Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,805
Jumat Akhir Bulan Juli
Horor

Bab 1: Pindah ke Jalan Kenanga

Pukul sebelas siang, sinar matahari bulan Juni menusuk kaca jendela taksi yang Dina tumpangi, memantulkan siluet pepohonan rindang di sisi jalan. Dina, menempelkan telapak tangan ke pipi, mencoba mengusir gerah yang menggantung. Di sampingnya, Lela, sahabat karibnya sejak zaman kuliah, sibuk membetulkan letak kacamata bacanya, jemarinya lincah memindai layar ponsel, mencari-cari alamat. Mereka berdua, dua karyawati baru dari kota kecil yang jauh, akan segera memulai babak baru di kehidupan mereka di Samarinda, kota yang terasa begitu asing sekaligus menjanjikan.

“Sudah dekat, Din?” Lela bertanya, suaranya sedikit serak karena perjalanan panjang.

“Seharusnya, sih,” jawab Dina, melirik GPS yang menunjukkan titik biru mereka tinggal beberapa ratus meter lagi dari tujuan. “Kata si agen, nggak jauh dari kantor kita.”

Jalan Kenanga. Nama jalan yang terdengar begitu tenang, seolah menjanjikan kedamaian di tengah hiruk pikuk kota. Mereka berdua memang sengaja mencari tempat tinggal yang dekat dengan kantor baru mereka, sebuah perusahaan konsultan yang cukup besar di pusat kota. Pertimbangan utama adalah efisiensi waktu dan biaya transportasi. Ketika seorang agen properti menawarkan sebuah rumah kos di Jalan Kenanga, hanya berjarak 200 meter dari gedung kantor, dengan harga sewa yang terbilang sangat murah untuk fasilitas yang ditawarkan—kamar mandi dalam, AC, dan furnished—mereka tak berpikir dua kali. Terlalu bagus untuk dilewatkan, pikir mereka kala itu.

Taksi melambat, berbelok ke sebuah gang sempit yang diapit ruko-ruko tua. Gang itu tak beraspal, hanya berupa tanah padat yang sedikit berdebu. Di ujung gang, mereka melihatnya. Sebuah rumah tua berlantai dua, dindingnya dicat krem kusam, dengan genteng merah marun yang tampak sedikit lumutan. Halaman depannya tidak terlalu luas, hanya cukup untuk parkir dua motor dan ditanami beberapa pot bunga bugenvil yang tumbuh rimbun. Tidak ada kesan mewah, tapi terlihat bersih dan terawat. “Ini dia,” kata Dina, menunjuk.

Sopir taksi menghentikan kendaraannya tepat di depan pagar kayu yang sedikit terbuka. Mereka turun, menyeret koper-koper mereka yang berat. Udara di sekitar rumah terasa sedikit lebih sejuk, dan entah mengapa, ada aura kesunyian yang mencekam. Bukan sunyi karena tidak ada suara, tapi sunyi yang seolah menyembunyikan sesuatu. Jauh dari kebisingan jalan raya utama, rumah itu berdiri seolah terisolasi dalam dunianya sendiri.

“Selamat siang, Nak?” Suara itu tiba-tiba muncul dari balik pintu utama yang sedikit terbuka. Seorang perempuan paruh baya dengan rambut disanggul rapi dan kain batik sebagai bawahan, muncul. Wajahnya ramah, tapi senyumnya terasa tipis, hampir tidak terlihat. Ia adalah Ibu Penjaga, begitu si agen properti menyebutnya. “Sudah ditunggu, mari masuk.”

Mereka saling pandang, sedikit canggung. Pemilik kos, yang seharusnya menyambut mereka, tidak pernah muncul sejak awal. Semua komunikasi hanya melalui agen dan Ibu Penjaga ini. Namun, rasa lelah akibat perjalanan jauh membuat mereka mengabaikan keanehan kecil itu. Mereka hanya ingin segera merebahkan diri.

Ibu Penjaga membawa mereka ke kamar di lantai dua. Lorong lantai dua terasa panjang dan agak gelap, meskipun ada beberapa jendela yang seharusnya bisa menerangi. Hanya ada lima kamar di lantai ini, dan sepertinya hanya kamar mereka yang terisi. Pintu-pintu kamar lainnya tertutup rapat, seolah tak berpenghuni. Sepanjang perjalanan di lorong itu, Dina merasakan hawa dingin yang merayap di kulit, bukan dingin karena AC, melainkan dingin yang aneh, seperti udara yang terperangkap dan tidak bergerak.

Kamar mereka ternyata cukup luas, jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan untuk harga segitu. Ada dua tempat tidur single, dua lemari pakaian, meja belajar, dan kamar mandi dalam yang bersih. Jendela besar menghadap ke halaman belakang, di mana tumbuh sebatang pohon mangga yang menjulang tinggi, daunnya lebat dan rimbun. “Ini kuncinya, Nak. Kalau ada apa-apa, panggil saja saya di bawah,” kata Ibu Penjaga, meletakkan seikat kunci di meja dan kemudian berlalu pergi tanpa banyak bicara. Ia memang pendiam, sesuai deskripsi agen.

Setelah Ibu Penjaga pergi, Lela langsung menjatuhkan diri di salah satu kasur. “Akhirnya! Pegal sekali badanku.”

Dina tersenyum, mulai membongkar isi koper. “Lumayan, kan, kamarnya? Bersih lagi.”

“Iya, sih. Tapi kok sepi sekali, ya? Apa cuma kita penghuninya?” Lela bertanya sambil mengamati sekeliling kamar.

“Mungkin yang lain lagi pada kerja atau keluar,” jawab Dina seadanya, meskipun dalam hati Dina juga bertanya-tanya. Sepanjang mereka masuk, tidak ada suara lain selain langkah kaki mereka dan Ibu Penjaga. Tidak ada musik, tidak ada obrolan, bahkan tidak ada suara televisi dari kamar lain. Rumah ini terasa seperti kuburan.

Mereka menghabiskan sisa sore itu untuk menata barang-barang dan membersihkan diri. Setelah mandi air hangat, tubuh rasanya sedikit lebih segar. Mereka memesan makanan via aplikasi daring, makan di kamar sambil menonton film ringan di laptop. Malam mulai merayap, membawa serta kegelapan yang pekat. Lampu kamar mereka memancarkan cahaya kuning redup, menciptakan suasana yang remang-remang.

Sekitar pukul sebelas malam, Lela sudah terlelap di kasurnya. Dina masih terjaga, asyik membaca novel di ponsel. Tiba-tiba, telinga Dina menangkap suara samar. Sepertinya dari arah kamar mandi. Bukan suara air menetes, bukan suara pipa. Ini… suara tangisan. Sangat pelan, hampir tak terdengar, namun jelas itu suara isak tangis.

Dina menahan napas, mencoba memastikan. Apakah hanya perasaan Dina saja? Atau mungkin suara dari kamar tetangga? Tapi bukankah Lela tadi bilang rumah ini sepi?

Suara itu terdengar lagi, lebih jelas kali ini. Sedikit merintih, disusul isak-isak kecil. Dina melirik Lela, dia masih pulas. Rasa penasaran bercampur sedikit takut mulai merayapi. Dina beranjak pelan dari kasur, melangkah tanpa suara menuju pintu kamar mandi. Suara tangisan itu seolah memanggil Dina, semakin jelas ketika Dina mendekat. Itu memang berasal dari dalam kamar mandi mereka.

Jantung Dina berdebar kencang. Setahu Dina, di dalam kamar mandi hanya ada kloset, shower, dan wastafel. Tidak ada celah atau lubang yang bisa mengeluarkan suara dari luar. Tangisan itu… terdengar begitu dekat, seolah ada seseorang di dalam sana.

Perlahan, Dina memutar kenop pintu kamar mandi. Klik. Pintu sedikit terbuka. Dina mengintip ke dalam. Gelap. Lampu kamar mandi mati. Dina meraih saklar lampu di dinding, dan dengan satu klik, ruangan itu langsung terang benderang.

Tidak ada siapa-siapa.

Hanya ada cermin beruap, kloset putih bersih, dan shower yang menggantung tenang. Tidak ada tanda-tanda keberadaan seseorang. Suara tangisan itu pun langsung lenyap, seolah tak pernah ada.

Dina berdiri di sana, terdiam, memindai setiap sudut ruangan, mencari penjelasan logis. Mungkin Dina lelah dan berhalusinasi? Atau mungkin… suara itu berasal dari kamar mandi lain? Tapi, jika itu dari kamar mandi lain, mengapa suara tangisan itu terdengar begitu jelas dan langsung menghilang saat Dina membuka pintu kamar mandi mereka?

Rasa dingin merayap di punggung Dina. Dina menutup kembali pintu kamar mandi, membiarkannya terkunci. Kembali ke kasur, Dina mencoba menenangkan diri. Mungkin efek jet lag, atau hanya imajinasi Dina yang terlalu liar setelah membaca banyak cerita horor. Namun, sepasang mata Dina tak bisa terpejam lagi. Sepanjang sisa malam, Dina terus mendengarkan. Berharap suara itu tidak kembali, namun juga sedikit takut jika ia memang kembali.

Gelap malam terasa semakin pekat, dan kesunyian rumah kos itu kini terasa lebih menekan, seperti selimut tebal yang menjerat. Di luar jendela, cahaya bulan tertutup awan, menyisakan kegelapan absolut. Pohon mangga di halaman belakang tampak seperti siluet raksasa dengan cabang-cabang yang menggantung, seolah mengawasi. Dina menelan ludah, mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran aneh dari kepala. Besok, Dina akan tanyakan Lela apakah dia juga mendengar hal yang sama. Mungkin itu hanya suara tikus, atau kucing, atau… entahlah.

Tepat saat jarum jam menunjuk angka tiga pagi, Dina mendengar suara lagi. Kali ini bukan tangisan, tapi suara seperti gesekan kuku panjang di dinding kamar mandi. Pelan, berirama, seolah ada seseorang yang sedang mengukir sesuatu di sana. Dina menarik selimut hingga leher, memejamkan mata erat-erat, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk. Namun, rasa dingin yang semakin menusuk tulang dan aroma tanah basah yang tiba-tiba tercium samar, membuktikan bahwa Dina sepenuhnya terjaga.

Rumah ini… mungkin tidak sesederhana yang mereka kira. Atau, mungkin, ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih gelap. Dina tidak tahu. Yang jelas, tidur nyenyak di malam pertama mereka di Jalan Kenanga, ternyata hanyalah sebuah khayalan. Dan suara tangisan itu, yang kini berganti menjadi gesekan menyeramkan, akan terus menghantui hingga pagi menjelang. Atau mungkin, hingga mereka menemukan kebenaran di balik kesunyian misterius rumah kos tanpa jejak ini.

Bab 2: Rumah yang Tak Diingat Siapa-Siapa

Pagi itu, mentari terbit dengan malu-malu, menyisakan jejak kelabu di langit timur Samarinda. Cahayanya yang samar menelusup tirai kamar mereka, membangunkan Lela dari tidur pulasnya. Dina sendiri sudah terjaga sejak semalam, merasakan setiap detik waktu yang merangkak pelan. Kantung mata menghitam, dan kepala terasa berat seperti dihantam batu. Suara gesekan kuku di dinding kamar mandi itu tidak terdengar lagi, tapi ketakutan yang ditinggalkannya masih menempel erat di setiap sudut otak Dina.

“Hoaaamm… pagi, Din,” sapa Lela sambil meregangkan tubuh. Dia terlihat segar bugar, sama sekali tidak terganggu oleh apa pun yang terjadi semalam. “Tumben sudah bangun? Biasanya jam segini masih molor.”

Dina hanya tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahan. “Enggak bisa tidur semalam. Mungkin karena tempat baru.” Dina sengaja tak langsung menceritakan tentang suara tangisan dan gesekan itu. Dina ingin melihat reaksinya, apakah dia juga merasakan atau mendengar sesuatu.

Mereka bersiap-siap untuk hari pertama bekerja. Mengenakan seragam kantor yang rapi, mereka melangkah keluar dari kamar. Lorong di lantai dua kini terasa sedikit lebih terang, meski masih diselimuti aura kesunyian yang aneh. Tak ada penghuni lain yang terlihat, tak ada suara obrolan atau aktivitas pagi dari kamar-kamar di sebelah. Mereka berpapasan dengan Ibu Penjaga di lantai bawah. Dia hanya mengangguk singkat, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sikapnya yang pendiam kini terasa sedikit... mencurigakan.

Perjalanan ke kantor sangat singkat, hanya butuh waktu lima menit berjalan kaki. Gedung kantor mereka menjulang tinggi, modern, dan sangat kontras dengan rumah kos tua tempat mereka menginap. Begitu masuk ke lobi, hiruk pikuk karyawan yang lalu-lalang langsung menyambut. Suasana di sini terasa hidup, normal, dan membuat Dina sedikit melupakan kengerian semalam.

Di meja kerja mereka, mereka disambut oleh beberapa rekan baru. Ada Maya, seorang senior yang ramah, dan Kevin, seorang rekan sebaya yang selalu ceria. Setelah sesi orientasi singkat dan perkenalan dengan tim, obrolan santai pun dimulai.

“Kalian ngekos di mana?” tanya Maya, menyeruput kopi dari cangkirnya.

“Di Jalan Kenanga, Mbak,” jawab Lela antusias. “Dekat sekali dari sini, cuma 200 meteran.”

Maya mengerutkan kening. “Jalan Kenanga? Jalan Kenanga itu di mana, ya? Aku kok nggak familiar. Setahu aku, di sekitar sini nggak ada kosan yang terlalu dekat, paling harus agak masuk ke dalam gang.”

Dina dan Lela saling pandang. Sedikit bingung. “Itu lho, Mbak. Yang rumahnya agak tua, catnya krem, di gang kecil. Kemarin kami jalan kaki ke sini kok, dekat sekali,” jelas Dina.

Kevin yang sedang mengetik di komputernya ikut menoleh. “Jalan Kenanga? Seriusan, aku juga baru dengar ada kosan di sana. Kayaknya aku sudah belasan tahun kerja di sini, tahu semua seluk-beluk daerah sini. Lahan kosong di dekat sini cuma ada satu, itupun bekas kebakaran dulu, sudah lama sekali.”

Perkataan Kevin itu membuat Dina merinding. Bekas kebakaran? Lahan kosong? Dina dan Lela mencoba meyakinkan mereka, bahkan Lela mengeluarkan ponselnya. “Ini fotonya, deh. Ada kok rumahnya. Bagus, kan?” Lela menunjukkan beberapa foto rumah kos yang dia ambil kemarin sore.

Namun, reaksi Maya dan Kevin membuat mereka terkejut. Maya memicingkan mata ke layar ponsel Lela. “Kok buram, ya, Le? Kayak ada filter gelapnya. Ini sih… aku nggak bisa lihat ada rumah di sana. Cuma kelihatan kayak semak-semak dan pohon doang.”

Kevin menimpal, “Iya, bener. Gelap banget. Ini kamu foto di mana, sih? Ini lebih mirip foto reruntuhan daripada rumah kos.”

Dina dan Lela menatap layar ponsel mereka. Benar. Foto-foto yang kemarin terlihat jelas dan terang, kini berubah menjadi buram, gelap, dan samar. Seolah ada kabut hitam yang menyelimuti objek rumah. Bahkan, detail rumahnya pun nyaris tak terlihat. Hanya siluet samar yang memang lebih mirip gundukan puing atau semak belukar. Padahal, saat mengambil foto itu, Lela bilang hasil fotonya bagus sekali.

Ini aneh. Sangat aneh.

Di tengah kebingungan mereka, seorang petugas kebersihan kantor, seorang bapak tua dengan rambut memutih yang mereka tahu bernama Pak Joni, kebetulan lewat. Dia sudah bekerja di kantor ini puluhan tahun, wajahnya selalu terlihat lelah namun matanya menyimpan kebijaksanaan. Dia menyapu lantai di dekat meja mereka, dan seolah tidak sengaja mendengar obrolan mereka, dia tiba-tiba mendekat.

Pak Joni menunduk, berpura-pura mengelap debu di meja mereka. Suaranya berbisik, sangat pelan, nyaris tak terdengar oleh Maya dan Kevin yang sedang asyik membahas pekerjaan lain.

“Kalian harus pergi… sebelum Jumat terakhir bulan Juli,” bisiknya, matanya menatap mereka lurus-lurus, penuh peringatan. Ada nada ketakutan yang dalam di suaranya. “Kalau tidak… kalian ikut jadi arwah.”

Jantung Dina serasa berhenti berdetak. Bisikan itu menusuk tepat ke ulu hati Dina. Apa maksudnya ‘ikut jadi arwah’? Dan mengapa ‘Jumat terakhir bulan Juli’? Tanggal itu… sebentar lagi. Sekarang sudah pertengahan Juni. Itu berarti mereka hanya punya waktu kurang dari sebulan.

Sebelum mereka sempat bertanya lebih jauh, Pak Joni sudah menjauh, melanjutkan pekerjaannya seolah tidak terjadi apa-apa. Maya dan Kevin yang sedang sibuk, sama sekali tidak menyadari interaksi singkat mereka.

Dina dan Lela terdiam, terpaku di kursi masing-masing. Dingin. Bukan hanya karena AC kantor, tapi dingin yang datang dari bisikan Pak Joni dan kejadian aneh dengan foto-foto itu. Otak Dina berputar mencoba mencerna. Rumah yang tidak ada di ingatan siapapun? Foto yang berubah buram? Peringatan untuk pergi sebelum Jumat terakhir bulan Juli? Dan kata ‘arwah’…

“Din, kamu dengar apa kata Pak Joni?” Lela berbisik, wajahnya pucat.

Dina mengangguk, tenggorokan Dina tercekat. “Jumat terakhir bulan Juli… apa maksudnya?”

“Aku nggak tahu,” Lela menggelengkan kepala. “Tapi… jangan-jangan ada hubungannya sama suara tangisan semalam?”

Dina menatapnya. “Kamu juga dengar?” tanya Dina, sedikit lega karena ternyata Dina tidak sendiri.

Lela mengangguk cepat. “Iya! Sekitar jam sebelas atau dua belas malam. Suara tangisan dari kamar mandi. Aku pikir cuma mimpi, terus aku coba nggak peduliin. Kamu dengar juga?”

“Aku juga dengar. Dan setelah itu, ada suara gesekan kuku dari dinding kamar mandi. Seperti orang mengukir sesuatu,” jawab Dina, suara Dina ikut merendah.

Mata Lela membulat. “Apa? Gesekan? Aku nggak dengar yang itu.” Dia terlihat makin ketakutan.

Ketakutan itu kini terasa nyata. Bukan lagi sekadar halusinasi atau mimpi buruk. Ada sesuatu yang tidak beres dengan rumah kos itu. Rekan-rekan kantor tidak mengingatnya, fotonya buram, dan Pak Joni yang tua itu memberikan peringatan mengerikan.

Sepanjang hari itu, mereka sulit berkonsentrasi. Pikiran mereka terus-menerus kembali ke rumah kos di Jalan Kenanga. Setiap kali ada waktu luang, mereka mencoba mencari informasi tentang rumah itu di internet, menggunakan alamat lengkap yang diberikan agen. Namun, hasilnya nihil. Tidak ada ulasan, tidak ada foto, bahkan tidak ada jejak di peta digital. Seolah-olah rumah itu tidak pernah ada.

Pulang kantor sore harinya, langkah mereka terasa berat. Setiap langkah mendekati gang sempit itu, jantung mereka berdegup semakin kencang. Mereka melihat rumah itu berdiri di ujung gang, persis seperti kemarin. Tidak ada perubahan. Warna catnya masih krem kusam, gentengnya masih sedikit lumutan. Tampak normal di mata telanjang. Tapi mereka tahu, ada sesuatu yang tidak normal di dalamnya.

Saat mereka memasuki halaman, Ibu Penjaga sudah berdiri di teras, menatap mereka dengan tatapan yang sulit diartikan. Senyum tipisnya masih sama, namun kali ini terasa lebih menyeramkan. Seolah dia tahu sesuatu yang mereka tidak tahu, atau bahkan dia adalah bagian dari semua misteri ini.

“Selamat datang kembali, Nak,” sapanya, suaranya datar.

Mereka mengangguk kaku, bergegas melewati. Dina merasakan punggung Dina merinding saat melewatinya. Entah mengapa, Dina merasa tatapan Ibu Penjaga itu menusuk ke belakang kepala Dina. Seolah dia tahu mereka sudah mendengar bisikan Pak Joni. Seolah dia tahu mereka kini mulai merasakan kengerian yang bersembunyi di balik dinding-dinding tua itu.

Sesampainya di kamar, mereka langsung mengunci pintu. Lela mengamati ponselnya lagi. “Lihat, Din. Fotoku sudah kembali normal. Jelas lagi.”

Dina mengambil ponselnya. Benar. Foto-foto rumah kos yang tadi pagi terlihat buram dan gelap, kini kembali cerah dan jelas. Dina menatap foto itu, mencoba mencari celah, mencoba mencari penjelasan. Mengapa bisa seperti ini? Apa yang terjadi?

“Ini nggak masuk akal, Le,” bisik Dina, rasa takut yang tadi sempat mereda kini kembali membuncah. “Semua ini… ada hubungannya dengan rumah ini. Dengan peringatan Pak Joni.”

Lela mengangguk, wajahnya pucat. “Kita harus cari tempat lain, Din. Secepatnya.”

Dina setuju. Tapi mencari kosan baru dalam waktu singkat dengan kriteria yang sama, apalagi di Samarinda yang baru mereka datangi, tentu bukan hal yang mudah. Apalagi, mereka sudah membayar sewa untuk sebulan penuh.

Malam itu, mereka mencoba tidur. Namun, bisikan Pak Joni terus terngiang-ngiang di telinga Dina: “Kalian harus pergi sebelum Jumat terakhir bulan Juli… kalau tidak, kalian ikut jadi arwah.”

Jumat terakhir bulan Juli. Tanggal itu kini terpatri kuat di benak Dina, menjadi batas waktu yang mengerikan. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi jika mereka tetap bertahan. Tapi firasat Dina mengatakan, apapun itu, pastilah sesuatu yang tidak ingin mereka alami. Suara tangisan dan gesekan semalam, foto yang berubah, dan bisikan Pak Joni… semua itu adalah peringatan. Dan peringatan-peringatan ini sepertinya tidak akan berhenti begitu saja. Rumah ini menyimpan rahasia, dan sepertinya, mereka akan segera menjadi bagian dari rahasia itu.

Bab 3: Tanda-Tanda Diteror

Malam kedua di rumah kos Jalan Kenanga terasa lebih mencekam dari yang pertama. Bisikan Pak Joni dan berubahnya foto rumah menjadi buram masih berputar-putar di kepala mereka. Setelah makan malam dengan lauk seadanya yang mereka beli di luar, Lela langsung terlelap, kelelahan setelah hari pertama bekerja dan mungkin efek stres dari semua keanehan yang mereka alami. Dina sendiri tidak bisa tidur. Setiap suara kecil, setiap gesekan, setiap hembusan angin dari luar jendela, membuat Dina melonjak.

Sekitar pukul sebelas malam, tepat saat Dina merasa kelopak mata Dina mulai memberat, lampu kamar tiba-tiba padam. Gelap total. Dina tersentak, jantung Dina berdegup kencang. Samar-samar Dina dengar Lela menggeliat di kasurnya.

“Din? Ada apa?” suara Lela terdengar mengantuk.

“Lampu mati, Le,” bisik Dina, meraba-raba meja samping tempat tidur mencari ponsel. Layar ponsel Dina menyala, memancarkan cahaya remang-remang yang cukup untuk menerangi sebagian kecil kamar. “Mungkin mati lampu seluruh area.”

Namun, anehnya, dari jendela, Dina bisa melihat cahaya lampu dari rumah-rumah tetangga di kejauhan masih menyala terang. Ini berarti hanya di rumah kos ini saja yang mati listrik. Napas mereka tertahan. Ada apa ini?

Tiba-tiba, dari lorong di luar kamar mereka, terdengar suara langkah kaki yang pelan. Langkah itu sangat jelas, seolah ada seseorang yang berjalan mondar-mandir di depan pintu kamar mereka. Tap… tap… tap… Suara itu tidak teratur, kadang berhenti, kadang bergerak lagi. Jantung Dina berdetak tak keruan. Dina menahan napas, berharap suara itu akan segera pergi.

Lela yang sudah sepenuhnya terjaga, memegang lengan Dina erat. Tangannya dingin dan gemetar. “Din… itu… itu suara apa?” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.

Dina menggeleng, tak berani menjawab. Mereka berdua hanya bisa terdiam, mematung di tengah kegelapan, mendengarkan setiap derit dan gesekan di lorong. Suara langkah kaki itu berlangsung sekitar lima menit, terasa seperti keabadian. Kemudian, ia berhenti. Benar-benar berhenti.

Mereka saling pandang di bawah cahaya remang ponsel Dina. “Sudah pergi?” Lela bertanya, suaranya bergetar.

Belum sempat Dina menjawab, suara ketukan pelan terdengar. Bukan dari pintu, melainkan dari dalam kamar mereka. Tepatnya, dari lemari pakaian yang kosong di sudut ruangan. Tok… tok… tok… Ketukan itu berirama, seolah ada yang sedang mengintip dari dalamnya.

“Aduh, Din!” Lela refleks memekik, tubuhnya langsung menempel ke arah Dina.

Dina menelan ludah. Ini bukan halusinasi lagi. Ini nyata. Ada sesuatu di rumah ini yang tidak mereka pahami, dan ia mulai menunjukkan keberadaannya secara terang-terangan. Dina memeluk Lela erat, mencoba memberikan kekuatan meskipun Dina sendiri ketakutan setengah mati. Mereka berdua bersembunyi di bawah selimut, meringkuk, berharap matahari cepat terbit.

Ketukan dari lemari itu terus berlanjut selama beberapa menit, sebelum akhirnya mereda. Kemudian, secara tiba-tiba, lampu kamar kembali menyala. Cahaya kuning yang hangat itu seharusnya melegakan, tapi justru membuat suasana makin horor. Mereka melihat ke arah lemari. Pintu lemari tertutup rapat, seolah tidak ada apa-apa.

“Le… kamu lihat sesuatu?” tanya Dina, suara Dina serak.

Lela menggeleng, matanya memerah. “Nggak. Tapi… aku takut sekali, Din.”

Setelah itu, tidak ada lagi suara aneh. Namun, tidur mereka benar-benar hancur. Mereka terjaga hingga pagi, saling memeluk, mencoba meyakinkan diri bahwa semua itu hanyalah kelelahan dan imajinasi.

Pagi hari, saat matahari sudah tinggi dan terang, ketakutan mereka sedikit mereda. Mereka mencoba bersikap normal, seolah tidak ada apa-apa yang terjadi semalam. Saat sarapan dengan nasi bungkus di meja makan lantai bawah, mereka melihat Ibu Penjaga sedang menyiram tanaman di halaman depan. Wajahnya terlihat tenang, seolah dia tidak menyadari adanya gangguan listrik atau suara-suara aneh semalam. Mereka tidak berani bertanya.

Setelah selesai sarapan, Dina memutuskan untuk pergi ke halaman belakang, ingin melihat pohon mangga yang menjulang tinggi itu lebih dekat. Mungkin saja ada tupai atau hewan lain yang menyebabkan suara-suara itu. Dina berjalan pelan, membuka pintu belakang. Halaman belakang itu cukup luas, ditumbuhi rumput liar yang tinggi di beberapa bagian, dan di tengahnya berdiri pohon mangga raksasa yang tampak sangat tua.

Ketika mata Dina menelusuri dahan-dahan rimbun pohon itu, Dina melihatnya. Sebuah sosok tergantung di salah satu dahan paling tinggi. Seseorang. Pakaiannya lusuh, rambutnya panjang terurai, dan… Dina melihat dengan jelas bagaimana tubuh itu bergoyang pelan karena terpaan angin pagi. Seolah-olah seseorang telah… gantung diri.

Darah Dina serasa membeku. Napas Dina tertahan di tenggorokan. Dina memejamkan mata, mengedipkannya berkali-kali, berharap pandangan Dina salah. Ketika Dina membuka mata lagi, sosok itu masih ada. Dina yakin Dina tidak salah lihat.

“Lela!” Dina berteriak, suara Dina tercekat. “Lela, kemari!”

Lela yang mendengar teriakan Dina langsung berlari menghampiri. “Ada apa, Din? Kenapa kamu…”

Dia mengikuti arah pandangan Dina. Matanya membulat sempurna. Dia melihatnya juga. Sosok yang tergantung di pohon mangga itu. “Ya Tuhan… itu… itu siapa?” Lela berbisik, wajahnya sepucat kertas.

Tanpa pikir panjang, Dina bergegas mendekati pohon itu. Dina harus memastikan. Siapa yang bisa gantung diri di sini? Mengapa Ibu Penjaga tidak tahu? Atau dia tahu tapi tidak peduli? Dina berlari melewati rumput-rumput tinggi, jantung Dina berdebar tak karuan.

Lela mencoba menghentikan Dina. “Jangan, Din! Jangan ke sana!”

Tapi Dina tidak peduli. Dina harus tahu. Semakin dekat Dina dengan pohon itu, semakin jelas siluet sosok itu. Dina bisa melihat warna pakaiannya yang gelap, dan bahkan… wajahnya yang tertutup rambut panjang. Dina hanya tinggal beberapa langkah lagi dari pangkal pohon, mendongak ke atas, napas terengah-engah.

Dan kemudian, dalam sekejap mata, sosok itu menghilang.

Lenyap begitu saja. Tanpa jejak.

Dina berhenti, terhuyung-huyung. Dina menggosok mata Dina, tidak percaya. Tidak mungkin. Dina dan Lela melihatnya. Mereka tidak mungkin berhalusinasi secara bersamaan.

Lela berlari menghampiri Dina, wajahnya penuh ketakutan. “Din! Mana? Dia ke mana?”

Dina hanya bisa menunjuk ke dahan kosong itu, terdiam. “Menghilang, Le… dia menghilang.”

Mereka berdua berdiri di bawah pohon mangga, saling berpegangan, kebingungan dan ketakutan yang mencekik. Apa yang baru saja mereka lihat? Apakah itu hantu? Atau mereka mulai gila karena kurang tidur dan ketakutan?

Kejadian di halaman belakang itu membuat mereka makin yakin bahwa rumah ini tidak aman. Mereka tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Sepanjang hari di kantor, mereka terus mencari kosan lain, tapi selalu menemui jalan buntu. Kebanyakan sudah penuh, atau harganya terlalu mahal, atau lokasinya terlalu jauh. Mereka merasa terjebak.

Malam harinya, kembali ke rumah kos, suasana terasa lebih berat. Rasanya seperti ada mata tak terlihat yang terus mengawasi mereka. Mereka memutuskan untuk tidak berpisah, selalu berada dalam satu kamar.

Sekitar pukul sembilan malam, saat mereka sedang bersantai di kasur sambil menatap ponsel masing-masing, suara tawa perempuan tiba-tiba memenuhi kamar. “Hahaha… hahaha…” Tawa itu melengking, terdengar sangat dekat, seolah ada seseorang di samping mereka. Tawa itu terdengar serak, seperti tawa yang berasal dari tenggorokan yang sakit, namun dengan nada geli yang mengerikan.

Mereka langsung tersentak. Ponsel mereka terjatuh. Mereka saling berpandangan, mata mereka membulat karena ngeri. Suara itu… bukan suara manusia biasa.

“Itu… dari mana?” Lela berbisik, suaranya gemetar.

Tawa itu tidak berhenti. Kali ini, seolah berpindah-pindah. Kadang terdengar dari sudut kamar, kadang dari balik pintu kamar mandi, kadang dari atas kepala mereka, seperti melayang di udara.

Dan bersamaan dengan tawa itu, suhu di dalam kamar tiba-tiba turun drastis. Kamar yang tadinya terasa cukup hangat karena AC, kini berubah menjadi sangat dingin, dingin yang menusuk tulang, jauh di bawah suhu AC yang mereka setel. Dina bisa melihat embusan napas mereka samar-samar di udara. Dingin ini… tidak wajar.

Lela mulai menangis, air matanya membasahi pipi. “Aku nggak tahan lagi, Din… Aku takut sekali…”

Dina memeluknya, mencoba menenangkan. Dina juga takut. Sangat takut. Tapi Dina harus kuat demi mereka berdua. Tawa itu terus bergema, berputar-putar di sekitar mereka, seolah mengejek, seolah menikmati ketakutan mereka. Dinginnya udara semakin menjadi, membuat tubuh mereka menggigil hebat.

Mereka hanya bisa meringkuk di bawah selimut, memejamkan mata, berharap semua ini segera berakhir. Setiap malam menjadi semakin tidak tenang. Setiap suara, setiap bayangan, setiap perubahan suhu, terasa seperti teror yang sengaja ditujukan pada mereka. Mereka mulai merasa terisolasi, terperangkap di dalam rumah ini. Telepon genggam mereka menunjukkan sinyal yang lemah, kadang hilang sama sekali, membuat mereka sulit menghubungi siapapun. Mereka mencoba mencari alasan untuk bertahan, tapi tidak ada. Mereka hanya belum menemukan tempat baru.

Dan di tengah teror yang terus berlanjut, mereka teringat lagi pada bisikan Pak Joni. Jumat terakhir bulan Juli. Batas waktu itu terasa semakin dekat. Rasanya mereka tidak akan bisa bertahan sampai tanggal itu. Mereka harus pergi. Secepatnya. Sebelum mereka menjadi bagian dari… arwah-arwah yang mungkin sedang menertawakan mereka di kamar ini. Mereka harus menemukan cara untuk keluar dari rumah kos tanpa jejak ini. Atau mungkin, mereka akan menjadi salah satu dari mereka yang menghantui rumah ini, selamanya.

Bab 4: Penelusuran dan Kisah Lama

Pagi ketiga di rumah kos itu, mereka terbangun dengan tubuh terasa remuk dan pikiran yang kalut. Tawa seram dan hawa dingin menusuk semalam membuat mereka nyaris tidak bisa memejamkan mata. Kamar mereka kini terasa seperti sangkar, setiap sudutnya menyimpan bayangan yang menakutkan. Mereka sudah sepakat: hari ini, apa pun yang terjadi, mereka harus mencari tahu lebih banyak tentang rumah ini. Jika mereka ingin keluar dari sini hidup-hidup, mereka harus memahami apa yang mereka hadapi.

Setelah bersiap-siap dan sarapan dengan cepat—mereka bahkan enggan berlama-lama di meja makan di lantai bawah—mereka pamit pada Ibu Penjaga yang seperti biasa, hanya mengangguk tanpa ekspresi. Perjalanan ke kantor terasa lebih panjang dan penuh kecemasan. Setiap langkah terasa berat, seolah rumah itu menahan mereka.

Di kantor, mereka mencoba terlihat setenang mungkin, meskipun dalam hati mereka terus bertanya-tanya. Mereka tidak menceritakan detail teror semalam kepada Maya atau Kevin, khawatir mereka akan menganggap mereka gila. Namun, bisikan Pak Joni masih menggema. Mereka tahu, dia adalah kunci.

Saat jam makan siang tiba, mereka berdua bergegas keluar. Target mereka adalah warung makan sederhana di ujung gang dekat kantor, tempat Pak Joni sering terlihat makan siang. Mereka butuh jawaban, dan dia sepertinya satu-satunya orang yang bisa memberikannya.

Mereka menemukan Pak Joni sedang menyantap nasi campur di pojok warung. Dengan ragu-ragu, mereka menghampirinya.

“Pak Joni… permisi,” sapa Dina pelan.

Pak Joni mendongak, matanya yang tua menatap mereka. Ada sedikit gurat terkejut di wajahnya. “Oh, Nak Dina, Nak Lela. Ada apa?”

Lela memberanikan diri. “Kami ingin bertanya tentang rumah kos yang kami tempati, Pak. Bapak kemarin bilang… kami harus pergi sebelum Jumat terakhir bulan Juli. Ada apa, Pak?”

Pak Joni meletakkan sendoknya, menghela napas panjang. Wajahnya berubah serius, gurat-gurat kekhawatiran terlihat jelas. Dia melirik sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar.

“Begini, Nak… sebenarnya saya tidak ingin ikut campur. Tapi saya kasihan melihat kalian,” katanya, suaranya pelan dan berat. “Rumah yang kalian tempati itu… rumah itu sudah tidak ada sejak empat puluh tahun lalu.”

Jantung mereka berdebar kencang. Empat puluh tahun lalu?

“Maksud Bapak?” tanya Dina, nyaris tak percaya.

Pak Joni mengusap wajahnya yang keriput. “Dulu, rumah itu memang kos-kosan. Tapi bukan kos-kosan biasa. Banyak pasangan muda-mudi yang belum menikah menyewa kamar di sana untuk… hal-hal yang tidak pantas, Nak. Warga sekitar sini sudah sering memperingatkan, tapi mereka tidak peduli.”

Dia berhenti sejenak, tatapannya menerawang, seolah sedang kembali ke masa lalu. “Puncaknya, pada Jumat malam minggu terakhir bulan Juli empat puluh tahun yang lalu. Warga sekitar sini sudah muak. Mereka sudah berencana untuk memberi pelajaran. Malam itu, beberapa pemuda membakar rumah itu.”

Napas mereka tercekat. Dibakar?

“Semua penghuni yang ada di dalam saat itu… tewas terbakar,” lanjut Pak Joni, suaranya pelan dan penuh duka. “Ada sekitar delapan orang, empat pasang. Tidak ada yang selamat. Rumah itu hangus total, rata dengan tanah. Setelah kejadian itu, tidak ada yang berani membangun kembali di atas lahan itu. Dibiarkan begitu saja, jadi lahan kosong penuh ilalang. Bahkan sampai sekarang, tidak ada bangunan apa-apa di sana.”

Dina dan Lela saling menatap, wajah mereka pucat pasi. Jadi, foto-foto yang buram itu… rekan-rekan kantor yang tidak melihat rumah itu… itu semua karena rumah itu memang tidak ada?

“Tapi, Pak… kami tinggal di sana sekarang,” kata Lela, suaranya gemetar. “Rumahnya ada, kok. Ada Ibu Penjaga, ada kamar-kamar…”

Pak Joni menggelengkan kepala. “Itulah yang mengerikan, Nak. Setiap tahun, menjelang Jumat terakhir bulan Juli, rumah itu… muncul kembali. Seperti hantu. Untuk ‘menyambut’ korban baru, katanya. Arwah-arwah penasaran para korban yang tewas terbakar di sana… mereka tidak pernah tenang. Mereka ingin ada yang menemani mereka.”

Air mata mulai menggenang di mata Lela. Dina merasakan dingin yang merayap dari kaki Dina hingga ke ujung rambut. Ini gila. Ini tidak mungkin nyata. Tapi semua tanda-tanda, semua keanehan yang mereka alami, kini menjadi sangat masuk akal.

“Jadi… kami ini… tinggal di rumah hantu, Pak?” tanya Dina, suara Dina bergetar.

Pak Joni mengangguk pelan. “Bisa dibilang begitu, Nak. Kalian sudah merasakan tanda-tandanya, kan? Listrik mati, suara aneh, hawa dingin… Itu semua mereka. Mereka ingin kalian tetap tinggal. Mereka ingin kalian menjadi bagian dari mereka.”

Dia kemudian menambahkan, “Ada satu hal lagi, Nak. Konon, arwah-arwah itu tidak suka jika ada yang mencoba pergi. Mereka akan berusaha sekuat tenaga menahan kalian. Dan mereka… sangat kuat. Sebelum Jumat terakhir bulan Juli, mereka akan menguatkan cengkeramannya. Kalian harus pergi sebelum itu terjadi. Atau kalian akan terjebak selamanya.”

Setelah mendengar penjelasan Pak Joni, mereka hanya bisa berterima kasih dan kembali ke kantor dengan pikiran kacau balau. Seluruh tubuh Dina terasa dingin, padahal cuaca di luar cukup panas. Kisah Pak Joni terasa begitu nyata, terlalu cocok dengan semua yang mereka alami. Mereka tidak lagi meragukannya. Rumah itu… adalah jebakan.

Mereka mencoba mencari solusi lain. Mencari teman yang bisa mereka tumpangi sementara, menghubungi keluarga untuk meminta bantuan uang sewa agar bisa langsung pindah ke hotel. Namun, semua usaha mereka terasa sia-sia. Telepon genggam mereka terus-menerus kehilangan sinyal di dalam kantor, padahal biasanya sinyal di sana sangat kuat. Ponsel mereka juga terasa lebih cepat panas dan baterai cepat habis. Seolah ada energi tak terlihat yang mengganggu koneksi mereka dengan dunia luar.

Malam itu, pulang dari kantor, mereka melihat rumah kos itu dengan tatapan yang berbeda. Bukan lagi sekadar rumah tua yang murah, melainkan sebuah kuburan yang berdiri kembali. Setiap langkah mereka memasuki gang sempit itu terasa seperti melangkah ke dalam perangkap yang sudah disiapkan.

Ibu Penjaga menyambut mereka dengan tatapan yang sama, namun kini senyum tipisnya terasa lebih menyeramkan. Apakah dia tahu? Apakah dia juga bagian dari ini? Atau dia hanya sebuah ilusi, bagian dari tipuan rumah ini?

“Kalian sudah kembali, Nak,” katanya, suaranya tetap datar. Tapi kali ini, Dina merasa ada nada kepuasan tersembunyi di dalamnya.

Mereka tidak menjawab, langsung bergegas menuju kamar mereka di lantai dua. Begitu pintu tertutup, mereka langsung memeriksa ponsel. Sinyal… nol bar. Benar-benar tidak ada sinyal. Bahkan internet pun tidak bisa terhubung. Mereka terputus.

“Bagaimana ini, Din?” Lela panik, mencoba memutar nomor di ponselnya. “Kita nggak bisa menghubungi siapa-siapa!”

Dina mencoba ponsel Dina. Hasilnya sama. Kosong. Bahkan, lampu indikator sinyal di ponsel Dina berkedip-kedip aneh, seolah ada gangguan gelombang yang kuat.

Ketakutan itu kini bukan lagi sekadar bayangan. Ini adalah kenyataan. Mereka terjebak. Terjebak di dalam rumah berhantu yang muncul setiap tahun, yang menelan korban baru. Dan Jumat terakhir bulan Juli… kini terasa seperti hitungan mundur menuju kematian mereka.

Suasana di kamar mereka semakin dingin dan sunyi. Mereka mencoba bicara, mencoba mencari jalan keluar, tapi setiap kata terasa berat. Mereka melihat kalender di dinding. Tanggal itu semakin dekat. Hanya tinggal beberapa minggu lagi.

Di tengah keputusasaan itu, mereka mendengar suara lain. Suara yang lebih berat dari yang sebelumnya. Dari lorong lantai dua, di luar kamar mereka. Bukan lagi suara langkah kaki, tapi suara seperti benda berat diseret. Geresek… geresek… Suara itu mendekat. Pelan, tapi pasti.

Mereka saling berpegangan tangan, mata mereka terpaku pada pintu kamar. Suara itu berhenti tepat di depan pintu mereka. Dan kemudian, mereka mencium bau. Bau yang aneh. Bukan bau amis darah, tapi bau gosong. Bau seperti daging terbakar, bercampur dengan aroma anyir yang kuat. Bau yang sangat memuakkan, membuat perut mereka mual.

Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar di pintu. Bukan ketukan biasa, tapi ketukan yang pelan dan teratur, seolah ada yang sedang mengamati mereka dari balik pintu. Tok… tok… tok…

Mereka tidak berani bergerak, tidak berani bernapas. Mereka tahu, mereka ada di luar sana. Arwah-arwah korban kebakaran itu. Mereka datang untuk mereka. Mereka ingin mereka bergabung dengan mereka.

Dan malam itu, mereka belajar satu hal. Di rumah ini, yang paling menakutkan bukanlah suara-suara atau penampakan. Tapi perasaan terperangkap. Perasaan bahwa tidak ada jalan keluar. Perasaan bahwa setiap jam yang berlalu, mereka semakin dekat dengan nasib mengerikan yang menanti mereka di Jumat terakhir bulan Juli.

Mereka terdiam di bawah selimut, menggigil bukan karena dingin, tapi karena teror yang merayap masuk ke setiap pori-pori mereka. Rumah ini memang tak diingat siapa-siapa. Tapi mereka… mereka akan mengingatnya. Selama mereka masih hidup. Jika mereka memang masih bisa hidup setelah semua ini.

Bab 5: Lorong yang Tak Pernah Keluar

Malam itu, setelah Pak Joni menceritakan sejarah mengerikan rumah kos, ketakutan mereka mencapai puncaknya. Bau gosong yang menusuk hidung dan ketukan misterius di pintu membuat mereka yakin, para arwah itu semakin aktif. Mereka tahu mereka sudah mengetahui rahasia mereka, dan seolah tidak ingin mereka melarikan diri. Mereka berdua hanya bisa meringkuk di kasur, saling memeluk, menahan napas, menunggu pagi tiba. Rasanya seperti setiap detik adalah perjuangan untuk tetap waras.

Ketika fajar menyingsing, udara di kamar masih terasa dingin menusuk. Mereka bangun dengan mata sembap dan tubuh lemas. Pintu lemari kosong yang semalam mengeluarkan ketukan, kini terbuka sedikit, seolah mengintip ke arah mereka. Dina segera menutupnya rapat-rapat, mencoba mengabaikan getaran aneh yang menjalar di tangan Dina. Mereka tahu, mereka tidak bisa lagi bertahan di sini. Mereka harus pergi, sekarang juga.

“Kita harus coba keluar, Din,” Lela berbisik, suaranya parau. “Jangan tunggu sampai malam lagi. Aku nggak sanggup.”

Dina mengangguk. Ide untuk menunggu hingga pulang kantor terasa terlalu berisiko. Mereka tidak tahu apa lagi yang akan mereka lakukan. Mereka harus mencoba kabur saat matahari masih terang.

Dengan tekad bulat, mereka buru-buru bersiap. Mengenakan pakaian seadanya, mereka menyeret koper-koper mereka yang belum sempat dibongkar sepenuhnya. Langkah mereka terasa berat saat menuruni tangga. Ibu Penjaga tidak terlihat di mana pun. Rumah terasa sunyi senyap, tidak ada tanda-tanda kehidupan, bahkan tak ada suara burung di luar.

Mereka tiba di pintu utama. Tangan Dina gemetar saat meraih kenop pintu. Dina putar perlahan, dan pintu terbuka dengan derit pelan. Udara pagi yang seharusnya segar, justru terasa pengap, bercampur bau anyir dan gosong yang samar.

“Ayo, Le,” ajak Dina.

Mereka melangkah keluar, menyeret koper di belakang mereka. Halaman depan masih sama, dengan pot-pot bunga bugenvil yang rimbun. Mereka berjalan cepat menuju pagar kayu. Saat mereka melewati gerbang, Dina menoleh ke belakang. Rumah itu masih berdiri di sana, tampak biasa saja di bawah sinar matahari pagi. Namun, kali ini, mereka melihatnya dengan mata yang berbeda. Mata yang tahu kebenaran mengerikan di baliknya.

Mereka berjalan cepat menyusuri gang sempit. Setiap langkah terasa seperti membuang beban berat dari pundak. Beberapa saat lagi, mereka akan tiba di jalan raya. Beberapa saat lagi, mereka akan aman.

Namun, sesuatu yang aneh terjadi.

Mereka berjalan dan berjalan, melewati ruko-ruko yang sama, melihat tiang listrik yang sama, bahkan kucing liar yang sama sedang mengais sampah. Tapi gang itu seolah tidak ada habisnya. Mereka terus berjalan, namun jalan raya utama tak kunjung terlihat.

“Din… kok… kita muter-muter aja ya?” Lela bertanya, suaranya panik. Wajahnya mulai berkeringat.

Dina juga merasakannya. Seharusnya mereka sudah keluar dari gang ini dalam waktu kurang dari lima menit. Tapi mereka sudah berjalan lebih dari sepuluh menit, dan pemandangan di sekitar mereka terus berulang. Mereka berbalik arah, mencoba berjalan kembali, lalu berbelok lagi, mencoba jalur lain. Namun, setiap kali mereka berbelok, mereka selalu kembali ke titik yang sama, ke awal gang, menghadap rumah kos itu lagi.

Jantung Dina berdebar kencang. Lorong ini… lorong ini tidak pernah berakhir.

“GPS!” Lela teringat, buru-buru mengeluarkan ponselnya. “Kita pakai GPS!”

Ia mencoba membuka aplikasi peta. Layar ponselnya berkedip-kedip, kemudian menampilkan pesan error: “Tidak ada koneksi internet. GPS tidak dapat menentukan lokasi.” Sinyal ponsel mereka kembali hilang.

Mereka panik. Kaki mereka terasa lemas. Mereka mencoba lari, sekuat tenaga. Berlari sekencang mungkin, dengan koper yang ikut terseret. Namun, setiap kali mereka merasa sudah mencapai ujung gang, mereka selalu menemukan diri mereka kembali di depan rumah kos. Rumah itu seolah menarik mereka kembali, memutarkan mereka dalam lingkaran setan yang tak berujung.

Di tengah keputusasaan mereka, tiba-tiba, samar-samar mereka melihat mereka.

Sosok-sosok.

Muncul dari balik pohon-pohon, dari sudut-sudut ruko yang gelap. Mereka tampak seperti bayangan hitam pekat, namun mereka bisa melihat siluet tubuh mereka yang hangus. Wajah mereka buram, tapi mata mereka memancarkan cahaya merah mengerikan. Ada yang merangkak, ada yang berdiri kaku, ada yang menatap kosong. Mereka adalah arwah-arwah korban kebakaran yang Pak Joni ceritakan.

Dan kemudian, mereka mendengar suara mereka. Bukan teriakan, bukan rintihan, tapi bisikan. Ratusan bisikan yang berbarengan, memenuhi udara, membuat telinga mereka berdenging.

“Kalian tinggal…”

“Kalian milik kami…”

“Jangan pergi…”

“Temani kami…”

Bisikan-bisikan itu menusuk ke dalam otak mereka, seolah mencoba merasuki pikiran mereka. Ketakutan mereka berubah menjadi teror yang mematikan. Ini nyata. Mereka benar-benar terjebak. Lorong ini adalah penjara mereka.

Mereka berteriak, mencoba berlari lebih cepat, tapi kaki mereka terasa berat, seolah ada yang menarik mereka ke belakang. Sosok-sosok itu bergerak semakin dekat, mengelilingi mereka. Bau gosong dan anyir semakin pekat, membuat mereka mual. Mereka bisa merasakan hawa dingin yang luar biasa dari mereka, seolah mereka menyerap seluruh kehangatan dari tubuh mereka.

Salah satu sosok, yang terlihat seperti seorang perempuan dengan rambut panjang terurai dan tubuh hangus, merangkak mendekati Lela. Wajahnya yang rusak menatap Lela dengan seringai mengerikan.

“IKUT KAMI!” suara perempuan itu terdengar, bukan lagi bisikan, tapi geraman yang dalam, seolah keluar dari neraka.

Lela berteriak histeris. Dia mencoba menghindar, tapi kakinya tersandung. Dina menariknya sekuat tenaga, berusaha menyeretnya menjauh dari sosok itu. Mereka terus berlari, tanpa arah, tanpa tujuan, hanya ingin menjauh dari bayangan-bayangan mengerikan itu.

Pada akhirnya, setelah beberapa putaran yang terasa seperti tak ada akhirnya, mereka ambruk di depan pintu rumah kos lagi. Terengah-engah, dengan keringat dingin membanjiri tubuh. Mereka kelelahan, putus asa.

Sosok-sosok itu tidak terlihat lagi, tapi mereka tahu mereka masih ada. Mengawasi. Menunggu.

Mereka menyeret diri masuk kembali ke rumah. Ibu Penjaga sudah berdiri di ruang tamu, di balik meja kecil yang biasanya dia gunakan. Kali ini, senyum tipisnya tidak lagi ramah. Matanya memancarkan kepuasan, seolah dia sudah tahu mereka akan kembali.

“Kalian kembali, Nak?” tanyanya, suaranya tenang, namun kini terdengar mengerikan di telinga mereka. “Sudah dibilang, kalian tidak bisa pergi.”

Lela menatapnya dengan penuh kebencian bercampur takut. “Siapa Ibu sebenarnya? Apa yang Ibu lakukan pada kami?!”

Ibu Penjaga hanya tersenyum lebih lebar. “Saya… hanyalah penjaga. Tugas saya memastikan kalian tetap di sini. Kalian adalah… tamu baru kami.”

Tamu baru. Kata-kata itu menusuk jauh ke dalam. Mereka bukan tamu, mereka adalah mangsa. Mereka adalah korban.

Mereka terhuyung-huyung naik ke kamar. Mengunci pintu dengan semua tenaga yang tersisa. Mereka menjatuhkan diri di kasur, napas terengah-engah. Mereka sudah mencoba. Mereka sudah berusaha melarikan diri. Tapi mereka gagal. Mereka terjebak. Terjebak di rumah hantu ini, tanpa sinyal, tanpa harapan untuk menghubungi dunia luar.

Dan jam di dinding kamar, yang tadinya sempat berhenti, kini bergerak lagi. Berdetak. Menghitung mundur. Setiap detiknya membawa mereka semakin dekat pada Jumat terakhir bulan Juli. Hari itu, mereka tahu, akan menjadi hari paling mengerikan dalam hidup mereka. Atau, mungkin, hari terakhir dari hidup mereka. Mereka hanya bisa menunggu. Dan berharap ada keajaiban.

Bab 6: Jumat Terakhir Bulan Juli

Minggu-minggu berikutnya adalah neraka yang tak berkesudahan. Setiap malam, teror semakin menjadi-jadi. Lampu sering padam, dan saat itu terjadi, mereka bisa mendengar suara-suara aneh: bisikan yang tak jelas artinya, tawa melengking yang kadang diikuti tangisan, dan suara langkah kaki berat di lorong yang tak pernah berhenti. Terkadang, mereka mencium bau gosong yang sangat kuat, seolah ada yang terbakar tepat di luar pintu kamar mereka. Mereka melihat bayangan-bayangan melintas di balik jendela, seolah ada yang mengintip dari luar. Sekali, Lela bahkan bersumpah melihat seorang perempuan dengan wajah hangus mengintip dari lubang kunci, matanya merah menyala. Mereka tidak bisa lagi membedakan antara mimpi buruk dan kenyataan. Tidur nyenyak adalah kemewahan yang tak lagi mereka miliki.

Mereka mencoba berbagai cara untuk keluar dari rumah itu. Mereka mencoba membuka semua jendela di kamar, berharap bisa melompat, tapi jendela itu seolah terkunci mati, tidak bisa dibuka sedikit pun. Mereka mencoba memecahkan kaca, tapi kaca itu terasa sekeras baja, tidak meninggalkan retakan sedikit pun. Mereka bahkan mencoba memanggil Ibu Penjaga, berteriak meminta bantuan, tapi tidak ada jawaban. Rumah itu terasa seperti hidup, dindingnya seolah merespons setiap upaya mereka dengan bisikan dan tawa yang semakin keras.

Sinyal ponsel mereka benar-benar mati total, tidak ada secercah pun harapan untuk menghubungi dunia luar. Mereka merasa terisolasi, terperangkap dalam dimensi mereka sendiri. Makanan mulai menipis, dan mereka enggan pergi ke dapur di lantai bawah karena Ibu Penjaga selalu ada di sana, tatapannya semakin kosong dan dingin setiap hari. Dia tidak pernah menawarkan bantuan, hanya mengawasi mereka dengan senyum tipis yang kini terasa seperti seringai.

Wajah mereka berdua semakin pucat, mata cekung, dan tubuh kurus. Mereka sudah menyerah. Harapan untuk melarikan diri telah pupus. Yang tersisa hanyalah menunggu. Menunggu Jumat terakhir bulan Juli, tanggal mengerikan yang Pak Joni peringatkan. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi mereka tahu itu tidak akan baik.

Dan kemudian, hari itu tiba.

Jumat terakhir bulan Juli.

Dina terbangun dengan rasa dingin yang menusuk tulang, lebih parah dari hari-hari sebelumnya. Dingin yang membuat seluruh tubuh Dina menggigil, bukan karena suhu udara, melainkan karena firasat buruk yang merayap di jiwa Dina. Dina melihat ke arah Lela, dia masih tertidur pulas di kasurnya, wajahnya pucat pasi. Dina melirik jam dinding di kamar. Jarumnya berhenti tepat pukul 00:00. Midnight. Seolah waktu membeku.

Rumah itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Bahkan suara-suara yang biasanya mengganggu mereka setiap malam—langkah kaki, bisikan, tawa—semuanya lenyap. Hanya ada keheningan yang menekan, keheningan yang lebih mengerikan dari suara apa pun. Dina merasa ada beban berat di dada, seolah udara di sekitar mereka menjadi padat dan mencekik.

Dina mencoba membangunkan Lela. “Le… Le, bangun,” bisik Dina, mengguncang tubuhnya.

Lela menggeliat pelan, matanya terbuka samar. “Ada apa, Din…?” suaranya lemah.

“Sudah Jumat terakhir bulan Juli, Le,” kata Dina, suara Dina nyaris tak terdengar.

Mata Lela langsung terbuka lebar. Wajahnya langsung berubah tegang. Dia melihat jam dinding, lalu menatap Dina dengan panik. Mereka tahu, ini waktunya.

Tiba-tiba, dari luar kamar, terdengar suara geraman yang sangat dalam, disusul suara benda berat diseret di lantai atas. Geresek… geresek… Suara itu semakin dekat, dan mereka tahu, itu bukan suara manusia. Itu adalah suara mereka. Arwah-arwah itu. Mereka datang menjemput.

Jantung mereka berdebar tak karuan. Napas mereka tercekat. Mereka tahu mereka tidak bisa lari. Lorong itu adalah jebakan. Pintu terkunci. Jendela tak bisa dibuka. Mereka benar-benar terperangkap.

“Din… apa yang harus kita lakukan?” Lela bertanya, air mata mengalir di pipinya.

Dina memejamkan mata, memikirkan segala cara. Dina ingat semua yang dikatakan Pak Joni. Mereka ingin ada yang menemani. Mereka ingin korban.

Seketika, sebuah ide gila melintas di benak Dina. Sebuah ide yang mungkin hanya bisa dilakukan oleh orang yang sudah putus asa.

“Le… kamu harus lari,” kata Dina, suara Dina mantap, meskipun hati Dina menjerit.

Lela menatap Dina, bingung. “Lari? Bagaimana? Kita nggak bisa keluar, Din!”

“Aku akan mengorbankan diri,” ujar Dina, mencoba tersenyum, meskipun rasanya bibir Dina kaku. “Mereka hanya butuh satu. Jika aku tetap di sini, mungkin kamu bisa keluar. Mereka akan fokus padaku.”

Mata Lela membulat. “Tidak! Jangan gila, Din! Aku nggak mau!” Dia mencoba memegang tangan Dina.

“Kita nggak punya pilihan lain, Le!” Dina memotong perkataannya. “Percayalah padaku. Pergilah. Carilah bantuan. Beri tahu semua orang tentang rumah ini.” Dina memeluknya erat, memberinya kekuatan terakhir yang Dina miliki. “Aku… aku akan baik-baik saja.”

Suara geraman dan seretan di luar kamar semakin keras, semakin dekat. Mereka mendengar suara benturan keras, seolah ada yang mencoba mendobrak pintu.

“Cepat, Le! Sekarang!” Dina melepaskan pelukan Dina, mendorongnya ke arah pintu.

Dengan berat hati dan air mata bercucuran, Lela mengangguk. Dia tahu Dina serius. Dia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan mereka. Dia mengambil napas dalam-dalam, lalu memutar kenop pintu.

Ajaib. Kenop itu berputar. Pintu terbuka.

Di luar, lorong gelap gulita, namun bayangan-bayangan hitam terlihat jelas di ujung lorong, bergerak mendekat.

“Lari, Le! Jangan menoleh ke belakang!” teriak Dina.

Lela berlari sekuat tenaga, menuruni tangga, menuju pintu utama. Dina melihatnya sesaat, siluetnya menghilang di balik kegelapan. Dina berharap dia berhasil. Dina berharap dia selamat.

Dina sendiri berjalan mundur, mendekati dinding kamar, bersembunyi di balik lemari. Suara geraman di luar kamar semakin kencang, disusul bau gosong yang lebih pekat. Pintu kamar Dina didobrak dengan kekuatan brutal. BRAK! Pintu terhempas, engselnya patah.

Mereka masuk.

Bayangan-bayangan hitam yang hangus memenuhi ruangan. Mereka bergerak lambat, namun pasti, mengelilingi Dina. Wajah mereka rusak, mata mereka memancarkan kemarahan dan kesedihan yang tak terhingga. Bau terbakar yang kuat kini menusuk setiap serat napas Dina. Dina bisa merasakan hawa dingin mereka, seolah mereka mencoba membekukan darah di nadi Dina.

Dina memejamkan mata erat-erat, menyiapkan diri. Ini akhirnya. Ini adalah akhir dari kisah Dina di rumah kos tanpa jejak ini. Dina hanya berharap, pengorbanan Dina tidak sia-sia. Dina berharap Lela berhasil kabur, berhasil menceritakan kisah mereka, dan berhasil menyelamatkan orang lain dari nasib yang sama dengan Dina.

Dina merasakan sentuhan dingin yang mematikan di leher Dina, cengkeraman yang kuat dan tak terlihat. Napas Dina tersendat. Kegelapan mulai menelan kesadaran Dina. Suara-suara mengerikan memenuhi telinga Dina. Dan kemudian, semuanya menjadi hitam.

Lela berlari tanpa henti, melewati gerbang kayu rumah kos. Napasnya terengah-engah, air mata membasahi pipinya. Dia tidak berani menoleh ke belakang. Dia hanya ingin menjauh, menjauh dari neraka itu, dari Dina yang ditinggalkannya. Dia terus berlari, menyusuri gang sempit yang kali ini terasa normal, tidak lagi memutarnya kembali ke rumah.

Ketika dia tiba di ujung gang, sinar matahari pagi yang cerah menyambutnya. Dia melihat jalan raya utama yang ramai, mobil-mobil berlalu-lalang, orang-orang beraktivitas. Sebuah pemandangan yang terasa begitu asing setelah terjebak dalam kegelapan dan kengerian.

Lela terus berlari, tanpa arah, hingga kakinya terasa lemas dan tubuhnya ambruk. Dia jatuh di atas tanah kosong yang penuh ilalang dan puing-puing. Dia melihat sekeliling. Tidak ada rumah kos di sana. Hanya ada lahan kosong yang luas, dengan tumpukan puing bekas bangunan yang terbakar dan ilalang yang tumbuh tinggi. Sebuah situs yang dulunya adalah… rumah kos itu.

Kesadarannya mulai memudar. Semua kenangan, semua teror yang dialaminya dalam beberapa minggu terakhir, berputar-putar di kepalanya. Dia tidak tahu apakah itu mimpi, apakah itu nyata, atau apakah dia sudah gila. Dia hanya tahu, dia telah meninggalkan Dina di sana.

Dan kemudian, pandangannya menggelap. Dia pingsan.

Ketika dia bangun, aroma antiseptik yang khas langsung menusuk hidungnya. Dia mengerjap, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya terang. Dia terbaring di ranjang, selang infus menempel di tangannya. Di sampingnya, seorang perawat tersenyum tipis.

“Sudah sadar, Nak? Kamu ada di klinik dekat kantormu. Tadi ada warga yang menemukanmu pingsan di lahan kosong di Jalan Kenanga,” kata perawat itu dengan suara lembut.

Lela mencoba bicara, tapi suaranya tercekat. Dia masih trauma, masih diselimuti ketakutan yang mendalam. Dia selamat. Dia berhasil keluar. Tapi… Dina? Bagaimana dengan Dina?

Dia menoleh ke jendela. Di luar, dunia tampak normal. Lalu lintas ramai. Orang-orang berlalu-lalang. Tidak ada tanda-tanda rumah kos berhantu. Tidak ada tanda-tanda teror yang baru saja dialaminya.

Dia selamat. Namun, hatinya terasa kosong. Beban kesedihan dan rasa bersalah membebani dirinya. Dia tahu, ini belum berakhir.

Bab 7: Terungkap di Surat Kabar

Cahaya putih dari lampu neon klinik terasa menyilaukan mata Lela. Aroma antiseptik menusuk hidungnya, dan suara derit roda troli perawat yang sesekali lewat, mengganggu pikiran. Dia terbaring lemas, selang infus masih menancap di punggung tangannya. Tubuhnya terasa ringan, seolah semua energinya terkuras habis. Trauma dan ketakutan masih menggantung di udara, bayangan-bayangan mengerikan dari rumah kos itu terus berputar-putar di benaknya. Dina. Wajah Dina yang terakhir dilihatnya, penuh tekad namun juga pasrah, terpatri kuat.

“Sudah enakan, Nak?” suara lembut seorang perawat wanita menyadarkannya dari lamunan. Perawat itu tersenyum simpul, mendekat, dan memeriksa infusnya. “Kamu sangat beruntung, Nak. Warga menemukanmu tergeletak di lahan kosong itu pagi-pagi sekali. Kalau tidak, bisa jadi hal buruk terjadi.”

Lela hanya mengangguk pelan, tenggorokannya masih tercekat. Dia ingin bertanya tentang Dina, tentang rumah itu, tapi kata-kata tidak mampu keluar. Bagaimana menjelaskan semua itu tanpa terdengar gila?

Pihak klinik kemudian menghubungi kantor Lela. Maya dan Kevin datang menjenguknya sore harinya, membawa buah-buahan dan wajah penuh kekhawatiran.

“Lela, kamu kenapa? Kata warga, kamu pingsan di lahan kosong itu,” tanya Maya, mengelus rambut Lela. “Kamu sakit apa? Kecapekan, ya?”

Lela menatap Maya. Bagaimana dia harus menjelaskan? Bagaimana dia bisa menceritakan tentang rumah kos tanpa jejak itu, tentang arwah-arwah yang mencoba membunuh mereka, tentang pengorbanan Dina? Mereka tidak akan percaya. Mereka akan menganggapnya gila.

Dia hanya bisa menggelengkan kepala, air mata mulai menggenang. “Aku… aku nggak tahu, Mbak. Aku cuma ingat… aku lari… terus pingsan.”

Kevin mencoba menenangkan. “Sudah, yang penting kamu selamat. Jangan dipikirkan dulu. Kamu istirahat saja sampai pulih.”

Mereka tinggal sebentar, mencoba menghibur Lela, sebelum akhirnya pergi karena pekerjaan. Lela kembali sendirian, terperangkap dalam pikirannya sendiri. Dia tahu dia tidak bisa diam saja. Dia harus mencari tahu apa yang terjadi pada Dina. Dan dia harus membuktikan bahwa semua yang dia alami itu nyata.

Keesokan harinya, Lela sudah diperbolehkan pulang dari klinik, meskipun tubuhnya masih terasa lemah. Dia dijemput oleh Maya yang mengantarkannya ke sebuah hotel kecil di dekat kantor. Maya menawarkan Lela untuk tinggal bersamanya dulu, tapi Lela menolak dengan sopan. Dia butuh waktu sendiri, butuh tempat untuk menenangkan diri dan mencari jawaban.

Begitu sampai di hotel, hal pertama yang Lela lakukan adalah mencari surat kabar. Dia membeli beberapa eksemplar surat kabar lokal dari warung di seberang jalan. Dengan tangan gemetar, dia membolak-balik setiap halaman, mencari berita tentang kejadian aneh, tentang lahan kosong di Jalan Kenanga, atau… tentang Dina.

Dan dia menemukannya.

Di halaman ketiga, ada sebuah berita kecil dengan judul: “Mayat Wanita Ditemukan di Lahan Kosong Jalan Kenanga, Diduga Korban Perampokan.”

Jantung Lela serasa berhenti berdetak. Dia membaca isinya dengan saksama.

“Warga Jalan Kenanga dikejutkan dengan penemuan mayat seorang wanita tanpa identitas di lahan kosong dekat kantor PT Jaya Abadi pagi tadi. Korban ditemukan tergeletak dengan posisi tercekik dan tangan terjulur ke arah gedung kantor. Polisi masih menyelidiki penyebab kematian dan belum menemukan identitas korban. Diduga korban adalah korban perampokan yang dibuang di lokasi kejadian. Pihak kepolisian menghimbau warga untuk selalu berhati-hati…”

Lela merasakan mual yang luar biasa. Mayat perempuan. Tercekik. Tangan terjulur ke arah kantor. Itu pasti Dina. Hanya bisa Dina. Pengorbanannya… Apakah dia benar-benar mati tercekik oleh arwah-arwah itu? Rasa bersalah menghantamnya seperti gelombang pasang. Dia selamat, tapi Dina…

Tangannya gemetar saat membolak-balik surat kabar lainnya. Sebuah artikel lama, mungkin dari arsip koran, terselip di antara halaman-halaman berita baru. Judulnya jauh lebih mencolok: “Tragedi Kosan Hantu: Delapan Nyawa Melayang dalam Kobaran Api.”

Artikel itu bercerita tentang kejadian empat puluh tahun lalu, persis seperti yang Pak Joni ceritakan. Sebuah kosan ilegal yang menjadi sarang kemaksiatan, dibakar oleh warga yang geram pada Jumat malam minggu terakhir bulan Juli. Delapan penghuninya tewas terbakar. Artikel itu juga menyebutkan rumor aneh tentang rumah itu yang konon “muncul kembali setiap tahun untuk menyambut tamu baru” di bulan yang sama. Sebuah paragraf kecil di akhir artikel menyebutkan: “Kasus serupa pernah terjadi beberapa kali dalam dekade terakhir, dengan penemuan mayat misterius di lahan kosong tersebut menjelang akhir bulan Juli. Namun, polisi selalu menutup kasusnya sebagai kecelakaan atau kriminal biasa, karena tidak ada bukti fisik yang kuat terkait keberadaan rumah kos tersebut.”

Dunia Lela serasa runtuh. Ini bukan hanya tentang Dina. Ini adalah siklus. Terulang setiap tahun. Dia bukan satu-satunya yang selamat, dan Dina bukan satu-satunya korban. Ada banyak korban lain yang nasibnya sama dengan Dina. Dan mereka semua, seolah menjadi bagian dari ‘korban baru’ yang disiapkan oleh rumah itu.

Seminggu kemudian, setelah tubuhnya sedikit pulih, meskipun batinnya masih hancur, Lela memutuskan untuk kembali ke Jalan Kenanga. Dia harus melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Dia harus memastikan.

Langkah kakinya terasa berat saat dia menyusuri gang sempit itu. Di ujung gang, di mana seharusnya rumah kos itu berdiri, dia hanya menemukan lahan kosong yang luas, dipenuhi ilalang tinggi dan puing-puing gosong yang berserakan. Bekas-bekas arang hitam masih terlihat jelas di tanah, tanda dari sebuah kebakaran besar yang pernah terjadi puluhan tahun lalu.

Tidak ada rumah. Tidak ada pagar kayu. Tidak ada bunga bugenvil. Tidak ada Ibu Penjaga. Semuanya lenyap, seolah tidak pernah ada.

Hanya lahan kosong. Dan di tengah lahan itu, di tempat yang sama persis di mana dia jatuh pingsan, ada sebuah tumpukan batu kecil yang tidak beraturan, seolah sengaja diletakkan di sana. Dan di atas tumpukan batu itu, ada sebuah pita rambut berwarna merah, milik Dina. Pita rambut yang selalu Dina kenakan saat bekerja.

Air mata Lela kembali tumpah. Dina benar-benar sudah pergi. Dia tidak bisa menahan tangisnya. Dia telah kehilangan sahabatnya. Dan dia tahu, di balik lahan kosong itu, di dimensi lain, arwah Dina kini bergabung dengan para korban lainnya, terperangkap selamanya di rumah kos tanpa jejak itu.

Lela berdiri di sana untuk waktu yang lama, membiarkan angin menyapu wajahnya yang basah oleh air mata. Hatinya dipenuhi kesedihan yang mendalam, juga amarah. Rumah itu harus dihentikan. Siklus teror ini harus diputus. Tapi bagaimana caranya? Dia hanyalah seorang gadis biasa yang baru saja selamat dari pengalaman paling mengerikan dalam hidupnya.

Dia memutar badan, meninggalkan lahan kosong itu. Dia harus hidup, demi Dina. Dia harus mencari tahu lebih banyak, mengumpulkan bukti, entah bagaimana caranya, untuk memastikan tidak ada lagi korban yang jatuh. Dia tidak tahu bagaimana caranya, tapi dia bersumpah. Kisah Dina, dan kisah semua korban lainnya, tidak akan berakhir sia-sia.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)