Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,211
Kaca Retak
Horor

Pukul dua pagi di sebuah gang sempit, lampu jalan yang redup berkedip-kedip seolah-olah sedang sekarat. Hujan baru saja berhenti, menyisakan genangan air kotor yang memantulkan bayangan gedung-gedung tua yang menjulang tinggi seperti monster. Suara tetesan air dari atap seng beradu dengan keheningan mencekam. Di antara tumpukan sampah basah dan bau anyir, tergeletak sesosok tubuh.

Namaku Arion. Jurnalis investigasi. Aku berdiri mematung di samping jasad itu, merasakan bulu kudukku merinding. Ini bukan adegan film horor, ini nyata. Jasad itu adalah seorang pejabat tinggi, dikenal sebagai sosok yang licin dan kebal hukum. Namanya Gunawan. Tubuhnya terbaring telungkup, dengan luka sayatan yang dalam dan brutal di punggungnya. Darah segar menggenang di bawahnya, bercampur dengan air hujan. Di samping kepala Gunawan, sebuah amplop cokelat tergeletak. Ada tulisan tangan yang rapi di sana: "Untuk Arion."

Tanganku gemetar saat mengambil amplop itu. Di dalamnya, ada sebuah flashdisk dan sebuah foto. Foto itu, sebuah foto polaroid, menampilkan diriku. Aku sedang menatap kosong, wajahku pucat, dengan tetesan air hujan membasahi jaket yang kukenakan. Foto itu diambil dari jarak dekat, seolah-olah seseorang berdiri tepat di sampingku. Tapi aku tidak ingat pernah berada di tempat ini.

Aku memasukkan amplop itu ke dalam saku, lalu menghubungi polisi. Suara sirene meraung, memecah keheningan malam. Tak lama kemudian, Inspektur Bayu tiba. Ia adalah rekan lamaku, seorang polisi senior yang terkenal dengan ketegasannya. Wajahnya yang lelah terlihat lebih muram saat melihat pemandangan itu.

"Ini... Gunawan?" tanyanya padaku.

Aku mengangguk, masih terkejut. "Dia mati. Dibunuh."

Bayu menunduk, memeriksa luka-luka Gunawan. Matanya menyiratkan kebingungan. "Cara membunuhnya... kejam sekali. Ini bukan pembunuhan biasa, Arion. Ini pesan."

Kami berdua tahu, ini bukan kasus perampokan atau pembunuhan acak. Ini teror. Aku tidak bisa berhenti memikirkan foto di dalam amplop. Apa maksudnya? Siapa yang mengirimkannya? Mengapa namaku ada di sana? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalaku, seperti kaset rusak. Aku merasa ada sesuatu yang jauh lebih besar dan mengerikan di balik semua ini.

Beberapa hari kemudian, aku memutar flashdisk yang kudapat. Di dalamnya ada beberapa dokumen rahasia, termasuk laporan keuangan palsu, bukti korupsi, dan video-video yang memperlihatkan Gunawan menyuap hakim dan jaksa. Gunawan memang pantas mati, tetapi cara kematiannya terlalu kejam.

Aku memutuskan untuk tidak menyerahkan flashdisk itu kepada polisi. Bukan karena aku tidak percaya pada Bayu, tetapi karena aku merasa ada yang salah. Seolah-olah, pembunuh itu ingin aku yang menangani kasus ini. Terlalu banyak hal yang tidak masuk akal.

Malam itu, aku mencoba tidur. Namun, mataku tetap terbuka. Aku terus memikirkan wajah Gunawan. Dan kemudian, aku merasa ada sesuatu yang ganjil. Sebuah kilasan aneh di dalam pikiranku. Aku melihat diriku, mengenakan jaket yang sama, sedang berjalan di gang itu. Mataku kosong, langkahku berat. Aku tidak ingat ini, tapi kilasan itu terasa begitu nyata.

Aku mencoba untuk menepisnya, menganggap itu hanya mimpi buruk. Tapi itu bukan mimpi. Itu adalah ingatan yang terkubur dalam. Aku merasa takut. Takut pada sesuatu yang tidak bisa kujelaskan.

Pagi harinya, aku kembali ke kantor polisi. Aku berbohong pada Bayu tentang isi amplop itu. Aku bilang hanya ada beberapa catatan yang tidak penting. Bayu menatapku curiga, tapi dia tidak bertanya lebih jauh.

"Kamu terlihat pucat, Arion. Kamu baik-baik saja?" tanyanya.

"Aku baik-baik saja, Bayu. Hanya kurang tidur."

"Kasus ini... sangat aneh. Semua jejak pembunuhnya bersih. Seperti hantu."

Kata-kata Bayu membuatku merinding. Hantu. Ya, memang seperti hantu. Hantu yang mengambil foto diriku di tempat kejadian, hantu yang meninggalkan bukti yang mengarah padaku. Siapa hantu itu?

Aku kembali ke apartemenku, kebingungan. Aku memutar rekaman suara dari flashdisk itu. Ada suara Gunawan yang sedang berbicara di telepon, bernegosiasi dengan seorang pengusaha tentang sebuah proyek besar. Aku mendengarkan setiap detail, mencoba mencari petunjuk. Aku tidak menemukan apa-petunjuk, hanya suara Gunawan yang kasar dan arogan.

Tiba-tiba, aku mendengar suara aneh di dalam rekaman. Suara itu, seperti bisikan, terdengar samar-samar di balik suara Gunawan. Aku memutar ulang rekaman itu berkali-kali, mencoba memahaminya. Akhirnya, aku bisa menangkapnya. "Dia... Arion... akan tahu..."

Bisikan itu, suaranya terasa begitu akrab. Seolah-olah, aku pernah mendengarnya sebelumnya. Aku merasa panik, ketakutanku memuncak. Aku mengambil sebuah botol minuman keras, menuangkannya ke dalam gelas, dan meminumnya. Aku harus menenangkan diri.

Aku memutuskan untuk kembali ke tempat kejadian, mencari sesuatu yang mungkin terlewatkan. Aku berjalan di gang itu lagi, kali ini di siang hari. Semua terlihat berbeda, tidak seseram malam itu. Genangan air sudah mengering, menyisakan bau anyir yang menusuk hidung.

Aku menemukan sesuatu yang aneh. Di balik tumpukan sampah, ada sebuah kaleng bekas yang telah terinjak-injak. Aku mengambilnya, dan melihat ada tulisan yang terukir di sana, "Jangan berhenti."

Tanganku bergetar. Tulisan itu, seolah-olah, ditujukan untukku. Siapa yang menulis ini? Siapa yang memberiku petunjuk?

Aku kembali ke apartemenku, tidak bisa berhenti memikirkan semua kejadian aneh ini. Aku merasa ada yang mengawasiku, ada yang memanipulasiku. Aku merasa terjebak dalam sebuah permainan yang mengerikan.

Aku memejamkan mata, mencoba untuk tidur. Tapi, kilasan aneh itu muncul lagi. Kali ini, lebih jelas. Aku melihat diriku sendiri, dengan wajah pucat, sedang berjalan di gang itu, memegang sebuah pisau yang berkilauan. Darah menetes dari ujungnya. Lalu, aku melihat diriku menggores punggung Gunawan dengan pisau itu.

Aku terbangun, terengah-engah, dengan keringat dingin membasahi seluruh tubuhku. Aku berlari ke kamar mandi, menatap cermin. Di dalam cermin, aku melihat diriku, tapi bukan diriku. Ada bayangan lain di sana. Wajahnya pucat, matanya kosong, bibirnya tersenyum sinis.

"Ini bukan mimpi, Arion," bisiknya. "Ini nyata. Kita... adalah pembunuhnya."

Aku menjerit, lalu memukul cermin itu hingga retak. Pecahan kaca berserakan di lantai, mencerminkan wajahku yang hancur. Wajahku, yang sekarang, terlihat ketakutan. Ketakutan pada diriku sendiri.

Aku berlari keluar, berlari tanpa tujuan. Aku merasa dunia sedang runtuh. Aku merasa, teror itu bukan datang dari luar, tapi dari dalam diriku.

Saat aku berlari di jalanan yang sepi, aku melihat sebuah poster yang menempel di tiang listrik. Itu adalah poster berita, tentang pembunuhan Gunawan. Di bawah foto Gunawan, ada sebuah tulisan, "Teror Pembunuhan Berantai Dimulai."

Aku berhenti, lalu tertawa histeris. Aku tertawa, bukan karena lucu, tapi karena ketakutan. Aku tertawa, karena aku tahu, teror ini tidak akan berhenti. Dan aku, adalah pelaku sekaligus korban dari semua ini.

Aku kembali ke apartemenku. Aku tidak bisa lari lagi. Aku harus menghadapinya. Aku harus mencari tahu, siapa "dia" yang bersembunyi di dalam diriku. Siapa yang mengambil foto diriku di tempat kejadian, siapa yang meninggalkan pesan-pesan itu?

Aku mengambil sebuah buku tebal, buku harian. Aku menulis di halaman pertamanya, "Hari ini, aku memulai penyelidikan. Penyelidikan tentang diriku sendiri."

Aku menulis setiap detail, setiap kilasan, setiap suara bisikan. Aku mencoba mencari tahu, apa yang membuatku menjadi seperti ini.

Aku memutar flashdisk itu lagi, kali ini aku mencoba untuk mendengar dengan lebih saksama. Aku menemukan suara bisikan itu lagi, lebih jelas. "Dia... Arion... akan tahu... kalau dia... adalah... pembunuh..."

Suara itu, begitu akrab. Suara itu, adalah suaraku sendiri. Aku menutup mataku, mencoba untuk mengingat. Mengingat saat aku berada di gang itu, saat aku menatap kosong ke kamera, saat aku menggores punggung Gunawan.

Aku membuka mataku, dan air mataku mengalir. Aku ingat semuanya. Aku ingat, aku yang membunuh Gunawan. Aku yang meninggalkan pesan itu. Aku yang mengambil foto diriku sendiri. Aku yang melakukannya.

Di akhir hari, aku duduk di sofa, dengan sebuah foto polaroid di tanganku. Foto itu, foto diriku yang menatap kosong. Aku tidak lagi takut. Aku tidak lagi bingung. Aku hanya... hancur.

Aku memejamkan mata, mencoba untuk tidur. Namun, kali ini, bukan mimpi buruk yang datang. Melainkan sebuah suara. Suara itu, tidak lagi bisikan, melainkan sebuah teriakan. "Kau harus berhenti, Arion. Kau harus menghentikan teror ini. Kau harus melawanku. Kau... harus membunuhku."

Aku terbangun, dengan napas tersengal. Aku melihat ke luar jendela. Hujan turun lagi, membasahi jalanan yang sepi. Aku merasa, sebuah pertempuran baru saja dimulai. Pertempuran antara aku, dan diriku yang lain.

Udara pagi di Jakarta terasa dingin, menusuk hingga ke tulang. Arion terbangun dengan kepala berdenyut, sisa-sisa mimpi buruk masih membekas. Ia menatap pantulan dirinya di cermin yang retak. Wajahnya terlihat lelah, matanya memancarkan ketakutan. Ia masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa ia adalah pembunuh.

Arion mencoba menepis pikiran itu, menganggapnya hanya delusi. Tapi setiap kali ia memejamkan mata, ia melihat lagi kilasan mengerikan itu. Bayangannya sendiri, tersenyum sinis, dengan pisau berlumuran darah di tangan.

Ia mengambil flashdisk dari laci meja, lalu menancapkannya ke laptop. Ia memutar rekaman suara Gunawan lagi, kali ini ia mendengar dengan lebih saksama. Arion menyadari ada bisikan lain di balik suara Gunawan. Bisikan itu tidak lagi terdengar samar, melainkan jelas. "Kau harus berhenti, Arion. Kau harus menghentikan teror ini. Kau harus melawanku. Kau... harus membunuhku."

Suara itu, suara dirinya sendiri. Arion merasa pusing. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak bisa menceritakan ini kepada siapa pun. Jika ia menceritakannya, ia akan dianggap gila, atau lebih buruk lagi, ia akan ditangkap.

Arion memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang Gunawan. Ia menggali arsip lama, mencari setiap kasus yang pernah melibatkan Gunawan. Ia menemukan puluhan kasus, mulai dari korupsi, penyuapan, hingga pelecehan seksual. Gunawan adalah monster, dan ia pantas mati. Tapi, bukan dengan cara sekejam ini.

Saat Arion sedang sibuk mencari informasi, ponselnya berdering. Itu Inspektur Bayu.

"Arion, bisa kau datang ke kantor polisi?" tanya Bayu. "Ada hal penting yang ingin kubicarakan."

Arion merasa gugup, tapi ia berusaha untuk tetap tenang. "Aku akan segera ke sana, Bayu."

Setibanya di kantor polisi, Bayu menyambutnya dengan wajah tegang. "Aku menemukan sesuatu yang aneh, Arion. Semua jejak pembunuhnya bersih. Tidak ada sidik jari, tidak ada DNA. Tapi... ada satu hal yang tidak bisa kami jelaskan."

Bayu menunjukkan Arion sebuah foto. Foto itu, sebuah foto polaroid, menampilkan Arion sedang menatap kosong, dengan tetesan air hujan membasahi jaket yang ia kenakan. Itu adalah foto yang sama yang Arion temukan di lokasi kejadian.

"Kami menemukan ini di saku Gunawan. Mengapa ada fotomu di sana, Arion?" tanya Bayu.

Arion menelan ludah, ia berusaha untuk tidak terlihat gugup. "Aku tidak tahu, Bayu. Mungkin ada orang iseng yang ingin membuat lelucon?"

Bayu menatap Arion curiga, "Lelucon? Arion, ini bukan lelucon. Ini pembunuhan. Dan kau... kau adalah orang yang berada di lokasi kejadian. Dan sekarang, fotomu ditemukan di saku korban."

Arion berusaha untuk tetap tenang. "Bayu, aku tidak tahu apa-apa. Aku hanya jurnalis yang kebetulan lewat di sana."

Bayu menghela napas, "Arion, aku percaya padamu. Tapi... aku tidak bisa mengabaikan bukti ini. Aku akan terus menyelidiki, dan aku harap kau bisa membantuku."

Arion mengangguk, ia merasa lega. Ia berhasil lolos, untuk sementara. Tapi ia tahu, ia tidak akan bisa lari selamanya.

Ia kembali ke apartemennya, semakin bingung. Siapa yang menaruh foto itu di saku Gunawan? Apakah ia melakukannya sendiri, tanpa sadar?

Arion mengambil sebuah buku tebal tentang psikologi. Ia membaca tentang Dissociative Identity Disorder (DID), atau kepribadian ganda. Ia membaca setiap detail, setiap gejala. Sakit kepala hebat, kehilangan kesadaran, amnesia, suara bisikan di kepala. Semua gejala itu, ia alami.

Arion mulai percaya, ia memang memiliki kepribadian lain. Sebuah kepribadian yang jahat, yang haus akan darah. Sebuah kepribadian yang ia sebut "si gelap."

Ia memutuskan untuk mencari bantuan dari psikolog. Ia mencari psikolog terbaik di Jakarta, dan ia menemukan namanya, Dr. Diana.

Malam itu, Arion tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan "si gelap." Apa motifnya? Mengapa ia membunuh Gunawan?

Ia memejamkan matanya, mencoba untuk mengingat. Mengingat saat ia berada di gang itu. Kilasan itu datang lagi. Kali ini, ia melihat "si gelap" sedang tertawa sinis, menari-nari di atas jasad Gunawan. "Si gelap" menatap kamera, tersenyum, lalu mengambil foto Arion.

Arion terbangun, terengah-engah. Ia tidak bisa lagi menyangkalnya. "Si gelap" ada di dalam dirinya, dan ia adalah pembunuh.

Pagi harinya, Arion mendatangi klinik Dr. Diana. Ia menceritakan semuanya, tentang sakit kepala, tentang amnesia, tentang bisikan suara di kepalanya. Tapi ia tidak menceritakan tentang pembunuhan. Ia terlalu takut.

Dr. Diana mendengarkan dengan saksama, lalu ia menyarankan Arion untuk melakukan hipnoterapi. "Ini mungkin bisa membantu kita menemukan akar masalahnya," kata Dr. Diana.

Arion setuju. Ia berbaring di sofa, mencoba untuk rileks. Dr. Diana mulai memandu, "Bayangkan kau berada di sebuah ruangan yang kosong, sebuah ruangan yang hanya berisi kau. Ruangan itu aman, tidak ada yang bisa menyakitimu."

Arion menutup matanya, ia mencoba membayangkan ruangan itu. Tapi ia tidak bisa. Ia hanya melihat kegelapan. Dan kemudian, ia mendengar suara. Suara itu, suara "si gelap."

"Kau tidak bisa kabur, Arion," bisik "si gelap." "Kau tidak bisa menyembunyikanku. Kita... adalah satu."

Arion terbangun, panik. Ia berteriak, "Tolong! Ada suara lain di kepalaku!"

Dr. Diana mencoba menenangkannya, "Tenang, Arion. Itu hanya halusinasi. Tenang."

Tapi Arion tidak bisa tenang. Ia tahu itu bukan halusinasi. Itu nyata. "Si gelap" itu nyata.

Arion memutuskan untuk keluar dari klinik. Ia tidak bisa melanjutkan terapi. Ia terlalu takut.

Ia kembali ke apartemennya, putus asa. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia merasa sendirian, terjebak dalam tubuhnya sendiri.

Tiba-tiba, ponselnya berdering. Itu Bayu.

"Arion, ada kasus baru," kata Bayu. "Korban seorang pengusaha, bernama Chandra. Kami menemukan mayatnya di sebuah hotel mewah."

Arion merasa mual. Ia tahu, "si gelap" telah beraksi lagi.

Ia bergegas ke lokasi kejadian. Di sana, ia melihat pemandangan yang mengerikan. Jasad Chandra terbaring di atas ranjang, dengan luka sayatan yang dalam di dadanya. Darah menggenang, membasahi sprei putih.

Di samping jasad Chandra, ada sebuah foto polaroid. Foto itu menampilkan Arion, sedang tersenyum sinis, memegang sebuah pisau yang berkilauan. Wajahnya pucat, matanya kosong.

Arion menatap foto itu, ia tidak bisa mengendalikan dirinya. Ia merasa takut, tapi di saat yang sama, ia merasa ada sesuatu yang menariknya. Seolah-olah, ia sedang ditarik ke dalam kegelapan.

Bayu menatap Arion dengan mata penuh curiga. "Ini... fotomu lagi, Arion. Apa maksudnya ini?"

Arion tidak bisa menjawab. Ia hanya bisa menatap foto itu, menatap dirinya sendiri, menatap pembunuh di dalam dirinya.

Ia tahu, permainannya baru saja dimulai. Dan ia, adalah pion yang terjebak dalam permainan yang mengerikan ini.

Arion pulang ke apartemennya, dengan kepala yang berdenyut. Ia membuka laptop, ia melihat sebuah video yang dikirim oleh seseorang yang tidak dikenal. Video itu, video Chandra, sedang berbicara di telepon, bernegosiasi dengan seorang politisi tentang sebuah proyek besar.

Arion memutar video itu berkali-kali, mencoba mencari petunjuk. Dan ia menemukannya. Di akhir video, ada suara bisikan yang terdengar samar. "Dia... Arion... adalah... pembunuh."

Suara itu, suara "si gelap." Arion menjerit, ia memukul laptopnya hingga layarnya retak. Ia tidak bisa lagi menahannya. Ia merasa, ia akan gila.

Ia berlari ke kamar mandi, menatap cermin yang retak. Di dalamnya, ia melihat "si gelap," tersenyum sinis, dan berbisik, "Kita akan bersenang-senang, Arion. Kita... akan menghentikan semua ketidakadilan di kota ini. Kau... tidak bisa menghentikanku."

Arion memukul cermin itu lagi, kali ini hingga pecah berkeping-keping. Ia tidak bisa lagi menahan amarahnya. Ia merasa, ia akan meledak.

Ia mengambil sebuah pisau, ia menatap bayangannya di pisau itu. Bayangannya terlihat hancur. Ia tidak tahu, apakah ia akan membunuh "si gelap," atau ia akan bunuh diri.

Ia memejamkan mata, ia mendengar suara bisikan itu lagi, lebih jelas. "Kau harus memilih, Arion. Kau harus memilih... antara hidup dan mati. Antara menjadi dirimu sendiri, atau menjadi... aku."

Arion membuka matanya, ia melihat dirinya sendiri di cermin yang retak. Wajahnya terlihat hancur. Ia tahu, ia harus membuat keputusan. Dan keputusan itu, akan mengubah hidupnya, selamanya.

Malam itu terasa lebih dingin dan mencekam dari biasanya. Udara di kamar Arion terasa berat, dipenuhi dengan ketakutan dan kebingungan. Setelah menerima telepon dari Inspektur Bayu tentang kasus pembunuhan kedua, sebuah gelombang kepanikan luar biasa menerpa Arion. Ia merasa seperti sedang menonton film horor, di mana ia adalah tokoh utama yang tidak berdaya, terperangkap dalam alur cerita yang ditulis oleh dirinya sendiri.

Arion duduk di pinggir ranjang, menatap kosong ke arah dinding. Foto polaroid dirinya yang tersenyum sinis dengan pisau berlumuran darah masih terbayang jelas di benaknya. Ia tidak bisa lagi menyangkal bahwa ia adalah bagian dari semua kekacauan ini. Namun, ia juga tidak bisa menerima kenyataan itu. Ia merasa ada dua orang di dalam satu tubuh, dan salah satunya adalah monster yang haus darah.

Suara napasnya yang tidak beraturan terdengar nyaring di keheningan kamar. Tiba-tiba, Arion merasakan sakit kepala yang sangat hebat, lebih parah dari sebelumnya. Kepalanya terasa seperti dipalu, seolah-olah ada sesuatu yang mencoba keluar dari dalam sana. Ia memegangi kepalanya, berteriak kesakitan. Kilasan-kilasan aneh datang kembali, kali ini lebih jelas dan lebih mengerikan.

Ia melihat dirinya sendiri, mengenakan jaket hoodie hitam, berjalan di sebuah lorong hotel mewah. Ia melihat wajah pengusaha bernama Chandra yang ketakutan, memohon-mohon. Ia melihat tangannya, yang memegang pisau, menusuk dada Chandra berkali-kali. Darah menyembur, membasahi wajahnya. Ia melihat dirinya tertawa, tawa yang dingin dan menakutkan. Lalu, ia melihat tangannya mengambil sebuah foto, tersenyum sinis ke arah kamera, dan menaruhnya di samping jasad Chandra.

Arion jatuh ke lantai, ia tidak bisa menahan rasa mual dan pusing yang luar biasa. Ia merasa jiwanya terkoyak, terbelah menjadi dua bagian. Ia adalah Arion yang baik, yang tidak ingin melukai siapa pun. Dan ia adalah "si gelap," yang kejam, yang haus akan keadilan dengan cara yang salah.

"Kau tidak bisa lari dariku, Arion," bisik sebuah suara di dalam kepalanya. Suara itu adalah suaranya sendiri, tapi lebih dalam dan lebih seram. "Kita adalah satu. Kau... tidak bisa menghentikanku."

Arion berteriak, "Siapa kau?! Apa yang kau inginkan?!"

"Aku? Aku adalah dirimu. Aku adalah kemarahanmu, kekecewaanmu, dan keputusasaanmu. Aku adalah keadilan yang kau inginkan. Mereka semua pantas mati, Arion. Mereka semua kotor."

Arion menangis. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tidak bisa melawan dirinya sendiri. Ia merasa dirinya benar-benar gila.

Keesokan paginya, Arion bangun dengan mata bengkak dan wajah pucat. Ia memutuskan untuk mencari bantuan lagi. Kali ini, ia tidak akan berbohong. Ia akan menceritakan semuanya.

Arion kembali ke klinik Dr. Diana. Ia duduk di sofa yang sama, di ruangan yang sama. Dr. Diana menyambutnya dengan senyum yang hangat, "Arion, aku senang kau datang kembali. Kau terlihat tidak baik-baik saja."

Arion menarik napas dalam-dalam, lalu ia menceritakan semuanya. Ia menceritakan tentang pembunuhan Gunawan dan Chandra. Ia menceritakan tentang foto-foto polaroid. Ia menceritakan tentang "si gelap" di dalam dirinya.

Dr. Diana mendengarkan dengan saksama, tanpa menghakimi. Ia hanya mengangguk, dan sesekali mencatat.

"Arion," kata Dr. Diana setelah Arion selesai bercerita. "Aku percaya padamu. Aku percaya bahwa kau tidak gila. Kau mengidap Dissociative Identity Disorder, atau kepribadian ganda. Itu adalah mekanisme pertahanan mentalmu terhadap trauma masa lalu yang terlalu berat."

"Trauma masa lalu?" tanya Arion, bingung.

"Ya. Aku rasa, kita harus melakukan hipnoterapi lagi. Kali ini, kita akan mencoba untuk menemukan akar dari trauma itu. Kita akan mencari tahu, apa yang membuatmu menciptakan 'si gelap' di dalam dirimu."

Arion ragu. Ia takut. Ia takut jika ia menemukan akar masalahnya, ia akan menjadi lebih gila. Tapi ia juga tahu, ia tidak punya pilihan lain. Ia harus melakukannya, demi dirinya sendiri dan demi orang lain.

"Baiklah, Dr. Diana. Aku akan melakukannya," kata Arion.

Dr. Diana memandu Arion lagi, "Tarik napas dalam-dalam, Arion. Bayangkan kau berada di sebuah ruangan yang aman, sebuah ruangan yang tidak bisa dimasuki oleh siapa pun."

Arion memejamkan mata, ia mencoba membayangkan ruangan itu. Kali ini, ia berhasil. Ia berada di sebuah ruangan putih yang bersih, dengan cahaya matahari yang hangat. Di ruangan itu, ia merasa tenang, ia merasa aman.

"Sekarang, coba ingat, Arion. Ingat saat-saat terakhir kau bersama orang tuamu," kata Dr. Diana.

Arion mencoba mengingat. Kilasan-kilasan masa lalunya muncul di benaknya. Ia melihat sebuah rumah tua, ia melihat dirinya yang masih kecil, ia melihat orang tuanya. Semuanya terlihat bahagia, damai. Tapi tiba-tiba, suasana berubah.

Ia melihat sebuah mobil hitam datang, beberapa orang berpakaian serba hitam keluar dari mobil itu. Mereka menyerbu rumahnya. Ia mendengar teriakan orang tuanya. Ia bersembunyi di bawah tempat tidur. Ia melihat ayahnya dipukuli hingga babak belur, ibunya diperkosa, lalu dibunuh dengan kejam. Ia melihat darah di mana-mana. Ia mendengar tawa dingin dari para pembunuh itu.

Arion berteriak. Ia membuka matanya, terengah-engah. Ia menangis, ia tidak bisa mengendalikan dirinya. Ia merasa trauma itu kembali, seolah-olah ia mengalaminya lagi.

"Tenang, Arion, tenang," kata Dr. Diana. "Itu hanya ingatan. Itu sudah berlalu."

Tapi bagi Arion, itu tidak berlalu. Trauma itu, masih hidup di dalam dirinya. Trauma itulah yang menciptakan "si gelap." "Si gelap" itu adalah manifestasi dari kemarahan, dendam, dan keinginannya untuk membalas dendam.

"Dr. Diana, aku... aku ingat semuanya," kata Arion. "Aku ingat saat mereka membunuh orang tuaku. Aku ingat... aku ingin membalas dendam."

"Arion, kau tidak bersalah. Kau tidak bersalah atas perbuatan 'si gelap'," kata Dr. Diana. "Dia adalah bagian dari dirimu, tapi dia bukan dirimu. Kau bisa mengendalikannya. Kau bisa melawannya."

Arion tidak tahu apakah ia bisa. Ia merasa lemah, tidak berdaya. Ia merasa, "si gelap" terlalu kuat.

Arion kembali ke apartemennya, dengan hati yang berat. Ia merasa, ia tidak bisa lagi menyembunyikan kebenaran. Ia harus berhenti. Ia harus berhenti menulis. Ia harus berhenti menjadi jurnalis. Ia harus menyerah.

Tiba-tiba, ponselnya berdering. Itu Inspektur Bayu.

"Arion, ada kasus baru lagi," kata Bayu. "Korban seorang hakim, bernama Haris. Kami menemukan mayatnya di sebuah apartemen."

Arion tidak bisa menahannya lagi. Ia menjatuhkan ponselnya. Ia berteriak, ia menangis, ia memukul dinding. Ia tidak tahu, apakah ia yang melakukannya atau "si gelap."

Ia bergegas ke lokasi kejadian. Di sana, ia melihat pemandangan yang sama mengerikannya. Jasad Haris terbaring di lantai, dengan luka sayatan di lehernya. Darah menggenang, membasahi karpet mewah.

Di samping jasad Haris, ada sebuah foto polaroid. Foto itu menampilkan Arion, sedang menatap kosong, dengan tetesan air mata di wajahnya. Dan di belakang foto itu, ada tulisan yang ditulis dengan darah: "Ini adalah pengadilan terakhirmu, Arion."

Arion menatap foto itu, ia merasa jiwanya benar-benar hancur. Ia tidak bisa lagi lari. Ia tahu, ia akan ditangkap. Dan ia, tidak bisa menyalahkan siapa pun.

Ia menatap Bayu, lalu ia berkata, "Bayu, aku... aku rasa, aku tahu siapa pembunuhnya."

Bayu menatap Arion, matanya penuh curiga. "Siapa, Arion?"

Arion tidak bisa menjawab. Ia hanya bisa menatap foto itu, menatap dirinya sendiri. Dan ia tahu, ia akan berakhir di penjara, atau di rumah sakit jiwa. Dan ia tahu, itulah satu-satunya cara untuk menghentikan teror ini. Dengan mengorbankan dirinya sendiri.

Dunia Arion hancur. Foto polaroid yang penuh darah di TKP terakhir, dengan tulisan "Ini adalah pengadilan terakhirmu, Arion," seolah menjadi palu godam yang menghancurkan semua pertahanan terakhirnya. Ia tidak lagi bisa bersembunyi. Ia tidak bisa lagi lari. Semua bukti mengarah padanya, dan di dalam hati kecilnya, ia tahu bukti itu tidak berbohong.

Di dalam mobil polisi yang membawanya, Arion menatap keluar jendela. Gerimis mulai turun, membasahi kaca dan mengaburkan pemandangan jalanan Jakarta yang ramai. Seperti hidupnya, semua menjadi buram dan tak jelas. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi ia tahu ia tidak akan pernah bisa kembali ke kehidupan lamanya.

Inspektur Bayu duduk di sampingnya, diam. Wajahnya yang biasanya tegas kini terlihat lelah dan penuh kebingungan. Arion bisa melihat perjuangan batin di matanya. Bayu mengenalnya sejak lama, sebagai jurnalis yang jujur dan berdedikasi. Tapi sekarang, ia harus menangkapnya, menyerahkannya pada sistem yang ia yakini tidak akan adil.

"Kenapa, Arion?" akhirnya Bayu bersuara. "Kenapa kau lakukan ini? Kita bisa membicarakannya. Kau tahu itu."

Arion hanya menunduk, tidak sanggup menatap mata Bayu. Ia tidak punya jawaban. Jawaban yang sebenarnya terlalu gila untuk diucapkan. "Aku tidak tahu," bisiknya. "Aku benar-benar tidak tahu."

Bayu menghela napas, "Foto-foto itu... pesan-pesan itu... ini semua gila, Arion."

Arion tidak menjawab. Ia hanya bisa memikirkan "si gelap." Sosok mengerikan yang bersemayam di dalam dirinya, yang telah merenggut nyawa orang-orang yang ia benci, dan sekarang merenggut kehidupannya sendiri.

Sesampainya di kantor polisi, Arion dibawa ke sebuah ruang interogasi. Ruangan itu kecil dan pengap, dengan sebuah meja besi dan dua kursi. Arion duduk di salah satu kursi, menatap ke arah cermin satu arah di depannya. Ia tahu, di balik cermin itu, Bayu dan beberapa rekannya sedang mengawasinya.

Interogasi dimulai. Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan. Tentang hubungannya dengan Gunawan, Chandra, dan Haris. Tentang motifnya. Tentang foto-foto itu. Arion menjawab dengan jujur, sebatas yang ia tahu. Ia tidak punya hubungan dengan mereka. Ia tidak punya motif. Ia tidak tahu mengapa foto-foto itu ada.

"Arion, kau berbohong," kata Bayu dari balik cermin. "Kami tahu kau berbohong. Kami punya bukti."

Arion menunduk, air matanya menetes. "Aku tidak berbohong, Bayu. Aku... aku tidak tahu apa yang terjadi."

Interogasi berlangsung selama berjam-jam, tetapi Arion tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan. Ia merasa lelah, fisiknya lelah, mentalnya lelah. Ia merasa jiwanya kosong.

Pada akhirnya, Bayu memutuskan untuk menghentikan interogasi. Ia masuk ke dalam ruangan, duduk di kursi di seberang Arion. "Arion, aku akan memberimu satu kesempatan terakhir. Katakan yang sebenarnya. Apa yang terjadi padamu?"

Arion mengangkat kepalanya, menatap mata Bayu. "Bayu... aku tidak tahu harus memulai dari mana. Aku merasa... ada orang lain di dalam diriku. Orang lain yang melakukan semua ini. Aku tidak mengendalikannya. Aku hanya... penonton."

Bayu menatap Arion dengan mata penuh keraguan. "Arion, kau tahu itu terdengar gila, kan?"

"Aku tahu. Tapi itu yang sebenarnya terjadi. Aku mengidap kepribadian ganda. Aku punya 'si gelap' di dalam diriku. Dialah yang membunuh mereka. Bukan aku."

Bayu terdiam. Ia tidak tahu harus percaya atau tidak. Di satu sisi, Arion adalah temannya. Tapi di sisi lain, bukti-bukti yang ada tidak bisa diabaikan.

"Baiklah, Arion," kata Bayu akhirnya. "Aku akan membantumu. Aku akan mencoba membawamu ke psikiater. Tapi jika itu tidak berhasil... aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi."

Arion merasa lega. Ia tahu, ia punya satu harapan terakhir.

Arion dibawa ke sebuah rumah sakit jiwa, bukan penjara. Di sana, ia dipertemukan dengan seorang psikiater bernama Dr. Ratih. Dr. Ratih adalah seorang wanita paruh baya yang tenang dan sabar. Ia mendengarkan cerita Arion dengan saksama, tanpa menghakimi.

"Arion, apa yang kau alami sangat wajar, mengingat trauma masa lalu yang kau alami," kata Dr. Ratih. "Kau menciptakan 'si gelap' untuk melindungi dirimu dari kenyataan. 'Si gelap' adalah manifestasi dari kemarahanmu, dari dendammu. Dia ingin membalas dendam atas kematian orang tuamu."

Arion mengangguk. "Tapi aku tidak ingin dia membunuh orang lain, Dokter. Aku ingin dia pergi. Aku ingin hidup normal."

"Itu tidak akan mudah, Arion. Kalian adalah satu. Tapi bukan berarti kau tidak bisa mengendalikannya. Kau bisa melawannya. Kau bisa membuktikan padanya, bahwa kau adalah orang yang lebih kuat. Bahwa kau adalah orang yang lebih baik."

Arion memulai perawatannya. Setiap hari, ia melakukan terapi dengan Dr. Ratih. Ia menceritakan setiap kilasan, setiap bisikan, setiap mimpi buruk. Ia mencoba untuk memahami 'si gelap.' Ia mencoba untuk berkomunikasi dengannya.

Pada suatu sesi, Dr. Ratih mencoba melakukan hipnoterapi. "Arion, coba bayangkan kau berada di sebuah ruangan yang kosong. Ruangan itu aman, hanya ada kau dan aku."

Arion menutup matanya, ia membayangkan ruangan itu. Tapi kali ini, tidak hanya ada ia. Ada 'si gelap' di sana. 'Si gelap' terlihat seperti dirinya, tapi dengan wajah yang lebih tua, lebih kejam, dan lebih menakutkan.

"Kau tidak bisa mengalahkanku, Arion," kata 'si gelap.' "Aku adalah kau. Kau adalah aku. Kita adalah satu."

"Tidak!" teriak Arion. "Kau bukan aku! Aku tidak ingin membunuh orang lain! Aku tidak ingin menjadi sepertimu!"

"Oh, ya? Lalu, mengapa kau menyimpan semua bukti kejahatanmu, Arion? Mengapa kau tidak membuangnya? Karena kau ingin, Arion. Kau ingin semua orang tahu bahwa kau adalah pahlawan. Kau ingin semua orang tahu bahwa kau membersihkan kota ini dari korupsi, dari kejahatan."

Arion terdiam. Kata-kata 'si gelap' menusuk hatinya. Ia tidak bisa menyangkalnya. Ia memang menyimpan semua bukti itu. Ia memang merasa seperti seorang pahlawan yang tidak terlihat.

"Arion, kau harus melawannya. Kau harus membuktikan padanya, bahwa kau adalah orang yang lebih baik," kata Dr. Ratih.

Arion membuka matanya. Ia menangis. Ia merasa dirinya benar-benar hancur. Ia tidak tahu, apakah ia bisa melawan 'si gelap.' Ia merasa, ia terlalu lemah.

Beberapa hari kemudian, Bayu datang menjenguk Arion. Ia membawa sebuah berita yang mengejutkan. "Arion, kami menemukan sesuatu yang aneh. Korban ketiga, Haris, ternyata adalah salah satu pembunuh orang tuamu."

Arion terdiam. Jantungnya berdegup kencang. "Apa?"

"Ya. Kami menemukan arsip lama. Haris adalah salah satu dari tiga orang yang membunuh orang tuamu. Dua orang lainnya... masih buron. Tapi kami tahu siapa mereka. Namanya... Daniel dan Rahmat."

Arion merasa dunia berputar. Ia tidak bisa menahannya lagi. Ia menjerit, ia menangis, ia tertawa. Ia merasa, ia tidak tahu lagi siapa dirinya.

Bayu menatap Arion, dengan wajah penuh keprihatinan. "Arion, aku percaya padamu. Aku akan membantumu. Tapi... kau harus melawannya. Kau harus menghentikan 'si gelap' sebelum dia membunuh dua orang lainnya."

Arion tidak menjawab. Ia hanya bisa menunduk, memikirkan apa yang baru saja ia dengar. Haris adalah pembunuh orang tuanya. Dan 'si gelap'... ia telah membalaskan dendamnya. 'Si gelap' adalah pahlawan. Bukan monster.

Arion tidak tahu lagi, siapa yang benar. Apakah 'si gelap' adalah monster, atau pahlawan? Apakah ia harus menghentikannya, atau membiarkannya?

Ia hanya tahu, ia tidak punya pilihan. Ia harus menghadapi 'si gelap.' Dan ia harus membuat keputusan. Keputusan yang akan mengubah hidupnya, selamanya.

Kamar Arion di rumah sakit jiwa terasa dingin dan sepi, berbeda dengan hiruk pikuk kota di luar sana. Namun, ketenangan semu itu tidak bisa menenangkan badai yang berkecamuk di dalam dirinya. Berita dari Inspektur Bayu tentang Haris, salah satu pembunuh orang tuanya, menghancurkan sisa-sisa kewarasannya. Kini, ia tidak bisa lagi membedakan antara keadilan dan balas dendam. "Si gelap" bukan lagi monster yang tak dikenal, melainkan perwujudan dari keinginan terdalamnya untuk membalaskan dendam.

Arion menatap keluar jendela, memandangi langit malam yang pekat. Kilasan-kilasan ingatan tentang pembunuhan orang tuanya kembali menyeruak. Ia melihat lagi wajah Haris, pembunuh yang kini tewas. Ada campuran rasa lega dan takut yang luar biasa di dalam dirinya. Lega karena salah satu dari mereka telah menerima balasan, tetapi takut karena ia tahu, "si gelap" tidak akan berhenti sampai semua pembunuh itu tewas.

Ia tahu, ada dua orang lagi yang harus dibunuh. Daniel dan Rahmat. Nama-nama itu berputar-putar di dalam kepalanya, seperti mantra kematian. Arion merasa harus menghentikannya, tetapi ia juga merasa dorongan kuat untuk membiarkan "si gelap" menyelesaikan tugasnya. Lagipula, bukankah mereka pantas mati?

Pagi harinya, ia melakukan terapi dengan Dr. Ratih. Kali ini, ia tidak lagi menyangkal keberadaan "si gelap." Sebaliknya, ia mencoba berbicara dengannya. "Si gelap," ucap Arion dalam batinnya. "Kenapa kau membunuh mereka? Kenapa kau melakukan semua ini?"

Suara "si gelap" muncul di dalam kepalanya, lebih jelas dan lebih kuat dari sebelumnya. "Karena kau menginginkannya, Arion. Kau yang ingin membalaskan dendam. Kau yang ingin keadilan."

"Tidak! Aku tidak ingin ada darah lagi!" teriak Arion, suaranya bergetar.

"Kau berbohong. Kau tahu mereka pantas mati. Mereka mengambil orang yang paling kau cintai. Mereka merenggut kebahagiaanmu. Kau... ingin mereka merasakan rasa sakit yang sama."

Dr. Ratih yang melihat Arion gelisah mencoba menenangkannya. "Arion, apa yang kau dengar?"

"Dia... dia bilang, aku ingin membalaskan dendam," jawab Arion, air mata mengalir di pipinya. "Dia bilang, aku ingin mereka merasakan rasa sakit yang sama."

Dr. Ratih menghela napas, "Arion, itu adalah suara dari trauma masa lalumu. Kau tidak boleh membiarkannya menguasaimu."

Tapi Arion merasa, itu bukan sekadar trauma. Itu adalah kenyataan. "Si gelap" itu adalah dirinya sendiri, hanya versi yang lebih brutal.

Selama beberapa hari, Arion terus mencoba melawan "si gelap." Ia menolak untuk memakan makanan yang diberikan suster, ia menolak untuk tidur. Ia terus mencoba melawan suara yang terus-menerus mendesaknya untuk keluar, untuk menemukan Daniel dan Rahmat.

Suatu malam, Arion tidak bisa menahannya lagi. Sakit kepala hebat kembali menyerangnya. Kali ini, ia tidak hanya mendengar bisikan, tetapi juga melihat sebuah kilasan yang lebih jelas dari sebelumnya. Ia melihat sebuah alamat, sebuah gedung tua yang terbengkalai. Dan ia melihat wajah Daniel dan Rahmat, sedang berbicara dengan seorang politisi.

Arion sadar, "si gelap" telah merencanakan pembunuhan berikutnya. Ia harus menghentikannya, apa pun caranya.

Ia mencari cara untuk keluar dari rumah sakit jiwa. Malam itu, ia menunggu hingga semua suster tertidur, lalu ia mengambil sebuah obeng dari kotak peralatan yang ditinggalkan oleh petugas kebersihan. Ia membobol kunci jendela kamarnya, lalu ia melompat keluar.

Arion berlari di jalanan yang sepi, ia merasakan adrenaline mengalir di nadinya. Ia merasa hidup, tapi di saat yang sama, ia juga merasa takut. Ia tahu, ia sedang menuju ke sarang harimau.

Ia sampai di sebuah gedung tua yang terbengkalai, yang ia lihat dalam kilasannya. Gedung itu gelap dan kotor. Arion masuk ke dalam, ia berjalan di lorong-lorong yang gelap, ia mendengar suara bisikan dari "si gelap."

"Mereka ada di sini, Arion. Mereka ada di sana. Bunuh mereka. Bunuh mereka semua."

Arion tidak mendengarkannya. Ia terus mencari. Ia menemukan sebuah pintu di ujung lorong, ia membukanya. Di dalam, ia melihat Daniel dan Rahmat, sedang duduk di sebuah kursi, sedang berbicara dengan seorang politisi. Di samping mereka, ada sebuah tas besar, penuh dengan uang.

Arion menghela napas. "Si gelap" itu benar. Mereka memang korup. Mereka pantas mati.

"Si gelap" kembali berbicara di dalam kepalanya, "Lihat? Aku benar. Mereka kotor. Bunuh mereka, Arion. Kau tidak perlu ragu."

Arion mengangkat tangannya, ia memegang sebuah pisau yang ia bawa dari rumah sakit jiwa. Ia berjalan perlahan, ia mendekati Daniel. Ia melihat wajah Daniel yang arogan, wajah yang sama yang ia lihat di malam kematian orang tuanya.

Tangannya bergetar. Ia tidak bisa melakukannya. Ia bukan pembunuh.

"Bunuh dia!" teriak "si gelap" di dalam kepalanya. "Dia pantas mati! Dia pembunuh!"

Arion menatap pisau di tangannya, ia menatap wajah Daniel. Ia tidak bisa. Ia tidak bisa menjadi seperti "si gelap."

Tiba-tiba, Arion menjatuhkan pisau itu. Suara pisau yang jatuh ke lantai membuat Daniel, Rahmat, dan politisi itu menoleh ke arahnya.

"Siapa kau?!" teriak Daniel.

"Aku... Arion," jawab Arion, suaranya bergetar. "Aku... datang untuk menghentikan kalian."

Daniel tertawa sinis, "Kau? Menghentikan kami? Kau pikir kau bisa? Kau tahu siapa kami?"

Arion tidak menjawab. Ia hanya bisa menatap mereka, dengan mata penuh kebencian.

Tiba-tiba, suara sirene polisi terdengar dari luar. Inspektur Bayu datang. Ia telah melacak Arion.

Daniel, Rahmat, dan politisi itu panik. Mereka mencoba untuk kabur, tetapi polisi sudah mengepung gedung itu.

"Arion, apa yang kau lakukan di sini?!" teriak Bayu.

Arion tidak menjawab. Ia hanya menatap Daniel dan Rahmat, yang kini sudah ditangkap oleh polisi.

"Aku... aku datang untuk menghentikan mereka," jawab Arion.

Bayu menatap Arion dengan mata penuh keraguan, "Menghentikan mereka? Arion, kau... tidak membunuh mereka?"

Arion menggeleng, "Tidak, Bayu. Aku tidak membunuh mereka. Aku... berhasil mengendalikan diriku."

Arion dibawa kembali ke rumah sakit jiwa. Ia tidak ditangkap, tetapi ia tetap harus menjalani perawatan. Ia merasa lega. Ia merasa, ia telah memenangkan pertempuran melawan "si gelap."

Beberapa hari kemudian, Bayu datang menjenguknya lagi. "Arion, aku minta maaf. Aku salah tentangmu. Aku tahu sekarang, kau tidak bersalah. Kau... adalah pahlawan."

Arion tersenyum, "Aku tidak tahu, Bayu. Aku tidak tahu apakah aku pahlawan atau bukan. Aku hanya tahu... aku berhasil mengendalikan diriku."

Bayu menepuk bahu Arion, "Kau akan baik-baik saja, Arion. Aku akan selalu ada untukmu."

Arion merasa tenang, untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Ia merasa, ia tidak lagi sendirian. Ia punya Bayu. Ia punya Dr. Ratih.

Namun, di dalam kepalanya, ia mendengar suara "si gelap." "Kau tidak menang, Arion. Kau hanya... menunda. Kau akan selalu membutuhkanku. Dan suatu hari nanti... aku akan kembali. Dan saat itu tiba... kau tidak akan bisa menghentikanku."

Arion memejamkan mata, ia mencoba mengabaikan suara itu. Tapi ia tahu, suara itu tidak berbohong. Ia tahu, pertempuran ini belum berakhir. Dan ia tahu, ia harus selalu waspada, karena "si gelap" akan kembali, suatu hari nanti.

Penyelidikan kasus pembunuhan yang melibatkan Arion beralih fokus. Berkat keberaniannya, Daniel dan Rahmat tertangkap. Mereka mengakui semua perbuatan mereka, termasuk keterlibatan mereka dalam kasus korupsi dan pembunuhan orang tua Arion. Dunia Arion kini terasa terbalik. Para monster yang merenggut kebahagiaannya telah ditangkap. Ia seharusnya merasa senang, tetapi ia merasa ada kekosongan yang dalam.

Meskipun ia dibebaskan dari tuduhan pembunuhan, Arion masih harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit jiwa. Ia kembali menjadi pasien Dr. Ratih, tetapi kali ini, ia tidak lagi menganggapnya sebagai musuh. Ia menganggap Dr. Ratih sebagai satu-satunya orang yang bisa membantunya.

"Arion, kau telah melakukan hal yang luar biasa," kata Dr. Ratih di suatu sore. "Kau berhasil melawan 'si gelap.' Kau berhasil mengendalikan dirimu."

Arion hanya menunduk, "Aku tidak tahu, Dokter. Aku merasa... ia belum pergi. Ia masih ada di sini. Di dalam diriku."

"Tentu saja. Ia adalah bagian dari dirimu, Arion. Ia tidak akan pernah pergi. Tapi kau bisa belajar untuk hidup bersamanya. Kau bisa belajar untuk mengendalikannya. Dan kau... kau bisa belajar untuk memaafkannya."

"Memaafkannya? Bagaimana mungkin?" tanya Arion, bingung. "Dia membunuh orang lain. Dia membuatku menjadi monster."

"Ia tidak membuatmu menjadi monster, Arion. Ia adalah manifestasi dari trauma. Ia adalah hasil dari rasa sakit yang terlalu dalam. Kau tidak boleh menyalahkan dirimu sendiri. Kau harus memaafkannya, karena ia adalah bagian dari dirimu yang terluka. Kau harus memaafkannya, agar kau bisa sembuh."

Kata-kata Dr. Ratih menusuk hati Arion. Ia tidak pernah berpikir untuk memaafkan "si gelap." Ia selalu menganggap "si gelap" sebagai musuh, sebagai monster. Tapi sekarang, ia merasa ada kebenaran di balik kata-kata Dr. Ratih.

Malam itu, Arion tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan kata-kata Dr. Ratih. Ia memutuskan untuk mencoba berbicara dengan "si gelap." Ia memejamkan mata, ia mencoba memanggilnya.

"Si gelap," ucap Arion dalam batinnya. "Kenapa kau melakukan semua ini?"

"Aku sudah bilang, Arion. Karena kau menginginkannya. Kau yang ingin membalaskan dendam. Kau yang ingin keadilan."

"Tidak. Aku tidak ingin keadilan seperti ini. Aku tidak ingin ada darah lagi."

"Kau berbohong. Kau tidak ingin orang tuamu mati sia-sia. Kau ingin mereka mendapatkan keadilan. Dan aku... aku memberikannya padamu. Aku membersihkan kota ini dari korupsi, dari kejahatan. Aku adalah pahlawan. Kau... adalah pengecut."

Kata-kata "si gelap" menusuk hati Arion. Ia tidak bisa menyangkalnya. Ia memang merasa seperti pengecut. Ia tidak bisa melawan para pembunuh itu. Dan "si gelap," ia melakukannya.

Arion menangis. Ia merasa dirinya hancur. Ia merasa, "si gelap" itu benar.

Tiba-tiba, ia merasakan sakit kepala yang hebat. Kilasan-kilasan masa lalunya kembali menyeruak. Kali ini, ia melihat kilasan yang berbeda. Ia melihat dirinya yang masih kecil, ia melihat orang tuanya. Ia melihat mereka sedang berdiskusi dengan seorang pengusaha. Pengusaha itu adalah ayah dari Gunawan. Mereka membicarakan sebuah proyek besar. Proyek itu adalah sebuah proyek korupsi. Orang tua Arion menolak untuk terlibat. Mereka ingin melaporkannya ke polisi. Tapi Gunawan, ia tidak ingin. Ia ingin orang tua Arion bungkam.

Arion membuka matanya, ia terengah-engah. "Si gelap" itu berbohong. "Si gelap" itu salah. Orang tuanya tidak mati karena pembunuhan, mereka mati karena mereka ingin berbuat baik.

Arion merasa ada gelombang kemarahan yang luar biasa. Ia merasa dibodohi. "Si gelap" itu adalah manifestasi dari ketidakadilan, bukan keadilan.

Arion berlari ke kamar mandi, ia menatap dirinya di cermin. Ia melihat dirinya, tapi bukan dirinya. Ia melihat "si gelap." Wajahnya pucat, matanya kosong, bibirnya tersenyum sinis.

"Kau berbohong!" teriak Arion. "Kau berbohong! Mereka tidak pantas mati! Orang tuaku... mereka tidak bersalah!"

"Si gelap" tertawa. "Kau pikir begitu? Kau pikir mereka suci? Mereka juga kotor, Arion. Mereka juga terlibat dalam korupsi. Kau... hanya tidak mau menerimanya."

"Kau berbohong!" teriak Arion lagi. "Kau berbohong!"

Arion memukul cermin itu, hingga pecah berkeping-keping. Ia tidak bisa menahan amarahnya. Ia merasa, ia akan meledak.

Ia mengambil sebuah pisau dari kotak obat, ia menatap bayangannya di pisau itu. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Apakah ia harus membunuh "si gelap"? Atau ia harus membunuh dirinya sendiri?

Tiba-tiba, Bayu datang menjenguknya. "Arion, aku menemukan sesuatu. Tentang orang tuamu."

Arion menatap Bayu, "Apa?"

"Aku menemukan arsip lama. Orang tuamu... mereka terlibat dalam sebuah proyek korupsi. Mereka... mencoba untuk melaporkannya, tapi mereka dibunuh sebelum mereka bisa melakukannya."

Arion terdiam. Kata-kata Bayu menghancurkan sisa-sisa kewarasannya. Ia merasa, "si gelap" itu benar. Ia merasa, ia tidak tahu lagi apa yang benar dan apa yang salah.

Bayu menatap Arion dengan wajah penuh keprihatinan. "Arion, aku minta maaf. Aku tidak tahu... aku tidak tahu harus berkata apa."

Arion tidak menjawab. Ia hanya menunduk, memikirkan apa yang baru saja ia dengar. Ia merasa, ia tidak punya siapa-siapa lagi. Ia merasa, ia sendirian.

Beberapa hari kemudian, Arion dipindahkan ke sebuah ruangan baru. Di sana, ia memulai perawatannya dengan Dr. Ratih lagi. Kali ini, ia tidak lagi melawan. Ia hanya pasrah. Ia hanya ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi padanya.

"Arion, kau harus menghadapi kenyataan," kata Dr. Ratih. "Kau tidak bisa lari dari masa lalu. Kau tidak bisa lari dari 'si gelap.' Tapi kau bisa belajar untuk hidup bersamanya. Kau bisa belajar untuk mengendalikan dirinya. Kau... harus menjadi orang yang lebih kuat."

Arion mengangguk. Ia tidak tahu apakah ia bisa menjadi orang yang lebih kuat. Tapi ia tahu, ia harus mencobanya.

Ia memulai perawatannya. Setiap hari, ia melakukan meditasi, ia mencoba berkomunikasi dengan "si gelap." Ia mencoba untuk memahami dirinya sendiri.

Suatu malam, Arion tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan kata-kata Dr. Ratih. Ia memutuskan untuk mencoba lagi. Ia memejamkan mata, ia mencoba memanggil "si gelap."

"Si gelap," ucap Arion dalam batinnya. "Aku tahu kau ada di sana. Aku tahu kau mendengarku."

Suara "si gelap" muncul di dalam kepalanya, "Apa yang kau inginkan, Arion? Kau ingin aku pergi? Kau tidak bisa. Kita adalah satu."

"Aku tahu. Aku tidak ingin kau pergi. Aku hanya ingin... kita bisa berdamai. Aku hanya ingin kita bisa hidup bersama."

"Berdamai? Kau bercanda? Kita... adalah musuh. Kita... tidak akan pernah bisa berdamai."

"Tidak. Kita bisa. Aku akan membuktikannya padamu. Aku akan membuktikan, bahwa aku adalah orang yang lebih baik. Aku akan membuktikan, bahwa aku bisa mengendalikanmu."

Arion membuka matanya. Ia merasa tenang. Ia merasa, ia telah memenangkan pertempuran. Ia tahu, ia tidak bisa mengalahkan "si gelap." Tapi ia bisa belajar untuk hidup bersamanya.

Ia kembali tidur. Kali ini, ia tidak lagi mendengar bisikan-bisikan mengerikan. Ia hanya mendengar suara dirinya sendiri, yang kini terasa lebih kuat dan lebih tenang.

Tahun-tahun berlalu. Arion kini bukan lagi pasien di rumah sakit jiwa, melainkan seorang sukarelawan. Ia menghabiskan hari-harinya membantu pasien lain yang menderita penyakit mental, mendengarkan cerita mereka, dan memberikan dukungan. Ia telah belajar untuk hidup berdampingan dengan "si gelap," sosok yang dulu ia benci dan takuti kini menjadi bagian dari dirinya yang ia terima. Pertarungan antara keduanya tidak lagi berujung pada pertumpahan darah, melainkan menjadi dialog batin yang rumit.

"Si gelap" masih ada, tetapi suaranya tidak lagi mendominasi. Ia lebih sering menjadi bisikan di belakang kepala, sebuah refleksi dari sisi gelap kemanusiaan. Kadang, "si gelap" akan mencoba membujuknya untuk membalaskan dendam, mengingatkannya pada ketidakadilan di dunia luar. Namun, Arion selalu berhasil mengendalikan diri. Ia telah menemukan cara baru untuk mendapatkan keadilan, melalui tulisan dan advokasi.

Suatu hari, Arion menerima sebuah surat. Surat itu berasal dari Inspektur Bayu, yang kini telah pensiun. Di dalam surat itu, Bayu memberitahu Arion bahwa ia telah menemukan bukti baru. Bukti itu mengarah pada seorang politisi korup bernama Satrio, yang terlibat dalam kasus pembunuhan orang tua Arion. Satrio adalah bos dari Daniel dan Rahmat, ia yang memerintahkan mereka untuk membunuh orang tua Arion.

Arion merasa gelisah. "Si gelap" di dalam dirinya bangkit, suaranya kembali menggelegar di dalam kepalanya. "Lihat? Aku benar! Mereka semua kotor! Kau harus membunuhnya, Arion! Kau harus membalaskan dendam!"

Arion mencoba untuk tetap tenang. Ia tidak ingin kembali ke masa lalu. Ia tidak ingin menjadi monster lagi. Ia memutuskan untuk menghubungi Bayu. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil di pinggir kota. Bayu yang kini terlihat tua dan lelah, menyerahkan sebuah flashdisk kepada Arion.

"Ini... semua bukti yang kami temukan," kata Bayu. "Satrio adalah dalang di balik semua ini. Dia yang memerintahkan pembunuhan orang tuamu. Dia juga yang membayar Haris, Daniel, dan Rahmat."

Arion menatap flashdisk itu, tangannya bergetar. "Apa yang harus aku lakukan, Bayu?"

"Kau... bisa menyebarkannya. Kau bisa mengungkap kebusukan Satrio di media. Kau bisa mendapatkan keadilan yang sesungguhnya."

Arion mengangguk, ia merasa ada secercah harapan. Ia tidak perlu membunuh Satrio. Ia bisa menghancurkannya dengan cara yang benar.

Namun, saat Arion sedang berjalan pulang, ia merasakan kehadiran "si gelap" yang semakin kuat. Kilasan-kilasan aneh datang kembali. Ia melihat sebuah alamat, sebuah rumah mewah di pinggir kota. Ia melihat dirinya, mengenakan jaket hoodie hitam, sedang berjalan ke arah rumah itu.

Arion sadar, "si gelap" akan beraksi. Ia akan membunuh Satrio.

Arion mencoba melawannya. Ia mencoba untuk mengendalikan dirinya. Tapi "si gelap" terlalu kuat. Ia merasa dirinya ditarik ke dalam kegelapan, ia merasa dirinya tidak bisa melawan.

Arion tiba di depan rumah Satrio. Rumah itu mewah, dengan pagar tinggi dan taman yang luas. Ia melihat mobil Satrio terparkir di halaman. Arion tahu, Satrio ada di dalam.

"Bunuh dia," bisik "si gelap." "Bunuh dia, dan kita akan bebas. Bunuh dia, dan kita akan mendapatkan keadilan."

Arion menolak. Ia tidak ingin membunuh. Ia tidak ingin menjadi monster lagi. Ia memegang ponselnya, ia mencoba untuk menelepon Bayu. Tapi ia tidak bisa. Tangannya bergetar, ia tidak bisa mengendalikan dirinya.

Tiba-tiba, ia merasakan sakit kepala yang hebat. Ia jatuh ke tanah, ia tidak bisa menahan rasa sakit itu. Ia merasa, ia akan pingsan.

Saat ia sadar, ia sudah berada di dalam rumah Satrio. Di depannya, tergeletak jasad Satrio, dengan luka sayatan di lehernya. Darah menggenang, membasahi karpet mewah. Di samping jasad Satrio, ada sebuah foto polaroid. Foto itu menampilkan Arion, sedang tersenyum sinis, dengan pisau berlumuran darah di tangannya.

Arion menjerit. Ia tidak tahu apa yang terjadi. Ia tidak ingat apa-apa.

"Aku melakukannya, Arion," bisik "si gelap." "Aku melakukannya. Aku memberimu keadilan yang sesungguhnya."

Arion menatap foto itu, ia menatap jasad Satrio. Ia merasa jiwanya hancur. Ia telah gagal. Ia telah menjadi monster lagi.

Tiba-tiba, suara sirene polisi terdengar dari luar. Bayu datang. Ia telah melacak ponsel Arion.

Bayu masuk ke dalam rumah, ia melihat pemandangan itu. Jasad Satrio, darah di mana-mana. Dan Arion, berdiri di samping jasad itu, dengan pisau di tangannya.

"Arion, apa yang kau lakukan?!" teriak Bayu.

Arion menjatuhkan pisau itu. Ia mengangkat tangannya, ia menangis. "Bayu... aku... aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku... aku tidak ingat."

Bayu menatap Arion dengan mata penuh keraguan. "Arion, aku percaya padamu. Tapi... semua bukti mengarah padamu. Kau... harus ikut denganku."

Arion tidak melawan. Ia membiarkan Bayu membawanya. Ia tidak lagi peduli. Ia merasa, ia telah kalah. Ia telah kalah dalam pertempuran melawan "si gelap."

Dalam perjalanan ke kantor polisi, Arion hanya bisa diam. Ia tidak bisa berkata-kata. Ia merasa, ia telah kehilangan semuanya. Kebebasannya, kewarasannya, dan kehidupannya.

Di dalam mobil polisi, "si gelap" berbisik lagi. "Kau kalah, Arion. Kau kalah. Kau tidak bisa melawanku. Kau... adalah aku."

Arion tidak menjawab. Ia hanya menatap keluar jendela, memandangi langit malam yang pekat. Ia merasa, ia adalah monster. Dan ia, pantas mendapatkan hukuman.

Perjalanan menuju kantor polisi terasa seperti sebuah mimpi buruk yang tak berujung. Setiap detik yang berlalu terasa seperti satu pukulan telak yang menghancurkan sisa-sisa kewarasan Arion. Ia duduk terdiam di kursi belakang mobil, pandangannya kosong, menatap keluar jendela ke arah lampu-lampu kota yang seolah menertawakannya. Ia telah gagal. Semua perjuangan dan usahanya untuk menjadi manusia yang lebih baik, untuk mengendalikan "si gelap", berakhir sia-sia.

Inspektur Bayu, yang kini duduk di kursi depan, sesekali menoleh ke belakang, raut wajahnya menyiratkan campur aduk emosi antara rasa kasihan dan kekecewaan. Ia melihat Arion bukan sebagai penjahat, melainkan sebagai korban dari sebuah tragedi yang mengerikan. Namun, sebagai seorang penegak hukum, ia tidak bisa mengabaikan fakta-fakta di lapangan. Jasad Satrio yang tewas, pisau yang berlumuran darah di tangan Arion, dan foto polaroid yang tak terpisahkan dari setiap pembunuhan.

Setibanya di kantor polisi, Arion dibawa ke ruang interogasi. Suasana di sana dingin dan pengap, sama seperti ruang interogasi yang ia temui bertahun-tahun lalu. Hanya saja, kali ini ia tidak lagi berbohong. Ia tidak lagi menyangkal. Ia hanya duduk diam, pasrah, menunggu akhir dari segalanya.

Interogasi dimulai. Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan. Tentang mengapa ia membunuh Satrio, tentang foto polaroid, dan tentang semua pembunuhan yang terjadi. Arion menjawab dengan jujur, menceritakan tentang "si gelap", tentang trauma masa lalunya, dan tentang perjuangannya untuk mengendalikan dirinya sendiri.

Polisi yang menginterogasinya menatap Arion dengan mata penuh keraguan. "Arion, kau tahu itu terdengar gila, kan?"

"Aku tahu," jawab Arion, suaranya parau. "Tapi itu yang sebenarnya terjadi. Aku tidak ingin membunuh mereka. Aku... aku hanya tidak bisa mengendalikan 'si gelap'."

Bayu, yang duduk di ruangan yang sama, mendengarkan setiap kata-kata Arion. Ia mencoba meyakinkan rekan-rekannya, "Dia tidak berbohong. Aku mengenalnya. Ia bukan pembunuh. Ia... adalah korban."

Namun, tidak ada yang percaya. Semua bukti mengarah pada Arion. Sidik jarinya ada di pisau. Fotonya ada di setiap lokasi pembunuhan. Dan ia berada di lokasi kejadian saat pembunuhan terakhir. Arion tahu, ia tidak bisa membantah semua itu. Ia telah kalah.

Setelah berjam-jam interogasi, Arion dibawa ke sebuah sel. Sel itu kecil dan sempit, dengan sebuah kasur tipis dan toilet. Ia duduk di kasur itu, memeluk lututnya, dan menangis. Ia tidak menangis karena takut, ia menangis karena putus asa. Ia merasa, ia tidak punya siapa-siapa lagi.

Di dalam kesepian itu, "si gelap" berbisik lagi, suaranya terdengar puas. "Kau kalah, Arion. Kau kalah. Kau tidak bisa melawanku. Kau... adalah aku. Dan sekarang, kita akan mendapatkan keadilan yang sesungguhnya. Kita akan membusuk di penjara, sama seperti mereka."

Arion tidak menjawab. Ia hanya menunduk, membiarkan air matanya mengalir. Ia tahu, ia tidak bisa mengalahkan "si gelap". Tapi ia juga tahu, ia tidak akan pernah menyerah.

Pagi harinya, Bayu datang menjenguknya. "Arion, aku minta maaf. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Semua bukti mengarah padamu. Tapi... aku akan tetap di sisimu. Aku akan mencari cara untuk membantumu."

Arion hanya tersenyum getir, "Terima kasih, Bayu. Tapi... aku rasa, ini sudah takdirku. Aku harus menerima konsekuensinya."

Beberapa minggu kemudian, Arion diadili. Ia dinyatakan bersalah atas semua pembunuhan yang terjadi. Hukuman seumur hidup menantinya di balik jeruji besi. Ia mendengarkan putusan itu dengan tenang, tanpa perlawanan. Ia tahu, ia pantas mendapatkannya.

Namun, di dalam kesendiriannya di sel penjara, Arion tidak menyerah. Ia mulai menulis. Ia menulis sebuah novel, sebuah novel tentang dirinya, tentang "si gelap", tentang perjuangannya, dan tentang semua pembunuhan yang terjadi. Ia tidak menulis untuk membela diri, ia menulis untuk menceritakan kebenaran. Ia menulis agar dunia tahu, bahwa keadilan yang dibalut dendam, akan selalu berujung pada kehancuran.

Novel itu berjudul "Kaca Retak". Di dalamnya, Arion menceritakan semuanya, dari awal hingga akhir. Tentang bagaimana ia menemukan foto polaroid dirinya di samping jasad Gunawan. Tentang bagaimana ia menemukan kebenamaan tentang "si gelap". Tentang bagaimana ia mencoba untuk melawan, dan bagaimana ia akhirnya gagal. Ia juga menulis tentang Bayu, tentang Dr. Ratih, tentang orang-orang yang mencoba untuk membantunya, tetapi tidak bisa.

Novel itu pun diterbitkan. Nama Arion di novel itu adalah nama samaran, dan novel itu tidak pernah menjadi bestseller. Hanya sedikit orang yang membacanya, tetapi bagi mereka yang membacanya, novel itu adalah sebuah mahakarya. Mereka melihat perjuangan seorang manusia yang mencoba melawan dirinya sendiri. Mereka melihat betapa mengerikannya jika keadilan disalahgunakan.

Di dalam penjara, Arion membaca novelnya sendiri. Ia melihat dirinya di dalam novel itu. Ia melihat dirinya, dan ia melihat "si gelap". Ia tidak lagi membenci "si gelap". Ia hanya... memahaminya. Ia tahu, "si gelap" adalah bagian dari dirinya yang terluka. Bagian dari dirinya yang mencari keadilan. Dan ia... ia adalah bagian dari dirinya yang mencoba untuk menjadi lebih baik.

Arion tidak pernah menyerah. Ia terus menulis, ia terus belajar. Ia menjadi seorang advokat bagi para narapidana, ia membantu mereka yang tidak bersalah. Ia menjadi harapan bagi mereka yang putus asa. Ia tidak lagi menjadi monster, ia menjadi manusia.

Beberapa tahun kemudian, Bayu datang menjenguknya lagi. "Arion, aku bangga padamu," katanya. "Kau telah membuktikan, bahwa kau adalah orang yang lebih baik. Kau telah membuktikan, bahwa 'si gelap' tidak bisa mengalahkanmu."

Arion tersenyum, "Aku tidak tahu, Bayu. Aku tidak tahu apakah aku telah mengalahkannya atau tidak. Aku hanya tahu... aku telah belajar untuk hidup bersamanya."

Di dalam kesepian selnya, Arion menulis lagi. Ia menulis sebuah novel baru, tentang harapan dan penebusan. Ia tidak lagi melihat dirinya sebagai monster, ia melihat dirinya sebagai manusia yang rapuh, yang mencoba untuk menjadi lebih kuat.

Dan di dalam hatinya, ia tahu, pertempuran belum berakhir. Pertempuran dengan "si gelap" akan selalu ada. Tapi ia juga tahu, ia tidak akan pernah menyerah. Ia akan terus berjuang. Hingga akhir hayatnya.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)