Masukan nama pengguna
Rumah Baru dan Bunga Tak Dikenal
Rumah itu, dengan arsitektur kolonial Belanda yang kusam, berdiri di ujung Jalan Kenanga, seolah menjadi penanda batas antara dunia yang dikenal dan yang tidak. Genteng-gentengnya menghitam, lumut tebal merambat di dinding bata merah yang sebagian besar sudah mengelupas, dan jendela-jendela tinggi berjeruji besi berkarat memancarkan tatapan kosong ke arah jalan. Sebuah pohon mangga tua yang rimbun dan beberapa rumpun bambu kuning yang liar memeluknya erat, nyaris menyembunyikannya dari pandangan. Di sinilah Sekar memilih untuk memulai kembali hidupnya, menjauh dari ingar-bingar kota besar dan kenangan pahit yang membuntutinya.
Sekar tiba di desa itu di suatu sore yang lembap, diiringi rintik gerimis yang tipis. Truk pengangkut barangnya tak terlalu penuh, hanya beberapa koper tua, tumpukan buku-buku bersampul lusuh, dan sebuah pot tanaman kecil yang ia genggam erat di pangkuannya. Ia bukan tipikal wanita muda yang ceria. Wajahnya yang oval, dengan tulang pipi tinggi dan bibir tipis, selalu dihiasi ekspresi tenang, nyaris dingin. Namun, mata cokelat gelapnya yang dalam memancarkan kesedihan yang sulit dijelaskan, seolah menyimpan rahasia kelam yang terlalu berat untuk dipikul. Geraknya nyaris tanpa suara, langkahnya ringan seperti embusan angin, seolah ia takut mengganggu keheningan yang telah lama bersemayam di rumah itu.
Beberapa hari pertama Sekar habiskan dalam kesunyian. Ia membersihkan rumah itu dengan telaten, seolah melakukan sebuah ritual penyucian. Debu tebal yang telah menumpuk puluhan tahun disapu bersih, jaring laba-laba yang menggantung seperti tirai usang disingkirkan, dan bau apak lembab yang menusuk hidung perlahan-lahan tergantikan oleh aroma sabun dan disinfektan. Ia mengecat ulang dinding yang kusam dengan warna putih gading, membersihkan jendela-jendela hingga berkilau, dan menata perabotan tua peninggalan bibi buyutnya—sebuah kursi goyang reyot, lemari ukir yang menjulang tinggi, dan meja makan jati yang kokoh—dengan sentuhan minimalis yang justru menambah kesan misterius pada rumah itu. Rumah itu perlahan-lahan hidup kembali, namun tetap memancarkan aura melankolis yang sulit dihilangkan sepenuhnya. Ada bisikan-bisikan tak terdengar yang bersembunyi di balik dinding, bayangan-bayangan yang melintas di ujung mata, seolah rumah itu enggan melepaskan masa lalunya.
Area pekarangan adalah proyek terbesar Sekar. Rumput liar telah menelan sebagian besar lahan, dan tanaman-tanaman merambat menjulur tak beraturan, menyelimuti pagar dan bahkan mencoba mendaki dinding rumah. Dengan sarung tangan kulit dan sekop kecil, Sekar bekerja tanpa lelah. Ia mencabut gulma-gulma membandel, merapikan semak-semak yang rimbun, dan menggali tanah untuk menyiapkan bedengan. Pekerjaan fisik itu seolah memberinya ketenangan, mengalihkan pikirannya dari beban yang tak terlihat.
Di tengah pekarangan depan, persis di bawah jendela kamar utama, Sekar menanam bunga dari pot kecil yang selalu dibawanya. Bunga itu masih berupa bibit, hanya batang kokoh dengan daun-daun hijau gelap yang tebal, nyaris seperti beludru, dan sedikit mengkilap di bawah sinar matahari. Namun, ada sesuatu yang berbeda darinya. Bau tanah di sekitar bunga itu terasa lebih pekat, lebih kaya, seolah dipupuk dengan sesuatu yang tidak lazim. Ada semburat aroma manis yang samar, seperti madu, bercampur dengan sesuatu yang lebih dalam, seperti bau tanah basah setelah hujan badai, atau mungkin, bau mineral yang kuat dari batu-batuan kuno.
Tetangga-tetangga yang lewat, ibu-ibu yang bergosip sambil menyirami tanaman mereka di sore hari, atau anak-anak kecil yang bermain bola di jalanan, sering kali berhenti sejenak. Mata mereka akan tertuju pada Sekar dan bunga misteriusnya, dipenuhi rasa ingin tahu dan sedikit kecurigaan. Mereka mencoba menyapa, menawarkan bantuan, namun Sekar hanya membalas dengan senyum tipis dan anggukan kepala. Percakapan tak pernah berlangsung lama, seolah ia sengaja menjaga jarak, membangun tembok tak terlihat di sekeliling dirinya.
Sekar lebih sering terlihat duduk di teras belakang, memandang kosong ke arah pekarangan yang kini mulai rapi, atau berdiri di dekat bunga barunya, mengamati pertumbuhannya dengan intensitas yang tak wajar. Tangannya sering membelai lembut daun-daun tebal itu, seolah ia sedang berkomunikasi dengannya, mendengarkan bisikan rahasia yang tak bisa didengar orang lain. Keberadaannya di desa itu terasa seperti sebuah teka-teki, sebuah anomali yang mencolok di tengah rutinitas desa yang tenang. Ia seperti bayangan yang bergerak di antara cahaya, misterius dan tak terjamah, menarik perhatian sekaligus menimbulkan keraguan.
Malam-malam di rumah itu terasa panjang dan sunyi. Sekar sering terbangun oleh suara-suara aneh: derit papan lantai yang menua, gemerisik daun-daun bambu yang ditiup angin, atau bisikan samar yang entah dari mana asalnya, seolah-olah rumah itu berbicara padanya. Ia akan bangkit dari tempat tidur, berjalan ke jendela, dan memandang keluar. Bunga yang ditanamnya, bahkan dalam kegelapan pekat, seolah memancarkan cahaya redup, seolah bernapas dalam tidurnya. Dan setiap kali Sekar melihatnya, ada kilatan aneh di matanya, seperti rasa puas yang dalam, sebuah pemenuhan yang telah lama dinanti, atau mungkin, sebuah antisipasi akan sesuatu yang akan datang. Ia tahu, sesuatu sedang tumbuh, bukan hanya bunga itu, tetapi juga takdir yang telah menunggunya di tempat ini.
Kuncup Pertama dan Kematian Pertama
Tiga bulan berlalu dengan cepat, seperti napas yang tertahan, atau detak jantung yang melambat. Selama waktu itu, bunga di pekarangan Sekar tumbuh dengan pesat, nyaris tak masuk akal. Batangnya yang semula hanya setinggi betis kini menjulang tinggi, melebihi Sekar sendiri, dengan diameter yang semakin tebal, nyaris menyerupai pohon kecil. Daun-daunnya semakin rimbun, hijau gelap, dan sedikit mengkilap di bawah sinar matahari. Ia tumbuh liar, menjalar, seolah memiliki kehendaknya sendiri.
Aroma yang semula samar kini semakin menguat, menguasai seluruh pekarangan, bahkan merambat hingga ke jalanan. Wanginya manis, seperti melati yang sedang mekar penuh, namun ada sentuhan metalik yang aneh, seperti bau darah segar yang bercampur dengan tanah basah. Beberapa tetangga bahkan mengaku merasakan pusing ringan dan mual jika terlalu lama berdiri di dekat pagar rumah Sekar, seolah aroma itu memiliki efek membius. Mereka mulai berbisik-bisik, menyebut bunga itu "bunga aneh" atau "bunga berhantu".
Suatu pagi yang cerah, saat matahari mulai menyinari desa dengan hangatnya, sebuah kuncup pertama muncul di salah satu cabang bunga. Kuncup itu besar, seukuran kepalan tangan, berwarna ungu gelap, nyaris hitam, dengan kelopak-kelopak yang masih rapat, menyimpan misteri di dalamnya, seolah sebuah mata raksasa yang masih terpejam. Sekar berdiri di depannya selama berjam-jam, memandanginya dengan tatapan yang nyaris memuja, tangannya sesekali menyentuh kuncup itu dengan sangat hati-hati, seolah takut merusak keajaiban yang sedang terjadi. Senyum tipis, senyum yang jarang sekali terlihat, tersungging di bibirnya, sebuah ekspresi kepuasan yang mendalam.
Keesokan harinya, kabar buruk menyebar di desa itu seperti api liar yang tak terkendali. Nenek Sumi, seorang lansia yang ramah dan sering berbincang dengan Sekar saat ia menyirami tanaman di pagi hari, ditemukan meninggal di tempat tidurnya. Tidak ada tanda-tanda kekerasan, tidak ada penyakit yang serius yang dideritanya. Dokter desa hanya bisa mengindikasikan kematian wajar karena usia. Namun, ada sesuatu yang aneh. Wajah Nenek Sumi tampak pucat pasi, namun bibirnya tersenyum tipis, sebuah senyum yang membeku, seolah ia pergi dengan damai, atau mungkin, dengan sebuah rahasia yang tak terkatakan, sebuah pengalaman yang luar biasa di saat-saat terakhirnya.
Warga desa berduka. Nenek Sumi adalah sosok yang dicintai, penasihat bijak, dan teman bagi banyak orang. Ia sering memberikan petuah-petuah bijak dan selalu siap membantu siapa saja yang membutuhkan. Sekar ikut melayat, mengenakan kebaya hitam sederhana yang semakin menonjolkan kulitnya yang kini tampak lebih cerah, nyaris transparan. Ia berdiri di sudut ruangan, menyerap suasana duka, namun matanya memancarkan sesuatu yang berbeda. Ada cahaya aneh di sana, seolah ia baru saja bangun dari tidur panjang yang menyegarkan, kulitnya terlihat lebih bersih, rambut hitamnya berkilau, dan sorot matanya lebih tajam, lebih hidup. Ia terlihat jauh lebih bersinar dan mempesona dari biasanya, kontras dengan kesedihan yang meliputi rumah duka. Para pelayat, tanpa sadar, melirik ke arah Sekar, merasakan aura yang berbeda darinya.
Beberapa warga desa sempat melihat Sekar melirik ke arah jendela rumah Nenek Sumi saat prosesi pemakaman berlangsung. Di sana, di luar rumah duka, bunga ungu di pekarangan Sekar telah mekar sempurna. Kelopaknya terbuka lebar, memamerkan bagian dalamnya yang berwarna ungu tua, nyaris hitam legam, dengan benang sari berwarna emas yang berkelap-kelip seperti mata-mata kecil yang tak terhitung jumlahnya. Aromanya kini memenuhi udara, manis dan memikat, namun dengan bayangan sesuatu yang busuk di baliknya, seperti bau tanah kuburan yang baru digali bercampur dengan wangi bunga yang mematikan.
Ketika Sekar kembali ke rumahnya yang sunyi, ia langsung menuju ke bunga itu. Ia menyentuh kelopaknya yang lembut, merasakan kelembaban dan kekuatan yang terpancar darinya. Ia menghirup dalam-dalam aromanya yang memabukkan, membiarkan wangi itu memenuhi paru-parunya, memenuhi setiap sel dalam tubuhnya. Sebuah desahan keluar dari bibirnya, sebuah desahan kepuasan yang dalam, nyaris erotis. Ia merasa vitalitas yang luar biasa mengalir dalam dirinya, seolah ia telah disuntik dengan energi kehidupan yang tak terbatas. Garis-garis halus di sudut matanya lenyap, kulitnya terasa kencang dan kenyal, dan ia merasa seolah ia bisa berlari bermil-mil tanpa lelah.
Malam itu, Sekar tak tidur. Ia duduk di teras belakang, memandangi bunga yang bermekaran di bawah cahaya rembulan. Angin malam membawa aromanya yang kuat ke seluruh desa, seolah sebuah seruan yang tak terdengar. Di kejauhan, ia bisa mendengar suara tangisan samar dari rumah Nenek Sumi. Senyum Sekar melebar, menampakkan kilatan gigi putih di kegelapan. Sebuah siklus telah dimulai, siklus yang telah lama ia nantikan, dan ia adalah sang katalisnya. Sebuah kekuatan kuno telah terbangun, dan ia adalah perwujudannya.
Wangi Malam dan Rayuan Maut
Satu bulan setelah kematian Nenek Sumi, suasana di desa mulai berubah. Ada ketegangan yang merayapi setiap sudut, seperti kabut tebal yang tak terlihat. Bisikan-bisikan tentang Sekar dan bunga misteriusnya semakin sering terdengar di warung kopi, di pasar, dan di antara ibu-ibu yang menjemur pakaian. Beberapa warga bahkan mulai menghindari melewati Jalan Kenanga, memilih jalan memutar meskipun lebih jauh.
Kuncup kedua muncul di bunga Sekar, dan kali ini, kuncupnya bahkan lebih besar, lebih gelap, dan warnanya lebih pekat dari yang pertama. Ukurannya nyaris sebesar kepala bayi, dan urat-uratnya terlihat menonjol di bawah kulit kelopak yang tipis. Aroma bunga itu kini terasa lebih intens, bahkan di siang hari, begitu kuat hingga membuat kepala pening dan tenggorokan terasa kering. Beberapa warga yang nekat mendekat bahkan mengklaim mendengar suara bisikan samar dari arah bunga itu, seolah bunga itu berbicara dalam bahasa yang tak mereka pahami.
Kematian kedua terjadi dua hari setelah kuncup kedua mekar. Pak Kusno, seorang duda paruh baya yang tinggal sendirian di seberang rumah Sekar, ditemukan meninggal di kamar mandinya. Wajahnya membeku dalam ekspresi aneh—campuran antara ketakutan dan ekstasi yang mengerikan. Matanya terbuka lebar, menatap kosong ke langit-langit, seolah ia melihat sesuatu yang tak terkatakan di saat-saat terakhirnya, sebuah pemandangan yang begitu indah sekaligus begitu menakutkan.
Pak Kusno adalah sosok yang sering terlihat memperhatikan Sekar. Ia sering mencoba berbasa-basi, menawarkan bantuan kecil, seperti memperbaiki genteng bocor atau membawakan belanjaan. Ia selalu ramah, namun matanya selalu mengikuti setiap gerak-gerik wanita itu dengan tatapan yang penuh hasrat tersembunyi. Beberapa kali, tetangga melihat Pak Kusno berdiri di pagar rumahnya, menghirup aroma bunga Sekar dengan mata terpejam, seolah terbius, seolah aroma itu adalah racun yang ia nikmati. Ia bahkan pernah terlihat mondar-mandir di depan rumah Sekar di malam hari, seolah ada sesuatu yang memanggilnya.
Malam sebelum kematian Pak Kusno, ada pemandangan aneh yang disaksikan beberapa warga yang terbangun tengah malam. Pak Rahmat, seorang penjaga ronda, bersumpah melihat Sekar mengenakan gaun tipis berwarna putih gading, berjalan di pekarangan rumahnya. Gaun itu menari-nari di udara malam, seolah terbuat dari kabut. Rambut hitamnya tergerai panjang, menutupi punggungnya hingga pinggang, menari-nari di udara malam, dan ia bergerak seolah melayang, kakinya nyaris tak menyentuh tanah. Dari jarak jauh, ia tampak seperti hantu, memancarkan aura yang dingin dan memesona, memanggil-manggil dengan keindahan yang mematikan. Beberapa bahkan bersumpah mendengar suara nyanyian samar, melodi kuno yang asing, bercampur dengan tawa pelan yang tak wajar, tawa yang terdengar dingin dan tanpa emosi. Mereka mengira itu hanya halusinasi akibat kantuk, namun kengerian itu terlalu nyata.
Desas-desus mulai menyebar seperti api yang melahap keringnya musim kemarau. "Wanita itu pembawa sial," kata seorang ibu-ibu di pasar, suaranya bergetar. "Bunga di rumahnya itu bunga iblis, yang menghisap nyawa!" timpal yang lain, menunjuk ke arah rumah Sekar dari kejauhan. Anak-anak dilarang bermain di dekat rumah Sekar, dan orang dewasa mulai mengunci pintu dan jendela mereka rapat-rapat di malam hari, seolah benteng tak terlihat bisa melindungi mereka dari ancaman yang tak terlihat. Ketakutan perlahan-lahan menyelimuti desa yang dulunya damai itu, mengubahnya menjadi tempat yang penuh curiga dan was-was.
Sekar sendiri tidak menunjukkan reaksi apa pun terhadap desas-desus itu. Ia tetap pendiam, tetap misterius, seolah semua omongan itu tidak berarti baginya. Namun, penampilannya semakin memukau. Kulitnya kini tampak porselen, nyaris tanpa pori, bibirnya merah merekah alami, dan matanya memancarkan kilau yang tak wajar, seperti batu permata yang berkilau di kegelapan. Ia seperti bunga yang baru mekar, sempurna dan memikat, namun juga menyimpan ancaman yang tak terlihat, seperti serangga beracun yang bersembunyi di balik kelopak yang indah. Setiap kali ia muncul di depan umum, para pria di desa itu, bahkan yang sudah beristri dan berumur, tak bisa mengalihkan pandangan mereka darinya. Ada sesuatu dalam dirinya yang menarik, sesuatu yang berbahaya dan memabukkan, seperti sirene yang memanggil pelaut menuju kehancuran.
Malam-malam setelah kematian Pak Kusno, Sekar sering terlihat di dekat bunga-bunga yang kini telah mekar semua. Ia akan berjongkok, mengusap kelopak-kelopak bunga dengan lembut, seolah membelai hewan peliharaan kesayangan. Dari dalam rumahnya, terdengar suara-suara aneh—desisan samar, gumaman yang tak jelas, seperti bahasa kuno yang terlupakan, dan terkadang, tawa melengking yang menggema di kesunyian malam, tawa yang menusuk tulang dan membuat bulu kuduk merinding. Bau bunga yang kini begitu kuat, terasa seperti aroma kematian yang disamarkan oleh wangi manis yang memikat, seolah memanggil korban berikutnya, mengundang mereka ke dalam pelukan maut yang indah.
Pemuda yang Penasaran
Di tengah kepungan ketakutan dan desas-desus yang menyesakkan, Raka tiba di desa itu, membawa serta aura kota besar yang kontras dengan suasana pedesaan yang kini suram. Pemuda bertubuh tegap dengan rambut ikal acak-acakan yang selalu terlihat sedikit berantakan, dan mata yang tajam dan berbinar penuh rasa ingin tahu, bukanlah tipikal penduduk desa. Ia seorang mahasiswa antropologi tingkat akhir yang sedang mengerjakan skripsi tentang legenda lokal, mitos pedesaan, dan fenomena aneh yang tersembunyi di balik kehidupan modern. Rumah yang ia sewa, kebetulan, berada persis di sebelah rumah Sekar, dipisahkan oleh sebuah pagar bambu yang mulai rapuh.
Awalnya, Raka hanya menganggap desa itu sebagai sumber data yang menarik untuk studinya. Ia mencatat setiap cerita, setiap desas-desus, setiap bisikan yang ia dengar, dengan pikiran skeptis seorang ilmuwan yang terlatih untuk mencari penjelasan logis di balik setiap fenomena. Namun, saat ia mulai mengamati pola, mencocokkan tanggal, dan menyatukan potongan-potongan informasi, skeptismenya perlahan-lahan runtuh, digantikan oleh rasa penasaran yang mendalam dan kecurigaan yang semakin kuat. Dua kematian dalam waktu singkat, yang diikuti oleh hilangnya seorang remaja, ditambah dengan kehadiran Sekar yang misterius dan bunga unik di pekarangannya, terlalu mencurigakan untuk diabaikan sebagai kebetulan belaka.
Raka mulai mencatat setiap detail dengan teliti dalam buku catatannya yang lusuh. Ia memetakan tanggal kematian dengan waktu mekarnya bunga-bunga di pekarangan Sekar. Ia memperhatikan bagaimana aroma bunga itu berubah seiring waktu, dari samar hingga menjadi pekat dan memabukkan, seolah semakin matang dan kuat. Ia juga mengamati Sekar dari jendela kamarnya, dari balik tirai, dari kejauhan. Wanita itu bergerak dengan anggun, nyaris tak bersuara, seolah bayangan yang melayang. Ia selalu mengenakan pakaian sederhana berwarna gelap, namun itu justru menonjolkan kecantikannya yang aneh dan memikat, seperti magnet yang tak bisa ditolak.
Yang paling menarik perhatian Raka adalah mata Sekar. Mereka gelap, dalam, nyaris tanpa emosi, dan selalu memancarkan sesuatu yang kuno, seolah mereka telah melihat banyak hal selama berabad-abad, menyimpan memori dari era-era yang telah lama berlalu. Kadang-kadang, saat Sekar berjalan di dekat bunga-bunga yang kini bermekaran penuh, ada kilatan kepuasan yang aneh di matanya, seperti seorang seniman yang mengagumi mahakaryanya yang baru selesai, atau seorang pemburu yang puas dengan hasil tangkapannya.
Raka mencoba mencari informasi tentang Sekar. Ia mendatangi kepala desa, Pak RT, dan beberapa tetua desa yang dihormati. Ia bertanya kepada tetangga-tetangga yang kini mulai menjaga jarak dari rumah itu. Namun, mereka semua hanya bisa memberikan informasi yang sama: Sekar adalah kerabat jauh dari pemilik rumah sebelumnya, ia pindah ke sana tiga bulan lalu, dan ia sangat pendiam. Tak ada yang tahu dari mana asalnya, apa yang ia lakukan sebelumnya, atau mengapa ia memilih untuk hidup menyendiri di rumah tua itu. Ia seperti muncul entah dari mana, tanpa jejak masa lalu.
Raka memutuskan untuk memulai penyelidikan kecilnya sendiri yang lebih mendalam. Ia menghabiskan berjam-jam di perpustakaan desa, yang sebenarnya hanya sebuah ruangan kecil dengan beberapa rak buku tua, mencoba mencari referensi. Ia membeli beberapa buku tentang botani, taksonomi, bahkan buku-buku kuno tentang flora mistis dan tanaman beracun, mencoba mengidentifikasi jenis bunga di pekarangan Sekar. Namun, ia tidak menemukan apa pun yang cocok. Bunga itu tidak ada dalam daftar taksonomi, tidak ada dalam catatan tentang tanaman-tanaman langka, bahkan tidak ada dalam mitos atau legenda yang pernah ia baca, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari belahan dunia lain. Bunga itu unik, asing, dan menakutkan, seolah ia berasal dari dimensi lain, atau diciptakan dari mimpi buruk.
Suatu malam, Raka duduk di teras rumahnya yang gelap, mengamati rumah Sekar dari balik semak-semak. Lampu di dalam rumah Sekar sering kali redup, nyaris tidak terlihat, seolah ia hidup dalam kegelapan abadi. Namun, bunga di pekarangannya tampak bersinar di bawah cahaya bulan yang purnama, kelopaknya yang ungu gelap berkilauan seperti permata yang memancarkan cahaya dingin. Aroma bunga itu terbawa angin, memasuki hidung Raka, membuatnya merasa pusing dan sedikit mual, seperti efek samping dari obat bius ringan. Namun, di balik rasa tidak nyaman itu, ada rasa ingin tahu yang kuat, sebuah dorongan tak tertahankan untuk memahami misteri di balik bunga dan wanita itu. Raka tahu, ia harus mencari tahu lebih banyak. Ia harus membongkar rahasia yang tersembunyi di balik keindahan dan kematian yang kini mengancam desa itu. Firasatnya mengatakan, ini bukan hanya tentang kematian, tapi sesuatu yang jauh lebih besar, lebih tua, dan lebih mengerikan dari sekadar pembunuhan.
Pesta dan Tatapan
Kematian Lia adalah pemicu. Ketakutan yang semula hanya berupa bisikan samar dan kecurigaan tersembunyi, kini menjadi teror nyata yang merayapi setiap hati warga desa. Orang-orang mulai paranoid. Mereka melihat Raka sebagai satu-satunya harapan mereka, satu-satunya orang yang berani menghadapi misteri yang menyelimuti desa. Mereka mulai mendatangi Raka, menceritakan segala kecurigaan mereka, bisikan-bisikan tentang Sekar yang mereka dengar, dan pengalaman aneh yang mereka alami di dekat rumah wanita itu. Ada yang mengaku melihat bayangan melintas di pekarangan Sekar tengah malam, ada yang mendengar suara tawa melengking dari dalam rumahnya, dan banyak yang merasa sakit kepala atau mual setelah menghirup aroma bunganya. Raka mendengarkan dengan seksama, mencatat setiap detail, dan menyusun potongan-potongan teka-teki itu dalam benaknya, berusaha menemukan benang merah di antara semua cerita yang terfragmentasi itu.
Tak lama setelah kematian Lia, Sekar membuat pengumuman yang mengejutkan, seolah ingin meredakan ketegangan yang ia sendiri ciptakan. Ia akan mengadakan pesta kecil di rumahnya, sebuah acara untuk “mengenal lebih dekat” para tetangga dan menghilangkan “kesalahpahaman” yang mungkin terjadi. Undangan itu terasa aneh, nyaris provokatif, terutama setelah tiga kematian misterius yang baru saja terjadi. Namun, rasa penasaran yang luar biasa, dan mungkin sedikit ketakutan akan menyinggung Sekar jika menolak, mendorong beberapa warga desa untuk datang, meskipun dengan hati yang was-was dan pikiran yang penuh curiga.
Pesta itu diadakan di pekarangan depan, di bawah cahaya lampu-lampu taman yang remang-remang, memberikan suasana yang temaram dan sedikit suram. Sekar tampil memukau malam itu. Ia mengenakan gaun panjang berwarna merah marun, terbuat dari kain yang tipis dan menjuntai, membalut lekuk tubuhnya dengan anggun dan menonjolkan kulit porselennya. Rambut hitamnya disanggul tinggi, menonjolkan leher jenjangnya yang seputih gading. Ia bergerak di antara para tamu dengan senyum tipis, nyaris tak terlihat, menawarkan minuman dan makanan kecil. Setiap pria yang berbicara dengannya tampak terbius, mata mereka terpaku pada Sekar, seolah terhipnotis oleh kecantikan dan aura misteriusnya. Para wanita di sana, yang semula merasa was-was dan curiga, kini merasa terancam oleh kecantikan Sekar yang luar biasa, dan cemburu melihat bagaimana para suami dan anak laki-laki mereka terpikat olehnya.
Raka datang ke pesta itu dengan tujuan utama mengamati, bukan bersosialisasi. Ia menolak minuman yang ditawarkan Sekar, memilih untuk tetap waspada dan fokus pada setiap detail. Ia memperhatikan bagaimana Sekar berinteraksi dengan para pria. Matanya yang gelap, nyaris tanpa ekspresi, akan berhenti sejenak pada setiap pria yang ia ajak bicara. Ada tatapan aneh di sana, tatapan yang terlalu intens, terlalu dingin, seolah Sekar sedang menimbang-nimbang sesuatu, menilai, memilih. Tatapan itu terasa seperti sentuhan es, dingin namun memikat.
Bunga di pekarangan itu kini mekar sempurna, mengeluarkan aroma yang sangat kuat, menyebar ke seluruh area pesta, nyaris menenggelamkan aroma masakan dan parfum. Aroma manisnya kini bercampur dengan bau yang lebih pekat, lebih memabukkan, seperti bau bangkai yang disamarkan oleh wangi melati yang kuat, membuat udara terasa berat dan menyesakkan. Beberapa tamu mulai mengeluh pusing dan mual, beberapa bahkan terlihat pucat pasi, namun mereka tetap bertahan, seolah terpaku oleh kehadiran Sekar dan suasana pesta yang aneh itu. Sebuah kekuatan tak terlihat menahan mereka di sana.
Malam itu, di tengah kemeriahan pesta yang terasa palsu dan mencekam, sebuah kejadian mengerikan terjadi. Seorang tetangga remaja perempuan bernama Lia, yang baru berusia 17 tahun, tiba-tiba menghilang. Awalnya, tidak ada yang panik. Mereka mengira Lia hanya pergi ke toilet atau pulang lebih dulu karena merasa tidak enak badan. Namun, ketika larut malam tiba dan Lia tak juga kembali ke rumah, kepanikan melanda. Orang tua Lia mulai menangis histeris, dan pesta itu seketika bubar, berganti menjadi suasana yang penuh kekhawatiran.
Pencarian besar-besaran dilakukan sejak dini hari. Seluruh warga desa ikut mencari, menyusuri setiap sudut desa, setiap semak belukar, setiap sungai yang mengalir di sekitar desa. Raka, yang tak tidur semalaman, bergabung dalam pencarian dengan perasaan tak nyaman yang kuat. Ia memiliki firasat buruk. Firasat itu menjadi kenyataan ketika Lia ditemukan tewas di tepi sungai, beberapa kilometer dari desa, di pagi hari yang dingin. Tubuhnya terbaring kaku di antara bebatuan, wajahnya pucat pasi, dan ada jejak kebiruan di lehernya, seolah dicekik dengan kuat. Namun, yang paling aneh, adalah ekspresi di wajah Lia—ekspresi yang sama persis dengan Pak Kusno: campuran ketakutan dan ekstasi, dengan mata terbuka lebar, seolah ia melihat keindahan yang paling mengerikan di saat-saat terakhirnya.
Raka menatap Sekar yang berdiri di tengah kerumunan yang berduka. Wanita itu terlihat tenang, nyaris tak terpengaruh oleh tragedi yang baru saja terjadi. Wajahnya tetap datar, tanpa emosi yang berarti. Namun, kali ini, Raka melihatnya dengan jelas: tatapan Sekar ke arah mayat Lia, tatapan yang dingin dan puas, seolah ia baru saja menyelesaikan sebuah pekerjaan, seolah Lia adalah bagian dari rencana besarnya. Dan Raka menyadari, dengan kengerian yang menusuk, Lia adalah korban ketiga. Bunga di pekarangan Sekar kini memiliki tiga kuncup yang mekar sempurna, masing-masing memancarkan cahaya ungu yang menakutkan. Pola ini tidak mungkin kebetulan. Ini adalah sebuah ritual, sebuah persembahan yang mengerikan.
Penyelidikan dan Penemuan
Kematian Lia adalah pemicu. Ketakutan yang semula hanya berupa bisikan, kini menjadi teror nyata yang menghantui setiap sudut desa. Para pria di desa itu, yang semula terpikat oleh Sekar, kini mulai menjauhinya, bahkan menghindari kontak mata dengannya. Mereka melihat Sekar sebagai perwujudan dari sesuatu yang jahat, sesuatu yang harus dihindari dengan segala cara. Namun, Raka tahu, menghindari saja tidak cukup. Mereka harus menghentikannya, sebelum korban berikutnya jatuh.
Raka menyusun rencana dengan hati-hati. Ia tahu, polisi tidak akan percaya cerita tentang bunga misterius yang menghisap nyawa atau wanita yang tak menua. Ia harus menemukan bukti yang konkret, bukti yang bisa dilihat dan dipegang, yang tidak bisa dibantah oleh logika. Malam itu, setelah memastikan seluruh desa telah terlelap dalam tidur yang gelisah, Raka dengan hati-hati menyusup ke halaman belakang rumah Sekar.
Kegelapan pekat menyelimuti rumah itu, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang redup yang menembus celah-celah dedaunan. Bunga-bunga ungu di pekarangan tampak lebih menyeramkan di malam hari, kelopaknya yang terbuka seperti mulut yang siap menelan, memancarkan aura dingin yang mengancam. Aroma manis dan memabukkan itu kini terasa lebih kuat, nyaris mencekik, seolah bunga itu bernapas dengan berat, mengeluarkan racun ke udara. Raka merasa pusing, kepalanya berdenyut-denyut, dan tiba-tiba terbayang wajah-wajah korban: Nenek Sumi yang damai namun pucat, Pak Kusno dengan ekspresi anehnya, dan Lia dengan tatapan ketakutan di matanya. Rasa mual melilit perutnya, namun ia memaksa dirinya untuk fokus.
Ia mendekati bunga-bunga itu dengan hati-hati, langkahnya ringan dan tanpa suara. Dengan tangan gemetar, ia memetik satu kelopak bunga yang paling gelap. Kelopak itu terasa lembut dan dingin di tangannya, seperti kulit ular. Ia mendekatkannya ke hidungnya, menghirup aromanya dalam-dalam, meskipun ia tahu risikonya. Seketika, Raka merasa seluruh tubuhnya mati rasa, seolah ada sesuatu yang mengalir dari kelopak bunga itu, menembus kulitnya, menguasai sistem sarafnya. Pandangannya kabur, dan ia mendengar bisikan-bisikan samar di telinganya, suara-suara yang tak dikenal, bahasa kuno yang asing, seolah berasal dari masa lalu yang jauh. Lalu, ia melihatnya: kilasan-kilasan gambar di benaknya, sebuah kaleidoskop yang mengerikan. Ia melihat wajah-wajah korban yang tersenyum padanya, seolah mengundangnya ke dalam kegelapan, ke dalam dunia mereka. Ia melihat Sekar muda, sangat muda, menanam bunga yang sama di tempat lain, di era yang berbeda. Ia melihat adegan-adegan ritual kuno, orang-orang berpakaian jubah gelap, berlutut di depan bunga-bunga yang identik, mempersembahkan sesuatu yang berharga.
Raka menepis kelopak bunga itu dengan panik, merasa mual yang luar biasa. Ia nyaris muntah. Aroma itu bukan hanya memabukkan, tapi juga beracun, dan memiliki efek halusinogen yang kuat. Ia memulihkan diri dengan cepat, menyadari bahaya yang ia hadapi. Ini bukan hanya bunga biasa, ini adalah bagian dari kekuatan Sekar, sebuah alat yang digunakannya. Ia menyusuri pekarangan, mencari sesuatu yang lain, petunjuk yang lebih konkret.
Ia melihatnya. Akar-akar bunga itu, yang seharusnya menyebar di bawah tanah, justru menjalar ke atas, merayap di dinding rumah Sekar, menembus celah-celah kecil di pondasi, dan menghilang ke dalam sebuah celah kecil di bawah jendela lantai dua. Beberapa akar bahkan terlihat membesar, seolah ada sesuatu yang mengalir di dalamnya. Itu adalah penemuan yang mengejutkan. Bunga itu tidak hanya tumbuh di pekarangan; ia adalah bagian dari rumah itu sendiri, atau lebih tepatnya, rumah itu adalah perpanjangan dari bunga itu, sebuah organisme yang hidup, saling terkait, saling memberi makan.
Raka kembali ke rumahnya dengan perasaan campur aduk. Ia telah menemukan sesuatu, sesuatu yang mengerikan. Bunga itu bukan sekadar tanaman. Ia adalah entitas yang hidup, sebuah parasit, yang terhubung secara simbiotik dengan Sekar, dan yang mungkin bertanggung jawab atas kematian-kematian di desa itu. Ia harus kembali, dan kali ini, ia tidak akan sendirian. Ia butuh bantuan, butuh saksi, butuh kekuatan untuk menghadapi kengerian ini.
Malam Penggerebekan
Raka tidak tidur semalaman. Matanya memerah karena kurang tidur, namun pikirannya berputar cepat, menyusun rencana. Ia memikirkan semua yang telah ia lihat dan rasakan: efek memabukkan dari kelopak bunga, akar-akar yang menjalar ke dalam rumah, dan kilasan-kilasan mengerikan dari masa lalu yang ia lihat. Bau bunga itu masih melekat di indra penciumannya, dan kilasan wajah-wajah korban masih menghantuinya. Ia tahu, ia harus bertindak cepat, sebelum Sekar memilih korban berikutnya.
Pagi harinya, sebelum matahari terbit sepenuhnya, Raka mendatangi beberapa warga desa yang paling ia percaya dan yang telah menunjukkan keberanian di tengah ketakutan. Ia mendatangi Pak RT, seorang mantan kepala desa yang disegani bernama Pak Darto, dan beberapa pemuda lain yang terlihat bertekad untuk melindungi desa mereka. Ia menceritakan semua temuannya, semua pola yang ia amati, dan yang terpenting, tentang akar bunga yang menjalar ke dalam rumah Sekar dan apa yang ia lihat di sana—sebuah petunjuk menuju sesuatu yang lebih gelap.
Awalnya, mereka ragu. Cerita itu terdengar terlalu gila untuk dipercaya, terlalu dekat dengan dongeng dan mitos kuno. Beberapa bahkan menganggap Raka sudah gila karena terlalu banyak berpikir. Namun, melihat keseriusan Raka, dan mengingat kematian-kematian yang telah terjadi, yang tak bisa dijelaskan secara logis, mereka akhirnya setuju untuk menyelidiki. Ketakutan akan Sekar dan bunga itu lebih besar daripada ketakutan akan dianggap tidak masuk akal.
Malam itu, di bawah langit yang gelap tanpa bulan, mereka berkumpul di rumah Raka. Mereka mempersenjatai diri dengan senter, obeng, linggis, dan bahkan beberapa bilah parang yang diasah tajam, meskipun mereka tidak yakin apakah itu akan berguna melawan entitas seperti Sekar. Suasana tegang menyelimuti mereka. Ketakutan bercampur dengan tekad untuk mengungkap kebenaran dan menghentikan teror ini. Raka memimpin jalan, memastikan mereka bergerak tanpa suara, seperti bayangan di kegelapan.
Mereka menyelinap ke halaman belakang rumah Sekar. Bau bunga itu kini terasa lebih kuat dari sebelumnya, seperti kabut tebal yang mencekik paru-paru, memenuhi udara dengan aroma manis yang mematikan. Raka menunjuk ke arah akar-akar yang menjalar ke dinding, yang kini tampak membesar, berdenyut pelan di kegelapan. Dengan hati-hati, Pak Darto mencongkel jendela lantai dua yang sedikit terbuka. Pintu itu terbuka dengan derit pelan yang menggores kesunyian malam.
Di dalam, kegelapan pekat menyambut mereka. Udara di dalam rumah terasa dingin, jauh lebih dingin dari udara di luar, seolah dinginnya kematian telah bersemayam di sana. Ada bau tanah basah yang kuat, bercampur dengan bau bunga yang mematikan, dan sedikit aroma busuk yang samar. Mereka menyalakan senter, sorot cahayanya menari-nari di dinding-dinding yang lembab, menampakkan sarang laba-laba dan lapisan debu tebal. Mereka menyusuri lorong yang gelap, melewati kamar-kamar yang kosong dan berdebu, hingga mereka tiba di sebuah kamar tua di lantai atas, yang terletak di bagian paling belakang rumah.
Pintu kamar itu sedikit terbuka, seolah mengundang mereka masuk. Mereka mengintip ke dalam. Kamar itu dipenuhi dengan benda-benda aneh. Di dinding, tergantung puluhan foto-foto usang, sebagian besar telah memudar oleh waktu, berwarna sepia atau hitam putih. Foto-foto itu menunjukkan berbagai macam wanita, mengenakan pakaian dari berbagai era: kebaya kuno yang berasal dari abad ke-19, gaun bergaya kolonial, hingga pakaian modern dari awal abad ke-20 dan seterusnya. Namun, yang membuat mereka terkesiap, adalah kenyataan bahwa wajah-wajah wanita di foto-foto itu, meskipun berbeda gaya rambut dan pakaian, memiliki kemiripan yang mencolok dengan Sekar. Bukan hanya mirip, tapi nyaris identik. Ada sebuah pola yang mengerikan: setiap foto menunjukkan Sekar dalam berbagai reinkarnasinya sepanjang sejarah.
Di antara foto-foto itu, Raka menemukan satu foto yang paling menarik perhatiannya. Foto seorang wanita berkebaya kuno, dengan rambut disanggul tinggi, yang diambil pada tahun 1800-an. Wajahnya, meskipun hitam putih dan sedikit buram, benar-benar identik dengan Sekar yang mereka kenal. Jantung Raka berdegup kencang, memompa adrenalin ke seluruh tubuhnya. Ia tahu, ia telah menemukan sesuatu yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Sekar bukan hanya pembunuh berantai. Ia adalah sesuatu yang lebih tua, lebih kuno, dan lebih menyeramkan dari legenda manapun yang pernah ia pelajari. Ia adalah entitas yang abadi, yang telah hidup selama berabad-abad, terus-menerus bereinkarnasi dan mencari korban.
Kebusukan dan Asal Usul
Ketegangan di dalam kamar itu meningkat, nyaris tak tertahankan. Para warga yang ikut dengan Raka saling berpandangan, wajah mereka pucat pasi karena kengerian yang baru mereka sadari. Mereka menatap foto-foto itu dengan horor yang semakin menjadi-jadi, memahami implikasi dari apa yang mereka lihat. Sekar adalah makhluk abadi, dan semua kematian itu adalah bagian dari ritual panjangnya. Raka tahu, mereka harus menemukan lebih banyak bukti, sesuatu yang bisa menghentikan makhluk itu. Ia menyapu senternya ke seluruh ruangan, mencari sesuatu yang lain, sebuah petunjuk, sebuah titik lemah.
Di sebuah meja kecil di sudut kamar, mereka menemukan botol-botol kaca dengan berbagai ukuran, berisi cairan kental berwarna ungu pekat, ada juga yang bening namun memancarkan kilau keunguan yang aneh. Ada juga bunga-bunga kering yang digantung di langit-langit, mengeluarkan aroma yang sama dengan bunga di pekarangan, namun lebih pekat, lebih tua, seperti aroma dupa kuno. Itu adalah ramuan, pikir Raka. Ramuan yang digunakan Sekar untuk mempertahankan hidupnya, untuk menjaga keabadiannya, dan untuk memikat korbannya. Ia mengamati beberapa buku catatan tua bersampul kulit di atas meja, ditulis dengan tulisan tangan kuno yang rumit, yang sepertinya berisi resep dan ritual.
Lalu, mata Raka tertuju pada lantai. Beberapa papan lantai tampak sedikit lebih longgar dari yang lain, dengan celah-celah kecil di antaranya. Ada bau busuk yang samar, namun sangat kuat, berasal dari bawah lantai. Dengan bantuan linggis dan obeng, Raka dan Pak RT mulai mencongkel papan-papan itu. Bau busuk yang tajam seketika menyeruak, membuat mereka terbatuk-batuk dan menutupi hidung. Bau itu adalah bau kematian, bau daging yang membusuk, bau yang tak akan pernah mereka lupakan.
Di bawah papan lantai, tersembunyi sebuah lubang yang digali dengan kasar, sebuah kuburan massal yang mengerikan. Dan di dalam lubang itu, mereka menemukan kengerian yang sesungguhnya. Mayat-mayat. Empat mayat, dalam keadaan membusuk parah, tergeletak di sana. Mereka bisa mengenali beberapa di antaranya dari pakaian atau ciri-ciri yang masih tersisa: Lia, dengan rambut panjangnya yang masih melekat, Pak Kusno, dan Nenek Sumi. Ada satu mayat lagi, yang sudah sangat rusak, nyaris hanya tulang-belulang, tak bisa dikenali sama sekali. Mayat-mayat itu diatur melingkar, dengan kepala menghadap ke tengah, seolah menjadi bagian dari sebuah ritual kuno, sebuah persembahan yang tak terlukiskan. Di tengah lingkaran mayat-mayat itu, tumbuh akar-akar bunga yang menjulur dari bawah tanah, tebal dan berdenyut-denyut, melilit tubuh-tubuh yang telah tak bernyawa itu. Akar-akar itu tampak menghisap sesuatu dari mayat-mayat tersebut, seolah mereka adalah nutrisi utama bagi bunga-bunga di luar, sumber kehidupan Sekar.
Raka merasa mual, namun ia memaksakan diri untuk melihat. Ia menyadari, Sekar tidak hanya membunuh korbannya. Ia menggunakannya, menghisap energi kehidupan mereka, esensi vital mereka, untuk mempertahankan dirinya sendiri, untuk menjaga kecantikannya, dan untuk memberi makan bunga-bunganya yang mengerikan. Bunga itu adalah portal, tempat ia mengambil esensi kehidupan dari korbannya, dan menyalurkannya ke Sekar, sebuah siklus kehidupan dan kematian yang kejam. Buku-buku catatan di meja itu, Raka yakin, berisi rincian ritual mengerikan ini, cara untuk mempertahankan keabadian melalui pengorbanan manusia.
Tiba-tiba, sebuah ide terlintas di benak Raka, sebuah ide yang nekat namun penuh harapan. Jika akar bunga itu adalah sumber kekuatan Sekar, maka mencabutnya akan melemahkannya, mungkin bahkan membunuhnya. Ia harus mencobanya. Ia bergegas keluar dari kamar, menuju pekarangan depan. Para warga desa yang lain, yang melihat kengerian di bawah lantai, mengikuti di belakangnya dengan panik, wajah mereka penuh ketakutan dan jijik.
Di pekarangan, di bawah cahaya bulan yang redup, Raka mencengkeram batang utama bunga itu. Batang itu terasa tebal dan kenyal di tangannya, seolah berdenyut. Ia menariknya dengan sekuat tenaga, mengerahkan seluruh kekuatannya. Akar-akarnya yang tebal dan menjalar ke dalam tanah berderit saat tercabut dari tanah, mengeluarkan suara yang mirip seperti daging yang robek. Sebuah jeritan melengking yang mengerikan, suara yang bukan suara manusia, sebuah suara yang berasal dari kedalaman bumi, seketika menggema dari dalam rumah Sekar. Jeritan itu diiringi suara retakan, seperti bangunan yang runtuh, dan dentuman keras, seolah ada sesuatu yang besar dan rapuh di dalam rumah itu sedang hancur. Tanah di sekitar bunga itu bergetar hebat.
Penguapan dan Siklus Abadi
Jeritan itu terus menggema, semakin keras dan semakin putus asa, seolah makhluk purba sedang sekarat. Dari dalam rumah, terdengar suara gemuruh yang semakin intens, seperti bangunan yang runtuh dalam gempa bumi. Dinding-dinding rumah Sekar bergetar hebat, jendela-jendela pecah berkeping-keping, dan atapnya mulai ambruk di beberapa bagian. Raka dan para warga mundur beberapa langkah, menatap rumah Sekar dengan ketakutan yang mencekam. Mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri kehancuran yang mereka sebabkan.
Lalu, Sekar muncul. Ia melangkah keluar dari pintu depan yang kini hancur, berjalan terhuyung-huyung, seolah mabuk. Penampilannya yang semula mempesona kini berubah menjadi mengerikan, sebuah mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Kulitnya mulai mencair, seperti lilin yang terbakar, menampakkan urat-urat kehitaman yang menonjol di bawahnya. Rambutnya rontok satu per satu, jatuh ke tanah seperti daun-daun kering. Matanya memutih, kosong tanpa pupil, hanya menyisakan rongga hitam yang hampa. Sebuah cairan kental berwarna hijau keunguan menetes dari bibirnya, seperti getah tanaman beracun, meninggalkan jejak asam di tanah.
Ia berteriak, sebuah jeritan yang penuh amarah dan kesakitan yang tak terhingga, suara yang merobek malam. Tubuhnya bergetar hebat, seolah dihantam gelombang kejut yang tak terlihat, atau diserang dari dalam. Dagingnya mulai mengelupas dari tulang, seperti kulit ular yang berganti kulit, memperlihatkan otot-otot yang berdenyut di bawahnya. Bau busuk yang luar biasa menyengat, bau kematian yang pekat, bercampur dengan aroma memabukkan bunga itu, kini menjadi sangat kuat, nyaris membuat mereka pingsan. Raka dan para warga terpaksa menutup hidung mereka, beberapa bahkan muntah di tempat, tak tahan dengan pemandangan dan bau mengerikan itu.
Sekar terus menjerit, suaranya kini melengking, nyaris tidak terdengar, seolah tenaganya terkuras habis. Tubuhnya mulai menguap, berubah menjadi kabut tipis berwarna ungu gelap, yang perlahan-lahan naik ke udara, terbawa angin malam yang dingin. Dalam hitungan detik, Sekar menghilang sepenuhnya, hanya menyisakan bau yang menjijikkan, jejak cairan kental di tanah, dan rasa horor yang mendalam yang akan menghantui ingatan mereka seumur hidup. Tubuh itu seolah tidak pernah ada, hanya sebuah ilusi yang lenyap.
Keesokan harinya, polisi tiba di lokasi, dipanggil oleh warga yang masih syok. Mereka menemukan mayat-mayat di bawah lantai yang telah dibongkar, dan rumah Sekar yang kini kosong melompong, hancur, seolah tak pernah dihuni. Bunga-bunga di pekarangan telah layu, batangnya mengering, dan kelopaknya jatuh berserakan di tanah, tak lagi memancarkan aroma memabukkan, hanya bau busuk yang samar. Tidak ada jejak Sekar, tidak ada penjelasan logis. Kasus itu ditutup sebagai kasus pembunuhan berantai yang tak terpecahkan, dan rumah itu disegel, dianggap sebagai tempat angker yang harus dihindari oleh semua orang.
Epilog – Bunga yang Tak Layu
Beberapa bulan berlalu. Kehidupan di desa itu perlahan-lahan kembali normal, meskipun bayangan tragedi itu tak akan pernah hilang sepenuhnya. Rumah di Jalan Kenanga tetap kosong, pagar bambunya kini dipasang kembali dengan kawat berduri, dan papan peringatan "Dilarang Masuk" terpampang jelas di gerbang. Anak-anak masih takut melewati jalan itu di malam hari, dan para ibu masih berbisik-bisik tentang "wanita bunga" itu. Raka telah menyelesaikan skripsinya, yang kini menjadi sebuah karya yang jauh lebih dalam, lebih gelap, dan lebih menakutkan dari yang ia bayangkan. Ia sering mengunjungi kembali desa itu, berdiri di depan rumah Sekar yang kini sepi, merasakan sisa-sisa energi gelap yang masih melekat di sana, sebuah pengingat akan kengerian yang ia saksikan.
Suatu sore, saat Raka sedang membaca koran di sebuah kafe yang ramai di kota lain, ribuan kilometer dari desa itu, sebuah berita kecil di halaman belakang menarik perhatiannya. Sebuah artikel singkat tentang kematian misterius di sebuah kota kecil di pulau seberang. Dua orang meninggal dalam waktu singkat, tanpa penyebab yang jelas. Gejala yang sama: wajah pucat, ekspresi aneh, dan tidak ada tanda-tanda kekerasan. Dan yang paling aneh, ada laporan tentang seorang wanita muda yang baru saja pindah ke sana, menanam bunga ungu yang tak dikenal di pekarangan rumah barunya.
Jantung Raka berdegup kencang, firasat buruk melingkupi dirinya. Ia mencari foto wanita itu, yang disematkan dalam artikel kecil tersebut, sebuah gambar buram dari kejauhan. Rambut hitam panjang, mata gelap yang dalam, senyum tipis yang mempesona. Wajahnya, meskipun tidak begitu jelas, terlihat identik dengan Sekar.
Bunga itu tak layu. Siklusnya terus berulang. Sekar adalah entitas abadi, sebuah parasit purba, beregenerasi melalui bunga dan kematian, menghisap esensi kehidupan dari korbannya untuk mempertahankan keberadaannya. Ia adalah predator yang tak terhentikan, dan dunia adalah ladang perburuannya. Dan di suatu tempat, di sebuah kota lain yang jauh, bunga ungu itu kini mulai berkuncup, menunggu korban berikutnya, dan memulai kembali siklus abadi yang menyeramkan. Raka tahu, ia tidak bisa menghentikan Sekar. Ia hanya bisa mengamati, dan hidup dalam bayang-bayang kengerian yang tak berkesudahan, sebuah pengetahuan yang akan menghantuinya selamanya. Mungkin, suatu hari, bunga itu akan mekar di dekatnya lagi. Ia hanya bisa menunggu.