Cerpen
Disukai
1
Dilihat
1,820
Kutukan Merapi Tua
Horor

Peringatan Penduduk

Tujuh pasang mata yang berbinar penuh semangat, mencerminkan gejolak jiwa muda yang haus petualangan, menatap ke arah megahnya Gunung Merapi Tua yang menjulang gagah di kejauhan. Di kaki gunung itulah terhampar Desa Kaki Langit, sebuah permukiman terpencil yang seolah menjadi gerbang terakhir menuju misteri dan keindahan yang tersembunyi. Udara di desa itu terasa berat, dinginnya menusuk tulang, namun di sela-sela dingin itu terselip aroma kemenyan yang samar, menambah nuansa mistis yang tak dapat diabaikan. Arif, pemimpin rombongan yang cenderung pragmatis namun berpengalaman dalam seluk-beluk pendakian, berencana untuk memulai perjalanan mereka saat fajar masih remang. Namun, takdir berkata lain.

Begitu mereka menjejakkan kaki di warung makan satu-satunya di desa itu, sebuah warung sederhana yang menjadi pusat kehidupan sosial masyarakat setempat, sesosok Nenek Tua dengan sorot mata tajam yang seolah menembus jiwa dan kerutan-kerutan di wajahnya yang mengisahkan ribuan cerita, mendekati mereka. Langkahnya perlahan namun pasti, seolah setiap jejak kakinya mengandung kearifan yang telah teruji zaman. Dengan suara serak yang memecah keheningan, suara yang bergetar namun penuh penekanan, ia memperingatkan mereka tentang sebuah larangan keras yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari adat dan kepercayaan masyarakat setempat: larangan membawa atau mengenakan warna merah di gunung itu.

Nenek Tua itu, dengan tatapan yang semakin serius, mulai bercerita tentang "Penjaga Merah," arwah penunggu gunung yang telah ada sejak zaman leluhur. Konon, arwah itu akan murka jika aturan tersebut dilanggar, membawa malapetaka bagi siapa pun yang berani menentangnya. Kisah-kisah tentang pendaki-pendaki sebelumnya yang mengabaikan peringatan serupa dan tak pernah kembali, bergema dalam setiap kata yang diucapkannya. Ia menjelaskan bahwa warna merah, dalam konteks gunung itu, dianggap sebagai simbol kemarahan dan agresi, yang dapat membangkitkan entitas penjaga tersebut.

Namun, di antara ketujuh pendaki itu, ada empat jiwa muda yang tampaknya tak terpengaruh oleh kisah-kisah mistis. Bima, si arogan, dengan senyum sinisnya, menganggapnya sebagai takhayul kuno yang tak relevan di era modern. Risa, si ceroboh yang suka tampil, dengan cepat merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah topi merah menyala, mengenakannya dengan sengaja. Danu, si pembuat lelucon, yang selalu mencari celah untuk menghibur suasana, menimpali dengan guyonan tentang arwah yang takut pada warna. Dan Kiki, si pendiam yang diam-diam skeptis, meskipun tak banyak bicara, sorot matanya menunjukkan keraguan yang mendalam terhadap cerita Nenek Tua itu. Mereka berempat bahkan dengan sengaja mengenakan atribut merah yang mencolok: Bima dengan jaket merah menyala yang kontras dengan hijaunya pepohonan, Risa dengan topi merahnya yang menarik perhatian, Danu dengan tas punggung merah cerah, dan Kiki dengan bandana merah yang terikat di pergelangan tangannya, seolah menantang takdir. Mereka tertawa, tawa yang terdengar hampa di tengah suasana yang mulai terasa mencekam.

Di sisi lain, Santi, satu-satunya pendaki yang sangat percaya takhayul, terlihat sangat gelisah. Raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Ia mencoba meyakinkan teman-temannya untuk menuruti peringatan Nenek Tua itu, suaranya bergetar saat ia menjelaskan kembali bahaya yang mungkin mengintai. Namun, bujukannya tak digubris. Yoga, si logis, mencoba menengahi, mencari titik temu antara kepercayaan dan rasionalitas, sementara Lina, si mediator, berusaha menenangkan suasana yang mulai tegang. Namun, keputusan telah bulat. Rombongan itu tetap melanjutkan perjalanan, menyepelekan kearifan lokal yang telah berakar selama turun-temurun, sebuah warisan pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi untuk menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.

Raut wajah Nenek Tua itu, yang semula menunjukkan ketegasan, kini berubah menjadi ekspresi sedih dan pasrah saat mereka melangkah pergi. Sorot matanya dipenuhi kesedihan yang mendalam, seolah ia tahu nasib buruk akan menimpa mereka. Ia hanya bisa menghela napas, menyaksikan langkah-langkah yang penuh keyakinan namun juga penuh kecerobohan itu. Peringatan telah disampaikan, namun diabaikan. Dan di balik punggung mereka, Merapi Tua seolah menanti dengan misteri dan kekuatan yang tak dapat mereka duga.

Pendakian Awal yang Normal

Fajar mulai menyingsing, memancarkan cahaya keemasan yang menembus celah-celah dedaunan. Pendakian dimulai dengan penuh semangat yang membara, seolah semua keraguan dan peringatan telah sirna ditelan optimisme. Matahari pagi menyinari jalur setapak yang berkelok, sebuah jalur yang terbentang di antara hutan pinus yang menjulang tinggi, mengeluarkan aroma segar yang memabukkan. Setiap langkah mereka diiringi canda tawa dan obrolan ringan, menciptakan suasana yang riang gembira.

Pos 1 hingga Pos 3 dilewati dengan mudah, seolah gunung itu menyambut mereka dengan tangan terbuka. Arif, dengan pengalamannya, memimpin di depan, menunjukkan jalur terbaik dan memberikan tips-tips pendakian. Sementara itu, Lina dengan cekatan mendokumentasikan setiap momen perjalanan mereka dengan kameranya, mengabadikan senyum, tawa, dan keindahan alam yang mereka lewati. Interaksi antar pendaki menunjukkan karakter mereka yang berbeda namun saling melengkapi. Bima sesekali mengeluh tentang medan yang berat, namun keluhannya segera ditertawakan oleh Danu yang tak henti-hentinya melontarkan lelucon untuk mencairkan suasana. Risa sibuk berfoto, mencari spot-spot indah untuk diabadikan di media sosialnya, sementara Kiki, meskipun pendiam, sesekali memberikan saran praktis tentang jalur atau berbagi bekal dengan teman-temannya. Ia adalah pendengar yang baik, dan kehadirannya memberikan keseimbangan dalam kelompok yang dinamis itu.

Di tengah keceriaan itu, Santi terlihat gelisah setiap kali melihat atribut merah yang dikenakan teman-temannya. Setiap kali Danu melontarkan lelucon tentang "Penjaga Merah," Santi akan menatapnya dengan tatapan khawatir, seolah melihat bayangan malapetaka. Ia mencoba mengingatkan mereka, namun suaranya tenggelam dalam riuhnya canda tawa. Di sisi lain, Yoga, meskipun secara logis tidak percaya pada mitos, tetap menghormati kepercayaan orang lain. Ia tidak ikut menertawakan Santi, namun juga tidak terlalu mempercayai cerita Nenek Tua itu. Ia mengamati segala sesuatu dengan pikiran terbuka, mencoba mencari penjelasan rasional untuk setiap kejadian.

Malam pertama tiba, menyelimuti hutan dengan selubung kegelapan. Mereka mendirikan tenda di Pos 3, sebuah area datar di tepi tebing dengan pemandangan lembah yang memukau. Langit bertabur bintang, menciptakan pemandangan yang tak terlupakan. Mereka menyalakan api unggun, api yang menari-nari memantulkan cahaya di wajah-wajah yang lelah namun bahagia. Aroma mie instan yang dimasak di atas api unggun menyebar, menambah kehangatan suasana. Suasana akrab terasa di antara mereka, berbagi cerita, tertawa, dan melupakan sejenak beban pikiran.

Namun, di tengah kehangatan dan keakraban itu, sesuatu yang mengganggu mulai merayapi. Di tengah malam, saat semua tertidur pulas, Yoga terbangun dari tidur lelapnya. Ia merasa tidak nyaman, seolah ada yang mengawasi dari balik kegelapan. Udara terasa lebih dingin, dan suara-suara malam terdengar lebih jelas, lebih menakutkan. Ia mengalami mimpi aneh: ia melihat siluet merah yang melayang di antara pepohonan, bergerak tanpa suara, seolah memanggil-manggil nama teman-temannya yang mengenakan warna merah. Suara panggilan itu terdengar seperti bisikan, namun menusuk hingga ke relung jiwanya.

Keringat dingin membasahi dahinya saat ia terbangun, jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul dadanya seolah ingin keluar. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya efek dari kelelahan, hasil dari perjalanan panjang dan tidur di alam bebas. Namun, firasat buruk mulai merayapi benaknya, sebuah perasaan yang tak dapat dijelaskan, seolah ada sesuatu yang tak beres, sesuatu yang melampaui logika dan rasionalitasnya. Mimpi itu terasa begitu nyata, dan siluet merah itu seolah masih terbayang di pelupuk matanya. Ia hanya bisa terdiam, menatap kegelapan di luar tenda, berharap fajar segera menyingsing.

Gangguan Halus

Memasuki hari kedua pendakian, di sekitar Pos 4 dan Pos 5, suasana mulai berubah secara signifikan. Semangat yang membara di awal perjalanan perlahan memudar, digantikan oleh perasaan yang semakin tidak nyaman. Hutan semakin rimbun, pepohonan tumbuh sangat rapat, seolah membentuk dinding hijau yang tak berujung. Kabut tipis mulai menyelimuti jalur, mengurangi jarak pandang dan menambah kesan misterius pada lingkungan sekitar.

Para pendaki mulai merasakan perasaan aneh, seolah ada yang mengikuti mereka dari balik pepohonan. Sensasi itu seperti hembusan napas dingin di tengkuk, atau bayangan yang melintas di ujung mata. Risa, yang biasanya ceria, melaporkan melihat bayangan merah samar di kejauhan, di antara pepohonan yang lebat. Ia mencoba menunjuknya, namun ketika ia melakukan itu, bayangan itu menghilang begitu saja, seolah tak pernah ada. Kejadian itu membuatnya terdiam sejenak, namun ia segera menepisnya, menganggapnya hanya halusinasi akibat kelelahan.

Danu, yang biasanya periang dan tak kenal takut, mengaku merasa seperti ada yang menarik pergelangan kakinya saat berjalan di jalur sempit yang menanjak. Tarikan itu membuatnya hampir terjatuh, namun ia berhasil menyeimbangkan diri. Ia mengira itu hanya karena terpeleset, namun rasa merinding menjalar di tulang punggungnya, sebuah perasaan yang tidak dapat dijelaskan secara logis. Ia mencoba melontarkan lelucon untuk menutupi rasa takutnya, namun suaranya terdengar sedikit gemetar.

Malam itu, di Pos 5, saat semua tertidur pulas, Santi dan Lina sama-sama terbangun oleh suara langkah kaki tambahan di luar tenda mereka. Suara itu terdengar sangat jelas, seperti langkah berat seseorang yang menyeret kakinya, berputar-putar di sekitar tenda. Jantung mereka berdebar kencang, ketakutan mulai merayapi. Mereka saling berpandangan dengan cemas, berusaha mencari tahu siapa yang berada di luar.

Arif mencoba menenangkan mereka, menganggap itu hanya suara binatang malam atau pendaki lain yang kebetulan lewat. Dengan senter di tangan, ia memberanikan diri untuk memeriksa. Namun, ketika ia membuka tenda dan menyorotkan cahaya senternya, tidak ada siapa-siapa di luar. Cahaya senter hanya menembus kegelapan dan kabut yang semakin pekat, seolah menelan semua keberadaan. Dinginnya malam semakin menusuk, dan keheningan yang tiba-tiba melanda setelah suara langkah kaki itu lenyap, terasa lebih menyeramkan.

Meskipun kejadian-kejadian aneh ini mulai memunculkan kegelisahan, para pendaki yang mengenakan atribut merah—Bima, Risa, Danu, dan Kiki—menganggap semua kejadian ini hanya efek dari kelelahan dan imajinasi yang terlalu liar di tengah hutan yang sunyi. Mereka menertawakan kekhawatiran teman-temannya, menganggapnya sebagai lelucon atau paranoia yang berlebihan. Mereka tak menyadari bahwa gangguan halus itu hanyalah permulaan dari kengerian yang akan datang, sebuah pertanda bahwa peringatan Nenek Tua itu bukanlah isapan jempol belaka. Mereka masih terlalu sombong untuk memahami kekuatan mistis yang mereka hadapi.

Kehilangan Arah

Setelah melewati Pos 6, keanehan semakin intens, seolah hutan itu sendiri mulai menunjukkan taringnya. Suasana terasa sangat mencekam, seolah waktu telah berhenti, dan mereka terjebak dalam dimensi lain. Hutan terasa semakin gelap dan rimbun, dengan pepohonan yang menjulang tinggi hingga menutupi sinar matahari, menciptakan lorong-lorong bayangan yang menakutkan.

Mereka menyadari bahwa jalur yang mereka lalui terasa asing, tidak sesuai dengan peta yang dibawa Arif. Peta itu, yang seharusnya menjadi panduan, kini terasa seperti barang tak berguna. Lebih parah lagi, kompas mereka tiba-tiba tidak berfungsi, jarumnya berputar tak tentu arah, seolah kehilangan kemampuannya untuk menunjukkan utara. GPS di ponsel mereka juga gagal mendapatkan sinyal, hanya menampilkan "mencari lokasi" tanpa henti, menambah keputusasaan mereka. Mereka mencoba berbagai cara, mengguncang kompas, me-restart ponsel, namun hasilnya nihil.

Pos 7, 8, dan 9 yang seharusnya menjadi titik-titik penanda perjalanan mereka, terlihat berbeda dan tidak seperti biasanya. Pepohonan tumbuh sangat rapat, seolah membentuk labirin alami yang tak berujung. Jalur-jalur kecil terasa sama, seolah mereka berputar-putar di area yang sama tanpa kemajuan berarti. Setiap kali mereka merasa telah maju, mereka justru kembali ke titik awal.

Kepanikan mulai melanda. Wajah-wajah yang sebelumnya penuh semangat kini dihiasi ketakutan. Suara-suara berbisik terdengar dari balik semak-semak, memanggil nama-nama mereka dengan nada yang menyeramkan, seolah ada entitas tak kasat mata yang mengolok-olok mereka. Angin dingin berhembus, membawa serta aroma anyir yang samar, aroma yang mirip dengan bau darah atau sesuatu yang membusuk, menambah kengerian di tengah hutan.

Bima mulai marah-marah, menyalahkan Arif yang dianggap salah jalur, suaranya dipenuhi frustrasi dan ketakutan. Risa mulai menangis, merasa putus asa dan kelelahan, air matanya membasahi pipinya yang pucat. Danu mencoba tetap tenang, namun raut wajahnya menunjukkan ketakutan yang jelas, lelucon-leluconnya tak lagi mampu menutupi kengerian yang ia rasakan.

Arif mencoba menjaga akal sehatnya, berkali-kali memeriksa peta dan kompas yang tak berfungsi, berharap menemukan jawaban atau setidaknya petunjuk. Namun, semua usahanya sia-sia. Yoga, yang biasanya logis dan rasional, mulai meragukan segala penjelasannya, mengakui bahwa ada sesuatu yang melampaui pemahamannya. Ia mulai berpikir bahwa ada kekuatan lain yang bekerja di gunung ini. Santi berdoa tanpa henti, memohon perlindungan dari Yang Maha Kuasa, suaranya bergetar namun penuh keyakinan.

Mereka tahu mereka tersesat, terperangkap dalam labirin hutan yang seolah hidup. Setiap langkah terasa sia-sia, setiap arah terasa salah. Mereka seperti boneka yang dimainkan oleh kekuatan tak terlihat, diseret semakin dalam ke jantung kengerian. Harapan untuk keluar dari gunung itu perlahan memudar, digantikan oleh rasa putus asa yang mendalam. Mereka hanya bisa berharap bahwa malam tidak akan membawa kengerian yang lebih parah.

Arwah Halus dan Kerasukan

Di Pos 9, sebuah area terbuka yang dikelilingi pohon-pohon besar dan tua yang menjulang tinggi, ketegangan mencapai puncaknya. Suasana terasa sangat mencekam, seolah ada energi tak kasat mata yang merasuki tempat itu, membuat bulu kuduk berdiri. Udara terasa berat, dipenuhi aura dingin yang menyesakkan.

Tiba-tiba, Bima dan Risa, dua pendaki yang paling mencolok dengan atribut merah mereka, mulai menunjukkan perilaku aneh yang membuat semua orang terpaku. Mata mereka melotot, pandangan kosong, dan tubuh mereka bergetar tak terkendali, seolah diserang oleh kekuatan yang tak terlihat. Mereka mulai bergumam tidak jelas, suara-suara yang tak dapat dimengerti, namun mengandung nada ancaman.

Lalu, secara bersamaan, mereka berdua berteriak halusinasi dengan suara yang bukan suara mereka sendiri, melainkan suara berat dan mengerikan, seolah ada entitas lain yang berbicara melalui mulut mereka. "Dia datang! Dia datang untuk merahnya!" teriak Bima, matanya menatap tajam ke arah jaket merah menyalanya. "Kembalikan merahnya! Kalian tidak seharusnya membawanya!" Risa menambahkan, suaranya melengking penuh kemarahan, tangannya mencengkeram topi merahnya. Teriakan itu menggema di seluruh area terbuka, membuat darah mereka berlima seolah membeku.

Kiki dan Danu mencoba menenangkan mereka, mendekat dengan hati-hati, mencoba memegang bahu Bima dan Risa. Namun, Bima dan Risa justru meronta dengan kekuatan yang aneh, kekuatan yang melampaui batas manusia biasa. Mereka mendorong Kiki dan Danu hingga terjatuh, seolah tak ada yang mampu menahan mereka.

Dalam sekejap, mereka berdua lari masuk ke dalam hutan lebat yang gelap, menerobos semak-semak tanpa arah, seolah dikejar oleh sesuatu yang tak terlihat. Kecepatan mereka sangat tidak wajar, seperti bukan manusia biasa. Suara teriakan mereka perlahan menghilang ditelan kegelapan, meninggalkan lima orang yang tersisa dalam ketakutan yang mendalam.

Arif, Yoga, Lina, dan Santi terpaku dalam ketakutan yang mencengkeram. Mereka berteriak memanggil nama Bima dan Risa, mencoba mengejar, namun kegelapan dan kecepatan keduanya yang tidak wajar membuat mereka kewalahan. Mereka terpaksa menyerah, menyisakan lima orang yang tersisa, diliputi kengerian dan keputusasaan yang mendalam.

Mereka tahu, ini bukan lagi sekadar tersesat. Ini adalah kekuatan jahat yang nyata, sebuah entitas mistis yang telah murka dan kini menuntut balas. Warna merah yang mereka kenakan telah menarik perhatian sang Penjaga Merah, dan kini mereka harus membayar mahal atas kesombongan mereka. Suara-suara bisikan di hutan seolah menertawakan mereka, dan dinginnya malam terasa semakin menusuk, seolah alam itu sendiri menolak keberadaan mereka.

Upaya Bertahan dan Kegagalan

Setelah hilangnya Bima dan Risa yang mengerikan, kepanikan mendera keempat pendaki yang tersisa dengan intensitas yang lebih dahsyat. Kehilangan dua anggota rombongan dalam sekejap mata telah menghancurkan sisa-sisa keberanian mereka. Danu dan Kiki, yang masih mengenakan atribut merah yang tersisa, diliputi ketakutan yang luar biasa. Wajah mereka pucat pasi, dan tubuh mereka bergetar tak terkendali. Mereka segera mencoba mengganti baju dan bandana merah mereka dengan pakaian lain yang mereka miliki, berharap kutukan itu akan berhenti, berharap sang Penjaga Merah akan puas dengan hilangnya Bima dan Risa. Namun, sia-sia. Perasaan diawasi tidak mereda, justru semakin kuat, seolah ada sepasang mata tak terlihat yang terus mengikuti setiap gerakan mereka.

Mereka mencoba mencari jalan keluar dari hutan yang semakin menyesatkan. Dengan Arif di depan, memegang peta yang kini terasa tak berguna, mereka berusaha mencari jalan setapak yang familier. Namun, setiap kali mereka berpikir telah menemukan jalur baru, jalur itu selalu mengarah kembali ke titik yang sama, seolah ada kekuatan tak kasat mata yang menahan mereka, mengurung mereka dalam lingkaran setan. Pepohonan seolah bergerak, membentuk dinding tak terlihat yang mencegah mereka untuk melarikan diri, seolah hutan itu sendiri adalah makhluk hidup yang enggan melepaskan mangsanya.

Arwah semakin intens muncul. Sosok merah yang melayang di antara pepohonan semakin jelas terlihat, terkadang melintas di depan mereka dalam sekejap mata, memberikan sensasi dingin yang menusuk. Suara perempuan menangis pilu terdengar dari segala arah, diiringi bisikan-bisikan yang tak jelas, seolah ribuan suara tanpa wujud mengelilingi mereka, mencoba menggila mereka dengan ketakutan. Suara tangisan itu begitu menyayat hati, namun juga penuh ancaman, membuat bulu kuduk mereka berdiri.

Mereka mulai kelelahan, fisik dan mental mereka terkuras habis. Setiap langkah terasa berat, setiap napas terasa sesak. Persediaan makanan dan air menipis, hanya tersisa beberapa bungkus mi instan dan beberapa liter air. Harapan untuk keluar dari gunung itu perlahan pupus, digantikan oleh rasa putus asa yang mendalam. Mereka tahu, mereka terjebak, dan sang Penjaga Merah tidak akan melepaskan mereka begitu saja. Mimpi buruk itu telah menjadi kenyataan, dan mereka hanyalah bidak-bidak dalam permainan mengerikan yang dimainkan oleh kekuatan yang tak dapat mereka pahami.

Di tengah keputusasaan itu, mereka mencoba untuk tetap bertahan, berbagi sisa makanan dan air, mencoba saling menguatkan. Namun, tatapan kosong di mata mereka menunjukkan bahwa semangat mereka perlahan telah padam. Mereka hanya bisa menunggu, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya, dengan bayangan sosok merah yang terus menghantui setiap detik hidup mereka.

Jurang Terakhir

Malam kembali tiba, membawa serta dingin yang menusuk tulang dan kegelapan yang pekat yang terasa lebih mencekik dari sebelumnya. Ketiga pendaki yang tersisa—Danu, Kiki, dan Arif—berkumpul di satu titik, di bawah naungan pohon besar yang mereka anggap paling aman. Mereka mencoba mempertahankan diri dengan sisa-sisa tenaga dan harapan yang masih mereka miliki, meskipun harapan itu kini sangat tipis. Santi dan Lina berada di tenda lain yang berjarak beberapa meter, mencoba berdoa dan menenangkan diri, suara-suara doa mereka terdengar samar di tengah keheningan yang menakutkan.

Tiba-tiba, tanpa peringatan, Danu dan Kiki, yang masih mengenakan beberapa sisa atribut merah meskipun sudah diganti, merasakan sesuatu yang mengerikan. Tanah di bawah kaki mereka bergetar, getaran itu semakin kuat, seolah ada gempa bumi lokal yang terjadi. Dan kemudian, mereka merasa seperti ditarik sesuatu dari dalam tanah, sebuah kekuatan tak terlihat yang menarik mereka ke bawah dengan cepat. Mereka berteriak panik, teriakan yang memecah keheningan malam, namun tak ada yang bisa mereka lakukan.

Kiki mencoba berpegangan pada Danu, berharap bisa menahan tarikan itu, berharap satu sama lain bisa menjadi jangkar. Namun, kekuatan itu terlalu besar, seolah ratusan tangan tak terlihat menarik mereka ke dasar bumi. Dalam sekejap mata, keduanya tertarik ke bawah, menghilang ditelan kegelapan jurang yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka, jurang yang sebelumnya tak terlihat oleh mata telanjang. Suara jeritan mereka memecah keheningan malam, bergema di antara pepohonan, sebelum akhirnya lenyap sama sekali, meninggalkan kesunyian yang lebih mengerikan.

Arif, Santi, dan Lina yang tersisa hanya bisa menyaksikan kengerian itu dengan mata terbelalak, tak berdaya. Tubuh mereka membeku, tak mampu bergerak, tak mampu berbicara. Mereka kini hanya bertiga, dikelilingi oleh ketakutan yang mencekik. Bayangan jurang yang menelan teman-teman mereka masih terbayang di benak mereka. Mereka mencoba bertahan di satu titik yang mereka anggap aman, berpelukan erat, memanjatkan doa-doa terakhir mereka hingga pagi tiba, berharap bisa selamat dari mimpi buruk yang mengerikan ini. Malam itu terasa sangat panjang, setiap detik adalah siksaan, setiap bayangan adalah ancaman. Mereka hanya bisa menunggu, berharap fajar membawa akhir dari kengerian yang tak berujung ini.

Ditemukan dan Rahasia yang Terkubur

Esok pagi, setelah malam yang terasa abadi, matahari akhirnya menampakkan sinarnya, menyinari hutan yang basah oleh embun. Cahaya pagi yang redup menembus celah-celah dedaunan, menciptakan kilau misterius di antara pepohonan. Tiga pendaki yang tersisa – Arif, Santi, dan Lina – ditemukan oleh rombongan lain yang sedang mendaki dan tim SAR yang telah menerima laporan kehilangan mereka. Mereka ditemukan dalam keadaan pingsan, terpencar jauh dari titik awal mereka tersesat, dengan tubuh dipenuhi goresan dan wajah pucat pasi karena ketakutan yang mendalam. Pakaian mereka compang-camping, dan mata mereka menunjukkan trauma yang tak terlukiskan.

Setelah siuman dan mendapatkan perawatan medis darurat, mereka menceritakan semua kengerian yang mereka alami dengan suara yang lemah dan gemetar. Mereka bercerita tentang peringatan Nenek Tua yang diabaikan, tentang gangguan halus yang mengawali kengerian, tentang hilangnya arah yang membuat mereka terperangkap, tentang kerasukan yang merenggut Bima dan Risa, hingga detik-detik mengerikan saat teman-teman mereka jatuh ke jurang yang tiba-tiba muncul. Setiap kata yang mereka ucapkan dipenuhi ketakutan dan keputusasaan, membuat tim SAR dan para pendaki lainnya terdiam mendengarkan.

Pencarian besar-besaran pun dilakukan untuk menemukan keempat pendaki yang hilang. Tim SAR menyisir setiap sudut gunung, setiap celah, setiap tebing, termasuk jurang yang disebutkan oleh ketiga korban selamat. Mereka menggunakan segala peralatan dan teknik yang tersedia, namun hasilnya nihil. Tidak ada jejak, tidak ada sisa-sisa atribut merah, seolah keempatnya lenyap ditelan bumi. Gunung itu seolah menelan mereka tanpa meninggalkan jejak, hanya menyisakan misteri.

Para warga desa yang mendengar cerita itu hanya bisa menggelengkan kepala, tatapan mereka dipenuhi kesedihan dan pemahaman. Salah seorang warga tua, dengan suara yang berat dan pandangan kosong yang seolah melihat jauh ke masa lalu, hanya berkata: “Mereka sudah dipanggil oleh penjaga merah… Mereka tidak mendengarkan peringatan kami.” Kata-kata itu menggema, menguatkan keyakinan bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari akal manusia yang bersemayam di gunung itu.

Misteri hilangnya keempat pendaki berbaju merah itu tetap menjadi rahasia yang terkubur di dalam gunung, tak terpecahkan dan tak terjelaskan oleh logika. Kisah ini meninggalkan trauma mendalam bagi ketiga korban selamat, sebuah luka yang tak akan pernah sembuh. Dan kisah ini, yang dimulai dengan peringatan seorang Nenek Tua dan berakhir dengan tragedi yang tak terbayangkan, segera menjadi legenda baru yang diceritakan dari mulut ke mulut, sebuah peringatan yang kuat tentang kekuatan mistis yang tak boleh dianggap remeh, sebuah pengingat bahwa alam memiliki rahasia-rahasia yang tak dapat kita sentuh, tak dapat kita pahami, dan tak boleh kita abaikan. Gunung Merapi Tua tetap berdiri gagah, namun kini ia menyimpan lebih banyak cerita, lebih banyak misteri, dan lebih banyak kengerian.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)