Masukan nama pengguna
Apartemen itu berbau apek. Bau lembap dari kayu tua yang keropos dan debu yang berterbangan di udara seolah menjadi salam pembuka bagi Arion. Ia menghela napas panjang, koper di tangannya terasa berat, sama beratnya dengan hatinya yang terasa lesu. Setelah berminggu-minggu mencari, akhirnya ia menemukan tempat ini. Sebuah apartemen studio di lantai lima sebuah gedung tua yang tersembunyi di sudut kota. Harganya murah, lokasinya strategis, dan pemiliknya tidak banyak bertanya. Sempurna untuk seseorang yang ingin menghilang dari keramaian, seperti dirinya.
Arion menarik koper ke dalam, lalu menutup pintu di belakangnya dengan bunyi 'klik' yang keras. Ia meletakkan kunci di atas meja, lalu mengamati sekeliling. Ruangan itu kecil, hanya cukup untuk satu orang. Jendela besar menghadap langsung ke jendela apartemen di seberangnya. Melalui kaca yang kotor, ia bisa melihat seorang gadis sedang menari-nari dengan headphone di telinganya, rambutnya yang panjang bergerak mengikuti irama. Arion buru-buru memalingkan muka, perasaannya tidak enak. Ia membenci kontak mata. Ia tidak suka ada orang yang tahu ia ada di sini.
Ia meletakkan koper di sudut ruangan, lalu mulai membongkar barang-barangnya. Pekerjaannya sebagai desainer grafis tidak membutuhkan banyak perabotan. Satu laptop, satu tablet gambar, dan satu monitor besar. Selama bertahun-tahun, ia telah membangun karier yang sukses di bidang itu, tetapi di saat yang sama, ia juga membangun tembok yang tebal di sekelilingnya. Ia jarang keluar rumah, lebih suka menghabiskan waktunya sendirian, tenggelam dalam warna dan garis-garis di layar komputernya. Dulu, ia pernah punya teman. Dulu, ia pernah punya kehidupan sosial. Tapi itu dulu. Sekarang, hanya ada dirinya, kesunyian, dan pekerjaan.
Saat ia sedang mencoba mengangkat lemari buku tua yang reyot, ia melihat ada sesuatu yang aneh. Sebagian dinding di belakang lemari itu tampak lebih gelap dari yang lain. Ia mendekat, lalu menyentuhnya. Dinding itu terasa kopong. Arion mengambil obeng dari tas peralatannya, lalu mulai mencungkil bagian dinding itu dengan hati-hati. Setelah beberapa saat, ia berhasil membuat sebuah lubang kecil. Di dalamnya, ada sebuah bungkusan yang dibalut kain lusuh. Arion mengambilnya, lalu meletakkannya di atas lantai. Ia membuka bungkusan itu dengan penasaran. Di dalamnya, ada sebuah jurnal kulit yang sudah usang dan sebuah pisau dapur kecil yang berkarat.
Jantungnya berdegup kencang. Ia mengabaikan pisau itu, lalu membuka jurnalnya. Halaman pertama penuh dengan tulisan tangan yang rapi dan terkesan terburu-buru. Tulisan itu menceritakan tentang seorang penghuni apartemen itu sebelumnya. Ia menceritakan tentang tetangganya, seorang psikopat yang tinggal di seberang unitnya. Penghuni itu menulis tentang bagaimana ia selalu merasa diawasi, bagaimana ia menemukan hal-hal aneh di depan pintu apartemennya, dan bagaimana ia merasa bahwa psikopat itu sedang bermain-main dengannya.
Arion merasa merinding. Ia membalik halaman demi halaman, tenggelam dalam cerita yang semakin mengerikan. Penghuni itu menjelaskan bahwa ia mulai merasa tertekan, lalu paranoid. Ia mulai ragu pada pikirannya sendiri, dan ia mulai merasa bahwa psikopat itu mencoba untuk membuat ia menjadi gila. Arion merasa familiar dengan perasaan itu. Ia pernah merasakannya dulu, sebelum ia memutuskan untuk mengasingkan diri.
Saat ia sampai di halaman terakhir, jantungnya terasa seperti berhenti berdetak. Ada tulisan tangan yang berbeda di sana. Tulisan itu berbunyi: "Jangan percaya apa pun yang kau baca. Ini semua adalah permainan. Jangan biarkan dia menang. Dia tahu kau ada di sini. Dia tahu kau adalah aku. Aku adalah dia. Aku adalah kau."
Arion buru-buru menutup jurnal itu, napasnya tersengal-sengal. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia melihat ke seberang jendela, ke apartemen gadis itu. Gadis itu sudah tidak ada di sana. Ia merasa seolah-olah mata gadis itu sedang mengawasinya dari dalam kegelapan. Ia buru-buru menjauh dari jendela, lalu meletakkan jurnal itu di bawah tempat tidur. Ia memutuskan untuk tidak memikirkannya lagi. Ini hanyalah sebuah cerita fiksi, sebuah lelucon. Ya, hanya sebuah lelucon. Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Keesokan harinya, Arion mencoba untuk melanjutkan hidupnya seperti biasa. Ia menyalakan laptopnya, lalu membuka program desain grafis. Tetapi pikirannya tidak bisa fokus. Kata-kata dari jurnal itu terus terngiang-ngiang di kepalanya. "Aku adalah dia. Aku adalah kau." Suara ketukan di pintu membuatnya terlonjak kaget. Ia melihat ke lubang kunci. Seorang gadis dengan senyum ceria berdiri di luar. Rambutnya diikat asal-asalan, dan ia memegang piring berisi kue.
Itu gadis yang kemarin. Arion merasakan desakan untuk bersembunyi. Ia tidak ingin membuka pintu. Ia tidak ingin berbicara dengan siapa pun. Tetapi suara gadis itu terdengar lagi, "Halo? Arion? Apa kau ada di dalam?" Ia tahu namanya. Bagaimana ia bisa tahu namanya? Arion teringat pada jurnal itu. Ia merasa merinding.
"Aku Arion," Arion akhirnya menjawab, suaranya serak. Ia tidak membuka pintu.
"Aku Lia. Aku tinggal di seberang unitmu," kata Lia. "Aku lihat kau baru pindah. Ini, aku bawakan kue. Aku buat sendiri."
Arion tidak menjawab. Ia hanya berdiri di balik pintu, tangannya berkeringat.
"Ya sudah. Nanti kalau mau, kau bisa datang ke tempatku. Aku sering sendirian," kata Lia. Suara langkahnya terdengar menjauh.
Arion menghela napas lega. Ia merasa aman lagi. Tapi kemudian ia merasa aneh. Mengapa ia merasa terancam oleh seseorang yang ramah? Ia melirik ke arah tempat tidurnya. Jurnal itu seolah memanggilnya. Ia mengambilnya lagi, lalu membacanya.
Tulisan di jurnal itu menjadi semakin mengerikan. Penghuni itu menceritakan tentang bagaimana ia merasa bahwa psikopat itu tidak hanya mengawasinya, tetapi juga mulai merasuk ke dalam pikirannya. Ia menceritakan tentang bagaimana ia mulai melihat hal-hal aneh di cermin. Ia mulai melihat bayangan yang tidak ada. Arion merasa ia sedang membaca ceritanya sendiri.
Ia teringat akan masa lalunya. Dulu, ia pernah merasa seperti ini. Ia pernah merasa tertekan, paranoid, dan takut pada bayangannya sendiri. Ia pernah melakukan hal-hal yang tidak ia ingat. Ia pernah menyakiti orang-orang yang ia cintai. Dan sekarang, ia takut semua itu akan terjadi lagi.
Ia melihat ke arah jendela. Apartemen Lia tampak terang, dan ia bisa melihat bayangan Lia bergerak di dalamnya. Arion merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia merasa Lia adalah bagian dari permainan ini. Ia merasa Lia adalah psikopat yang dimaksud dalam jurnal.
Ia buru-buru menyingkirkan jurnal itu, lalu mencoba untuk menenangkan dirinya. Ia mengambil napas dalam-dalam, lalu mencoba untuk fokus pada pekerjaannya. Tetapi pikirannya terus terganggu. Ia terus melihat bayangan di sudut matanya. Ia terus mendengar suara-suara yang tidak ada. Ia merasa ia sedang gila.
Beberapa hari berikutnya, Lia mencoba lagi untuk berbicara dengan Arion. Ia membawakan Arion kopi, lalu mencoba untuk mengobrol dengannya. Arion tetap dingin. Ia tidak ingin berbicara. Ia tidak ingin membuka diri. Ia hanya ingin sendiri.
"Kau baik-baik saja?" Lia bertanya, suaranya terdengar cemas.
Arion mengangguk. "Aku baik-baik saja."
"Kau tampak pucat," kata Lia. "Apa kau sakit?"
"Tidak. Aku baik-baik saja," kata Arion.
Lia menghela napas panjang. "Baiklah. Kalau kau butuh sesuatu, kau tahu di mana aku." Ia lalu pergi.
Arion merasa bersalah. Lia tidak bersalah. Lia hanya mencoba untuk ramah. Tetapi pikirannya terus mengatakan padanya bahwa Lia berbahaya. Ia merasa Lia sedang bermain-main dengannya. Ia merasa Lia adalah musuhnya.
Pada malam hari, Arion bermimpi. Ia bermimpi ia sedang berdiri di depan cermin, dan di dalam cermin, ia melihat bayangan Lia. Bayangan Lia tersenyum, lalu mengatakan padanya bahwa ia tahu rahasianya. Ia tahu apa yang Arion sembunyikan. Arion terbangun dengan napas tersengal-sengal. Ia melihat ke cermin di sudut ruangan, dan ia merasa ia melihat bayangan Lia di dalamnya. Ia buru-buru menutupi cermin itu dengan selimut.
Ia merasa tertekan. Ia merasa ia sedang gila. Ia mengambil jurnal itu lagi, lalu membacanya. Tulisan di dalamnya semakin tidak masuk akal. Penghuni itu mulai menulis tentang bagaimana ia menemukan hal-hal aneh di dalam apartemennya. Ia menemukan rambut di kasurnya, pakaian yang hilang, dan pisau di bawah bantalnya. Arion buru-buru melihat ke bawah bantalnya. Tidak ada apa-apa. Ia menghela napas lega. Tetapi kemudian ia teringat pisau yang ia temukan bersama jurnal itu. Ia mengambil pisau itu dari bawah tempat tidurnya, lalu menatapnya. Pisau itu berkarat, dan tampak tua. Itu bukan miliknya.
Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia merasa ia adalah psikopat itu. Ia merasa Lia adalah korbannya. Ia merasa ia telah menyakiti Lia. Tetapi ia tidak ingat apa-apa. Ia tidak ingat apa yang ia lakukan. Ia tidak ingat kapan ia menjadi seperti ini.
Ia melihat ke arah apartemen Lia. Lampu di dalamnya sudah mati. Lia pasti sudah tidur. Arion merasa ia harus melakukan sesuatu. Ia harus pergi dari sini. Ia harus menghilang lagi. Tetapi ia tidak bisa. Ia merasa terikat pada tempat ini. Ia merasa terikat pada jurnal itu.
Tiba-tiba, ia mendengar suara ketukan di pintu. Jantungnya berdebar kencang. Ia buru-buru bersembunyi di balik sofa, napasnya tertahan. Ia melihat ke lubang kunci. Ia melihat mata Lia. Lia sedang berdiri di luar, dan ia menatap langsung ke lubang kunci itu.
"Arion? Aku tahu kau ada di dalam," kata Lia, suaranya terdengar pelan. "Aku tahu kau tidak tidur. Aku tahu kau mendengarku."
Arion tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, kakinya gemetar.
"Aku hanya ingin tahu... apa kau baik-baik saja?" Lia bertanya. "Aku khawatir."
Arion tidak bisa menjawab. Ia hanya bisa berdiri di sana, napasnya tersengal-sengal.
"Aku akan meletakkan sesuatu di depan pintumu," kata Lia. "Kau bisa membukanya kalau kau mau." Suara langkah Lia terdengar menjauh.
Setelah beberapa saat, Arion buru-buru mengintip dari lubang kunci. Ia tidak melihat siapa-siapa. Ia perlahan-lahan membuka pintu. Ia melihat sebuah kotak kecil di atas keset. Ia mengambilnya, lalu membukanya. Di dalamnya, ada sebuah foto. Sebuah foto lama. Foto seorang anak kecil yang tersenyum ceria. Di belakang foto itu, ada tulisan tangan yang berbeda dari tulisan di jurnal itu. Tulisan itu berbunyi: "Aku tahu kau takut. Aku tahu kau merasa gila. Tapi jangan percaya apa pun yang kau baca. Jurnal itu hanya sebuah cerita."
Arion merasa bingung. Ia melihat ke arah foto itu, lalu ke arah jurnalnya. Ia tidak tahu mana yang harus ia percaya. Ia tidak tahu siapa yang harus ia percaya. Ia merasa ia telah terjebak dalam sebuah permainan. Ia merasa ia telah menjadi pion dalam sebuah permainan yang ia tidak tahu aturannya.
Ia kembali ke dalam, lalu menutup pintu. Ia duduk di atas lantai, lalu menatap foto itu. Ia menatapnya lama. Lalu, ia melihat ke arah jendela, ke arah apartemen Lia. Lampu di apartemen Lia tiba-tiba menyala. Ia bisa melihat bayangan Lia di dalamnya. Bayangan Lia bergerak, dan ia bisa melihat Lia sedang menatapnya.
Arion merasa ketakutan. Ia merasa ia harus pergi. Ia harus kabur. Tetapi ia tidak bisa. Ia merasa kakinya terpaku di tempat. Ia merasa ia telah terjebak dalam sebuah mimpi buruk.
Ia mengambil teleponnya, lalu mencoba menelepon polisi. Tetapi ia tidak bisa. Tangannya gemetar. Ia tidak bisa mengetik nomornya. Ia merasa ia sedang gila. Ia merasa ia tidak bisa mempercayai siapa pun. Ia tidak bisa mempercayai dirinya sendiri.
Ia kembali ke kamarnya, lalu mengunci pintunya. Ia duduk di tempat tidurnya, lalu menatap pisau yang ada di tangannya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia merasa ia telah mencapai titik terendah. Ia merasa ia telah sampai pada titik awal dari kegilaannya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia hanya tahu bahwa ia tidak bisa keluar dari sini. Ia hanya tahu bahwa ia telah terjebak dalam sebuah permainan yang ia tidak tahu siapa pemainnya. Ia hanya tahu bahwa ia tidak akan pernah bisa melarikan diri dari dirinya sendiri.
Senja mulai menyelimuti kota. Langit di luar jendela apartemen Arion berubah menjadi oranye keunguan, memantulkan cahaya redup ke dinding-dinding kusam. Arion duduk di sofa lamanya, matanya menatap kosong ke layar laptop yang mati. Ia tidak bisa bekerja. Pikirannya dipenuhi oleh jurnal dan foto yang diberikan Lia. Ia merasa seperti boneka dalam sebuah teater, dengan benang yang ditarik oleh kekuatan tak terlihat.
Beberapa hari terakhir, Arion menghabiskan sebagian besar waktunya dengan dua benda itu. Jurnal itu, dengan tulisan tangan yang panik dan terburu-buru, menggambarkan ketakutan yang mendalam. Jurnal itu seolah menjadi cermin yang menakutkan bagi Arion, memantulkan bayangan dari masa lalunya yang kelam, saat ia juga pernah merasa diawasi, paranoid, dan takut pada bayangannya sendiri. Di sisi lain, foto yang diberikan Lia terasa seperti mercusuar harapan. Di balik foto anak kecil yang tersenyum itu, ada pesan yang singkat namun kuat: "Jangan percaya apa pun yang kau baca. Jurnal itu hanya sebuah cerita."
Arion tidak tahu harus percaya yang mana. Jurnal itu terasa begitu nyata, begitu personal, seolah ditulis oleh seseorang yang benar-benar mengalami hal-hal yang sama dengan dirinya. Namun, Lia, dengan pesona dan keramahannya, juga terasa begitu tulus. Foto itu, dengan pesannya yang singkat, seolah mencoba menariknya keluar dari lubang hitam yang digali oleh jurnal itu.
Ia menghela napas panjang, lalu bangkit dari sofa. Ia berjalan menuju jendela, lalu menatap ke apartemen Lia. Lampu di sana menyala, memancarkan cahaya hangat yang menembus kegelapan. Ia bisa melihat Lia sedang menata pot-pot kecil di dekat jendelanya. Ia menyiramnya, lalu tersenyum saat melihat tunas-tunas kecil yang tumbuh. Arion merasa sedikit lega. Ia merasa bahwa ia tidak sendirian.
Tiba-tiba, ia mendengar suara ketukan di pintunya. Jantungnya berdebar. Ia tahu itu Lia. Ia mencoba untuk mengabaikannya, tetapi ketukan itu terus berlanjut. Akhirnya, Arion membuka pintu.
Lia tersenyum lebar. "Aku lihat kau sedang menganggur," katanya, memegang dua cangkir kopi panas di tangannya. "Aku buatkan kopi. Mau?"
Arion ragu sejenak, lalu mengangguk. Ia tidak tahu mengapa, tetapi ia tidak bisa menolak Lia. Ia merasa ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia merasa Lia memegang kunci untuk semua teka-teki ini.
"Terima kasih," kata Arion, mengambil salah satu cangkir kopi.
"Tidak masalah," kata Lia. "Aku tahu kau tidak suka bersosialisasi. Tapi... aku tidak suka melihatmu sendirian terus. Apartemen ini, rasanya... dingin."
Arion tidak menjawab. Ia hanya menatap kopi di tangannya.
"Ada yang mengganggu pikiranmu?" Lia bertanya, suaranya pelan dan penuh perhatian.
Arion menatap mata Lia. Ia melihat ketulusan di sana. Ia melihat kekhawatiran yang nyata. Dan untuk pertama kalinya sejak ia pindah ke apartemen ini, ia merasa bahwa ia bisa mempercayai seseorang.
"Ya," kata Arion, suaranya serak. "Ada."
"Mau cerita?" Lia bertanya.
Arion ragu lagi. Ia tahu ia tidak seharusnya menceritakan tentang jurnal itu. Ia tahu ia tidak seharusnya membuka diri. Tetapi ia tidak bisa menahannya. Ia merasa ia harus menceritakan semuanya.
Ia mengajak Lia masuk ke dalam, lalu mendudukkannya di sofa. Ia menceritakan tentang jurnal yang ia temukan. Ia menceritakan tentang tulisan tangan yang aneh di halaman terakhir. Ia menceritakan tentang bagaimana ia mulai merasa paranoia, bagaimana ia mulai melihat hal-hal yang tidak ada, dan bagaimana ia mulai merasa bahwa ia adalah psikopat yang dimaksud dalam jurnal itu.
Lia mendengarkan dengan sabar, matanya menatapnya tanpa berkedip. Ketika Arion selesai, Lia menghela napas panjang, lalu mengambil tangan Arion.
"Aku tahu kau takut," kata Lia. "Tapi kau harus percaya padaku. Kau bukan psikopat itu. Jurnal itu... itu hanya sebuah cerita."
"Tapi... siapa yang menulisnya?" Arion bertanya.
Lia tidak menjawab. Ia hanya menatap Arion dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Aku... aku tidak tahu," kata Lia, suaranya pelan. "Aku hanya tahu bahwa kau bukan orang itu. Kau... kau tampak seperti orang yang baik."
Arion merasa hatinya menghangat. Ia merasa Lia melihat dirinya yang sebenarnya, bukan bayangan dari masa lalunya yang kelam.
"Kenapa kau tidak bilang dari awal?" Arion bertanya.
"Aku takut kau akan menjauhiku," Lia mengaku. "Aku takut kau akan mengira aku gila. Aku tahu ini kedengarannya tidak masuk akal. Tapi aku merasa ada sesuatu yang menghubungkan kita. Aku merasa... kita harus bertemu."
Arion tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya menatap Lia, lalu mengangguk pelan. "Terima kasih," katanya.
"Sama-sama," kata Lia. "Sekarang, lupakan saja tentang jurnal itu. Ayo kita keluar. Kau harus menghirup udara segar."
Arion ragu, tetapi ia akhirnya setuju. Lia berhasil menariknya keluar dari cangkangnya. Mereka menghabiskan waktu bersama, berjalan-jalan di taman, makan malam di sebuah kafe kecil, dan berbicara tentang hal-hal yang tidak penting. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Arion merasa ia hidup. Ia merasa ia bisa bernapas. Ia merasa ia bisa melupakan kegelapan yang mengikutinya.
Ketika mereka kembali ke apartemen, Arion merasa ia telah menemukan sesuatu yang ia butuhkan selama ini: seorang teman.
"Terima kasih," kata Arion. "Aku merasa lebih baik."
"Kapan-kapan kita lakukan lagi," kata Lia. "Sekarang, masuklah. Dan jangan baca jurnal itu lagi. Janji?"
Arion mengangguk. "Janji."
Ia masuk ke dalam, lalu mengunci pintu. Ia merasa aman. Ia merasa ia bisa tidur nyenyak malam ini. Ia merasa ia bisa melupakan semua hal mengerikan yang ia baca. Tetapi ketika ia sedang mematikan lampu, ia melihat ada sesuatu yang aneh. Di bawah pintu, ada sebuah catatan kecil yang dilipat. Ia membukanya. Di dalamnya, ada tulisan tangan yang sama dengan tulisan tangan di halaman terakhir jurnal itu.
Catatan itu berbunyi: "Kau pikir kau aman? Kau pikir kau bisa melarikan diri? Kau pikir dia akan menyelamatkanmu? Bodoh. Dia hanya memainkanmu. Dia adalah aku. Aku adalah dia."
Jantung Arion berdebar kencang. Ia buru-buru melihat ke bawah pintu. Tidak ada apa-apa di sana. Lia pasti sudah kembali ke apartemennya. Tetapi ia merasa Lia sedang mengawasinya. Ia merasa Lia sedang tersenyum.
Arion kembali ke kamarnya, lalu mengambil jurnal itu dari bawah tempat tidur. Ia membukanya, lalu membalik halaman demi halaman. Ia ingin mencari tahu apakah ia melewatkan sesuatu. Dan kemudian, ia menemukan sesuatu yang baru. Di halaman yang ia pikir kosong, ada tulisan tangan yang berbeda.
"Aku tahu kau tidak bisa melarikan diri dariku. Aku tahu kau akan datang padaku. Karena kau adalah aku."
Arion merasa ia sedang gila. Ia mengambil pisau yang ia temukan bersama jurnal itu, lalu menatap bayangannya di pisau itu. Ia melihat dirinya, tetapi ia merasa ia tidak mengenal dirinya sendiri. Ia merasa ia telah menjadi orang lain.
Keesokan harinya, Arion mencoba untuk menghubungi Lia. Ia ingin bertanya apakah ia tahu tentang catatan itu. Ia ingin bertanya apakah ia tahu tentang tulisan tangan yang baru di jurnal itu. Tetapi Lia tidak menjawab teleponnya. Ia tidak membalas pesannya. Arion merasa panik. Ia merasa ia telah melakukan kesalahan. Ia merasa ia telah membuka pintu ke dunia yang gelap.
Arion memutuskan untuk pergi ke apartemen Lia. Ia mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, lebih keras. Tetapi tetap tidak ada jawaban. Ia mencoba membuka pintunya. Pintu itu tidak dikunci. Ia perlahan-lahan membuka pintu, lalu masuk ke dalam.
Apartemen Lia rapi, tetapi terasa kosong. Tidak ada tanda-tanda Lia di sana. Arion berjalan ke dalam, lalu melihat ke sekeliling. Di atas meja, ada sebuah album foto. Arion membukanya dengan ragu. Di dalamnya, ada foto-foto Lia dengan teman-temannya. Ia tampak bahagia. Ia tampak normal.
Tetapi kemudian, Arion melihat sebuah foto yang berbeda. Foto itu menunjukkan seorang anak kecil yang duduk di depan sebuah apartemen yang terlihat sama persis dengan apartemen yang sekarang ia tinggali. Anak itu tersenyum ke arah kamera. Di belakang anak itu, ada seorang pria yang berdiri di dalam kegelapan. Wajah pria itu tidak terlihat, tetapi Arion merasa ia mengenalnya.
Jantungnya berdebar kencang. Ia membalik halaman demi halaman, mencari petunjuk. Dan kemudian, ia menemukan sebuah foto yang membuat darahnya membeku. Foto itu menunjukkan seorang gadis yang terbaring di atas lantai, darahnya berceceran di sekitarnya. Gadis itu tampak ketakutan. Di belakang gadis itu, ada sebuah bayangan yang berdiri. Bayangan itu tampak seperti pria yang ada di foto sebelumnya.
Arion buru-buru menutup album itu. Ia merasa ia telah melihat sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat. Ia merasa ia telah melihat sebuah rahasia yang mengerikan. Ia merasa Lia bukan orang yang ia pikirkan.
Tiba-tiba, ia mendengar suara ketukan di pintu apartemennya. Ia buru-buru meninggalkan apartemen Lia, lalu berlari ke apartemennya. Ia mengunci pintunya, lalu bersembunyi di balik sofa. Ia melihat ke lubang kunci. Tidak ada siapa-siapa di luar. Ia merasa ia sedang gila. Ia merasa ia sedang paranoid.
Tetapi kemudian, ia melihat ke arah mejanya. Ada sebuah surat di sana. Sebuah surat yang tidak ada di sana sebelumnya. Ia mengambilnya dengan tangan gemetar. Di dalamnya, ada sebuah foto Lia. Di belakang foto itu, ada tulisan tangan yang sama dengan tulisan tangan di halaman terakhir jurnal itu.
"Dia bukan orang yang kau pikirkan. Dia adalah anak dari korban-korbanku. Dia datang untuk balas dendam. Jangan percaya padanya. Dia akan menyakitimu."
Arion merasa bingung. Ia tidak tahu harus percaya yang mana. Ia merasa ia telah terjebak di tengah-tengah sebuah permainan yang mematikan. Ia tidak tahu siapa yang harus ia percaya. Ia tidak tahu siapa musuhnya. Ia tidak tahu siapa temannya. Ia hanya tahu bahwa ia harus berhati-hati.
Ia memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang apartemen ini. Ia mencari di internet, lalu menemukan sebuah artikel berita lama. Artikel itu menceritakan tentang pembunuhan berantai yang terjadi di apartemen ini. Psikopat itu tidak pernah tertangkap. Polisi percaya bahwa ia masih berkeliaran di luar sana.
Arion merasa ketakutan. Ia merasa ia telah pindah ke tempat yang salah. Ia merasa ia telah menjadi target dari seorang psikopat. Ia mengambil jurnal itu, lalu membacanya lagi. Kali ini, ia melihatnya dengan mata yang berbeda. Ia melihatnya sebagai sebuah peringatan. Ia melihatnya sebagai sebuah petunjuk. Ia melihatnya sebagai sebuah pesan dari seseorang yang telah disiksa.
Ia membalik halaman demi halaman, lalu menemukan sebuah catatan baru. Catatan itu terselip di dalam jurnal. Catatan itu berbunyi: "Jangan percaya pada mereka yang datang padamu. Mereka adalah jebakan. Mereka datang untuk memanipulasimu. Mereka datang untuk menghancurkanmu. Jangan biarkan mereka mendekat."
Arion melihat ke arah jendela, ke arah apartemen Lia. Lampu di sana menyala lagi. Ia bisa melihat Lia sedang tersenyum. Ia tidak tahu mengapa, tetapi ia merasa senyum itu menakutkan. Ia merasa Lia sedang bermain-main dengannya. Ia merasa Lia adalah psikopat itu. Ia merasa ia adalah korbannya. Ia merasa ia telah ditipu.
Ia buru-buru mengemas barang-barangnya. Ia harus pergi dari sini. Ia harus kabur. Tetapi ia tidak bisa. Ia merasa ia telah terjebak. Ia merasa ia tidak bisa melarikan diri dari tempat ini. Ia merasa ia tidak bisa melarikan diri dari Lia. Ia merasa ia tidak bisa melarikan diri dari takdirnya.
Ia duduk di sofa, lalu menatap pisau yang ada di tangannya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tidak tahu siapa yang harus ia percaya. Ia tidak tahu apakah ia akan menjadi psikopat itu atau tidak. Ia hanya tahu bahwa ia merasa seperti sebuah cermin yang retak. Ia hanya tahu bahwa ia merasa ia telah kehilangan dirinya sendiri.
Dinding-dinding apartemen itu terasa semakin sempit, seolah-olah perlahan-lahan menutup diri, menjebak Arion di dalam sangkar keputusasaan dan ketakutan. Catatan yang ia temukan di bawah pintu, selembar kertas yang mengklaim Lia sebagai pembalas dendam, telah meracuni setiap sudut pikirannya. Ia menatap foto di tangannya, foto Lia, yang kini tidak lagi terlihat ramah melainkan seperti sebuah topeng. Topeng yang menyembunyikan niat kejam. Jurnal itu, yang semula ia anggap sebagai cerita fiksi, kini terasa seperti sebuah ramalan.
Arion kembali ke apartemen Lia, tetapi kali ini ia masuk dengan pikiran yang berbeda. Ia tidak mencari jawaban, melainkan bukti. Bukti bahwa Lia adalah orang yang dimaksud dalam catatan itu. Apartemen itu, yang sebelumnya terasa hangat dan nyaman, kini terasa seperti sarang laba-laba. Arion melangkah dengan hati-hati, pandangannya menyapu setiap sudut ruangan, mencari petunjuk, mencari bukti kejahatan yang tersembunyi di balik senyum Lia.
Di atas meja, ia menemukan sebuah kotak perhiasan yang terbuka. Di dalamnya, ada sebuah kalung perak dengan liontin burung hantu. Arion merasa familiar dengan kalung itu. Ia mengingatnya dari sebuah artikel berita lama tentang salah satu korban pembunuhan berantai. Ia mengingat bahwa kalung itu adalah milik korban. Jantung Arion berdebar kencang. Ia mengambil kalung itu, lalu menyimpannya di sakunya. Ini adalah bukti. Ini adalah bukti bahwa Lia adalah anak dari korban-korban itu.
Ia terus mencari. Ia membuka laci, lemari, dan bahkan di bawah kasur. Di dalam laci meja rias, ia menemukan sebuah foto lain. Foto itu menunjukkan seorang pria paruh baya yang tampak akrab, dengan sebuah tulisan tangan di belakangnya: "Ayahku, yang tak pernah kembali." Arion menyadari bahwa pria itu adalah psikopat yang disebutkan dalam jurnal itu. Ia adalah penghuni apartemen itu sebelumnya. Dan ia adalah ayah Lia. Arion merasa ia telah menemukan kepingan-kepingan teka-teki itu. Lia adalah anak dari psikopat itu, bukan korbannya.
Arion buru-buru meninggalkan apartemen Lia, pikirannya kacau. Ia tidak tahu harus berpikir apa. Jurnal itu, catatan itu, foto-foto itu... semuanya bertentangan. Ia tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Ia merasa ia telah ditipu, dan ia tidak tahu siapa yang menipunya.
Ketika ia kembali ke apartemennya, ia melihat Lia sedang berdiri di depan pintunya, wajahnya pucat.
"Aku mencarimu," kata Lia. "Kau tidak mengangkat teleponku."
"Aku tahu siapa kau," kata Arion, suaranya dingin dan penuh kecurigaan. "Aku tahu apa yang kau lakukan."
Lia menatapnya dengan bingung. "Apa yang kau bicarakan?"
"Jurnal itu," kata Arion, mengeluarkan kalung dari sakunya. "Ini adalah bukti. Kau adalah anak dari psikopat itu, bukan korbannya. Kau yang memanipulasiku. Kau yang mencoba membuatku gila."
Lia menatap kalung itu, matanya melebar. "Aku... aku tidak tahu apa yang kau bicarakan," katanya, suaranya gemetar.
"Jangan bohong!" Arion berteriak, suaranya bergema di lorong. "Aku tahu kau yang membuat catatan itu. Aku tahu kau yang membuat jurnal itu. Aku tahu kau mencoba untuk membuatku gila."
Lia menatapnya, matanya berkaca-kaca. "Aku tidak... aku tidak melakukan apa-apa. Arion... kau baik-baik saja?"
"Jangan mencoba untuk membalikkan keadaan!" Arion berteriak. "Aku tahu kau yang meletakkan pisau di bawah bantal."
"Apa?" Lia menatapnya dengan bingung. "Aku tidak meletakkan apa pun di bawah bantalmu."
Arion menatapnya, matanya menyipit. "Kau bohong."
Lia menggelengkan kepalanya. "Aku tidak berbohong. Arion, aku pikir kau harus mencari bantuan. Kau tampak... kau tampak ketakutan."
Arion merasa ia sedang gila. Ia merasa ia telah terjebak dalam sebuah permainan psikologis yang mematikan. Ia tidak tahu harus percaya pada siapa. Ia tidak tahu harus percaya pada apa.
Ia masuk ke apartemennya, lalu mengunci pintu di belakangnya. Ia mengabaikan Lia yang terus memanggil namanya. Ia duduk di sofa, lalu menatap kalung itu di tangannya. Ia merasa ia telah melakukan hal yang benar. Ia merasa ia telah menemukan kebenaran. Tetapi ia juga merasa ia telah kehilangan satu-satunya orang yang mencoba membantunya.
Beberapa hari berikutnya, Arion mengisolasi dirinya lagi. Ia tidak menjawab telepon Lia. Ia tidak membuka pintu untuknya. Ia hanya duduk di apartemennya, menatap jurnal itu, menatap kalung itu, dan menatap dirinya sendiri di cermin. Ia merasa ia sedang gila. Ia merasa ia telah kehilangan akal sehatnya. Ia merasa ia telah menjadi psikopat yang dimaksud dalam jurnal itu.
Tiba-tiba, ia mendengar suara ketukan yang pelan. Ia tahu itu Lia. Ia mencoba mengabaikannya, tetapi ketukan itu terus berlanjut. Akhirnya, Arion membuka pintu, dan ia melihat Lia berdiri di sana, wajahnya pucat, matanya merah.
"Arion... apa yang terjadi padamu?" Lia bertanya, suaranya pelan.
"Kau yang terjadi padaku," kata Arion, suaranya dingin. "Kau yang membuatku gila."
"Aku tidak," kata Lia, suaranya serak. "Aku tidak pernah berniat untuk menyakitimu. Arion... aku pikir kau harus pergi dari apartemen ini. Ada sesuatu yang salah di sini."
Arion menatapnya, matanya menyipit. "Kau ingin aku pergi? Kau ingin aku melarikan diri? Kau ingin aku pergi dari apartemen ini agar kau bisa menguasai tempat ini?"
Lia menatapnya, matanya berkaca-kaca. "Tidak. Aku ingin kau pergi karena aku takut padamu."
Arion merasa ia telah mencapai batasnya. Ia merasa ia tidak bisa lagi membedakan antara kenyataan dan fantasi. Ia merasa ia telah menjadi korban dari sebuah permainan yang kejam. Ia tidak tahu siapa yang harus ia salahkan. Ia tidak tahu siapa yang harus ia percaya.
Ia kembali ke apartemennya, lalu mengambil pisau yang ia temukan. Ia menatapnya, lalu menatap bayangannya di pisau itu. Ia melihat dirinya, tetapi ia merasa ia melihat psikopat itu. Ia merasa ia telah menjadi psikopat itu.
Ia mendengar suara ketukan lagi. Kali ini, ketukan itu lebih keras. Lia berteriak dari luar. "Arion! Buka pintunya! Aku ingin bicara! Aku tahu kau mendengarku!"
Arion mengabaikannya. Ia hanya menatap dirinya sendiri di cermin. Ia merasa ia telah kehilangan kendali atas dirinya. Ia merasa ia telah menjadi orang lain.
Tiba-tiba, ia mendengar suara kunci yang diputar. Jantungnya berdebar. Lia membuka pintu. Ia masuk ke dalam, lalu menatap Arion. Matanya melebar saat ia melihat pisau di tangan Arion.
"Arion..." Lia berkata, suaranya gemetar. "Letakkan pisaunya."
Arion menatap Lia, lalu menatap dirinya sendiri di cermin. Ia merasa ia telah mencapai titik balik. Ia merasa ia harus melakukan sesuatu. Ia merasa ia harus mengakhiri permainan ini.
"Kau yang memulainya," Arion berkata, suaranya serak. "Kau yang akan mengakhirinya."
Lia menatapnya, air matanya menetes. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan."
"Kau tahu," Arion berkata. "Kau tahu tentang jurnal itu. Kau tahu tentang catatan itu. Kau tahu tentang semua yang kau lakukan padaku."
Lia menggelengkan kepalanya. "Aku tidak melakukan apa-apa. Arion... percayalah padaku."
Arion merasa ia tidak bisa lagi mempercayai siapa pun. Ia merasa ia hanya bisa mempercayai dirinya sendiri. Ia merasa ia harus membuktikan kepada Lia bahwa ia bukan orang yang Lia pikirkan. Ia merasa ia harus membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa ia bukan psikopat itu.
Ia mendekati Lia, pisau di tangannya. Lia mundur, wajahnya pucat.
"Jangan mendekat," kata Lia. "Aku tidak mau menyakitimu."
"Kau yang akan menyakitiku?" Arion berkata. "Atau aku yang akan menyakitimu?"
Lia menatapnya, air matanya mengalir. "Arion... kumohon... sadarlah."
Arion berhenti. Ia menatap Lia, lalu menatap pisau di tangannya. Ia melihat dirinya di cermin, dan ia melihat ketakutan di matanya. Ia menyadari bahwa ia tidak ingin menyakiti Lia. Ia menyadari bahwa ia hanya ingin berhenti dari permainan ini.
Ia menjatuhkan pisau itu, lalu terduduk di lantai. Ia menutupi wajahnya dengan tangannya. Ia merasa ia telah mencapai batasnya. Ia merasa ia telah menjadi korban dari sebuah permainan yang kejam. Ia tidak tahu siapa yang memainkannya. Ia tidak tahu mengapa ia memainkannya. Ia hanya tahu bahwa ia tidak bisa lagi bermain.
Lia mendekatinya, lalu memeluknya. Arion tidak menolak. Ia hanya menangis, membiarkan air matanya mengalir. Ia merasa ia telah kehilangan kendali atas dirinya. Ia merasa ia telah kehilangan dirinya sendiri.
"Aku akan membantumu," kata Lia, suaranya lembut. "Kita akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Arion mengangguk. Ia tidak tahu apakah ia bisa mempercayai Lia. Tetapi ia juga tidak punya pilihan lain. Ia merasa ia harus mempercayainya. Ia harus mempercayai satu-satunya orang yang tidak melarikan diri darinya.
Lia melepaskan pelukannya, lalu menatap Arion. "Aku tahu kau takut," kata Lia. "Tapi kau harus ingat, kau bukan orang yang mereka inginkan. Kau bukan psikopat itu. Kau adalah Arion. Dan aku akan membantumu menemukan dirimu lagi."
Arion menatapnya, lalu mengangguk. Ia merasa ia telah menemukan sebuah harapan. Harapan yang rapuh, tetapi tetap harapan. Ia merasa ia akan bisa keluar dari kegelapan ini. Ia merasa ia akan bisa menemukan dirinya lagi. Ia merasa ia akan bisa menemukan kebenaran.
Dinding-dinding apartemen itu terasa semakin sempit, seolah-olah perlahan-lahan menutup diri, menjebak Arion di dalam sangkar keputusasaan dan ketakutan. Catatan yang ia temukan di bawah pintu, selembar kertas yang mengklaim Lia sebagai pembalas dendam, telah meracuni setiap sudut pikirannya. Ia menatap foto di tangannya, foto Lia, yang kini tidak lagi terlihat ramah melainkan seperti sebuah topeng. Topeng yang menyembunyikan niat kejam. Jurnal itu, yang semula ia anggap sebagai cerita fiksi, kini terasa seperti sebuah ramalan.
Arion kembali ke apartemen Lia, tetapi kali ini ia masuk dengan pikiran yang berbeda. Ia tidak mencari jawaban, melainkan bukti. Bukti bahwa Lia adalah orang yang dimaksud dalam catatan itu. Apartemen itu, yang sebelumnya terasa hangat dan nyaman, kini terasa seperti sarang laba-laba. Arion melangkah dengan hati-hati, pandangannya menyapu setiap sudut ruangan, mencari petunjuk, mencari bukti kejahatan yang tersembunyi di balik senyum Lia.
Di atas meja, ia menemukan sebuah kotak perhiasan yang terbuka. Di dalamnya, ada sebuah kalung perak dengan liontin burung hantu. Arion merasa familiar dengan kalung itu. Ia mengingatnya dari sebuah artikel berita lama tentang salah satu korban pembunuhan berantai. Ia mengingat bahwa kalung itu adalah milik korban. Jantung Arion berdebar kencang. Ia mengambil kalung itu, lalu menyimpannya di sakunya. Ini adalah bukti. Ini adalah bukti bahwa Lia adalah anak dari korban-korban itu.
Ia terus mencari. Ia membuka laci, lemari, dan bahkan di bawah kasur. Di dalam laci meja rias, ia menemukan sebuah foto lain. Foto itu menunjukkan seorang pria paruh baya yang tampak akrab, dengan sebuah tulisan tangan di belakangnya: "Ayahku, yang tak pernah kembali." Arion menyadari bahwa pria itu adalah psikopat yang disebutkan dalam jurnal itu. Ia adalah penghuni apartemen itu sebelumnya. Dan ia adalah ayah Lia. Arion merasa ia telah menemukan kepingan-kepingan teka-teki itu. Lia adalah anak dari psikopat itu, bukan korbannya.
Arion buru-buru meninggalkan apartemen Lia, pikirannya kacau. Ia tidak tahu harus berpikir apa. Jurnal itu, catatan itu, foto-foto itu... semuanya bertentangan. Ia tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Ia merasa ia telah ditipu, dan ia tidak tahu siapa yang menipunya.
Ketika ia kembali ke apartemennya, ia melihat Lia sedang berdiri di depan pintunya, wajahnya pucat.
"Aku mencarimu," kata Lia. "Kau tidak mengangkat teleponku."
"Aku tahu siapa kau," kata Arion, suaranya dingin dan penuh kecurigaan. "Aku tahu apa yang kau lakukan."
Lia menatapnya dengan bingung. "Apa yang kau bicarakan?"
"Jurnal itu," kata Arion, mengeluarkan kalung dari sakunya. "Ini adalah bukti. Kau adalah anak dari psikopat itu, bukan korbannya. Kau yang memanipulasiku. Kau yang mencoba membuatku gila."
Lia menatap kalung itu, matanya melebar. "Aku... aku tidak tahu apa yang kau bicarakan," katanya, suaranya gemetar.
"Jangan bohong!" Arion berteriak, suaranya bergema di lorong. "Aku tahu kau yang membuat catatan itu. Aku tahu kau yang membuat jurnal itu. Aku tahu kau mencoba untuk membuatku gila."
Lia menatapnya, matanya berkaca-kaca. "Aku tidak... aku tidak melakukan apa-apa. Arion... kau baik-baik saja?"
"Jangan mencoba untuk membalikkan keadaan!" Arion berteriak. "Aku tahu kau yang meletakkan pisau di bawah bantal."
"Apa?" Lia menatapnya dengan bingung. "Aku tidak meletakkan apa pun di bawah bantalmu."
Arion menatapnya, matanya menyipit. "Kau bohong."
Lia menggelengkan kepalanya. "Aku tidak berbohong. Arion, aku pikir kau harus mencari bantuan. Kau tampak... kau tampak ketakutan."
Arion merasa ia sedang gila. Ia merasa ia telah terjebak dalam sebuah permainan psikologis yang mematikan. Ia tidak tahu harus percaya pada siapa. Ia tidak tahu harus percaya pada apa.
Ia masuk ke apartemennya, lalu mengunci pintu di belakangnya. Ia mengabaikan Lia yang terus memanggil namanya. Ia duduk di sofa, lalu menatap kalung itu di tangannya. Ia merasa ia telah melakukan hal yang benar. Ia merasa ia telah menemukan kebenaran. Tetapi ia juga merasa ia telah kehilangan satu-satunya orang yang mencoba membantunya.
Beberapa hari berikutnya, Arion mengisolasi dirinya lagi. Ia tidak menjawab telepon Lia. Ia tidak membuka pintu untuknya. Ia hanya duduk di apartemennya, menatap jurnal itu, menatap kalung itu, dan menatap dirinya sendiri di cermin. Ia merasa ia sedang gila. Ia merasa ia telah kehilangan akal sehatnya. Ia merasa ia telah menjadi psikopat yang dimaksud dalam jurnal itu.
Tiba-tiba, ia mendengar suara ketukan yang pelan. Ia tahu itu Lia. Ia mencoba mengabaikannya, tetapi ketukan itu terus berlanjut. Akhirnya, Arion membuka pintu, dan ia melihat Lia berdiri di sana, wajahnya pucat, matanya merah.
"Arion... apa yang terjadi padamu?" Lia bertanya, suaranya pelan.
"Kau yang terjadi padaku," kata Arion, suaranya dingin. "Kau yang membuatku gila."
"Aku tidak," kata Lia, suaranya serak. "Aku tidak pernah berniat untuk menyakitimu. Arion... aku pikir kau harus pergi dari apartemen ini. Ada sesuatu yang salah di sini."
Arion menatapnya, matanya menyipit. "Kau ingin aku pergi? Kau ingin aku melarikan diri? Kau ingin aku pergi dari apartemen ini agar kau bisa menguasai tempat ini?"
Lia menatapnya, matanya berkaca-kaca. "Tidak. Aku ingin kau pergi karena aku takut padamu."
Arion merasa ia telah mencapai batasnya. Ia merasa ia tidak bisa lagi membedakan antara kenyataan dan fantasi. Ia merasa ia telah menjadi korban dari sebuah permainan yang kejam. Ia tidak tahu siapa yang harus ia salahkan. Ia tidak tahu siapa yang harus ia percaya.
Ia kembali ke apartemennya, lalu mengambil pisau yang ia temukan. Ia menatapnya, lalu menatap bayangannya di pisau itu. Ia melihat dirinya, tetapi ia merasa ia melihat psikopat itu. Ia merasa ia telah menjadi psikopat itu.
Ia mendengar suara ketukan lagi. Kali ini, ketukan itu lebih keras. Lia berteriak dari luar. "Arion! Buka pintunya! Aku ingin bicara! Aku tahu kau mendengarku!"
Arion mengabaikannya. Ia hanya menatap dirinya sendiri di cermin. Ia merasa ia telah kehilangan kendali atas dirinya. Ia merasa ia telah menjadi orang lain.
Tiba-tiba, ia mendengar suara kunci yang diputar. Jantungnya berdebar. Lia membuka pintu. Ia masuk ke dalam, lalu menatap Arion. Matanya melebar saat ia melihat pisau di tangan Arion.
"Arion..." Lia berkata, suaranya gemetar. "Letakkan pisaunya."
Arion menatap Lia, lalu menatap dirinya sendiri di cermin. Ia merasa ia telah mencapai titik balik. Ia merasa ia harus melakukan sesuatu. Ia merasa ia harus mengakhiri permainan ini.
"Kau yang memulainya," Arion berkata, suaranya serak. "Kau yang akan mengakhirinya."
Lia menatapnya, air matanya menetes. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan."
"Kau tahu," Arion berkata. "Kau tahu tentang jurnal itu. Kau tahu tentang catatan itu. Kau tahu tentang semua yang kau lakukan padaku."
Lia menggelengkan kepalanya. "Aku tidak melakukan apa-apa. Arion... percayalah padaku."
Arion merasa ia tidak bisa lagi mempercayai siapa pun. Ia merasa ia hanya bisa mempercayai dirinya sendiri. Ia merasa ia harus membuktikan kepada Lia bahwa ia bukan orang yang Lia pikirkan. Ia merasa ia harus membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa ia bukan psikopat itu.
Ia mendekati Lia, pisau di tangannya. Lia mundur, wajahnya pucat.
"Jangan mendekat," kata Lia. "Aku tidak mau menyakitimu."
"Kau yang akan menyakitiku?" Arion berkata. "Atau aku yang akan menyakitimu?"
Lia menatapnya, air matanya mengalir. "Arion... kumohon... sadarlah."
Arion berhenti. Ia menatap Lia, lalu menatap pisau di tangannya. Ia melihat dirinya di cermin, dan ia melihat ketakutan di matanya. Ia menyadari bahwa ia tidak ingin menyakiti Lia. Ia menyadari bahwa ia hanya ingin berhenti dari permainan ini.
Ia menjatuhkan pisau itu, lalu terduduk di lantai. Ia menutupi wajahnya dengan tangannya. Ia merasa ia telah mencapai batasnya. Ia merasa ia telah menjadi korban dari sebuah permainan yang kejam. Ia tidak tahu siapa yang memainkannya. Ia tidak tahu mengapa ia memainkannya. Ia hanya tahu bahwa ia tidak bisa lagi bermain.
Lia mendekatinya, lalu memeluknya. Arion tidak menolak. Ia hanya menangis, membiarkan air matanya mengalir. Ia merasa ia telah kehilangan kendali atas dirinya. Ia merasa ia telah kehilangan dirinya sendiri.
"Aku akan membantumu," kata Lia, suaranya lembut. "Kita akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Arion mengangguk. Ia tidak tahu apakah ia bisa mempercayai Lia. Tetapi ia juga tidak punya pilihan lain. Ia merasa ia harus mempercayainya. Ia harus mempercayai satu-satunya orang yang tidak melarikan diri darinya.
Lia melepaskan pelukannya, lalu menatap Arion. "Aku tahu kau takut," kata Lia. "Tapi kau harus ingat, kau bukan orang yang mereka inginkan. Kau bukan psikopat itu. Kau adalah Arion. Dan aku akan membantumu menemukan dirimu lagi."
Arion menatapnya, lalu mengangguk. Ia merasa ia telah menemukan sebuah harapan. Harapan yang rapuh, tetapi tetap harapan. Ia merasa ia akan bisa keluar dari kegelapan ini. Ia merasa ia akan bisa menemukan dirinya lagi. Ia merasa ia akan bisa menemukan kebenaran.
Sisa-sisa air mata Arion telah mengering, meninggalkan jejak panas di pipinya. Lia memeluknya erat, kehangatan tubuhnya menjadi satu-satunya jangkar yang menahan Arion agar tidak tenggelam sepenuhnya dalam kegilaan. Mereka duduk di lantai, bersandar pada sofa, dalam keheningan yang lama. Arion merasa kosong, seolah jiwanya telah dikuras habis.
Setelah beberapa saat, Lia menarik diri, menatap Arion dengan mata penuh iba. "Kita harus mencari tahu siapa yang melakukan ini," bisiknya. "Aku tahu ini sulit, tapi kita harus melihat semuanya dari awal."
Arion hanya mengangguk pelan. Kepercayaan yang ia berikan pada Lia begitu rapuh, seolah bisa hancur kapan saja. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Lia adalah satu-satunya yang tersisa.
Mereka mulai menggeledah apartemen Arion bersama. Kali ini, bukan dengan mata yang penuh kecurigaan, melainkan dengan mata yang mencari kebenaran. Mereka memeriksa setiap sudut, setiap celah, mencari petunjuk. Jurnal itu, yang selama ini menjadi sumber ketakutan Arion, kini menjadi objek investigasi utama.
"Kita harus mencari tahu siapa penulis aslinya," kata Lia. "Mungkin dia meninggalkan petunjuk yang kita lewatkan."
Mereka membaca ulang jurnal itu dari awal. Arion menunjuk pada perbedaan tulisan tangan yang ia temukan. "Ini. Tulisan tangan yang berbeda ini. Ini yang membuatku yakin ada yang salah."
Lia mengamati tulisan itu dengan saksama. "Tulisan ini⦠terlihat seperti tulisan yang dibuat dengan tangan yang gemetar. Mungkin ini bukan dari psikopat, tapi dari orang lain yang juga terjebak di sini."
Mereka membalik halaman-halaman yang lusuh itu, mencari catatan-catatan lain yang tersembunyi. Dan kemudian, di halaman terakhir, mereka menemukan sebuah lipatan kecil yang hampir tidak terlihat. Di dalamnya, ada sebuah kartu memori kecil yang tertulis dengan spidol: "Lihat rekaman."
Jantung Arion berdegup kencang. "Rekaman apa?"
Lia menatapnya. "Aku tidak tahu. Tapi ini bisa jadi kuncinya."
Mereka mencoba mencari cara untuk melihat isi kartu memori itu. Laptop Arion tidak memiliki slot yang sesuai. Lia kemudian teringat kamera digital lamanya. Mereka pergi ke apartemen Lia dan mengambil kamera itu. Dengan tangan gemetar, Lia memasukkan kartu memori itu ke dalam kamera.
Layar kecil kamera itu menyala, menampilkan daftar file video yang tidak bernama. Lia memilih file yang paling baru dan memutarnya. Video itu menunjukkan rekaman dari kamera pengawas di sebuah apartemen. Apartemen itu adalah apartemen Arion.
Lia dan Arion duduk di sofa, menahan napas, menatap layar kamera. Rekaman itu menunjukkan kejadian yang mengerikan. Pintu apartemen Arion terbuka, dan seorang pria masuk ke dalam. Wajah pria itu tidak terlihat dengan jelas karena pencahayaan yang buruk. Pria itu masuk ke dalam, lalu menggeledah lemari dan laci. Ia menemukan sebuah jurnal, lalu menulis sesuatu di dalamnya.
Arion menatap layar itu dengan bingung. "Itu... siapa dia?"
Lia tidak menjawab, matanya terpaku pada layar.
Rekaman itu terus berlanjut. Pria itu menyembunyikan jurnal itu di dinding, lalu pergi. Namun, beberapa detik kemudian, ia kembali. Kali ini, ia memegang sebuah pisau di tangannya. Ia meletakkan pisau itu di bawah bantal, lalu pergi lagi.
Arion merasa mual. Ia menatap Lia, matanya memancarkan ketakutan. "Lia... siapa dia?"
Lia tidak menjawab. Ia hanya menatap rekaman itu dengan mata kosong.
Dan kemudian, rekaman itu menunjukkan sesuatu yang membuat darah Arion membeku. Pria itu kembali lagi. Kali ini, ia memegang kamera di tangannya. Ia mengarahkan kamera itu ke wajahnya. Wajahnya terlihat jelas. Itu adalah wajah Arion.
Arion menjerit, lalu menjatuhkan kamera itu. Kamera itu terjatuh ke lantai, layarnya pecah. Ia menatap Lia, yang juga menatapnya dengan ketakutan.
"Tidak mungkin," Arion berbisik. "Itu... itu bukan aku."
"Itu... itu wajahmu," kata Lia, suaranya gemetar. "Arion... kau... kau pelakunya?"
"Tidak! Tidak! Aku tidak ingat apa-apa!" Arion berteriak, suaranya putus asa. "Ini... ini pasti manipulasi! Ini jebakan! Kau yang memanipulasi rekaman ini!"
Lia mundur, wajahnya pucat. "Aku... aku tidak tahu."
"Kau tahu!" Arion berteriak. "Kau yang melakukannya! Kau yang membuat jurnal ini! Kau yang membuat semua ini! Kau ingin membuatku gila! Kau ingin membuatku percaya bahwa aku adalah psikopat itu!"
Lia menggelengkan kepalanya, air mata mengalir di pipinya. "Aku tidak! Aku tidak! Aku ingin membantumu!"
"Bohong!" Arion berteriak, lalu bangkit. "Kau berbohong! Kau adalah pembalas dendam! Kau adalah anak dari psikopat itu! Kau ingin aku membayar dosa ayahmu!"
Lia menatapnya, air matanya menetes. Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatap Arion dengan mata yang penuh ketakutan.
Arion melihat ke arah pintu, lalu ke arah Lia. Ia merasa ia harus melakukan sesuatu. Ia merasa ia harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Ia harus membuktikan bahwa Lia adalah pelakunya.
Ia melangkah mendekati Lia, yang mundur dengan panik. Lia membuka pintu, lalu berlari keluar. Arion mengikutinya, tetapi Lia sudah terlalu jauh. Ia melihat Lia menghilang di balik tikungan lorong.
Arion kembali ke apartemennya. Ia merasa ia telah mencapai titik terendah. Ia merasa ia telah kehilangan satu-satunya orang yang ia pikir bisa ia percaya. Ia duduk di lantai, di tengah kekacauan yang ia buat. Ia menatap jurnal yang kini terasa kosong. Ia tidak yakin apakah ia adalah psikopat itu atau tidak. Ia tidak yakin apakah ia adalah korban atau pelaku. Ia hanya tahu bahwa ia telah kehilangan dirinya.
Ia mengambil pisau yang ia temukan di bawah bantalnya, lalu menatapnya. Ia melihat bayangannya yang buram di pisau itu. Ia melihat ketakutan di matanya. Ia melihat kegilaan di matanya.
Lia, di sisi lain, berlari tanpa henti, air mata membanjiri wajahnya. Ia tidak tahu harus pergi ke mana. Ia tidak tahu harus bersembunyi di mana. Ia hanya tahu bahwa ia harus melarikan diri dari Arion. Ia harus melarikan diri dari pria yang ia pikir ia kenal. Ia harus melarikan diri dari pria yang ternyata adalah seorang psikopat.
Ia berhenti di sebuah taman, lalu duduk di bangku. Ia mengeluarkan ponselnya, lalu mencoba menelepon polisi. Tetapi ia tidak bisa. Tangannya gemetar. Ia tidak bisa mengetik nomornya. Ia merasa ia telah melakukan kesalahan. Ia merasa ia telah membuka pintu ke dunia yang gelap.
Ia menatap langit, lalu menangis. Ia merasa ia telah kehilangan segalanya. Ia merasa ia telah kehilangan satu-satunya orang yang ia pikir bisa ia selamatkan.
Di apartemen, Arion duduk di sofa, memegang pisau di tangannya. Ia tidak yakin apakah ia harus percaya pada Lia atau tidak. Ia tidak yakin apakah ia harus percaya pada jurnal itu atau tidak. Ia tidak yakin apakah ia harus percaya pada rekaman itu atau tidak. Ia hanya tahu bahwa ia tidak bisa lagi membedakan antara kenyataan dan fantasi.
Ia menatap jendela, lalu melihat ke apartemen Lia. Lampu di sana mati. Lia tidak ada di sana. Arion merasa sendirian. Ia merasa ia telah ditinggalkan. Ia merasa ia telah ditinggalkan oleh satu-satunya orang yang ia pikir bisa ia percaya.
Ia merasa ia telah mencapai batasnya. Ia merasa ia telah mencapai titik balik. Ia merasa ia harus melakukan sesuatu. Ia harus mengakhiri permainan ini. Tetapi ia tidak tahu bagaimana. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Ia hanya tahu bahwa ia tidak bisa lagi hidup seperti ini. Ia tidak bisa lagi hidup dengan keraguan dan ketakutan. Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia harus mencari tahu siapa yang sebenarnya ia.
Ia bangkit dari sofa, lalu berjalan menuju pintu. Ia akan mencari Lia. Ia akan mencari Lia, dan ia akan mendapatkan jawaban. Ia akan mendapatkan jawaban, bahkan jika ia harus melakukannya dengan paksa.
Ia membuka pintu, lalu melangkah keluar. Ia tidak tahu apa yang akan ia temukan di luar sana. Ia tidak tahu apakah ia akan menemukan kebenaran atau kegilaan. Ia hanya tahu bahwa ia harus pergi. Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Pintu apartemen itu tertutup dengan bunyi 'klik' yang keras, namun bagi Arion, suaranya terasa seperti pintu penjara yang menutupnya kembali dalam kegelapan. Langkahnya terhenti di lorong yang dingin. Rasa amarah, kebingungan, dan ketakutan bercampur aduk, membakar otaknya. Di mana Lia? Apakah ia benar-benar seorang psikopat yang memanipulasi segalanya? Atau apakah ia hanya seorang korban lain, yang juga terjebak dalam permainan ini?
Arion tidak tahu. Ia hanya tahu ia harus menemukan Lia.
Ia berjalan menyusuri lorong yang sepi, matanya menyapu setiap sudut. Ia melihat ke tangga darurat, lalu ke lift. Ia tidak tahu harus pergi ke mana. Ia merasa ia telah kehilangan jejak Lia. Ia kembali ke apartemennya, duduk di sofa yang sama, menatap kosong ke luar jendela.
Tiba-tiba, ia melihat sebuah cahaya kecil di apartemen Lia. Sebuah lilin. Lia pasti ada di sana.
Arion merasakan gelombang harapan. Ia bangkit, lalu berjalan dengan cepat menuju apartemen Lia. Ia mengetuk pintu dengan pelan, lalu mencoba membukanya. Pintu itu tidak dikunci. Ia masuk ke dalam, lalu melihat Lia duduk di lantai, bersandar pada dinding, memegang sebuah foto di tangannya. Lilin di depannya berkedip-kedip, menerangi wajahnya yang pucat.
"Arion," Lia berkata, suaranya serak. "Aku tahu kau akan kembali."
"Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi," Arion berkata, suaranya gemetar. "Siapa kau? Apa yang kau lakukan padaku?"
Lia menatapnya, air matanya menetes. "Duduklah," katanya. "Ada sesuatu yang harus kau tahu."
Arion duduk di seberang Lia, menatapnya dengan waspada. Lia membalik foto di tangannya. Foto itu menunjukkan seorang pria paruh baya yang tersenyum.
"Ini ayahku," Lia berkata, suaranya bergetar. "Dia... dia adalah salah satu korban. Dia dibunuh di apartemen ini."
Arion merasa bingung. "Tapi... foto yang aku temukan..."
"Dia juga seorang psikopat," Lia berkata, matanya menatap kosong ke depan. "Dia... dia juga menyiksa dan membunuh orang. Tapi... dia juga seorang korban. Dia dibunuh oleh psikopat lain. Psikopat yang sesungguhnya."
Arion merasa ia sedang terjebak dalam sebuah teka-teki yang tidak masuk akal. "Aku tidak mengerti."
Lia menghela napas panjang. "Psikopat yang membunuh ayahku... dia tidak pernah tertangkap. Polisi percaya bahwa dia masih berkeliaran di luar sana. Ayahku... dia adalah korban terakhirnya."
"Tapi... siapa psikopat itu?" Arion bertanya.
Lia tidak menjawab. Ia hanya menatap Arion dengan mata yang sulit diartikan.
"Aku... aku datang ke sini untuk mencari tahu," Lia berkata. "Aku ingin mencari tahu siapa yang membunuh ayahku. Aku ingin membalaskan dendamnya."
"Jadi... catatan itu... itu benar?" Arion bertanya.
Lia mengangguk. "Ya. Itu benar. Aku adalah anak dari korban-korbannya. Aku... aku sengaja membuat jurnal itu. Aku menaruhnya di sana untuk memancing psikopat yang asli."
Jantung Arion berdebar kencang. Ia merasa ia telah ditipu. Ia merasa Lia telah mempermainkannya.
"Kenapa kau melakukan ini padaku?" Arion bertanya, suaranya pecah.
Lia menatapnya. "Aku... aku tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa aku harus melakukannya. Aku harus mencari tahu siapa yang membunuh ayahku. Aku harus mengakhirinya."
"Jadi... kau tidak peduli padaku?" Arion berkata, suaranya bergetar.
Lia menggelengkan kepalanya, air matanya menetes. "Aku peduli padamu. Aku sangat peduli padamu. Tapi... aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku merasa... aku telah membuat kesalahan. Aku telah melukai seseorang yang tidak bersalah."
Arion menatapnya, matanya berkaca-kaca. "Kau... kau adalah jebakan? Kau adalah... korban?"
Lia tidak menjawab. Ia hanya menangis, membiarkan air matanya mengalir. Arion merasa ia telah mencapai batasnya. Ia merasa ia tidak bisa lagi membedakan antara kebenaran dan kebohongan. Ia merasa ia tidak bisa lagi membedakan antara korban dan pelaku.
"Aku... aku minta maaf," Lia berkata, suaranya serak. "Aku tidak bermaksud untuk melukaimu. Aku... aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Arion tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya menatap Lia, lalu memeluknya. Ia merasa ia telah menemukan kebenaran. Kebenaran yang menyakitkan, tetapi tetap kebenaran. Ia merasa ia telah menemukan seseorang yang juga tersesat, seseorang yang juga mencari jawaban.
"Kita akan mencarinya bersama," Arion berkata, suaranya pelan. "Kita akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan kita akan mengakhirinya."
Lia menatapnya, matanya melebar. "Kau... kau akan membantuku?"
Arion mengangguk. "Ya. Aku akan membantumu. Karena aku percaya padamu."
Lia membalas pelukan Arion. Mereka duduk di sana, di tengah kegelapan, di tengah keheningan, di tengah lilin yang berkedip-kedip, di tengah dua jiwa yang tersesat. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Mereka hanya tahu bahwa mereka tidak akan sendirian.
Keesokan harinya, mereka memulai investigasi mereka. Mereka memeriksa setiap sudut apartemen Lia, mencari petunjuk yang mungkin ia lewatkan. Mereka mencari di bawah kasur, di dalam lemari, dan di dalam laci. Mereka menemukan sebuah foto lain. Foto itu menunjukkan ayah Lia dengan seorang pria lain. Wajah pria itu tidak terlihat dengan jelas, tetapi ia memegang sebuah kalung di tangannya. Kalung yang sama dengan yang Arion temukan.
"Ini... dia yang membunuh ayahku," Lia berbisik. "Tapi... siapa dia?"
Arion menatap foto itu. Ia merasa ia mengenalnya. Tetapi ia tidak bisa mengingatnya.
Mereka mencari di internet, mencari foto-foto lama dari psikopat yang tidak tertangkap itu. Mereka mencari di arsip berita, mencari petunjuk yang mungkin mereka lewatkan. Dan kemudian, mereka menemukan sebuah artikel berita lama. Artikel itu menceritakan tentang pembunuhan berantai yang terjadi di apartemen itu. Artikel itu juga memuat foto psikopat yang tidak tertangkap itu.
Arion menatap foto itu, lalu menatap Lia. Ia tidak bisa berkata-kata. Wajah pria itu... wajah itu... wajah itu adalah wajahnya.
"Tidak mungkin," Arion berbisik. "Itu... itu bukan aku."
Lia menatap foto itu, lalu menatap Arion. Matanya melebar, lalu ia mundur. "Tidak mungkin," Lia berbisik. "Itu... itu wajahmu."
Arion merasa ia telah mencapai batasnya. Ia merasa ia telah terjebak dalam sebuah mimpi buruk. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
"Ini... ini pasti jebakan," Arion berkata, suaranya gemetar. "Ini... ini pasti manipulasi."
Lia menggelengkan kepalanya. "Aku... aku tidak tahu."
"Kau harus percaya padaku," Arion berkata, suaranya pecah. "Aku... aku bukan orang itu."
Lia menatapnya, matanya berkaca-kaca. "Aku... aku ingin percaya padamu."
Arion merasa ia harus membuktikan dirinya. Ia mengambil jurnal yang ia temukan, lalu menunjukkan pada Lia. "Lihat. Ada tulisan tangan yang berbeda di sini. Tulisan tangan itu... itu bukan tulisan tanganku."
Lia mengambil jurnal itu, lalu melihatnya. Ia menatap tulisan tangan yang berbeda itu, lalu menatap Arion. Ia merasa ia tidak bisa mempercayai siapa pun. Ia tidak bisa mempercayai dirinya sendiri.
"Aku... aku tidak tahu," Lia berbisik.
Arion merasa ia telah kehilangan kendali atas dirinya. Ia merasa ia telah kehilangan satu-satunya orang yang ia pikir bisa ia percaya. Ia merasa ia telah kehilangan dirinya sendiri.
"Aku akan membuktikannya padamu," Arion berkata, suaranya dingin. "Aku akan membuktikan bahwa aku tidak bersalah."
Ia bangkit, lalu berjalan menuju pintu. Lia tidak menghentikannya. Ia hanya menatapnya, matanya penuh ketakutan.
Arion kembali ke apartemennya, lalu mencari petunjuk. Ia mencari di mana-mana, di bawah karpet, di dalam lemari, dan di dalam laci. Ia merasa ia harus menemukan sesuatu yang bisa membuktikan dirinya.
Dan kemudian, ia menemukan sebuah kunci kecil di bawah karpet. Kunci yang terlihat sama dengan kunci yang ia temukan di apartemennya. Kunci yang terlihat sama dengan kunci yang ia lihat di jurnal itu. Ia mengambil kunci itu, lalu melihat ke arah pintu. Ia tahu ke mana kunci itu akan membawanya. Ia tahu ke mana ia harus pergi.
Ia pergi ke apartemen Lia, lalu membuka pintu. Lia sedang duduk di sofa, memegang ponselnya di tangan. Arion masuk ke dalam, lalu menatap Lia.
"Aku tahu siapa psikopat yang sebenarnya," Arion berkata, suaranya dingin. "Dan aku akan membuktikannya padamu."
Lia menatapnya, matanya melebar. Ia tidak mengatakan apa-apa.
Arion berjalan menuju pintu di belakang Lia, lalu memasukkan kunci itu ke dalam lubang kuncinya. Ia memutarnya, lalu membuka pintu itu. Di dalamnya, ada sebuah ruangan rahasia. Sebuah ruangan yang penuh dengan rekaman video, foto-foto, dan jurnal.
Arion mengambil sebuah rekaman video, lalu memasukkannya ke dalam pemutar video. Ia menyalakannya, lalu menatap layar. Rekaman itu menunjukkan seseorang yang sedang berbicara dengan kamera.
"Aku tahu kau menonton ini," suara pria itu berkata. "Aku tahu kau takut. Aku tahu kau bingung. Tapi kau harus tahu... aku bukan orang yang kau pikirkan. Aku adalah orang yang akan membantumu. Aku adalah orang yang akan membantumu menemukan kebenaran."
Arion menatap Lia. Wajah Lia pucat. Ia melihat ke arah layar, lalu ke arah Arion.
"Tidak mungkin," Lia berbisik.
"Ya," Arion berkata, suaranya dingin. "Mungkin. Karena aku adalah psikopat yang sebenarnya."
Lia menatapnya dengan mata yang penuh ketakutan. "Tidak... tidak..."
Arion tersenyum, lalu menatap Lia. "Ya. Aku adalah psikopat itu. Aku adalah orang yang membunuh ayahmu. Aku adalah orang yang menulis jurnal itu. Aku adalah orang yang meletakkan pisau di bawah bantal."
Lia menjerit, lalu melarikan diri. Arion tidak menghentikannya. Ia hanya menatap Lia yang menghilang. Ia tahu ia telah mencapai tujuannya. Ia telah membuat Lia percaya bahwa ia adalah psikopat itu. Ia telah membuat Lia percaya bahwa ia adalah orang yang harus ia takuti.
Ia kembali ke apartemennya, lalu duduk di sofa. Ia memegang pisau di tangannya, lalu menatapnya. Ia tersenyum. Ia tidak tahu apakah ia benar-benar psikopat itu atau tidak. Ia tidak tahu apakah ia benar-benar gila atau tidak. Ia hanya tahu bahwa ia telah menemukan kedamaian. Ia telah menemukan kedamaian dalam kegilaan.
Lia berlari sekuat tenaga, napasnya tersengal-sengal, air mata mengalir membasahi pipinya. Lorong apartemen yang biasanya sunyi kini terasa seperti labirin tanpa ujung, setiap tikungan dipenuhi bayangan Arion yang tersenyum. Senyum itu, senyum yang tadinya terasa menenangkan, kini menjadi simbol teror yang paling mengerikan. Ia telah salah. Ia telah jatuh ke dalam jebakan yang paling cerdik. Arion, si introver pemalu yang ia kira adalah korban, ternyata adalah pemangsa yang sesungguhnya, psikopat yang ia cari selama ini.
Ia sampai di tangga darurat, lalu menuruni anak tangga satu per satu, kakinya terasa seperti jeli. Ia terus berlari, mengabaikan rasa sakit di paru-parunya. Ia harus pergi dari sana. Ia harus menjauh dari Arion. Ia harus melarikan diri dari takdir yang telah menunggu dirinya.
Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki dari atas. Langkah yang berat dan terburu-buru. Lia membeku, jantungnya berdebar kencang. Ia tahu itu Arion. Ia tahu Arion mengikutinya. Ia menahan napas, lalu bersembunyi di balik sebuah pintu. Ia menunggu, berharap Arion tidak melihatnya. Suara langkah kaki itu semakin dekat, lalu berhenti tepat di depannya. Lia menutup matanya, menahan napasnya. Ia bisa mendengar suara napas Arion yang berat, dan ia bisa merasakan kehadiran Arion.
Lalu, suara itu menghilang. Langkah kaki itu kembali menjauh, lalu menghilang. Lia menghela napas lega, lalu membuka matanya. Ia melangkah keluar dari persembunyiannya, lalu berjalan menuju pintu keluar. Ia harus pergi dari sana. Ia harus mencari bantuan.
Sementara itu, Arion kembali ke apartemennya. Ia tidak menggejar Lia. Ia hanya ingin tahu apakah Lia akan kembali. Ia hanya ingin tahu apakah Lia akan menjadi korban selanjutnya. Ia duduk di sofa, memegang pisau di tangannya, lalu menatapnya. Ia tersenyum.
Tiba-tiba, ia mendengar suara ketukan di pintu apartemennya. Jantungnya berdebar. Lia kembali. Ia bangkit, lalu berjalan menuju pintu. Ia membukanya, lalu melihat Lia berdiri di sana. Wajah Lia pucat, matanya merah.
"Aku... aku tidak tahu," Lia berkata, suaranya serak. "Aku... aku bingung."
"Kau bingung?" Arion berkata, senyumnya melebar. "Kau bingung karena kau tidak tahu siapa yang harus kau percaya. Kau tidak tahu siapa yang harus kau takuti. Kau tidak tahu siapa yang harus kau benci."
Lia menatapnya, matanya berkaca-kaca. "Aku... aku tidak percaya padamu."
"Kau harus," Arion berkata, suaranya dingin. "Karena aku adalah orang yang membunuh ayahmu. Aku adalah orang yang menulis jurnal itu. Aku adalah orang yang akan membunuhmu."
Lia menatapnya, air matanya menetes. Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatap Arion dengan mata yang penuh ketakutan.
Arion tersenyum, lalu melangkah keluar. "Kau harus pergi," katanya. "Kau harus lari. Kau harus bersembunyi. Kau harus hidup dengan ketakutan. Karena itu adalah takdirmu."
Lia menggelengkan kepalanya. "Aku tidak... aku tidak mau."
"Kau mau," Arion berkata. "Karena itu adalah takdirmu. Dan aku akan mengikutimu. Aku akan mengikutimu sampai kau tidak bisa lari lagi. Aku akan mengikutimu sampai kau tidak bisa bersembunyi lagi. Aku akan mengikutimu sampai kau tidak bisa bernapas lagi."
Lia melarikan diri, berlari sekuat tenaga. Arion tidak mengikutinya. Ia hanya tersenyum, lalu kembali ke apartemennya. Ia menutup pintu, lalu menguncinya. Ia duduk di sofa, lalu menatap pisau di tangannya. Ia tidak yakin apakah ia benar-benar psikopat itu atau tidak. Ia tidak yakin apakah ia benar-benar gila atau tidak. Ia hanya tahu bahwa ia telah menemukan kedamaian. Ia telah menemukan kedamaian dalam kegilaan.
Ia menatap jurnal yang kini terasa kosong. Ia tidak yakin apakah ia adalah psikopat itu atau tidak. Ia tidak yakin apakah ia adalah korban atau pelaku. Ia hanya tahu bahwa ia telah kehilangan dirinya.
Ia duduk di kursi, lalu memegang pisau di tangannya. Ia tersenyum, lalu menatap dirinya di cermin. Ia melihat dirinya, tetapi ia merasa ia melihat psikopat itu. Ia merasa ia telah menjadi psikopat itu.
Lia, di sisi lain, berlari tanpa henti, air mata membanjiri wajahnya. Ia tidak tahu harus pergi ke mana. Ia tidak tahu harus bersembunyi di mana. Ia hanya tahu bahwa ia harus melarikan diri dari Arion. Ia harus melarikan diri dari pria yang ia pikir ia kenal. Ia harus melarikan diri dari pria yang ternyata adalah seorang psikopat.
Ia berhenti di sebuah taman, lalu duduk di bangku. Ia mengeluarkan ponselnya, lalu mencoba menelepon polisi. Tetapi ia tidak bisa. Tangannya gemetar. Ia tidak bisa mengetik nomornya. Ia merasa ia telah melakukan kesalahan. Ia merasa ia telah membuka pintu ke dunia yang gelap.
Ia menatap langit, lalu menangis. Ia merasa ia telah kehilangan segalanya. Ia merasa ia telah kehilangan satu-satunya orang yang ia pikir bisa ia selamatkan.
Di apartemen, Arion duduk di sofa, memegang pisau di tangannya. Ia tidak yakin apakah ia harus percaya pada Lia atau tidak. Ia tidak yakin apakah ia harus percaya pada jurnal itu atau tidak. Ia tidak yakin apakah ia harus percaya pada rekaman itu atau tidak. Ia hanya tahu bahwa ia tidak bisa lagi membedakan antara kenyataan dan fantasi.
Ia menatap jendela, lalu melihat ke apartemen Lia. Lampu di sana mati. Lia tidak ada di sana. Arion merasa sendirian. Ia merasa ia telah ditinggalkan. Ia merasa ia telah ditinggalkan oleh satu-satunya orang yang ia pikir bisa ia percaya.
Ia merasa ia telah mencapai batasnya. Ia merasa ia telah mencapai titik balik. Ia merasa ia harus melakukan sesuatu. Ia harus mengakhiri permainan ini. Tetapi ia tidak tahu bagaimana. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Ia hanya tahu bahwa ia tidak bisa lagi hidup seperti ini. Ia tidak bisa lagi hidup dengan keraguan dan ketakutan. Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia harus mencari tahu siapa yang sebenarnya ia.
Ia bangkit dari sofa, lalu berjalan menuju pintu. Ia akan mencari Lia. Ia akan mencari Lia, dan ia akan mendapatkan jawaban. Ia akan mendapatkan jawaban, bahkan jika ia harus melakukannya dengan paksa.
Ia membuka pintu, lalu melangkah keluar. Ia tidak tahu apa yang akan ia temukan di luar sana. Ia tidak tahu apakah ia akan menemukan kebenaran atau kegilaan. Ia hanya tahu bahwa ia harus pergi. Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.