Cerpen
Disukai
2
Dilihat
2,187
Kutukan Ranjang Antik
Horor

Bab 1 – Ranjang Tua di Toko Antik

Pak Darman, seorang ayah tunggal yang hidup sederhana, selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk putri semata wayangnya, Melati. Melati, yang baru genap empat belas tahun, adalah segalanya bagi Pak Darman. Ulang tahun Melati yang ke-14 semakin dekat, dan Pak Darman ingin memberikan hadiah yang tak terlupakan. Bukan sekadar boneka atau pakaian, tapi sesuatu yang istimewa, yang bisa dikenang. Setelah menabung beberapa bulan, ia memutuskan untuk mencari ranjang baru yang lebih nyaman untuk Melati, ranjang yang bisa menjadi tempat beristirahat sekaligus zona nyaman baginya.

Pencariannya membawanya ke sebuah toko barang antik di pinggiran kota, sebuah tempat yang jarang ia kunjungi. Toko itu tersembunyi di balik deretan toko-toko modern, dengan cat dinding yang mengelupas dan papan nama kayu yang sudah usang. Aroma apak dan debu langsung menyambutnya begitu ia melangkah masuk. Di antara tumpukan perabot tua, jam dinding berkarat, dan patung-patung usang, pandangannya terpaku pada sebuah ranjang kayu jati yang berdiri megah di sudut ruangan.

Ranjang itu bukan sembarang ranjang. Ukiran tangan yang rumit menghiasi seluruh rangkanya, menampilkan pola sulur bunga yang membelit dan beberapa wajah samar yang seolah muncul dari kayu. Warna cokelat gelapnya memberikan kesan mewah sekaligus misterius. Pak Darman mendekat, mengagumi keindahan detailnya. Ada sesuatu yang menarik, namun pada saat yang sama, ada aura dingin yang menyelimuti ranjang itu, seolah energi tak kasat mata memancar darinya. Ia mengusap permukaan kayu yang terasa halus namun dingin.

"Mencari apa, Pak?" Suara serak seorang pria tua membuyarkan lamunan Pak Darman. Pemilik toko, seorang kakek kurus dengan tatapan kosong, muncul dari balik rak buku.

"Ini... ranjang ini," kata Pak Darman, menunjuk. "Berapa harganya?"

Pria tua itu menatap ranjang dengan pandangan yang sulit diartikan—ada sedikit kelegaan bercampur ketakutan di matanya. "Ah, ranjang itu. Saya berikan harga khusus untuk Bapak. Ambil saja dengan... dengan harga yang sangat terjangkau." Suaranya terdengar sedikit terburu-buru, seolah ingin segera menyingkirkan benda itu. Pak Darman terkejut dengan harga yang ditawarkan, jauh di bawah dugaannya. Ia tidak tahu, bahwa kelegaan di mata pemilik toko itu adalah tanda peringatan pertama yang ia abaikan.

Kesepakatan tercapai dengan cepat. Pak Darman pun mengatur agar ranjang itu diangkut ke rumahnya sore itu juga. Ketika ranjang diangkut keluar dari toko, Pak Darman bisa melihat senyum tipis di wajah pemilik toko, sebuah senyum yang tampak aneh dan tidak wajar. Ia mengira itu adalah senyum kepuasan karena berhasil menjual barang, namun ia tidak tahu, itu adalah senyum karena beban yang terangkat.

Melati sangat senang dengan hadiah ulang tahunnya. Ia mengusap ukiran ranjang dengan jari-jarinya yang mungil, memuji keindahannya. "Ayah, ini ranjang paling cantik yang pernah Melati lihat!" serunya riang. Pak Darman tersenyum lega melihat putrinya bahagia. Ia membantu Melati merapikan seprai dan bantal, sebelum akhirnya meninggalkan Melati untuk tidur di ranjang barunya.

Malam itu, hening menyelimuti rumah kecil mereka. Melati, yang biasanya tidur pulas, gelisah dalam tidurnya. Dalam mimpi, ia berada di sebuah rumah megah dengan balkon menjulang. Ia melihat seorang pria paruh baya berdiri di tepi balkon, tampak gelisah. Tiba-tiba, pria itu terpeleset. Dalam gerak lambat yang mengerikan, tubuhnya terjatuh, menghantam tanah dengan suara "brak!" yang memilukan. Melati terbangun dengan napas terengah-engah, jantungnya berdegup kencang. Ia mengusap peluhnya, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya mimpi buruk biasa.

Keesokan paginya, ketika Pak Darman sedang menyiapkan sarapan, terdengar suara sirine ambulans yang memecah keheningan pagi. Pak Darman mengintip dari jendela, melihat kerumunan orang berkumpul di rumah tetangga mereka, Pak Budi, seorang pensiunan yang tinggal sendiri. Beberapa menit kemudian, seorang tetangga lain, Bu Sri, tergopoh-gopoh menghampiri rumah Pak Darman dengan wajah pucat.

"Pak Darman, tahu tidak? Pak Budi... meninggal dunia!" Bu Sri berkata dengan suara gemetar. "Katanya jatuh dari balkon rumahnya, kepalanya terbentur keras."

Jantung Pak Darman mencelos. Ia merasakan dingin menjalar ke tulang. Jatuh dari balkon? Terdengar familiar. Ia menatap Melati, yang sedang menyesap tehnya dengan wajah muram. Melati mengangkat pandangan, dan mata mereka bertemu. Di mata Melati, ada ekspresi takut dan kebingungan yang sama seperti yang dirasakan Pak Darman.

"Melati, mimpi semalam... apa kaitannya?" bisik Pak Darman, berusaha menahan suaranya agar tidak terdengar panik.

Melati hanya bisa menggelengkan kepala, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Melati tidak tahu, Ayah. Tapi... itu persis seperti yang Melati mimpikan."

Bab 2 – Mimpi-mimpi Berdarah

Setelah kejadian meninggalnya Pak Budi, suasana di rumah Pak Darman terasa lebih tegang. Melati menjadi pendiam, sering melamun, dan terlihat takut setiap kali malam menjelang. Ia tidak berani tidur di ranjang barunya jika Pak Darman tidak menemaninya hingga terlelap. Pak Darman sendiri berusaha meyakinkan Melati bahwa itu hanya kebetulan, sebuah kebetulan yang aneh. Namun jauh di dalam hatinya, ia merasa gelisah.

Beberapa hari berlalu, dan keanehan itu kembali terjadi. Malam itu, Melati kembali bermimpi. Kali ini, ia melihat gurunya, Bu Ratna, seorang guru bahasa Indonesia yang ramah, sedang membetulkan lampu di teras rumahnya. Kabel-kabel berserakan, dan tiba-tiba Bu Ratna tersengat listrik dengan teriakan keras, tubuhnya kejang-kejang sebelum akhirnya terdiam. Melati terbangun dengan jeritan, keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.

Pagi harinya, Melati menceritakan mimpinya kepada Pak Darman dengan suara bergetar. "Ayah, Melati mimpi Bu Ratna... kesetrum. Dia... dia meninggal."

Pak Darman mencoba menenangkan putrinya, memeluknya erat. "Ssst, Nak, itu cuma mimpi. Tidak akan terjadi apa-apa." Namun, saat Pak Darman sedang berbicara, telepon rumah berdering. Istrinya Pak Budi, tetangga mereka, menelepon dengan suara terisak-isak, memberitahukan kabar duka: Bu Ratna ditemukan meninggal pagi ini karena tersengat listrik saat membetulkan lampu di terasnya. Telepon itu jatuh dari tangan Pak Darman. Wajahnya memucat, matanya menatap kosong ke arah Melati. Ketakutan itu nyata.

Kejadian ini bukan lagi sebuah kebetulan. Ini adalah pola.

Setelah kematian Bu Ratna, mimpi-mimpi Melati semakin sering dan semakin detail. Ia bermimpi sepupunya, Dika, yang sangat ia sayangi, tenggelam di danau saat memancing. Dalam mimpinya, ia melihat Dika terpeleset dari perahu kecilnya, berjuang di tengah air yang dingin, dan akhirnya tenggelam tanpa ada yang menolong. Hanya 24 jam setelah Melati menceritakan mimpi itu kepada Pak Darman, kabar duka datang. Dika ditemukan tewas mengambang di danau, tersangkut jaring ikan.

Lalu, giliran neneknya, ibu dari Pak Darman, yang tinggal di desa sebelah. Melati bermimpi neneknya sedang makan bubur, tiba-tiba tersedak, dan meskipun sudah berusaha, ia tidak bisa bernapas. Wajahnya membiru, matanya melotot, hingga akhirnya ia tak bergerak lagi. Melati terbangun dengan napas tersengal-sengal, air mata mengalir deras. Ia tidak ingin menceritakan mimpi itu kepada ayahnya, karena setiap kali ia bercerita, mimpi itu menjadi kenyataan.

Namun, Pak Darman, yang kini selalu diliputi rasa cemas, melihat perubahan sikap Melati. Melati menjadi pendiam, murung, dan sering menangis tanpa sebab. Ia memaksa Melati untuk bercerita. Dengan air mata bercucuran, Melati menceritakan mimpinya tentang sang nenek. Pak Darman mencoba menenangkan Melati, mengatakan bahwa neneknya baik-baik saja, bahkan ia baru saja menelepon neneknya kemarin. Namun, keesokan harinya, panggilan telepon dari desa datang, mengabarkan bahwa nenek Pak Darman meninggal dunia karena tersedak saat makan bubur.

Rentetan kejadian ini membuat Pak Darman mulai ketakutan. Ia bukan lagi sekadar mengira itu kebetulan. Ini adalah kutukan. Setiap kali Melati bermimpi tentang kematian seseorang, dan menceritakannya kepadanya, orang tersebut akan meninggal dalam waktu 24 jam. Ini adalah pola yang mengerikan, sebuah rantai tak terputus yang dimulai sejak ranjang antik itu masuk ke rumah mereka.

Ia mulai mencatat setiap mimpi Melati di sebuah buku harian, lengkap dengan detailnya dan kapan ia menceritakannya. Ia membaca kembali catatannya, mencoba mencari pola lain, mencoba memahami bagaimana mimpi-mimpi itu bisa menjadi kenyataan. Rasa bersalah mulai menghantuinya. Ia merasa bertanggung jawab atas semua kematian ini, karena ia yang membawa ranjang terkutuk itu ke rumah.

Mimpi-mimpi Melati semakin hari semakin detail dan mengerikan. Bukan hanya kematian, tetapi juga cara kematiannya, ekspresi wajah korban, bahkan suara-suara yang terdengar dalam mimpi. Melati sering terbangun dengan berteriak, tubuhnya gemetar ketakutan, dan ia menolak tidur sendirian. Pak Darman sering menemani Melati tidur di ranjang itu, duduk di kursi samping tempat tidur, mengawasi putrinya hingga terlelap, berharap tidak ada lagi mimpi buruk yang datang.

Namun, ketakutan Pak Darman semakin menjadi-jadi. Bagaimana jika suatu hari nanti, Melati memimpikan kematiannya sendiri? Atau lebih buruk lagi, memimpikan kematian Pak Darman? Gagasan itu mencengkeram hatinya. Ia harus melakukan sesuatu. Ia harus menghentikan rantai mimpi-mimpi berdarah ini. Ranjang itu... ranjang itu pasti penyebabnya. Ia bertekad untuk mencari tahu asal usul ranjang itu, atau setidaknya, menyingkirkannya.

Bab 3 – Ukiran yang Berubah dan Suara Malam Hari

Setelah serangkaian mimpi tragis yang menjadi kenyataan, Pak Darman tidak bisa lagi menampik kenyataan bahwa ada sesuatu yang sangat salah dengan ranjang antik itu. Ia mulai melihat ranjang itu bukan lagi sebagai benda indah, melainkan sebagai objek pembawa bencana, sebuah monumen kematian yang berdiri tegak di kamar putrinya. Melati sendiri kini benar-benar menolak tidur di ranjang itu. Ia lebih memilih tidur di sofa ruang tamu, atau bahkan di lantai kamar Pak Darman, asalkan tidak berada di dekat ranjang terkutuk itu.

Suatu malam, Melati terbangun dengan ketakutan yang luar biasa. Ia berlari ke kamar ayahnya, terisak-isak. "Ayah! Melati melihatnya! Ada bayangan perempuan tua di sudut kamar Melati!"

Pak Darman memeluk putrinya erat. "Bayangan apa, Nak?"

"Dia... dia duduk di kursi dekat ranjang. Wajahnya tua, rambutnya panjang dan kusut. Dia menatap Melati," cerita Melati dengan suara bergetar. "Lalu, saat Melati melihat ke ranjang... ukiran di ranjang itu seperti berubah. Ada... ada wajah-wajah mengerang di sana, Ayah! Wajah-wajah yang kesakitan!"

Mendengar itu, bulu kuduk Pak Darman meremang. Ia tahu, Melati tidak sedang berbohong. Ini bukan halusinasi seorang anak yang ketakutan. Ini adalah bukti nyata bahwa hal supranatural mulai meresap dalam kehidupan mereka. Malam itu, Pak Darman memutuskan untuk tidur di kamar Melati, berjaga-jaga. Ia duduk di kursi yang disebutkan Melati, menatap ranjang. Namun, ia tidak melihat bayangan apa pun. Ukiran di ranjang tampak sama seperti biasanya, tidak ada wajah mengerang. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya ilusi optik atau imajinasi Melati yang terlalu takut.

Namun, ia tidak bisa tidur pulas. Setiap beberapa jam, ia mendengar bunyi kayu berderit dari ranjang. Bukan derit karena gerakan, melainkan suara yang teratur, seperti ada seseorang yang sedang duduk, lalu berdiri, kemudian duduk lagi. Suara itu terasa dingin dan menusuk, seolah ada kehadiran tak kasat mata yang beraktivitas di ranjang itu. Pak Darman menahan napas, mencoba mendengarkan lebih seksama. Ia melihat ke ranjang, memastikan tidak ada siapa-siapa di sana. Namun suara itu terus berlanjut hingga menjelang subuh.

Pak Darman tahu ia harus bertindak. Ia tidak bisa lagi menunda. Pagi harinya, ia memutuskan untuk menyelidiki asal-usul ranjang itu. Ia kembali ke toko barang antik di mana ia membeli ranjang tersebut. Namun, setibanya di sana, ia menemukan toko itu sudah tutup permanen. Jendela-jendela ditutupi koran bekas, pintu digembok, dan papan nama "Disewakan" terpampang di depannya. Seolah-olah toko itu tidak pernah ada. Pak Darman mencoba bertanya kepada toko-toko di sekitarnya, namun tidak ada yang tahu ke mana pemilik toko itu pergi. Mereka hanya tahu bahwa toko itu tutup mendadak beberapa hari setelah ranjang itu diangkut.

Frustrasi melanda Pak Darman. Ia merasa seperti kehilangan jejak. Kembali ke rumah, ia bertekad untuk membongkar ranjang itu. Jika ia tidak bisa mengetahui asal-usulnya, setidaknya ia bisa menyingkirkannya. Ia mengambil obeng dan kunci pas, mulai mencoba membuka baut-baut yang menyatukan rangka ranjang. Namun, yang terjadi selanjutnya membuatnya terkejut. Semua baut dan sambungan seolah disegel oleh kekuatan tak terlihat. Sekuat apa pun ia memutar, baut-baut itu tidak bergeming. Ia mencengkeram obengnya hingga buku-buku jarinya memutih, namun hasilnya nihil. Ranjang itu menolak untuk dibongkar, seolah memiliki kemauan sendiri.

Malam harinya, Pak Darman kembali ke kamar Melati. Ia menatap ranjang itu dengan perasaan campur aduk antara takut dan marah. Ia harus mengatasi ini, demi Melati. Ia memutuskan untuk mencoba tidur di ranjang itu sendiri, untuk membuktikan bahwa tidak ada yang aneh dengan ukiran wajah di ranjang dan suara derit itu. Ia ingin menunjukkan kepada Melati bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan. Atau mungkin, ia ingin membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa semua itu hanya ilusi.

Ia berbaring di ranjang, mencoba memejamkan mata. Namun, rasa dingin yang menusuk langsung menyergapnya, seolah hawa kematian merayapi tubuhnya. Ia mencoba mengabaikannya. Keheningan malam terasa sangat berat. Lalu, ia mendengar suara itu lagi. Bunyi kayu berderit yang teratur, seperti ada seseorang yang sedang duduk, lalu berdiri, kemudian duduk lagi. Kali ini, suaranya terdengat lebih dekat, lebih jelas. Seolah-olah "sesuatu" itu sedang duduk di sampingnya, di ranjang yang sama.

Pak Darman membuka mata, menahan napas. Ia tidak melihat apa pun, namun ia bisa merasakan kehadirannya. Sebuah kehadiran yang dingin, berat, dan mengerikan. Ia merasa seperti ada yang mengawasinya, setiap gerakannya. Ia berusaha menenangkan diri, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya suara dari rumah sebelah atau imajinasinya yang bermain. Namun, suara derit itu terus berlanjut hingga fajar, dan ia tidak bisa tidur sedikit pun. Ketakutan itu nyata. Ia tidak bisa membongkar ranjang itu. Ia tidak bisa melarikan diri dari ranjang itu.

Bab 4 – Mimpi Ayah dan Malam Terakhir

Ketidakberdayaan mencengkeram Pak Darman. Ranjang itu, dengan ukiran yang seolah mengawasinya dan suara derit misterius di malam hari, telah menjadi penjara tak terlihat bagi dirinya dan Melati. Ia sudah mencoba membongkarnya, namun gagal. Toko yang menjualnya pun menghilang tanpa jejak. Rasa putus asa mulai menyelimutinya. Bagaimana ia bisa menghentikan kutukan ini?

Setelah malam tanpa tidur yang dipenuhi suara derit misterius, Pak Darman terbangun dengan wajah lelah dan mata merah. Ia melihat Melati yang masih tertidur pulas di sofa ruang tamu, wajahnya polos dan damai. Rasa sayang dan keinginan untuk melindungi putrinya membara di dadanya. Ia tidak bisa membiarkan Melati terus hidup dalam ketakutan seperti ini. Ia harus melakukan sesuatu yang drastis, sesuatu yang mungkin gila, untuk memutus rantai mimpi-mimpi kematian ini.

Sebuah ide menyeruak dalam benaknya, ide yang berbahaya namun terasa seperti satu-satunya jalan keluar. Ia memutuskan untuk tidur di ranjang itu malam ini. Bukan hanya menemaninya, tetapi tidur di sana sepanjang malam, menggantikan Melati. Jika mimpi-mimpi itu adalah kutukan yang terkait dengan ranjang, mungkin kutukan itu akan menimpanya. Ia akan menjadi targetnya. Ia rela mengorbankan dirinya demi keselamatan Melati. Ini adalah satu-satunya cara untuk membuktikan kepada dirinya sendiri, dan kepada Melati, bahwa mimpi-mimpi itu tidak nyata, atau untuk mengalihkan kutukan itu darinya.

Melati protes ketika Pak Darman menyampaikan niatnya. "Ayah, jangan! Ranjang itu menyeramkan! Melati tidak mau Ayah kenapa-kenapa!"

"Tidak apa-apa, Nak," kata Pak Darman, berusaha tersenyum meyakinkan. "Ayah hanya ingin membuktikan bahwa ranjang itu tidak berhantu. Ayah akan menjaganya agar tidak ada mimpi buruk yang datang lagi." Ia memeluk Melati erat, menyembunyikan ketakutan yang menggerogoti hatinya.

Malam itu, Pak Darman berbaring di ranjang antik. Aroma kayu tua bercampur bau apak menguar di udara. Dinginnya ranjang terasa menusuk hingga ke tulang. Ia memejamkan mata, berusaha menenangkan napasnya yang tercekat. Keheningan terasa mencekam, lebih berat dari malam-malam sebelumnya. Ia menunggu. Ia menunggu suara derit, menunggu bayangan, menunggu sesuatu yang supranatural terjadi.

Namun, yang datang adalah tidur. Ia terlelap, dan dalam tidurnya, ia bermimpi. Sebuah mimpi yang begitu nyata, begitu detail, hingga terasa seperti pengalaman yang sedang terjadi. Ia melihat dirinya sendiri. Ia sedang berada di kamar mandi rumahnya. Suara air mengalir dari keran, ia sedang mencuci muka. Tiba-tiba, kakinya terpeleset. Dalam gerak lambat yang mengerikan, tubuhnya jatuh. Kepalanya menghantam sudut wastafel yang tajam dengan suara "brak!" yang memilukan. Darah mengalir deras, membasahi lantai keramik. Tubuhnya kejang sesaat, lalu terdiam. Wajahnya membeku dalam ekspresi terkejut dan kesakitan.

Pak Darman terbangun dengan napas tersengal-sengal, jantungnya berdegup kencang, keringat dingin membanjiri tubuhnya. Ia terduduk di ranjang, matanya melotot. Mimpi itu... mimpi itu sangat nyata. Lebih nyata dari mimpi-mimpi Melati yang pernah ia dengar. Ia mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Ketakutan itu kini berpindah kepadanya. Kutukan itu... kini menimpanya. Ia telah mengorbankan dirinya, tetapi apakah ini akan menghentikan semuanya?

Ia mencoba menenangkan dirinya. Itu hanya mimpi, bukan? Hanya imajinasi yang terlalu takut. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia baik-baik saja. Ia turun dari ranjang, kakinya terasa lemas. Ia melangkah perlahan ke kamar mandi, ingin mencuci muka dan menenangkan diri.

Pintu kamar mandi terbuka. Ia melangkah masuk. Lantai kamar mandi terasa dingin di kakinya. Ia menyalakan keran, air dingin mulai mengalir. Ia membungkuk untuk mencuci muka. Dan kemudian, persis seperti dalam mimpinya, kakinya terpeleset.

"A-ayah!" teriak Melati dari luar kamar mandi.

Pak Darman tidak sempat berteriak. Kepalanya menghantam sudut wastafel dengan suara "brak!" yang memilukan. Tubuhnya ambruk, darah mengalir deras, membasahi lantai keramik. Pandangannya menggelap, napasnya tersengal, dan kesadarannya memudar. Ia mencoba meraih sesuatu, namun tangannya tidak bisa mencapainya. Dalam detik-detik terakhirnya, ia hanya bisa memikirkan Melati. Ia ingin hidup. Ia ingin menjaga putrinya. Namun, takdir berkata lain. Ia tewas seketika, persis seperti dalam mimpinya.

Beberapa detik kemudian, Melati membuka pintu kamar mandi. Ia melihat ayahnya tergeletak tak berdaya di lantai, darah membanjiri sekelilingnya. Melati histeris. Jeritannya memecah keheningan pagi, jeritan yang dipenuhi keputusasaan dan ketakutan.

Bab 5 – Keheningan dan Paman Reza

Setelah pemakaman Pak Darman yang diliputi kesedihan mendalam, rumah kecil itu terasa begitu kosong dan sunyi. Melati, yang kini sebatang kara, hanya bisa menangis dalam pelukan Paman Reza, adik laki-laki Pak Darman. Reza, seorang arsitek yang sibuk di kota lain, segera datang begitu mendengar kabar duka. Ia memutuskan untuk tinggal sementara waktu, setidaknya sampai Melati bisa menerima kepergian ayahnya dan beradaptasi dengan hidup baru.

Reza adalah sosok yang praktis dan logis. Ia tidak percaya pada takhayul atau hal-hal supranatural. Baginya, kematian kakaknya adalah kecelakaan tragis, sebuah musibah yang tidak terduga. Namun, ia melihat ketakutan di mata Melati. Gadis kecil itu menjadi sangat pendiam, sering melamun, dan selalu menghindari kamar tidurnya.

"Melati, kenapa kamu tidak mau tidur di kamarmu?" tanya Reza suatu malam, mencoba membujuknya.

Melati menggelengkan kepala, matanya berkaca-kaca. "Melati tidak mau, Paman. Ranjang itu... itu yang membuat Ayah meninggal. Itu yang membawa mimpi-mimpi buruk."

Reza mencoba menenangkan Melati, tapi ia tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiran gadis itu. Ia melihat ranjang antik yang berdiri megah di kamar Melati. Sebuah ranjang yang memang terlihat indah, namun memancarkan aura yang aneh. Ia teringat cerita Pak Darman tentang ranjang itu, tentang mimpi-mimpi Melati yang menjadi kenyataan, dan bagaimana Pak Darman mencoba membongkarnya namun tidak berhasil.

Meskipun skeptis, Reza memutuskan untuk mencoba membongkar ranjang itu sendiri. Ia ingin membuktikan kepada Melati bahwa tidak ada yang aneh dengan ranjang itu. Ia mengambil seperangkat alat, obeng, dan kunci pas. Dengan keyakinan penuh, ia mulai mencoba membuka baut-baut yang dulu gagal dibuka oleh kakaknya.

Namun, anehnya, kali ini baut dan engsel ranjang itu mudah dilepas. Tidak ada hambatan sama sekali. Pak Darman dulu melaporkan bahwa baut-baut itu seperti tersegel, tidak bergerak sedikit pun. Reza mengerutkan kening. Apakah kakaknya terlalu panik sehingga tidak bisa membongkarnya? Atau ada kekuatan lain yang bekerja? Keraguan mulai menyelinap ke dalam pikiran Reza.

Dengan setiap baut yang terlepas, rasa ingin tahu Reza semakin besar. Ia membongkar bagian demi bagian, hingga hanya menyisakan rangka utama. Ketika ia mengangkat salah satu papan di bagian bawah rangka, ia mencium bau apak yang sangat kuat, bau seperti benda tua yang telah lama tersembunyi. Dan di sana, di dalam rongga rangka ranjang, tersembunyi beberapa benda.

Reza mengeluarkan benda-benda itu satu per satu dengan hati-hati. Pertama, sehelai kain kafan kusut dan usang, berwarna kekuningan, dengan noda-noda kecoklatan yang terlihat seperti noda darah kering. Ia merasakan bulu kuduknya meremang. Kedua, sebuah kunci tua yang berkarat, dengan ukiran yang rumit namun tak bisa ia kenali. Kunci itu terasa dingin di tangannya. Dan ketiga, sebuah potret wanita. Potret itu sudah sangat tua, gambarnya buram dan sebagian wajahnya rusak terbakar. Mata wanita di potret itu tampak kosong, namun menyorotkan penderitaan yang mendalam.

Reza menatap benda-benda itu, lalu menatap ranjang yang kini sudah terurai menjadi beberapa bagian. Ia merasa merinding. Ketidakpercayaannya pada hal supranatural mulai goyah. Benda-benda ini... ini bukan kebetulan. Ini pasti terkait dengan ranjang ini. Ia merasa seperti menemukan bagian dari teka-teki yang mengerikan.

"Paman, apa yang Paman temukan?" suara Melati yang tiba-tiba muncul di ambang pintu membuat Reza terkejut.

Reza menjelaskan apa yang ia temukan, menunjukkan kain kafan, kunci, dan potret itu. Melati menatap potret wanita itu dengan mata terbelalak. "Paman... Melati rasa... Melati pernah melihatnya. Dalam mimpi Melati."

Jantung Reza berdebar. Ia tahu, ia harus melakukan sesuatu. Ranjang ini bukan hanya sekadar perabot tua. Ini adalah objek terkutuk, dan ia harus segera menyingkirkannya. "Kita tidak bisa menyimpan ini di sini, Melati. Ini harus dimusnahkan."

Bab 6 – Ranjang di Tempat Sampah

Meskipun logika Reza masih berpegang teguh pada penjelasan rasional, penemuan kain kafan, kunci, dan potret wanita terbakar di dalam rangka ranjang telah menggoncang keyakinannya. Ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang melampaui pemahamannya. Ia tidak bisa lagi mengabaikan cerita Melati dan firasat buruk yang kini mulai merayapi benaknya. Ranjang itu harus pergi. Sesegera mungkin.

Dengan bantuan beberapa tetangga, Reza membongkar ranjang itu menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, lalu mengikatnya di atas mobil bak terbuka miliknya. Ia tidak ingin membuangnya di tempat sampah biasa di kompleks perumahan. Ia merasa ranjang itu harus dibuang sejauh mungkin, di tempat yang tidak akan pernah ditemukan lagi. Maka, ia mengarahkan mobilnya menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang letaknya cukup jauh di luar kota, di sebuah area terpencil yang jarang dilalui orang.

Perjalanan menuju TPA terasa panjang dan sunyi. Setiap kali ia melirik kaca spion, ia merasa ada pandangan dingin yang mengikutinya dari tumpukan kayu ranjang di belakang mobil. Suasana di TPA terasa suram dan kotor. Bau busuk sampah yang menyengat menusuk hidungnya. Reza merasa lega ketika ia akhirnya tiba di sana. Ia segera mulai membongkar ranjang itu dari mobilnya, melemparkan setiap bagian kayu dengan tergesa-gesa ke tumpukan sampah yang menjulang tinggi.

Ketika ia sedang melempar bagian kepala ranjang yang berukiran rumit, seorang penjaga TPA bernama Sugeng mendekat. Sugeng adalah pria paruh baya dengan tubuh kurus dan tatapan mata yang tampak bosan. Ia mengamati ranjang yang dibuang Reza dengan rasa ingin tahu.

"Wah, Pak. Kenapa ranjang sebagus ini dibuang?" tanya Sugeng, matanya berbinar melihat ukiran rumit di kayu ranjang. "Ini terlihat unik dan mahal."

Reza berhenti sejenak, menatap Sugeng. Ia ingin menjelaskan semua yang terjadi, tentang mimpi-mimpi, kematian Pak Darman, dan penemuan mengerikan di dalamnya. Namun, ia ragu. Apakah Sugeng akan percaya? Atau ia akan menganggapnya gila? "Ini... ini ranjang tua, Pak. Sudah tidak terpakai," kata Reza, berusaha menyembunyikan ketakutan dalam suaranya.

"Sayang sekali. Padahal ini bisa jadi barang antik yang bagus," gumam Sugeng, lalu ia melirik ke arah anak-anaknya yang sedang bermain di gubuk kecil dekat pos penjagaan. Wajahnya tiba-tiba menunjukkan ide. "Bolehkah saya ambil, Pak? Lumayan buat anak saya. Mereka butuh ranjang baru."

Jantung Reza mencelos. Ia ingin berteriak, memperingatkan Sugeng, menjelaskan bahwa ranjang itu terkutuk, bahwa ranjang itu akan membawa kematian. Namun, kata-kata tercekat di tenggorokannya. Ia tahu, jika ia menceritakan semua itu, Sugeng mungkin tidak akan percaya, atau justru menganggapnya gila. "Sebaiknya jangan, Pak," kata Reza, berusaha terdengar tenang. "Ranjang ini... ada riwayatnya. Tidak bagus."

Sugeng hanya tersenyum tipis, menganggap peringatan Reza sebagai basa-basi. "Ah, Bapak ini. Ranjang tua mana ada riwayatnya. Saya ambil saja, Pak. Terima kasih banyak!" Tanpa menunggu jawaban Reza, Sugeng mulai mengumpulkan bagian-bagian ranjang itu dari tumpukan sampah. Ia tampak sangat senang, seolah menemukan harta karun.

Reza hanya bisa melihat dengan pasrah. Ia merasa bersalah, namun ia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Ia sudah memperingatkan. Ia tidak bisa memaksa. Ia akhirnya memutuskan untuk meninggalkan TPA, dengan perasaan berat dan firasat buruk yang tak kunjung hilang. Ia berharap Sugeng dan keluarganya tidak akan mengalami apa yang telah dialami keluarganya.

Malam itu, di gubuk kecil Sugeng, ranjang antik itu kembali berdiri tegak. Sugeng, dengan bangga, menunjukkan ranjang itu kepada anaknya, Dimas (10 tahun). "Lihat, Nak, Ayah dapat ranjang baru untukmu. Indah, kan?"

Dimas senang. Ranjang itu memang tampak megah di tengah gubuk kecil mereka. Ia segera berbaring di ranjang itu, merasakan kelembutan kasur yang baru dibelikan Sugeng. Ia memejamkan mata, dan dalam tidurnya, Dimas bermimpi.

Ia melihat seorang pria paruh baya, wajahnya pucat pasi, sedang berdiri di depan sebuah warung makan kecil yang terbakar hebat. Api melahap bangunan dengan cepat, asap hitam mengepul. Pria itu tampak panik, berusaha memadamkan api, namun ia terjebak di dalam warung yang kini menjadi lautan api. Ia berteriak kesakitan, tubuhnya hangus terbakar hidup-hidup. Dimas terbangun dengan jeritan, keringat dingin membanjiri tubuhnya. Napasnya tersengal-sengal, jantungnya berdebar kencang. Mimpi itu terasa begitu nyata, begitu mengerikan.

Bab 7 – Siklus Baru Dimulai

Dimas terbangun dari mimpi buruknya dengan napas terengah-engah. Ia terduduk di ranjang antik itu, tubuhnya gemetar ketakutan. Wajah pria yang terbakar hidup-hidup itu masih terbayang jelas di benaknya. Ia ingin berteriak, namun suaranya tercekat di tenggorokan. Ia melirik ke ukiran di ranjang, dan dalam kegelapan, ia bersumpah melihat wajah-wajah mengerang itu tersenyum samar, seolah mengejek ketakutannya.

Sugeng, yang tidur di matras tak jauh dari ranjang Dimas, terbangun mendengar suara napas anaknya yang berat. "Dimas? Ada apa, Nak? Mimpi buruk?" tanyanya, suaranya serak.

Dimas hanya bisa mengangguk, tidak bisa berkata-kata. Ia menunjuk ranjang. "Ranjang itu... ada orang terbakar, Ayah."

Sugeng menghela napas, mengira itu hanya ketakutan biasa anak-anak. "Sudah, itu cuma mimpi. Tidur lagi, Nak. Ini kan ranjang baru, pasti nyaman." Ia menepuk-nepuk kepala Dimas, berusaha menenangkan. Dimas mencoba kembali tidur, namun matanya terus melirik ke arah ukiran ranjang. Ia merasa ada sesuatu yang jahat di sana, sesuatu yang mengawasinya.

Keesokan harinya, seperti biasa, Sugeng pergi bekerja di TPA. Ia merasa segar setelah tidur nyenyak, dan ia bahkan sempat membual kepada rekan-rekannya tentang ranjang antik yang ia temukan. Namun, di tengah kesibukan mereka, sebuah berita mengejutkan menyebar dari mulut ke mulut. Sebuah warung makan di desa sebelah, milik Pak Amat, terbakar habis tadi malam. Pemiliknya, Pak Amat, ditemukan tewas di dalam, hangus terbakar.

Jantung Sugeng mencelos. Wajahnya memucat. Ia teringat mimpi anaknya semalam. Seseorang terbakar hidup-hidup. Dan pagi ini, kabar kematian Pak Amat, seorang tetangga yang ramah dan selalu tersenyum, persis seperti mimpi itu. Sugeng merasakan gelombang ketakutan yang dingin menjalar di sekujur tubuhnya. Ia teringat peringatan dari pria yang membuang ranjang itu. "Ranjang ini... ada riwayatnya. Tidak bagus."

Sekarang, Sugeng baru sadar ranjang itu membawa kutukan. Itu bukan hanya ranjang tua. Itu adalah portal menuju malapetaka, sebuah alat yang mengubah mimpi menjadi kenyataan tragis. Ia bergegas pulang, napasnya tersengal-sengal. Ia melihat Dimas sedang bermain di halaman gubuknya, dan kemudian pandangannya beralih ke dalam gubuk, ke arah ranjang antik yang kini berdiri tegak di kamar anaknya. Ukiran rumit di ranjang itu tampak lebih gelap, lebih mengerikan.

Ia masuk ke dalam gubuk, menatap ranjang itu dengan mata melotot. Ia mendekati ranjang, mengamati ukiran-ukiran yang tadinya ia anggap indah. Dan sekarang, ia bisa melihatnya dengan jelas. Di antara sulur-sulur bunga, wajah-wajah mengerang itu tersenyum samar. Sebuah senyum yang dingin, kemenangan, dan penuh kekejaman. Seolah-olah ranjang itu puas dengan korban barunya, dan siap untuk mengklaim lebih banyak lagi.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)