Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,439
Kabut Asap Pelabuhan
Horor

Bab 1: Sensor Pertama

Udara Makassar, di awal November 2025, terasa lengket dan asin. Bima menyukai sensasi itu, aroma laut yang kuat bercampur knalpot solar dari truk-truk besar. Ini adalah kota barunya, rumah barunya, setelah dua tahun berkelana dari satu proyek pemantauan ke proyek lain. Pelabuhan Makassar, dengan segala hiruk-pikuknya, adalah kanvas kosong yang siap ia taklukkan. Setidaknya, itulah yang ia pikirkan saat melangkah ke dalam Stasiun Pemantau Kualitas Udara, sebuah bangunan kokoh berlantai dua yang menempel di sudut area kargo, agak terpencil dari keramaian utama. Dindingnya yang bercat krem kusam, sedikit mengelupas di sana-sini, mencerminkan usianya yang tak lagi muda. Di sekelilingnya, tumpukan kontainer berwarna-warni menjulang seperti balok-balok Lego raksasa di bawah sorot lampu pelabuhan yang redup, membentuk labirin bayangan yang tak berujung.

Malam pertamanya di shift, 23:00 WITA. Lampu neon di ruang kontrol berdengung pelan, memantulkan cahaya pucat di deretan monitor. Bau disinfektan bercampur debu tipis memenuhi ruangan. Bima menyesap kopi hitamnya, matanya terpaku pada grafik-grafik yang bergulir di layar utama. Sebagai teknisi pemantau lingkungan yang relatif muda, ia selalu bangga dengan kepekaannya terhadap data, kemampuannya melihat pola yang orang lain lewatkan. Ia menganggap dirinya seorang detektif partikel, mencari anomali di antara milyaran angka. Bukan hanya sekadar pekerjaan, ini adalah panggilan, sebuah pencarian kebenaran di balik angka-angka kering. Ia percaya, setiap spike atau drop memiliki cerita.

Di sampingnya, Pak Darto, seorang veteran pemantau dengan perut buncit dan mata lelah, mendengkur di kursinya, koran sore tergeletak di pangkuan. Jam segini, sebagian besar pekerja sudah pulang, menyisakan shift malam yang sepi dan terkadang membosankan. Bagi Pak Darto, ini hanyalah rutinitas yang membosankan. Tapi Bima tidak pernah mengeluh bosan. Baginya, setiap angka adalah potensi cerita yang belum terungkap.

Tepat pukul 23:47. Angka di salah satu grafik, yang memantau partikel PM2.5 – partikel mikroskopis yang bisa masuk jauh ke paru-paru – tiba-tiba melonjak. Bukan lonjakan biasa. Grafik itu mencelat naik seperti garis di alat pendeteksi gempa, melewati batas aman, lalu menembus batas bahaya. Sebuah garis merah berkedip muncul di layar, diiringi suara beep lembut dari konsol utama. Suara itu cukup untuk membuat Pak Darto sedikit menggeliat, namun tidak sampai membuatnya terbangun sepenuhnya.

Bima menegakkan duduknya, sensasi dingin menjalari punggungnya. Ia belum pernah melihat spike seaneh ini. "Pak Darto, lihat ini," bisiknya, tak ingin mengagetkan veteran itu.

Pak Darto menggeliat, mengerjap-ngerjapkan matanya yang sembap. "Ada apa, Bim?" suaranya serak dan berat karena kantuk.

"PM2.5 melonjak drastis. Ini bukan biasa." Bima menunjuk layar, jarinya menelusuri garis merah yang masih berkedip. "Lihat, ini di luar batas normal. Sensornya bagus, kalibrasi terakhir tadi siang. Saya yang kalibrasi sendiri."

Pak Darto melirik sekilas, kemudian menguap lebar, menampakkan giginya yang sedikit kuning. "Ah, itu lagi. Sudah biasa itu, Bim. Sensor lama itu, sering glitch kalau sudah jam segini." Ia melambaikan tangannya yang gemuk, seolah mengusir nyamuk. "Matikan saja alarmnya. Besok pagi juga normal lagi. Jangan terlalu serius di malam pertama. Santai saja." Ia kembali mendengkur, lebih dalam dari sebelumnya.

Bima mengerutkan kening. "Glitch? Tapi polanya... aneh, Pak. Biasanya kalau glitch itu langsung nol atau langsung mentok, atau acak. Ini naik perlahan, lalu melonjak tajam, bertahan beberapa menit, terus naik lagi seperti ada yang memompa." Ia memperbesar grafik, memperlihatkan pola spike yang tidak lazim, garisnya membentuk semacam bukit-bukit kecil sebelum menukik tajam. Ini bukan glitch, ini sebuah peristiwa.

"Sudah, sudah," Pak Darto bersikeras, melambaikan tangan lagi. "Tidurlah sebentar kalau mau. Ini shift santai. Jangan terlalu dipikirkan. Nanti cepat tua." Ia kembali mendengkur, napasnya terdengar berat dan teratur. Bima merasa diabaikan, atau lebih buruk, diremehkan.

Bima tidak bisa tidur. Pikirannya terusik. Kata "glitch" terasa seperti penghinaan terhadap data yang berbicara begitu jelas. Sensor tidak glitch seperti itu. Ini bukan masalah kalibrasi yang bergeser. Ini adalah pola yang disengaja, sebuah anomali yang terasa hidup, berdenyut dengan ritmenya sendiri. Ia menghabiskan sisa malam itu dengan membolak-balik data historis. Ia menemukan hal yang sama, lonjakan serupa yang dicatat dan kemudian diabaikan, ditandai sebagai "malfungsi sistem" atau "gangguan eksternal." Tapi kini, setelah melihatnya langsung, Bima yakin. Ia bersumpah akan mencari sumbernya. Ada sesuatu yang salah di pelabuhan ini, dan ia akan mengungkapnya. Perasaan tertantang ini bercampur dengan sedikit kegelisahan yang mulai merayap di benaknya. Ia tidak suka ada yang luput dari pengawasannya. Terlebih lagi, ia benci ketika orang lain dengan mudah menutup mata terhadap anomali.

Bab 2: Jam-jam Terlarang

Bima tidak bisa melepaskan pikirannya dari lonjakan partikel aneh itu. Sepanjang siang hari berikutnya, ketika seharusnya ia beristirahat, otaknya terus bekerja, memutar-mutar angka dan grafik. Ia membuka semua arsip data stasiun, menyelami laporan-laporan lama, berusaha mencari benang merah. Apa yang ia temukan hanya memperkuat kecurigaannya: pola anomali itu selalu muncul pada jam-jam yang sama. Tepat pukul 23:47, dan bertahan hingga sekitar pukul 02:15 dini hari. Setiap hari, hampir tanpa kecuali, lonjakan itu terjadi, selalu ditandai sebagai glitch atau error dalam catatan log. Ini adalah sebuah anomali yang konsisten.

"Tidak mungkin ini glitch," gumam Bima pada diri sendiri, sambil menyeruput kopi keempatnya di kafe dekat pelabuhan. Aroma kopi yang pekat bahkan tidak mampu mengusir bau laut dan knalpot yang seolah menempel di bajunya. Ia merasa ada yang sengaja mengabaikan atau bahkan menutupi keberadaan fenomena ini. Siapa? Mengapa? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya.

Obsesinya kian menjadi. Bima mulai mengajukan diri untuk mengambil shift lembur di malam hari, terutama pada jam-jam "terlarang" itu. Awalnya, atasannya sedikit terheran-heran, mengira Bima adalah seorang pekerja keras yang berlebihan dan terlalu bersemangat. Namun, Bima berhasil meyakinkan mereka dengan alasan "ingin membiasakan diri dengan sistem malam dan perangkat lama." Alasan yang kedengaran masuk akal, mengingat ia memang pendatang baru dan ingin menunjukkan dedikasi.

Malam-malam berikutnya, Bima sendirian di ruang kontrol. Heningnya malam di pelabuhan sangat berbeda dengan keramaian siang hari. Suara crane yang menderu, deru mesin kapal yang mondar-mandir, dan teriakan buruh yang riuh digantikan oleh dengungan pelabuhan yang rendah dan konstan. Bima mematikan semua musik atau podcast yang biasa ia dengarkan, ingin merasakan setiap detail dari suasana malam. Ia membiarkan keheningan mengisi ruang, hanya suara kipas server yang mendesis dan klik sesekali dari keyboardnya. Ini adalah medan tempurnya, dan ia membutuhkan semua indranya.

Satu minggu berlalu. Setiap malam, lonjakan partikel itu selalu datang, setia pada jadwalnya, pukul 23:47. Bima mengamati, mencatat, membandingkan dengan data lain. Tidak ada korelasi dengan aktivitas kapal, tidak ada dengan arah angin, tidak ada dengan kelembaban udara. Anomali itu seperti muncul dari ketiadaan, selalu di jam yang sama. Ia mencoba mencari pola suhu, tekanan atmosfer, bahkan aktivitas seismik kecil, tetapi nihil. Ini adalah fenomena yang berdiri sendiri.

Pada malam kesepuluh ia lembur sendirian, tepat pukul 00:30, di tengah puncak lonjakan partikel yang ia amati di layar, Bima mendengar sesuatu. Awalnya, ia mengira itu hanya imajinasinya, efek kelelahan yang mulai menghantuinya. Sebuah dengungan rendah, seperti resonansi berat yang datang dari kejauhan. Bukan suara mesin, bukan suara generator. Suara itu terasa lebih dalam, lebih organik, seolah berasal dari dalam bumi itu sendiri, atau dari sesuatu yang sangat besar dan kuno yang bersembunyi di bawah permukaan.

Bima mengerutkan kening. Ia bangkit dari kursinya, berjalan ke jendela besar yang menghadap dermaga. Dermaga itu sepi, hanya diterangi lampu-lampu pelabuhan yang redup, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari. Tidak ada pergerakan signifikan. Kontainer-kontainer menjulang gelap, siluet-siluet raksasa di bawah rembulan yang tertutup awan, menambah kesan suram dan mencekam. Ia mencoba fokus, mendengarkan.

Dengungan itu samar, nyaris tak terdengar. Ia harus menahan napas, memusatkan seluruh indranya. Ya, itu ada. Sebuah vibrasi yang tidak ia rasakan melalui lantai, tetapi ia rasakan di telinganya, di dalam tengkoraknya. Rasanya seperti ada sesuatu yang sangat besar, sangat berat, bergerak atau beresonansi di suatu tempat di dermaga kosong itu. Ia menyipitkan mata, mencoba melihat lebih jauh ke dalam kegelapan di antara tumpukan kontainer, ke arah mana suara itu seolah-olah datang. Namun, tidak ada apa-apa yang terlihat. Hanya kegelapan dan bayangan yang menipu mata.

Bima kembali ke monitor, grafik partikel masih melonjak tinggi. Ia menoleh lagi ke jendela. Apakah ia mulai berhalusinasi? Apakah kelelahan yang menumpuk, kurang tidur yang kronis, sudah mulai menggerogoti kewarasannya? Ia tahu risiko dari terlalu fokus pada satu hal, terutama ketika ia sendiri tidak menemukan jawaban yang jelas. Tinnitus? Bisa jadi. Ia terlalu sering memakai headphone saat kuliah dulu. Atau mungkin efek suara mesin yang terus-menerus di pelabuhan? Namun, suara ini berbeda. Lebih hidup.

Ia memaksakan diri untuk mengabaikan suara itu, kembali fokus pada angka-angka di layar. Tapi dengungan itu tidak pergi. Ia meresap ke dalam keheningan ruang kontrol, menjadi latar belakang yang konstan. Setiap kali Bima mencoba fokus pada data, dengungan itu seolah-olah menjadi lebih jelas, lebih mendalam. Itu bukan lagi suara di telinganya, tetapi seperti suara di dalam kepalanya, di dalam otaknya, bergema di antara rongga-rongga kepalanya.

Malam-malam berikutnya, dengungan itu semakin sering muncul. Selalu di "jam-jam terlarang." Selalu ketika partikel di layar melonjak. Kadang terasa lebih dekat, kadang lebih jauh, tetapi selalu ada. Bima mulai melakukan eksperimen kecil: ia mematikan semua perangkat elektronik yang tidak penting di ruang kontrol, hanya menyisakan monitor utama. Dengungan itu tetap ada. Ia bahkan mencoba menutup telinganya rapat-rapat. Suara itu tidak hilang sepenuhnya, hanya sedikit meredup, seolah datang dari dalam dirinya sendiri, seperti darah yang mengalir dalam vena, namun lebih berat dan lebih asing.

Kelelahan Bima semakin parah. Ia sering tertidur di meja, terbangun dengan leher kaku dan kepala pusing. Bau kopi menjadi teman setianya, ia mengonsumsinya untuk menjaga dirinya tetap terjaga. Wajahnya terlihat pucat di cermin kamar mandi stasiun, matanya cekung dengan lingkaran hitam. Rekan-rekan kerjanya mulai melihat perubahan itu. Pak Darto kadang berkomentar, "Wajahmu seperti zombie, Bim. Jangan terlalu keras kerja. Gadis-gadis Makassar tidak suka laki-laki yang pucat." Komentar itu tidak mempan.

Tapi Bima tidak peduli. Ia merasa semakin dekat dengan kebenaran. Dengungan itu, partikel-partikel itu, mereka saling terkait. Ia yakin ada sesuatu di pelabuhan ini yang tidak seharusnya ada, sesuatu yang menghasilkan partikel-partikel misterius itu dan memancarkan suara aneh ini. Ia mulai menggambar sketsa-sketsa acak di buku catatannya—peta dermaga, pola-pola gelombang suara yang ia bayangkan, simbol-simbol aneh yang muncul dari alam bawah sadarnya, seperti coretan-coretan kuno. Tidur Bima mulai dipenuhi mimpi-mimpi aneh. Ia berada di tengah kabut tebal yang mencekik, mendengar dengungan yang menusuk telinga, mencium bau yang tidak bisa ia identifikasi namun terasa mengerikan, dan merasakan kulitnya gatal-gatal, seperti terbakar. Ia akan terbangun dengan napas terengah-engah, disorientasi, bertanya-tanya apakah itu mimpi atau ia benar-benar pernah berada di dalam kabut itu. Sensasi itu terasa begitu nyata, terlalu nyata untuk sekadar mimpi.

Keraguan akan kewarasannya sendiri mulai menjadi bagian dari horornya. Apakah ia benar-benar seorang detektif ilmiah yang akan mengungkap misteri, atau hanya seorang teknisi yang kelelahan dan mulai gila? Pertanyaan ini menghantuinya setiap saat, menggantung seperti pedang di atas kepalanya. Namun, di antara semua keraguan itu, ada satu keyakinan yang tetap teguh: kabut itu nyata. Partikel itu nyata. Dan dengungan itu, entah dari mana asalnya, adalah bagian dari itu semua. Bima tidak akan berhenti sampai ia menemukan sumbernya, bahkan jika itu berarti ia harus mengorbankan tidurnya, kesehatannya, atau bahkan kewarasannya sendiri. Obsesi ini bukan lagi sekadar pekerjaan, melainkan misi pribadi yang mengikatnya pada kegelapan malam pelabuhan. Ia merasa ditarik oleh kekuatan tak kasat mata menuju inti misteri ini, seolah kabut itu sendiri memanggilnya, menggodanya untuk datang lebih dekat.

Ia tahu, suatu saat, ia harus mendekat. Ia tidak bisa hanya memantau dari jauh. Ia harus melangkah masuk ke dalam kabut itu, ke dalam dengungan itu, untuk benar-benar memahami apa yang terjadi. Sebuah keputusan yang berani, atau mungkin, sebuah langkah menuju jurang kegilaan yang tak terhindarkan. Bima belum tahu. Yang ia tahu hanyalah, ia harus terus maju. Dan malam-malam di pelabuhan ini terasa semakin panjang, semakin berat, semakin penuh misteri yang menunggu untuk dipecahkan.

Tentu, mari kita kembangkan Bab 3 dan Bab 4 dari kerangka plot "Kabut Asap dari Pelabuhan" menjadi sekitar 3500 kata, dengan fokus pada pengalaman sensorik Bima saat terpapar kabut, efek distorsi pada persepsinya, dan penemuan pola mengerikan dalam data.

Bab 3: Sampel Gelap

Bima tahu ia tidak bisa terus-menerus mengamati dari kejauhan. Data mentah memberinya grafik dan angka, dengungan memberi sensasi, tapi ia butuh bukti fisik. Ia butuh sampel. Ia butuh untuk merasakan kabut itu sendiri. Obsesi itu kini telah menguasai dirinya sepenuhnya, menggeser semua kehati-hatian yang seharusnya ia miliki sebagai seorang profesional.

Pukul 23:30, beberapa hari setelah pertemuan "berdengung" terakhirnya. Bima kembali ke Stasiun Pemantau, kali ini dengan persiapan berbeda. Di dalam tas punggungnya ada sampler portabel berteknologi tinggi, sebuah perangkat genggam seukuran tablet yang bisa mendeteksi dan menganalisis partikel ultra-halus, gas tak terlihat, dan bahkan anomali energi. Ia sengaja meminjamnya dari lab penelitian universitas tempat ia dulu bekerja, dengan dalih "studi independen tentang kualitas udara di pelabuhan." Di sakunya, ia menyimpan senter kecil yang kuat dan pisau lipat – bukan untuk bertarung, tapi untuk berjaga-jaga jika ada sesuatu yang menghalangi jalannya.

Ia menunggu Pak Darto tertidur pulas di kursinya, napasnya terdengar berat dan ritmis. Dengan gerakan hati-hati, Bima menyelinap keluar dari ruang kontrol. Pintu samping yang jarang digunakan mengeluarkan bunyi derit kecil yang menusuk telinga di keheningan malam, namun Pak Darto tidak terusik.

Pelabuhan di malam hari adalah labirin yang berbeda dari siang. Kontainer-kontainer raksasa menjulang tinggi, menciptakan ngarai-ngarai gelap dan lorong-lorong berliku. Lampu-lampu sorot yang jauh hanya mampu menerangi sebagian kecil area, meninggalkan sisanya dalam bayangan pekat. Bima melangkah cepat, menghindari cahaya lampu, bergerak seperti hantu di antara tumpukan besi dan baja. Ia sudah mempelajari peta pelabuhan dengan detail, menandai area-area terlarang, terutama yang berdekatan dengan titik spike partikel tertinggi di datanya.

Ia menuju ke arah dermaga lama, area yang jarang disentuh dan digunakan, tempat rumor ledakan tanker 2005 itu berpusar. Dinding betonnya retak-retak, permukaannya ditumbuhi lumut dan jamur. Angin laut bertiup lebih dingin di sini, membawa serta aroma garam yang kuat bercampur karat dan sisa-sisa minyak.

Saat ia tiba di area yang ia tandai, dengungan itu mulai terasa. Kali ini, jauh lebih jelas daripada di dalam stasiun. Dengungan itu tidak hanya terdengar di telinga, tetapi juga terasa sebagai vibrasi rendah di tulang dadanya, sebuah resonansi yang membuatnya sedikit mual. Ia menghentikan langkah, mengeluarkan sampler portabelnya, dan mengaktifkannya.

Layarnya menyala, menunjukkan angka "0" untuk partikel PM2.5. Awalnya, ia merasa sedikit kecewa, mengira alatnya tidak berfungsi. Namun, saat ia melangkah lebih jauh ke area yang lebih gelap, di antara dua tumpukan kontainer yang membentuk celah sempit, ia merasakannya.

Kabut itu ada.

Tidak terlihat oleh mata telanjang, bukan asap tebal yang kasat mata seperti kabut fajar. Ini adalah sesuatu yang nyaris transparan, seperti uap air yang sangat tipis, nyaris tak berwarna. Namun, ia bisa merasakannya. Begitu Bima melangkah masuk, melewati batas tak terlihat itu, panca indranya langsung terbakar.

Sensasi pertama adalah bau. Bukan bau biasa. Sebuah perpaduan yang mengerikan, menjijikkan, dan entah bagaimana, akrab. Ada bau daging hangus yang menyengat, seperti bau sisa bakaran yang belum sepenuhnya padam, bercampur dengan aroma asin yang pekat dari air laut yang dingin. Tapi ada lagi, sesuatu yang lebih dalam, seperti bau logam terbakar dan kimia tajam yang menusuk hidung, membuat tenggorokannya tercekat. Itu adalah bau yang merujuk pada kehancuran, pada sesuatu yang telah hancur dan terbakar habis. Bau ini begitu kuat sehingga ia nyaris muntah.

Kemudian matanya. Mata Bima mulai perih, seperti terkena asap rokok pekat atau iritasi kimia. Ia mengedipkan mata berulang kali, air mata mulai menggenang, membuat penglihatannya kabur. Cahaya rembulan dan lampu pelabuhan di kejauhan tampak memburam dan sedikit berpendar.

Dan kulitnya. Sebuah rasa gatal yang intens mulai menjalar di lengannya, di lehernya, di wajahnya—di semua bagian kulitnya yang terbuka. Sensasi ini bukan seperti gatal karena gigitan serangga, melainkan seperti ada ribuan jarum-jarum mikroskopis yang menusuk-nusuk permukaannya, atau partikel-partikel tak terlihat yang menempel dan bergesekan. Ia menggaruk-garuk lengannya secara refleks, merasakan panas yang aneh di bawah kulitnya.

Ia mengangkat samplernya ke depan. Layar yang tadinya menunjukkan "0" kini melonjak liar. Angka PM2.5 menembus batas, kemudian PM1.0, bahkan partikel yang lebih halus lagi, yang sensor biasa tidak bisa tangkap. Ada juga pembacaan anomali dalam spektrum gelombang elektromagnetik yang tidak biasa, yang ia tidak bisa identifikasi. Ini bukan glitch. Ini adalah realitas yang ia hadapi.

Bima tetap berdiri di sana, di tengah kabut yang tak terlihat itu, membiarkan sensasi itu menyerangnya. Dengungan itu kini terasa mengelilinginya, seolah kabut itu sendiri yang bergetar, memancarkan suara. Ia merasakan kepalanya mulai berdenyut, sensasi vertigo menyerangnya. Ia tahu ia harus segera keluar, tapi sebuah kekuatan tak terlihat menahannya. Rasa ingin tahu, obsesi, dan sedikit ketakutan bercampur menjadi satu.

Ia mengambil beberapa langkah lagi, masuk lebih dalam. Sensasi itu makin kuat. Bau hangus makin menusuk, mata makin perih hingga air mata mengalir deras, dan gatal di kulit terasa seperti terbakar. Napasnya mulai pendek, dadanya terasa sesak. Ia mencoba bernapas dangkal, takut menghirup lebih banyak partikel tak kasat mata itu.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, Bima berhasil memaksa dirinya mundur. Saat ia melangkah keluar dari area kabut tipis itu, sensasi perih di mata, gatal di kulit, dan bau yang menusuk mulai mereda perlahan, seperti gelombang panas yang surut. Ia terhuyung sedikit, menyandar ke kontainer terdekat, mengambil napas dalam-dalam. Tubuhnya lemas, otaknya terasa kabur. Ia merogoh sakunya, mengeluarkan botol air mineral dan meminumnya hingga tandas, berharap bisa membersihkan sisa rasa aneh di tenggorokannya.

Ia melihat ke sampler portabelnya. Layarnya masih berkedip-kedip, menunjukkan pembacaan tinggi dari titik di mana ia berdiri tadi. Sebuah grafik baru mulai terbentuk, menunjukkan lonjakan yang persis sama dengan yang ia lihat di stasiun. Ini adalah buktinya. Kabut ini nyata. Dan itu berbahaya.

Obsesinya kini bukan lagi sekadar mencari kebenaran, tetapi juga menyingkirkan kehati-hatian. Ia tahu gejala-gejala ini tidak normal, bahkan mungkin berbahaya. Tetapi ia merahasiakannya. Dari Pak Darto, dari atasannya, dari siapa pun. Ini adalah rahasianya, misterinya, dan ia tidak ingin ada yang menghentikannya. Ia merasa telah menemukan sesuatu yang besar, sesuatu yang selama ini tersembunyi di balik angka-angka dan asumsi "glitch." Dan ia harus tahu lebih banyak. Bahkan jika itu berarti mengorbankan kesehatan fisiknya sendiri.

Bab 4: Distorsi

Pengalaman pertama Bima di dalam kabut itu meninggalkan jejak yang dalam, bukan hanya di fisiknya tetapi juga di mentalnya. Bau hangus yang menusuk, rasa gatal yang tak kunjung hilang di bawah kulitnya, dan dengungan yang kini seolah menjadi soundtrack permanen di otaknya. Ia tidur sebentar di siang hari, namun setiap kali memejamkan mata, ia melihat bayangan kabut tipis itu di pelupuk matanya, mendengar dengungan yang mengganggu.

Efek kabut itu kian ekstrem. Bima mulai merasakan pergeseran dalam persepsinya. Lampu-lampu pelabuhan yang tadinya berwarna kuning terang, kini tampak berkedip-kedip dengan warna aneh: hijau kemerahan, seolah ada filter distorsi yang menempel di retinanya. Warna-warna benda di sekelilingnya juga terlihat sedikit off, lebih gelap, lebih suram, seolah seluruh dunia telah dicuci dengan warna abu-abu.

Suatu malam, saat ia kembali mengambil shift malam (lagi-lagi dengan dalih "memastikan sensor berfungsi optimal"), ia melihat sesuatu di kejauhan. Di atas permukaan laut, di area yang biasanya kosong, siluet-siluet panjang seakan berjalan di atas air. Bukan kapal, bukan perahu. Siluet itu bergerak lambat, tak beraturan, seperti bayangan manusia yang memanjang dan meliuk-liuk, terpantul dari lampu pelabuhan yang berkedip-kedip aneh. Jantung Bima berdebar kencang. Ia mengusap matanya berulang kali, mencoba mengusir ilusi itu, tapi siluet itu tetap ada, menari-nari di ambang penglihatannya, nyaris tak terlihat namun terasa begitu nyata. Apakah ini halusinasi? Atau kabut itu mulai menunjukkan wujudnya yang sebenarnya?

"Aku harus istirahat," gumamnya, mencoba meyakinkan diri. "Ini hanya kelelahan."

Namun, di dalam lubuk hatinya, ia tahu itu lebih dari sekadar kelelahan. Kabut itu melakukan sesuatu padanya, pada otaknya, pada panca indranya. Ia merasa seolah dunia di sekelilingnya mulai bengkok, melengkung, dan memutar.

Kembali ke ruang kontrol, ia mencoba fokus pada data. Ia membuka semua file yang telah ia kumpulkan, semua pembacaan partikel dari sampler portabelnya, semua data historis dari stasiun pusat. Ia mulai menyunting grafik-grafik itu, menyatukan setiap spike aneh, setiap lonjakan misterius, dari berbagai waktu dan lokasi di pelabuhan. Ia menghabiskan berjam-jam, menyatukan titik demi titik, mencari pola yang lebih besar.

Tangan Bima gemetar saat ia melihatnya.

Garis-garis tren partikel yang ia kumpulkan, dari puluhan spike yang berbeda selama berbulan-bulan, kini membentuk sebuah pola yang mengerikan. Itu bukan pola acak. Bukan hanya kurva naik turun. Ketika semua titik data yang tinggi itu disambungkan, mereka menyusun sebuah bentuk yang samar, namun sangat familiar.

Itu adalah peta.

Bukan peta pelabuhan modern. Peta itu sangat detail, dengan lekukan dan sudut yang aneh, menunjuk ke area-area yang kini tidak lagi ada, atau telah dibangun ulang. Bima merasa otaknya membeku. Ia mencari di arsip lama pelabuhan, yang masih tersimpan dalam format digital. Ia menemukan sebuah peta lama, peta tata letak pelabuhan Makassar dari tahun 2005, sebelum renovasi besar-besaran.

Dan ia membandingkannya.

Keringat dingin membasahi punggung Bima. Peta yang terbentuk dari garis tren partikel itu berkorelasi secara presisi dengan peta dermaga bekas kebakaran besar 20 tahun lalu, tahun 2005. Sebuah kebakaran hebat yang menghanguskan sebagian besar area lama pelabuhan, menewaskan puluhan orang, dan menyebabkan kerusakan parah. Area yang ia kunjungi tadi malam, tempat ia merasakan kabut itu, adalah pusat dari kebakaran tersebut.

Jantungnya berdebar kencang, memompa darah dengan liar di telinganya. Itu bukan hanya data acak. Itu bukan glitch. Itu adalah jejak. Jejak dari sebuah peristiwa tragis, yang entah bagaimana, telah mengendap di udara, berwujud partikel tak terlihat, dan memanifestasikan diri sebagai kabut yang ia rasakan.

"Jejak tragedi," bisiknya, suaranya parau. Ia merasa seperti seorang arkeolog yang baru saja menemukan peninggalan kuno dari peradaban yang hilang. Tetapi ini bukan peninggalan. Ini adalah sesuatu yang hidup, bernapas, dan memengaruhi lingkungan.

Pikiran Bima berpacu. Jika kabut ini adalah "ingatan" atau "residu" dari kebakaran itu, apa sebenarnya yang membentuknya? Gas yang tidak terbakar habis? Sisa-sisa bahan kimia yang bereaksi dengan udara dan kelembaban? Atau, sesuatu yang lebih mengerikan? Ia teringat gosip lama tentang pencemaran kimia yang ditutupi oleh otoritas. Mungkinkah kabut ini adalah manifestasi dari polutan yang tidak pernah benar-benar hilang, yang terus berputar dalam siklus tak berujung, muncul kembali di malam hari?

Ia menoleh ke jendela, memandang kegelapan di luar. Bayangan-bayangan siluet yang berjalan di atas air laut kini terasa lebih menakutkan. Apakah itu ilusi semata, ataukah sisa-sisa dari mereka yang tewas dalam tragedi itu, kini termanifestasi dalam kabut, bergerak mengikuti pola yang telah mengendap di udara?

Bima merasakan paranoia mulai merayapi benaknya. Tidak ada yang akan percaya padanya. Mereka semua akan mengatakan ia gila, bahwa ia terlalu lelah, bahwa ia terlalu banyak minum kopi. Bahkan ia sendiri mulai meragukan kewarasannya saat melihat siluet-siluet itu. Tapi data itu nyata. Peta itu nyata. Dan sensasi yang ia rasakan dari kabut itu… sangat nyata.

Ia harus mencari tahu lebih banyak. Ia harus membuktikan ini semua. Obsesinya telah berubah menjadi misi, sebuah perburuan yang membahayakan dirinya sendiri. Ia merasa seolah-olah ia telah membuka kotak Pandora, dan sekarang, semua isinya mulai merayap keluar, menyerangnya dari segala arah. Suara dengungan itu kini terasa lebih kuat, seolah merayakan penemuannya. Atau mungkin, memperingatkannya.

Bima meraih ponselnya, mencari arsip berita lama tentang kebakaran pelabuhan 2005. Ia menemukan beberapa artikel, sebagian besar singkat, dengan detail yang minim. Tapi satu hal yang jelas: kebakaran itu sangat besar, sangat merusak, dan banyak korban. Ia membandingkan lokasi yang disebutkan dalam berita dengan peta yang ia temukan. Semuanya cocok.

Sebuah pikiran menakutkan muncul di benaknya: jika kabut ini adalah "ingatan kimia" dari tragedi itu, dan jika itu bisa memengaruhi panca indranya, memunculkan halusinasi, apa lagi yang bisa dilakukannya? Apakah ia menyerap sesuatu yang mengubahnya? Ia menyentuh kulitnya, masih terasa sedikit gatal, walau tidak sekuat tadi malam. Bau hangus itu juga masih terbayang-bayang di hidungnya.

Bima tahu ia melangkah di batas tipis antara penemuan ilmiah dan kegilaan. Setiap data yang ia temukan menguatkan teorinya, namun setiap sensasi yang ia alami mengikis kewarasannya. Ia kini sendirian dalam perburuan ini, terisolasi dalam pengetahuannya yang mengerikan. Dunia di sekitarnya tampak normal, tetapi ia tahu ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya, sebuah tragedi yang berulang setiap malam dalam bentuk kabut tak terlihat.

Ia membiarkan pandangannya melayang ke luar jendela, ke arah dermaga yang diselimuti kegelapan. Di kejauhan, lampu-lampunya masih berkedip hijau kemerahan. Siluet-siluet itu tidak lagi terlihat, atau mungkin ia sudah terbiasa dengan mereka. Tetapi dengungan itu, dengungan rendah yang terus-menerus, kini terasa seperti detak jantung pelabuhan itu sendiri. Detak jantung sebuah entitas yang terbangun setiap malam, memuntahkan sisa-sisa masa lalunya yang tragis ke udara.

Bima meraih mousenya, membuka program analisis data yang lebih canggih. Ia akan menggali lebih dalam. Ia akan mencari tahu komposisi kimiawi dari partikel-partikel itu, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada malam tragis 20 tahun lalu, dan bagaimana itu bisa memanifestasikan diri hingga hari ini. Ini bukan lagi sekadar pekerjaan atau hobi, ini adalah perjuangan untuk memahami realitasnya sendiri. Ia mempertaruhkan segalanya demi kabut itu.

Bab 5: Deru Besi & Desas-desus

Penemuan peta dermaga yang terbentuk dari data partikel telah mengubah segalanya bagi Bima. Ini bukan lagi sekadar anomali atau glitch; ini adalah sebuah jejak tragedi, sebuah sidik jari dari masa lalu yang terus menghantui. Malam-malamnya di stasiun pemantau kini terasa lebih hidup, lebih mencekam. Setiap beep dari monitor, setiap kedipan lampu yang bergeser dari kuning ke hijau kemerahan, setiap hembusan angin laut yang membawa aroma aneh, terasa seperti bisikan dari kabut itu sendiri.

Bima semakin menarik diri dari lingkungan sosial. Makan menjadi formalitas yang ia lupakan, tidurnya hanya berupa istirahat pendek yang dipenuhi mimpi buruk. Wajahnya yang dulunya cerah kini cekung, matanya selalu memerah, dan lingkaran hitam tebal di bawahnya menjadi bukti nyata dari perjuangannya. Ia terlalu sibuk, terlalu terobsesi, untuk memedulikan penampilannya. Setiap detik dihabiskan untuk menggali lebih dalam, membandingkan data, mencari korelasi baru.

Dalam pencariannya, Bima mulai menyelami arsip berita lama yang lebih mendalam, tidak hanya yang singkat dan umum. Ia mencari artikel koran lokal, laporan investigasi, bahkan forum-forum daring yang membahas insiden Pelabuhan Makassar tahun 2005. Di sana, di antara tumpukan informasi yang terkadang bias dan terputus, ia menemukan gosip-gosip lama yang menguatkan hipotesisnya. Cerita-cerita tentang ledakan tanker yang menewaskan puluhan buruh – bukan hanya belasan seperti yang disebutkan dalam laporan resmi – mulai menjadi lebih detail. Para buruh tua yang selamat dari insiden itu, atau keluarga korban, berbisik tentang hal-hal yang tidak masuk akal, tentang "pencemaran kimia" yang jauh lebih parah daripada yang diumumkan ke publik. Bahan kimia aneh yang seharusnya tidak ada di tanker pengangkut minyak biasa. Ada desas-desus tentang kapal yang mengangkut limbah berbahaya secara ilegal, atau mungkin hasil eksperimen terlarang yang berakhir bencana. Pihak otoritas disebut-sebut menutupi segalanya, dari jumlah korban sebenarnya hingga jenis kontaminan yang dilepaskan ke udara dan laut. Dokumen-dokumen terkait ledakan itu sebagian besar disegel atau dinyatakan "hilang."

Teori Bima tentang "ingatan kimia" yang mengendap di udara terasa semakin kuat. Kabut itu bukan sekadar residu biasa, melainkan manifestasi dari kebenaran yang terkubur, yang kini mendesak untuk muncul ke permukaan.

Obsesi Bima tidak luput dari perhatian atasannya, Bapak Wijoyo, seorang pria paruh baya yang selalu rapi dan punya senyum formal yang tak pernah sampai ke mata. Wijoyo memanggil Bima ke kantornya yang ber-AC dingin, berbanding terbalik dengan panasnya pelabuhan.

"Bima," Wijoyo memulai, nadanya tenang namun dingin, "Saya perhatikan performamu belakangan ini. Jam lembur yang berlebihan, catatan aneh tentang 'pola energi' di log harian, dan... yah, penampilanmu. Ini bukan Bima yang saya rekrut."

Bima mencoba menjelaskan, matanya berbinar karena gairah. "Pak, saya menemukan sesuatu yang penting. Lonjakan partikel itu bukan glitch. Itu membentuk pola, peta dari area kebakaran 2005. Saya yakin ada reaksi kimia-biologis misterius yang terus terjadi di sana, mungkin terkait dengan kontaminan yang disembunyikan."

Wijoyo hanya menatapnya kosong. "Bima, saya menghargai inisiatifmu, tapi kau di sini untuk memantau kualitas udara sesuai prosedur, bukan untuk menjadi detektif sejarah. Kebakaran 2005 sudah lama berlalu. Semuanya sudah diurus. Ada standar internasional yang kita ikuti."

"Tapi datanya, Pak! Data saya menunjukkan—"

"Data kau menunjukkan kau terlalu lelah, Bima. Kau mulai melihat hal-hal yang tidak ada. Siluet berjalan di laut? Itu hanya fatamorgana atau efek bias cahaya. Dengungan? Mungkin itu tinnitus." Wijoyo menjentikkan jari di depan wajah Bima. "Kau diperintahkan untuk berhenti 'mencari perkara' yang tidak ada. Fokus pada tugasmu. Jika kau terus begini, saya terpaksa meninjau ulang penempatanmu."

Ancaman itu menusuk Bima. Dirotasi berarti jauh dari sumber kabut itu, dari kebenaran yang nyaris ia genggam. "Pak, saya punya bukti! Sampel dari area itu—"

"Cukup!" suara Wijoyo meninggi sedikit. "Ini peringatan terakhir. Jika saya melihatmu berkeliaran di area terlarang itu lagi, atau terus memanipulasi data untuk mendukung teorimu, saya akan melaporkanmu ke pusat dan kau akan diberhentikan."

Bima merasakan amarah dan frustrasi yang membuncah. Mereka tidak percaya padanya. Mereka menutup mata. Mereka ingin ia menjadi robot yang hanya mengikuti prosedur. Ia mengepalkan tangannya, menahan diri untuk tidak membentak. "Baik, Pak," katanya, mencoba menekan suaranya.

Malam harinya, setelah pertengkaran dengan Wijoyo, Bima kembali ke shift malam. Perasaan marah dan tertekan membuatnya lebih nekat. Ia harus membuktikan kebenarannya. Saat lonjakan partikel dimulai, dengungan itu datang lagi, kali ini jauh lebih kuat, lebih invasif. Itu bukan hanya suara, tapi seperti gelombang kejut yang menghantam kepalanya.

Bima sedang berjalan di sepanjang dermaga, memeriksa salah satu sensor luar yang ia rasa menunjukkan pembacaan paling aneh, saat ketegangan fisik memuncak. Dengungan itu mendadak berubah menjadi raungan yang memekakkan telinga, seperti seribu lokomotif yang melintas secara bersamaan, atau deru mesin pesawat jet tepat di sampingnya. Getaran suara itu begitu intens hingga pandangannya menjadi buram, lapangan penglihatannya menyempit, dan ia merasakan tekanan luar biasa di gendang telinganya, seolah akan pecah. Kepalanya berdenyut-denyut, dan ia merasakan mual yang hebat.

Ia terhuyung, mencoba berpegangan pada tiang beton terdekat, namun tubuhnya terasa lemas. Kakinya gemetar, dan ia merasa otaknya berputar di dalam tengkoraknya. Dalam detik-detik mengerikan itu, pandangannya menggelap, dan ia merasakan dirinya jatuh ke tanah. Ia pingsan, dihantam oleh kekuatan suara yang tak terlihat.

Ketika ia sadar, kepalanya masih berdenyut kencang. Ia terbaring di tanah dermaga yang dingin dan kotor. Di atasnya, Pak Darto dan seorang rekan lainnya, Rudi, menatapnya dengan wajah khawatir.

"Bima! Kau baik-baik saja?" tanya Pak Darto, suaranya terdengar jauh dan terdistorsi.

Rudi, yang memegang ponselnya, berkata, "Aku merekamnya, Pak. Tadi Bima tiba-tiba ambruk!" Ia memutar ulang video itu.

Bima berusaha bangkit, matanya masih berkunang-kunang. "Suaranya... dengungannya..."

Rudi menyerahkan ponselnya. "Suara apa? Di rekaman saya tidak ada suara apa-apa, Bim. Hanya ada kamu yang tiba-tiba jatuh. Mungkin kamu terlalu lelah."

Bima mengambil ponsel itu dengan tangan gemetar. Ia memutar ulang video itu. Rudi benar. Rekaman itu menunjukkan dirinya berjalan normal, kemudian tiba-tiba terhuyung, berpegangan pada tiang, dan ambruk. Tapi tidak ada suara raungan yang ia dengar. Tidak ada dengungan sama sekali. Hanya suara angin dan deru kapal yang samar di kejauhan.

Seketika, kengerian yang lebih dalam menyelimutinya. Mereka tidak mendengarnya. Mereka tidak merasakan getarannya. Apakah suara itu hanya ada di kepalanya? Apakah ia benar-benar sendirian dalam kegilaan ini? Pak Darto dan Rudi menatapnya dengan tatapan yang bercampur kasihan dan sedikit ketakutan. Tatapan yang sama seperti yang diberikan Wijoyo tadi pagi.

Ia kembali dicap paranoid. Kecelakaan itu, atau lebih tepatnya, episode itu, hanya memperkuat keyakinan mereka bahwa Bima sedang mengalami gangguan mental akibat kelelahan. Mereka tidak melihat kabut, tidak mendengar dengungan. Hanya ia. Dan ini, bagi Bima, jauh lebih mengerikan daripada keberadaan kabut itu sendiri. Ia tidak bisa lagi mempercayai inderanya, apalagi meyakinkan orang lain. Ia terjebak dalam perangkap persepsinya sendiri.

Bab 6: Isolasi

Insiden pingsan itu menjadi titik balik. Tidak ada lagi kesempatan untuk Bima. Pagi harinya, ia dipanggil lagi oleh Bapak Wijoyo, kali ini dengan ekspresi wajah yang lebih keras dan tanpa senyum formalnya.

"Bima, ini sudah di luar batas. Kau membahayakan dirimu sendiri, dan jujur saja, kau membuat khawatir rekan-rekanmu," kata Wijoyo. "Atas rekomendasi dokter perusahaan dan demi kebaikanmu, kami memutuskan untuk merotasi shiftmu. Kau akan bekerja di shift siang. Tidak ada lagi shift malam, tidak ada lagi lembur, tidak ada lagi investigasi yang tidak relevan."

Hati Bima mencelos. Dirotasi ke shift siang berarti ia akan jauh dari "jam-jam terlarang," dari waktu di mana kabut dan dengungan itu paling aktif. Itu adalah hukuman terberat baginya. "Pak, saya tidak apa-apa—"

"Tidak ada bantahan, Bima. Ini keputusan final. Kau butuh istirahat. Kau butuh menjauh dari obsesi anehmu itu."

Kata "obsesi aneh" menusuk ulu hatinya. Mereka semua sudah memutuskan. Ia gila. Paranoid. Ia hanya melihat ilusi. Rasa marah dan frustrasi yang ia rasakan sebelumnya kini bercampur dengan keputusasaan. Ia tahu, jika ia berhenti, jika ia menyerah pada keputusan mereka, ia akan kehilangan jejak kebenaran. Kabut itu akan terus ada, tak terlihat oleh siapa pun, sementara ia terdampar di tengah terang hari, dihantui oleh ingatan akan apa yang ia rasakan dan ia lihat.

Bima tidak menyerah. Dirotasi ke shift siang hanya membuatnya semakin nekat. Itu hanya membuatnya semakin terisolasi. Siang hari, pelabuhan adalah tempat yang bising dan ramai. Tetapi bagi Bima, itu adalah tempat yang kosong. Pikirannya terus tertuju pada malam, pada kabut, pada dengungan. Ia merasa seperti seorang detektif yang dikurung dari TKP-nya sendiri.

Maka, ia mulai menyusun rencana. Setiap malam, setelah shift siangnya berakhir, dan Pak Darto serta Rudi sudah memulai shift mereka, Bima akan kembali. Ia menyusup ke pelabuhan tengah malam sendirian. Ia memarkir mobilnya jauh dari area stasiun, menggunakan seragam yang berbeda agar tidak dikenali, dan menyelinap melalui jalur-jalur tikus di antara kontainer. Ia tahu area terlarang itu seperti punggung tangannya sekarang.

Kali ini, ia datang bukan untuk memantau dari stasiun, tetapi untuk terpapar langsung. Ia membawa sampler portabelnya, senter, dan tekad yang membara. Ia menghabiskan jam-jam "terlarang" itu di area-area yang paling pekat kabutnya, merasakan setiap sensasi yang ia alami: bau hangus, gatal di kulit, mata perih, dan terutama, dengungan yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya.

Makin sering terpapar, efek kabut itu semakin parah, dan batas antara realitas dan delusi Bima semakin terkikis.

Pertama, ia kehilangan rasa lapar. Makanan terasa hambar, bahkan menjijikkan. Perutnya terasa penuh, atau kosong, ia tidak bisa membedakannya. Ia makan hanya karena ia tahu ia harus makan, tapi rasanya seperti memasukkan pasir ke dalam mulut. Tubuhnya makin kurus, tulang pipinya menonjol, dan kulitnya pucat kehijauan. Energi yang ia miliki seolah disedot oleh kabut itu, digantikan oleh kelelahan yang konstan namun anehnya, ia tetap bisa berfungsi.

Kedua, pendengarannya membias. Suara-suara normal mulai terdengar aneh. Suara ombak yang menghantam dermaga kini terdengar seperti bisikan-bisikan berantai yang memanggil namanya, bergema dari kedalaman laut. Suara crane yang menurunkan beban berat terdengar seperti deru besi mengerikan yang disusul jeritan-jeritan pilu, seolah mesin-mesin itu adalah monster yang menyiksa sesuatu yang hidup. Klakson kapal terasa seperti desahan panjang yang penuh keputusasaan. Ia sering harus menutup telinga dengan tangannya, mencoba mengusir distorsi suara itu, namun percuma. Suara-suara itu ada di dalam kepalanya.

Ketiga, dan ini yang paling menakutkan, ia mulai berhalusinasi visual yang semakin intens. Tidak lagi hanya siluet di atas laut. Saat ia berada di dalam stasiun di shift siangnya, di bawah terangnya lampu neon, ia akan melihat layar monitornya berkabut. Sebuah lapisan tipis, transparan, namun nyata, seolah partikel kabut itu telah menembus sirkuit elektronik, menyelimuti angka-angka dan grafik dengan ilusi asap. Ia akan mengusap layar, namun kabut itu tidak hilang. Ia akan melihat garis-garis di grafik beriak seperti asap, dan angka-angka yang bergeser seperti terbakar.

Ia tahu, orang lain tidak melihatnya. Ketika Pak Darto melirik ke monitornya, ia akan melihat grafik yang normal. Bima akan pura-pura tidak melihat kabut itu, takut dicap benar-benar gila. Ia mulai merasa seperti ia memiliki penglihatan rahasia, sebuah kutukan yang membuatnya melihat apa yang orang lain tidak bisa. Ini adalah isolasi yang paling mengerikan: ia tidak hanya terisolasi dari rekan kerjanya, tetapi juga dari realitas bersama.

Di malam hari, saat ia menyelinap di antara kontainer, sensasi itu semakin menjadi. Suara deru besi dan jeritan yang ia dengar kini terasa seperti nyata, seolah-olah ia mendengar gema dari tragedi 2005. Bau daging hangus dan bahan kimia tak hanya di hidungnya, tapi ia merasa seolah ia merasakan baunya di tenggorokannya, di paru-parunya. Kulitnya selalu terasa gatal, dan ia sering menemukan ruam-ruam merah di lengannya yang ia garuk hingga lecet.

Ia terus mengumpulkan data dengan sampler portabelnya. Angka-angka itu semakin mencengangkan, menembus batas-batas yang ia kira mustahil. Konsentrasi partikel mencapai rekor tertinggi setiap malam. Ia mencoba menenangkan dirinya dengan berpikir bahwa data itu adalah bukti objektif, bahwa ia tidak gila. Tapi distorsi pada panca indranya, halusinasi visual dan auditori, terus mengikis keyakinannya.

Satu malam, saat ia bersembunyi di balik tumpukan kontainer, ia melihat senter Rudi berkedip di kejauhan. Rudi dan Pak Darto sedang melakukan patroli rutin. Bima membeku, jantungnya berdebar kencang. Jika mereka menemukannya, semuanya akan berakhir. Ia akan dipecat, mungkin bahkan dipaksa untuk dirawat. Ia harus lebih berhati-hati.

Namun, bahkan dalam ketakutan itu, ada dorongan yang tak bisa dihentikan. Ia merasa semakin dekat dengan inti misteri ini. Kabut itu adalah kunci. Dengungan itu adalah suaranya. Dan ia, Bima, adalah satu-satunya yang mendengarkan, satu-satunya yang melihat. Ia adalah wadah bagi kebenaran yang mengerikan ini.

Pikirannya kini berputar-putar dalam lingkaran obsesi dan delusi. Ia mulai berbicara pada dirinya sendiri, merenungkan teori-teorinya dengan suara pelan di tengah keheningan malam. Ia membayangkan partikel-partikel itu sebagai entitas hidup yang bernapas, bergerak, dan berbicara kepadanya melalui dengungan dan distorsi sensori. Sebuah entitas yang terperangkap di pelabuhan, dan ia, Bima, adalah satu-satunya yang bisa membebaskannya, atau mungkin, menjadi bagian darinya.

Ia tahu ia sendirian. Dan dalam kesendirian itu, horor yang sebenarnya mulai tumbuh: bukan takut pada kabut itu, tetapi takut pada dirinya sendiri, pada batas tipis antara penemuan dan kegilaan yang kini nyaris tidak terlihat.

Bab 7: Peta Laut Tak Bernama

Isolasi Bima bukan lagi hanya masalah fisik; itu adalah kondisi mental. Di siang hari, ia adalah bayangan dari dirinya sendiri, melakukan rutinitas yang diatur, menjawab pertanyaan rekan kerja dengan tatapan kosong, dan berusaha keras menyembunyikan kekacauan di dalam kepalanya. Di malam hari, ia adalah pemburu, menyelinap ke jantung kabut, membiarkan dirinya terpapar, mencari petunjuk yang tak seorang pun percaya ada. Kelelahan yang ekstrem dan paparan berulang terhadap "kabut" telah mengikis batas antara persepsi dan halusinasi. Bau daging hangus bercampur garam yang menusuk hidungnya tak pernah benar-benar hilang, bahkan ketika ia berada di rumahnya. Rasa gatal di kulitnya menjadi sensasi permanen, dan dengungan rendah itu kini seolah menjadi ritme dasar detak jantungnya sendiri.

Namun, di tengah semua kekacauan itu, ada sebuah pikiran yang terus berdenyut: data. Data tidak berbohong. Angka-angka di sampler portabelnya, meskipun mungkin terpengaruh oleh sensor yang terdistorsi, menunjukkan konsentrasi partikel yang tidak normal. Peta yang ia buat dari spike partikel itu—peta kebakaran tahun 2005—adalah bukti visual yang tak terbantahkan. Ia harus menemukan korelasi lain, sesuatu yang bisa menguatkan teorinya.

Berbekal obsesi dan secangkir kopi hitam pekat, Bima menghabiskan malam-malamnya di ruang kontrol, saat rekan-rekan shiftnya terlelap di pos masing-masing. Ia membuka semua arsip digital yang bisa ia akses. Bukan hanya log pencemaran lingkungan yang dangkal, tetapi juga arsip kecelakaan laut yang sangat tua, beberapa di antaranya berasal dari era kolonial Belanda. File-file lama, pindaian dokumen, laporan navigasi kuno. Ia menggabungkan data geografis dari setiap insiden – tumpahan minyak, ledakan kecil, kapal yang karam – dengan peta dermaga yang telah ia buat.

Tangannya gemetar saat ia mulai melihatnya.

Ia menemukan pola yang mengerikan. Peta "zona kabut" yang ia deteksi setiap malam, area dengan konsentrasi partikel tertinggi dan dengungan yang paling kuat, tidak hanya berimpit dengan bekas kebakaran 2005. Zona itu juga berkorelasi secara mencengangkan dengan rute kapal karam era kolonial yang tenggelam di perairan sekitar Makassar. Ada titik-titik di dasar laut yang ditandai sebagai lokasi bangkai kapal tua—kapal dagang, kapal perang, bahkan kapal penangkap ikan yang tenggelam dalam badai. Beberapa di antaranya bahkan belum pernah diangkat, bangkainya masih terkubur di lumpur dasar laut.

"Tidak mungkin," bisiknya, suaranya parau dan serak.

Ia memperbesar peta digitalnya, membandingkan detailnya. Setiap titik di mana kabut terasa paling pebal, setiap spike anomali yang ekstrem, nyaris selalu berhimpitan dengan lokasi bangkai kapal atau rute pelayaran yang berakhir tragis. Ini bukan kebetulan. Ini terlalu presisi.

Pikirannya berputar liar, menghubungkan titik-titik yang terasa gila namun secara logis masuk akal baginya. Jika kebakaran 2005 mengeluarkan kontaminan yang tetap ada di udara, bagaimana dengan kapal-kapal karam ini? Mereka membawa apa saja? Besi, baja, bahan bakar, muatan kargo yang beragam. Apa yang terjadi jika semua materi organik dan anorganik itu, terendam selama puluhan, bahkan ratusan tahun di dasar laut, mulai bereaksi dengan lingkungan?

Sebuah teori baru dan mengerikan mulai terbentuk di benak Bima: ia curiga ada reaksi kimia-biologis misterius yang terbentuk dari reruntuhan logam dan bahan bakar yang terendam air laut dalam waktu yang sangat lama. Logam yang berkarat, minyak yang terurai, bahan organik dari bangkai-bangkai yang membusuk—semua itu bisa saja menghasilkan gas atau partikel ultra-halus yang naik ke permukaan air pada jam-jam tertentu, terutama saat suhu dan tekanan atmosfer mendukung. Gas-gas ini, mungkin, adalah sumber dari "kabut" yang ia rasakan.

Tapi kemudian, pikiran itu berkembang menjadi sesuatu yang lebih gelap. Jika reaksi kimia-biologis ini bisa menghasilkan partikel, apa yang menyebabkan dengungan? Dan halusinasi?

Pertanyaan itu melahirkan pertanyaan lain yang lebih menghantui: Apakah "kabut" ini hanya residu industri yang belum terurai… ataukah ia adalah "ingatan kimia" dari mayat-mayat yang tak terangkat? Ribuan orang telah tewas di perairan itu selama berabad-abad, tenggelam bersama kapal-kapal mereka. Mayat-mayat yang membusuk, tulang-belulang yang hancur, mungkin melepaskan senyawa-senyawa organik yang tak teridentifikasi, yang kini bereaksi dengan sisa-sisa industri. Mungkinkah kabut ini membawa "jejak" dari kematian-kematian itu? Mungkinkah halusinasi yang ia alami – siluet berjalan di laut, jeritan di balik dengungan – adalah resonansi dari tragedi-tragedi masa lalu yang kini bangkit?

Bima merasakan bulu kuduknya meremang. Teori ini terasa jauh lebih mengerikan daripada sekadar polusi. Ini adalah horor organik, sesuatu yang lahir dari kematian dan kehancuran, yang kini hidup kembali sebagai kabut tak terlihat.

Ia membiarkan sampler portabelnya terus berjalan, merekam data di dekat jendela ruang kontrol. Angkanya terus berfluktuasi, mengikuti pola yang ia kenali. Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki di luar. Jantungnya berdebar kencang. Ia segera meminimalkan semua program, mematikan layar sampler, dan pura-pura memeriksa log harian.

Pak Darto masuk, menguap lebar. "Masih di sini saja, Bim? Sudah pagi. Kamu tidak tidur?"

Bima tersenyum tipis, mencoba terlihat normal. "Sedikit data yang perlu saya pastikan, Pak. Besok pagi saya libur, kok."

Pak Darto hanya menggelengkan kepala. "Istirahatlah, Bim. Kau terlihat makin kurus. Bisa sakit nanti."

Bima hanya mengangguk. Ia tidak bisa menceritakan apa yang ia temukan. Mereka tidak akan percaya. Mereka akan menatapnya dengan tatapan kasihan dan ketakutan itu lagi. Ia sendirian dalam penemuan ini, terperangkap dalam jaring laba-laba antara sains dan supernatural yang ia rajut sendiri. Dan semakin ia menggali, semakin ia merasa terjerat.

Ia menatap peta laut tak bernama yang baru saja ia buat. Titik-titik merah yang menandai konsentrasi kabut tinggi kini berimpitan dengan siluet bangkai kapal yang samar di dasar laut. Kabut itu adalah memorial hidup dari kematian. Dan ia, Bima, kini menjadi bagian dari memorial itu.

Bab 8: Terowongan Bunyi Rendah

Setelah penemuan peta laut tak bernama itu, Bima semakin yakin bahwa sumber dengungan dan kabut adalah satu kesatuan, sebuah entitas yang lahir dari akumulasi tragedi. Ia tidak lagi peduli dengan risiko dicap gila atau dipecat. Ia harus menemukan sumber fisik dari dengungan itu, titik nol di mana semua anomali ini berasal.

Malam itu, seperti biasa, Bima menyelinap ke pelabuhan setelah shift siangnya berakhir. Udara terasa lebih berat, dan dengungan itu sudah terasa di gendang telinganya bahkan sebelum ia mendekati area terlarang. Ia membawa sampler portabelnya yang telah ia kalibrasi ulang berkali-kali untuk memastikan tidak ada kesalahan data. Di tangannya, ia memegang senter yang kuat, sinarnya menembus kegelapan yang pekat.

Ia melangkah mengikuti dengungan itu, yang kini tidak lagi samar, melainkan sebuah getaran yang konstan dan dalam, terasa di setiap sel tubuhnya. Rasanya seperti berjalan di dalam terowongan yang dipenuhi suara bass rendah yang terus-menerus. Suara itu menariknya, memanggilnya, seolah ada magnet yang tak terlihat. Dengungan itu mengarahkannya ke sudut paling terpencil dari dermaga lama, melewati tumpukan kontainer yang ditinggalkan, menuju sebuah bangunan yang tak pernah ia perhatikan sebelumnya.

Sebuah gudang kosong. Dindingnya kusam, catnya mengelupas, dan sebagian atapnya telah runtuh, memperlihatkan kerangka besi yang berkarat. Pintunya sedikit terbuka, berderit pelan ditiup angin laut. Tidak ada lampu di dalam, hanya kegelapan absolut yang pekat. Dari celah pintu itu, dengungan itu terasa paling kuat, seolah gudang itu adalah rongga resonansi.

Bima menarik napas dalam-dalam, merasakan udara yang dingin dan aneh. Ia melangkah masuk, senternya menyapu kegelapan. Di dalamnya, gudang itu benar-benar kosong, hanya tumpukan debu tebal dan sarang laba-laba yang menggantung seperti tirai. Namun, di salah satu sudut, di balik reruntuhan puing, ia menemukan sesuatu.

Sejumlah pipa berkarat yang besar, menjulur dari lantai dan menghilang ke dinding. Pipa-pipa itu terlihat sangat tua, lapuk, dan sebagian permukaannya ditutupi lumut. Namun, yang membuat Bima membeku adalah tulisan yang samar-samar masih terbaca di salah satu pipa: kode kimia usang. Simbol-simbol yang tidak lagi digunakan, tetapi ia kenali dari buku-buku kimia kuno yang pernah ia baca. Kode-kode itu merujuk pada senyawa-senyawa yang sangat mudah menguap, atau gas-gas industri yang digunakan di masa lalu, beberapa di antaranya sangat reaktif.

Saat Bima mendekati pipa-pipa itu, suara dengungan melonjak secara drastis. Gudang itu bergetar. Lampu senternya mulai berkedip-kedip, redup, lalu terang, seperti ada gangguan listrik yang parah. Bola lampu neon tua yang tergantung di langit-langit gudang, yang Bima yakin sudah mati, tiba-tiba menyala redup dengan cahaya hijau kemerahan yang aneh, sama seperti lampu pelabuhan yang ia lihat berkedip. Cahaya itu berdenyut, seolah merespons dengungan itu.

Bima mengangkat sensor genggamnya. Layar yang tadinya menunjukkan pembacaan tinggi, kini melonjak ke level bahaya ekstrem, melewati semua batas yang pernah ia lihat. Angkanya terus naik, dan simbol "OVERLOAD" berkedip-kedip. Ini adalah konsentrasi partikel tertinggi yang pernah ia rekam.

Dalam gelap, dengan hanya cahaya redup dari neon yang berkedip dan senternya yang flickering, Bima melihatnya. Di lantai kering di bawah pipa, ada kilatan air memercik. Bukan genangan air. Itu adalah percikan-percikan kecil, seperti tetesan hujan yang sangat halus, namun lantai itu kering. Kilatan itu memancar dengan cahaya yang aneh, memantulkan warna-warna yang tidak wajar.

Apakah ini ilusi lagi? Otaknya berteriak, mengingatkan pada halusinasi sebelumnya. Atau ini adalah bocoran gas superdingin yang berinteraksi dengan udara, mengembun dan menghasilkan percikan visual? Gas dengan sifat aneh yang menyebabkan kilatan cahaya saat bereaksi? Pikiran itu begitu menakutkan, namun terasa begitu dekat dengan kebenaran yang ia cari.

Dengungan itu kini memekakkan telinga, bukan lagi suara di luar, melainkan di dalam kepalanya, di dalam tulang-tulangnya. Gudang itu terasa berputar, dan Bima merasakan mual yang hebat. Ia tahu ia harus keluar. Ia telah menemukan sumbernya. Ini adalah inti dari segalanya.

Ia berbalik, terhuyung-huyung di antara tumpukan debu dan karat. Ia berlari menuju pintu, ingin segera keluar dari neraka dengungan dan kabut tak terlihat ini. Tangan Bima meraih gagang pintu, ia menariknya sekuat tenaga. Pintu itu terbuka sedikit, cukup baginya untuk menyelinap keluar.

Namun, saat ia berhasil melangkah keluar, ia mendengar suara "Klik" yang keras dan final. Suara kunci pintu yang otomatis mengunci dari luar. Bima menoleh. Pintu gudang itu kini tertutup rapat di belakangnya, suara dengungan di dalamnya masih menggelegar, namun kini teredam. Ia mencoba membuka pintu itu lagi, mendorong, menarik, memukulnya dengan panik. Tidak bisa. Ia terkunci.

Tubuhnya lemas, napasnya tersengal. Ia terperangkap di luar gudang, di tengah kegelapan pelabuhan, dengan suara dengungan yang masih bergema di telinganya dan sampler di tangannya yang masih berkedip "OVERLOAD." Sebuah sensasi dingin menjalari tulang punggungnya. Ia menyadari, dalam kepanikannya, ia tidak melihat siapa pun menguncinya. Pintu itu mengunci dengan sendirinya, seolah ada sesuatu di dalam gudang yang tidak ingin ia kembali. Atau, tidak ingin ia lari terlalu jauh.

Ia tidak tahu apa yang ada di dalam gudang itu, apa yang mengunci dirinya di luar. Tapi ia tahu satu hal: ia telah menemukan jantung kegelapan di pelabuhan ini. Dan ia, Bima, kini menjadi sandera dari penemuannya sendiri.

Bab 9: Fajar Kelabu

Dengungan itu... itu bukan lagi sekadar suara. Itu adalah pukulan palu di dalam tengkorak Bima. Ketika pintu gudang terkunci di belakangnya, suara itu, teredam namun masih menggelegar, terasa seperti ejekan yang menusuk. Dinginnya malam di Pelabuhan Makassar meresap ke tulang, namun hawa dingin itu kalah telak dibanding rasa yang menjalari dari kesadaran bahwa ia telah menemukan jantung kegelapan pelabuhan ini—dan sekarang ia adalah sanderanya.

Bima menarik, mendorong, menendang pintu besi yang berkarat itu. Keringat dingin membasahi dahinya, bercampur dengan air mata yang mungkin keluar karena ketakutan atau sisa perih dari kabut yang ia hirup. Tangannya lecet bergesekan dengan gagang besi yang dingin dan kasar. Panik murni menguasai dirinya. Tidak ada lagi pikiran tentang sains, data, atau hipotesis; hanya insting primal untuk melarikan diri, untuk bernapas, untuk hidup. Ia mencoba berteriak, memanggil nama Pak Darto, nama Rudi, siapa saja yang mungkin lewat. Tapi suaranya serak, nyaris tak terdengar di antara dengungan samar dari dalam gudang, seperti terhisap oleh malam itu sendiri, tidak mencapai siapa pun. Di kejauhan, ia melihat lampu-lampu kapal yang berlabuh, samar-samar terlihat melalui kegelapan yang pekat. Betapa damainya mereka, tidak tahu monster apa yang bersembunyi di balik dinding-dinding usang ini.

Ia terhuyung mundur, bersandar pada dinding gudang yang dingin. Ia kehabisan napas, tubuhnya gemetar hebat. Ia menatap sampler portabel di tangannya. Layarnya masih menyala, meskipun redup dan berkedip-kedip, menunjukkan konsentrasi partikel yang terus melonjak, melampaui segala batas yang pernah ia kenal. Angka-angka itu kini menampilkan simbol "∞" – tak terhingga. Sebuah pembacaan absolut, sebuah sinyal bahaya yang tidak pernah bisa ia bayangkan. Sensor itu telah mencapai puncaknya, atau mungkin, telah melampaui kemampuannya untuk mendeteksi ancaman yang tak terlihat itu. Pikirannya berputar. Jika alat canggih ini menunjukkan ini, artinya apa yang ada di dalam gudang itu jauh lebih pekat, lebih kuat, lebih… ada. Apakah itu gas? Cairan? Atau sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak bisa diukur oleh alat ilmiah biasa? Kilatan air yang memercik di lantai kering tadi kembali terlintas. Bocoran gas superdingin? Atau ilusi optik? Bima tidak lagi bisa membedakannya.

Ia mencoba berpikir jernih. Tidak ada yang datang. Ia terkunci. Ia harus mencari jalan keluar sendiri. Ia menggeser pandangannya ke sekeliling, mencari celah, retakan, apa pun. Di sudut atap yang runtuh, ia melihat secercah langit pagi yang mulai keabu-abuan. Fajar akan tiba. Sebuah harapan kecil muncul; apakah kabut ini akan menghilang saat matahari terbit? Apakah ia akan selamat?

Namun, harapan itu segera sirna. Ia merasakan sensasi aneh di kakinya. Dingin. Bukan dinginnya angin laut yang biasa. Dingin yang menusuk, basah. Bima melihat ke bawah. Sebuah cairan tipis, bening, namun terasa sangat dingin, mulai merayap keluar dari celah kecil di bawah pintu gudang. Cairan itu memancar perlahan, menyebar di lantai dermaga yang berdebu, memantulkan cahaya redup senternya dengan kilauan aneh. Kilatan yang sama seperti yang ia lihat di dalam gudang. Cairan itu mengeluarkan desisan pelan saat menyentuh debu, dan mengeluarkan uap tipis yang hampir tak terlihat. Bima bergeser mundur dengan panik. Aroma bau hangus dan kimia tajam mendadak melonjak lagi, lebih kuat dari sebelumnya, seolah cairan itu adalah esensi pekat dari kabut itu sendiri.

Ia terhuyung, kembali bersandar ke dinding, kakinya terasa kaku dan mati rasa. Matanya kembali perih, air mata mengalir deras, dan rasa gatal di kulitnya berubah menjadi sensasi terbakar yang menyakitkan. Dengungan itu kini tak hanya di telinga, tapi juga beresonansi di setiap sarafnya, seolah tubuhnya sendiri menjadi resonansi dari suara itu. Bima mencengkeram kepalanya, mencoba mengusir suara yang memekakkan itu. Ia merasa otaknya akan meledak. Ia melihat ke arah cairan yang terus menyebar. Warnanya bening, tapi di bawah cahaya senter yang makin redup, ia bisa melihat gumpalan-gumpalan kecil yang bergerak di dalamnya, seperti remah-remah gelap yang hidup. Cairan itu mulai menguap dengan cepat, membentuk kabut tipis di atas permukaan lantai. Kabut itu, kali ini terlihat samar, mulai merayap ke atas, menelan kaki Bima, kemudian naik ke lutut, pinggang, lalu ke dadanya. Ia mencoba berteriak, tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Udara di sekelilingnya terasa membakar, menyesakkan. Sensasi terbakar di kulitnya memuncak, dan pandangannya menjadi kabur. Yang terakhir ia lihat adalah layar sampler di tangannya yang terus berkedip "∞", dikelilingi oleh kabut tipis yang kini melingkupinya sepenuhnya, merenggutnya ke dalam kegelapan yang dingin dan berbau hangus. Ia merasakan tubuhnya mati rasa, dan kesadaran terakhirnya adalah dengungan yang mencapai frekuensi tertinggi, melarutkan dirinya ke dalam kehampaan.

Beberapa jam kemudian, saat mentari mulai menampakkan sinarnya di ufuk timur Makassar, memancarkan rona jingga keemasan di atas laut yang tenang, Pak Darto dan Rudi melakukan patroli pagi mereka. Mereka sudah menyelesaikan shift malam dan akan pulang, tetapi mereka melewati area dermaga lama untuk memastikan semua aman sebelum shift siang dimulai.

"Sudah lama Bima tidak terlihat di shift malam," komentar Rudi, menguap lebar. "Pasti dia istirahat total setelah dirotasi."

"Syukurlah," jawab Pak Darto. "Anak itu terlalu serius. Semoga sekarang dia bisa jernih lagi pikirannya."

Saat mereka melewati gudang kosong yang terpencil, mata Pak Darto menangkap sesuatu yang aneh. Pintu gudang yang selalu sedikit terbuka atau tertutup rapat itu, kini terlihat sedikit rusak, seolah ada yang mencoba membukanya paksa. Beberapa pipa berkarat di dekat pintu juga terlihat retak, mengeluarkan uap tipis yang langsung lenyap di udara pagi.

"Lihat itu, Rud," kata Pak Darto, menunjuk. "Sepertinya ada yang masuk ke gudang ini."

Mereka berdua mendekat. Pintu gudang itu terlihat seperti baru saja dibuka paksa, bagian engselnya sedikit melengkung. Di lantai dekat pintu, tergeletak sebuah perangkat elektronik kecil. "Itu samplernya Bima!" seru Rudi, mengenali alat yang sering dibawa Bima. Pak Darto mengambilnya. Layarnya masih menyala, meskipun baterainya nyaris habis. Di layar, dengan angka yang sudah tidak jelas, terpampang simbol aneh: "∞". "Apa ini?" tanya Rudi, bingung. "Malfungsi lagi?" Pak Darto mengerutkan kening. "Entahlah. Aku belum pernah melihat reading seperti ini. Infinity?" Mereka masuk ke dalam gudang yang kini sudah tidak lagi berasap. Kosong. Bau hangus dan kimia yang Bima rasakan telah menghilang, lenyap bersama terbitnya matahari. Tidak ada tanda-tanda Bima. Tidak ada jejak perjuangan. Gudang itu kembali menjadi gudang kosong yang berdebu, seolah tak ada yang pernah terjadi di dalamnya semalam suntuk.

Sementara itu, di Stasiun Pemantau Kualitas Udara, sensor stasiun pusat yang selama ini menunjukkan lonjakan partikel setiap malam, kini kembali normal sejak fajar menyingsing. Grafik PM2.5 kembali menunjukkan garis datar yang stabil, seolah kabut misterius itu lenyap sepenuhnya, tidak pernah ada, hanya sebuah ilusi massal. Semua data kembali normal, seolah membersihkan diri dari anomali yang pernah tercatat.

Tim keamanan memeriksa rekaman kamera pengawas yang menyorot area gudang. Dalam rekaman yang buram dan beresolusi rendah di jam-jam sebelum fajar, mereka melihat sesuatu yang aneh. Di sekitar waktu yang Bima diperkirakan berada di sana, terlihat kabut tipis yang nyaris tak terlihat keluar dari ventilasi gudang yang rusak dan menyebar di udara. Kabut itu tidak terlalu tebal, bahkan cenderung transparan, seperti hembusan napas yang menghilang dengan cepat. Dan kemudian, saat matahari mulai menyingsing, kabut itu menghilang sepenuhnya, seolah ditarik kembali ke dalam bumi atau larut ke udara, tidak meninggalkan jejak apa pun. Rekaman itu berakhir di sana. Tidak ada jejak Bima yang terlihat keluar dari gudang. Tidak ada jejak penyerang. Hanya kabut yang muncul dan menghilang seperti mimpi buruk.

Pencarian besar-besaran dilakukan, melibatkan personel keamanan pelabuhan, polisi, dan bahkan tim SAR. Mereka menyisir setiap sudut dermaga, setiap kontainer, setiap kapal yang berlabuh. Tapi Bima tidak ditemukan. Seolah-olah ia menguap begitu saja, menjadi bagian dari udara, tak meninggalkan sisa.

Pelabuhan Makassar, di bawah sinar matahari pagi yang normal, tampak damai, kembali pada hiruk pikuk aktivitasnya. Truk-truk mulai menderu, crane beroperasi, buruh-buruh berteriak. Kualitas udara kembali pada batas normal yang ditetapkan, seolah tidak ada yang pernah terjadi. Namun, bagi mereka yang pernah mendengar cerita Bima, atau bagi pembaca yang menyaksikan perjalanannya, pertanyaan tentang kabut itu, dan nasib Bima, akan terus menggantung di udara, sama seperti partikel tak terlihat yang ia perjuangkan. Horor itu tidak pernah benar-benar berakhir. Ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk kembali, saat kegelapan kembali menyelimuti pelabuhan, dan rahasia kuno bangkit dari tidurnya.



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)