Masukan nama pengguna
Bab 1: Kamera dari Lelang
Suara denting palu yang bergema di ruang lelang barang antik itu seolah menjadi genderang pertanda. Rizal, dengan kemeja batik longgar dan tatapan mata yang tajam, tak pernah menyangka bahwa kunjungannya ke acara tak terduga ini akan mengubah segalanya. Biasanya, akhir pekan Rizal diisi dengan membersihkan lensa, memeriksa kabel, atau sekadar menikmati kopi di kafe favoritnya, jauh dari keramaian dan atmosfer pengap yang selalu menyelimuti balai lelang. Namun, panggilan dari seorang kolektor langganan yang mengabarkan tentang "harta karun tersembunyi" membuatnya penasaran. Ia adalah kameraman senior di salah satu stasiun TV nasional terbesar di Indonesia, mata dan telinganya terlatih untuk mengenali kualitas, bahkan dalam tumpukan barang bekas.
Di antara tumpukan radio kuno, mesin ketik berkarat, dan furnitur era kolonial, sebuah siluet hitam menarik perhatiannya. Tergeletak begitu saja di sudut yang kurang cahaya, diselimuti debu tipis yang tak mampu menyembunyikan kilaunya, adalah sebuah kamera broadcast tua. Bentuknya bongsor, berbahan logam kokoh dengan lensa raksasa yang tampak seperti mata Cyclop yang menatap kosong. Modelnya klasik, nyaris primitif jika dibandingkan dengan kamera digital canggih yang setiap hari digenggamnya. Namun, ada aura misterius yang terpancar darinya, semacam daya tarik tak kasat mata yang membuat Rizal melangkah mendekat.
"Ini kamera apa, Pak?" tanyanya kepada seorang petugas lelang yang kebetulan lewat.
Petugas itu tersenyum tipis. "Ah, yang itu. Merek langka, Tuan. Buatan Eropa tahun 1970-an. Dulu dipakai di salah satu stasiun televisi di sana, kalau tidak salah. Barang sitaan dari kolektor yang bangkrut."
Rizal memicingkan mata, mendekatkan wajahnya. Tulisan di badan kamera yang sudah sedikit pudar itu terbaca: Lumière Vérité. Nama yang asing, bahkan bagi seorang veteran sepertinya. Namun, sentuhan tangannya pada bodi logam yang dingin itu mengirimkan getaran aneh. Sebuah rasa dingin yang menusuk, seolah bukan sekadar dinginnya logam, melainkan dinginnya sesuatu yang hidup namun tak bernyawa. Di benaknya, terbayang bagaimana kamera ini pernah merekam momen-momen bersejarah, wajah-wajah terkenal, atau drama kehidupan yang tak terhitung jumlahnya di masa lampau.
"Kualitasnya bagaimana?" tanyanya lagi, lebih kepada dirinya sendiri.
"Kami sudah coba tes sebentar, Tuan. Anehnya, kualitasnya luar biasa meski tua. Gambar masih jernih, dan mekanismenya berfungsi baik. Mungkin ada yang sedikit mengganjal di bagian viewfinder, tapi itu bisa diperbaiki." Petugas itu menjelaskan dengan nada acuh tak acuh, seolah tak peduli dengan potensi mahakarya di depannya.
Rizal tahu ini adalah kesempatan langka. Di era serba digital dan serba instan, mencari kamera dengan karakter visual sekuat ini hampir mustahil. Ia memiliki proyek dokumenter artis dan presenter TV top yang sudah lama ingin digarapnya. Selama ini, ia selalu merasa ada yang kurang dari hasil rekaman kamera digital modern yang terlalu steril. Ia menginginkan sesuatu yang “lebih artistik,” sebuah sentuhan nostalgia, grain yang halus, dan kedalaman warna yang hanya bisa dihasilkan oleh teknologi analog tempo dulu. Kamera Lumière Vérité ini, dengan segala misteri dan usianya, seolah jawaban atas pencariannya.
Lelang dimulai. Harga awal kamera itu tidak terlalu tinggi, mungkin karena sebagian besar pengunjung lelang adalah kolektor furnitur atau perhiasan, bukan pecinta alat rekam kuno. Rizal mengangkat tangannya, menawar dengan yakin. Beberapa orang menawar balik, tetapi Rizal tidak gentar. Ia menaikkan tawaran, merasakan adrenalin yang membuncah. Akhirnya, palu jatuh. "Terjual kepada Bapak ini!" seru juru lelang. Rizal tersenyum tipis, sebuah senyuman puas yang belum tahu akan mengantarnya ke jurang kengerian.
Saat kamera itu diangkat dari sudutnya, Rizal merasakan beratnya yang luar biasa. Lebih berat dari yang ia duga. Petugas lelang bahkan mengerahkan dua orang untuk membantunya mengangkat kamera itu ke mobil Rizal. Begitu berada di bagasi mobil SUV-nya, Rizal menyentuh bodinya lagi. Dinginnya masih terasa, menusuk, seolah kamera itu adalah sebongkah es yang tak kunjung mencair. Ia sedikit bergidik, tetapi cepat menepis perasaan itu. "Mungkin karena bahannya logam semua," gumamnya, mencoba mencari penjelasan rasional.
Keesokan harinya, di studio TV tempatnya bekerja, kamera Lumière Vérité menjadi pusat perhatian. Para teknisi TV mengerubunginya, mengagumi desainnya yang unik. "Ini barang langka, Mas Rizal. Belum pernah saya lihat kamera kayak gini," kata Budi, kepala teknisi yang sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia pertelevisian.
Rizal bangga. "Tentu saja. Ini kamera Eropa tahun 70-an. Sengaja saya beli buat proyek dokumenter saya. Biar hasilnya vintage dan artistik."
Namun, kejanggalan mulai muncul. Saat Budi mencoba mematikan kamera dengan mencabut semua kabel dayanya, lampu indikator di bagian samping kamera itu tetap menyala. Sebuah cahaya merah kecil berkedip, seolah ada energi tersembunyi yang terus mengalir di dalamnya.
"Loh, kok masih nyala, Mas?" Budi mengernyitkan dahi. Ia mencabut ulang semua kabel, bahkan membuka bagian belakang kamera, mencari sumber daya tersembunyi. Tidak ada baterai eksternal yang terlihat, tidak ada adaptor tersembunyi.
Rizal ikut menatap bingung. "Mungkin sisa daya, Bud. Kan alat tua."
"Sisa daya kok nggak habis-habis, Mas? Ini sudah hampir lima menit tetap nyala," sahut Budi, mulai merasa curiga. "Jangan-jangan ada yang aneh, Mas. Kamera zaman dulu itu kadang punya sistem internal yang rumit. Atau... jangan-jangan ada hantunya?" Budi tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana, tetapi ada nada serius dalam candaannya.
Teknisi lain, Andi, ikut berkomentar. "Iya, Mas Rizal. Ini aneh. Saya belum pernah lihat kamera mati tapi lampunya masih nyala. Ibaratnya mobil, sudah dicabut akinya tapi mesinnya masih hidup."
Rizal hanya tersenyum kecut. Ia menolak rasa tidak enak itu. Hatinya sedikit berdenyut, merasakan bisikan keraguan, tetapi ego dan keyakinannya bahwa ia telah mendapatkan barang bagus jauh lebih dominan. Ia tak ingin terlihat takut atau percaya takhayul di depan para teknisi. Ia seorang kameraman profesional, bergelut dengan teknologi dan fakta, bukan mitos.
"Ah, kalian ini. Kebanyakan nonton film horor," kata Rizal, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Ini hanya kamera, bukan arwah. Mungkin ada kapasitor tua yang masih menyimpan daya, atau apalah. Yang penting, kualitas rekamannya bagus, kan?"
Budi dan Andi saling pandang, bahu mereka terangkat pasrah. Mereka tahu Rizal keras kepala jika sudah punya keinginan. "Terserah Mas Rizal, deh. Tapi hati-hati saja. Barang tua itu kadang ada isinya," kata Budi setengah berbisik.
Rizal hanya mengangguk, lalu mulai merencanakan sesi shooting pertamanya dengan kamera barunya. Ia membayangkan bagaimana wajah-wajah selebriti papan atas itu akan tampak memukau dalam bidikan Lumière Vérité. Ia membayangkan pujian dari produser, dari rekan-rekan kerjanya. Ia terlalu bersemangat untuk membiarkan firasat aneh menguasai dirinya.
Malam itu, di rumahnya yang sepi, Rizal mengeluarkan kamera dari kotaknya. Ia menyalakannya. Lampu indikator merah itu kembali menyala, berkedip pelan. Ia mengarahkan lensa ke sekeliling ruangan, mencoba fokus, bermain-main dengan fitur-fitur tuanya. Tiba-tiba, ia merasa dingin yang menusuk kembali di ujung jarinya, menjalar ke lengannya. Bukan dingin ruangan ber-AC, melainkan dingin yang asing, seolah es mencair di dalam nadinya.
Ia menarik tangannya, mengamati kamera itu. Tidak ada yang aneh. Bodinya kokoh, lensa bening, bahkan tombol-tombolnya terasa responsif. Ia mencoba menenangkan diri. Mungkin ia hanya terlalu lelah. Tekanan kerja, ditambah kegembiraan mendapatkan kamera baru, membuat perasaannya sedikit campur aduk.
Rizal meletakkan kamera itu di atas meja kerjanya, berencana untuk membaca manualnya yang sudah pudar dan menguning esok pagi. Ia memandang siluet hitam kamera itu dalam remang-remang lampu tidur. Entah mengapa, ia merasa kamera itu seperti mengawasinya. Matanya yang besar, lensanya yang menganga, seolah memendam rahasia, menanti momen untuk mengungkapnya. Ia tersenyum tipis. "Selamat datang di rumah, Lumière Vérité. Mari kita buat sejarah." Ia tidak tahu, sejarah yang akan mereka buat adalah sejarah kelam yang akan menghantuinya.
Bab 2: Presenter Pertama – Tewas di Studio
Studio 3, tempat program pagi "Fajar Cerah" diproduksi, selalu berdenyut dengan energi yang berbeda. Lampu-lampu sorot yang panas, hiruk-pikuk kru yang sibuk, dan aroma kopi yang samar-samar bercampur dengan parfum mahal, semuanya menciptakan atmosfer yang unik. Pagi itu, aura keceriaan semakin terpancar dari sosok Nadia Ardi, sang presenter wanita kondang. Nadia, dengan rambutnya yang terurai indah dan senyumnya yang selalu memukau, adalah bintang sejati. Ia memiliki kemampuan luar biasa untuk membuat siapa pun di depannya merasa nyaman, bahkan sebuah kamera tua sekalipun.
Rizal menyiapkan kamera Lumière Vérité di posisi terbaik, tepat di hadapan Nadia. Ia sengaja menempatkannya di samping kamera digital modern, seolah ingin membandingkan dua era yang berbeda. Para kru sempat berbisik-bisik mengenai kamera antik itu, beberapa memujinya, beberapa lagi menyangsikan kemampuannya. Namun, Rizal percaya diri. Sejak malam sebelumnya, ia sudah menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengenal setiap tombol dan tuas pada kamera itu. Kejanggalan lampu yang menyala terus-menerus masih ada, namun Rizal berhasil mengabaikannya, menganggapnya sebagai "keanehan yang menawan."
"Oke, Nadia, kita akan mulai sesi opening dulu ya!" seru sang produser.
Nadia tersenyum manis ke arah lensa kamera, mengangguk pada Rizal. "Siap, Bang Rizal!" Suaranya merdu, mengalun lembut memenuhi studio.
Selama proses rekaman, Rizal merasakan sensasi aneh saat mengoperasikan Lumière Vérité. Kameranya terasa hidup, seolah memiliki denyut nadinya sendiri. Gambaran yang dihasilkan memang luar biasa, sesuai dengan ekspektasinya: warna yang hangat, kontras yang kaya, dan grain yang halus menciptakan kedalaman visual yang tak mampu ditiru oleh kamera digital paling canggih sekalipun. Wajah Nadia tampak lebih bersinar, senyumnya lebih tulus, seolah kamera itu berhasil menangkap esensi jiwanya.
Beberapa kali, saat Nadia tertawa lepas atau berbicara dengan intonasi penuh semangat, Rizal merasa kamera itu sedikit bergetar di tangannya, seperti respons terhadap emosi yang terekam. Ia mengira itu hanya perasaannya atau mungkin efek dari getaran mekanis internal kamera tua. Ia berusaha untuk tetap fokus, memastikan setiap frame Nadia tertangkap sempurna.
"Oke, cut! Bagus sekali, Nadia!" Produser berteriak, mengakhiri sesi.
Nadia segera beranjak dari kursinya, memberikan senyuman ceria kepada semua kru. "Terima kasih, Bang Rizal! Kameranya keren banget! Hasilnya pasti bagus, deh." Ia kemudian pamit, bergegas menuju ruang makeup untuk persiapan sesi berikutnya.
Rizal hanya membalas dengan anggukan dan senyum tipis. Ia merasa puas. Proyek dokumenternya akan dimulai dengan sempurna. Ia sudah membayangkan bagaimana cuplikan Nadia yang terekam oleh Lumière Vérité akan menjadi pembuka yang menarik.
Namun, beberapa jam setelah shooting selesai, kabar buruk itu menyebar bagai api. Suara sirine memenuhi area stasiun TV, disusul kepanikan yang menjalar dari satu orang ke orang lain. Kabar yang awalnya berbisik-bisik itu kini menjadi jeritan.
"Nadia! Nadia meninggal!"
Rizal terpaku di ruang editing, tangannya yang memegang hard disk hampir terjatuh. Jantungnya berdebar kencang. Ia segera berlari menuju kerumunan yang sudah memadati lorong. Dan di sana, di depan ruang makeup yang seharusnya menjadi tempat Nadia bersiap, ia melihatnya.
Nadia Ardi, sang bintang yang baru saja ia rekam dengan penuh keceriaan, ditemukan tewas tergantung. Matanya terbelalak, wajahnya pucat pasi, dan ekspresinya membeku dalam kengerian yang luar biasa. Kengerian yang jauh melampaui kematian biasa.
Suasana menjadi kacau balau. Polisi segera datang, memasang garis polisi, dan memulai penyelidikan. Salah satu hal yang membuat semua orang semakin bingung adalah laporan dari tim keamanan: CCTV mati saat kejadian. Tepatnya, kamera pengawas di lorong menuju ruang makeup dan di dalam ruang makeup itu sendiri, semuanya mati secara misterius selama rentang waktu Nadia berada di sana. Tidak ada jejak, tidak ada saksi. Seolah-olah kematian Nadia terjadi dalam sebuah ruang hampa waktu.
Rizal syok. Ia bahkan tidak bisa berpikir jernih. Bagaimana mungkin? Baru beberapa jam yang lalu Nadia masih tertawa, bercanda di depan kameranya. Kini, ia sudah tiada. Ia merasakan mual yang luar biasa, memaksanya mencari toilet terdekat untuk memuntahkan isi perutnya.
Malam itu, di rumah, pikiran Rizal berputar-putar. Ia tidak bisa tidur. Wajah Nadia yang tersenyum di depan kamera, kini tergantikan oleh bayangan tubuhnya yang tergantung. Ia mencoba mencari penjelasan logis. Stres? Depresi? Atau ada orang yang tidak suka dengan Nadia? Semua kemungkinan terasa samar dan tidak meyakinkan.
Kemudian, pikirannya kembali pada kamera tua itu. Kamera Lumière Vérité. Rizal menggelengkan kepala. Itu tidak mungkin. Itu hanya kebetulan. Ini hanya kebetulan tragis. Ia harus berpikir rasional.
Namun, dorongan yang tak bisa ia lawan membawanya ke meja kerjanya. Ia menyalakan monitor, memasukkan kaset rekaman dari kamera tua itu ke dalam player khusus yang ia miliki. Tangannya bergetar saat ia menekan tombol play.
Rekaman dimulai. Wajah ceria Nadia memenuhi layar. Senyumnya yang khas, matanya yang berbinar. Rizal memutar ulang adegan demi adegan, mencari petunjuk. Apakah ada sesuatu yang luput dari perhatiannya saat shooting?
Ia memperlambat rekaman saat Nadia sedang tertawa paling lepas. Matanya menyipit, fokus pada latar belakang di balik Nadia. Dan di sanalah ia melihatnya. Sebuah bayangan hitam. Samar, nyaris tak terlihat, bergerak perlahan di balik layar hijau studio, tepat saat Nadia tersenyum paling lebar ke arah kamera.
Bayangan itu seperti gumpalan asap yang bergerak tanpa arah, namun Rizal yakin itu bukan efek cahaya atau pantulan. Bayangan itu berbentuk aneh, sedikit memanjang, seolah siluet seseorang yang bergerak sangat cepat. Dan yang lebih mengerikan, bayangan itu tampak seperti melambai ke arah Nadia. Atau lebih tepatnya, ke arah kamera.
Rizal menekan tombol pause, memperbesar gambar. Bayangan itu kini terlihat lebih jelas, namun tetap sulit dikenali. Ia memainkan rekaman maju mundur, berulang kali. Setiap kali Nadia tersenyum paling cerah, setiap kali ia terlihat paling bahagia di depan kamera, bayangan hitam itu muncul, bergerak, dan kemudian menghilang begitu saja.
Jantung Rizal berdegup kencang, kali ini bukan karena adrenalin shooting, melainkan ketakutan yang dingin. Ia merasa bulu kuduknya merinding. Apakah ini... apakah ini ada hubungannya? Tidak, tidak mungkin. Itu pasti hanya efek lighting yang aneh, atau mungkin lensa kamera tua itu memang sedikit kotor di bagian dalam. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, namun bayangan hitam itu terasa terlalu nyata, terlalu disengaja.
Ia mematikan monitor, melempar remote ke sofa. Keringat dingin membasahi dahinya. Rasa takut itu mulai merayapi benaknya, menolak untuk pergi. Kamera tua itu, dinginnya yang menusuk, lampu indikator yang tak pernah padam, dan kini bayangan hitam di dalam rekaman. Kejanggalan-kejanggalan itu kini mulai terasa membentuk pola, pola yang mengerikan.
Rizal menatap kamera Lumière Vérité yang tergeletak di mejanya. Dalam gelap, lampu indikator merahnya masih berkedip, seperti mata iblis yang mengawasinya. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang jahat tersembunyi di balik lensa itu. Namun, ia tidak bisa mengabaikan kualitas gambar yang dihasilkan. Rasa ingin tahu, ambisi artistik, dan sedikit keraguan masih bercampur aduk dalam benaknya.
Ia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya. Mungkin besok, dalam cahaya terang matahari, semua akan terlihat lebih jelas. Mungkin ia hanya terlalu lelah dan tertekan oleh kematian Nadia. Tapi entah mengapa, ia tidak bisa mengenyahkan pikiran bahwa kamera itu, dengan segala pesonanya, telah membawa serta sebuah kutukan.
Bab 3: Dua Artis, Dua Jenazah
Meskipun dihantui oleh bayangan hitam di rekaman Nadia dan perasaan tidak enak yang terus menghantuinya, profesionalisme Rizal menuntutnya untuk terus bekerja. Proyek dokumenter artis dan presenter top tidak bisa menunggu. Ada jadwal yang harus dipatuhi, dan nama besar stasiun TV nasional menjadi taruhannya. Rizal mencoba meyakinkan dirinya bahwa kematian Nadia hanyalah kebetulan tragis, sebuah insiden mengerikan yang tidak ada hubungannya dengan kamera tua miliknya. Namun, jauh di lubuk hatinya, kecurigaan itu terus tumbuh.
Sesi shooting berikutnya adalah dengan dua artis top Indonesia, sebuah pasangan kekasih di layar kaca yang sedang berada di puncak popularitas. Nama mereka Bima dan Clara. Bima, dengan senyumnya yang kharismatik, dan Clara, dengan pesona anggunnya, adalah dambaan setiap majalah hiburan. Mereka akan merekam adegan wawancara santai yang menyoroti kisah cinta mereka di dunia entertainment.
Rizal memutuskan untuk tetap menggunakan kamera Lumière Vérité. Kualitas gambar yang luar biasa, yang mampu menangkap emosi dengan begitu detail, terlalu menggoda untuk dilewatkan. Ia menempatkan kamera itu di sudut yang strategis, memastikan cahaya lembut dari jendela studio jatuh dengan sempurna pada wajah mereka.
Selama shooting, suasana dipenuhi dengan tawa dan kemesraan. Bima dan Clara terlihat sangat alami di depan kamera, jauh dari kesan akting. Mereka tertangkap kamera sedang bercanda dan saling menyuap makanan, momen-momen manis yang akan membuat penggemar mereka semakin tergila-gila. Rizal sesekali mengarahkan Lumière Vérité, membiarkan lensa tua itu mengabadikan setiap ekspresi cinta dan kebahagiaan. Ia bahkan bisa merasakan getaran ringan dari kamera setiap kali mereka tertawa atau saling menggoda. Getaran yang dulu ia anggap normal, kini terasa sedikit mengganggu.
Selesai shooting, Bima dan Clara melambaikan tangan dengan riang pada Rizal. "Terima kasih, Bang! Hasilnya pasti bagus banget, nih!" kata Clara sambil tersenyum. Bima mengacungkan jempol. Rizal membalas dengan senyuman paksa. Perasaan dingin dan tegang masih merayapi dirinya, terutama saat melihat kembali lampu indikator merah kamera yang terus berkedip, bahkan setelah ia mematikan daya.
Dua hari setelah shooting yang penuh tawa itu, dunia hiburan digemparkan lagi. Kabar mengejutkan datang: Bima dan Clara terlibat kecelakaan mobil aneh. Mereka ditemukan dalam kondisi kritis di sebuah ruas jalan tol yang sepi. Mobil mewah mereka ringsek tak berbentuk, terbalik di parit. Yang paling mengerikan adalah laporan awal dari pihak kepolisian: rem blong padahal mobil baru diservis. Sebuah kejanggalan yang sangat mencurigakan.
Rizal mendengar kabar itu dari berita pagi. Tubuhnya menegang, jantungnya mencelos. "Tidak mungkin," bisiknya, suaranya tercekat di tenggorokan. Ini bukan kebetulan lagi. Ini terlalu cepat, terlalu dekat. Ia mulai merasa mual, rasa takut yang lebih pekat dari sebelumnya mulai merayapinya.
Malam harinya, dengan tangan gemetar, Rizal kembali ke ruang editingnya. Ia mengambil kaset rekaman dari kamera Lumière Vérité. Ia harus melihatnya, harus mencari tahu. Ada sesuatu yang salah, dan ia yakin jawabannya ada di dalam rekaman ini.
Ia memutar rekaman Bima dan Clara. Wajah mereka yang ceria kembali memenuhi layar. Tawa mereka, gurauan mereka, suapan makanan dari satu sama lain. Rizal mengamati setiap detail, mencari setiap anomali, setiap bayangan, setiap petunjuk.
Ia memperlambat rekaman saat Bima menyuapkan sepotong buah ke mulut Clara, dan keduanya tertawa lepas. Rizal menekan pause. Matanya melebar. Di sana, di salah satu frame yang memperlihatkan mereka sedang tersenyum paling lebar, ia melihatnya. Bayangan samar berwarna merah gelap, seperti noda darah tipis, muncul di pakaian Clara. Dan di pipi Bima, seolah ada percikan merah kecoklatan yang memudar dengan cepat.
Rizal menggosok matanya, tidak percaya. Ia memutar ulang frame itu berkali-kali. Salah satu frame memperlihatkan mereka seolah berdarah, padahal tidak saat shooting. Ia ingat betul, tidak ada noda di pakaian Clara, tidak ada luka di pipi Bima. Mereka bersih, rapi, dan penuh tawa. Percikan itu, noda itu, muncul dan menghilang dalam sepersekian detik, hanya terlihat jika rekaman diperlambat secara ekstrem.
Noda merah itu tidak terlihat seperti efek pencahayaan, atau glitch pada rekaman. Itu tampak seperti... darah. Atau setidaknya, sesuatu yang memprediksi darah. Sama seperti bayangan hitam yang "melambai" pada Nadia, kali ini kamera itu seolah menampilkan "pratinjau" dari nasib mengerikan yang akan menimpa korbannya.
Rizal mencabut kaset itu dari player dengan kasar. Pikirannya kalut. Dua insiden kematian beruntun, terjadi pada subjek rekamannya, dan kedua insiden itu didahului oleh penampakan aneh di dalam footage kamera tua itu. Ini bukan lagi kebetulan. Ini adalah pola. Ini adalah kutukan.
Ia berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya yang sempit, napasnya memburu. Kengerian yang awalnya ia sangkal kini membayanginya dengan sangat nyata. Ia menatap kamera Lumière Vérité yang tergeletak di atas mejanya. Cahaya merah indikatornya masih berkedip, seolah menertawakan ketakutannya.
Kamera itu tidak hanya merekam gambar. Kamera itu merekam sesuatu yang lain. Sesuatu yang jahat. Sesuatu yang merenggut nyawa. Rizal merasakan dingin yang menusuk jauh ke dalam tulangnya, bukan hanya dingin dari benda mati, melainkan dinginnya teror yang baru ia sadari.
Ia ingat kata-kata teknisi Budi: "Barang tua itu kadang ada isinya." Dan Budi benar. Kamera ini tidak kosong. Kamera ini dipenuhi oleh sesuatu. Sesuatu yang berbahaya.
Rizal kini menyadari bahwa ia telah membawa sebuah alat pembawa maut ke dalam lingkungannya. Dan yang lebih mengerikan, ia adalah orang yang mengoperasikannya, yang mengarahkan lensa itu pada orang-orang yang tidak bersalah. Orang-orang yang kini sudah tiada. Ia merasa bertanggung jawab, merasa bersalah. Ia harus menghentikan ini. Tapi bagaimana?
Bab 4: Presenter Kedua, Mati Membusuk
Firasat buruk Rizal semakin menjadi kenyataan. Setelah kematian Nadia, dan kecelakaan Bima-Clara, kecurigaannya terhadap kamera tua itu berubah menjadi keyakinan mengerikan. Namun, ia tidak bisa menghentikan proyek dokumenter yang sudah berjalan. Tekanan dari manajemen dan kontrak yang sudah ditandatangani membuatnya terjebak dalam dilema yang mematikan. Ia terpaksa melanjutkan shooting, dengan perasaan was-was dan teror yang merayapi setiap pori-porinya.
Target selanjutnya adalah Yoga Mahardika, seorang presenter talkshow terkenal dengan gaya bicaranya yang lugas dan humoris. Yoga adalah sosok yang energik, selalu penuh tawa, dan profesional sejati. Rizal mencoba untuk tetap fokus, tetapi setiap kali ia mengarahkan lensa Lumière Vérité ke Yoga, ia merasakan beban berat di tangannya, seolah memegang palu hukuman mati.
Sesi shooting program malam itu berlangsung di sebuah studio yang lebih kecil, dengan pencahayaan intim khas talkshow. Yoga tampil prima, berinteraksi dengan Rizal dan kru seperti biasa. Namun, di tengah sesi, Yoga mulai menunjukkan gelagat aneh. Ia sesekali menggaruk lehernya, seperti merasa tidak nyaman. Wajahnya yang biasanya ceria sedikit memucat.
"Bang Rizal, saya kok tiba-tiba merasa agak sakit ya," keluh Yoga di sela-sela jeda. "Badan saya kayak lemas, terus... saya kok merasa seperti diawasi terus ya? Dari tadi saya ngerasa ada yang ngelihatin dari sudut-sudut gelap."
Rizal berusaha menenangkan diri. Ia tahu itu bukan karena gangguan lain, melainkan kamera di tangannya. Ia ingin berteriak, memperingatkan Yoga untuk menjauh dari kamera terkutuk ini. Namun, suaranya tercekat. Ia hanya bisa tersenyum tipis. "Mungkin cuma capek, Mas Yoga. Kita lanjut sebentar lagi ya."
Yoga mengangguk lemah, mencoba tersenyum, tetapi matanya memancarkan ketakutan yang samar. Rizal melihatnya. Ketakutan itu nyata. Ia bisa merasakannya.
Setelah shooting selesai, Yoga segera pamit pulang, wajahnya tampak sangat kelelahan, jauh berbeda dari Yoga yang biasanya energik. Rizal hanya bisa menatap punggung Yoga dengan perasaan campur aduk antara kasihan dan ketakutan. Ia tahu, jika pola ini benar, Yoga adalah korban selanjutnya.
Pagi berikutnya, kabar duka kembali mengguncang. Kali ini, berita yang datang jauh lebih mengerikan dari sebelumnya. Yoga Mahardika, sang presenter talkshow yang ceria, ditemukan mati membusuk di apartemennya. Yang lebih menghebohkan adalah rentang waktunya. Berdasarkan penyelidikan awal, kematiannya diperkirakan terjadi hanya dalam waktu 10 jam setelah ia pulang dari studio. Namun, kondisi tubuhnya seolah-olah mati berminggu-minggu. Kulitnya menghitam, bengkak, dan mengeluarkan bau menyengat yang membuat tim forensik pun terkejut. Degradasi tubuh yang begitu cepat adalah sesuatu yang di luar nalar medis.
Rizal mendengar kabar itu dari seorang rekan yang meneleponnya dengan suara bergetar. Ponselnya hampir terjatuh dari genggamannya. Ia merasa lututnya lemas, pandangannya kabur. Semua ketakutan terburuknya kini terbukti. Kamera itu sungguh pembawa maut. Dan ia, Rizal, adalah operatornya.
Dengan jantung berdegup kencang seperti genderang perang, Rizal bergegas ke ruang editing. Ia harus memutar rekaman Yoga. Ada sesuatu di sana. Pasti ada.
Ia memasukkan kaset dari Lumière Vérité ke dalam player, tangannya gemetar hebat. Wajah Yoga yang pucat dan tatapan matanya yang cemas memenuhi layar. Rizal memperlambat rekaman, mencari anomali.
Dan di sanalah ia menemukannya. Bukan bayangan hitam, bukan noda darah. Kali ini, anomali itu berupa suara. Rizal mengeraskan volume. Ia memutar ulang bagian saat Yoga mengeluh sakit dan merasa diawasi. Dan terdengar, sangat samar, suara bisikan yang tidak terdengar saat shooting di studio.
Bisikan itu seperti desahan angin, namun jelas membentuk kata-kata yang tidak dapat dipahami. Rizal memutar ulang lagi, berulang kali, mencoba menangkap maknanya. Suara itu terasa dingin, menusuk, dan entah mengapa, terdengar seperti bisikan yang mencoba merangkul, atau lebih tepatnya, menyeret.
Bisikan itu muncul setiap kali Yoga menunjukkan tanda-tanda ketidaknyamanan, setiap kali ia mengeluh merasa diawasi. Dan bisikan itu semakin jelas, semakin mendominasi, seiring dengan memudarnya energi Yoga di layar. Rizal yakin, itu adalah suara dari entitas yang kini bersemayam di dalam kamera, sebuah entitas yang haus akan jiwa.
Kengerian itu kini mencapai puncaknya. Rizal terduduk lemas di kursinya, wajahnya pucat pasi. Ketiga korban yang ia rekam dengan kamera itu, semuanya mati dengan cara yang mengerikan dan tidak wajar. Nadia, Bima, Clara, dan kini Yoga. Semua dalam hitungan hari. Dan setiap kematian didahului oleh penampakan aneh dalam rekaman Lumière Vérité.
Kamera itu tidak hanya merekam gambar. Kamera itu meregang nyawa. Dan rekaman yang dihasilkan adalah cerminan dari kutukan yang dibawanya, menampilkan "pratinjau" mengerikan dari nasib korbannya, atau bahkan menjadi bagian dari proses kematian itu sendiri.
Rizal menatap kamera di atas mejanya. Lampu indikator merahnya masih berkedip, tanpa henti, seolah menertawakan semua penderitaannya. Ia merasakan amarah dan ketakutan bercampur aduk. Ia harus menghentikan ini. Ia harus mencari tahu asal-usul kamera terkutuk ini. Ia tidak bisa membiarkan lebih banyak orang menjadi korban.
Ia meraih ponselnya, mencari kontak Budi, kepala teknisi. Ia tidak bisa lagi menyangkal keanehan ini. Ia harus mengungkap misteri di balik Rekaman Terakhir ini.
Bab 5: Misteri Terkuak
Mata Rizal memerah karena kurang tidur. Pikirannya dipenuhi gambaran mengerikan dari para korban: Nadia yang tergantung, Bima dan Clara dalam mobil ringsek, dan Yoga yang membusuk tak wajar. Ia tak bisa lagi menunda. Dengan tekad membara, ia memutuskan untuk mencari tahu asal-usul kamera Lumière Vérité. Ia harus menemukan kebenaran, seberapa pun mengerikannya.
Pagi itu, dengan kaset rekaman di genggamannya, Rizal menghubungi Budi, kepala teknisi. "Bud, ingat kamera tua yang aku beli? Yang lampunya terus nyala itu?"
"Iya, Mas. Kenapa? Ada apa?" Suara Budi terdengar hati-hati.
"Aku butuh bantuanmu. Aku butuh info tentang kamera ini. Sedetail mungkin. Asal-usulnya, pemilik sebelumnya, apa pun yang bisa kau temukan," pinta Rizal, suaranya dipenuhi urgensi.
Budi, yang sudah mendengar kabar kematian Yoga, mungkin merasakan ketegangan dalam suara Rizal. "Baik, Mas. Aku akan coba cari info. Tapi... ini ada hubungannya sama kasus Yoga, Mas?"
Rizal menghela napas berat. "Mungkin. Aku akan jelaskan nanti. Sekarang, fokus cari info dulu."
Berjam-jam kemudian, Rizal tak henti-hentinya menelpon setiap orang yang ia kenal di dunia lelang barang antik, kolektor, hingga sejarawan teknologi. Ia memulai dari pemilik lelang tempat ia membeli kamera itu. Pria tua bernama Pak Kusno, yang sudah pensiun dan hanya mengelola lelang sebagai hobi. Rizal tidak memberitahu Pak Kusno tentang kematian para artis, hanya menanyakan detail kamera yang "unik" itu.
Pak Kusno, setelah beberapa desakan, akhirnya ingat. "Oh, kamera itu! Ya, itu barang langka. Saya dapatnya dari kolektor di Eropa. Dia dulu punya reputasi aneh. Katanya barang-barangnya sering membawa nasib buruk," ujarnya di telepon, ada nada merinding dalam suaranya. "Dia bilang, kamera itu... pernah jadi berita besar di sana. Milik seorang kameramen tahun 1974."
Jantung Rizal berdesir. "Kameramen tahun 1974? Siapa namanya, Pak?"
"Saya tidak ingat namanya, Mas. Tapi yang jelas, kamera itu sangat terkenal karena sering merekam kematian artis-artis Eropa secara misterius. Dulu heboh sekali, sampai jadi mitos di kalangan broadcaster lama. Kamera itu sering berpindah tangan, karena setiap pemiliknya mengalami hal aneh," jelas Pak Kusno. "Beberapa orang menyebutnya 'Kamera Kutukan'."
Rizal merasa seluruh darahnya mengering. "Kamera Kutukan?"
"Iya, Mas. Tapi itu cuma cerita lama. Yang pasti, kameramen itu juga meninggal secara misterius tak lama setelah membeli kamera itu. Makanya kamera itu sering dilelang dan dijual murah, orang takut." Pak Kusno tertawa hambar, seolah meremehkan cerita yang ia sampaikan sendiri.
Rizal tidak bisa tertawa. Ia sudah memiliki tiga bukti nyata di tangannya.
Berbekal informasi itu, Rizal memperdalam pencariannya di internet. Ia membanjiri mesin pencari dengan kata kunci seperti "Lumière Vérité kutukan," "kamera 1974 artis meninggal," dan "kameramen Eropa misterius." Hasilnya mengejutkan. Ia menemukan artikel-artikel lama, forum diskusi yang kini sudah tidak aktif, dan bahkan beberapa laporan polisi yang disensor.
Ia menemukan kisah mengenai seorang kameramen Jerman bernama Elias Volkov, yang pada tahun 1970-an dikenal memiliki kamera Lumière Vérité yang sama persis dengan miliknya. Elias Volkov sangat terkenal karena ia selalu berada di lokasi setiap ada insiden tragis yang melibatkan selebriti. Awalnya ia dianggap beruntung, seorang pencari berita sejati. Namun, pola kematian para artis yang ia rekam menjadi terlalu aneh.
Ada aktris yang bunuh diri setelah rekaman terakhirnya dengan Elias menunjukkan senyum putus asa. Ada penyanyi yang tewas dalam kecelakaan panggung setelah rekaman menunjukkan ia terlihat cemas dan ketakutan. Dan ada politikus yang tiba-tiba meninggal di mimbar setelah footage menunjukkan ia berkeringat dingin dan berhalusinasi.
Dan yang paling mengejutkan, sebuah artikel tua dari tabloid gosip Eropa yang sudah tidak terbit lagi, mengutip seorang cenayang yang terkenal saat itu. Cenayang itu mengatakan bahwa kamera Lumière Vérité tidak hanya merekam gambar dan suara, tetapi juga “merekam jiwa”. Setiap kali kamera itu mengabadikan seseorang, ia juga akan menangkap emosi terakhir yang paling kuat dari orang tersebut. Dan korban yang terekam akan mati sesuai emosi terakhir yang terekam. Jika terekam dalam keadaan putus asa, ia akan bunuh diri. Jika terekam dalam keadaan ketakutan ekstrem, ia akan meninggal secara mendadak. Jika terekam dalam keadaan kebahagiaan yang berlebihan, ia akan... tewas secara tragis dalam puncak emosi itu.
Rizal membaca kalimat itu berulang kali, otaknya mencoba memproses kengerian ini. Nadia Ardi, terekam sedang tersenyum ceria, kemudian ditemukan tewas tergantung dengan ekspresi ngeri. Bima dan Clara, terekam sedang bercanda dan saling menyuap, tewas dalam kecelakaan misterius. Yoga Mahardika, terekam mengeluh sakit dan merasa diawasi, meninggal membusuk dengan cepat seolah diserang penyakit tak dikenal.
Semua kepingan teka-teki itu kini menyatu, membentuk gambaran yang sangat mengerikan. Ia tak lagi meragukan. Ini bukan kebetulan. Ini adalah kutukan yang nyata.
Rizal panik. Keringat dingin membanjiri punggungnya. Tangannya gemetar hebat. Ia teringat daftar panjang artis dan presenter yang sudah ia rekam untuk proyek dokumenternya. Setelah Nadia, Bima-Clara, dan Yoga, ada lusinan nama lain. Ia membuka catatan proyeknya, dan di sana, ia melihat daftarnya.
Total ia telah merekam 3 presenter dan 34 artis selebriti. Semuanya dengan kamera Lumière Vérité.
Daftar nama itu seperti daftar korban. Ia mulai mencocokkan wajah-wajah yang terekam di kamera dengan berita yang ia dengar. Ada seorang aktris yang baru saja diumumkan hilang secara misterius. Ada seorang penyanyi yang tiba-tiba koma setelah mengalami kejang mendadak. Dan selebriti lain, satu per satu, ditemukan mati misterius dengan berbagai penyebab aneh: serangan jantung pada usia muda, kecelakaan tak terduga, atau penyakit langka yang muncul tiba-tiba.
Rizal merasakan mual yang luar biasa. Ia telah menjadi pembawa pesan kematian. Ia telah membawa alat pembunuh itu ke tengah-tengah orang-orang yang tidak bersalah. Setiap frame yang ia rekam, setiap senyum yang ia abadikan, adalah sebuah stempel kematian.
Ia menatap kamera Lumière Vérité yang tergeletak di mejanya. Lampu indikator merahnya masih berkedip, tanpa henti, seolah mengejek kepanikannya, seolah menunggu mangsa berikutnya. Matanya terbelalak melihat kotak logam tua itu, yang kini tampak seperti peti mati yang terbuka.
Ketakutan itu bukan lagi sekadar firasat, melainkan teror yang membekukan. Ia harus menghentikan ini. Ia harus menghancurkan kamera itu. Atau setidaknya, menyimpannya di tempat yang paling aman, di mana tidak ada lagi yang bisa menjadi korbannya.
Bab 6: Kematian Terakhir
Kepanikan telah berubah menjadi teror yang membekukan. Rizal tidak bisa lagi bernapas lega. Setiap detiknya adalah siksaan, dibayangi oleh wajah-wajah para korban dan daftar panjang nama selebriti yang telah ia rekam. Rasa bersalah menimpanya seperti beban beton. Ia tahu, ia adalah penyebab tidak langsung dari semua kematian ini. Kamera Lumière Vérité harus dihentikan, dihancurkan, atau setidaknya diisolasi.
Dengan tangan gemetar, Rizal membungkus kamera itu dengan kain hitam tebal, seolah benda itu adalah mayat yang perlu disembunyikan. Ia tidak berani menatap lensanya terlalu lama, takut jika pandangannya akan terhisap ke dalam kegelapan yang sama dengan para korbannya. Ia merasa aura dingin yang menusuk dari kamera itu menembus kain, menguar ke udara.
Ia memutuskan untuk tidak mengambil risiko membawanya pulang. Stasiun TV, dengan gudang penyimpanan barang-barang lama yang jarang disentuh, adalah tempat yang paling aman. Di sana, kamera itu akan tersembunyi, terlupakan, tidak akan lagi menemukan mangsa.
Malam harinya, dengan perasaan cemas yang meluap, Rizal menyelinap ke gudang kantor yang gelap dan pengap. Gudang itu adalah labirin rak-rak tinggi yang berisi peralatan usang, properti syuting yang sudah tidak terpakai, dan tumpukan kardus berdebu. Aroma apek dan lembab menyambutnya, memperkuat suasana horor yang sudah lebih dulu bercokol di hatinya.
Rizal meletakkan kamera itu di sudut terjauh, di balik tumpukan kotak-kotak bekas yang tidak akan pernah disentuh orang. Ia telah menemukan sebuah peti kayu tua yang kokoh, bekas kotak penyimpanan peralatan zaman dulu. Ia memasukkan kamera itu ke dalam peti tersebut, lalu menutupnya rapat-rapat. Ia bahkan mengikatnya dengan rantai tebal yang ia temukan di sana, meskipun ia tahu, jika kutukan itu benar, tidak ada rantai yang akan cukup kuat untuk menahannya.
Saat hendak menutup kotaknya dan mengunci rantai, sebuah kejanggalan mengerikan terjadi. Tiba-tiba, dari dalam kegelapan peti, Rizal melihat kamera menyala sendiri. Lampu indikator merahnya berkedip terang, menembus celah-celah peti yang tidak tertutup sempurna. Getaran halus merambat dari peti, menjalar ke tangan Rizal yang masih memegang penutup.
Dan yang lebih menakutkan, secara perlahan, lensa kamera itu mengarah ke Rizal. Seolah-olah kamera itu hidup, memiliki kesadaran, dan kini mengarahkan tatapannya tepat padanya.
Rizal membeku di tempatnya. Napasnya tercekat. Rasa dingin yang menusuk dari kamera itu kini terasa jauh lebih pekat, bukan hanya di tangannya, tetapi menyelimuti seluruh tubuhnya. Udara di sekelilingnya tiba-tiba terasa berat, sesak.
Ia kesulitan bernapas, seolah dicekik oleh udara yang mengental di sekitarnya. Otot-otot lehernya menegang, kerongkongannya kering. Matanya membelalak, melihat pantulan dirinya sendiri di lensa hitam yang kini tampak seperti lubang tak berdasar. Di sana, di dalam kegelapan lensa, ia melihat bayangan hitam yang sama seperti yang muncul di rekaman Nadia. Bayangan itu kini menari-nari di depannya, menggapai, menarik.
Tubuhnya kaku seperti ditarik sesuatu ke dalam lensa. Sebuah kekuatan tak kasat mata menariknya, menyeretnya mendekat ke arah peti. Kakinya terasa terikat, tangannya tak bisa bergerak. Ia ingin berteriak, memohon, melawan, tetapi suaranya tak bisa keluar. Mulutnya hanya terbuka, mengeluarkan desisan napas yang terputus-putus.
Matanya melihat lampu indikator kamera itu berkedip semakin cepat, seolah mempercepat detak jantungnya sendiri. Dan ia yakin, di balik kedipan itu, ia mendengar suara klik… klik… klik… dari mekanisme internal kamera yang tetap menyala dan merekam kematiannya secara otomatis. Setiap klik adalah detik yang mendekatkannya pada kegelapan abadi. Ia adalah mangsa terakhir.
Cahaya merah dari indikator kamera itu kini membanjiri wajahnya, mewarnainya dengan warna darah yang mengerikan. Ia melihat ekspresinya sendiri di pantulan lensa: mata yang melebar penuh teror, mulut yang terbuka dalam jeritan tanpa suara, dan kulit yang memucat pasi. Itu adalah emosi terakhirnya. Ketakutan yang ekstrem.
Perlahan, tubuh Rizal ambruk, jatuh di lantai gudang yang dingin dan berdebu. Gerakan aneh di dalam lensa kamera itu berhenti. Lampu indikasi merah masih berkedip, seolah puas.
Saat ditemukan keesokan hari, oleh seorang petugas kebersihan yang kebetulan masuk gudang untuk mencari sapu, tubuh Rizal tak bernyawa. Ia tergeletak telentang di lantai, matanya terbuka lebar, menatap kosong ke langit-langit gudang. Wajahnya membeku dalam ekspresi ketakutan ekstrem yang mengerikan, seolah ia melihat sesuatu yang tak terkatakan di detik-detik terakhir hidupnya. Seluruh tubuhnya dingin dan kaku, dengan beberapa lebam samar di leher, seolah ia memang sempat dicekik.
Di sampingnya, peti kayu tempat kamera itu disimpan terbuka. Kamera Lumière Vérité tergeletak di samping tubuh Rizal, lensa besarnya menghadap ke arah tubuhnya. Petugas kebersihan itu bergidik, ia segera memanggil bantuan.
Polisi datang, melakukan olah TKP. Mereka menemukan kamera itu, menyalakannya. Namun, tidak ada apa pun. Semua footage hilang. Kaset rekaman yang sebelumnya Rizal putar berkali-kali untuk mencari petunjuk, kini kosong. Bahkan kaset kosong yang ada di dalam kamera pun tidak merekam apa-apa. Seolah-olah kamera itu telah menelan semua bukti, menghapus jejak kejahatannya.
Kisah kematian Rizal, bagi polisi dan manajemen stasiun TV, akhirnya disimpulkan sebagai "kematian akibat stres berat" yang diperparah dengan riwayat tekanan darah tinggi. Tidak ada bukti kuat yang menunjukkan adanya unsur pembunuhan atau kejadian supernatural. Mereka tidak menemukan bayangan hitam, noda darah, atau bisikan di rekaman. Bagi mereka, itu hanya kamera tua biasa.
Bab 7: Diamnya Kamera
Kematian Rizal menjadi berita yang mengejutkan di lingkungan stasiun TV. Namun, seiring berjalannya waktu, desas-desus mereda, dan kasus itu ditutup. Bagi manajemen dan pihak kepolisian, semua adalah rangkaian kebetulan tragis yang diakhiri dengan kematian Rizal akibat stres dan kelelahan. Tidak ada yang pernah menghubungkan rangkaian kematian misterius Nadia, Bima, Clara, dan Yoga dengan kamera tua yang ditemukan di samping tubuh Rizal. Bagaimana mungkin sebuah benda mati bisa menjadi penyebabnya? Itu tidak masuk akal.
Setelah insiden itu, kamera Lumière Vérité dibiarkan begitu saja. Tidak ada yang berani menyentuhnya, bahkan para teknisi yang biasanya penasaran. Bau apek gudang seolah bercampur dengan aura dingin yang tak terlihat dari kamera itu. Petugas kebersihan yang menemukan jenazah Rizal bersumpah tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di sudut gudang itu. Berita tentang kematian Rizal yang misterius dengan wajah penuh teror menyebar di antara para karyawan, menjadi cerita seram yang dibisikkan di lorong-lorong.
Selama berminggu-minggu, kamera itu dibiarkan di gudang. Diselimuti debu, terlupakan di antara tumpukan barang rongsokan. Cahaya indikator merahnya yang dulu terus berkedip, kini mati. Total gelap. Seolah energinya telah habis, atau mungkin, seolah ia sedang berhibernasi. Tidak ada yang berani mendekat untuk memastikannya.
Pihak kepolisian, setelah menyelidiki kasus kematian Rizal, menyimpulkannya sebagai "kematian wajar akibat stres berat" dengan beberapa indikasi fisik yang dikaitkan dengan faktor kesehatan. Manajemen stasiun TV, yang ingin menghindari kontroversi, mendukung kesimpulan itu. Semua korban kamera sebelumnya – Nadia, Bima, Clara, dan Yoga – pun disebut sebagai “kecelakaan kerja atau takdir”. Kecelakaan mobil, bunuh diri, atau penyakit mendadak, semuanya memiliki penjelasan rasional, meski terkadang lemah. Tidak ada yang menghubungkan pola kematian mereka dengan kamera.
Namun, di balik narasi resmi, ada bisikan-bisikan. Beberapa kru lama, terutama yang sudah bekerja sejak zaman analog, diam-diam percaya ada sesuatu yang tidak beres dengan kamera itu. Mereka menceritakan kisah-kisah seram tentang alat-alat tua yang "berpenghuni" atau "terkutuk" yang sering berpindah tangan di dunia pertelevisian. Namun, bisikan-bisikan itu tetap menjadi bisikan, tidak pernah diucapkan terlalu keras atau dilaporkan ke pihak berwenang. Ketakutan itu terlalu irasional untuk diakui secara terbuka.
Kutukan kamera seolah berhenti… atau hanya menunggu.
Kehidupan di stasiun TV kembali normal, perlahan melupakan insiden mengerikan itu. Sesi shooting berlanjut dengan kamera digital modern. Para kru berusaha mengenyahkan bayang-bayang kematian dari ingatan mereka. Nama Rizal, Nadia, Bima, Clara, dan Yoga sesekali disebut, namun selalu dengan nada sedih dan hati-hati, seolah takut membangkitkan kembali sesuatu yang kelam.
Gudang itu tetap menjadi tempat yang dihindari. Lorong menuju sudut tempat kamera itu tergeletak terasa lebih dingin, lebih gelap. Bahkan petugas kebersihan pun meminta agar tugas membersihkan area itu dihapus dari daftar mereka. Seolah-olah mereka semua tahu, secara intuitif, ada sesuatu yang tidak boleh diganggu di sana.
Kamera Lumière Vérité, dengan segala sejarah dan misteri kelamnya, kini diam. Terbungkus kain hitam, terkunci dalam peti tua, dan tersembunyi di sudut paling gelap dari gudang yang sunyi. Ia menunggu. Menunggu seseorang yang cukup berani, atau cukup polos, untuk membangunkannya lagi. Menunggu mangsa berikutnya.
Bab 8: Kamera Menyala Lagi
Waktu terus berjalan. Debu semakin tebal di gudang, menutupi peti kayu tua yang menyimpan rahasia kelam. Cerita tentang kematian Rizal dan "kamera terkutuk" perlahan memudar, menjadi sekadar legenda urban di antara karyawan lama, sesuatu yang hanya diceritakan saat suasana hening atau saat ada karyawan baru yang penasaran. Namun, seperti yang sering terjadi, ketenangan hanyalah selubung tipis yang menyembunyikan badai.
Beberapa bulan kemudian, sebuah gelombang baru masuk ke stasiun TV: para mahasiswa magang dari berbagai universitas. Mereka muda, bersemangat, dan haus akan pengalaman. Salah satunya adalah Aji, seorang pemuda periang dengan rambut ikal dan senyum lebar. Ia adalah tipe orang yang selalu ingin tahu, selalu menjelajahi setiap sudut. Ia punya misi sederhana: mencari peralatan lama yang mungkin masih bisa diperbaiki atau digunakan untuk tugas kuliahnya.
Suatu sore yang terik, saat sebagian besar karyawan sudah pulang, Aji memutuskan untuk menjelajahi gudang yang jarang dikunjungi itu. Aroma apek tidak membuatnya gentar, justru menambah rasa petualangan. Ia menyusuri lorong-lorong sempit, tangannya menyentuh rak-rak berdebu, mencari "harta karun" yang mungkin tersembunyi.
Pandangannya jatuh pada sebuah peti kayu tua yang terikat rantai, tersembunyi di balik tumpukan kardus. Aji mengernyit. "Wah, apa ini?" gumamnya. Dengan rasa penasaran yang tak tertahankan, ia mencoba membuka rantai yang berkarat. Tidak terlalu sulit, seolah ikatan itu sudah menunggu untuk dilepaskan.
Begitu peti terbuka, Aji melihatnya: sebuah kamera broadcast yang bongsor, terbungkus kain hitam tebal. Kamera itu tampak sangat kuno, dengan lensa besar yang mengkilat meskipun diselimuti debu. "Keren banget!" serunya, matanya berbinar. Ia belum pernah melihat kamera seperti ini. Ia membayangkan betapa artistiknya rekaman yang bisa dihasilkan oleh benda antik ini.
Aji mengangkat kamera itu keluar dari peti. Beratnya mengejutkan, tetapi ia mengabaikannya. Ia dengan telaten membersihkannya dari debu yang menempel, mengusap bodinya dengan kain lap yang ia bawa. Setelah bersih, kamera itu tampak lebih megah, lebih berwibawa, seolah baru keluar dari pabriknya.
"Pasti mahal ini dulu," pikir Aji, penuh kekaguman. Ia membalik-balik kamera, mencari tombol daya. Ia menemukan tombol kecil di samping dan menekannya.
Tidak ada yang terjadi. "Ah, mungkin rusak," ia sedikit kecewa.
Namun, beberapa detik kemudian, saat Aji sedang memiringkan kamera untuk melihat bagian bawahnya, sebuah suara terdengar. Klik... klik... klik... Suara mekanis yang pelan namun jelas, seolah roda gigi di dalamnya mulai berputar. Dan kemudian, lampu indikator merah di samping lensa menyala. Berkedip-kedip perlahan, dengan cahaya yang dingin namun terang, memecah kegelapan gudang.
Aji terkejut sekaligus takjub. "Wah! Masih nyala, ya?" Matanya berbinar senang. Ia memutar kamera, mengarahkan lensanya ke wajahnya sendiri. "Keren banget, kamera tua ini masih jalan!" Ia tertawa kecil, polos, sama sekali tidak menyadari aura mengerikan yang kini menyelimuti dirinya. Sama sekali tidak menyadari bahwa ia telah membangunkan sesuatu yang seharusnya tetap tidur.
Lensa kamera besar itu, yang sebelumnya menghisap jiwa-jiwa tak bersalah, kini diarahkan tepat ke wajah Aji yang tersenyum riang. Lampu indikator merah berkedip, seolah mengukir senyum di wajahnya. Suara klik... klik... klik... kini terdengar lebih cepat, lebih antusias, seperti detak jantung monster yang baru terbangun dari tidurnya.
Dan kamera kembali merekam, dengan mangsa baru dalam bidikannya.