Masukan nama pengguna
Lonceng Terakhir
Bab 1: Lonceng di Toko Loak
Kabut tipis merangkak dari lembah, memeluk erat deretan bangunan tua yang berjejer di sepanjang jalan berbatu. Kota tua itu, dengan arsitektur kolonialnya yang kusam dan jendela-jendela berdebu, selalu punya cara untuk menarik Pak Darma. Pria pensiunan yang rambutnya sudah memutih ini sering menghabiskan sorenya berjalan-jalan di sana, mencari potongan sejarah yang mungkin terselip di antara tumpukan barang bekas. Hari itu, langkahnya terhenti di depan sebuah toko loak usang, yang nyaris tak terlihat di balik lumut dan tanaman rambat yang menjalar. Papan namanya, yang sudah lapuk, hanya terbaca samar: "Mbah Raji Antik".
Pak Darma ragu sejenak. Toko itu terlihat gelap dan pengap, dengan bau apak khas barang tua yang sudah lama tak tersentuh. Namun, rasa penasaran menguasai dirinya. Ia mendorong pintu kayu berderit yang seolah enggan terbuka, dan bunyi lonceng angin di atasnya mengumumkan kedatangannya. Di dalam, tumpukan barang memenuhi setiap sudut, dari patung kayu berukir aneh hingga piringan hitam yang retak. Cahaya redup menembus celah-celah atap, menciptakan sorotan yang menari di atas debu yang beterbangan.
Mata Pak Darma menyapu sekeliling, mencari sesuatu yang menarik perhatian. Dan di sanalah ia menemukannya, tersembunyi di balik rak berisi buku-buku kuning yang menggunung. Sebuah lonceng antik kecil dari perunggu, ukurannya tak lebih besar dari kepalan tangan orang dewasa, namun memancarkan kilau yang aneh. Permukaannya diukir dengan motif rumit, seolah menggambarkan jalinan akar pohon atau sulur tanaman, dan sebuah patung burung hantu kecil bertengger di puncaknya, matanya terbuat dari dua batu akik gelap yang berkilau.
Lonceng itu tidak diletakkan begitu saja. Ia berada dalam kotak kaca yang tertutup rapat, dan di bawahnya, sebuah tulisan tangan yang terkesan buru-buru tertera: "TIDAK DIJUAL". Pak Darma mengerutkan kening. Mengapa sebuah barang antik yang begitu menarik dilarang dijual? Ia melangkah mendekat, mengamati lonceng itu dengan seksama. Ada aura misterius yang terpancar darinya, sebuah keheningan yang dalam namun terasa kuat.
"Mbah Raji?" panggil Pak Darma.
Dari balik tumpukan kain batik, muncul seorang lelaki tua bernama Mbah Raji. Tubuhnya kurus dan membungkuk, rambutnya panjang dan tergerai putih seperti kapas, dan matanya yang sayu seolah menyimpan seribu cerita. Ia menatap Pak Darma dengan tatapan yang sulit diartikan, campuran antara kelelahan dan kehati-hatian.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" suaranya serak dan pelan.
"Lonceng itu, Mbah," Pak Darma menunjuk ke arah kotak kaca. "Berapa harganya?"
Mbah Raji menatap lonceng itu, lalu kembali menatap Pak Darma. Ekspresinya mengeras. "Lonceng itu tidak dijual, Pak."
"Saya tahu ada tulisan itu, Mbah. Tapi saya benar-benar tertarik. Jarang sekali saya melihat benda seantik ini yang terawat begitu baik," Pak Darma mencoba membujuk. Ia memang seorang kolektor benda-benda unik, dan lonceng itu memancarkan daya tarik yang tak bisa ia abaikan.
"Bukan masalah terawat atau tidak, Pak. Lonceng itu… ia punya cerita sendiri," Mbah Raji menggeleng pelan, seolah sedang memperingatkan.
Pak Darma tertawa kecil, menganggapnya hanya taktik jual beli. "Cerita apa, Mbah? Apa ada arwah yang menjaga?" ia bergurau.
Mbah Raji tidak tertawa. Matanya yang gelap memandang Pak Darma dengan tatapan tajam. "Lebih dari itu, Pak. Lonceng itu tidak boleh dibunyikan. Sama sekali tidak boleh."
"Saya hanya ingin memajangnya, Mbah. Saya janji tidak akan membunyikannya," Pak Darma bersikeras. Ia sudah terlalu kepincut dengan lonceng itu. Ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan, semacam magnet yang menariknya. Ia menawarkan harga yang jauh lebih tinggi dari perkiraan Mbah Raji, bahkan dua kali lipat dari harga barang antik sejenis.
Mbah Raji terdiam lama, menghela napas berat seolah memikul beban berabad-abad. Tangannya yang keriput mengusap jenggotnya yang putih. Ia menimbang-nimbang, terlihat ada konflik batin yang dalam di wajahnya. Akhirnya, dengan raut pasrah, ia menyerah. "Baiklah, Pak. Saya jual. Tapi ingat syarat saya. Jangan pernah membunyikannya dengan sengaja."
Pak Darma tersenyum puas. Ia mengiyakan, menganggapnya sekadar takhayul atau mitos lama yang biasa menyertai barang-barang antik. Ia membayar lonceng itu, dengan cepat meraihnya dari kotak kaca seolah takut Mbah Raji berubah pikiran. Beratnya terasa mengejutkan di tangannya, seolah mengandung sesuatu yang lebih padat dari sekadar perunggu. Pak Darma segera pamit dan meninggalkan toko itu, meninggalkan Mbah Raji yang berdiri di ambang pintu, menatap punggungnya dengan sorot mata yang penuh kekhawatiran dan penyesalan. Angin berhembus, membawa bisikan-bisikan yang tak terdengar.
Bab 2: Liburan yang Sial
Beberapa minggu berlalu sejak Pak Darma membeli lonceng itu. Ia menempatkannya di meja kerjanya, di samping jendela yang menghadap ke kebun belakang rumahnya yang sepi di lereng pegunungan. Lonceng itu memang terlihat indah di sana, memantulkan cahaya matahari pagi dan menambahkan sentuhan misterius pada ruang kerja Pak Darma yang biasanya rapi dan formal. Ia sering menatapnya, mengagumi ukiran dan materialnya, namun ia selalu ingat peringatan Mbah Raji. Lonceng itu tetap tak tersentuh.
Suatu siang, rumah Pak Darma yang biasanya hening, mendadak ramai. Rony, putra kedua Pak Darma, datang berlibur bersama istri dan anak mereka, Tata, yang baru berusia lima tahun. Rony adalah seorang pria yang ceria dan penuh rasa ingin tahu, sifat yang terkadang membawanya pada masalah. Ia bekerja di kota dan jarang pulang, jadi kedatangannya selalu disambut hangat oleh Pak Darma.
"Ayah! Apa kabar?" Rony memeluk ayahnya erat, lalu tertawa melihat Tata yang langsung berlari menjelajahi rumah.
"Baik, Nak. Kamu sendiri?" jawab Pak Darma, senang melihat keluarganya.
Setelah berbasa-basi dan melepas lelah, Rony berkeliling rumah. Matanya yang jeli tak sengaja menangkap keberadaan lonceng antik di meja kerja ayahnya. Ia melangkah mendekat, mengamatinya dengan rasa ingin tahu.
"Ayah, ini lonceng apa? Baru beli?" Rony bertanya, jarinya nyaris menyentuh permukaan perunggu.
"Itu lonceng antik, Nak. Baru ayah dapat dari toko loak," jawab Pak Darma, suaranya sedikit berubah. "Tapi jangan disentuh, apalagi dibunyikan."
Rony mengerutkan kening. "Kenapa, Yah? Apa itu barang yang sangat rapuh?"
"Bukan. Ada ceritanya. Pemiliknya dulu berpesan jangan sampai dibunyikan," Pak Darma menjelaskan dengan nada serius. Ia tak ingin membuat Rony khawatir, tapi juga ingin memastikan pesannya jelas.
Rony mengangguk-angguk, namun ada kilatan nakal di matanya. Ia tak pernah benar-benar percaya pada hal-hal mistis seperti itu. Ia menganggapnya hanya sebagai bagian dari cerita rakyat atau takhayul orang tua.
Beberapa jam kemudian, Pak Darma pamit keluar sebentar untuk membeli kebutuhan dapur di warung terdekat. Ia meninggalkan Rony, istri Rony, dan Tata di rumah. Saat pintu gerbang tertutup, Rony kembali ke ruang kerja ayahnya. Rasa ingin tahu yang ia tahan sejak tadi, kini meluap. Ia memandang lonceng itu, lalu sekelilingnya. Istrinya sedang menggendong Tata yang tertidur di ruang tamu, dan rumah terasa hening.
"Ah, paling cuma mitos," gumam Rony pada dirinya sendiri, menyentuh lonceng itu. Permukaannya terasa dingin di bawah jemarinya. Bentuknya yang indah dan ukiran rumitnya membuatnya semakin penasaran. Ia membayangkan bagaimana suaranya akan terdengar. Pasti merdu, pikirnya.
Dengan seringai tipis di bibirnya, Rony meraih pemukul kecil yang tergantung di sisi lonceng. Ia mengangkatnya perlahan, lalu dengan sengaja, memukulkannya pada permukaan perunggu.
DENTANG!
Suara lonceng itu bukan seperti denting lonceng biasa. Ia terdengar dalam, bergetar, seolah membawa gema dari masa lalu yang jauh. Suaranya mengisi seluruh ruangan, menembus dinding, dan menyebar ke setiap sudut rumah. Rony tertawa kecil, merasa puas dengan kenakalan kecilnya. "Tidak ada apa-apa, kan?" gumamnya.
Tepat saat itu, pintu depan terbuka. Pak Darma masuk, wajahnya pucat pasi, matanya membelalak ketakutan. Ia terlihat seperti baru saja melihat hantu. Ia berlari masuk ke ruang kerja, menatap lonceng itu, lalu menatap Rony dengan tatapan yang penuh amarah dan keputusasaan.
"Rony! Apa yang kau lakukan?!" suaranya bergetar, tidak seperti Pak Darma yang biasanya tenang.
Rony terkejut melihat reaksi ayahnya. "Ayah, ada apa? Aku cuma… aku cuma membunyikannya sebentar."
"Kau tidak mengerti! Kau tidak seharusnya membunyikannya!" Pak Darma hampir berteriak. Ia segera meraih lonceng itu, menyembunyikannya di belakang punggungnya seolah melindungi benda itu dari dunia, atau sebaliknya, melindungi dunia dari benda itu. Wajahnya yang keriput terlihat lelah, matanya memancarkan rasa takut yang mendalam. Rony belum pernah melihat ayahnya seperti ini. Ia tahu, ada sesuatu yang jauh lebih gelap dari sekadar mitos di balik lonceng perunggu itu.
Bab 3: Malam Pertama Kematian
Malam itu, suasana di rumah Pak Darma terasa aneh. Sebuah selubung ketegangan dan keheningan yang mencekam melingkupi setiap sudut. Pak Darma duduk di ruang tamunya, tatapannya kosong, sesekali melirik ke arah laci meja kerjanya tempat ia menyembunyikan lonceng itu. Rony mencoba bertanya lagi tentang lonceng itu, namun Pak Darma hanya menggelengkan kepala, menolak untuk membahasnya. Istrinya Rony, merasakan aura aneh ini, mencoba menenangkan suaminya dan menjaga Tata agar tidak terlalu banyak bertanya.
Sekitar pukul sembilan malam, semua orang memutuskan untuk tidur. Rumah kembali sunyi, hanya dipecah oleh suara jangkrik dan embusan angin pegunungan. Namun, keheningan itu tidak bertahan lama.
Sekitar tengah malam, gangguan-gangguan kecil mulai terjadi. Pak Darma, yang tidurnya tidak nyenyak, mendengar suara langkah kaki di lantai atas, padahal semua orang sudah tidur. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya imajinasinya. Kemudian, ia mendengar pintu kamar mandi terbuka sendiri dengan bunyi berderit pelan. Ia bangkit dari tempat tidur, memeriksa pintu, dan memang terbuka sedikit. Ia menutupnya kembali, jantungnya berdegup lebih cepat. Tak lama, suara air keran mengalir dari kamar mandi terdengar jelas, seolah seseorang baru saja menyalakannya. Pak Darma bergegas ke sana, namun keran sudah tertutup, dan tidak ada siapa-siapa. Keringat dingin mulai membasahi dahinya.
Rony juga terbangun. Ia mendengar suara-suara aneh itu, dan istrinya juga merasakannya. Mereka mencoba untuk tetap tenang, menganggapnya sebagai efek dari ketegangan yang dibawa oleh ayahnya. Namun, ada perasaan tak nyaman yang merayapi mereka.
Puncaknya terjadi sekitar pukul 2 dini hari. Suara teriakan lirih membangunkan seluruh penghuni rumah. Pak Darma, Rony, dan istrinya bergegas keluar kamar. Suara itu berasal dari kamar mandi utama.
Pak Darma membuka pintu kamar mandi, dan pemandangan yang menyambutnya membuat darahnya seolah membeku. Bu Erna, istri Pak Darma, tergeletak di lantai dingin, di samping bak mandi. Wajahnya membiru, matanya melotot, dan di lehernya, terlihat bekas cekikan yang begitu jelas, seolah ada tangan tak terlihat yang mengikatnya.
Rony berteriak histeris melihat ibunya. Istrinya langsung memeluk Tata yang terbangun dan ketakutan. Pak Darma, meskipun terpukul, mencoba tetap tenang. Ia memeriksa denyut nadi Bu Erna, namun tak ada respons. Ia sudah tiada.
Ambulans dan polisi segera tiba. Setelah pemeriksaan awal, polisi menyatakan penyebab kematian adalah serangan jantung. Tidak ada tanda-tanda perampokan atau kekerasan fisik lainnya di rumah. Namun, Pak Darma tahu, ini bukan serangan jantung biasa. Ia melihat bekas cekikan itu, dan ia tahu, jauh di lubuk hatinya, ini semua akibat dari lonceng itu. Ia merasa bersalah yang amat sangat. Ia menatap laci terkunci tempat ia menyembunyikan lonceng itu, sebuah benda yang ia inginkan, kini telah membawa petaka. Ia tidak mengatakan apa-apa kepada polisi, tidak ada gunanya, mereka tidak akan percaya. Bagaimana ia bisa menjelaskan tentang lonceng terkutuk yang ia beli dari toko loak? Ia hanya bisa diam, menanggung beban kesedihan dan ketakutan yang mendalam.
Bab 4: Satu Demi Satu
Pemakaman Bu Erna berlangsung dalam suasana duka yang mencekam. Pak Darma terlihat rapuh, bayangan hitam tercetak di bawah matanya. Rony masih terguncang, tak bisa menerima kepergian ibunya yang begitu mendadak dan misterius. Tata, masih terlalu kecil untuk memahami, hanya bisa merengek mencari neneknya.
Beberapa hari kemudian, dua anak lain Pak Darma, Niko (putra sulung) bersama istrinya, dan Dita (putri bungsu) bersama anak lelakinya, Gino, datang menjenguk karena kabar duka. Niko adalah seorang pengusaha sukses, pragmatis, dan skeptis terhadap hal-hal takhayul. Dita, sebaliknya, lebih peka dan intuitif, dengan minat pada sejarah dan cerita-cerita lama. Kedatangan mereka membawa sedikit kehangatan, namun ketegangan masih terasa di rumah itu.
Malam harinya, keluarga berkumpul di ruang tamu. Mereka mencoba mengenang Bu Erna, namun percakapan sering terhenti, digantikan oleh keheningan yang canggung. Pak Darma sesekali melirik ke arah laci di ruang kerjanya. Lonceng itu, kini terasa seperti bom waktu yang tersembunyi di dalam rumah.
"Ayah, apa yang sebenarnya terjadi pada Ibu?" tanya Niko, mencoba menggali informasi. "Polisi bilang serangan jantung, tapi kenapa Ayah terlihat begitu khawatir?"
Pak Darma hanya menggelengkan kepala, tidak berani bicara. "Sudahlah, Nak. Jangan dipikirkan lagi. Ibu sudah tenang di sana."
Dita, yang melihat kegelisahan ayahnya, mencoba meredakan suasana. "Mungkin kita semua masih syok, Yah. Kita butuh waktu."
Namun, malapetaka belum berakhir. Malam berikutnya, kengerian kembali menyelimuti rumah.
Rony, yang masih merasa terganggu oleh insiden lonceng dan kematian ibunya, memutuskan untuk tidur lebih awal. Ia terbangun di tengah malam, merasakan sesak napas yang aneh. Ia mencoba berteriak, namun suaranya tercekat. Matanya melotot, melihat bayangan gelap yang bergerak cepat di sekelilingnya, seolah ada sesuatu yang tak terlihat mencekiknya. Ia berusaha berontak, namun kekuatannya perlahan hilang.
Keesokan paginya, istri Rony terbangun dan menemukan suaminya tergantung di tengah kamar, seolah ada tali tak kasat mata yang menjerat lehernya. Matanya terbelalak, dan tubuhnya membiru seperti mayat Bu Erna. Jeritannya memecah keheningan pagi.
Seketika, rumah kembali hiruk pikuk. Polisi kembali datang. Kali ini, mereka mulai sedikit curiga. Dua kematian dalam waktu singkat, dengan pola yang mirip. Namun, tidak ada bukti forensik yang kuat. Mereka mencatat sebagai kasus bunuh diri akibat depresi dan serangan jantung kembali.
Saat polisi sedang menginvestigasi, istri Rony, yang masih dalam keadaan syok, tiba-tiba jatuh kejang-kejang. Tubuhnya bergetar hebat, matanya membalik ke atas, dan dari mulutnya keluar busa. Niko dan Dita segera membantunya, namun tak ada yang bisa mereka lakukan. Dalam hitungan menit, kejang itu berhenti. Ia terbaring tak bernyawa di lantai, tampak seperti dicekik oleh sesuatu yang tak terlihat, sama seperti Bu Erna dan Rony.
Keluarga Pak Darma dilanda keputusasaan. Niko, yang biasanya tenang, kini terlihat panik. Dita menangis tanpa henti. Mereka semua terkejut. Ada yang tidak beres. Ini bukan kebetulan. Ini adalah kutukan.
Pak Darma duduk di sudut, memeluk lututnya, wajahnya tertutup tangan. Air matanya mengalir deras. Ia tahu, ini adalah harga dari keserakahannya, dari rasa ingin tahu yang tak terkendali. Lonceng itu. Lonceng perunggu terkutuk itu. Setiap dentangnya, ia membawa kematian. Ia tahu, tapi ia terlalu takut untuk mengungkapkannya.
Bab 5: Teror Tidak Berhenti
Kehilangan yang beruntun membuat rumah Pak Darma terasa seperti kuburan. Setiap sudutnya menyimpan kenangan pahit, setiap hembusan angin seolah membawa bisikan duka. Niko dan Dita, meskipun berduka, kini mulai diselimuti ketakutan yang dalam. Mereka tidak bisa lagi mengabaikan keanehan ini.
Malam-malam berikutnya, teror tidak berhenti. Bahkan semakin parah.
Niko, yang berusaha tetap tegar demi keluarganya, tidur di kamar tamu bersama kedua anaknya yang masih kecil, berusia tujuh dan sembilan tahun. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa ini semua hanyalah mimpi buruk, namun setiap suara kecil membuat jantungnya berdebar.
Tengah malam, Niko terbangun oleh suara isakan pelan. Ia bangkit, menyalakan lampu, dan melihat ke arah tempat tidur kedua anaknya. Pemandangan itu membuatnya berteriak, tenggorokannya tercekat.
Kedua cucu lainnya – anak dari Niko – mati dalam tidur mereka. Wajah mereka pucat pasi, mulut menganga seolah berusaha berteriak, dan mata melotot seperti melihat sesuatu yang teramat mengerikan di detik-detakhir hidup mereka. Tidak ada bekas cekikan, tidak ada tanda kekerasan. Hanya kengerian yang terlukis jelas di wajah-wajah kecil itu.
Niko jatuh berlutut, memeluk jasad kedua anaknya, meraung pilu. Istrinya, yang terbangun oleh teriakan Niko, langsung pingsan melihat pemandangan itu.
Dita, yang mendengar keributan, segera berlari ke kamar Niko. Ia melihat kengerian itu, dan seketika ia tahu. Ini bukan sekadar kebetulan. Ini adalah pembantaian. Sebuah kekuatan tak terlihat sedang mencabuti nyawa keluarganya satu per satu.
"Ayah! Ayah! Ada apa ini?!" Dita berteriak, air matanya tak henti mengalir. "Ini tidak masuk akal! Ini bukan alamiah!"
Pak Darma muncul di ambang pintu, wajahnya kusam, matanya merah. Ia tak bisa lagi menyembunyikan penderitaannya. Ia hanya bisa menggelengkan kepala, seolah semua ini adalah mimpi buruk yang tak kunjung usai.
Dita, yang sebelumnya ragu, kini punya tekad bulat. Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia merasa ada benang merah yang menghubungkan semua kematian ini, dan ia yakin itu ada kaitannya dengan lonceng antik yang Pak Darma sembunyikan. Ia teringat percakapan Rony dengan ayahnya, tentang lonceng yang tak boleh dibunyikan.
Dengan gemetar, Dita pergi ke ruang kerja ayahnya. Ia mencoba membuka laci tempat lonceng itu disimpan, namun terkunci. Ia mencari kunci, dan menemukannya di bawah vas bunga di dekat meja. Tangannya bergetar saat membuka laci. Di sana, terbaring lonceng perunggu itu, memancarkan aura dingin yang menusuk.
Ia mengambil lonceng itu, mengamatinya dengan seksama. Ukiran-ukiran rumit itu kini terlihat lebih menakutkan, seperti simbol-simbol kuno yang menyimpan rahasia gelap. Ia mulai mengingat-ingat cerita rakyat dan mitos lama yang sering ia baca.
Dita membawa lonceng itu ke kamarnya, lalu membuka laptop. Ia mencari informasi di internet, menggunakan kata kunci seperti "lonceng antik", "lonceng terkutuk", "kutukan lonceng". Ia membaca banyak artikel tentang benda-benda terkutuk, ritual kuno, dan pemanggilan arwah.
Setelah berjam-jam pencarian yang melelahkan, ia menemukan sebuah artikel dalam bahasa kuno, yang menyebutkan tentang sebuah lonceng perunggu yang identik dengan lonceng yang ada di tangannya. Artikel itu menjelaskan bahwa lonceng tersebut dulu dipakai dalam ritual pemanggilan arwah oleh sebuah sekte kuno. Lonceng itu disebut "Lonceng Penjemput Jiwa", dikutuk untuk menjemput jiwa tiap kali dibunyikan. Setiap dentangannya, akan memanggil entitas gelap yang akan mengambil nyawa sepuluh orang, satu per satu, sampai genap jumlahnya. Korban dipilih secara acak, dimulai dari orang yang paling dekat dengan lokasi dentang.
Dita membaca itu, dan rasa takutnya berubah menjadi kengerian yang pekat. Jantungnya berdebar-debar seperti genderang perang. Ibu, Rony, istrinya Rony, kedua keponakannya… semua adalah korban. Ia menghitung, ada lima orang yang sudah tewas. Lima lagi? Atau sepuluh, dari setiap dentang?
Ia ingat Pak Darma mengatakan Rony hanya membunyikan lonceng itu sekali. Jika itu benar, maka ini adalah kutukan yang membutuhkan sepuluh korban. Ia menatap lonceng itu dengan tatapan jijik dan marah. Benda ini adalah sumber dari semua penderitaan ini.
Bab 6: Kebenaran Terungkap
Pagi berikutnya, Dita menghadapi Pak Darma. Ia membawa lonceng itu dan menaruhnya di meja. Wajahnya keras, penuh kemarahan dan kesedihan.
"Ayah! Katakan padaku! Apa ini semua ada hubungannya dengan lonceng ini?!" Dita menuntut, suaranya bergetar. Ia menceritakan apa yang ia temukan dari artikel kuno itu.
Pak Darma menatap lonceng itu, lalu menatap Dita dengan mata yang berkaca-kaca. Ia tidak bisa lagi menyembunyikannya. Beban itu terlalu berat untuk ia tanggung sendiri.
"Dita… maafkan Ayah," suaranya nyaris tak terdengar. "Ayah tahu… Ayah tahu sejak awal."
Dita terhenyak. "Ayah tahu? Ayah tahu ini adalah benda terkutuk?! Dan Ayah menyembunyikannya dari kami?!"
Pak Darma mengangguk lemah. "Mbah Raji sudah memperingatkan Ayah. Ia bilang jangan pernah membunyikannya. Tapi Ayah… Ayah tidak percaya. Ayah pikir itu hanya cerita kosong. Dan saat Rony membunyikannya… Ayah tahu semuanya akan dimulai."
Ia menceritakan tentang mimpinya. Sejak Rony membunyikan lonceng itu, ia mulai dihantui mimpi buruk setiap malam. Dalam mimpinya, ia melihat bayangan-bayangan gelap mengintai, mendengar bisikan-bisikan mengerikan yang berulang kali menyebutkan angka sepuluh. "Akan ada sepuluh korban, Darma. Sepuluh nyawa untuk setiap dentangan."
"Ayah… Ayah menyembunyikan kenyataan ini dari kami karena malu dan takut," lanjut Pak Darma, air matanya menetes. "Ayah tidak ingin kalian tahu bahwa Ayahlah yang membawa petaka ini ke rumah kita. Ayah pikir, jika Ayah menyembunyikan lonceng itu, kutukan akan berhenti."
Dita menggelengkan kepala, tak percaya. "Tapi Ayah, kita sudah kehilangan Ibu, Rony, istrinya Rony, dan dua keponakanku! Total sudah lima orang!"
Pak Darma memejamkan mata, wajahnya berkerut menahan sakit. "Bukan lima, Nak. Ada sembilan."
Dita terkejut. "Sembilan? Siapa lagi?"
Pak Darma menunjuk ke arah Niko, yang kini tergeletak tak sadarkan diri di sofa, setelah pingsan karena syok melihat kematian kedua anaknya. "Istri Niko juga meninggal, tadi pagi… saat kau sibuk mencari tahu."
Dita menatap Niko, dan ya, ia melihat istrinya tergeletak tak bernyawa di sampingnya. Kengerian yang menjalar di tubuhnya semakin dalam. Jadi, sudah enam orang. Lima ditambah istri Niko yang baru saja Dita sadari.
Pak Darma melanjutkan dengan suara parau. "Dan di rumah sakit, dokter juga menyatakan istri Niko meninggal, bukan karena serangan jantung, tapi karena kejang-kejang parah. Tubuhnya juga membiru, persis seperti yang lain."
Dita menghitung. Ibu, Rony, istri Rony, dua anak Niko, istri Niko. Itu sudah enam. "Tapi Ayah bilang sembilan?"
Pak Darma mengangguk. "Tiga lagi… tiga lagi akan mati. Ayah tidak tahu siapa. Tapi Ayah dengar bisikan itu lagi. 'Sembilan sudah, satu lagi untuk genap.'"
Dita merasa perutnya mual. Mereka sudah kehilangan begitu banyak. Siapa lagi yang akan menjadi korban?
"Jadi, total sudah sembilan orang tewas," Pak Darma melanjutkan, suaranya putus asa. "Kutukan itu mengatakan, ada sepuluh korban setiap kali lonceng dibunyikan."
Ia menatap Dita, lalu ke arah Gino, anak lelaki Dita yang sedang bermain di sudut ruangan, tak menyadari kengerian yang melingkupinya. Pak Darma menatap Dita dan Gino dengan tatapan yang penuh kasih sayang dan ketakutan.
"Kini tinggal Dita dan anak lelakinya, Gino," suara Pak Darma bergetar. "Ayah tahu, Nak. Ayah tahu bahwa satu korban lagi dibutuhkan agar kutukan berhenti."
Dita terperanjat. Kata-kata itu menusuknya seperti pisau. Satu korban lagi. Siapa? Dirinya? Gino? Pak Darma? Pikiran itu berputar-putar di benaknya, menciptakan horor yang tak terlukiskan. Ia memandang lonceng terkutuk itu, yang kini terasa seperti sebuah entitas hidup yang haus darah.
Bab 7: Korban Terakhir
Malam itu, di rumah yang kini terasa dingin dan kosong, Dita tak bisa tidur. Kata-kata ayahnya terus terngiang di benaknya: "Satu korban lagi dibutuhkan agar kutukan berhenti." Ia memandang Gino yang tidur pulas di sampingnya, jantungnya mencelos. Tidak, ia tidak akan membiarkan Gino menjadi korban selanjutnya. Ia akan melindungi anaknya dengan nyawanya.
Pagi menjelang. Dita melihat Pak Darma. Wajahnya terlihat jauh lebih tenang, namun dengan sebuah keteguhan yang mengerikan. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Dita merasa tak nyaman.
"Ayah, kita harus melakukan sesuatu. Kita harus menghentikan ini!" Dita berujar, berusaha mencari solusi. Ia sudah membaca beberapa ritual kuno untuk mematahkan kutukan, namun semuanya terdengar mustahil dan berbahaya.
Pak Darma hanya tersenyum tipis, senyum yang terasa pahit. "Sudah ada cara, Nak. Ayah sudah menemukan cara."
Dita tidak mengerti apa yang dimaksud ayahnya. Ia melihat Pak Darma pergi ke ruang kerjanya, tempat lonceng itu berada.
Dita merasakan firasat buruk yang kuat. Ia segera mengikuti ayahnya. Saat ia tiba di ambang pintu, pemandangan itu membuat darahnya membeku.
Pak Darma sudah berdiri di tengah ruangan, di samping meja kerjanya. Ia memegang secarik kertas yang sudah ditulisnya, dan di tangannya yang lain, sebuah tali tambang. Lonceng perunggu itu diletakkan kembali di atas meja, seolah menanti.
"Ayah! Apa yang Ayah lakukan?!" Dita berteriak, panik.
Pak Darma menoleh, matanya dipenuhi dengan kesedihan yang mendalam, namun juga ketenangan yang aneh. "Ini adalah satu-satunya cara, Nak. Ini adalah dosa Ayah. Ayahlah yang membawa lonceng ini ke rumah. Ayahlah yang harus mengakhirinya."
Ia meletakkan surat itu di atas meja. Itu adalah surat pengakuan, menjelaskan semua yang terjadi, tentang lonceng itu, tentang kutukan, dan tentang keputusan terakhirnya. Ia tidak ingin Dita dan Gino hidup dalam bayangan kengerian ini lebih lama lagi.
"Ayah tidak bisa membiarkan kalian berdua menjadi korban selanjutnya," kata Pak Darma, suaranya bergetar namun tegas. "Satu korban lagi untuk menggenapkan jumlahnya, untuk menghentikan kutukan ini. Ayah harus menjadi korban terakhir."
Dita menangis histeris. "Tidak, Ayah! Jangan! Kita bisa cari cara lain!"
Pak Darma menggeleng. "Tidak ada cara lain, Dita. Ayah sudah melihatnya. Ini adalah takdir Ayah. Jaga Gino baik-baik, Nak. Hidup yang bahagia."
Sebelum Dita sempat melakukan apa-apa, Pak Darma dengan cepat menggantungkan tali tambang itu di balok kayu di atas meja kerja, tempat pertama lonceng itu diletakkan. Ia melilitkan tali di lehernya.
"Ayah!" Dita menjerit, berlari ke arahnya.
Namun, sudah terlambat. Pak Darma menghempaskan tubuhnya. Seketika, tubuhnya tergantung, matanya tertutup rapat, dan hembusan napas terakhirnya keluar.
Dita jatuh berlutut, menangis tersedu-sedu melihat ayahnya. Ia tidak bisa menyelamatkannya. Ia merasa hancur, namun di tengah kesedihan yang mendalam, ia merasakan perubahan.
Setelah kematian Pak Darma, rumah menjadi tenang. Keheningan yang mencekam sebelumnya, kini berganti dengan ketenangan yang damai. Udara terasa lebih ringan, dan bayangan-bayangan gelap yang selama ini mengintai seolah lenyap. Kutukan itu telah tergenapi.
Dita, meskipun hatinya hancur, tahu bahwa pengorbanan ayahnya tidak sia-sia. Ia dan Gino selamat. Kutukan itu berakhir.
Dengan sisa-sisa kekuatannya, Dita mengambil lonceng perunggu itu dari meja. Ia membawanya keluar, ke pekarangan belakang rumah. Dengan bantuan beberapa tetangga yang iba, ia menggali lubang yang dalam. Ia kemudian mencari sebuah kotak besi tua yang dulu dipakai untuk menyimpan perkakas, dan meletakkan lonceng itu di dalamnya. Ia menutup kotak itu rapat-rapat, lalu menguburkannya di dalam tanah, di bawah pohon beringin tua. Ia berharap, dengan terkuburnya lonceng itu, kengerian ini akan terkubur selamanya.
Bab 8: Warisan yang Terlupakan
Waktu berlalu. Bulan berganti, tahun berganti. Dita, yang masih diliputi trauma mendalam, memutuskan untuk menjual rumah itu. Terlalu banyak kenangan buruk, terlalu banyak bayangan kematian yang menghantui setiap sudut. Rumah itu, yang dulunya penuh tawa dan kehangatan, kini terasa seperti monumen kesedihan. Ia pindah ke luar kota bersama Gino, berusaha memulai hidup baru, jauh dari jejak-jejak kengerian masa lalu.
Gino, seiring berjalannya waktu, tumbuh menjadi anak yang ceria, meskipun terkadang ia bertanya tentang kakek, nenek, dan paman-pamannya yang ia tak sempat kenal. Dita hanya bisa menceritakan hal-hal yang baik, menyembunyikan sisi gelap dari tragedi yang menimpa keluarga mereka. Lonceng itu, bagi Dita, adalah memori yang terkunci rapat di dalam lubang di pekarangan belakang rumah lama.
Rumah Pak Darma akhirnya terjual. Pembelinya adalah sebuah keluarga muda yang tidak tahu menahu tentang sejarah kelam rumah itu. Sebelum mereka pindah, beberapa petugas pembersih dikirim untuk membersihkan dan merapikan rumah. Mereka bekerja dengan teliti, membersihkan setiap sudut, membuang barang-barang yang sudah tidak terpakai, dan menyortir barang-barang yang bisa diselamatkan.
Saat acara Doa bersama peringatan hari kematian Pak Darma, yang diselenggarakan secara sederhana karena sebagian besar keluarga sudah tiada, seorang kerabat jauh bernama Pak Harun datang. Pak Harun adalah sepupu jauh Pak Darma, yang sudah lama tidak bertemu. Ia datang dari kota lain setelah .
Setelah pemakaman, Pak Harun memutuskan untuk menjenguk rumah Pak Darma. Ia ingin melihat rumah tempat sepupunya menghabiskan masa tuanya. Rumah itu sudah setengah kosong, beberapa perabot sudah diangkut.
Saat Pak Harun berjalan-jalan di dalam rumah, matanya tertuju pada sebuah lemari kenangan di ruang tamu. Lemari itu berisi beberapa foto keluarga dan benda-benda kecil yang sentimental. Di salah satu rak, ia melihat sebuah lonceng antik kecil dari perunggu.
Petugas pembersih rumah, yang tidak tahu sejarahnya, telah menemukan lonceng itu saat membersihkan pekarangan belakang. Mereka menemukan kotak besi yang terkubur di bawah pohon beringin. Mengira itu adalah barang berharga yang sengaja disembunyikan oleh pemilik sebelumnya, mereka membawanya keluar, membuka kotak itu, dan menemukan lonceng perunggu itu. Mereka menganggapnya sebagai benda antik yang indah, dan dengan polosnya, meletakkannya kembali di lemari kenangan, seolah-olah itu adalah salah satu barang kesayangan Pak Darma. Mereka tidak tahu bahwa benda itu adalah sumber dari semua kengerian yang pernah terjadi di rumah itu.
Pak Harun melangkah mendekat, mengamati lonceng itu. Ukirannya yang rumit dan kilau perunggunya yang gelap memancarkan daya tarik yang kuat. Ia mengangkatnya, merasakan beratnya di tangannya. Lonceng itu terasa dingin, namun ada energi aneh yang terpancar darinya. Ia tidak bertanya kepada siapa pun tentang lonceng itu. Ia tidak tahu tentang mitos, kutukan, atau pengorbanan yang terjadi. Ia hanya melihat sebuah benda antik yang unik dan menarik.
"Ini bagus sekali," gumamnya pada diri sendiri. "Pasti punya nilai historis."
Tanpa bertanya atau meminta izin kepada siapa pun, Pak Harun mengambil lonceng itu. Ia memutuskan untuk membawanya pulang, menambah koleksi barang antik kecilnya. Ia menganggapnya sebagai kenang-kenangan dari Pak Darma, warisan yang indah. Ia tidak tahu bahwa ia sedang membawa pulang sebuah bom waktu, sebuah warisan yang terlupakan, yang akan segera meledak dan membawa kengerian yang sama ke dalam hidupnya.
Bab 9: Lonceng Terakhir
Perjalanan pulang terasa lancar bagi Pak Harun. Ia tiba di rumahnya di sebuah kota kecil yang tenang, di pinggiran. Istrinya menyambutnya dengan senyum.
"Dari mana saja, Mas? Kok senyum-senyum begitu?" tanya istrinya, melihat Pak Harun yang memegang sebuah benda terbungkus kain.
Pak Harun tersenyum lebar. "Lihat, Bu! Aku menemukan ini di rumah almarhum Pak Darma. Lonceng antik yang sangat indah!"
Ia mengeluarkan lonceng itu dari kain pembungkusnya, memperlihatkannya kepada istrinya. Istrinya mengagumi ukiran rumit dan kilau perunggunya.
"Wah, bagus sekali, Mas! Antik ini," katanya.
Pak Harun mengangguk bangga. Ia meletakkan lonceng itu di atas meja di ruang tamu, membiarkan cahaya lampu menerangi permukaannya. Ia memandangnya, terpesona oleh keindahannya.
"Suaranya bagus nggak, ya?" katanya sambil tertawa, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada istrinya. Ia teringat akan Mbah Raji yang melarang Pak Darma membunyikannya. Namun, ia tidak tahu cerita lengkap di balik peringatan itu. Ia hanya menganggapnya sebagai anekdot lucu dari seorang pedagang antik yang eksentrik.
Dengan jari-jarinya, Pak Harun meraih pemukul kecil yang masih terpasang di sisi lonceng. Ia mengangkatnya perlahan, lalu dengan sengaja, memukulkannya pada permukaan perunggu.
DENTANG!
Suara lonceng itu kembali terdengar. Dalam, bergetar, dan membawa gema yang tak menyenangkan. Sebuah suara yang familiar bagi mereka yang pernah mendengarnya di rumah Pak Darma.
Di luar, angin kencang berhembus tiba-tiba, meskipun langit cerah sebelumnya. Daun-daun berguguran dari pohon, dan ranting-ranting bergesekan menciptakan suara menyeramkan. Jendela-jendela berderak, seolah ada sesuatu yang besar sedang bergerak di kegelapan.
Lonceng pun berdentang… dan semuanya kembali dimulai.
Suara langkah-langkah di lantai atas. Pintu-pintu yang terbuka dan tertutup sendiri. Bisikan-bisikan yang tak jelas asalnya.
Malam itu, Pak Harun terbangun. Ia mendengar suara istrinya terbatuk-batuk di kamar sebelah. Ia bergegas masuk. Istrinya terbaring di tempat tidur, wajahnya membiru, matanya melotot. Tangan Pak Harun yang gemetar menyentuh leher istrinya. Ada bekas cekikan yang jelas.
Jeritan Pak Harun memecah keheningan malam. Ia tahu, ia tidak tahu bagaimana, tapi ia tahu. Sesuatu yang mengerikan telah dilepaskan kembali.
Lonceng itu.
Kutukan itu.
Dan teror akan kembali berulang, mencabut nyawa satu per satu, sampai sepuluh korban kembali jatuh. Sebuah siklus tanpa henti yang diawali oleh rasa ingin tahu yang tak terkendali, dan diakhiri oleh kematian yang tak terhindarkan.
TAMAT