melacak Raka.

Saat timnya melacak, Arya masuk ke dalam studio Raka. Ia memeriksa setiap sudut, setiap lukisan. Ia menemukan sebuah buku catatan kecil di meja kerja Raka. Buku itu berisi sketsa-sketsa wajah wanita, termasuk wajah Clara dan Sarah. Di bawah setiap sketsa, ada tulisan-tulisan aneh, seperti "terlalu terang", "senyum palsu", "penghianat", dan "luka yang pantas". Arya terkejut. Raka tidak hanya membunuh, ia merencanakan setiap pembunuhan. Ia menganggap setiap wanita sebagai proyek, sebagai kanvas kosong yang harus ia lukis dengan darah.

Arya mengambil buku catatan itu dan membawanya ke kantor. Ia memerintahkan timnya untuk segera mencari Raka. Beberapa jam kemudian, Raka berhasil ditangkap di sebuah stasiun kereta. Ia tampak tenang, bahkan saat tangannya diborgol.

Di kantor polisi, Arya menunjukkan buku catatan itu pada Raka. Raka hanya tersenyum.

"Itu hanya coretan, Detektif," katanya dengan suara datar. "Setiap seniman punya sisi gelap. Saya hanya mengekspresikannya dalam seni."

"Ini bukan seni, Raka," kata Arya, menahan amarahnya. "Ini adalah rencana pembunuhan. Clara dan Sarah adalah mantan kekasih Anda, dan Anda membunuh mereka."

Raka terdiam sejenak. Ia melihat mata Arya, lalu tertawa kecil. "Anda bisa membuktikan itu?"

"Kami akan melakukan tes DNA. Sidik jari Anda pasti ada di lokasi pembunuhan," kata Arya.

Raka tidak menjawab. Ia hanya terus tersenyum. Senyum itu membuat Arya merinding. Itu bukan senyum keputusasaan, melainkan senyum kemenangan. Ia tahu, Raka sedang merencanakan sesuatu.

Malam itu, Raka tidak berbicara sama sekali. Ia hanya duduk di sel, melamun, seolah tidak peduli dengan apa yang terjadi. Arya tahu, ini bukan kasus biasa. Ia sedang berhadapan dengan psikopat sejati, seseorang yang tidak memiliki emosi, tidak memiliki rasa bersalah. Raka adalah orang yang dingin dan kalkulatif.

Keesokan harinya, hasil forensik datang. Tidak ada sidik jari Raka di lokasi pembunuhan. Tidak ada DNA. Tidak ada rambut. Pelaku sangat bersih. Arya merasakan kakinya lemas. Ia sudah berusaha keras, tapi ia tidak punya bukti. Atasannya mulai meragukannya, media mulai menyudutkannya. Raka, di sisi lain, masih tenang. Ia tahu, ia akan lolos.

"Saya ingin pengacara," kata Raka. "Saya tidak bersalah."

Arya menatap Raka. Ia tahu, ia harus mencari bukti lain, apa pun itu. Ia memerintahkan timnya untuk memeriksa setiap rekaman CCTV, setiap jejak digital. Ia harus menemukan sesuatu yang menghubungkan Raka dengan pembunuhan ini, sebelum Raka bebas dan kembali membunuh. Ia tahu, Raka adalah monster, dan ia tidak akan membiarkan monster itu berkeliaran.

Namun, di tengah semua kecurigaan itu, Raka memiliki satu kartu tersembunyi. Sesuatu yang Arya tidak pernah duga, sesuatu yang akan mengubah segalanya. Sesuatu yang akan membuat Raka menjadi pemenang, dan Arya menjadi pecundang. Permainan ini belum berakhir. Ini baru saja dimulai. Dan di meja persidangan, Raka akan menunjukkan kepada semua orang, betapa cerdasnya ia, dan betapa bodohnya mereka.

Malam kembali merangkak, menyelimuti Kota Tua dengan keheningan yang mencekam. Di sebuah ruang interogasi yang dingin, Detektif Arya duduk berhadapan dengan Raka. Lampu neon di atas kepala mereka berkedip-kedip, menerangi wajah Raka yang tenang dan tanpa ekspresi. Arya sudah menghabiskan berjam-jam mencoba mematahkan alibi Raka, mencari celah, tetapi setiap usahanya sia-sia. Raka seperti dinding, tidak bereaksi, tidak menunjukkan emosi, hanya menjawab setiap pertanyaan dengan jawaban yang sama, "Saya tidak tahu apa-apa."

"Kami tahu Anda bertemu Clara dan Sarah," kata Arya dengan nada tajam. "Kami tahu Anda memiliki hubungan dengan mereka. Dan kami tahu mereka semua adalah korban Anda."

Raka hanya tersenyum tipis. "Anda tidak punya bukti, Detektif. Kecurigaan bukan bukti. Saya ini seniman, bukan pembunuh."

"Seni? Anda menyebut pembunuhan ini sebagai seni?" Arya menunjuk ke foto sketsa yang ditaruh di meja. "Ini bukan seni. Ini adalah kejahatan keji. Dan kami tahu Anda yang melakukannya."

Raka mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya menatap tajam ke mata Arya. "Anda sangat yakin, Detektif. Tapi yakin saja tidak cukup. Di pengadilan, yang dibutuhkan adalah bukti, dan Anda tidak punya satu pun."

Arya merasa frustrasi. Ia tahu Raka benar. Tanpa bukti sidik jari, DNA, atau saksi mata, kasus ini akan sulit. Tekanan dari atasan dan media semakin kuat. Mereka menuntut hasil, dan Arya tidak bisa memberikannya.

"Ada lukisan yang Anda buat, Raka. Lukisan berjudul 'Luka yang Menanti'. Lukisan itu... itu adalah lukisan Anda," kata Arya.

"Saya tidak ingat. Saya membuat banyak lukisan," jawab Raka santai.

"Anda melakukannya. Di galeri itu, Anda membuat lukisan itu. Itu adalah petunjuk yang Anda tinggalkan, bukan?"

Raka tertawa. "Detektif, apakah Anda ingin menuduh saya hanya berdasarkan lukisan yang Anda klaim saya buat? Itu konyol."

Arya merasa putus asa. Ia tahu Raka sangat cerdas, dan ia sengaja meninggalkan petunjuk yang tidak bisa digunakan sebagai bukti. Raka adalah seorang master manipulator. Ia sengaja membuat Arya menjadi frustrasi, dan ia berhasil.

Keesokan harinya, Raka diizinkan untuk bebas, karena tidak ada bukti yang cukup untuk menahannya lebih lama. Arya marah. Ia merasa kalah. Ia merasa telah membiarkan monster ini lolos. Ia tahu, di luar sana, Raka akan kembali membunuh.

Namun, di tengah semua kemarahan dan kekecewaan itu, ada sesuatu yang membuat Arya penasaran. Foto anonim yang ia terima, yang menunjukkan Raka dan Clara bertengkar. Siapa yang mengirimnya? Dan mengapa?

Arya memutuskan untuk kembali ke lokasi pembunuhan Clara, galeri seni. Ia berbicara dengan penjaga malam yang menemukan mayat Clara.

"Pak, apakah Anda melihat sesuatu yang aneh malam itu?" tanya Arya.

"Tidak ada, Pak. Kecuali... ada seseorang yang masuk setelah jam tutup," jawab penjaga malam. "Seorang wanita. Dia meminta izin untuk mengambil lukisannya. Saya tidak terlalu memperhatikannya."

Jantung Arya berdebar kencang. "Wanita itu, apakah Anda ingat ciri-cirinya?"

"Saya tidak terlalu ingat, Pak. Dia memakai topi dan jaket," jawab penjaga malam.

Arya segera memeriksa rekaman CCTV dari galeri. Ia menemukan rekaman dari malam pembunuhan. Rekaman itu menunjukkan seorang wanita muda, mengenakan topi dan jaket tebal, masuk ke galeri. Ia membawa sebuah lukisan kecil, yang Arya yakini adalah lukisan 'Luka yang Menanti'. Wanita itu masuk, dan tidak pernah terlihat keluar.

Arya memeriksa lagi rekaman itu, kali ini dengan cermat. Ia melihat wanita itu, ia melihat gerak-geriknya, dan ia menyadari sesuatu yang mengerikan. Wanita itu adalah adik Raka, Sari.

Arya segera pergi ke rumah Raka. Ia menemukan Sari sedang duduk di depan televisi, menonton berita tentang kasus pembunuhan yang tidak terpecahkan.

"Sari," kata Arya. "Saya perlu bicara dengan Anda. Tentang kakak Anda, Raka."

Sari tampak terkejut. "Ada apa, Pak? Saya tidak tahu apa-apa."

"Saya tahu Anda di galeri malam itu," kata Arya. "Saya tahu Anda yang meletakkan lukisan itu di sana."

Sari terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia menunduk. "Saya... saya tidak bisa bicara."

"Kenapa? Anda takut pada kakak Anda?" tanya Arya.

Sari mengangguk. Ia mulai menangis. "Dia... dia menakutkan, Pak. Dia memaksa saya."

Arya merasakan adrenalin mengalir deras. Ia tahu ia telah menemukan kepingan teka-teki yang hilang. Ia telah menemukan saksi kunci.

Sari menceritakan semuanya. Ia menceritakan bagaimana Raka memaksanya untuk meletakkan lukisan di galeri. Ia menceritakan bagaimana Raka memaksanya untuk mengirim foto anonim itu pada Arya. Ia menceritakan bagaimana Raka memanipulasi dan mengendalikan dirinya.

"Raka... dia bukan kakak yang baik," kata Sari, terisak. "Dia selalu menakutkan. Dia selalu punya sisi gelap. Saya takut padanya, Pak. Saya takut dia akan membunuh saya juga."

Arya meyakinkan Sari bahwa ia akan aman. Ia akan melindunginya. Ia membawa Sari ke kantor polisi, dan Sari memberikan kesaksian resminya.

Dengan kesaksian Sari, Arya memiliki alasan yang kuat untuk menangkap Raka. Ia kembali ke rumah Raka, tetapi Raka sudah tidak ada. Arya tahu ia harus segera menemukannya, sebelum ia melarikan diri dari kota.

Arya dan timnya melacak Raka. Mereka menemukannya di sebuah stasiun kereta api, sedang menunggu kereta ke luar kota. Arya menghela napas. Ia tahu, ini adalah kesempatan terakhirnya.

Raka menoleh dan melihat Arya. Ia tersenyum, bukan senyum kemenangan, melainkan senyum kekalahan.

"Anda menang, Detektif," kata Raka. "Tapi ini belum berakhir. Saya akan kembali."

Arya tidak peduli. Ia memborgol Raka. "Tidak, Raka. Anda tidak akan pernah kembali."

Ia membawa Raka kembali ke kantor polisi. Dengan kesaksian Sari dan bukti dari CCTV, Arya yakin ia bisa menjebloskan Raka ke penjara. Arya merasa lega, ia akhirnya bisa mengakhiri senandung luka ini. Namun, ia tidak tahu, Raka memiliki satu rencana terakhir, yang akan mengubah segalanya. Sesuatu yang akan membuat Raka lolos dari penjara, dan melanjutkan permainannya. Sesuatu yang akan membuat Arya kalah, dan Raka menjadi pemenangnya.

Di dalam ruang sidang, udara terasa dingin dan kaku. Lampu-lampu sorot menyoroti Raka yang duduk di kursi terdakwa, wajahnya tetap tenang, seolah tidak peduli dengan tatapan mata puluhan orang yang menghakimi. Di seberangnya, Detektif Arya duduk di bangku saksi. Ia adalah saksi kunci, dan semua mata tertuju padanya. Ia memegang file berisi bukti-bukti yang ia yakini akan menjebloskan Raka ke penjara.

Persidangan dibuka. Jaksa penuntut memulai dengan memaparkan bukti-bukti yang memberatkan Raka. "Terdakwa, Raka, memiliki hubungan masa lalu dengan kedua korban. Modus pembunuhan yang identik, luka simbolis di leher, dan sketsa-sketsa yang ditinggalkan di tempat kejadian. Semua ini menunjukkan pola yang sama, yang mengarah pada satu orang."

Jaksa memanggil Arya ke depan. "Detektif Arya, jelaskan temuan Anda."

Arya berdiri, memegang file-nya. "Kami menemukan sketsa-sketsa yang dibuat oleh pelaku, yang juga menggambarkan para korban. Kami juga menemukan kesamaan antara sketsa-sketsa ini dengan gaya lukisan terdakwa." Ia menunjuk ke foto lukisan 'Luka yang Menanti' yang dipajang di layar besar. "Lukisan ini dibuat oleh terdakwa dan ditinggalkan di galeri tempat korban pertama ditemukan."

"Dan bagaimana Anda yakin lukisan itu dibuat oleh terdakwa?" tanya jaksa.

"Kami memiliki kesaksian dari saksi mata, Sari, adik dari terdakwa, yang menyatakan bahwa ia disuruh oleh terdakwa untuk meletakkan lukisan itu di galeri," jawab Arya dengan tegas.

Terdengar bisik-bisik di ruang sidang. Juri-juri saling berpandangan. Kesaksian seorang anggota keluarga bisa sangat kuat.

Namun, di kursi pengacara, Pengacara Tami, seorang pengacara yang dikenal cerdas dan lihai, hanya tersenyum tipis. Ia berdiri dan melangkah maju, mendekati Arya.

"Detektif Arya, bisakah Anda menjelaskan mengapa tidak ada sidik jari atau DNA klien saya di tempat kejadian?" tanyanya dengan nada menantang.

"Pelaku sangat rapi. Ia memakai sarung tangan," jawab Arya.

"Rapi, atau tidak ada sama sekali?" Tami membalas. "Bukti fisik yang ada hanyalah sketsa-sketsa yang Anda klaim dibuat oleh klien saya. Apakah ada bukti fisik lain yang menghubungkan klien saya dengan para korban?"

Arya terdiam. "Kami memiliki kesaksian Sari, dan kami memiliki bukti bahwa terdakwa memiliki motif."

"Motif? Hubungan asmara yang telah berakhir? Apakah itu cukup untuk menuduh seseorang sebagai pembunuh berantai?" tanya Tami dengan nada mengejek. "Detektif, apakah Anda menyadari bahwa Anda telah melakukan penangkapan tanpa bukti yang kuat? Bahwa Anda telah menangkap seseorang hanya berdasarkan kecurigaan Anda sendiri?"

Arya merasakan tekanan. Tami benar. Ia tidak punya bukti fisik yang kuat. Ia hanya punya kecurigaan, kesaksian, dan lukisan-lukisan.

"Saya memiliki kesaksian Sari," kata Arya. "Ia melihat kakaknya yang memaksa dirinya untuk meletakkan lukisan di galeri."

"Dan apakah Anda memiliki bukti bahwa Sari adalah saksi yang kredibel? Ia adalah adik dari terdakwa, ia bisa saja dimanipulasi, atau bahkan berbohong," Tami membalas. "Dan apakah Anda memiliki bukti bahwa lukisan 'Luka yang Menanti' itu dibuat oleh Raka? Tidak ada sidik jari Raka di lukisan itu, tidak ada DNA. Tidak ada bukti fisik yang mengikatnya dengan lukisan itu."

Arya merasa frustrasi. Ia tahu Raka telah merencanakan ini semua. Ia tahu Raka adalah seorang psikopat sejati yang mampu memanipulasi segalanya. Tapi bagaimana cara membuktikannya?

Saat Tami terus menekan, ia mengeluarkan sebuah folder dan menunjukkannya kepada hakim. "Yang Mulia, saya memiliki sebuah rekaman video yang ingin saya tunjukkan. Rekaman ini berasal dari sebuah toko seni di luar kota."

Rekaman video itu diputar. Rekaman itu menunjukkan Raka sedang membeli perlengkapan melukis, pada hari dan jam yang sama dengan pembunuhan Sarah, korban kedua.

"Detektif Arya, Anda menuduh klien saya berada di Kota Tua saat pembunuhan kedua terjadi. Tapi, rekaman ini menunjukkan dia berada di luar kota. Bisakah Anda menjelaskan ini?" tanya Tami.

Arya terkejut. Ia merasa telah terjebak. "Ini... ini tidak mungkin. Kami melacaknya, ia berada di Kota Tua."

"Apakah Anda yakin?" tanya Tami dengan nada meremehkan. "Rekaman ini adalah bukti nyata. Ini membuktikan bahwa alibi klien saya benar."

Arya menatap Raka. Raka hanya tersenyum tipis, senyum kemenangan yang membuat darah Arya mendidih. Ia telah kalah. Ia telah terjebak. Ia tahu Raka telah merencanakan ini semua. Ia telah mengatur alibi yang sempurna, menempatkan dirinya di luar kota saat pembunuhan terjadi.

Juri mulai berunding. Mereka berdiskusi, melihat semua bukti, dan akhirnya, mereka mencapai keputusan.

"Yang Mulia, juri telah mencapai keputusan," kata ketua juri.

Ruang sidang hening. Arya menatap Raka, ia tahu apa yang akan terjadi.

"Berdasarkan bukti yang diberikan, kami, juri, menemukan terdakwa, Raka, tidak bersalah."

Keputusan itu seperti pukulan telak bagi Arya. Ia merasa gagal. Ia merasa telah membiarkan monster ini lolos. Keluarga korban berteriak, menangis. Mereka tidak bisa menerima keputusan ini.

Raka berdiri dari kursinya. Ia menoleh ke arah Arya, tersenyum, dan memberikan hormat. "Terima kasih, Detektif. Anda telah membantu saya."

Arya mengepalkan tinjunya. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa melihat Raka melangkah keluar dari ruang sidang, sebagai orang bebas. Raka telah menang. Ia telah membuktikan dirinya tidak bersalah. Dan ia telah mempermalukan Arya di depan semua orang.

Saat Raka keluar dari gedung pengadilan, ia disambut oleh media. Ia tersenyum, mengatakan bahwa ia adalah korban dari sistem yang salah. "Saya hanya seorang seniman. Saya tidak bersalah. Saya harap Detektif Arya belajar dari kesalahan ini."

Di sisi lain, karir Detektif Arya hancur. Ia dianggap tidak kompeten, bahkan dicurigai telah memanipulasi bukti. Ia mengundurkan diri dari kepolisian. Ia tidak bisa lagi bekerja di tempat yang sama dengan Raka yang bebas. Ia merasa sakit hati, dan dendamnya kepada Raka semakin membara.

Raka, dengan statusnya yang bersih, pindah ke kota lain. Ia tidak lagi tinggal di Kota Tua, tempat di mana ia telah membuat kekacauan. Ia memulai hidup baru, menjadi seniman yang dihormati, dan menjalani hidup normal. Namun, di dalam dirinya, kegelapan tetap ada. Ia adalah psikopat yang tidak memiliki rasa bersalah atau empati. Ia adalah monster yang bersembunyi di balik topeng orang normal. Dan ia tahu, suatu hari nanti, ia akan kembali.

Arya, di sisi lain, tidak menyerah. Ia tahu Raka bersalah. Ia tidak akan membiarkan Raka lolos begitu saja. Ia memutuskan untuk menjadi detektif swasta. Ia akan melacak Raka, ia akan mencari bukti baru, ia akan mencari kebenaran. Ia akan mengabdikan hidupnya untuk menjebloskan Raka ke penjara. Ia akan mengakhiri senandung luka yang Raka ciptakan. Ia akan mengakhiri permainan ini, sekali dan untuk selamanya.

Ia tahu, permainannya baru saja dimulai. Dan kali ini, ia akan bermain dengan aturan Raka sendiri. Ia akan masuk ke dalam pikiran Raka, dan ia akan menemukan kelemahan Raka. Ia akan mengakhiri ini, bahkan jika itu berarti ia harus mengorbankan segalanya.

Udara Kota Tua terasa hampa dan penuh dengan kekecewaan. Keputusan pengadilan untuk membebaskan Raka menggema seperti pukulan palu yang menghancurkan. Di mata masyarakat, Raka adalah korban. Di mata Detektif Arya, Raka adalah monster yang baru saja lolos dari sangkar. Arya menatap pintu pengadilan, tempat Raka keluar dengan senyum kemenangan, disambut oleh kerumunan media. Rasa sakit, kemarahan, dan rasa malu bercampur menjadi satu, membakar dalam dirinya.

"Anda membiarkan dia lolos, Detektif!" teriak salah satu keluarga korban, suaranya pecah karena isak tangis. "Kami percaya pada Anda! Kami pikir Anda akan mendapatkan keadilan untuk putri kami!"

Arya hanya bisa menunduk. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia merasa gagal. Kegagalan ini bukan hanya kegagalan profesional, melainkan kegagalan pribadi. Ia telah mempertaruhkan segalanya, hanya untuk kalah di tangan seorang psikopat yang cerdas.

Keesokan harinya, pengunduran diri Arya menjadi berita utama. Ia mengemasi barang-barangnya di kantor, file-file kasus yang sudah ia pelajari berulang kali. Setiap lembar, setiap foto, setiap detail, seolah mengejeknya. Ia telah begitu dekat, namun begitu jauh. Raka telah memanipulasi segalanya, mulai dari alibi, bukti, hingga saksi. Arya menyadari, ia bukan berhadapan dengan penjahat biasa, melainkan seorang master.

Malam itu, Arya pulang ke apartemennya yang kosong. Ia menatap ke cermin, melihat wajahnya yang lelah, mata yang dipenuhi lingkaran hitam. Ia telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk menangkap orang jahat, tapi kali ini, orang jahat itu telah menang. Raka telah membuktikan bahwa kejahatan yang sempurna itu ada, dan keadilan tidak selalu menang.

Raka, di sisi lain, merayakan kemenangannya. Ia memesan kamar hotel mewah, dan menghabiskan malam dengan anggur mahal. Ia tidak merasakan rasa bersalah atau ketakutan. Ia merasa puas. Permainan ini, yang ia rencanakan dengan begitu hati-hati, telah berhasil. Ia tidak hanya berhasil lolos dari penjara, tetapi ia juga telah mempermalukan seorang detektif. Ia telah menunjukkan bahwa ia lebih cerdas, lebih licik.

Namun, ia tahu bahwa ia tidak bisa tinggal di Kota Tua. Perhatian media, tatapan curiga dari orang-orang, dan kemungkinan Arya yang tidak akan menyerah, membuatnya merasa tidak nyaman. Ia tahu ia harus pindah, memulai hidup baru. Dan ia juga tahu, ia harus melanjutkan "seni"-nya.

Raka menjual semua lukisannya, mengosongkan studionya, dan meninggalkan Kota Tua tanpa jejak. Ia menggunakan identitas baru, dan pindah ke kota lain yang jauh dari Kota Tua. Ia memilih kota yang ramai, penuh dengan orang-orang baru, di mana ia bisa bersembunyi dengan mudah. Ia membeli sebuah apartemen di pusat kota, dan memulai hidup barunya sebagai Arif.

Di kota barunya, Arif, sang Raka, memulai semuanya dari awal. Ia mendaftar di galeri seni lokal, memamerkan lukisan-lukisan abstraknya yang gelap dan melankolis. Karya-karyanya menarik perhatian kritikus dan kolektor. Ia menjadi seniman yang terkenal dalam waktu singkat. Orang-orang melihatnya sebagai seorang seniman jenius, orang yang pendiam, dan misterius. Tidak ada yang tahu, di balik topeng misterius itu, bersembunyi seorang psikopat yang haus akan darah.

Ia menghabiskan waktunya dengan mengamati orang-orang. Ia duduk di kafe, di taman, di tempat umum, mengamati setiap orang yang lewat. Ia mencari inspirasi, ia mencari "kanvas" baru. Ia mencari seseorang yang, di matanya, pantas untuk menjadi korban berikutnya.

Sementara itu, di Kota Tua, Arya memulai hidup barunya sebagai detektif swasta. Ia menyewa kantor kecil, dan mulai mengambil kasus-kasus kecil. Namun, ia tidak pernah melupakan kasus Raka. Ia menghabiskan setiap malam, setiap akhir pekan, untuk menyelidiki kasus ini. Ia menyusun kembali alur cerita, mencari petunjuk yang ia lewatkan. Ia tahu, Raka akan kembali membunuh, dan ia harus siap. Ia harus menemukan bukti yang tak terbantahkan, yang akan menjebloskan Raka ke penjara.

Arya mulai melakukan penyelidikan dari awal. Ia menghubungi setiap orang yang terlibat dalam kasus Raka. Ia mewawancarai ulang setiap saksi, mencari celah dalam alibi Raka. Ia bahkan menghubungi Pengacara Tami, yang membebaskan Raka. Tami, yang merasa bangga dengan kemenangannya, menolak untuk berbicara dengan Arya. "Ini adalah kasus yang sudah selesai, Detektif. Tidak ada lagi yang bisa Anda lakukan."

Arya tidak menyerah. Ia terus mencari. Ia tahu, Raka akan meninggalkan jejak. Sebuah psikopat sejati seperti Raka tidak akan bisa menahan diri. Mereka selalu ingin mengabadikan karya-karya mereka. Arya yakin, Raka akan kembali membunuh, dan kali ini, ia akan meninggalkan petunjuk yang lebih besar, petunjuk yang akan membuatnya tertangkap.

Di kota baru, Arif mulai memilih "kanvas" barunya. Seorang wanita muda, seorang mahasiswi seni, yang sering datang ke pameran-pamerannya. Namanya Lena. Lena adalah seorang gadis ceria, selalu tersenyum. Namun, di mata Arif, senyum itu adalah senyum palsu. Ia melihat kegelapan dalam diri Lena, kegelapan yang sama yang ia lihat pada Clara dan Sarah. Ia mulai mengikuti Lena, mengamati setiap gerak-geriknya, setiap kebiasaannya.

Ia mulai merencanakan pembunuhannya. Ia akan membunuh Lena dengan cara yang sama, dengan luka simbolis yang sama, dengan sketsa yang sama. Ia akan melanjutkan "seni"-nya. Ia akan menunjukkan kepada dunia, bahwa ia adalah seorang seniman jenius, dan bahwa tidak ada yang bisa menghentikannya.

Arya, yang sedang duduk di depan komputernya, tiba-tiba mendapatkan sebuah email anonim. Email itu hanya berisi sebuah foto. Foto itu adalah sebuah lukisan abstrak yang baru saja dibuat. Lukisan itu penuh dengan warna-warna gelap, dan di sudutnya, sebuah sketsa kecil. Sketsa itu adalah wajah seorang wanita muda, dan di lehernya, sebuah luka yang sama dengan luka Clara dan Sarah. Di bawah sketsa itu, ada tulisan yang sama: Maka berakhirlah senandung luka.

Arya merasa jantungnya berhenti berdetak. Ia tahu, Raka telah kembali. Ia telah kembali membunuh. Ia tahu, ia harus segera bertindak. Ia harus menemukan Raka sebelum Raka membunuh korban berikutnya. Ia harus mengakhiri senandung luka ini, sekali dan untuk selamanya.

Ia membalas email itu. "Siapa Anda?"

Tidak ada jawaban.

Arya tahu, ia harus mencari jejak dari lukisan itu. Ia harus mencari tahu di mana lukisan itu berada, siapa yang membuatnya, dan siapa korban berikutnya. Permainan ini telah dimulai kembali, dan kali ini, Arya tidak akan kalah. Ia akan menjebloskan Raka ke penjara, bahkan jika itu adalah hal terakhir yang ia lakukan. Ia akan mengakhiri permainan ini.

Udara pagi di sebuah kota baru yang ramai terasa segar, tetapi di mata Detektif Arya, kota itu adalah tempat persembunyian monster. Setelah menerima email anonim dengan foto lukisan mengerikan itu, ia tahu Raka telah kembali. Senandung luka itu kembali menggema, dan Arya tahu ia harus menjadi orang yang mengakhirinya. Ia tidak bisa lagi mengandalkan sistem hukum yang sudah mempermalukannya; ia harus bertindak sendiri.

Arya segera menganalisis foto yang dikirimkan. Lukisan itu, dengan sketsa korban baru, tampak seperti bagian dari seri lukisan Raka. Arya melakukan pencarian di internet, mencari galeri seni, pameran, atau seniman baru yang menggunakan gaya serupa. Setelah berjam-jam, ia menemukan sebuah nama: Arif Hidayat. Arif adalah seorang seniman pendatang baru yang karyanya sedang naik daun. Lukisan-lukisannya abstrak, gelap, dan penuh dengan emosi, dengan gaya yang sangat mirip dengan Raka.

Jantung Arya berdebar kencang. Ia tahu, nama Arif Hidayat adalah kedok baru Raka. Ia melacak alamat galeri tempat Arif memamerkan karyanya. Galeri itu terletak di sebuah distrik seni yang ramai, jauh dari Kota Tua. Arya segera memesan tiket kereta. Ia harus segera pergi, sebelum Raka melakukan pembunuhan berikutnya.

Perjalanan kereta terasa sangat panjang. Arya menatap pemandangan yang bergerak cepat di luar jendela, pikirannya dipenuhi dengan kenangan pahit. Ia teringat bagaimana Raka mempermainkannya di ruang sidang, bagaimana ia kalah, bagaimana karirnya hancur. Ia tidak akan membiarkan itu terjadi lagi. Kali ini, ia akan bermain dengan aturan Raka.

Saat tiba di kota baru, Arya tidak langsung mendatangi galeri. Ia memutuskan untuk mengamati Raka dari jauh. Ia menyamar sebagai seorang turis, menyewa kamar hotel di dekat apartemen Raka, dan menghabiskan hari-harinya mengamati setiap gerak-gerik Raka.

Ia melihat Raka, alias Arif, menjalani kehidupan normal. Pagi hari, ia pergi ke studio, melukis. Siang hari, ia pergi ke kafe, membaca buku, mengamati orang-orang. Malam hari, ia pulang ke apartemennya. Tidak ada yang mencurigakan, tidak ada yang menakutkan. Raka terlihat seperti seorang seniman yang dihormati, seorang pria yang baik. Tapi Arya tahu, di balik topeng itu, ada kegelapan yang mengerikan.

Suatu hari, Arya melihat Raka duduk di sebuah kafe. Raka sedang mengamati seorang wanita muda. Wanita itu adalah seorang mahasiswi seni, yang sering mengunjungi galeri Raka. Arya mengenali wajahnya dari foto sketsa di email anonim. Namanya Lena. Raka sedang merencanakan pembunuhan berikutnya. Arya merasakan adrenalin mengalir deras. Ia harus bertindak.

Arya memutuskan untuk mendekati Lena. Ia memperkenalkan dirinya sebagai seorang detektif swasta dan menjelaskan tentang Raka. Lena tidak percaya. "Arif? Dia orang baik. Dia tidak mungkin seorang pembunuh."

Arya menunjukkan foto-foto kasus Clara dan Sarah, sketsa-sketsa yang ditinggalkan Raka, dan lukisan-lukisan yang ia buat. Lena terkejut. Ia tidak bisa berkata-kata. Ia melihat kemiripan yang mencolok. Ia mulai takut.

"Saya tahu Anda takut," kata Arya. "Tapi Anda harus percaya pada saya. Ia akan membunuh Anda."

Lena setuju untuk membantu Arya. Ia akan menjadi umpan. Arya merencanakan segalanya dengan hati-hati. Ia akan membiarkan Raka mendekatinya, dan saat Raka mencoba membunuhnya, Arya akan menangkapnya.

Malam itu, Lena kembali ke apartemennya. Ia mematikan lampu, dan menunggu. Arya bersembunyi di luar, dengan kamera dan alat perekam. Raka, yang telah mengamati Lena sepanjang hari, melihat lampu di apartemen Lena mati, dan ia tahu, ini adalah saatnya.

Raka masuk ke dalam apartemen Lena melalui jendela yang sengaja dibiarkan terbuka. Ia memakai sarung tangan, membawa pisau, dan sebuah kanvas kecil. Ia masuk ke dalam, dan ia melihat Lena sedang berbaring di tempat tidur, tampak tertidur. Raka mengangkat pisaunya, bersiap untuk mengakhiri nyawa Lena.

"Raka!"

Raka terkejut. Ia menoleh, dan ia melihat Arya berdiri di ambang pintu, dengan senter dan kamera.

"Permainanmu sudah selesai," kata Arya.

Raka tersenyum sinis. "Anda sendirian, Detektif? Anda pikir Anda bisa menangkap saya?"

Arya tidak menjawab. Ia hanya terus merekam. Raka tahu ia tidak bisa melawan. Ia menjatuhkan pisaunya, dan ia mengangkat tangannya. Ia tahu, ia telah kalah.

Keesokan harinya, berita tentang penangkapan Raka menjadi berita utama di seluruh negeri. Detektif Arya, yang dulu dipecat, kini dianggap sebagai pahlawan. Ia telah berhasil menangkap Raka, sang pembunuh berantai, dan ia telah membuktikan dirinya benar.

Di pengadilan, bukti-bukti yang dikumpulkan oleh Arya tidak bisa dibantah. Rekaman video, kesaksian Lena, dan lukisan-lukisan yang ia temukan di studio Raka, semuanya mengarah pada satu kesimpulan. Raka dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman seumur hidup.

Arya kembali ke Kota Tua. Ia kembali bekerja sebagai detektif, dan ia disambut sebagai pahlawan. Ia telah mengakhiri senandung luka yang Raka ciptakan. Ia telah mendapatkan keadilan untuk Clara, Sarah, dan semua korban yang Raka bunuh. Ia telah mengakhiri permainan ini, sekali dan untuk selamanya.

Ia tahu, di dalam penjara, Raka tidak akan berubah. Ia akan tetap menjadi monster. Tapi setidaknya, ia tidak akan bisa membunuh lagi. Ia tidak akan bisa menciptakan luka baru. Senandung luka itu telah berakhir. Dan Arya, yang pernah kalah, kini telah menjadi pemenang sejati.

Ia berdiri di samping makam Clara dan Sarah, meletakkan bunga. "Saya berhasil, saya berhasil menangkapnya," bisiknya. "Senandung luka itu telah berakhir."



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)