Cerpen
Disukai
0
Dilihat
623
Labirin Jiwa
Horor

Di ruang praktik yang remang-remang, Dr. Alvian menghela napas panjang. Jam dinding menunjukkan pukul delapan malam, tetapi di mejanya masih ada setumpuk berkas pasien yang menunggu. Hujan di luar mengetuk jendela, seolah ikut merasakan kelelahan yang membebani bahunya. Setelah sepuluh tahun berpraktik, ia telah mendengar ribuan kisah: trauma masa kecil, kecemasan yang melumpuhkan, depresi yang menghanyutkan. Ia terbiasa menjadi telinga yang mendengar dan pikiran yang menganalisis, tetapi ia selalu menjaga jarak. Ia percaya, seorang psikolog harus seperti cermin jernih, merefleksikan masalah pasien tanpa pernah terpengaruh olehnya.

Pasien terakhirnya hari itu adalah Kinar, seorang seniman berusia dua puluhan yang memiliki bakat luar biasa dalam melukis, tetapi terperosok dalam jurang halusinasi yang tak berujung. Alvian sudah menanganinya selama enam bulan, dan ini adalah sesi terakhir mereka sebelum Kinar dirujuk ke psikiater. Kinar bukan pasien biasa. Halusinasinya begitu detail, begitu nyata, hingga Alvian sendiri kadang merasa merinding. Kinar tidak melihat monster atau makhluk mengerikan, melainkan sesuatu yang jauh lebih abstrak: Labirin Jiwa.

Kinar menjelaskan, "Setiap orang punya labirin, Dokter. Terbuat dari pikiran-pikiran yang terpendam, ketakutan yang terkunci, dan kenangan yang dilupakan. Labirin saya terbuat dari warna-warna yang berteriak, dari kuas yang melompat-lompat tanpa kendali." Alvian mendengarkan dengan saksama, mencatat setiap detail. Ia melihat metafora itu sebagai manifestasi visual dari kekacauan di pikiran Kinar.

"Dan saya bisa melihat labirin orang lain, Dokter," Kinar melanjutkan, suaranya pelan dan serak. "Labirin Dokter Alvian... dindingnya sangat tebal. Terbuat dari beton dan baja. Tidak ada pintu sama sekali."

Alvian tersenyum tipis, "Itu karena saya harus tetap objektif, Kinar. Saya tidak bisa membiarkan diri saya terjebak dalam masalah pasien saya."

Kinar menggelengkan kepalanya, matanya yang besar dan hitam menatap lurus ke mata Alvian. "Bukan itu, Dokter. Itu bukan tentang pasien. Itu tentang diri Dokter sendiri. Labirin itu... bukan hanya penjara, tapi juga magnet. Semakin dalam Dokter mencoba menembus labirin orang lain, semakin besar kemungkinan Dokter tertarik ke dalam labirin Dokter sendiri."

Pernyataan itu membuat Alvian sedikit tidak nyaman, tetapi ia menyembunyikannya dengan senyum profesional. "Terima kasih atas nasihatnya, Kinar. Tapi itu hanya metafora. Anda harus fokus pada realitas, bukan pada metafora yang Anda ciptakan."

Kinar terdiam sejenak, lalu ia tersenyum, senyum yang begitu tulus hingga membuat Alvian bertanya-tanya. "Tentu, Dokter. Tapi hati-hati. Terkadang, metafora bisa menjadi jauh lebih nyata dari yang kita kira." Sesi berakhir di sana. Kinar mengucapkan terima kasih, dan melangkah keluar dari ruangan dengan langkah ringan, seolah beban berat telah diangkat dari bahunya.

Setelah Kinar pergi, Alvian duduk sendirian di ruangan itu. Ia membuka laci mejanya, mengambil sebotol air mineral, dan meneguknya perlahan. Peringatan Kinar terus berputar di kepalanya. "Labirin... magnet..." Ia mencoba mengusir pikiran itu. Itu hanya halusinasi seorang pasien. Ia seorang profesional, ia telah terlatih untuk membedakan antara realitas dan ilusi.

Ia mulai membereskan mejanya, menyimpan berkas-berkas pasien. Saat ia meraih berkas Kinar, sesuatu yang aneh terjadi. Berkas itu terasa sangat dingin, dingin yang menusuk hingga ke tulang. Alvian tertegun. Ia meletakkan berkas itu kembali, dan rasa dingin itu menghilang. Ia mengambilnya lagi, dan rasa dingin itu kembali. Alvian mengangkat alisnya. Mungkin hanya perasaan. Ia memasukkan berkas itu ke dalam laci.

Saat ia membalikkan badannya untuk mengambil tasnya, ia melihat bayangan bergerak di cermin yang tergantung di dinding. Itu adalah bayangannya sendiri, tetapi bayangan itu tersenyum. Alvian tidak tersenyum. Wajahnya datar. Ia membeku. Bayangan itu menatapnya, lalu senyum itu melebar, menampakkan gigi putih. Alvian menoleh cepat, tetapi cermin itu hanya menunjukkan pantulan dirinya yang lelah dan tidak tersenyum. Jantungnya berdebar kencang. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanya efek dari kelelahan.

Ia mengambil tasnya dan melangkah keluar dari ruangan, mengunci pintu. Saat ia berjalan di koridor, ia merasakan bisikan samar. Bisikan-bisikan itu tidak bisa ia tangkap, tetapi suaranya terasa familiar, seolah ia pernah mendengar bisikan-bisikan itu di masa lalu. Ia mempercepat langkahnya, ingin segera keluar dari klinik yang terasa semakin mencekam.

Malam itu, Alvian tidak bisa tidur. Peringatan Kinar, bayangan di cermin, bisikan-bisikan... semuanya berputar di kepalanya. Ia mencoba membaca buku, tetapi matanya terus menatap kosong ke halaman. Ia mencoba mendengarkan musik, tetapi yang ia dengar hanyalah bisikan-bisikan itu, yang sekarang terdengar seperti bisikan-bisikan yang datang dari dalam dirinya sendiri. Ia merasa ada sesuatu yang salah. Ia merasa ada sesuatu yang telah berubah. Ia merasa, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak memegang kendali atas pikirannya sendiri.

Tengah malam, Alvian akhirnya tertidur, tetapi tidurnya tidak nyenyak. Ia bermimpi aneh. Ia berada di dalam kliniknya, tetapi kliniknya tak berujung. Koridor-koridor yang familiar terbentang di hadapannya, tetapi tak peduli seberapa jauh ia berjalan, ia tidak pernah sampai ke pintu keluar. Di setiap pintu di sepanjang koridor, ada refleksi dirinya. Refleksi-refleksi itu menatapnya dengan berbagai ekspresi: ketakutan, kesedihan, kemarahan. Ia mencoba berbicara kepada mereka, tetapi mereka tidak menjawab. Mereka hanya menatapnya, seolah-olah mereka adalah bagian-bagian dirinya yang telah lama ia tinggalkan.

Mimpi itu begitu nyata, begitu jelas, hingga saat ia terbangun, ia merasa bahwa ia masih berada di dalam koridor-koridor itu. Ia melihat sekeliling, memastikan ia berada di kamarnya sendiri. Ia melihat tangannya, memastikan itu adalah tangannya sendiri. Ia mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih kencang. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya mimpi, mimpi yang berasal dari kelelahan dan stres.

Namun, saat ia menatap jam, ia melihat jarum jam bergerak mundur. Ia menggosok matanya. Jarum jam kembali ke posisi semula, bergerak maju. Alvian menelan ludah. Ia melangkah ke cermin, menatap pantulannya sendiri. Ia melihat dirinya, tetapi di matanya, ia melihat kebingungan dan ketakutan. Ketakutan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ketakutan yang seolah berasal dari dalam, dari tempat yang paling dalam di jiwanya. Ia adalah seorang dokter, seorang penyembuh pikiran. Tetapi ia tidak bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Ia merasa, untuk pertama kalinya, ia sedang berada di ambang kehancuran. Dan ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

Rasa dingin yang menusuk tulang itu tidak pergi. Bahkan setelah Alvian bangkit dari kasur, rasa dingin itu seolah melekat di kulitnya, seperti embun pagi yang tak mau menguap. Ia mencoba mengabaikannya, mengatakan pada dirinya sendiri bahwa itu hanya efek dari kurang tidur. Ia mandi, memakai setelan kerjanya, dan mencoba menjalani hari seperti biasa. Namun, ada yang berbeda. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seolah ia sedang berjalan di bawah air.

Di ruang kerjanya, ia duduk di balik mejanya, mencoba fokus pada berkas pasien berikutnya. Namanya Pak Heru, seorang pria paruh baya yang menderita kecemasan sosial. Alvian mulai membaca riwayatnya, tetapi matanya terus-menerus melirik ke arah cermin di dinding. Ia melihat refleksi dirinya yang tampak normal, tetapi ia merasa tidak ada yang normal. Ia merasa ada sesuatu yang bersembunyi di balik matanya, sesuatu yang tidak ia kenal.

Ia mencoba melanjutkan, tetapi tiba-tiba ia mendengar suara berderit. Suara itu berasal dari laci mejanya. Alvian berhenti membaca, menatap laci itu. Laci itu berderit lagi. Ia mengernyitkan dahi. Ia tahu laci itu tidak pernah berderit. Dengan ragu, ia membuka laci itu. Di dalamnya, berkas pasien yang tadi malam ia simpan, kini berada di atas tumpukan berkas lainnya. Berkas Kinar. Alvian yakin ia meletakkan berkas itu di paling bawah.

Jantungnya berdebar kencang. Ia mengambil berkas itu, dan rasa dingin yang sama kembali menusuk tangannya. Ia meletakkan berkas itu di meja, tetapi kali ini ia melihat sesuatu yang berbeda. Ada sebuah sketsa kecil di halaman depan berkas itu, sebuah sketsa yang tidak ada di sana sebelumnya. Sketsa itu adalah gambar sebuah labirin, dengan satu titik kecil di tengahnya. Di bawah sketsa itu, ada tulisan tangan yang familiar: "Selamat datang, Dokter." Itu adalah tulisan tangan Kinar.

Alvian merasa tenggorokannya tercekat. Ini tidak mungkin. Ia telah mengunci laci itu. Tidak ada orang lain di klinik selain dirinya. Ia mengambil bolpoin, dan mencoba menghapus sketsa itu, tetapi tinta bolpoinnya seolah tidak mau menempel di kertas. Sketsa itu tetap di sana, seolah-olah terukir di kertas itu. Alvian menyandarkan punggungnya ke kursi, pikirannya berputar. Apakah Kinar kembali ke sini? Tidak, itu tidak mungkin. Ia sudah dirujuk. Lalu siapa?

Tiba-tiba, ia mendengar suara ketukan dari arah pintu. Pintu masuk kliniknya. Alvian melihat jam, ini terlalu pagi untuk pasien pertama. Ia bangkit dari kursinya, berjalan ke arah pintu. Ia melihat melalui kaca kecil di pintu, dan ia melihat seorang wanita berdiri di sana. Ia tidak bisa melihat wajah wanita itu karena tudung jaketnya menutupi sebagian besar wajahnya. Alvian ragu, tetapi ia membuka pintu.

"Maaf, saya tidak membuat janji," kata wanita itu, suaranya pelan dan serak.

"Ini terlalu pagi. Jam praktik saya dimulai jam sepuluh," jawab Alvian.

"Saya tahu. Tapi ini mendesak," wanita itu bersikeras.

Alvian menghela napas. Ia tidak suka melanggar aturan, tetapi ada sesuatu dalam suara wanita itu yang membuatnya merasa penasaran. "Baiklah, masuk," katanya.

Wanita itu melangkah masuk, tetapi ia tidak berjalan ke arah ruang praktik. Ia berjalan lurus ke arah cermin di dinding. Ia berdiri di depan cermin itu, dan mengangkat tudungnya. Alvian terkejut. Wanita itu adalah Kinar. Tetapi bukan Kinar yang ia kenal. Kinar yang ini terlihat sangat berbeda. Matanya merah, kantung matanya menghitam, dan wajahnya sangat pucat. Ia melihat bayangan Alvian di cermin, dan ia tersenyum, senyum yang sama seperti senyum yang dilihat Alvian tadi malam.

"Kau melihatnya, kan?" Kinar berbisik, suaranya bergetar. "Aku bilang padamu. Metafora itu menjadi nyata."

Alvian mundur selangkah. "Kinar, kau tidak seharusnya berada di sini. Kau seharusnya di rumah sakit."

Kinar tertawa, tawa yang kering dan tanpa emosi. "Aku tidak pernah keluar dari sana, Dokter. Aku masih di sana. Dan aku masih di sini. Kami berdua."

Alvian merasa bingung. "Siapa 'kami berdua'?"

Kinar tidak menjawab. Ia hanya menunjuk ke cermin. "Lihat. Lihatlah betapa dalamnya kau telah masuk."

Alvian menatap cermin, dan ia melihat bayangannya. Tetapi kali ini, bayangannya tidak tersenyum. Bayangannya tampak ketakutan. Dan kemudian, perlahan-lahan, bayangannya mulai berubah. Wajahnya mulai memudar, dan di tempatnya, muncul wajah lain. Wajah yang familiar, wajah yang ia kenal. Itu adalah wajahnya, tetapi versi yang lebih muda. Wajah yang tampak sedih, marah, dan kesepian. Alvian merasa jantungnya berhenti berdetak.

"Kau selalu menekan kami, Dokter," bisik Kinar. "Kau mengunci kami di dalam labirinmu. Tapi sekarang, labirin itu terbuka."

Alvian merasa pusing. Ia menyentuh kepalanya, mencoba mengendalikan pikirannya yang mulai berputar. "Ini... ini tidak mungkin. Ini halusinasi. Aku tidak sakit."

Kinar tertawa lagi. "Siapa bilang kau sakit? Kau hanya... terjebak. Terjebak dalam labirinmu sendiri. Sama seperti aku."

Tiba-tiba, Kinar memudar. Tubuhnya menjadi transparan, dan kemudian menghilang sepenuhnya, meninggalkan Alvian sendirian di koridor.

Alvian terhuyung-huyung kembali ke ruang praktiknya, merasa pusing dan mual. Ia duduk di kursinya, mencoba mengumpulkan pikirannya. Ia mengeluarkan teleponnya, berniat menghubungi rumah sakit tempat Kinar dirawat. Ia mencari nama Kinar di daftar kontaknya, tetapi ia tidak menemukannya. Ia mencoba mencari jejaknya di internet, di media sosial, di berita, tetapi seolah-olah Kinar tidak pernah ada.

Panik mulai merayap. Ia merasa dirinya terputus dari kenyataan. Ia mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa Kinar ada, bahwa ia pernah menanganinya, bahwa semua ini hanya ilusi. Ia meraih berkas Kinar di meja, tetapi berkas itu kosong. Tidak ada sketsa, tidak ada tulisan. Halamannya kosong.

"Apa yang terjadi padaku?" bisik Alvian pada dirinya sendiri.

Pikirannya berputar, mencoba memilah antara apa yang nyata dan apa yang tidak. Apakah Kinar benar-benar pasiennya? Apakah ia benar-benar pernah melihatnya? Atau apakah semua itu hanya produk dari pikirannya sendiri, manifestasi dari ketakutannya yang paling dalam? Ia tidak tahu. Ia tidak bisa membedakan lagi. Dan ia merasa, untuk pertama kalinya, ia sedang berada di tempat yang sama dengan pasiennya: di tengah-tengah labirin yang tidak berujung, tanpa tahu jalan keluar. Ia adalah seorang dokter yang kehilangan akal sehatnya, dan tidak ada yang bisa membantunya. Ia sendirian.

Hari-hari berikutnya adalah kabut yang dingin. Alvian terus datang ke kliniknya, mencoba bekerja, mencoba menenangkan dirinya. Tetapi setiap hari adalah pertarungan. Ia melihat wajah-wajah pasiennya, tetapi suaranya terdengar jauh, seperti bisikan di bawah air. Ia mencatat diagnosis, memberikan nasihat, tetapi ia merasa seperti robot, seperti sebuah mekanisme yang berjalan tanpa jiwa.

Ketakutan yang ia rasakan semakin dalam, karena hal-hal aneh terus terjadi. Jam dinding di ruangannya sesekali bergerak mundur, lalu kembali normal. Bayangan-bayangan di sudut ruangan bergerak saat ia tidak melihat. Suara-suara bisikan samar menjadi lebih jelas, kadang-kadang ia bisa mendengar namanya dipanggil, suaranya terdengar seperti Kinar, tetapi juga seperti suara lain yang ia kenal. Ia mulai meragukan kewarasannya sendiri. Apakah ia sudah gila? Apakah ia sudah terperangkap dalam labirin yang diceritakan Kinar?

Suatu pagi, ia duduk di kursinya, dengan tangan gemetar memegang sebuah cangkir kopi. Ia menatap tumpukan berkas pasien di mejanya. Semuanya terasa kosong, tidak ada artinya. Ia merasa kehilangan arah, kehilangan pegangan pada realitas. Pintu ruangannya terbuka.

Seorang pria masuk. Alvian belum pernah melihatnya sebelumnya. Pria itu tidak ada di jadwal, dan ia tidak memiliki janji. Alvian tidak bertanya, tidak memprotes. Ia hanya menatap pria itu, merasa ada sesuatu yang familiar, sesuatu yang sangat ia kenal.

Pria itu duduk di kursi yang biasa diduduki pasien, tetapi ia duduk dengan santai, seolah-olah ia telah berada di sana sepanjang waktu. Alvian tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Wajahnya selalu berada di balik bayangan, tak peduli seberapa terang cahaya di ruangan itu.

"Dr. Alvian, saya datang untuk terapi," kata pria itu. Suaranya terdengar familiar. Itu adalah suara bisikan-bisikan yang ia dengar.

"Nama Anda?" tanya Alvian, suaranya bergetar.

Pria itu tersenyum, tetapi senyum itu tidak mencapai matanya. "Anda bisa memanggil saya 'diri'."

Alvian membeku. Ia tahu siapa pria ini. Ini adalah personifikasi dari bagian-bagian tersembunyi dalam dirinya sendiri yang ia lihat dalam mimpi.

"Anda tahu mengapa saya di sini, bukan?" tanya 'diri'.

Alvian menggelengkan kepalanya. "Saya tidak tahu."

'Diri' tertawa. "Anda tahu. Saya di sini untuk menceritakan semua yang Anda simpan rapat-rapat."

Dan ia mulai bercerita. 'Diri' menceritakan tentang masa lalu Alvian, tentang rasa bersalah yang ia rasakan karena tidak bisa membantu ayahnya yang meninggal karena depresi. 'Diri' menceritakan tentang ketakutan Alvian akan kegagalan, tentang kecemasan yang ia rasakan setiap kali ia melihat pasiennya menderita. 'Diri' menceritakan semua rahasia yang ia simpan, semua trauma yang ia lupakan.

Alvian mendengarkan, merasa mual. Ia tidak bisa menyangkal apa pun yang dikatakan 'diri'. Semua itu benar. Itu adalah bagian-bagian dari dirinya yang ia coba kubur dalam-dalam, bagian-bagian yang ia pikir sudah ia lupakan. Ia menyadari, 'diri' adalah cerminan dari kegagalan yang ia coba hindari sepanjang hidupnya. Ia adalah dokter yang tidak bisa membantu ayahnya, seorang terapis yang takut akan penyakitnya sendiri.

"Anda pikir dengan menjadi cermin, Anda bisa menjadi kuat," kata 'diri'. "Tapi Anda hanya menjadi kosong. Kosong dan dingin."

Alvian menatap 'diri', yang wajahnya masih berada di balik bayangan. "Lalu apa yang Anda inginkan dari saya?"

'Diri' tersenyum. "Saya ingin Anda mengakui saya. Saya ingin Anda membiarkan saya keluar."

Tiba-tiba, suara alarm di ponsel Alvian berbunyi. Tanda bahwa sesi sudah berakhir. Alvian mengangkat kepalanya. 'Diri' sudah tidak ada. Kursi di depannya kosong.

Ia melihat jam dinding. Jam itu bergerak mundur, lalu kembali normal. Di cermin, ia melihat bayangannya yang tampak kelelahan, tetapi kali ini, ada senyum tipis di bibirnya. Senyum yang bukan miliknya. Senyum yang ia kenal. Senyum Kinar.

Alvian merasa dirinya terombang-ambing di antara dua realitas. Realitas di mana ia adalah seorang dokter yang waras, dan realitas di mana ia adalah seorang pasien yang terjebak di dalam pikirannya sendiri. Ia tidak tahu mana yang benar. Dan ia merasa, ia tidak akan pernah tahu. Ia terperangkap.

Malam itu, Alvian kembali ke kliniknya. Bukan untuk bekerja, tetapi untuk mencari jawaban. Ia tidak tahu apa yang ia cari, tetapi ia tahu ia tidak bisa lagi lari. Ia membawa senter, dan menyusuri koridor-koridor yang terasa dingin dan asing. Ia melihat bayangan-bayangan yang menari-nari di dinding, mendengar bisikan-bisikan yang memanggil namanya. Ia merasa seperti seorang penjelajah di tempat yang belum pernah ia kunjungi, padahal ia telah bekerja di sini selama bertahun-tahun.

Ia sampai di ruang praktiknya. Ia mengunci pintu, menyalakan lampu, tetapi ruangan itu tetap terasa gelap. Di tengah ruangan, sebuah kursi yang biasa diduduki pasien, kini tampak seperti takhta di sebuah kastil yang ditinggalkan. Alvian duduk di kursinya, memejamkan mata, dan mencoba bernapas. Ia mencoba menenangkan dirinya, tetapi ia merasa ada sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya, sesuatu yang ingin keluar.

Tiba-tiba, ia mendengar suara ketukan. Ketukan itu terdengar familiar. Ia tahu ketukan itu. Itu adalah ketukan yang sama yang ia dengar saat ia menerima 'klien tanpa wajah' itu. Alvian membuka matanya. Ia melihat pintu di hadapannya, tetapi itu bukan pintu ruang praktiknya. Itu adalah pintu kayu tua, dengan ukiran yang rumit, dan di tengahnya, sebuah ukiran labirin. Ia berdiri, dan berjalan ke arah pintu itu. Ia menyentuh pintu itu, dan rasa dingin yang menusuk kembali terasa.

Alvian membuka pintu itu, dan ia terkesiap. Di hadapannya, terbentang koridor yang tak berujung, koridor yang ia lihat dalam mimpinya. Di setiap sisi koridor, ada pintu-pintu, masing-masing dengan nama yang berbeda: "Kemarahan", "Penyesalan", "Ketakutan", "Kesepian". Alvian tidak pernah mengakui perasaan-perasaan itu. Ia selalu mengunci mereka rapat-rapat, dan ia menyadari, inilah labirin yang ia ciptakan untuk dirinya sendiri.

Ia mulai berjalan di koridor itu. Ia melewati pintu-pintu itu, dan di setiap pintu, ia melihat refleksi dirinya. Di pintu "Kemarahan", ia melihat dirinya yang lebih muda, meninju dinding, wajahnya merah. Di pintu "Penyesalan", ia melihat dirinya menangis, memohon maaf. Di pintu "Ketakutan", ia melihat dirinya bersembunyi di balik meja, gemetar. Ia mencoba berbicara kepada mereka, tetapi mereka tidak menjawab. Mereka hanya menatapnya dengan mata kosong, seolah mereka adalah hantu-hantu yang terjebak di dalam labirin itu.

Ia terus berjalan, sampai ia sampai di sebuah pintu yang berbeda dari yang lain. Pintu itu tidak memiliki nama. Pintu itu hanya memiliki sebuah cermin di tengahnya. Alvian menatap cermin itu, dan ia melihat dirinya sendiri. Tetapi kali ini, ia melihat dirinya yang tampak sangat lelah, sangat putus asa. Ia melihat air mata di matanya, air mata yang tidak pernah ia biarkan keluar. Ia menyadari, cermin itu adalah cerminan dari jiwanya yang sebenarnya.

Tiba-tiba, ia mendengar suara di belakangnya. "Sudah sejauh ini, Dokter? Kenapa tidak masuk?"

Alvian menoleh. 'Diri' berdiri di belakangnya. Wajahnya masih berada di balik bayangan.

"Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Alvian, suaranya bergetar.

"Aku ingin kau menghadapi dirimu sendiri," jawab 'diri'. "Kau mengunci kami di sini, dan sekarang kau harus membebaskan kami."

"Tapi... bagaimana?" tanya Alvian.

'Diri' tersenyum. "Kau harus menemukan kunci. Kunci yang akan membuka semua pintu."

Alvian menatap 'diri', kebingungan. "Kunci apa?"

'Diri' tertawa, tawa yang kering. "Kau akan tahu saat kau melihatnya."

'Diri' memudar, dan Alvian kembali sendirian di koridor. Ia menatap pintu-pintu itu, dan ia merasa putus asa. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia mencoba membuka pintu "Kemarahan", tetapi pintu itu terkunci. Ia mencoba membuka pintu "Penyesalan", tetapi pintu itu juga terkunci. Semua pintu terkunci. Ia merasa putus asa.

Ia jatuh berlutut, merasa lelah, merasa putus asa. Ia adalah seorang dokter yang terjebak di dalam pikirannya sendiri. Ia tidak bisa melarikan diri. Dan ia merasa, ia tidak akan pernah bisa melarikan diri. Ia akan selamanya terjebak di dalam labirin ini, bersama hantu-hantu masa lalunya.

Tiba-tiba, ia mendengar suara bisikan. Suara itu terdengar seperti suara Kinar. "Cari kuncinya... di tempat yang tidak pernah kau kunjungi..."

Alvian mengangkat kepalanya. "Tempat yang tidak pernah ku kunjungi?" bisiknya.

Ia berpikir. Di mana ia belum pernah pergi? Ia telah mengunjungi setiap sudut pikirannya, setiap kenangan, setiap trauma. Ia telah menjelajahi labirin itu, tetapi ia tidak menemukan apa pun. Ia merasa frustrasi, merasa putus asa.

Lalu, ia mengingat kembali kata-kata Kinar. "Labirin... magnet..." Ia juga mengingat kata-kata 'diri'. "Kau mengunci kami di sini..."

Ia menyadari, kuncinya bukan sesuatu yang bisa ia temukan. Kuncinya adalah sesuatu yang harus ia ciptakan. Ia harus menciptakan pintu keluar, dan untuk melakukannya, ia harus menghadapi trauma yang paling ia takuti.

Ia berdiri, dan berjalan kembali ke pintu yang tidak memiliki nama, pintu dengan cermin di tengahnya. Ia menatap cermin itu, dan ia melihat dirinya yang putus asa. Ia mengulurkan tangannya, dan menyentuh cermin itu. Cermin itu terasa dingin, seperti es. Ia menekan tangannya ke cermin itu, dan ia mulai merasakan sakit. Sakit yang berasal dari dalam. Sakit yang selama ini ia coba tekan.

Ia menutup matanya, dan ia mengingat. Ia mengingat hari saat ayahnya meninggal. Ia mengingat rasa bersalah yang ia rasakan. Ia mengingat ketakutan yang ia rasakan saat itu, ketakutan yang membuatnya memutuskan untuk menjadi seorang dokter, untuk menyelamatkan orang lain dari nasib yang sama. Ia menyadari, ia tidak pernah menyembuhkan dirinya sendiri. Ia hanya menyembunyikan lukanya, dan lukanya kini berteriak minta dibebaskan.

Alvian membuka matanya, dan ia melihat cermin itu retak. Dari retakan-retakan itu, keluar cahaya. Cahaya itu begitu terang, hingga ia harus menutup matanya. Ia mendengar suara-suara. Suara ayahnya. Suara Kinar. Suara 'diri'. Semua suara itu bersatu, dan ia mendengar mereka berbisik, "Kau bebas..."

Alvian membuka matanya, dan ia tidak lagi berada di koridor yang tak berujung. Ia berada di ruang praktiknya. Senter yang ia pegang mati. Pintu ruangannya terkunci. Ia mendengar suara hujan di luar. Ia kembali. Ia berhasil kembali. Ia telah menemukan jalan keluar. Ia telah menghadapi trauma yang paling ia takuti, dan ia telah membebaskan hantu-hantu masa lalunya. Ia merasa lega, merasa damai. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa seperti dirinya sendiri.

Ia berjalan ke arah cermin di dinding. Ia menatap pantulannya, dan ia melihat matanya. Matanya tidak lagi kosong. Ia melihat kesedihan, ia melihat penyesalan, tetapi ia juga melihat harapan. Ia tersenyum. Senyum yang tulus, senyum yang berasal dari dalam.

Alvian berjalan ke mejanya, mengambil berkas pasiennya. Ia menatap berkas Kinar, yang kini terlihat normal. Ia menatap berkas 'klien tanpa wajah', yang sekarang tidak ada. Ia menyadari, ia telah melewati sebuah perjalanan, perjalanan ke dalam dirinya sendiri. Ia telah menghadapi kegilaannya, dan ia telah keluar sebagai pemenang.

Ia merasa, ia tidak lagi menjadi seorang dokter yang hanya menjadi cermin. Ia sekarang adalah seorang dokter yang memiliki hati. Dan ia merasa, ia akan menjadi dokter yang lebih baik, karena ia telah belajar untuk memahami dirinya sendiri. Ia telah belajar untuk menerima bagian-bagian dirinya yang ia takuti, bagian-bagian yang ia coba sembunyikan. Dan ia merasa, ia sekarang benar-benar bebas.

Ia tidak tahu berapa lama ia berada di sana, duduk di kursi, merenung. Waktu seolah kehilangan artinya. Cahaya matahari yang masuk dari jendela berganti menjadi jingga senja, lalu menghilang sepenuhnya, digantikan oleh kegelapan malam yang pekat. Alvian merasa damai. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia merasa ringan. Labirin di dalam dirinya telah runtuh, dan ia merasa bebas. Ia telah menghadapi masa lalu, menerima dirinya sendiri, dan ia merasa siap untuk memulai lagi, dengan versi dirinya yang lebih utuh.

Namun, kedamaian itu tidak berlangsung lama. Ia mendengar suara ketukan di pintu kliniknya. Bukan ketukan yang tergesa-gesa, melainkan ketukan yang pelan dan ritmis, seolah-olah pengetuknya memiliki waktu yang tak terbatas. Alvian mengerutkan keningnya. Pukul berapa ini? Ia melihat jam di dinding. Jarum jam berputar dengan kecepatan aneh, menunjuk angka-angka yang tidak masuk akal, lalu berhenti. Alvian merasa ada getaran aneh, getaran yang terasa familiar.

Ketukan itu berulang. Alvian bangkit dari kursinya, berjalan ke arah pintu. Ia melihat melalui kaca kecil di pintu, dan ia melihat seorang wanita berdiri di sana. Ia tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, karena tudung jaketnya menutupi sebagian besar wajahnya. Namun, ia tahu siapa itu. Itu adalah Kinar. Atau setidaknya, versi Kinar yang ia lihat sebelumnya. Kinar yang pucat, dengan mata merah dan kantung mata yang menghitam.

Alvian merasakan ketakutan merayap. Ia telah menghadapi trauma masa lalunya, ia telah meruntuhkan labirinnya. Ia pikir semuanya sudah berakhir. "Aku sudah selesai," gumamnya, suaranya serak. "Aku sudah melewati ujian."

Kinar, dari balik pintu, tertawa. Tawa yang kering, tanpa emosi, yang terdengar seperti pecahan kaca. "Ujian?" bisiknya. "Tidak, Dokter. Itu hanya pemanasan. Labirin ini tidak akan pernah berakhir. Labirin ini akan selalu ada. Kau hanya menemukan jalan keluar dari satu labirin, tetapi ada labirin lain yang menantimu."

Alvian mundur selangkah. "Apa maksudmu?"

"Kau pikir kau sudah bebas?" Kinar melanjutkan. "Kau pikir kau sudah mengalahkan aku? Tidak, Dokter. Aku bukan bagian dari dirimu. Aku adalah cerminan dari kegilaanmu. Cerminan dari ketakutanmu."

Alvian merasa pusing. Ia menyentuh kepalanya, mencoba mengendalikan pikirannya yang mulai berputar lagi. Ia menatap cermin di dinding. Ia melihat pantulannya, yang kini tampak ketakutan. Di belakangnya, ia melihat bayangan Kinar. Bayangan itu tersenyum, senyum yang sama seperti yang dilihat Alvian di awal cerita.

"Kau melarikan diri dari labirin yang kau ciptakan sendiri, tetapi kau tidak bisa melarikan diri dari labirin yang kita ciptakan bersama," Kinar berbisik.

Tiba-tiba, Alvian mendengar suara. Suara itu berasal dari dalam dirinya. Suara itu adalah suara 'diri', suara yang ia pikir sudah ia taklukkan. "Dia benar," bisik 'diri'. "Kau tidak bisa melarikan diri. Kau hanya berpindah tempat."

Alvian merasakan realitasnya runtuh. Ia tidak berada di kliniknya. Ia berada di dalam labirin. Koridor-koridor yang tak berujung kembali muncul di sekelilingnya, dan pintu-pintu dengan nama-nama seperti "Kemarahan", "Penyesalan", "Ketakutan" kembali muncul. Kali ini, pintu-pintu itu terbuka.

Di balik pintu "Kemarahan", ia melihat dirinya yang lebih muda, tetapi kali ini ia melihat darah di tangannya. Ia melihat dirinya yang lebih muda memukul seorang pria, pria yang terlihat sangat mirip dengan ayahnya. Di balik pintu "Penyesalan", ia melihat dirinya yang lebih muda, bukan menangis, melainkan tersenyum, saat ia menolak untuk membantu ayahnya. Di balik pintu "Ketakutan", ia melihat dirinya yang lebih muda, bersembunyi di balik meja, bukan karena takut pada pasiennya, melainkan karena takut pada dirinya sendiri.

Alvian merasa mual. Ini bukan masa lalunya. Ini adalah masa lalu yang ia ciptakan, masa lalu yang ia percaya. Ia menyadari, ia telah terjebak di dalam labirin yang jauh lebih dalam, labirin yang terbuat dari kebohongan-kebohongan yang ia ceritakan pada dirinya sendiri. Ia menyadari, ia tidak pernah menyembuhkan dirinya sendiri. Ia hanya menciptakan cerita lain untuk dirinya sendiri.

"Kau tidak bisa melarikan diri dari kebohonganmu, Dokter," kata Kinar, yang kini berdiri di sampingnya. "Labirin ini adalah cerminan dari dirimu yang sebenarnya. Cerminan dari seorang pria yang menciptakan realitasnya sendiri untuk menghindari kebenaran."

Alvian jatuh berlutut, merasa putus asa. Ia adalah seorang psikolog yang menciptakan pasien-pasiennya sendiri, seorang dokter yang menciptakan penyakitnya sendiri, hanya untuk menghindari kenyataan bahwa ia tidak pernah bisa menolong ayahnya, karena ia terlalu takut.

"Jadi, apa yang harus kulakukan?" bisik Alvian, air mata mengalir di wajahnya.

"Kau harus menghadapi kebenaran," kata Kinar. "Kau harus mengakui kebohonganmu."

Alvian menutup matanya. Ia mencoba mengingat. Ia mencoba untuk mengingat kebenaran. Bukan kebenaran yang ia ciptakan, tetapi kebenaran yang sebenarnya. Ia mengingat ayahnya yang sakit, ia mengingat percakapannya dengan ayahnya, ia mengingat rasa sakit yang ia rasakan. Dan ia mengingat, ia tidak pernah menolak untuk membantu ayahnya. Ia hanya tidak tahu bagaimana caranya. Ia hanyalah seorang anak yang ketakutan.

Alvian membuka matanya. Kinar dan 'diri' berdiri di depannya. Mereka berdua tersenyum. "Kau menemukannya," kata 'diri'. "Kau menemukan kebenaran."

"Selamat datang di labirin yang sebenarnya," kata Kinar. "Labirin yang tidak akan pernah berakhir, labirin yang akan selalu ada di dalam dirimu."

Alvian menyentuh dadanya. Ia tidak lagi merasakan ketakutan. Ia tidak lagi merasakan keputusasaan. Ia hanya merasakan kekosongan. Labirin itu tidak runtuh. Labirin itu hanya menjadi bagian dari dirinya. Dan ia menyadari, ia tidak akan pernah bisa keluar. Ia akan selamanya terjebak di dalam labirin ini, bersama hantu-hantu yang tidak pernah ada, dan kenyataan yang tidak pernah ia hadapi. Ia telah kehilangan dirinya sendiri. Dan ia tidak tahu apakah ia akan pernah menemukannya lagi.

Rasa kekosongan itu begitu dalam, begitu dingin, hingga Alvian merasa seperti sebuah kapal karam yang terapung di samudra tak berujung. Labirin itu tidak lagi bergejolak. Pintu-pintu yang tadinya terbuka, kini kembali tertutup, tetapi di setiap pintu, ia bisa merasakan kehadiran hantu-hantu masa lalunya. Kinar dan 'diri' tidak lagi muncul. Mereka ada di sana, di dalam dirinya, tetapi mereka tidak lagi berbicara. Mereka hanya mengawasinya, seolah-olah mereka adalah penjaga labirin yang sekarang ia tinggali.

Ia kembali ke klinik. Jam dinding menunjukkan waktu yang masuk akal, tetapi ia tahu itu tidak nyata. Ia duduk di mejanya, mencoba membaca berkas pasien, tetapi kata-katanya tidak lagi memiliki makna. Ia merasa seperti seorang aktor yang memainkan sebuah peran, peran seorang dokter, tetapi ia tahu ia hanyalah sebuah cangkang kosong.

Sore itu, ia duduk di sana, menatap jendela. Hujan sudah berhenti, meninggalkan tetesan-tetesan air di kaca. Ia melihat refleksi dirinya di kaca, dan ia tidak melihat apa-apa. Ia tidak melihat Alvian si dokter. Ia tidak melihat Alvian yang ketakutan. Ia hanya melihat kekosongan, sebuah lubang hitam yang menelan segalanya.

Tiba-tiba, ia mendengar suara ketukan di pintu. Bukan ketukan Kinar, bukan ketukan 'diri'. Ketukan itu adalah ketukan yang familiar, ketukan yang ia kenal. Ketukan itu adalah ketukan seorang pasien. Alvian merasa bingung. Ia tahu itu tidak nyata. Ia tahu itu hanyalah ilusi lain. Tetapi ia tidak bisa menahannya. Ia harus melihat siapa itu.

Ia bangkit dari kursinya, berjalan ke arah pintu. Ia melihat melalui kaca kecil di pintu, dan ia melihat seorang wanita berdiri di sana. Rambutnya pirang, matanya biru, dan ia tersenyum. Senyumnya begitu tulus, begitu hangat, hingga Alvian merasa ada sedikit kehangatan yang merayap di dalam dirinya.

Alvian membuka pintu itu, dan wanita itu tersenyum padanya. "Halo, Dokter," katanya. "Saya Kinar. Saya punya janji dengan Anda hari ini."

Alvian menatapnya, merasa bingung. Ini bukan Kinar yang ia kenal. Ini bukan Kinar yang ia lihat dalam labirinnya. Wanita ini terlihat sehat, tampak bahagia.

"Maaf, saya rasa Anda salah jadwal," kata Alvian, suaranya serak.

"Tidak, saya yakin," kata wanita itu. "Saya datang untuk sesi pertama saya."

Alvian merasa pusing. Ia melihat ke daftar pasiennya, tetapi tidak ada nama Kinar di sana. Ia melihat ke kalender, tidak ada janji yang dibuat. Ia menatap wanita itu, yang masih tersenyum.

"Apakah Anda baik-baik saja, Dokter?" tanya wanita itu, suaranya penuh kekhawatiran.

Alvian menggelengkan kepalanya. "Saya... saya rasa saya tidak sehat."

Wanita itu tersenyum. "Itu sebabnya saya di sini, Dokter. Saya di sini untuk membantu Anda."

Alvian terkejut. "Membantu saya? Anda... Anda seorang dokter?"

Wanita itu tertawa kecil. "Bukan. Saya seorang pasien. Tetapi saya di sini untuk membantu Anda menyembuhkan diri Anda sendiri. Anda terlalu dalam masuk ke labirin saya, dan Anda tidak tahu jalan keluar."

Alvian menatapnya, merasa putus asa. "Labirin Anda? Apa... apa yang Anda bicarakan?"

Wanita itu tidak menjawab. Ia hanya mengulurkan tangannya. "Ikutlah dengan saya, Dokter. Saya akan menunjukkan jalan keluar."

Alvian ragu. Apakah ini jebakan lain? Apakah ini ilusi lain? Apakah ini bagian lain dari labirin yang ia tinggali? Ia tidak tahu. Tetapi ia tahu satu hal. Ia tidak bisa terus hidup dalam kekosongan ini. Ia harus mencoba.

Alvian mengambil tangan wanita itu. Tangan wanita itu terasa hangat, berbeda dengan rasa dingin yang ia rasakan. Tiba-tiba, ia merasa dunia di sekelilingnya berputar. Koridor-koridor yang tak berujung, pintu-pintu yang terkunci, semuanya menghilang. Ia kembali ke kliniknya. Kali ini, ia merasa benar-benar kembali.

Ia melihat sekeliling. Tidak ada Kinar. Tidak ada wanita yang datang mengunjunginya. Jam di dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Hari sudah gelap. Ia duduk di kursinya, merasa bingung. Apakah semua itu nyata? Apakah ia benar-benar bertemu dengan wanita itu? Atau apakah itu hanya imajinasinya?

Ia melihat mejanya. Berkas pasien Kinar ada di sana, kosong. Tidak ada catatan, tidak ada sketsa. Ia melihat ke cermin di dinding. Ia melihat pantulannya. Kali ini, ia tidak melihat kekosongan. Ia melihat matanya. Matanya terlihat lelah, tetapi ia melihat secercah harapan di sana.

Ia berjalan ke pintu kliniknya, dan ia membukanya. Ia melihat ke luar, dan ia melihat seorang wanita berjalan pergi. Wanita itu adalah Kinar. Ia tidak menoleh. Ia hanya terus berjalan, dan menghilang di kegelapan malam.

Alvian merasa bingung. Apakah ia sudah sembuh? Apakah labirin itu sudah berakhir? Ia tidak tahu. Ia tahu, ia tidak akan pernah tahu. Ia kembali ke kursinya, duduk di sana, menatap kekosongan di depannya. Ia adalah seorang dokter yang telah menyembuhkan pasiennya, tetapi ia tidak yakin apakah ia sudah menyembuhkan dirinya sendiri. Ia adalah seorang pria yang telah menghadapi kegilaannya, tetapi ia tidak yakin apakah ia sudah benar-benar keluar.

Cerita berakhir dengan Alvian duduk di sana, menatap kekosongan di depannya. Ia adalah seorang dokter yang terjebak di antara dua realitas, realitas yang ia kenal, dan realitas yang ia ciptakan. Ia tidak tahu apakah ia akan pernah bisa membedakan keduanya. Ia tidak tahu apakah ia akan pernah bisa menemukan dirinya sendiri lagi. Ia hanya duduk di sana, menunggu, menunggu labirin berikutnya untuk menariknya kembali.






Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)