Masukan nama pengguna
Andra menarik napas dalam-dalam, paru-parunya dipenuhi udara segar Stasiun Bandung yang masih pagi. Gemuruh aktivitas penumpang, deru roda koper, dan pengumuman yang melengking bersahutan menciptakan simfoni khas keberangkatan. Hari ini adalah hari penting. Wawancara kerja di Jakarta, posisi impian yang telah ia kejar selama berbulan-bulan, menanti. Tiket WHOSH di tangannya terasa dingin, menjanjikan kecepatan dan efisiensi.
WHOSH, kependekan dari "Wonderful High-Speed Operation System for Humanity," adalah kebanggaan transportasi Indonesia, sebuah simbol kemajuan teknologi yang sering digembar-gemborkan. Kereta itu sendiri, yang kini terpampang di hadapannya, memang tampak seperti makhluk dari masa depan. Siluet aerodinamisnya yang ramping memantulkan cahaya matahari pagi, sementara cat putih mutiaranya berkilau bersih tanpa noda. Jendela-jendela besar berwarna gelap, tersusun rapi di sepanjang badan kereta, memberikan kesan misterius sekaligus elegan. Interiornya pun tak kalah memukau. Begitu Andra melangkah masuk, ia disambut lorong yang lapang, pencahayaan LED lembut, dan aroma samar disinfektan bercampur sedikit wangi lavender yang menenangkan. Kursi-kursi ergonomis yang dibalut kulit sintetis berwarna abu-abu gelap berjajar rapi, setiap deret dilengkapi dengan layar sentuh pribadi dan port pengisian daya.
Andra menemukan kursinya di gerbong ketiga, tepat di sisi jendela. Gerbong itu, anehnya, terasa sunyi. Hanya ada beberapa penumpang lain yang terpencar, sibuk dengan gawai mereka atau terlelap dalam posisi duduk yang nyaman. Andra sendiri adalah pribadi yang menghargai kesendirian, terutama saat bepergian. Ini memberinya kesempatan untuk meninjau ulang materi wawancara, atau sekadar menikmati perjalanan tanpa gangguan. Ia meletakkan ranselnya di kompartemen atas, mengeluarkan headphone nirkabelnya, dan menyambungkannya ke ponsel. Musik instrumental lo-fi mulai mengalun lembut, memblokir suara-suara eksternal dan membawanya ke dalam gelembung ketenangan pribadinya.
Kereta mulai bergerak. Bukan dengan sentakan keras seperti kereta konvensional, melainkan dengan luncuran halus yang nyaris tak terasa. Pemandangan Stasiun Bandung perlahan menyusut di balik jendela, digantikan oleh hamparan sawah hijau yang membentang luas, diselingi perkampungan padat penduduk dan sesekali deretan pohon kelapa yang melambai. Langit di luar biru cerah, dihiasi gumpalan awan putih yang berarak malas. Kecepatan WHOSH meningkat drastis, tetapi di dalam gerbong, semuanya terasa stabil. Tidak ada guncangan, tidak ada suara bising yang berarti, hanya desisan lembut dari sistem pendingin udara dan vibrasi samar yang menjalar melalui lantai.
Andra bersandar, memejamkan mata. Otaknya mulai memproses informasi yang telah ia pelajari, mempersiapkan diri untuk wawancara. Namun, musik yang menenangkan dan gerak linear kereta yang konstan perlahan menariknya ke alam bawah sadar. Ia hanyut dalam tidur singkat yang ringan, sebuah jeda yang menyegarkan sebelum memasuki hiruk pikuk Jakarta. Mimpi-mimpinya, jika ada, adalah gumpalan kabut yang tak berwujud, sesekali diselingi gambaran pekerjaan impian yang menanti. Ketika ia terbangun, yang pertama kali ia sadari adalah perubahan cahaya. Matahari kini bersinar lebih terik, menembus jendela dan membentuk pola-pola terang di lantai gerbong. Jam di ponselnya menunjukkan bahwa perjalanan baru berlangsung sekitar sepuluh menit.
Ketegangan Terselubung
Begitu ia membuka mata sepenuhnya, ada sesuatu yang terasa berbeda. Entah itu sensasi aneh di udara, atau mungkin hanya efek sisa dari tidurnya. Namun, ketenangan yang ia rasakan sebelumnya kini digantikan oleh sebuah perasaan tidak nyaman yang samar, seperti bisikan di belakang pikirannya.
Ia melepas headphone-nya. Suara yang ia harapkan adalah desisan AC atau dengungan mesin kereta, namun yang terdengar malah sunyi. Sunyi yang aneh. Bukan sunyi total, tapi sunyi yang terasa terlalu hening untuk sebuah kereta yang melaju dengan kecepatan tinggi. Seolah-olah suara di luar telah diredupkan secara artifisial, atau… terputus.
Pandangannya menyapu gerbong. Beberapa penumpang yang tadinya sibuk kini tampak tegang. Seorang wanita muda di seberang lorong, yang tadinya asyik dengan ponselnya, kini menatap kosong ke jendela. Punggungnya kaku, seolah ia merasakan hal yang sama.
Lalu, matanya menangkap sesuatu. Di ujung gerbong, dekat pintu penghubung, seorang pria berjaket tebal mondar-mandir. Jaketnya terlalu tebal untuk cuaca siang hari yang cerah, dan tudungnya menutupi sebagian besar wajahnya. Gerakannya gelisah, langkahnya cepat dan pendek, seolah ia sedang mencari sesuatu, atau seseorang. Pria itu sesekali berhenti, menempelkan telinganya ke dinding kereta, lalu mendongak dan melihat sekeliling dengan pandangan curiga. Andra mencoba mengabaikannya, mungkin pria itu hanya gelisah karena sesuatu. Tapi tingkah lakunya terlalu mencolok untuk diabaikan.
Kemudian, sebuah suara. Tok! Tok!
Suara itu datang dari jendela. Andra sontak menoleh ke kaca di sampingnya. Tidak ada apa-apa di luar selain pemandangan yang kabur karena kecepatan. Namun, suara ketukan itu terdengar lagi, lebih jelas kali ini. Tok! Tok! Tok!
Bagaimana mungkin? Kereta melaju ratusan kilometer per jam. Tidak mungkin ada sesuatu yang bisa menempel di jendela dan mengetuknya. Pikiran logisnya berteriak menolak, namun telinganya tidak berbohong. Jantung Andra mulai berdetak lebih cepat. Ia menoleh ke belakang, mencari konfirmasi dari penumpang lain. Tidak ada yang tampaknya mendengar. Apakah ia hanya berhalusinasi?
Tiba-tiba, dari gerbong depan, terdengar suara keributan kecil. Andra menoleh. Seorang pria paruh baya yang duduk di barisan depan gerbongnya, tepat di samping jendela, tiba-tiba memekik pelan. Pria itu menunjuk ke luar jendela dengan jari gemetar, matanya terbelalak penuh kengerian. "Bayangan… bayangan hitam!" suaranya serak, nyaris tak terdengar. Andra mengikuti arah pandang pria itu, tetapi tidak melihat apa-apa selain pantulan cahaya dan kecepatan yang distortif. Dalam sekejap, wajah pria itu memucat, matanya berputar ke belakang, dan ia ambruk tak sadarkan diri di kursinya.
Kepanikan kecil mulai menyebar. Dua penumpang terdekat bergegas menghampiri pria yang pingsan itu. Andra sendiri merasakan bulu kuduknya merinding. Bayangan hitam? Suara ketukan? Pria berjaket tebal itu kini berhenti mondar-mandir dan berdiri terpaku, menghadap ke arah gerbong depan, seolah menunggu sesuatu. Aura di dalam kereta berubah. Udara terasa dingin meskipun AC berjalan normal. Setiap bisikan, setiap gerakan, terasa diperbesar, menciptakan suasana yang semakin mencekam.
Andra menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berpacu liar. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini hanyalah kelelahan, stres menjelang wawancara. Tetapi kilasan ingatan tentang berita-berita horor yang pernah ia baca, tentang hal-hal tak masuk akal yang terjadi di tempat-tempat terpencil, mulai merasuk ke dalam benaknya. WHOSH, yang tadinya simbol keamanan dan modernitas, kini terasa seperti kotak besi yang meluncur menuju kegelapan yang tidak diketahui. Ia melirik jam di ponselnya. 25 menit sejak keberangkatan. Lima menit lagi menuju batas waktu yang tidak jelas, yang secara insting ia rasakan akan membawa perubahan.
Ia kembali melirik pria berjaket tebal itu. Pria itu kini bergerak lagi, langkahnya lebih mantap, menuju pintu penghubung antara gerbongnya dengan gerbong depan. Gerakannya tidak lagi gelisah, melainkan seperti predator yang mengintai mangsa. Tudungnya masih menutupi wajahnya, membuat Andra tidak bisa melihat ekspresinya. Namun, aura yang dipancarkannya begitu dingin, begitu mengancam, hingga Andra merasa merinding sampai ke tulang.
Suasana di gerbong semakin mencekam. Penumpang yang tadinya rileks kini saling berbisik, sesekali melirik ke arah pintu penghubung atau ke jendela. Beberapa dari mereka mengeluarkan ponsel, mungkin mencoba menghubungi seseorang, namun sinyal tampak hilang. Andra mencoba ponselnya; indikator sinyal menunjukkan 'Tidak Ada Layanan'. Ini aneh. WHOSH dikenal memiliki konektivitas yang sangat baik di sepanjang perjalanannya.
Kekhawatiran Andra semakin menjadi-jadi saat lampu di ujung gerbong berkedip sekali, lalu kembali normal. Hanya sebentar, namun cukup untuk menarik perhatiannya. Itu bukan kedipan normal, lebih seperti sebuah gangguan. Sesuatu yang buruk akan terjadi. Instingnya berteriak, memperingatkan.
Serangan Dimulai
Tepat di menit ke-30 perjalanan.
Tepat seperti yang Andra rasakan, batas waktu itu tiba. Sebuah dentuman keras tiba-tiba menggema dari gerbong depan, disusul suara hantaman benda tumpul ke metal. Lampu-lampu di seluruh gerbong berkedip liar, padam sesaat, lalu menyala lagi dengan cahaya yang lebih redup, seperti senja yang tiba-tiba datang di siang bolong.
Dari pintu penghubung di depan, tempat pria berjaket tebal tadi berdiri, muncul empat sosok lain. Mereka semua berpakaian gelap, dengan tudung yang sama menutupi wajah. Gerakan mereka cepat, terkoordinasi, dan penuh tujuan. Yang paling menakutkan adalah apa yang mereka pegang.
Satu orang memegang sebilah pisau dapur besar yang mengkilap di bawah cahaya redup, memantulkan kilatan mengerikan. Yang lain menggenggam kapak kecil dengan gagang hitam, bilahnya tampak tumpul namun mematikan. Pria ketiga membawa obeng besar, ujungnya runcing dan berkarat. Dan pria berjaket tebal yang pertama kali Andra perhatikan kini memegang sebuah golok pendek yang terlihat usang namun tajam.
Mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tanpa peringatan, tanpa teriakan, mereka mulai bergerak. Bukan ke arah Andra, melainkan langsung menyerbu penumpang-penumpang yang duduk di barisan paling depan.
Teriakan pecah. Itu adalah suara pertama yang memecah keheningan mencekam. Teriakan seorang wanita yang diakhiri dengan suara tercekat, disusul dentuman keras. Andra melihat dengan mata terbelalak bagaimana pria berpisau itu mengayunkan senjatanya ke arah seorang pria yang sedang mencoba berdiri. Darah menyembur, memerciki dinding dan kursi di dekatnya. Pria itu ambruk tanpa suara.
Kekacauan langsung menyebar. Penumpang yang tadinya terpaku ketakutan kini panik. Beberapa berusaha bangkit dari kursi mereka, yang lain beringsut di lantai, mencoba merangkak menjauh. Suara jeritan, tangisan, dan erangan memenuhi udara, bercampur dengan suara langkah kaki para penyerang yang berat dan dingin. Bau darah yang segar, metalik, menusuk hidung Andra, membuatnya mual.
"CCTV! Matikan CCTV-nya!" suara serak salah satu penyerang terdengar, satu-satunya kata yang terucap dari mereka sejauh ini. Begitu kata itu meluncur, sebuah lampu indikator kecil di langit-langit, yang sebelumnya menunjukkan bahwa CCTV aktif, padam begitu saja. Seolah-olah ada tombol khusus yang menonaktifkannya.
Para penyerang bergerak dengan efisiensi yang mengerikan. Mereka tidak mencari barang berharga, tidak menuntut uang. Tujuan mereka jelas: membunuh. Mereka bergerak dari barisan ke barisan, mengayunkan senjata mereka tanpa ampun, tanpa emosi. Kilatan pisau, ayunan kapak, dan tusukan obeng menjadi tarian kematian yang brutal.
Penumpang mencoba kabur. Andra melihat beberapa orang bergegas menuju pintu penghubung gerbong di belakangnya, pintu menuju gerbong selanjutnya. Namun, upaya mereka sia-sia. Dengan suara klik mekanis yang serempak, semua pintu penghubung di sepanjang kereta terdengar terkunci otomatis. Suara jeritan putus asa terdengar saat penumpang menyadari mereka terjebak. Kotak besi yang tadinya aman kini berubah menjadi perangkap maut.
Andra terpaku di kursinya, matanya melebar, napasnya tertahan. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia merasa akan meledak dari dadanya. Kengerian yang ia rasakan melumpuhkannya. Ini bukan mimpi, bukan halusinasi. Ini nyata. Darah nyata, teriakan nyata, kematian nyata.
Terjebak dalam Mimpi Buruk
Gerombolan penyerang semakin mendekat ke arahnya. Mereka bergerak sistematis, membersihkan setiap barisan. Andra melihat salah satu dari mereka, yang memegang kapak, menatap lurus ke arahnya dengan mata yang tersembunyi di balik tudung. Ada seringai tipis yang terbentuk di bibir di bawah bayangan tudung itu, sebuah seringai yang mengirimkan gelombang dingin ke seluruh tubuh Andra.
Di depannya, seorang ibu muda yang tadinya mencoba melindungi anaknya, kini tergeletak di lantai, berlumuran darah. Anaknya, seorang balita perempuan, menangis histeris di samping tubuh ibunya, tangan kecilnya mencoba mengguncang ibunya agar bangun. Pemandangan itu memicu sesuatu dalam diri Andra. Ketakutan yang melumpuhkan perlahan digantikan oleh dorongan primal untuk membantu.
Dengan gemetar, Andra melongok dari balik kursinya. Para penyerang masih sibuk dengan korban-korban lain. Ini kesempatannya. Ia merangkak keluar dari tempat duduknya, mendekati ibu dan anak itu dengan hati-hati.
"Nak… Nak, bangun," bisik Andra, tangannya terulur untuk memeriksa nadi sang ibu. Dingin. Tidak ada denyutan. Wanita itu sudah tiada.
Tangisan balita itu semakin keras. Andra meraih anak itu, mengangkatnya ke pelukannya. Tubuh mungil itu gemetar, wajahnya yang kotor oleh air mata dan sedikit darah dari ibunya menatap Andra dengan mata polos yang penuh ketakutan. Andra memeluknya erat, mencoba menyembunyikan anak itu di balik tubuhnya yang lebih besar.
Tiba-tiba, lampu kereta berkedip lagi, kali ini lebih lama, dan saat menyala kembali, cahayanya menjadi sangat redup, seperti cahaya lilin di ruangan gelap. Bersamaan dengan itu, suara kereta berubah. Dengungan halus mesin yang tadinya menenangkan kini berubah menjadi gemuruh rendah yang dalam, seperti raungan binatang buas yang terluka, atau seperti suara ratusan orang yang berteriak secara bersamaan dalam keheningan yang panjang. Suara itu begitu aneh, begitu tidak wajar, hingga Andra bertanya-tanya apakah itu berasal dari kereta itu sendiri atau dari pikirannya yang mulai kacau.
Pemandangan di luar jendela pun mulai berubah. Kecepatan kereta tidak berkurang, namun apa yang Andra lihat di balik kaca bukanlah pemandangan alam yang normal. Hamparan hijau sawah telah digantikan oleh kabut tebal yang berputar-putar, berwarna keabuan, menutupi segalanya. Sesekali, dari balik kabut itu, muncul kilasan-kilasan objek yang tak jelas bentuknya—siluet pohon yang memanjang dan meliuk, bayangan bangunan yang tidak wajar, seperti tetesan cat hitam di atas kanvas kelabu. Pemandangan itu seperti bukan dunia nyata, lebih mirip lukisan abstrak yang dibuat oleh seniman gila.
Dan kemudian, ilusi visual dimulai.
Andra melihatnya pertama kali di sudut matanya. Di antara kursi-kursi yang berlumuran darah, di lorong-lorong sempit yang dipenuhi mayat, muncul bayangan-bayangan mayat yang bergerak. Bukan mayat sungguhan, tapi siluet hitam pekat, seperti bayangan yang terlepas dari tubuh. Mereka melayang, berputar, dan menari dalam cahaya remang-remang, tangan-tangan hantu mereka seolah meraih ke arah Andra. Dalam benaknya, ia mendengar suara ketawa para penyerang yang menggema, bukan tawa manusia, melainkan tawa serak, dingin, dan tidak berperasaan, seolah tawa itu datang dari neraka itu sendiri. Tawa itu datang dari setiap sudut gerbong, seolah para penyerang tidak hanya empat orang, tetapi memenuhi seluruh kereta.
Aroma besi darah yang tadinya hanya samar-samar, kini menjadi begitu pekat, begitu menusuk, hingga Andra merasa bisa mencecapnya di lidahnya. Rasanya seperti ia berenang dalam genangan darah, setiap napas adalah tegukan darah. Bau itu bercampur dengan aroma amis yang lebih mengerikan, seperti bau daging membusuk, atau bau kematian itu sendiri.
Andra memeluk erat balita yang gemetar dalam pelukannya. Ia berusaha mencari celah, jalan keluar. Namun, lorong-lorong dipenuhi oleh tubuh-tubuh tak bernyawa dan bayangan-bayangan mengerikan. Para penyerang kini semakin dekat, langkah mereka berat, suara desakan sepatu mereka di lantai yang lengket terasa seperti palu yang menghantam kepalanya. Salah satu dari mereka, yang memegang obeng besar, menendang tubuh seorang korban dengan kakinya, lalu menginjak kepala korban itu, mengeluarkan suara retakan yang membuat Andra bergidik.
Ini bukan lagi sekadar serangan. Ini adalah pembantaian. Dan Andra, bersama balita di pelukannya, adalah target selanjutnya. Ia bisa merasakan tatapan mata di balik tudung hitam itu, tatapan dingin yang dipenuhi kekejaman murni.
"Kau tidak bisa lari," sebuah suara serak berbisik di telinganya, seolah datang dari dalam pikirannya sendiri, bukan dari penyerang. "Tidak ada tempat untuk bersembunyi."
Andra menoleh ke belakang, tetapi tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya bayangan-bayangan hantu yang menari-nari dan bau darah yang semakin kuat. Ia menunduk, mencoba menenangkan balita yang menangis. Balita itu mencengkeram erat kemejanya, wajahnya terkubur di bahu Andra.
"Tenang, Nak," bisik Andra, suaranya sendiri bergetar. "Kita akan baik-baik saja." Namun, ia sendiri tidak yakin akan hal itu.
Andra merangkak mundur, mencari perlindungan di balik deretan kursi yang kosong. Setiap gerakan terasa begitu lambat, setiap napas adalah perjuangan. Ia melihat penyerang bergolok, pria yang tadinya mondar-mandir, kini berjalan lurus ke arahnya. Pria itu mengangkat goloknya, membiarkan cahaya redup memantul dari bilahnya yang kusam.
Andra menutup mata balita itu dengan satu tangan, sementara tangan yang lain memeluk erat tubuh mungil itu. Ia bersiap untuk dampak, untuk rasa sakit yang tak terbayangkan. Namun, pada saat terakhir, ia melihat celah. Sebuah pintu darurat di ujung gerbong, yang belum ia perhatikan. Pintunya kecil, mungkin hanya untuk petugas.
Dengan sisa-sisa kekuatannya, Andra melesat, mendorong balita itu ke depan, menuju pintu itu. "Pergi! Pergi!" serunya kepada balita itu, berharap anak itu bisa merangkak ke tempat aman. Namun, balita itu terlalu takut, terlalu kecil untuk memahami.
Pria bergolok itu semakin dekat. Andra tahu ia tidak punya waktu lagi. Ia harus mengalihkan perhatian, apa pun caranya. Ia melihat sebuah payung tergeletak di lantai, milik salah satu korban. Dengan cepat, ia meraihnya, lalu melemparkannya ke arah penyerang. Tidak banyak gunanya, tapi cukup untuk membuat pria itu sedikit terkejut.
Saat itulah, suara gemuruh kereta semakin menggila. Suaranya bukan lagi raungan, melainkan seperti jeritan ribuan jiwa yang tersiksa. Lampu-lampu berkedip lebih cepat, seperti stroboskop yang gagal, menciptakan efek bayangan yang melompat-lompat dan distortif. Ilusi bayangan mayat di sekelilingnya semakin jelas, seolah mereka benar-benar ada, mengelilingi Andra, menyaksikan kengerian yang berlangsung.
Andra merasakan panas, panas yang membakar di belakangnya. Ia menoleh sekilas. Salah satu penyerang, yang memegang kapak, sedang menghancurkan panel kontrol di dinding. Percikan api melesat, dan bau hangus menyengat. Sepertinya mereka sengaja merusak sistem.
"Tidak ada jalan keluar," bisikan itu kembali, lebih jelas, lebih mendalam. Kali ini, Andra merasa suara itu bukan berasal dari luar, melainkan dari dalam kepalanya sendiri. Itu adalah suaranya, namun diucapkan dengan nada yang dingin, asing, dan putus asa.
Serangan Terakhir
Andra tersentak dari lamunannya oleh suara langkah kaki yang mendekat. Ia melihat pria berjaket tebal, yang pertama kali ia perhatikan, kini berdiri menjulang di hadapannya. Pria itu tidak lagi memegang golok. Di tangannya kini ada pisau panjang berlumuran darah, yang ujungnya meneteskan cairan merah kental ke lantai. Tudungnya masih menutupi wajahnya, tetapi Andra bisa merasakan tatapan mata yang tajam dan tak berperasaan menembus kegelapan itu.
Balita di pelukan Andra mulai terisak lebih keras, seolah merasakan ancaman yang begitu dekat. Andra menekan kepala balita itu ke dadanya, melindunginya sekuat tenaga.
Pria itu melangkah maju, perlahan, seperti predator yang menikmati saat-saat terakhir perburuannya. Andra mencoba mundur, tetapi punggungnya sudah menyentuh dinding gerbong yang dingin. Ia terjebak. Tidak ada jalan keluar.
"Kau yang terakhir," suara serak itu akhirnya keluar dari mulut penyerang, sebuah bisikan yang mematikan, namun terdengar sangat dekat, seolah diucapkan tepat di telinga Andra. Bukan sebuah pertanyaan, melainkan pernyataan yang dingin.
Pada saat yang bersamaan, Andra melihat penyerang itu mengangkat pisaunya. Kilatan logam yang berlumuran darah itu adalah hal terakhir yang Andra lihat dengan jelas.
Jleb!
Rasa sakit yang membakar menjalar di perutnya. Andra terkesiap, napasnya tercekat. Pisau itu menancap dalam. Tubuhnya menegang, lalu lemas. Balita di pelukannya terlepas, terjerembap ke lantai dengan tangisan yang teredam.
Jleb! Jleb! Jleb!
Tidak hanya sekali. Pisau itu menusuk Andra membabi buta, berkali-kali, di perutnya, di dadanya, di samping rusuknya. Setiap tusukan adalah gelombang rasa sakit yang baru, lebih dalam, lebih tajam. Darah hangat mulai membanjiri kemejanya, membasahi kulitnya, mengalir deras ke lantai.
Pandangan Andra mulai kabur. Warna-warna di sekelilingnya memudar, digantikan oleh bercak-bercak hitam dan putih. Suara-suara di sekitarnya menjadi jauh, teredam, seperti mendengar dari bawah air. Ia masih bisa merasakan sentuhan pisau yang dingin, dan rasa sakit yang menusuk, namun sensasi itu perlahan menjauh, menjadi sesuatu yang tidak lagi terasa sepenuhnya miliknya.
Di antara kaburnya pandangannya, Andra melihat kilatan wajah-wajah korban yang sudah meninggal. Wajah wanita yang menjerit, pria yang ambruk di barisan depan, ibu yang tak berdaya. Wajah-wajah mereka muncul dan menghilang dalam sekejap, seperti kilasan foto-foto yang diputar cepat. Mata mereka kosong, mulut mereka terbuka dalam bisikan-bisikan tanpa suara. Apakah ini wajah-wajah orang yang ia lihat dalam bayangan hantu sebelumnya?
Dunia seakan memudar. Suara gemuruh kereta yang menyerupai jeritan ribuan jiwa kini berubah menjadi dengungan pelan, lalu hening total. Bau darah menghilang. Cahaya redup lenyap, digantikan oleh kegelapan yang absolut. Dinginnya pisau, panasnya darah, rasa sakit yang tak tertahankan… semuanya memudar menjadi ketiadaan.
Andra merasakan dirinya jatuh. Bukan jatuh ke lantai, melainkan jatuh ke dalam jurang yang tak berdasar, tanpa awal dan tanpa akhir. Tidak ada suara, tidak ada cahaya, hanya kekosongan yang dingin dan hampa. Apakah ini kematian? Apakah ini neraka yang dijanjikan dalam bisikan-bisikan itu?
Sebuah bisikan terakhir, kali ini sangat pelan, bergaung di dalam kegelapan itu, sebuah bisikan yang terasa seperti dirinya sendiri, namun penuh ironi. Tiga puluh menit… hanya tiga puluh menit.
Terbangun dari Kematian
Tiba-tiba, semua menjadi gelap… lalu samar-samar, sebuah suara. Bukan gemuruh kereta, bukan teriakan, melainkan suara mesin alat medis yang berirama—bip… bip… bip… —seperti detak jantung yang teratur. Suara itu begitu kontras dengan ketiadaan yang ia alami sebelumnya, hingga terasa seperti keajaiban.
Mata Andra terbuka. Silau. Cahaya putih terang menyengat retinanya. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri. Atap berwarna putih bersih, bau antiseptik yang menusuk hidung, dan suara-suara lirih orang berbicara di kejauhan. Bukan kereta. Bukan neraka.
Ia mencoba menggerakkan tangannya, namun terasa berat dan lemah. Ada infus yang menancap di punggung tangannya. Seluruh tubuhnya terasa kaku, nyeri, dan lemas. Perut dan dadanya terasa dibalut sesuatu.
"Andra? Nak?"
Sebuah suara lembut, familiar, namun terdengar sangat jauh, memanggil namanya. Andra menoleh perlahan ke samping. Wajah ibunya, penuh air mata dan lega yang luar biasa, terpampang jelas di hadapannya. Rambut ibunya berantakan, matanya bengkak, seolah ia belum tidur selama berhari-hari.
"Ibu…?" Suara Andra serak, parau, nyaris tak keluar. Tenggorokannya kering.
Ibunya langsung memeluknya, isak tangisnya pecah. Pelukan itu lembut namun kuat, seolah takut Andra akan menghilang lagi. "Ya Tuhan, nak… syukurlah, kau sadar… Ibu kira Ibu akan kehilanganmu…"
"Ada apa, Bu? Aku… di mana ini?" Andra bertanya, otaknya masih mencoba memproses apa yang terjadi. Memori terakhirnya adalah pisau yang menusuknya berulang kali, kegelapan, dan rasa jatuh yang tak berujung.
"Kau di rumah sakit, Nak," jawab ibunya, mengusap air mata. "Kau koma selama 3 minggu."
Tiga minggu? Andra tidak percaya. Rasanya baru beberapa menit sejak ia terjebak di kereta itu.
"Kecelakaan… kecelakaan yang menimpamu di WHOSH," lanjut ibunya, suaranya tercekat. "Ada masalah teknis, rem darurat… kereta tergelincir dari rel. Banyak yang terluka, nak, tapi syukurlah kau selamat."
Kecelakaan teknis? Rem darurat? Andra mengerutkan kening. Itu bukan yang ia ingat. Ia ingat pria berjaket tebal, pisau, kapak, obeng, teriakan, darah, dan pembantaian. Ia ingat dikunci di dalam gerbong.
"Tapi… Bu, aku… aku diserang," kata Andra, mencoba duduk, namun nyeri di tubuhnya membuatnya mengerang. "Ada empat orang… mereka menusukku…"
Ibunya menatapnya dengan tatapan khawatir, lalu menggeleng pelan. "Tidak, nak. Menurut laporan resmi, tidak ada serangan. Itu kecelakaan murni. Kereta rem mendadak, lalu terguncang keras. Kau terlempar, terbentur benda keras, dan kepalamu terluka parah. Makanya kau koma."
Hati Andra mencelos. Kecelakaan teknis? Terbentur? Lalu bekas luka ini… ia mencoba mengangkat selimut. Perutnya dan dadanya terbalut perban tebal. Namun, di antara perban itu, ia bisa merasakan nyeri yang familiar, dan ia tahu, di bawah sana, pasti ada bekas luka. Bukan benturan. Melainkan tusukan.
Misteri Terpendam
Beberapa hari kemudian, Andra sudah bisa duduk dan mulai makan bubur. Kondisinya berangsur membaik, namun pikirannya terusik oleh perbedaan antara apa yang ia alami dan apa yang dikatakan ibunya, juga dokter.
Seorang dokter datang menjenguknya, membawa berkas rekam medis. Dokter itu, seorang pria paruh baya berkacamata, tersenyum ramah.
"Selamat pagi, Bapak Andra. Bagaimana perasaan Anda hari ini?" tanya dokter itu.
"Lebih baik, Dok. Tapi… saya masih bingung dengan apa yang terjadi," Andra memulai. "Saya ingat diserang, Pak Dokter. Saya ingat mereka menusuk saya berkali-kali."
Dokter itu mengangguk pelan, tatapannya sedikit kasihan. "Itu hal yang wajar, Bapak Andra. Pasien yang mengalami trauma kepala parah seringkali memiliki ingatan yang terdistorsi atau bahkan halusinasi. Otak Anda sedang dalam proses penyembuhan, dan kadang menciptakan skenario untuk mengisi kekosongan."
"Tapi luka-luka saya, Dok? Tusukan itu…," Andra mencoba menjelaskan, tangannya menunjuk ke perutnya yang masih terbalut perban.
Dokter itu membuka berkas rekam medis. "Berdasarkan hasil pemeriksaan, kami menemukan banyak memar dan beberapa luka robek dalam di area perut dan dada Anda. Luka-luka itu konsisten dengan trauma benda tumpul akibat benturan keras saat kecelakaan. Misalnya, terbentur pecahan kursi, atau bagian interior kereta yang rusak. Tidak ada tanda-tanda tusukan senjata tajam, Bapak Andra."
"Tidak ada tanda-tanda tusukan?" Andra mengulangi, tidak percaya. Ia bisa merasakan nyeri menusuk itu dengan jelas. Ia bisa membayangkan pisau itu.
"Tidak ada," tegas dokter itu, nada suaranya lembut namun final. "Luka-luka Anda memang cukup parah, butuh waktu untuk pulih. Tapi secara medis, semua luka ini akibat benturan hebat."
Andra merasa otaknya berputar. Dokter ini, ibunya, semua orang mengatakan hal yang sama. Kecelakaan. Benturan. Halusinasi. Tapi ia tahu apa yang ia alami. Ia tahu ada pisau.
"Bagaimana dengan CCTV, Dok? Bukankah seharusnya ada rekaman?" Andra bertanya, mengingat bagaimana lampu CCTV padam saat serangan dimulai.
Dokter itu menghela napas pelan. "Ah, itu. Sayangnya, rekaman CCTV di gerbong tempat Anda duduk, dan beberapa gerbong lain, mengalami kerusakan parah akibat korsleting listrik saat kejadian. Sepertinya ada kerusakan sistem kelistrikan yang menyebabkan gangguan pada seluruh rangkaian kereta. Itu juga yang menyebabkan rem darurat dan kereta tergelincir."
Rekaman CCTV hilang. Kerusakan sistem. Korsleting. Semua penjelasan terdengar begitu masuk akal, begitu… rasional. Terlalu rasional.
"Lalu, bagaimana dengan penumpang lain? Yang pingsan, yang terluka parah di depan saya, ibu dan anak itu…?" Andra terus bertanya, otaknya mencoba menemukan celah dalam cerita resmi ini.
"Pihak kereta menyebutkan semua penumpang selamat," kata dokter itu, tersenyum tipis. "Beberapa memang luka-luka ringan, beberapa syok, tapi tidak ada korban jiwa. Semua penumpang telah dievakuasi dan dipulangkan."
"Semua selamat?" Andra bergumam, suaranya nyaris tak terdengar. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri darah, mayat, dan balita yang menangis di samping ibunya yang tak bernyawa. Bagaimana mungkin semua selamat?
Dokter itu pamit pergi, meninggalkan Andra dalam kebingungan yang mendalam. Ia memandangi tangannya yang kurus, lalu ke perutnya yang terbalut perban. Bekas luka tusukan, ia yakin itu tusukan, ada di sana. Mungkin belum terlihat jelas karena bengkak dan perban, tapi ia tahu itu.
Andra mulai curiga. Ia yakin ia melihat sesuatu yang lebih dari sekadar mimpi. Ini bukan halusinasi biasa. Ini terlalu nyata, terlalu detail, terlalu mengerikan untuk sekadar produk otak yang terluka. Ada sesuatu yang disembunyikan. Sesuatu yang sangat gelap.
Ia mencoba mencari berita online tentang kecelakaan WHOSH. Berita-berita yang muncul konsisten dengan cerita dokter dan ibunya: "Kecelakaan Teknis WHOSH: Tidak Ada Korban Jiwa, Penumpang Dievakuasi." Ada beberapa foto kereta yang terguling, gerbong-gerbong yang penyok, tapi tidak ada darah, tidak ada mayat, tidak ada bukti serangan.
Andra merasa seperti terjebak dalam jebakan psikologis. Semua orang mengatakan ia gila, bahwa ingatannya salah, bahwa ia berhalusinasi. Namun, ia tahu. Ia tahu apa yang terjadi di dalam kereta itu. Kengerian itu, rasa sakit itu, ketakutan itu… terlalu nyata untuk dikesampingkan.
Mungkin… mungkin dia tidak sendirian. Mungkin ada orang lain yang melihatnya, yang mengalami hal yang sama. Tapi mengapa tidak ada yang bersuara? Apakah mereka juga diancam? Atau… apakah hanya dia yang melihatnya?
Epilog – Luka yang Tidak Terlihat
Setelah tiga minggu perawatan di rumah sakit, Andra akhirnya diperbolehkan pulang. Kakinya masih terasa lemas, namun ia bisa berjalan. Rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman kini terasa asing, dipenuhi bayangan-bayangan dari mimpinya yang mengerikan.
Andra kembali ke rumah, tapi kini hidupnya hancur. Wawancara kerja yang begitu ia impikan batal, kesempatan itu lenyap. Lebih dari itu, jiwanya terluka parah. Ia mengalami trauma berat. Setiap kali ia menutup mata, ia melihat kilasan darah, mendengar teriakan, mencium bau amis yang memuakkan.
Mimpi buruk berulang setiap malam. Ia terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhnya basah oleh keringat dingin, jantungnya berpacu liar. Dalam mimpinya, ia kembali ke dalam gerbong WHOSH yang gelap dan berlumuran darah, mendengar suara ketawa para penyerang, merasakan tusukan pisau. Terkadang, ia melihat wajah balita itu, menangis tanpa suara, lalu bayangan hitam muncul dan menelannya.
Depresi ekstrem mencengkeramnya. Ia kehilangan nafsu makan, sulit tidur, dan tidak memiliki motivasi untuk melakukan apa pun. Ibunya berusaha merawatnya dengan penuh kasih sayang, namun Andra merasa terputus dari dunia nyata. Ia hidup dalam bayangan kengerian yang hanya ia sendiri yang bisa melihatnya.
Dunia luar terasa menakutkan. Setiap kali ia mendengar suara kereta dari kejauhan, ia langsung panik. Suara peluit panjang WHOSH yang tadinya merupakan simbol kemajuan, kini menjadi lolongan hantu yang memanggilnya kembali ke neraka. Setiap kali ia melihat pisau di dapur, di meja makan, di tangan ibunya saat memasak, ia langsung teringat bilah berlumuran darah yang menusuknya, dan ia akan gemetar, terkadang sampai muntah.
Bekas luka di tubuhnya, di perut dan dadanya, perlahan sembuh. Namun, mereka meninggalkan luka yang tidak terlihat, jauh lebih dalam dan jauh lebih menyakitkan daripada luka fisik mana pun. Bekas luka itu adalah bukti bisu dari apa yang ia alami, bukti yang tak diakui oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri.
Suatu malam, Andra berdiri di depan cermin kamar mandinya. Ia melepas kemejanya, memandangi bekas luka tusukan di perut dan dada. Kulit di sekitarnya masih tampak merah muda, namun bentuknya jelas: lubang-lubang kecil yang sembuh menjadi bekas sayatan. Bukan memar akibat benturan. Ini adalah bekas luka pisau. Ia tahu itu.
Ia menyentuh bekas luka itu, merasakan nyeri tumpul yang masih tersisa. Air mata menetes dari matanya, bukan karena rasa sakit fisik, melainkan karena rasa sakit yang tak terucapkan dari jiwanya yang hancur.
Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya kurus, matanya cekung, dipenuhi bayangan ketakutan dan kebingungan. Bisikan-bisikan dari kereta itu, suara ketawa penyerang, bau darah yang selalu terbayang di hidungnya… semuanya terasa begitu nyata.
"Apakah aku benar-benar hidup… atau masih terjebak dalam kereta itu?" bisiknya, suaranya serak dan putus asa, bergema di keheningan kamar mandi. Pertanyaan itu menggantung di udara, tanpa jawaban. Ia tidak tahu apakah ia telah melarikan diri dari WHOSH, atau apakah WHOSH, dengan segala kengeriannya, telah mengikutinya pulang, bersemayam di dalam jiwanya, mengubah sisa hidupnya menjadi mimpi buruk yang tak berkesudahan.
Dunia seolah bergerak maju, menganggap kecelakaan itu hanya sebuah insiden teknis yang tak berpenghuni. Tapi bagi Andra, setiap detiknya adalah sisa dari tiga puluh menit di WHOSH, sebuah perjalanan cepat menuju neraka yang tak pernah benar-benar berakhir.