Masukan nama pengguna
Udara Makassar terasa begitu menyesakkan malam itu, bahkan bagi Rian yang baru beberapa bulan kembali ke kota kelahirannya. Debu jalanan yang bercampur dengan uap knalpot seolah enggan beranjak dari permukaannya. Ia mengendarai motor bebek bututnya menyusuri jalanan yang semakin lengang, lampu-lampu toko mulai redup satu per satu, menandakan sebagian besar aktivitas kota telah usai. Tujuannya adalah sebuah rumah tua di kawasan pinggiran, rumah yang menyimpan kenangan masa kecil yang samar-samar dan kini, menjadi satu-satunya warisan yang ditinggalkan oleh kakeknya.
Kakeknya, seorang pria tua yang eksentrik dan lebih banyak menghabiskan waktunya di luar kota, meninggal dunia beberapa minggu yang lalu. Rian, sebagai satu-satunya ahli waris, mau tidak mau harus mengurus rumah itu. Sejujurnya, ia tidak terlalu dekat dengan kakeknya. Pertemuan mereka bisa dihitung jari dalam setahun. Namun, rasa tanggung jawab dan sedikit rasa penasaran mendorongnya untuk datang dan melihat rumah tersebut.
Rumah itu terletak di ujung jalan buntu, dikelilingi oleh pepohonan rimbun yang membuatnya tampak terpencil dan sedikit menakutkan, terutama di malam hari. Cat temboknya mengelupas di beberapa bagian, memperlihatkan bata merah di baliknya. Jendela-jendelanya tampak gelap dan kosong, seperti mata yang kehilangan cahayanya. Halaman depannya dipenuhi oleh ilalang yang tumbuh liar, seolah rumah itu telah lama ditinggalkan dan dilupakan.
Rian memarkir motornya di halaman yang berkerikil. Suara derit rantai motor yang bergesekan dengan batu-batu kecil terasa memecah kesunyian malam. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian sebelum melangkah menuju pintu utama. Pintu kayu besar itu tampak kokoh namun juga rapuh dimakan usia. Gagang pintunya terbuat dari besi berkarat, terasa dingin saat disentuh.
Dengan sedikit ragu, Rian memutar gagang pintu. Suara decitan nyaring terdengar saat pintu itu terbuka, menguak kegelapan di dalamnya. Bau pengap, debu, dan aroma kayu lapuk langsung menyeruak ke hidungnya, membuatnya sedikit terbatuk. Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponselnya, mengaktifkan fitur senter untuk menerangi jalan.
Cahaya dari ponselnya hanya mampu menembus beberapa meter ke dalam rumah, namun cukup untuk memberikan gambaran sekilas tentang interiornya. Ruang tamu tampak luas dengan perabotan tua yang ditutupi kain putih. Sosok-sosok samar perabotan itu di bawah kain kafan putih tampak seperti hantu yang sedang bersembunyi, menambah kesan angker pada rumah tersebut.
Rian melangkah masuk dengan hati-hati, merasakan lantai kayu di bawah kakinya berderit pelan seolah mengeluh karena bebannya. Suara langkahnya sendiri di tengah keheningan rumah terasa begitu keras dan mengganggu. Ia menyusuri ruang tamu, mengamati perabotan yang tertutup rapat. Ada sebuah lemari besar di sudut ruangan, sebuah sofa panjang dengan ukiran-ukiran kuno, dan beberapa kursi rotan yang tampak usang.
Ia memutuskan untuk menjelajahi ruangan lain di lantai satu. Ada sebuah ruang makan yang cukup besar dengan meja kayu panjang dan beberapa kursi. Di salah satu sudut ruangan, ia melihat sebuah bufet tua dengan pintu-pintu kaca yang buram. Di belakang ruang makan, ia menemukan dapur yang tampak lebih berantakan. Peralatan masak yang berkarat dan debu tebal menutupi hampir seluruh permukaan.
Setelah memeriksa lantai satu, Rian merasa ada sesuatu yang menariknya ke lantai atas. Tangga kayu yang terletak di dekat ruang tamu tampak gelap dan mengundang. Dengan langkah yang lebih hati-hati, ia mulai menaiki tangga. Setiap anak tangga berderit dengan bunyi yang berbeda, menciptakan melodi aneh di tengah keheningan.
Lantai atas terdiri dari beberapa kamar tidur dan sebuah lorong panjang yang gelap. Udara di lantai atas terasa lebih dingin dan pengap. Rian menyinari lorong dengan senter ponselnya, mencoba melihat pintu-pintu kamar di sepanjang lorong. Sebagian besar pintu tertutup rapat.
Ia mencoba membuka salah satu pintu kamar yang terdekat. Pintu itu terbuka dengan engsel yang berkarat, mengeluarkan suara gesekan yang panjang dan menyeramkan. Di dalam kamar, ia melihat sebuah tempat tidur kayu dengan kasur yang tampak lusuh. Sebuah lemari pakaian tua berdiri di sudut ruangan, pintunya sedikit terbuka, memperlihatkan gantungan baju yang kosong. Meja rias dengan cermin berdebu juga terlihat di dekat jendela.
Tidak ada yang terlalu menarik di kamar itu. Rian menutup pintu dan mencoba kamar lain di ujung lorong. Pintu kamar ini terasa lebih berat saat dibuka. Di dalamnya, ia menemukan sebuah ruangan yang lebih luas dari kamar-kamar lain. Cahaya senter ponselnya menyorot ke berbagai sudut ruangan, memperlihatkan tumpukan barang-barang lama yang ditutupi kain.
Rasa penasaran Rian semakin meningkat. Ia mulai menyingkirkan kain-kain penutup itu satu per satu. Di bawah salah satu kain, ia menemukan sebuah kotak kayu berukir yang tampak tua. Kotak itu terkunci, dan ia tidak menemukan kuncinya di sekitar situ. Di sudut lain ruangan, ia melihat sebuah lukisan besar yang menghadap ke dinding. Ia membalik lukisan itu, memperlihatkan potret seorang pria tua dengan tatapan mata yang tajam dan sedikit angkuh. Ia menduga pria itu adalah kakeknya di masa muda.
Kemudian, perhatiannya tertuju pada sebuah pintu kecil di dinding bagian belakang ruangan. Pintu itu tampak berbeda dari pintu-pintu lain di rumah itu. Terbuat dari kayu yang lebih gelap dan tampak lebih kokoh, dengan ukiran-ukiran aneh di permukaannya. Tidak ada gagang pintu, hanya sebuah lubang kunci kecil.
Rian mencoba mendorong pintu itu, namun terkunci rapat. Ia penasaran apa yang ada di balik pintu itu. Apakah itu sebuah ruangan rahasia? Atau hanya sebuah gudang kecil? Ia tidak bisa menebaknya.
Setelah beberapa saat mencari, ia tidak menemukan kunci untuk pintu itu. Ia menghela napas, merasa sedikit frustrasi. Mungkin ia akan mencarinya lagi nanti. Untuk saat ini, ia memutuskan untuk kembali ke lantai bawah dan beristirahat sejenak.
Saat menuruni tangga, tiba-tiba ia merasakan hawa dingin yang menusuk tulang. Padahal, cuaca di luar tidak terlalu dingin. Bulu kuduknya berdiri tanpa alasan yang jelas. Ia mempercepat langkahnya, merasa ada sesuatu yang tidak beres di rumah ini.
Di ruang tamu, ia menyalakan lampu utama. Cahaya lampu yang redup sedikit mengurangi kesan angker rumah itu, namun tetap tidak bisa menghilangkan aura aneh yang menyelimutinya. Rian duduk di salah satu kursi rotan yang tampak masih cukup kuat. Ia mengeluarkan botol air mineral dari tasnya dan meneguknya beberapa kali.
Ia mulai memikirkan tentang kakeknya. Ia tidak pernah benar-benar mengenal pria itu. Mengapa kakeknya memilih tinggal di rumah terpencil seperti ini? Apa yang dilakukannya di sini sendirian? Banyak pertanyaan yang muncul di benaknya tanpa ada jawaban yang jelas.
Saat sedang berpikir, matanya tidak sengaja tertuju pada sudut ruangan yang sebelumnya gelap. Di sana, di atas sebuah meja kecil yang tertutup kain, ia melihat sesuatu yang berkilauan tertimpa cahaya lampu. Rian bangkit dari kursinya dan mendekati meja itu. Ia menarik kain penutupnya, memperlihatkan sebuah cermin kuno.
Cermin itu tampak sangat tua, dengan bingkai kayu berukir rumit yang tampak lapuk di beberapa bagian. Debu tebal menutupi permukaannya, membuatnya tampak buram. Namun, Rian bisa merasakan ada sesuatu yang istimewa dari cermin itu. Auranya terasa dingin, aneh, dan sedikit menyeramkan, seperti hawa dingin yang tadi sempat ia rasakan di lantai atas.
Dengan hati-hati, Rian mengangkat cermin itu. Bobotnya terasa lebih berat dari yang ia duga. Ukiran-ukiran di bingkainya tampak seperti motif tumbuhan dan makhluk-makhluk aneh yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Di bagian atas bingkai, terdapat ukiran sebuah mata yang tampak seperti sedang mengawasi.
Rian membersihkan debu yang menutupi permukaan cermin dengan ujung bajunya. Perlahan, bayangannya mulai terlihat di dalam cermin. Namun, ada sesuatu yang aneh. Bayangan itu tampak sedikit buram dan tidak terlalu jelas, seolah ada lapisan kabut tipis di antara dirinya dan pantulannya.
Ia mencoba menggerakkan tangannya, dan bayangannya mengikuti gerakannya. Namun, ada jeda waktu yang sangat kecil antara gerakannya dan gerakan bayangannya, seperti ada keterlambatan sesaat. Rian mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang tidak wajar.
Ia terus mengamati cermin itu, terpukau oleh keantikannya dan juga merasa sedikit tidak nyaman dengan auranya yang aneh. Tiba-tiba, ia melihat sesuatu yang membuatnya terkejut. Di dalam cermin, di belakang bayangannya sendiri, ia melihat sekilas bayangan lain. Bayangan itu tampak samar dan gelap, seperti sosok manusia namun tidak terlalu jelas bentuknya.
Rian menoleh ke belakang dengan cepat, namun tidak ada siapa pun di sana. Ia kembali melihat ke cermin, dan bayangan gelap itu sudah menghilang. Ia mengira mungkin itu hanya ilusi optik atau pantulan dari benda lain di ruangan itu.
Namun, perasaan tidak nyaman itu semakin kuat. Ia merasa seolah ada sesuatu yang mengawasi dirinya dari dalam cermin itu. Tatapan mata yang terukir di bagian atas bingkai cermin terasa semakin intens, seolah mata itu benar-benar hidup dan sedang mengamatinya.
Malam semakin larut, dan Rian merasa semakin lelah. Ia memutuskan untuk membawa cermin itu ke kamarnya di lantai atas. Mungkin di bawah cahaya lampu yang lebih terang, ia bisa melihatnya dengan lebih jelas.
Dengan hati-hati, ia membawa cermin itu menaiki tangga. Setiap langkah terasa semakin berat, seolah ada beban tambahan yang ia pikul selain berat cermin itu sendiri. Sesampainya di salah satu kamar tidur di lantai atas, ia meletakkan cermin itu di atas meja rias yang berdebu.
Ia menyalakan lampu kamar dan kembali menatap cermin itu. Di bawah cahaya lampu, ukiran-ukiran di bingkainya tampak lebih jelas. Motif tumbuhan yang melilit tampak seperti duri-duri tajam, dan makhluk-makhluk aneh itu tampak seperti sedang meringis kesakitan. Mata yang terukir di bagian atas bingkai tampak semakin mengawasi dengan tatapan yang dingin dan menusuk.
Rian kembali membersihkan permukaan cermin dengan kain bersih yang ia temukan di atas tempat tidur. Sekarang, bayangannya terlihat lebih jelas. Ia tersenyum tipis pada bayangannya sendiri. Namun, senyum itu langsung menghilang saat ia melihat ada sesuatu yang aneh pada bayangannya.
Bayangannya di cermin tidak tersenyum. Bibirnya tetap datar, dan matanya tampak kosong. Padahal, ia jelas-jelas sedang tersenyum saat melihat ke cermin. Rian terkejut dan langsung menghentikan senyumnya. Ia kembali melihat ke cermin, dan sekarang bayangannya juga tidak tersenyum.
Ia mencoba tersenyum lagi, dan sekali lagi, bayangannya tetap datar. Rasa dingin menjalari tubuhnya. Ia merasa ada sesuatu yang sangat tidak wajar dengan cermin ini. Bagaimana mungkin bayangannya tidak meniru ekspresinya?
Rian mencoba berbagai ekspresi wajah. Ia mengerutkan kening, tertawa kecil, bahkan menjulurkan lidahnya. Namun, bayangannya di cermin selalu tampak datar dan tanpa ekspresi. Hanya matanya yang tampak bergerak-gerak, seolah sedang mengamatinya dengan intens.
Ketakutan mulai mencengkeram hatinya. Ia yang selama ini selalu bersikap skeptis terhadap hal-hal mistis, kini dihadapkan pada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan dengan logika. Cermin di depannya seolah memiliki kehidupannya sendiri, sebuah entitas yang terperangkap di dalam kaca dan bingkai kayunya.
Ia mencoba menjauh dari cermin itu, namun rasa penasaran yang bercampur dengan ketakutan membuatnya tetap terpaku di tempatnya. Ia terus menatap bayangannya yang aneh di dalam cermin, mencoba mencari penjelasan atas fenomena ganjil ini.
Tiba-tiba, ia melihat bayangannya menggerakkan bibirnya. Bayangan itu tampak seperti sedang mengucapkan sesuatu, namun tidak ada suara yang keluar. Rian memicingkan matanya, mencoba membaca gerakan bibir bayangannya.
Perlahan, ia bisa menangkap kata-kata yang diucapkan oleh bayangannya. Kata-kata itu berbisik pelan, namun entah bagaimana Rian bisa merasakannya, seolah suara itu bergetar langsung di dalam kepalanya.
"Kau... tidak... sendiri..."
Rian tersentak mundur dari cermin itu, jantungnya berdebar kencang. Ia merasa rambut di tengkuknya berdiri. Apa yang baru saja terjadi? Apakah ia hanya berhalusinasi? Atau apakah cermin itu benar-benar berbicara kepadanya?
Ia menoleh ke sekeliling kamar, memastikan tidak ada orang lain di sana. Kamar itu kosong dan sunyi, hanya ada dirinya dan cermin aneh itu. Ia kembali menatap cermin itu dengan ragu. Bayangannya kini tampak normal kembali, meniru setiap gerakannya.
Mungkin ia hanya terlalu lelah dan berimajinasi yang tidak-tidak. Ia mencoba menenangkan dirinya, menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia memutuskan untuk mengabaikan kejadian aneh itu dan fokus untuk membersihkan rumah.
Keesokan harinya, Rian mulai membersihkan rumah warisan itu. Debu tebal dan sarang laba-laba menjadi pemandangan sehari-hari. Ia menemukan banyak barang-barang lama milik kakeknya, mulai dari buku-buku kuno, foto-foto hitam putih yang buram, hingga benda-benda aneh yang tidak ia mengerti fungsinya.
Saat membersihkan kamar tempat ia menemukan cermin itu, ia kembali melihat pintu kecil di dinding belakang. Rasa penasaran tentang apa yang ada di balik pintu itu kembali muncul. Ia mencoba mendorongnya lagi, namun tetap terkunci rapat. Ia mencari-cari di sekitar ruangan, berharap menemukan kunci yang mungkin terselip di suatu tempat. Namun, usahanya sia-sia.
Di tengah kegiatan membersihkannya, Rian beberapa kali merasa seperti ada yang memperhatikannya. Ia sering mendengar suara-suara aneh, seperti langkah kaki pelan di lantai atas atau bisikan-bisikan halus yang tidak jelas asalnya. Namun, setiap kali ia memeriksa, ia tidak menemukan apa pun. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya suara-suara rumah tua yang bergesekan atau hembusan angin.
Malam harinya, setelah seharian membersihkan rumah, Rian merasa sangat lelah. Ia memutuskan untuk memesan makanan dari luar dan beristirahat di kamarnya. Cermin kuno itu masih tergeletak di atas meja rias, sesekali menarik perhatiannya dengan kilauan samar dari permukaannya.
Saat sedang makan, tiba-tiba lampu di kamarnya berkedip-kedip tanpa alasan yang jelas. Rian terkejut dan langsung melihat ke arah lampu. Ia memeriksa saklar lampu, namun tidak ada masalah dengan kabelnya. Lampu itu terus berkedip-kedip dengan tidak teratur.
Perasaan tidak nyaman kembali menghantuinya. Ia merasa kejadian aneh semalam kembali terulang. Ia menatap cermin di meja rias, dan ia melihat bayangannya menatap balik dengan tatapan yang kosong.
Tiba-tiba, lampu kembali menyala dengan normal. Rian menghela napas lega, mengira mungkin hanya ada gangguan listrik sesaat. Ia mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya dan kembali melanjutkan makannya.
Namun, keanehan tidak berhenti sampai di situ. Saat ia sedang makan, ia mendengar suara ketukan pelan dari arah cermin. Ketukan itu terdengar seperti seseorang mengetuk permukaan kaca dengan jari.
Rian langsung menghentikan makannya dan menatap cermin itu dengan tegang. Ia tidak yakin apa yang baru saja ia dengar. Apakah itu benar-benar suara ketukan dari dalam cermin? Atau hanya imajinasinya saja?
Ia mencoba mengabaikannya dan kembali makan. Namun, beberapa saat kemudian, suara ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas dan lebih sering. Ketukan itu seolah memiliki ritme tertentu, seperti sedang mencoba menyampaikan sebuah pesan.
Dengan rasa takut dan penasaran yang bercampur aduk, Rian memberanikan diri untuk mendekati cermin itu. Ia berdiri tepat di depannya dan menatap bayangannya dengan saksama. Ia mencoba mendengarkan dengan seksama, berharap bisa memahami arti dari ketukan-ketukan itu.
Saat ia memusatkan perhatiannya pada cermin, tiba-tiba ia melihat bayangannya mengulurkan tangan. Bayangan itu tampak seperti ingin menyentuh permukaan cermin dari dalam. Rian terkejut dan secara refleks mundur beberapa langkah.
Ia melihat bayangannya tetap mengulurkan tangan, seolah berusaha keluar dari dalam cermin. Ketukan-ketukan itu semakin keras dan semakin cepat, menciptakan suara yang mengganggu dan menakutkan.
Rian tidak tahu harus berbuat apa. Ia merasa panik dan ketakutan. Ia ingin lari keluar dari kamar itu, namun kakinya terasa будто terpaku di lantai. Ia terus menatap cermin itu dengan ngeri, menyaksikan bayangannya melakukan hal-hal aneh yang tidak bisa ia kendalikan.
Tiba-tiba, bayangan itu berhasil menyentuh permukaan cermin dari dalam. Saat ujung jarinya menyentuh kaca, permukaan cermin itu tampak beriak seperti air yang tersentuh. Kemudian, dari dalam riakan itu, muncul sebuah tangan pucat dan kurus yang berusaha keluar dari cermin.
Rian berteriak ketakutan dan langsung berlari keluar dari kamar itu. Ia tidak berani melihat ke belakang, ia hanya ingin menjauh sejauh mungkin dari cermin mengerikan itu. Ia berlari menuruni tangga dengan tergesa-gesa, hampir terjatuh beberapa kali.
Sesampainya di lantai bawah, ia langsung menuju pintu utama dan membukanya lebar-lebar. Ia berlari keluar rumah tanpa alas kaki, tidak peduli dengan kerikil tajam yang menusuk telapak kakinya. Ia terus berlari menjauhi rumah itu, merasa dikejar oleh sesuatu yang tidak terlihat.
Ia berhenti berlari setelah merasa cukup jauh dari rumah itu. Ia terengah-engah, mencoba menenangkan diri. Jantungnya masih berdebar kencang, dan tubuhnya gemetar ketakutan. Ia tidak pernah menyangka bahwa rumah warisan kakeknya akan menyimpan kengerian seperti ini.
Setelah beberapa saat, Rian mulai merasa sedikit lebih tenang. Ia menyadari bahwa ia tidak bisa terus-terusan lari. Ia harus melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah ini. Ia memutuskan untuk kembali ke rumah itu dan mencari tahu lebih banyak tentang cermin aneh itu.
Dengan hati-hati, ia kembali mendekati rumah itu. Suasana di sekitar rumah tampak sunyi dan tenang, seolah tidak ada kejadian mengerikan yang baru saja terjadi. Rian masuk kembali ke dalam rumah dengan perasaan waspada.
Ia tidak langsung naik ke kamarnya. Ia memutuskan untuk mencari di ruangan lain, berharap menemukan sesuatu yang bisa menjelaskan tentang cermin itu. Ia kembali ke gudang bawah tanah yang gelap dan berdebu. Dengan bantuan senter ponselnya, ia mulai mencari-cari di antara tumpukan barang-barang lama.
Setelah beberapa saat mencari, ia menemukan sebuah buku tua dengan sampul kulit yang tampak usang. Buku itu tidak memiliki judul di sampulnya. Rian membersihkan debu dari buku itu dan membukanya dengan hati-hati. Halaman-halamannya terbuat dari kertas yang menguning dan rapuh, dan tulisannya menggunakan bahasa yang tidak ia kenali.
Namun, di beberapa halaman, ia menemukan gambar-gambar aneh yang tampak familiar. Ada gambar ukiran-ukiran yang sama seperti yang ada di bingkai cermin. Ada juga gambar sebuah mata yang mengawasi, mirip dengan ukiran di bagian atas cermin. Dan yang paling membuatnya terkejut, ada gambar sebuah cermin yang sangat mirip dengan cermin yang ia temukan, dengan bayangan tangan yang berusaha keluar dari dalamnya.
Rian semakin yakin bahwa cermin itu bukanlah benda biasa. Pasti ada sejarah kelam yang menyelimutinya. Ia harus mencari tahu lebih banyak tentang asal-usul cermin itu jika ia ingin selamat dari kutukannya.
Rian duduk di bangku tua di dekat gudang, buku kuno di tangannya. Halaman-halaman kertasnya yang menguning dan rapuh berbau seperti kuburan tua. Ia membalik setiap halaman dengan hati-hati, mencoba memahami tulisan yang tampaknya menggunakan aksara kuno. Beberapa halaman di antaranya berisi coretan, simbol-simbol aneh yang membuatnya merinding.
Meskipun tidak bisa membaca tulisannya, Rian melihat beberapa ilustrasi yang menggambar ritual aneh dengan sesajen dan darah, semua berpusat pada sebuah cermin. Ilustrasi yang paling menonjol adalah gambar seorang penyihir yang sedang merapal mantra di depan sebuah cermin, dan di dalamnya, ada jiwa-jiwa yang terperangkap, digambarkan sebagai sosok-sosok manusia yang meringis kesakitan.
Rasa dingin merayap di punggungnya. Ia langsung tahu. Cermin di kamarnya, yang ia temukan di gudang, bukanlah cermin biasa. Itu adalah benda terkutuk yang mengikat jiwa-jiwa korbannya di dalamnya. Rian menutup buku itu dengan kasar, seolah ia bisa mengurung kembali semua kengerian yang baru saja ia lihat.
Ia kembali ke kamarnya dengan perasaan campur aduk antara ketakutan dan penasaran. Cermin itu masih berada di tempatnya, di atas meja rias. Rian mendekatinya, namun kali ini ia tidak berani menatapnya secara langsung. Ia melihatnya dari sudut mata, memastikan tidak ada bayangan aneh yang muncul.
Di bawah sinar matahari yang masuk dari jendela, cermin itu tampak biasa saja. Bingkai kayu berukirnya yang lapuk dan permukaannya yang buram tidak lagi terlihat menyeramkan, tetapi Rian tahu kengerian yang tersembunyi di baliknya. Ia merasa harus menyingkirkan cermin itu secepatnya, tetapi ia tidak tahu bagaimana caranya. Apakah membakarnya? Menghancurkannya? Atau membuangnya ke tempat yang jauh?
Rian memutuskan untuk meminta bantuan. Ia mengambil ponselnya dan menelepon Bima, teman lamanya yang tinggal di Makassar. Bima adalah sosok yang logis dan tidak terlalu percaya dengan hal-hal mistis. Rian berharap Bima bisa memberikan pandangan yang realistis dan membantunya membuang cermin itu.
"Bro, gue butuh bantuan lo," kata Rian saat Bima mengangkat teleponnya.
"Ada apa? Tumben lo nelpon malem-malem gini," jawab Bima dengan suara serak.
"Gue nemuin benda aneh di rumah warisan kakek. Sumpah, ini nggak masuk akal," kata Rian. "Lo bisa ke sini besok?"
Bima ragu sejenak. "Rumah kakek lo yang di pinggiran itu?"
"Iya," Rian mengangguk. "Gue janji bakal ceritain semuanya. Gue bener-bener butuh lo."
Bima akhirnya setuju. Rian menghela napas lega. Setidaknya, ia tidak sendirian lagi.
Keesokan harinya, Bima datang. Ia adalah pria bertubuh kekar dengan rambut gondrong dan tato di lengannya, tetapi hatinya selembut anak kucing. Rian menyambutnya di depan pintu.
"Jadi, mana benda anehnya?" tanya Bima dengan nada santai.
Rian membawanya ke kamarnya. Cermin itu masih berada di tempatnya. Bima melihat cermin itu dengan ekspresi bingung.
"Ini? Cuma cermin tua doang," kata Bima sambil menyentuh bingkainya. "Ini sih antik. Bisa dijual mahal, Bro."
"Jangan sentuh!" Rian langsung menepis tangan Bima. "Lo nggak ngerti. Cermin ini... terkutuk."
Bima tertawa terbahak-bahak. "Halah, lo kebanyakan nonton film horor. Nggak usah ngarang, deh."
Rian menceritakan semua kejadian aneh yang dialaminya, dari bayangan yang tidak mengikuti gerakannya, bisikan-bisikan, suara ketukan dari dalam cermin, hingga tangan pucat yang berusaha keluar dari cermin. Ia juga menunjukkan buku kuno yang ia temukan di gudang.
Bima mendengarkan dengan serius. Senyumnya menghilang. "Lo yakin itu bukan halusinasi?" tanyanya.
"Gue yakin," jawab Rian dengan tegas. "Gue nggak gila, Bima. Dan gue butuh lo buat bantu gue singkirin benda ini."
Bima terdiam sejenak, memikirkan apa yang baru saja ia dengar. "Oke. Gue percaya sama lo. Tapi, gimana cara singkirinnya?"
Rian mengangkat bahu. "Gue nggak tahu. Tapi, yang jelas, kita nggak bisa biarin cermin ini ada di sini."
Mereka berdua mencoba beberapa cara untuk menyingkirkan cermin itu, tetapi seolah ada kekuatan tak terlihat yang menahan mereka. Saat mereka mencoba memindahkan cermin itu dari meja, cermin itu terasa sangat berat, seolah terbuat dari timah. Ketika mereka mencoba membungkusnya dengan kain, kain itu terasa panas dan langsung terbakar.
"Ini nggak masuk akal," gumam Bima, tangannya gemetar.
"Gue udah bilang," kata Rian. "Cermin ini nggak mau pergi dari sini."
Mereka akhirnya menyerah. Rian merasa frustrasi dan ketakutan. Ia mengajak Bima keluar dari kamar itu dan duduk di ruang tamu.
"Gue nggak tahu lagi harus gimana, Bima," kata Rian. "Gue merasa gue terkunci di sini sama benda itu."
"Tenang, kita pasti bisa nemuin jalannya," Bima menenangkan. "Mungkin kita harus cari tahu lebih banyak tentang cermin ini. Lo bilang ada buku di gudang, kan?"
"Ya, tapi gue nggak bisa baca bahasanya," Rian menghela napas.
"Gue ada ide. Gue punya teman namanya Dinda. Dia kuliah di jurusan Sejarah dan suka banget sama hal-hal mistis dan artefak kuno," kata Bima. "Mungkin dia bisa bantu."
Rian ragu, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Ia mengangguk setuju.
"Telepon Dinda sekarang," kata Rian. "Gue nggak mau buang-buang waktu lagi."
Bima menelepon Dinda. Rian bisa mendengar suara Dinda dari speaker ponsel Bima. Dinda terdengar bersemangat saat Bima menceritakan tentang cermin kuno itu. Ia langsung setuju untuk datang ke rumah Rian malam itu.
Rian dan Bima menunggu Dinda. Rian merasa sedikit lebih tenang karena ada Bima di sisinya. Namun, rasa takut itu tetap ada. Ia merasa cermin di kamarnya sedang mengawasi mereka, mendengarkan setiap percakapan mereka.
Saat Dinda tiba, ia langsung masuk ke kamar Rian. Dinda adalah wanita bertubuh mungil dengan rambut panjang. Matanya berbinar-binar saat ia melihat cermin itu.
"Wah, ini sih keren banget!" Dinda berseru. "Ini artefak abad pertengahan. Ukirannya sangat rumit. Ini pasti mahal."
"Dinda, ini nggak cuma cermin biasa," kata Rian. "Ini terkutuk."
Dinda menatap Rian dengan ekspresi tertarik. "Ceritain," katanya.
Rian menceritakan semua kejadian aneh yang dialaminya. Dinda mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk, dan matanya terus mengamati cermin itu.
Setelah Rian selesai bercerita, Dinda mendekati cermin itu dan menyentuh bingkainya. "Ada energi yang kuat di sini," katanya dengan suara pelan. "Energi yang sangat gelap."
Dinda meminta Rian dan Bima untuk membawakan buku kuno yang ia temukan di gudang. Rian mengambil buku itu, dan Dinda langsung membacanya. Wajah Dinda berubah pucat saat ia membaca tulisan-tulisan itu.
"Ini... ini buku mantra kuno," kata Dinda, suaranya bergetar. "Ini buku mantra penyihir yang mengikat jiwa-jiwa di dalam cermin."
Rian dan Bima saling berpandangan dengan tegang. Dinda melanjutkan.
"Katanya, cermin ini disebut Cermin Bayangan. Itu dibuat oleh seorang penyihir jahat bernama Iblis Merah. Dia mengumpulkan jiwa-jiwa yang tidak bersalah dan mengurungnya di dalam cermin. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kekuatan dan kehidupan abadi."
"Jadi, jiwa-jiwa di dalam cermin itu?" tanya Rian.
"Ya," Dinda mengangguk. "Mereka adalah korban-korban Iblis Merah. Dan cermin ini terus haus akan jiwa-jiwa baru."
"Bagaimana cara menghentikannya?" tanya Bima.
Dinda membalik-balik halaman buku itu dengan panik. "Ini tidak ada cara untuk menghancurkannya. Satu-satunya cara adalah... mengembalikannya ke tempat asalnya."
"Di mana?" tanya Rian.
Dinda menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu. Buku ini hanya menyebutkan tempat asal penyihir itu adalah di sebuah kuil kuno yang sudah tidak berpenghuni. Tapi, kuil itu sudah lama menghilang dari peta."
Mereka bertiga terdiam, merasa putus asa. Cermin itu seolah mengolok-olok mereka. Mereka tidak bisa menghancurkannya, tidak bisa membuangnya, dan tidak tahu harus mengembalikannya ke mana.
Malam semakin larut. Dinda, yang kelelahan, memutuskan untuk beristirahat di kamar tamu. Bima dan Rian mengobrol di ruang tamu, mencoba mencari solusi lain.
"Mungkin kita bisa cari kuil itu di internet?" usul Bima.
"Mungkin," kata Rian. "Tapi, kita harus hati-hati. Kita tidak tahu apa yang bisa terjadi kalau kita terlalu dalam mencampuri urusan ini."
Rian merasa cemas. Ia tidak ingin Dinda dan Bima terlibat dalam masalahnya, tetapi ia tidak bisa mengusir mereka. Mereka adalah satu-satunya harapannya.
Saat malam semakin larut, Rian merasa semakin lelah. Ia memutuskan untuk tidur. Ia berbaring di tempat tidur, mencoba memejamkan mata, tetapi ia terus memikirkan cermin di kamarnya.
Tiba-tiba, ia mendengar suara jeritan dari kamar tamu. Rian langsung bangun dan berlari menuju kamar tamu. Bima juga terbangun dan berlari di belakangnya.
Mereka membuka pintu kamar tamu dan menemukan Dinda sedang berteriak-teriak ketakutan. Ia duduk di sudut kamar, tubuhnya gemetar.
"Ada apa?" tanya Bima dengan panik.
Dinda menunjuk ke sebuah cermin kecil yang ada di kamar itu. "Aku... aku melihat sesuatu," katanya dengan suara tercekik. "Aku melihat bayanganku... tapi ada bayangan lain di belakangku."
Rian dan Bima saling berpandangan. Rian tahu apa yang Dinda maksud. Itu adalah bayangan gelap yang sama yang ia lihat di cermin di kamarnya.
Dinda terus berteriak. "Bayangan itu... dia tersenyum padaku!"
Bima mencoba menenangkan Dinda. "Dinda, tenang. Itu cuma mimpi buruk."
"Tidak! Itu bukan mimpi buruk! Aku melihatnya dengan jelas!" Dinda bersikeras.
Tiba-tiba, Dinda terdiam. Matanya membelalak, menatap ke arah cermin. Ia berdiri dari sudut kamar dan berjalan menuju cermin itu seperti orang yang terhipnotis.
"Dinda, jangan!" Rian berteriak.
Namun, sudah terlambat. Dinda menyentuh permukaan cermin itu. Tiba-tiba, permukaan cermin itu beriak, dan sebuah tangan pucat keluar dari dalamnya, meraih Dinda.
Rian dan Bima terkejut. Mereka berteriak ketakutan saat melihat Dinda ditarik masuk ke dalam cermin itu. Tangan pucat itu menarik Dinda dengan kuat, dan Dinda berteriak, suaranya menghilang saat tubuhnya sepenuhnya masuk ke dalam cermin.
Cermin itu kembali normal, tidak ada riakan, tidak ada tangan pucat, tidak ada Dinda. Seolah-olah tidak ada yang pernah terjadi.
Rian dan Bima terdiam, terpaku di tempat. Mereka tidak bisa berkata-kata. Mereka baru saja menyaksikan teman mereka menghilang, ditarik masuk ke dalam sebuah cermin.
Ketakutan Rian memuncak. Ia tahu ia tidak salah. Cermin ini benar-benar terkutuk, dan sekarang, kutukan itu telah memakan korban pertamanya.
Bima yang pertama kali sadar. Ia langsung mengambil ponselnya dan menelepon polisi. Ia menceritakan apa yang baru saja terjadi. Namun, polisi tidak percaya. Mereka mengira Bima dan Rian berhalusinasi atau mabuk.
Rian merasa putus asa. Tidak ada yang akan percaya pada mereka. Mereka hanya akan dianggap orang gila.
"Dinda... Dinda..." Bima terus bergumam, matanya kosong. Ia tidak bisa menerima apa yang baru saja terjadi.
Rian mencoba menenangkan Bima, tetapi ia sendiri juga merasa hancur. Dinda, teman baiknya, menghilang karena cermin itu.
Keesokan harinya, polisi datang ke rumah Rian. Mereka mencari Dinda, tetapi tidak menemukan jejaknya. Polisi menganggap Dinda hilang dan meminta Rian dan Bima untuk memberikan keterangan lebih lanjut di kantor polisi.
Rian dan Bima menceritakan semuanya, tentang cermin itu, tentang tangan pucat yang keluar dari cermin, tetapi polisi tetap tidak percaya. Mereka menganggap cerita itu tidak masuk akal. Rian dan Bima akhirnya dibebaskan, tetapi dengan status saksi.
Rian kembali ke rumahnya dengan perasaan hampa. Ia melihat cermin di kamarnya. Cermin itu tampak sama seperti sebelumnya, tetapi ia tahu ada sesuatu yang berbeda. Ada aura gelap yang lebih kuat darinya. Ia merasa cermin itu sekarang telah memakan korban dan sekarang menjadi lebih kuat.
Rian mendekati cermin itu dengan hati-hati. Ia menatap bayangannya, dan ia melihat sesuatu yang membuatnya merinding. Di dalam cermin, di belakang bayangannya, ia melihat bayangan Dinda. Bayangan Dinda tampak pucat dan wajahnya dipenuhi ketakutan. Bayangan itu menatap Rian, bibirnya bergerak-gerak, mengucapkan kata-kata yang tidak bisa ia dengar.
"Dinda..." gumam Rian.
Bayangan Dinda menunjuk ke arahnya, lalu menunjuk ke arah cermin, seolah memberinya sebuah peringatan.
Rian tahu apa yang dimaksud oleh bayangan itu. Cermin itu sekarang memiliki kekuatan Dinda. Kekuatan yang membuatnya semakin haus akan korban baru. Rian merasa ia akan menjadi korban selanjutnya jika ia tidak segera melakukan sesuatu.
Rian tak bisa tidur. Malam itu, bayangan Dinda yang terperangkap di cermin terus menghantuinya. Setiap kali ia memejamkan mata, ia melihat wajah pucat Dinda, menatapnya dengan tatapan kosong dan memohon. Rian tahu, Dinda bukan lagi Dinda yang ia kenal. Ia hanyalah cangkang kosong, jiwa yang terperangkap dan disiksa oleh entitas di dalam cermin itu.
Di tengah kegelapan kamar, Rian mendengar bisikan-bisikan halus. Suara-suara itu seolah berasal dari dinding, dari bawah lantai, bahkan dari dalam kepalanya. "Kau... tidak... sendiri..." bisik suara-suara itu berulang kali, nada mereka dingin dan menyeramkan. Rian tahu, itu adalah bisikan dari cermin, suara dari jiwa-jiwa yang terperangkap, memanggilnya.
Ia bangkit dari tempat tidur, tubuhnya gemetar. Ia tidak berani menyalakan lampu, takut bayangan aneh akan muncul di mana-mana. Ia berjalan pelan menuju pintu, mengintip ke luar kamar. Lorong di luar tampak gelap dan sunyi, tapi Rian merasa ada sesuatu yang bersembunyi di dalam kegelapan itu. Ia berani bersumpah, ia melihat bayangan hitam melintas cepat di ujung lorong. Ia langsung menutup pintu kembali dan menguncinya.
Rian menghabiskan sisa malam itu dalam ketakutan. Ia duduk di pojok kamar, memeluk lututnya, dan menunggu pagi. Matanya tidak bisa berkedip, ia terus menatap cermin itu dengan waspada, takut sesuatu akan keluar dari dalamnya. Namun, tidak ada yang terjadi. Cermin itu tetap diam, seolah menunggunya lengah.
Saat matahari mulai terbit, Rian merasa sedikit lega. Cahaya pagi yang masuk dari jendela sedikit demi sedikit menghilangkan kegelapan dan kengerian dari malam itu. Namun, perasaan tidak nyaman tetap ada. Ia tahu, cermin itu tidak akan berhenti. Kutukannya telah dimulai dan ia harus menghentikannya sebelum ada korban lain.
Rian menelepon Bima. Suara Bima di telepon terdengar parau dan lelah. Bima juga tidak bisa tidur. Ia dihantui oleh bayangan Dinda yang ditarik ke dalam cermin. "Gue nggak tahu harus gimana, Rian," kata Bima. "Gue nggak bisa ngasih tahu orang tua Dinda. Mereka pasti nggak bakal percaya. Mereka cuma bakal ngira gue sama lo udah gila."
"Gue tahu," kata Rian. "Tapi, kita harus ngelakuin sesuatu. Cermin itu udah memakan korban, Bima. Dan gue rasa dia nggak bakal berhenti."
"Apa yang bisa kita lakuin?" tanya Bima putus asa. "Kita nggak bisa hancurin dia, dan kita nggak tahu di mana kuil tempat asalnya."
"Kita nggak bisa biarin cermin itu ada di rumah ini. Kita harus buang dia, sejauh mungkin," kata Rian. "Mungkin kalau dia nggak ada di sini, terornya bakal berhenti."
Bima ragu. "Lo yakin? Lo lihat sendiri gimana dia menolak buat dipindahin."
"Gue bakal cari cara," Rian bersikeras. "Pokoknya, lo bantu gue. Kita bawa dia ke tempat jauh, ke hutan atau danau, dan kita tenggelamin dia."
Bima akhirnya setuju. Mereka berjanji untuk bertemu malam itu di rumah Rian. Rian menghabiskan siang itu dengan mempersiapkan diri. Ia mencari tali, karung, dan kain tebal di gudang. Ia juga mencari informasi di internet tentang cara mengatasi benda-benda terkutuk. Namun, hasilnya tidak ada yang memuaskan.
Malam harinya, Bima datang. Wajahnya terlihat pucat dan lelah. "Lo yakin kita bisa ngelakuin ini?" tanya Bima, matanya memancarkan ketakutan.
"Kita harus," Rian menjawab tegas. "Ini satu-satunya cara. Gue nggak mau ada korban lagi."
Mereka berdua naik ke kamar Rian. Cermin itu masih berada di atas meja rias, seolah menanti kedatangan mereka. Suasana di dalam kamar terasa sangat dingin, bahkan lebih dingin dari biasanya. Bisikan-bisikan kembali terdengar, kali ini lebih keras dan lebih jelas. Suara-suara itu memanggil nama-nama yang tidak dikenal Rian, mungkin nama-nama korban-korban sebelumnya.
Rian dan Bima mendekati cermin itu dengan hati-hati. Mereka mencoba membungkusnya dengan karung, tapi karung itu langsung terbakar begitu menyentuh permukaan cermin. Mereka mencoba membungkusnya dengan kain tebal, tapi kain itu langsung robek.
"Sialan!" Bima mengumpat. "Dia nggak mau dibawa."
Tiba-tiba, cermin itu bergetar. Lampu di kamar Rian berkedip-kedip, lalu mati total. Seluruh rumah menjadi gelap gulita. Hanya ada cahaya rembulan yang samar-samar masuk dari jendela.
Rian dan Bima langsung panik. Mereka menyalakan senter ponsel mereka. Cahaya senter mereka menyorot ke arah cermin, dan mereka terkejut. Di dalam cermin, mereka melihat bayangan Dinda. Wajahnya pucat dan matanya dipenuhi air mata. Bayangan itu berteriak tanpa suara, memohon bantuan.
Di belakang bayangan Dinda, muncul bayangan-bayangan lain. Wajah-wajah mereka tampak mengerikan, penuh luka dan darah. Mereka semua menatap Rian dan Bima dengan tatapan kosong, seolah menyalahkan mereka.
"Mereka... mereka korban-korban cermin itu," gumam Rian, suaranya bergetar.
Bayangan-bayangan itu mulai bergerak. Mereka merangkak di dalam cermin, berusaha keluar. Cermin itu bergetar semakin kencang, dan tiba-tiba, dari dalam cermin, muncul sebuah tangan. Tangan itu pucat dan kurus, dengan kuku-kuku hitam yang panjang.
Tangan itu keluar dari cermin dan meraih Bima. Bima menjerit ketakutan, namun ia tidak bisa bergerak. Ia seolah terpaku di tempatnya. Tangan itu mencengkeram leher Bima dan menariknya ke dalam cermin. Bima meronta, ia berusaha melepaskan diri, tapi cengkeraman tangan itu terlalu kuat.
"Bima! Jangan!" Rian berteriak, ia mencoba membantu Bima, tapi ia juga merasa ketakutan.
Bima terus meronta, tapi ia perlahan-lahan ditarik masuk ke dalam cermin. Ia berteriak, suaranya semakin pelan, lalu menghilang saat seluruh tubuhnya masuk ke dalam cermin.
Cermin itu kembali normal. Tangan itu menghilang, dan bayangan Bima lenyap. Hanya ada cermin kosong yang memantulkan bayangan Rian yang ketakutan.
Rian terdiam, ia tak bisa berkata-kata. Ia baru saja menyaksikan dua orang temannya, Dinda dan Bima, ditarik masuk ke dalam cermin itu.
Ia jatuh berlutut, menangis. Ia merasa bersalah. Seharusnya ia tidak melibatkan mereka. Seharusnya ia tidak pernah menemukan cermin itu.
Di tengah kesedihannya, ia mendengar suara bisikan yang dingin dan tajam. "Kau... selanjutnya..." Suara itu langsung menusuk ke dalam otaknya.
Rian tahu, ia tidak punya banyak waktu. Cermin itu tidak akan berhenti sampai ia juga menjadi korbannya. Ia harus melakukan sesuatu. Ia harus menyingkirkan cermin itu, tidak peduli apa pun yang terjadi.
Dengan tekad yang kuat, ia bangkit. Ia tidak akan membiarkan cermin itu menang. Ia tidak akan membiarkan dirinya menjadi korban selanjutnya. Ia akan membalas dendam untuk Dinda dan Bima.
Keesokan paginya, Rian merasa hancur, namun ia tidak punya waktu untuk berlarut dalam kesedihan. Ia harus berjuang. Setelah menghubungi polisi dan menceritakan tentang hilangnya Bima, Rian tahu tak ada gunanya. Sama seperti kasus Dinda, polisi menganggapnya sebagai halusinasi atau lelucon. Mereka menyimpulkan Bima pergi entah ke mana, dan Rian hanya berhalusinasi. Rian tahu, ia sendirian dalam pertempuran ini.
Ia kembali ke gudang, mencari buku kuno yang ia temukan. Ia menyadari, ada sesuatu yang ia lewatkan. Ia membalik setiap halaman dengan hati-hati, memeriksa setiap gambar dan simbol yang ia temukan. Ia mencoba mencari petunjuk, sesuatu yang bisa memberinya jalan keluar dari mimpi buruk ini.
Saat ia membalik ke halaman terakhir, ia menemukan sesuatu yang aneh. Sebuah halaman yang dilipat, tersembunyi di antara halaman-halaman lain. Rian membuka lipatan itu, dan ia menemukan sebuah gambar. Gambar itu adalah sketsa kasar sebuah kuil kuno dengan simbol-simbol aneh di dindingnya, dan di bawahnya, ada sebuah peta. Peta itu menunjukkan jalur menuju kuil itu.
Rian langsung terkejut. Peta itu terlihat sangat tua dan usang, tapi ia bisa melihat detail-detail yang jelas. Ia langsung mengenali beberapa tempat yang digambarkan di peta itu. Peta itu menunjukkan jalan menuju sebuah hutan yang sangat lebat, jauh di luar kota.
Tiba-tiba, ia menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh. Di bagian bawah peta, ada sebuah tulisan. Tulisan itu tidak menggunakan aksara kuno, tapi menggunakan bahasa Indonesia. Tulisan itu berbunyi, "Jangan pernah kembali." Tulisan itu terlihat seperti tulisan tangan kakeknya. Rian langsung merinding. Kakeknya tahu tentang cermin ini. Kakeknya tahu tentang kuil itu. Kakeknya tahu segalanya.
Rian mengambil ponselnya, ia mencoba mencari informasi tentang kuil itu di internet, tetapi tidak ada yang muncul. Ia mencoba mencari informasi tentang penyihir yang disebut "Iblis Merah," tetapi juga tidak ada. Rian menyadari, kuil itu sudah lama menghilang dari peradaban manusia.
Tiba-tiba, ia teringat pada pintu kecil di dinding kamarnya. Rian yakin, kakeknya menyembunyikan sesuatu di balik pintu itu. Ia kembali ke kamarnya, cermin itu masih berada di atas meja rias, seolah mengawasinya. Ia berjalan menuju pintu kecil itu dan mencoba membukanya. Tetap terkunci.
Rian mencari di seluruh ruangan, ia memeriksa setiap sudut, setiap celah, dan ia menemukan sebuah kunci. Kunci itu bersembunyi di dalam sebuah laci rahasia di meja rias. Kunci itu berukuran kecil, terbuat dari besi yang berkarat, dengan ukiran-ukiran aneh di kepalanya. Rian langsung tahu, itu adalah kunci untuk pintu itu.
Dengan tangan yang gemetar, ia memasukkan kunci itu ke dalam lubang kunci. Kunci itu berputar dengan suara gesekan yang mengerikan, dan pintu itu terbuka. Di balik pintu itu, Rian menemukan sebuah ruangan kecil yang gelap dan berdebu.
Ia menyalakan senter ponselnya. Cahaya senter menyorot ke dalam ruangan, dan ia terkejut. Di dalam ruangan itu, ada sebuah meja kayu yang dipenuhi dengan buku-buku kuno dan benda-benda aneh. Rian menemukan sebuah buku harian. Buku itu adalah buku harian kakeknya.
Rian mengambil buku harian itu dan membacanya. Setiap halaman berisi catatan-catatan kakeknya tentang cermin itu. Kakeknya menceritakan bagaimana ia menemukan cermin itu, bagaimana cermin itu mulai membisikinya, dan bagaimana ia menyaksikan orang-orang yang dikenalnya menghilang satu per satu.
Kakeknya menceritakan bagaimana ia mencoba menghancurkan cermin itu, tetapi gagal. Ia mencoba membuangnya, tetapi cermin itu selalu kembali. Rian terkejut saat membaca sebuah paragraf yang menyebutkan tentang sebuah peti kayu. Kakeknya mencoba menyegel cermin itu di dalam peti kayu berukir dan menguncinya.
Rian terus membaca buku harian kakeknya. Ia menemukan sebuah halaman yang menjelaskan tentang pintu di dinding. Kakeknya menjelaskan, ia menyembunyikan cermin itu di dalam peti kayu itu, dan ia menaruh peti itu di balik pintu itu. Ia mengira, dengan menyembunyikan cermin itu, kutukannya akan berakhir. Namun, ternyata cermin itu punya kemauan sendiri. Cermin itu entah bagaimana bisa keluar dari peti itu dan kembali ke meja rias.
Rian menghela napas. Ia tidak menyangka kakeknya mengalami hal yang sama dengannya. Dan sekarang, ia tahu, cermin itu tidak bisa disembunyikan. Ia juga membaca tentang kuil kuno itu. Kakeknya juga pernah mencoba mencari kuil itu, tetapi ia tidak pernah berhasil menemukannya.
Rian merasa putus asa. Ia kembali ke kamarnya dan menatap cermin itu. Cermin itu seolah mengolok-oloknya, seolah berkata, "Kau tidak bisa lari dariku."
Rian berpikir keras. Ia mencoba mencari solusi lain. Ia tidak bisa menghancurkannya, ia tidak bisa membuangnya, dan ia tidak bisa menyembunyikannya. Ia harus mencari cara untuk menyingkirkan cermin itu untuk selamanya.
Ia kembali melihat peta di buku kuno itu. Ia meneliti setiap detailnya. Peta itu terlihat sangat rumit. Rian mencoba membandingkannya dengan peta modern. Setelah beberapa saat, ia berhasil menemukan kesamaan. Peta itu menunjukkan jalan menuju sebuah danau yang jauh di dalam hutan, di luar kota. Danau itu sudah tidak lagi ada di peta modern, mungkin karena danau itu sudah mengering.
Rian merasa ada harapan. Mungkin kuil kuno itu tersembunyi di dasar danau itu. Rian mengambil keputusan. Ia akan mencari kuil itu dan mengembalikan cermin itu ke tempat asalnya. Ia akan mengakhiri kutukan itu, tidak peduli apa pun yang terjadi.
Ia tidak akan membiarkan dirinya menjadi korban berikutnya. Ia tidak akan membiarkan cermin itu menguasai hidupnya. Ia akan berjuang. Ia akan melakukan ini untuk Dinda dan Bima.
Rian mulai mempersiapkan diri untuk perjalanan itu. Ia mengambil senter, pisau, dan beberapa makanan dari dapur. Ia juga mengambil buku kuno dan buku harian kakeknya. Ia akan pergi sendirian, karena ia tidak ingin melibatkan orang lain dalam masalah ini.
Saat malam tiba, Rian merasa semakin tegang. Ia tahu cermin itu akan mengawalnya, dan ia harus lebih berhati-hati. Rian membungkus cermin itu dengan kain tebal, lalu ia memasukkannya ke dalam tas. Tas itu terasa sangat berat, seolah cermin itu menolak untuk dibawa.
Ia menyalakan motornya, dan ia melaju menuju jalan yang menuju hutan. Hutan itu tampak gelap dan menakutkan, tapi Rian tidak menyerah. Ia terus melaju, mengikuti peta yang ia temukan.
Di tengah perjalanan, ia mendengar suara-suara bisikan dari belakangnya. Bisikan-bisikan itu semakin keras, memanggil namanya. Rian tahu, itu adalah bisikan dari cermin itu. Ia mengabaikannya, ia terus melaju, ia tidak akan menyerah.
Ia melaju jauh ke dalam hutan. Jalan setapak yang ia lewati semakin sempit dan gelap. Ia harus berhati-hati agar tidak tersesat. Ia terus melaju, mengabaikan ketakutan yang menguasai dirinya.
Tiba-tiba, ia melihat cahaya di depannya. Cahaya itu memancar dari dalam cermin. Cahaya itu berkedip-kedip, seolah cermin itu sedang marah. Rian tidak peduli, ia terus melaju.
Ia sampai di sebuah danau yang kering. Rian turun dari motornya. Ia melihat ke sekeliling, dan ia melihat sebuah kuil yang hancur. Kuil itu tampak sangat tua dan usang. Di dinding-dinding kuil itu, ia melihat ukiran-ukiran yang sama dengan yang ada di cermin.
Rian merasa lega. Ia telah menemukan kuil itu. Ia akan mengembalikan cermin itu ke tempat asalnya dan mengakhiri kutukan itu.
Ia berjalan menuju kuil itu, membawa tasnya. Ia merasa cermin itu bergetar di dalam tasnya, seolah menolak untuk kembali ke tempat asalnya. Rian mengabaikannya, ia terus melaju.
Ia sampai di kuil itu, dan ia melihat sebuah altar batu di tengah-tengah kuil. Rian tahu, itu adalah tempatnya. Ia meletakkan cermin itu di atas altar itu. Tiba-tiba, cermin itu memancarkan cahaya yang sangat terang, menyinari seluruh kuil.
Rian menutup matanya. Ia mendengar suara-suara aneh, seolah suara-suara itu berasal dari dalam cermin. Ia mendengar suara-suara teriakan, tangisan, dan bisikan. Rian membuka matanya, dan ia melihat bayangan-bayangan dari Dinda dan Bima. Mereka menatap Rian, mata mereka kosong.
Rian terkejut. Ia melihat bayangan mereka menunjuk ke arahnya, dan ia mendengar suara mereka, "Kau... membawanya... kembali..." Rian tidak mengerti, ia hanya ingin mengakhiri kutukan ini.
Tiba-tiba, bayangan-bayangan itu menghilang, dan cermin itu kembali normal. Rian merasa lega. Ia merasa kutukan itu telah berakhir. Ia mengambil cermin itu, dan ia melihat bayangannya yang normal. Tidak ada bayangan aneh, tidak ada bisikan.
Rian tersenyum. Ia telah berhasil. Ia telah mengakhiri kutukan itu. Ia kembali ke motornya dan melaju kembali ke rumahnya. Ia merasa lega dan senang.
Namun, ia tidak tahu, bahwa kutukan itu belum berakhir. Itu baru permulaan dari sebuah awal yang mengerikan.
Rian tiba di rumahnya dengan perasaan lega yang luar biasa. Ia menghela napas panjang, beban yang menekan pundaknya selama ini seolah terangkat. Cermin itu kini berada di tangan Rian, terbungkus kain tebal. Tidak ada lagi bisikan, tidak ada lagi bayangan aneh, tidak ada lagi hawa dingin yang menusuk. Ia merasa telah membebaskan Dinda dan Bima, dan juga dirinya sendiri, dari cengkeraman benda terkutuk itu. Ia menaruh cermin itu di meja ruang tamu, ia akan menyimpannya di peti warisan kakeknya dan ia akan menguncinya di sana. Ia bahkan berniat untuk menjualnya atau membuangnya ke laut.
Namun, rasa lega itu tidak berlangsung lama.
Malam itu, Rian mengalami mimpi buruk. Ia bermimpi berada di sebuah ruangan gelap, dan di depannya ada sebuah cermin. Ia melihat bayangannya di cermin itu, tapi bayangannya tersenyum dengan senyum yang mengerikan. Rian berteriak ketakutan, ia mencoba lari, tapi bayangan itu keluar dari cermin dan mengejarnya. Ia terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhnya basah oleh keringat dingin.
Rian tahu, mimpi itu bukan hanya sekadar mimpi. Itu adalah peringatan. Ia berjalan ke ruang tamu, dan ia melihat cermin itu masih terbungkus kain tebal di atas meja. Ia menyentuh kain itu, dan ia merasa hawa dingin yang menusuk.
Tiba-tiba, ia mendengar suara bisikan. "Kau tidak bisa... lari..." Bisikan itu datang dari dalam cermin, menembus kain tebal.
Rian panik. Ia mengira kutukan itu telah berakhir. Tapi ternyata tidak. Kutukan itu tidak berakhir. Ia mengambil cermin itu, dan ia berlari ke halaman belakang rumah. Ia menemukan sebuah peti kayu tua, dan ia memasukkan cermin itu ke dalam peti itu. Ia menguncinya dengan gembok, dan ia melemparkannya ke dalam sumur tua di belakang rumah.
Rian merasa sedikit lebih baik. Ia yakin, kali ini cermin itu tidak akan bisa kembali. Ia kembali ke rumah, dan ia mencoba tidur. Namun, ia tidak bisa. Ia terus memikirkan cermin itu. Apakah ia telah berhasil? Apakah kutukan itu benar-benar berakhir?
Keesokan harinya, Rian memutuskan untuk pergi dari rumah itu. Ia merasa rumah itu sudah tidak aman baginya. Ia mengemas barang-barangnya, dan ia naik motornya. Ia melaju menuju kota, ia tidak peduli ke mana ia akan pergi. Ia hanya ingin pergi sejauh mungkin dari rumah terkutuk itu.
Di tengah perjalanan, ia berhenti di sebuah warung kopi. Ia memesan kopi, dan ia duduk di sana, memikirkan apa yang harus ia lakukan. Ia merasa putus asa. Ia merasa ia tidak akan pernah bisa lari dari cermin itu. Ia merasa ia akan menjadi korban berikutnya.
Saat ia sedang minum kopi, ia melihat sebuah berita di televisi. Berita itu menceritakan tentang sebuah peti kayu yang ditemukan di dasar sebuah sumur tua di pinggiran kota. Rian terkejut. Ia langsung tahu. Itu adalah peti kayu yang ia lemparkan ke dalam sumur di belakang rumahnya.
Rian langsung meninggalkan warung kopi itu. Ia mengendarai motornya dengan cepat, ia harus kembali ke rumah. Ia harus mengambil peti itu, dan ia akan melemparkannya ke laut. Ia akan memastikan cermin itu tenggelam selamanya.
Ia tiba di rumahnya, dan ia melihat sumur tua itu sudah kosong. Peti kayu itu sudah tidak ada. Ia melihat ke sekeliling, dan ia melihat jejak ban mobil di halaman rumahnya. Seseorang telah mengambil peti itu.
Rian panik. Ia langsung menelepon polisi. Ia menceritakan semuanya, tentang peti itu, tentang cermin di dalamnya, tentang kutukan itu. Tapi polisi tidak percaya padanya. Mereka mengira Rian hanya berhalusinasi.
Rian merasa putus asa. Ia tahu ia tidak bisa meminta bantuan pada polisi lagi. Ia harus mencari peti itu sendiri. Ia memutuskan untuk pergi ke kantor polisi dan meminta informasi tentang peti itu. Ia tahu, ia harus melakukan sesuatu, atau ia akan menjadi korban selanjutnya.
Di kantor polisi, ia bertemu dengan seorang detektif bernama Setyo. Detektif Setyo adalah seorang detektif yang cerdas dan tidak mudah percaya pada hal-hal mistis. Rian menceritakan semuanya, tentang cermin itu, tentang Dinda dan Bima, tentang peti itu. Detektif Setyo mendengarkan dengan serius, tapi ia tidak percaya.
"Saya tahu ini sulit dipercaya, Tuan," kata Detektif Setyo. "Tapi kami tidak bisa bertindak berdasarkan cerita yang tidak bisa dibuktikan."
Rian memohon. "Tolong, Pak. Anda harus percaya saya. Cermin itu sangat berbahaya."
Detektif Setyo menatap Rian, matanya menunjukkan keraguan. Ia melihat ketakutan di mata Rian, dan ia tahu Rian tidak berbohong.
"Baiklah, Tuan," kata Detektif Setyo. "Saya akan mencari informasi tentang peti itu. Tapi saya tidak bisa menjanjikan apa pun."
Rian menghela napas lega. Setidaknya, ada seseorang yang mau membantunya.
Rian menunggu di luar kantor polisi. Ia melihat ke arah langit, ia berharap hujan akan turun. Ia merasa ia bisa menghancurkan cermin itu dengan air.
Beberapa saat kemudian, Detektif Setyo keluar dari kantornya. Wajahnya terlihat pucat. Ia menatap Rian, dan ia berkata, "Tuan, saya punya kabar buruk."
Rian langsung merinding. "Apa itu, Pak?"
"Peti itu ditemukan oleh seorang nelayan. Dia membawanya pulang, dan dia membuka peti itu." Detektif Setyo berhenti, ia terlihat tertekan. "Di dalam peti itu, ada sebuah cermin. Nelayan itu menggantungnya di ruang tamunya."
Rian terkejut. "Tidak!"
"Ya," Detektif Setyo mengangguk. "Dan tadi pagi, nelayan itu ditemukan tewas di rumahnya. Dengan luka-luka yang aneh, seolah-olah dia diserang oleh sesuatu yang tidak terlihat."
Rian merasa jantungnya berhenti berdetak. Kutukan itu tidak berakhir. Ia telah menemukan korban baru. Ia telah gagal. Ia tidak bisa menyelamatkan Dinda dan Bima, dan ia tidak bisa menyelamatkan nelayan itu.
Rian merasa putus asa. Ia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Ia telah mencoba segalanya, tapi ia tidak bisa menghentikan kutukan itu. Ia merasa ia akan menjadi korban selanjutnya.
Ia berjalan ke arah motornya, dan ia melaju kembali ke rumahnya. Ia merasa ia tidak punya tempat untuk pergi. Ia tidak punya tempat untuk bersembunyi.
Ia tiba di rumahnya, dan ia melihat cermin di dalam peti yang ia simpan di ruang tamu. Ia mendekati peti itu, dan ia membuka peti itu. Ia melihat cermin itu, dan ia melihat bayangannya yang normal. Tapi di belakang bayangannya, ia melihat bayangan-bayangan dari Dinda, Bima, dan nelayan itu. Mereka semua menatapnya, mata mereka kosong.
Rian merasa ketakutan. Ia tahu, ia telah menjadi bagian dari kutukan itu. Ia telah gagal, dan ia akan menjadi saksi dari setiap kejahatan selanjutnya. Ia akan menyaksikan setiap korban yang diambil oleh cermin itu.
Ia mendengar suara bisikan dari cermin. "Kau tidak bisa... lari..." Suara itu dingin dan menyeramkan.
Rian memejamkan matanya, ia berteriak. Ia tidak bisa lari, ia tidak bisa bersembunyi. Ia telah menjadi tawanan dari kutukan itu. Ia akan menyaksikan semuanya, tanpa bisa melakukan apa pun. Ia telah menjadi bagian dari siklus kutukan yang kejam.
Ini adalah awal yang baru, dan akhir dari segalanya.
Rian kembali ke rumahnya yang kini terasa lebih seperti penjara. Peti kayu di ruang tamu, yang kini menjadi tempat cermin itu bersemayam, adalah satu-satunya objek yang menarik perhatiannya. Ia tidak lagi peduli dengan debu, ilalang yang tumbuh liar di halaman, atau bau pengap yang menusuk. Pikirannya hanya dipenuhi oleh cermin itu, dan korban-korban baru yang akan jatuh. Ia tak bisa lari, ia tak bisa bersembunyi.
Hari-hari berikutnya adalah siksaan bagi Rian. Ia tidak bisa tidur, tidak bisa makan, tidak bisa hidup. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya di ruang tamu, duduk di kursi tua, menatap peti kayu itu. Ia merasa seperti seorang penjaga makam, ditugaskan untuk menjaga sebuah benda yang membawa kutukan dan kematian.
Suatu malam, Rian duduk di ruang tamu, menatap peti itu. Ia mendengar bisikan-bisikan dari dalam peti itu. Bisikan-bisikan itu semakin keras, memanggil nama-nama orang yang tidak ia kenal. Rian tahu, itu adalah bisikan dari jiwa-jiwa yang terperangkap, memohon bantuan.
Tiba-tiba, peti itu bergetar. Getarannya semakin kuat, seolah ada sesuatu yang berusaha keluar dari dalamnya. Rian panik. Ia tahu apa yang akan terjadi. Cermin itu akan mencari korban baru.
Rian mencoba kabur, tapi ia tidak bisa. Ia merasa kakinya terpaku di lantai. Ia terus menatap peti itu, dan ia melihat peti itu terbuka dengan sendirinya. Cermin itu memancarkan cahaya yang sangat terang, menyilaukan mata. Rian mencoba menutupi matanya, tapi ia tidak bisa. Ia dipaksa untuk melihat apa yang akan terjadi.
Cermin itu melayang di udara, dan ia terbang keluar dari rumah. Rian langsung berlari keluar dari rumah, ia mengejar cermin itu. Ia tahu ia tidak bisa membiarkannya pergi. Ia harus menghentikannya.
Rian berlari sekuat tenaga, ia tidak peduli dengan rasa sakit di kakinya. Ia terus berlari, mengejar cermin itu. Cermin itu terbang dengan cepat, seolah tahu ke mana ia harus pergi.
Rian terus mengejar cermin itu, ia mengejar sampai ke pusat kota. Cermin itu berhenti di depan sebuah toko perhiasan. Toko perhiasan itu sudah tutup, tapi Rian melihat seorang penjaga toko sedang membersihkan toko itu. Cermin itu terbang masuk ke dalam toko, dan Rian mengikutinya.
Di dalam toko, cermin itu terbang ke arah penjaga toko. Penjaga toko itu terkejut. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ia menatap cermin itu, dan ia melihat bayangannya yang aneh di dalam cermin. Bayangannya tersenyum dengan senyum yang mengerikan.
Rian berteriak, "Jangan! Jangan lihat cermin itu!"
Tapi sudah terlambat. Penjaga toko itu melihat bayangannya, dan ia terhipnotis. Tiba-tiba, ia berteriak. Cermin itu memancarkan cahaya yang sangat terang, dan Rian melihat bayangan Dinda, Bima, dan nelayan itu. Mereka semua menatap penjaga toko itu, mata mereka kosong.
Rian berteriak, "Hentikan! Tolong, hentikan!"
Cermin itu mengabaikannya. Cermin itu terus memancarkan cahaya, dan Rian melihat jiwa penjaga toko itu ditarik keluar dari tubuhnya. Penjaga toko itu jatuh ke lantai, ia tidak bergerak. Jiwanya ditarik masuk ke dalam cermin, dan cermin itu kembali normal.
Cermin itu terbang keluar dari toko, dan Rian mengejarnya. Cermin itu tidak berhenti. Ia terbang ke arah sebuah kafe, dan ia masuk ke dalam kafe. Di dalam kafe, Rian melihat seorang pelayan sedang membersihkan meja. Cermin itu terbang ke arahnya, dan Rian berteriak.
"Jangan! Lari!"
Tapi pelayan itu tidak mendengarkannya. Ia terhipnotis oleh cermin itu. Rian melihat bayangan Dinda, Bima, nelayan itu, dan penjaga toko itu. Mereka semua menatap pelayan itu, mata mereka kosong.
Rian tahu apa yang akan terjadi. Ia tidak bisa melakukan apa pun. Ia hanya bisa melihat. Ia melihat jiwa pelayan itu ditarik keluar dari tubuhnya, dan ia jatuh ke lantai. Jiwanya ditarik masuk ke dalam cermin, dan cermin itu kembali normal.
Cermin itu terbang keluar dari kafe, dan Rian mengejarnya. Ia terus mengejar cermin itu, dan ia menyaksikan cermin itu mengambil korban demi korban. Cermin itu menjadi lebih kuat, dan ia menjadi lebih cepat. Rian merasa ia tidak akan pernah bisa menghentikannya.
Rian berlari sampai ia tidak bisa lagi bernapas. Ia berhenti, dan ia melihat cermin itu terbang jauh, menghilang di kegelapan malam. Rian merasa putus asa. Ia merasa ia telah gagal. Ia tidak bisa menghentikan cermin itu. Ia tidak bisa menyelamatkan siapa pun.
Rian berjalan pulang dengan perasaan hampa. Ia tahu, kutukan itu tidak akan pernah berakhir. Ia akan terus menjadi saksi dari setiap kejahatan selanjutnya. Ia akan melihat korban-korban baru yang diambil oleh cermin itu. Ia akan terus hidup, dihantui oleh kenangan mengerikan itu.
Rian tiba di rumahnya. Ia duduk di ruang tamu, menatap peti kayu yang kosong. Ia tahu, peti itu akan selalu kosong. Cermin itu tidak akan pernah kembali. Cermin itu akan terus melayang, mencari korban-korban baru, dan Rian akan terus menjadi saksi. Ia tidak akan pernah bisa hidup normal lagi. Ia akan terus dihantui oleh cermin itu, oleh bisikan-bisikan dari dalam kepalanya.
Rian telah menjadi penjaga kutukan itu. Ia ditakdirkan untuk melihat semuanya, tapi ia tidak bisa melakukan apa pun. Ia adalah tawanan dari kutukan itu.
Di suatu tempat, di sebuah kota lain, seorang anak kecil menemukan sebuah cermin kuno di tepi jalan. Anak itu mengambil cermin itu, dan ia tersenyum. Ia tidak tahu, ia baru saja menemukan kutukan yang mengerikan.
Ia membawa cermin itu pulang, dan ia menggantungnya di kamarnya. Anak itu menatap cermin itu, dan ia melihat bayangannya. Ia tersenyum, dan bayangannya tersenyum balik. Tapi bayangan itu tidak hanya tersenyum. Di belakang bayangan anak itu, ada bayangan-bayangan dari Dinda, Bima, nelayan itu, penjaga toko, pelayan, dan banyak lagi. Mereka semua menatap anak itu, mata mereka kosong.
Kutukan itu tidak pernah berhenti. Ia hanya berpindah tangan. Dan Rian, ia akan selalu tahu. Ia akan selalu menjadi saksi. Ia akan selalu menjadi penjaga dari sebuah kutukan yang tak pernah berakhir.