Cerpen
Disukai
4
Dilihat
968
Jerat Senyap
Horor

Udara Makassar selalu terasa lengket di kulit Arini, bahkan di penghujung Oktober sekalipun. Bukan lengket khas kota pantai yang basah oleh keringat, melainkan lengket dari debu jalanan yang tak pernah benar-benar hilang, menempel di setiap pori, membebani setiap napas. Sudah hampir sebulan sejak ia menginjakkan kaki di rumah tua ini, warisan mendiang neneknya, dan bau apek bercampur lumut di dinding-dindingnya masih belum mau pergi. Arini menyeduh kopi hitam pekat di dapur, bunyi desis air mendidih sedikit menenangkan jiwanya yang resah.

Rumah ini, dengan arsitektur kolonial yang angkuh dan cat mengelupas di sana-sini, berdiri di ujung gang sepi, dikelilingi pagar besi berkarat dan pohon mangga tua yang cabang-cabanya menjulur seperti jemari raksasa yang cacat. Sejak kecil, Arini hanya mengunjungi rumah ini sesekali, dan selalu merasa ada sesuatu yang janggal. Aura berat, seolah dinding-dinding itu menyimpan rahasia kelam yang tak terucapkan. Tetangga-tetangga di sekitar sini, yang kebanyakan sudah sepuh, selalu menatap rumah ini dengan pandangan aneh, campuran rasa ingin tahu dan ketakutan. Mereka berbisik-bisik, kalimat-kalimat terputus tentang "kejadian itu" atau "keluarga Nyonya Besar", tapi tak pernah ada yang mau menjelaskan lebih jauh. Arini, seorang desainer interior muda yang ambisius, terlalu sibuk dengan cita-citanya untuk mendengarkan bisikan takhayul. Lagipula, warisan ini terlalu berharga untuk diabaikan. Ia berencana merenovasinya, mengubahnya menjadi hunian modern yang nyaman sekaligus studio kerjanya.

Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, suara jangkrik dan kodok bersahutan dari kebun belakang, mengiringi sunyi yang pekat. Arini duduk di sofa ruang tamu, mencoba fokus pada sketsa desain terbarunya di tablet. Lampu gantung tua di tengah ruangan berkedip samar, seolah kehabisan daya, sebelum akhirnya stabil kembali. Arini mengerutkan kening. Sudah beberapa hari ini lampu itu sering berkelakuan aneh, kadang meredup tanpa sebab, kadang berkedip seperti sedang sekarat. Ia sudah memanggil tukang listrik, tapi pria paruh baya itu hanya mengangkat bahu, mengatakan bahwa instalasi listrik di rumah ini sudah terlalu tua dan butuh peremajaan total.

"Sial," gumam Arini, mengusap pelipisnya. Kelelahan mulai terasa. Ia sudah bekerja nonstop sejak pagi, mencoba menyelesaikan proyek renovasi kafe di pusat kota. Pikiran Arini mulai melayang, membayangkan bantal empuk dan selimut hangat.

Kemudian, ia mendengarnya.

Suara itu sangat samar pada awalnya, seperti bisikan angin yang menyelinap melalui celah jendela yang rapat. Namun, ini bukan suara angin. Ini lebih seperti gumaman rendah, dari balik dinding di belakang sofa. Arini menoleh, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ia menajamkan pendengaran, menahan napas. Hanya keheningan yang menjawab.

"Mungkin aku sudah gila," bisiknya pada diri sendiri, mencoba menertawakan ketakutannya. Ia meraih cangkir kopinya yang sudah mendingin, menyesapnya pahit. Efek kafein yang diharapkan untuk membangunkannya justru membuat otaknya terasa lebih berdenyut.

Ia kembali pada tabletnya, mencoba mengalihkan perhatian. Tapi suara itu datang lagi, kali ini sedikit lebih jelas. Sebuah bisikan lembut, terdengar seperti beberapa orang yang berbicara bersamaan, tapi terlalu pelan untuk menangkap kata-katanya. Rasanya seperti ada obrolan rahasia yang tersembunyi, tepat di balik dinding ruang tamu itu. Dinding yang kusam, dengan wallpaper yang sudah menguning dan mengelupas di beberapa bagian.

Arini berdiri, melangkah mendekat ke dinding. Ia menempelkan telinganya. Dingin. Dan sunyi. Tidak ada apa-apa. Ia menghela napas, merasa bodoh. Ini pasti hanya karena terlalu lelah dan terlalu banyak minum kopi. Rumah tua memang sering berbunyi, bukan? Kayunya memuai, angin menyelinap, atau mungkin tikus yang bersembunyi di dalam plafon.

Ia kembali duduk, tapi kali ini, pandangannya terus tertuju pada dinding itu. Matanya menyusuri setiap retakan, setiap noda yang terbentuk dari waktu ke waktu. Tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin merambat naik dari telapak kakinya, padahal pendingin ruangan tidak menyala. Bulu kuduknya meremang.

Bisikan itu kembali. Lebih dekat, lebih jelas. Kali ini, ia bisa menangkap satu kata. Hanya satu kata yang jelas di antara gumaman tak beraturan itu.

"...Arini..."

Jantung Arini mencelos. Ia melompat dari sofa, terkesiap. Wajahnya pucat pasi. Tidak mungkin. Itu pasti imajinasinya. Siapa yang akan tahu namanya, berbisik dari balik dinding di rumahnya sendiri? Kecuali...

Ia melihat sekeliling. Pintu utama terkunci, jendela tertutup rapat. Tidak ada celah bagi orang luar untuk masuk. Atau mungkin ada seseorang di dalam rumah? Pikiran itu membuat keringat dingin menetes di punggungnya. Ia meraih gagang sapu di sudut ruangan, refleks. Bodoh. Apa yang bisa ia lakukan dengan sapu?

Dengan napas tercekat, ia melangkah perlahan ke arah dapur, mencari pisau. Setidaknya, ia butuh sesuatu yang lebih meyakinkan. Setiap langkah terasa berat, seolah lantai menahannya. Dapur terlihat sama, piring-piring bekas makan malam masih berserakan di wastafel. Ia membuka laci, mencari pisau dapur terbesar.

Saat tangannya menyentuh gagang pisau, ia mendengar suara lain. Kali ini bukan bisikan, melainkan suara gesekan yang sangat halus, seperti kuku yang menggaruk dinding. Suara itu datang dari kamar tidur utamanya, di lantai dua. Kamar yang selama ini ia hindari untuk direnovasi, karena terasa paling berat auranya.

Arini mematung. Pisau di tangannya terasa sedingin es. Tidak ada angin di lantai dua. Tidak ada tikus yang bisa menggaruk dinding seperti itu. Itu suara yang disengaja.

Dengan hati-hati, ia melangkah ke tangga. Setiap anak tangga berderit pelan di bawah kakinya. Kegelapan di lantai atas terasa seperti selimut tebal yang mencekik. Ia menyalakan senter di ponselnya, cahayanya menari-nari di dinding-dinding yang kusam. Pintu kamar tidur utama sedikit terbuka, menyisakan celah sempit yang menganga seperti mulut lapar.

Ia mendorong pintu itu perlahan. Engselnya berderit panjang, menciptakan melodi horor yang menekan telinganya. Kamar itu gelap gulita, tirai tebal menutupi jendela, menghalangi cahaya bulan. Bau apek, bercampur dengan sesuatu yang lain, sesuatu yang manis tapi memuakkan, memenuhi indra penciumannya.

Senter ponselnya menyapu ruangan. Lemari kayu tua, meja rias berdebu, dan ranjang kayu berukiran rumit yang ditutupi seprai putih yang sudah menguning. Tidak ada apa-apa.

"Halo?" suara Arini bergetar, bahkan ia sendiri hampir tak mengenalinya. Sunyi.

Ia melangkah masuk, senternya terus menyapu setiap sudut. Tidak ada tanda-tanda penyusup. Lalu, suara itu datang lagi. Kali ini dari dalam lemari. Gesekan pelan, disusul bunyi ketukan ringan, seolah seseorang mengetuk dari dalam.

Arini menelan ludah, tangannya gemetar memegang ponsel. Ia melangkah mendekat ke lemari, jantungnya berpacu seperti kuda lepas. Baja di dalam dirinya yang biasanya kuat, kini rapuh. Apa yang harus ia lakukan? Membukanya? Atau lari?

Rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. Dengan tangan gemetar, ia menarik kenop lemari. Pintu lemari terbuka perlahan, menampilkan tumpukan seprai dan selimut tua yang tersimpan rapi. Tidak ada siapa-siapa.

Tapi... ada sesuatu di atas tumpukan selimut itu. Sebuah foto usang, sudah pudar warnanya, tergeletak di sana. Foto hitam-putih seorang anak laki-laki kecil dengan senyum lebar, mengenakan pakaian kuno, berdiri di depan rumah ini. Di belakangnya, samar-samar terlihat seorang wanita yang sangat mirip dengan neneknya Arini.

Arini mengambil foto itu. Di balik foto, ada tulisan tangan yang samar. "Raka, 1968."

Jantung Arini berdegup kencang. Raka? Bukankah itu nama yang sama dengan yang ia dengar dalam bisikan tetangga, tentang "kejadian itu"? Anak laki-laki yang hilang secara misterius?

Tiba-tiba, ia merasakan napas hangat di tengkuknya. Bukan napasnya sendiri. Napas dingin dan berat yang membuat bulu kuduknya berdiri tegak. Ia membeku, tak berani bergerak. Bau manis dan memuakkan itu kini terasa sangat kuat, menempel di udara.

Sebuah bisikan, tepat di telinganya, kali ini sangat jelas.

"Kau datang juga, Arini..."

Arini menjerit, menjatuhkan foto itu. Ia berbalik secepat kilat, mengayunkan pisau di tangannya secara membabi buta. Tapi tidak ada siapa-siapa. Hanya bayangan gelap yang melintas di depannya, terlalu cepat untuk dilihat.

Ia terhuyung mundur, menabrak lemari. Kepalanya terasa pusing, tubuhnya gemetar hebat. Ia tidak tahu apakah itu nyata atau hanya produk dari pikirannya yang lelah dan ketakutan. Ia berlari keluar dari kamar itu, menuruni tangga dua-dua, tidak peduli kakinya terkilir.

Ia meraih kunci mobil di meja samping. Lari. Ia harus lari dari rumah ini. Ia harus lari dari semua ini.

Ketika tangannya menyentuh gagang pintu utama, lampu di seluruh rumah padam total. Gelap gulita. Hanya cahaya bulan yang samar menembus celah-celah tirai.

Arini panik. Tangannya gemetar mencari gagang pintu di kegelapan. Ia mendengar suara langkah kaki di lantai atas, bergerak perlahan, menyeret, seolah ada beban berat yang diseret. Suara itu semakin dekat, menuruni tangga.

Ia mencoba berteriak, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Ia berhasil membuka kunci pintu dan menariknya, tapi gagangnya terasa sangat berat, seolah ada sesuatu yang menahannya dari luar. Ia menariknya lagi dengan sekuat tenaga, tapi pintu itu tetap tak bergerak.

Suara langkah kaki itu semakin dekat.

Arini menoleh ke belakang. Di ujung tangga, ia melihat sebuah siluet tinggi dan kurus berdiri. Siluet itu memancarkan aura dingin yang menusuk tulang. Ia tidak bisa melihat detailnya di kegelapan, hanya garis besar tubuh yang tegak dan statis.

Lalu, siluet itu bergerak. Perlahan, seperti predator yang sedang mengintai mangsa, ia mulai menuruni tangga. Setiap langkahnya diikuti derit pelan yang mengikis kewarasan Arini.

Air mata membasahi pipi Arini. Ia mencoba menekan pintu itu lagi, lagi, dan lagi, memohon agar ia terbuka. Tapi pintu itu tetap tertutup rapat, seolah ada tembok tak kasat mata yang menghalanginya.

Sosok itu semakin mendekat. Arini bisa merasakan hembusan napas dingin, bahkan sebelum melihat wajahnya. Ia tahu, ia tidak sendirian. Ia tahu, ada sesuatu yang mengerikan di rumah ini. Dan sesuatu itu menginginkannya.

Ia akhirnya menyerah pada pintu. Tubuhnya merosot ke lantai, punggungnya menempel pada kayu pintu yang dingin. Ia meringkuk, memeluk lututnya, matanya terpejam rapat. Ia tidak ingin melihat. Ia tidak ingin tahu.

Tapi ia mendengar.

Bisikan itu kembali, mengelilinginya, datang dari segala arah, dari dinding, dari lantai, dari udara itu sendiri. Bisikan-bisikan yang kini tidak lagi samar, tapi sangat jelas, membentuk kalimat-kalimat yang mengerikan.

"Kau tak bisa lari..."

"Ini rumahmu sekarang..."

"Aku sudah menunggumu..."

Dan yang paling menakutkan, sebuah tawa pelan dan serak, tawa yang terdengar sangat dekat, seolah seseorang berdiri tepat di depannya, menunduk, menatapnya. Tawa itu perlahan semakin keras, mengisi seluruh ruangan, memantul di dinding-dinding, menembus gendang telinganya.

Arini tidak berani membuka mata. Ia hanya bisa meringkuk, membiarkan kegelapan menelannya, membiarkan bisikan dan tawa itu merobek-robek kewarasannya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi satu hal yang pasti: mimpi buruknya baru saja dimulai. Rumah ini, warisan neneknya, bukanlah tempat perlindungan, melainkan jerat senyap yang siap menelannya hidup-hidup.

Arini terbangun dengan sentakan, napasnya memburu. Cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui tirai tipis, melukis garis-garis emas di lantai kayu. Jantungnya masih berdegup kencang, sisa ketakutan semalam terasa nyata, membebani dadanya. Ia segera menyentuh gagang pintu, memastikan terkunci. Terkunci. Begitu juga jendela. Semua rapat. Ia ingat dengan jelas bagaimana pintu itu terasa terkunci dari luar, bagaimana ia mendengar langkah kaki dan tawa mengerikan itu.

Tapi sekarang, rumah itu sunyi, kembali ke keheningan apeknya yang biasa. Tidak ada tanda-tanda perlawanan, tidak ada jejak darah, tidak ada yang aneh. Lampu-lampu menyala normal. Seolah semua yang terjadi semalam hanyalah mimpi buruk yang sangat intens.

"Hanya mimpi, Arini," bisiknya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan, meski hatinya masih dihantam gelombang kecemasan. Ia bangkit, kakinya masih terasa lemas. Kepalanya berdenyut-denyut. Ia memutuskan untuk mandi air hangat, berharap air itu bisa membersihkan sisa-sisa kengerian yang menempel di tubuh dan pikirannya.

Setelah mandi, Arini turun ke dapur. Aroma kopi yang baru diseduh sedikit menenangkan syarafnya. Ia mencoba untuk bersikap normal, seolah tidak ada yang terjadi. Ia sarapan roti bakar dengan selai, memaksakan dirinya untuk makan. Namun, nafsu makannya hilang. Setiap bunyi derit lantai atau desisan pipa air membuat Arinya terlonjak.

Ia kembali ke ruang tamu, tempat ia ketakutan semalam. Dinding itu, tempat bisikan-bisikan itu berasal, terlihat sama seperti biasanya. Kusam, dengan cat mengelupas. Ia menyentuhnya, dingin. Tidak ada tanda-tanda aneh.

"Aku pasti kelelahan," gumamnya. "Terlalu banyak bekerja, terlalu banyak memikirkan renovasi rumah ini." Ia mencoba merasionalisasi. Ini rumah tua. Suara-suara aneh itu wajar. Bisikan? Mungkin hanya angin yang menembus celah-celah kecil di dinding, beresonansi sedemikian rupa hingga terdengar seperti suara manusia. Dan penampakan siluet? Mungkin itu hanya bayangan pohon di luar, atau imajinasinya sendiri yang kelelahan.

Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia hanya berhalusinasi. Namun, pikiran tentang foto Raka yang jatuh di kamar atas, serta bisikan yang menyebut namanya, terus menghantuinya. Ia memutuskan untuk tidak ke lantai atas hari ini. Ia akan fokus membersihkan dan menyortir barang-barang lama di lantai bawah.

Siang itu, Arini mulai membersihkan ruang makan, yang dulunya jarang digunakan oleh neneknya. Meja makan kayu jati yang besar ditutupi kain beludru tua yang tebal, dan kursi-kursinya diselubungi kain putih agar tidak berdebu. Ia mulai membersihkan meja, mengelap debu tebal yang menempel.

Ketika ia mengangkat kain beludru itu, sesuatu yang aneh menarik perhatiannya. Di atas permukaan meja kayu yang sudah dipoles, ada jejak kaki lumpur kecil. Sangat kecil, seukuran kaki anak-anak. Jejak itu tidak banyak, hanya beberapa langkah yang terputus-putus, seolah seseorang melangkah di atas meja, lalu menghilang.

Darah Arini membeku. Ia yakin seratus persen ia sudah membersihkan seluruh rumah ini kemarin, termasuk meja makan ini. Ia selalu memastikan semua bersih dari debu, apalagi lumpur. Dan lumpur ini... terlihat segar. Tidak kering dan mengeras seperti lumpur lama.

Ia melihat sekeliling. Jendela ruang makan tertutup rapat, bahkan terkunci dari dalam. Tidak ada pot tanaman yang tumpah, tidak ada pintu yang terbuka ke luar yang bisa membawa lumpur masuk. Lalu, dari mana asalnya jejak kaki ini?

Pikiran tentang tikus atau hewan peliharaan liar terlintas, tapi jejak kaki ini terlalu jelas berbentuk kaki manusia kecil. Dan itu di atas meja makan yang tinggi. Bagaimana mungkin seekor tikus bisa meninggalkan jejak kaki seperti ini?

Arini meraih lap basah dan mengelap jejak lumpur itu sampai bersih. Namun, kegelisahan sudah menyelimutinya kembali. Ini bukan imajinasi. Ini nyata.

Sejak saat itu, setiap sudut rumah terasa mengawasi. Ia mulai menyadari hal-hal kecil yang sebelumnya ia abaikan, atau mungkin, ia terlalu takut untuk memperhatikannya.

Barang-barang kecil sering berpindah tempat. Contohnya, kunci mobil yang selalu ia letakkan di gantungan dekat pintu, tiba-tiba ditemukan di atas meja kopi ruang tamu. Atau gunting kertas yang ia tinggalkan di dapur, tiba-tiba muncul di laci kamar mandi. Awalnya ia mengira itu kelupaan, tapi ini terjadi terlalu sering. Seolah ada tangan tak terlihat yang menggeser benda-benda itu.

Pernah suatu sore, ia menemukan jendela kamar tidur tamu di lantai dua sedikit terbuka, padahal ia yakin sudah menguncinya rapat saat membersihkan kamar itu beberapa hari lalu. Angin berhembus masuk, menerbangkan beberapa lembar kertas dari meja. Jantungnya berdebar kencang. Ia menutup dan mengunci jendela itu lagi, memastikan gerendelnya benar-benar rapat. Namun, setelah itu, ia selalu merasa ada yang salah setiap kali melihat jendela itu.

Lampu juga semakin sering berkedip. Bukan hanya lampu gantung di ruang tamu, tapi juga lampu di koridor, di dapur, bahkan di kamar mandinya. Kadang lampu mati total selama beberapa detik, lalu menyala lagi dengan terang benderang, seolah ada korsleting. Namun, tidak ada alat elektronik lain yang mati, dan meteran listrik juga normal.

Arini mulai tidur dengan lampu menyala. Ia tidak bisa lagi menoleransi kegelapan. Setiap kali ia memejamkan mata, bayangan siluet tinggi kurus dari malam itu terlintas, bersama dengan tawa serak yang menusuk telinga. Ia mencoba tidur di sofa ruang tamu beberapa malam, merasa lebih aman di lantai bawah, dekat dengan pintu keluar. Tapi itu tidak membantu. Bisikan-bisikan itu masih ada, terkadang lebih jelas, terkadang hanya samar, tapi selalu ada, mengelilinginya.

Suatu pagi, saat ia keluar dari kamar mandi, ia melihat pintu kamar tidurnya yang terbuka sedikit. Ia yakin sudah menutupnya rapat. Ia mendekat, dan melihat sesuatu di lantai, tepat di depan tempat tidurnya. Itu adalah sehelai rambut panjang berwarna hitam, tergeletak di atas karpet putih. Rambut itu bukan miliknya. Rambut Arini cokelat gelap dan bergelombang. Rambut ini lurus dan hitam pekat. Dan panjangnya tidak biasa.

Arini memungut rambut itu dengan tisu, lalu membuangnya ke tempat sampah dengan perasaan jijik dan takut. Ini terlalu banyak. Jejak kaki, barang berpindah, jendela terbuka, lampu berkedip, dan sekarang rambut orang lain di kamar tidurnya? Ini bukan lagi kelelahan atau imajinasi. Ini adalah penyusup. Seseorang telah masuk ke rumahnya, berulang kali, tanpa sepengetahuannya.

Ia memutuskan untuk mengambil tindakan. Ia sudah terlalu lama mengabaikan perasaan ini. Ia mencari di internet, menemukan beberapa toko elektronik yang menjual kamera pengawas tersembunyi. Ia memesan beberapa unit yang paling kecil dan paling tidak mencolok.

Beberapa hari kemudian, paket itu tiba. Arini segera memasangnya. Satu di ruang tamu, satu di dapur, satu di koridor lantai atas, dan satu lagi di kamarnya sendiri, menghadap ke pintu. Kamera-kamera itu sangat kecil, hampir tak terlihat, menyatu dengan dekorasi ruangan. Ia menghubungkannya ke laptopnya, mengawasi setiap pergerakan.

Malam pertama, ia duduk di depan laptop, matanya terpaku pada layar monitor, mengawasi rekaman dari empat sudut yang berbeda. Berjam-jam ia menunggu, tegang. Tapi tidak ada yang terjadi. Rumah itu sunyi senyap. Tidak ada bisikan, tidak ada langkah kaki, tidak ada pergerakan barang. Ia bahkan tidak bisa melihat kilatan aneh atau suara statis seperti yang ia harapkan dari kejadian semalam. Kamera-kamera itu hanya menangkap keheningan rumah kosong.

Arini mulai bertanya-tanya lagi, apakah ia benar-benar gila. Apakah semua ini hanya hasil dari stres dan kecemasannya? Apakah ia menciptakan musuh imajiner untuk dirinya sendiri?

Namun, di tengah malam yang sunyi, tepat pukul 03:00 dini hari, monitor di laptopnya tiba-tiba berkedip. Kamera yang merekam di koridor lantai atas, tepatnya di depan kamar tidur utama, menunjukkan kilatan cahaya putih yang sangat terang, seolah ada lampu kilat kamera yang menyala. Lalu, rekaman itu menjadi statis, penuh dengan garis-garis bergelombang dan suara desisan yang kuat. Kilatan itu hanya berlangsung beberapa detik, lalu kembali normal.

Arini terlonjak. Ia memutar ulang rekaman itu berkali-kali. Kilatan itu jelas. Dan setelahnya, suara statis itu. Ia tidak melihat ada sosok, tidak ada apa-apa yang aneh. Hanya kilatan dan statis. Tapi itu cukup untuk menggetarkan batinnya. Ini bukan kesalahan teknis. Ini... interferensi. Sesuatu yang berada di luar jangkauan kamera, atau sesuatu yang mampu mengacaukan sinyalnya.

Ketakutannya kembali, lebih kuat dari sebelumnya. Ini bukan halusinasi. Ini nyata. Ada sesuatu di rumah ini, dan sesuatu itu mengetahui ia memasang kamera.

Pagi harinya, ia mencoba melihat kembali rekaman itu, berharap menemukan detail yang ia lewatkan. Namun, rekaman dari jam 03:00 dini hari itu kosong. Data di bagian itu hilang total. Seolah tidak pernah ada rekaman sama sekali.

Arini membeku. Laptopnya canggih, sistem kameranya modern. Bagaimana mungkin data bisa hilang begitu saja? Ini bukan kerusakan teknis. Ini disengaja. Seseorang menghapus rekaman itu. Seseorang yang tahu bagaimana mengakses sistemnya. Seseorang yang tahu persis apa yang ia lakukan.

Paranoia mulai menggerogoti jiwanya. Ia merasa diperhatikan, setiap saat. Ia mulai melihat bayangan di sudut matanya, mendengar bisikan yang terlalu samar untuk ditangkap. Ia berhenti tidur nyenyak. Mimpinya dipenuhi oleh sosok bertopeng yang berdiri di ujung ranjang, menatapnya. Ia merasa terperangkap di rumahnya sendiri.

Ia mencoba menghubungi Lina, sahabat terbaiknya sejak kuliah. Lina adalah orang yang paling rasional dan praktis yang Arini kenal. Ia pikir Lina akan percaya padanya.

"Lin, aku... aku butuh bicara," kata Arini, suaranya parau karena kurang tidur. "Aku rasa ada yang tidak beres di rumah ini."

"Ada apa sih, Rin?" suara Lina terdengar jauh dan agak jengkel. "Kamu kedengaran nggak sehat. Sakit?"

Arini menceritakan semuanya. Dari bisikan di dinding, jejak kaki lumpur, barang yang berpindah, hingga kilatan di rekaman kamera yang kemudian menghilang. Ia mencoba menjelaskan dengan sesederhana mungkin, tapi semakin ia berbicara, semakin gila ceritanya terdengar.

Lina mendengarkan dengan sabar, tapi Arini bisa merasakan keraguan dalam diamnya. "Rin," kata Lina akhirnya, nadanya lembut, tapi tegas. "Aku tahu kamu stres dengan renovasi rumah baru itu. Kamu sendirian di sana, mungkin kamu kurang istirahat. Halusinasi itu bisa muncul kalau kamu kelelahan ekstrem, lho."

"Tapi ini bukan halusinasi, Lin! Ada jejak kaki! Ada rambut! Ada rekaman yang hilang!" Arini hampir berteriak.

"Oke, oke, tenang. Dengar ya, Rin. Jejak kaki? Mungkin kamu sendiri lupa. Rambut? Mungkin rambutmu sendiri, atau siapa tahu ada serangga atau apa. Rekaman hilang? Bisa jadi bug di sistem, atau jaringan internetmu jelek. Kamu terlalu banyak nonton film horor, Rin."

"Lina, kau tidak mengerti!"

"Justru aku mengerti, Rin. Kamu perlu istirahat. Kamu perlu liburan. Atau setidaknya, coba temui psikolog. Mungkin stresmu sudah sampai batas."

Kata-kata Lina menghantam Arini seperti pukulan. Lina, satu-satunya orang yang ia harap akan memercayainya, justru menganggapnya gila. Ia merasa air mata mulai menggenang di matanya.

"Jadi, kau tidak percaya padaku?" tanya Arini, suaranya bergetar.

Lina menghela napas. "Bukan tidak percaya, Rin. Tapi ini kedengarannya sangat... ekstrem. Aku khawatir sama kamu. Datang saja ke sini, menginap di tempatku. Kita bisa bicara lebih banyak, dan kamu bisa istirahatkan pikiranmu."

Arini tahu Lina bermaksud baik, tapi tawaran itu terasa seperti tamparan. Lina tidak percaya padanya. Lina menganggapnya membutuhkan bantuan profesional. Rasa sakit karena diabaikan dan dianggap tidak waras itu lebih perih daripada ketakutan itu sendiri.

"Tidak, Lin. Aku... aku baik-baik saja." Arini memutuskan sambungan telepon. Ia merasa lebih terisolasi dari sebelumnya. Tidak ada yang bisa ia andalkan. Ia sendirian di rumah ini, sendirian menghadapi apa pun yang menghantuinya.

Ia memandang keluar jendela. Langit mulai gelap, semburat oranye dan ungu menghiasi cakrawala Makassar. Sebentar lagi malam akan tiba. Dan malam selalu membawa serta kengeriannya.

Arini berdiri di tengah ruang tamu, dikelilingi oleh dinding-dinding yang terasa hidup. Ia tidak lagi yakin apakah suara-suara itu hanya angin, atau imajinasinya. Tapi ia tahu, di lubuk hatinya yang paling dalam, bahwa ada sesuatu yang jahat di rumah ini. Sesuatu yang nyata, dan mengawasinya.

Ia melihat ke arah dinding tempat ia pertama kali mendengar bisikan itu. Kali ini, ia tidak mendengar apa-apa. Hanya keheningan yang mencekam. Tapi keheningan itu terasa lebih menakutkan daripada bisikan itu sendiri. Karena ia tahu, di balik keheningan itu, ada sesuatu yang menunggu. Sesuatu yang tak kasat mata, tapi kehadirannya begitu nyata dan mengerikan.

Ia merasa seperti tikus yang terperangkap dalam sangkar, dan sangkar itu adalah rumahnya sendiri. Malam baru saja dimulai.

Malam-malam Arini kini adalah medan perang. Medan perang antara keinginan untuk tidur dan rasa takut yang membekukan. Setelah percakapannya yang membuat frustrasi dengan Lina, ia merasa semakin sendirian. Teleponnya hanya membawa kekecewaan, menambah beban di pundaknya. Ia tidak lagi mencoba mencari bantuan. Ia harus menghadapi ini sendiri.

Ia memutuskan untuk tidur di kamarnya sendiri, bukan di sofa. Rasa putus asa lebih kuat daripada ketakutan. Jika ia harus ketakutan, setidaknya ia akan melakukannya di ranjangnya sendiri. Lampu kamar ia biarkan menyala terang benderang. Ia bahkan menyalakan lampu meja di samping tempat tidur. Terlalu banyak cahaya, tapi ia tidak peduli. Lebih baik boros listrik daripada harus menghadapi kegelapan.

Namun, cahaya tak bisa mengusir semua kengerian. Saat Arini berbaring, matanya tertutup, ia merasakan keberadaan itu. Kehadiran yang samar, namun begitu nyata, mengambang di udara, mengawasinya. Terkadang ia merasa ada hawa dingin yang menusuk, seolah seseorang berdiri di samping ranjangnya, tepat di dekat kepalanya. Ia akan menahan napas, menegang, berdoa agar kegelapan malam segera berakhir.

Malam itu, ia terbangun di tengah malam, tubuhnya terasa berat, seolah ditindih sesuatu. Matanya terbuka perlahan, menyesuaikan diri dengan cahaya remang-remang dari lampu tidur. Ia mencoba bergerak, tapi otot-ototnya kaku. Napasnya tercekat di tenggorokan.

Kemudian, ia melihatnya.

Di sudut kamar, di dekat lemari, tempat ia meletakkan cermin rias berukuran penuh, wajahnya terpantul di sana. Bukan wajahnya sendiri, melainkan bayangan yang muncul di belakangnya. Bayangan itu bergerak, sangat cepat, seperti kilatan hitam. Sosok kurus tinggi itu lagi. Arini hanya bisa melihat sekelebat bayangan hitam pekat, tanpa detail, hanya siluet.

Ia segera membalikkan badan, jantungnya berdebar kencang, memompa darah dengan liar ke seluruh tubuh. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Tidak ada siapa-siapa. Cermin itu hanya memantulkan pantulan kamarnya yang kosong.

Arini terengah-engah. Itu pasti hanya pantulan lampu, atau bayangan pohon dari luar. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Tapi di Makassar, bahkan di musim kemarau, tidak ada angin kencang yang bisa membuat bayangan pohon bergerak secepat itu. Dan bayangan itu tampak begitu padat, begitu nyata.

Ia bangun dari tempat tidur, mendekati cermin itu perlahan. Ia menatap pantulannya sendiri. Wajahnya pucat, mata cekung dengan lingkaran hitam. Rambutnya kusut masai. Ia tampak seperti orang gila. Ia menatap ke belakang pantulannya, mencari sesuatu, apa saja yang bisa menjelaskan bayangan itu. Tidak ada.

Ia kembali ke ranjang, tapi tidur tak lagi datang. Ia menghabiskan sisa malam itu dengan mata terbuka, menatap langit-langit, menunggu fajar. Ia merasa seperti berada di dalam sangkar, dan sangkar itu adalah kamarnya sendiri.

Mimpi buruknya juga semakin sering datang, dan semakin jelas. Dalam mimpi, ia sering berada di rumah ini, sendirian. Gelap. Lalu muncul sesosok pria. Pria itu selalu mengenakan topeng hitam yang menutupi seluruh wajahnya, hanya menyisakan dua lubang mata yang gelap dan kosong. Ia tidak pernah bergerak, hanya berdiri di kejauhan, mengawasinya. Tapi Arini bisa merasakan tatapannya, tajam dan dingin, menusuk hingga ke tulang. Tawa serak yang ia dengar di dunia nyata juga muncul dalam mimpinya, menggaung di setiap sudut. Pria bertopeng itu tidak pernah berbicara, tapi kehadirannya jauh lebih menakutkan daripada bisikan apapun.

Keesokan harinya, Arini memutuskan untuk membersihkan kamar tidur utama di lantai atas. Kamar yang selama ini ia hindari, tempat ia menemukan foto Raka. Ia tahu ia tidak bisa terus menghindar. Ia harus menghadapi apa pun yang ada di rumah ini.

Dengan sarung tangan karet dan masker penutup mulut, ia mulai membersihkan. Mengangkat seprai tua, membersihkan debu dari perabotan. Bau apek dan manis memuakkan itu masih ada di sana, samar-samar, tapi cukup untuk membuatnya mual.

Saat ia sedang membersihkan bawah tempat tidur, ia melihat sesuatu. Benda itu tersembunyi di balik tumpukan koran tua dan majalah-majalah usang. Sebuah boneka kain.

Boneka itu terlihat sangat tua dan usang. Kainnya lusuh dan kotor, isinya beberapa bagian sudah keluar. Salah satu matanya hilang, hanya menyisakan lubang kosong. Tapi yang paling membuat Arini bergidik adalah senyum yang dijahit pada boneka itu. Senyum lebar yang terlihat dipaksakan, seolah boneka itu sedang kesakutan.

Arini menarik boneka itu keluar. Ini bukan bonekanya. Ia tidak pernah punya boneka seperti ini. Ia juga yakin tidak pernah melihat boneka ini di rumah neneknya sebelumnya. Siapa yang meletakkan boneka ini di sini?

Dengan rasa ingin tahu yang campur aduk dengan ketakutan, ia membalikkan boneka itu. Dan di bagian punggungnya, yang awalnya ia kira hanya noda, ternyata adalah ukiran tangan yang sangat rapi. Bukan dijahit atau digambar, tapi diukir dengan benda tajam pada kain boneka itu.

Ukiran itu membentuk dua huruf: R.S.

Darah Arini seolah berhenti mengalir. R.S.? Raka Santosa. Nama yang sama dengan anak laki-laki di foto itu. Anak laki-laki yang hilang. Anak laki-laki yang mungkin memiliki kecenderungan psikopat.

Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya. Boneka ini... ada di bawah tempat tidurnya. Milik Raka. Atau sengaja diletakkan oleh Raka? Ini bukan lagi sekadar barang berpindah. Ini adalah pesan. Sebuah ancaman.

Arini menjatuhkan boneka itu. Ia merasa mual. Udara di kamar itu terasa pengap, seolah ada tangan tak terlihat yang mencekiknya. Ia harus tahu. Ia harus mencari tahu tentang Raka Santosa.

Ia segera turun ke ruang tamu, membuka laptopnya. Ia mulai mencari di internet. Nama "Raka Santosa", "rumah tua di Makassar", "kasus penghilangan anak". Mesin pencari memberinya beberapa hasil.

Sebuah berita lama dari surat kabar lokal, terbitan tahun 1970-an, muncul di layar. Judulnya samar-samar, "Anak Laki-Laki Hilang Misterius di Rumah Tua Jl. Melati No. 13". Jl. Melati No. 13. Itu alamat rumah ini.

Arini membaca berita itu dengan tangan gemetar. Berita itu singkat, hanya menyebutkan penghilangan seorang anak laki-laki berusia sekitar 10 tahun bernama Raka Santosa, yang tinggal bersama nenek angkatnya di alamat tersebut. Tidak ada detail lebih lanjut, hanya dugaan penculikan atau kabur dari rumah. Kasus itu tidak pernah terpecahkan.

Ia terus mencari, mencoba menemukan informasi lain. Akhirnya, ia menemukan forum-forum lokal tua, berisi diskusi-diskusi masyarakat tentang mitos dan legenda urban di Makassar. Di sana, ia menemukan beberapa thread yang membahas tentang "Rumah Hantu di Jl. Melati".

Beberapa orang bercerita tentang suara-suara aneh, penampakan, dan kejadian mistis di rumah itu setelah penghilangan Raka. Ada yang menyebut Raka adalah anak yang "bermasalah", suka menyiksa hewan kecil dan mengganggu anak-anak lain. Ada yang mengatakan ia menghilang karena dibunuh oleh orang tuanya sendiri. Tapi ada juga satu atau dua komentar yang menyebutkan bahwa Raka tidak hilang, melainkan melarikan diri, dan beberapa orang pernah melihatnya berkeliaran di sekitar rumah itu bahkan bertahun-tahun setelah kejadian, dalam keadaan yang tidak terurus dan tampak "gila".

Informasi itu membuat Arini merinding. Jadi, bukan hantu. Bukan roh gentayangan. Tapi seseorang yang hidup. Seseorang yang tahu persis tentang rumah ini. Seseorang yang mungkin... Raka Santosa itu sendiri.

Pikiran itu lebih menakutkan daripada hantu manapun. Jika itu Raka, maka ia adalah psikopat. Dan ia telah kembali.

Arini segera menghubungi Lina lagi, tidak peduli Lina menganggapnya gila. Ia butuh bantuan. Ia butuh seseorang yang datang ke sini.

"Lina, aku mohon, tolong datang ke rumahku sekarang," Arini memohon, suaranya hampir menyerupai isak tangis. "Aku menemukan sesuatu. Ini bukan halusinasi, Lin. Ini nyata. Ada boneka dengan inisial R.S. di bawah ranjangku. Dan aku menemukan berita tentang Raka Santosa. Dia... dia hilang dari rumah ini."

Di seberang telepon, Lina terdiam cukup lama. "Rin... kau menakutiku sekarang. Boneka? Raka Santosa?"

"Aku sudah pasang kamera pengawas. Tapi rekamannya hilang. Aku yakin ada orang di sini. Seseorang yang tahu rumah ini luar dalam. Seseorang yang berbahaya."

"Baiklah, Rin. Aku akan ke sana. Tunggu aku." Suara Lina terdengar lebih serius sekarang, sedikit cemas. Arini menghela napas lega. Setidaknya Lina mau datang.

Arini memutuskan untuk mengunci diri di kamar. Ia menyeret lemari kecil di depannya, menumpuk kursi di belakang pintu, membuat barikade seadanya. Ia tahu itu tidak akan menghentikan siapa pun yang benar-benar ingin masuk, tapi itu memberinya sedikit rasa aman yang semu.

Ia duduk di ranjang, memegang ponselnya erat-erat, matanya terus tertuju pada pintu. Setiap bunyi di luar membuat jantungnya berdebar. Bunyi angin di jendela, derit pohon mangga tua, bahkan suara tikus yang berlarian di plafon, semuanya terdengar seperti langkah kaki yang mendekat.

Waktu terasa berjalan sangat lambat. Lima menit terasa seperti satu jam. Arini melirik jam dinding. Pukul 2 siang. Lina seharusnya tiba sekitar satu jam lagi.

Tiba-tiba, ia mendengar suara ketukan. Bukan dari pintu kamarnya, melainkan dari pintu utama di lantai bawah. Ketukan itu pelan, tapi jelas.

"Lina?" bisik Arini. Ia ragu-ragu. Bisa jadi itu Lina. Tapi bagaimana jika bukan?

Ketukan itu berhenti. Lalu, ia mendengar sesuatu yang lain. Sebuah bunyi gesekan yang sangat halus, seperti kunci yang dimasukkan ke dalam lubang. Arini panik. Lina tidak mungkin masuk tanpa mengetuk keras atau meneleponnya dulu. Dan Lina tidak punya kunci rumahnya.

Jantungnya berpacu. Ia mendengar bunyi klik pelan. Pintu itu terbuka.

Kemudian, sunyi.

Tidak ada suara Lina memanggilnya. Tidak ada langkah kaki. Hanya keheningan yang mematikan.

Arini tahu, Lina belum datang. Dan seseorang telah masuk ke rumahnya.

Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia harus mencari tempat bersembunyi. Ia melihat sekeliling kamar. Di mana? Lemari? Bawah ranjang?

Tiba-tiba, lampu di kamarnya mulai berkedip-kedip hebat. Semakin cepat, semakin intens. Lampu meja juga ikut berkedip, seolah-olah seluruh sistem listrik sedang mengalami korsleting.

Dan kemudian, lampu mati total.

Kegelapan menyelimuti ruangan. Gelap yang pekat, menusuk mata. Arini tidak bisa melihat apa-apa. Jantungnya berdebar seperti genderang perang di telinganya.

Ia mendengar langkah kaki. Dari bawah. Perlahan, menaiki tangga. Derit demi derit. Semakin dekat.

Arini merangkak turun dari ranjang, mencari kolong ranjang untuk bersembunyi. Ia berhasil menyelinap masuk, meringkuk di antara debu dan sarang laba-laba. Matanya terpejam rapat. Ia berdoa. Berdoa agar ia tidak ditemukan.

Langkah kaki itu semakin dekat. Sampai akhirnya, ia mendengar suara decitan pelan, tepat di depan pintu kamarnya. Pintu itu terbuka.

Arini menahan napas. Ia mendengar langkah kaki itu masuk ke dalam kamar. Langkah yang pelan, teratur, seolah-olah sang penyusup sedang menikmati setiap detik ketakutan Arini.

Aroma manis dan memuakkan itu kembali, kali ini sangat kuat, menusuk hidungnya. Ia menutupi mulutnya dengan tangan, berusaha untuk tidak terisak. Ia bisa merasakan keberadaan itu, begitu dekat, begitu nyata.

Langkah kaki itu berhenti. Tepat di samping ranjangnya.

Arini bisa merasakan hembusan napas. Dingin. Dan berat.

Ia tahu, ada seseorang berdiri di atasnya. Menunduk. Mencari.

"Arini..."

Bisikan itu. Kali ini bukan dari dinding, bukan samar-samar. Tapi sangat jelas, tepat di telinganya. Suara itu serak, berat, dan dipenuhi dengan nada ejekan yang mengerikan. Suara seorang pria.

Ia tidak bisa lagi menahan tangis. Setetes air mata mengalir di pipinya, membasahi bantal.

"Aku menemukannya..." suara itu berbisik lagi, lebih dekat. "Bonekamu... ada di sini..."

Kemudian, sebuah benda kecil dan berat dijatuhkan ke lantai, tepat di samping kolong ranjangnya. Arini tidak perlu melihatnya untuk tahu apa itu. Boneka kain tua itu. Boneka R.S.

"Ini bukan halusinasi..." bisik suara itu, nada puas dalam setiap katanya. "Selamat datang di rumah, Arini. Permainan baru saja dimulai."

Arini merasakan sentuhan dingin di pergelangan kakinya. Seolah ada tangan yang meraihnya.

Ia menjerit sekuat tenaga, membuka matanya lebar-lebar.

Tidak ada siapa-siapa.

Hanya kegelapan. Dan keheningan yang memekakkan telinga.

Lampu di kamar menyala lagi, terang benderang. Arini merangkak keluar dari kolong ranjang, terengah-engah, tubuhnya gemetar hebat. Ia melihat ke lantai. Tidak ada boneka. Tidak ada apa-apa.

Ia melihat ke cermin di sudut ruangan. Wajahnya terpantul di sana, pucat pasi, ketakutan. Ia menoleh ke belakang, cepat. Tidak ada bayangan.

Apakah itu mimpi dalam mimpi? Apakah ia sudah benar-benar gila?

Ponselnya berdering. Lina.

"Rin, aku sudah di depan pagar. Kok nggak dibuka?"

Arini terhuyung-huyung, meraih ponselnya. Ia berlari keluar dari kamar, menuruni tangga. Ia membuka pintu utama.

Lina berdiri di luar, raut wajahnya cemas. "Ya ampun, Rin! Kenapa lama sekali? Aku telepon kamu dari tadi nggak diangkat."

Arini memeluk Lina erat-erat, air matanya tumpah. "Lina... dia ada di sini. Dia ada di dalam. Aku mendengarnya. Dia menyentuhku!"

Lina membalas pelukannya, menepuk-nepuk punggung Arini. "Sudah, sudah. Kamu aman sekarang. Ayo masuk. Kamu butuh istirahat."

Arini tahu Lina masih tidak sepenuhnya percaya. Tapi untuk saat ini, ia hanya bersyukur ada Lina di sampingnya. Setidaknya, ia tidak sendirian lagi.

Namun, saat mereka berdua masuk ke dalam rumah, Arini melihat ke dinding di ruang tamu. Dinding tempat bisikan-bisikan itu selalu muncul. Ia tidak mendengar apa-apa. Tapi ia bersumpah, ia melihat sebuah ukiran samar di cat yang mengelupas. Sebuah ukiran kecil, seolah baru dibuat.

Ukiran itu membentuk dua huruf: R.S.

Ini bukan mimpi. Ini nyata. Dan Raka Santosa, atau siapa pun di balik inisial itu, sedang memainkan permainan mengerikan dengannya. Permainan yang baru saja dimulai.

Lina datang membawa kelegaan, meski kelegaan itu hanya bersifat sementara. Wajahnya yang semula skeptis kini sedikit mengendur melihat kondisi Arini yang nyaris ambruk. Mata bengkak, rambut acak-acakan, dan tubuh yang terus-menerus gemetar. Arini menceritakan semua kejadian mengerikan yang ia alami, dari bisikan hingga boneka berinisial R.S. dan ukiran yang baru saja ia lihat di dinding. Lina mencoba menenangkan, tapi Arini bisa merasakan keraguan di balik kata-kata "tenang, Rin, kamu aman sekarang."

"Bagaimana dengan ukiran di dinding itu?" Arini bersikeras, menunjuk ke arahnya.

Lina mendekat, menyipitkan mata. "Yang mana? Aku tidak melihat apa-apa." Ia mengusap dinding kusam itu, mencari-cari. Tidak ada.

Arini terhuyung. "Tadi ada di sana! Aku bersumpah ada!" Air mata kembali menetes.

Lina menghela napas. "Mungkin cuma goresan cat, Rin. Atau kamu terlalu banyak berpikir sampai... sampai berhalusinasi. Tidak ada ukiran di sini."

Kekecewaan melanda Arini. Bahkan setelah Lina datang, ia masih merasa sendirian dalam kengerian ini. Lina percaya ia stres, bukan percaya ia dalam bahaya.

"Sudahlah, ayo kita cari sesuatu untuk makan. Kamu harus makan, Rin. Wajahmu pucat sekali." Lina menarik tangan Arini ke dapur.

Meskipun Lina tidak sepenuhnya percaya, kehadirannya sedikit mengurangi beban Arini. Setidaknya ada orang lain di rumah itu. Seseorang yang bisa menjadi saksi, jika hal buruk kembali terjadi.

Namun, di tengah malam, saat Lina sudah pulas di kamar tamu, Arini masih terjaga. Ia tidak bisa tidur. Pertanyaan tentang Raka Santosa terus berputar di benaknya. Siapa dia sebenarnya? Mengapa namanya terhubung dengan rumah ini, dengan bisikan-bisikan itu?

Ia teringat surat-surat lama neneknya yang ia temukan saat pertama kali pindah. Neneknya adalah seorang wanita misterius yang jarang bicara tentang masa lalunya. Arini pernah melihat tumpukan surat itu di loteng, tersimpan dalam sebuah kotak kayu tua. Waktu itu ia terlalu sibuk untuk membacanya. Sekarang, semua berubah. Ia butuh jawaban.

Dengan senter ponselnya, Arini menyelinap ke loteng. Debu tebal menyelimuti setiap sudut, dan udara terasa lebih dingin dan pengap di sana. Ia menemukan kotak kayu tua itu di pojok, di balik tumpukan kain lapuk.

Tangannya gemetar saat ia membuka tutup kotak. Di dalamnya, ada tumpukan surat yang sudah menguning dan beberapa foto tua. Arini mulai membaca surat-surat itu satu per satu, hati-hati agar tidak merobeknya.

Surat-surat itu ditulis tangan dengan tinta yang sudah pudar. Sebagian besar adalah surat pribadi, tapi beberapa di antaranya, Arini menyadari, adalah surat-surat yang dikirim oleh seseorang yang bernama Raka. Dan pengirimnya adalah neneknya sendiri, yang membalas surat-surat itu.

Isi surat-surat itu sangat meresahkan. Neneknya sering menulis tentang bagaimana ia mengkhawatirkan Raka. "Raka, Nak, mengapa kau terus saja menyakiti kucing-kucing itu? Nenek tidak mengerti mengapa kau suka melihat mereka kesakitan." Ada surat lain yang menyebutkan, "Raka, jangan lagi kau mengejek anak tetangga sampai ia menangis. Nenek tidak suka dengan tingkah lakumu ini." Dan ada satu surat yang sangat mencolok: "Polisi datang lagi mencari-carimu, Raka. Nenek sudah bilang kau tidak ada di sini. Tapi sampai kapan Nenek bisa menyembunyikanmu?"

Darah Arini membeku. Putra angkat. Neneknya punya putra angkat bernama Raka. Dan Raka ini memiliki kecenderungan psikopat sejak kecil, suka menyakiti hewan, mengganggu orang lain. Dan yang lebih mengerikan, neneknya menyembunyikan Raka dari polisi. Itu berarti Raka tidak hilang. Ia sengaja disembunyikan oleh neneknya setelah melakukan sesuatu yang serius.

Surat-surat itu berhenti secara tiba-tiba di pertengahan tahun 1970-an, tepat setelah berita penghilangan Raka di koran. Tidak ada surat lanjutan yang menjelaskan apa yang terjadi pada Raka. Namun, ada satu surat terakhir dari neneknya, yang ia temukan di bagian paling bawah kotak. Surat itu bertanggal beberapa tahun setelah kejadian.

"Raka... Nenek tahu kau masih di luar sana. Jangan datang lagi. Jangan kembali ke rumah ini. Nenek sudah lelah. Pergilah jauh, Nak. Jangan pernah lagi menginjakkan kakimu di sini."

Pesan terakhir ini menampar Arini. Jika neneknya menulis ini, berarti neneknya tahu Raka masih hidup dan mungkin mencoba kembali ke rumah. Apakah itu berarti Raka tidak pernah benar-benar hilang? Apakah ia memang melarikan diri dan bersembunyi?

Arini menyatukan semua kepingan puzzle ini. Bisikan-bisikan. Jejak kaki lumpur. Barang berpindah. Kilatan di kamera yang hilang. Boneka dengan inisial R.S. Ukiran di dinding yang hanya ia lihat. Dan sekarang, surat-surat ini.

Semuanya menunjuk pada satu kesimpulan yang mengerikan: Raka Santosa masih hidup. Dan ia telah kembali ke rumah ini.

Rasa takut yang sebelumnya ia rasakan kini berubah menjadi kengerian yang murni. Ini bukan lagi tentang hantu atau halusinasi. Ini tentang seorang psikopat yang sudah tua, yang mungkin telah menghabiskan sebagian besar hidupnya bersembunyi, dan kini telah kembali ke "sarang" lamanya. Ia tidak hanya menghantui rumah ini, tapi juga Arini. Ia mengamati setiap gerakannya. Ia bermain-main dengannya.

Arini merasa terjebak. Bukan hanya dalam rumah ini, tapi dalam jaring masa lalu yang kelam. Masa lalu yang neneknya coba sembunyikan. Dan sekarang, masa lalu itu datang untuk menuntutnya.

Ia melihat ke luar jendela loteng yang berdebu. Pemandangan kebun belakang yang gelap dan rimbun tampak lebih menyeramkan dari biasanya. Di suatu tempat di sana, di balik semak belukar yang lebat, atau mungkin di balik dinding-dinding tua ini, Raka Santosa sedang mengawasinya.

Malam itu, setelah penemuan surat-surat neneknya, Arini tidak bisa memejamkan mata. Informasi tentang Raka Santosa, tentang kecenderungan psikopatnya dan fakta bahwa ia mungkin masih hidup, merobek-robek sisa-sisa kewarasannya. Ketakutan itu kini berubah menjadi horor yang lebih dalam, lebih personal. Ini bukan lagi tentang hantu rumah tua, melainkan tentang predator manusia yang mengintainya.

Lina tidur pulas di kamar tamu, tidak menyadari kegelisahan Arini. Arini mencoba untuk tidak membangunkan Lina, tidak ingin memperlihatkan betapa parahnya ia terpengaruh. Ia tahu Lina tidak akan sepenuhnya mengerti, dan hanya akan menyarankan hal yang sama: istirahat, psikolog, atau pergi dari rumah ini. Tapi Arini tidak bisa pergi. Ada dorongan aneh yang menahannya, seolah ia harus menghadapi misteri ini sampai tuntas, tidak peduli seberapa mengerikan kebenarannya.

Ia berbaring di ranjangnya, lampu kamar masih menyala terang. Matanya menatap langit-langit, mencari-cari jawaban, mencari cara untuk memahami kegilaan yang menimpanya. Ia merasa seolah setiap suara adalah bisikan Raka, setiap bayangan adalah siluetnya.

Tiba-tiba, ia merasakan sentuhan dingin yang menusuk di lehernya. Sangat dingin, seperti es, merambat dari pangkal tengkorak hingga ke tulang belakang. Sentuhan itu tidak kasar, tapi jelas dan disengaja. Arini membeku, tubuhnya kaku. Ia tidak berani bergerak. Napasnya tercekat.

Ia merasakan napas lain di tengkuknya. Bukan napasnya sendiri. Napas itu dingin, berbau samar-samar, seperti aroma tanah basah dan sesuatu yang manis memuakkan. Aroma yang sama seperti yang ia cium di kamar Raka, di samping boneka itu.

Otaknya berteriak, menyuruhnya untuk berteriak, untuk melarikan diri. Tapi tubuhnya menolak. Ia lumpuh karena ketakutan. Ia merasa keberadaan itu semakin dekat, membungkuk di atasnya. Ia bisa merasakan hawa dingin yang menusuk dari tubuh sosok itu, menembus selimut dan pakaiannya.

Lalu, sentuhan di lehernya menghilang. Aroma itu juga memudar. Hawa dingin di sekitarnya perlahan menghilang.

Arini membuka matanya dengan cepat, terengah-engah. Ia membalikkan badan, menyapu pandangannya ke seluruh ruangan. Kamar itu kosong. Lampu masih menyala. Tidak ada siapa-siapa.

Ia mengusap lehernya. Kulitnya terasa dingin, dan bulu kuduknya masih meremang. Itu bukan mimpi. Itu nyata. Raka ada di kamarnya, lagi. Ia sudah melewati batas. Ia berani menyentuhnya.

Arini melompat dari ranjang, jantungnya berdebar kencang. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar, mencari tanda-tanda kehadiran. Dan ia menemukannya.

Di atas selimutnya, yang semula berantakan karena tidurnya yang gelisah, kini terlipat rapi. Sangat rapi, seperti lipatan yang disengaja. Dan di tengah lipatan selimut itu, tergeletak setangkai bunga melati kering.

Bunga melati. Aroma manis yang memuakkan itu. Arini ingat, dalam salah satu surat neneknya, disebutkan bahwa Raka kecil sangat menyukai bunga melati. Ia sering memetiknya dari kebun dan membawanya pulang.

Ini adalah pesan. Lebih jelas dari jejak kaki atau barang yang berpindah. Ini adalah ancaman yang personal, sebuah pengingat bahwa Raka bisa masuk kapan saja, melakukan apa saja, dan tahu setiap detail tentang dirinya. Ia tahu Raka sudah menguasai rumah ini sepenuhnya.

Keringat dingin membasahi punggung Arini. Ia merasa terhina, marah, tapi di atas segalanya, ia sangat ketakutan. Psikopat ini, dia bermain-main dengannya.

Ia harus pergi. Ia harus mencari bantuan yang nyata. Lina tidak bisa membantunya. Polisi adalah satu-satunya pilihan.

Pagi harinya, ia mencoba berbicara dengan Lina lagi. "Lin, aku tahu kamu tidak percaya, tapi aku mohon, ikut aku ke kantor polisi. Aku menemukan bunga melati kering di tempat tidurku. Ini bunga kesukaan Raka. Dia ada di sini, Lin. Dia menyentuhku semalam."

Lina menatap Arini dengan tatapan iba. "Rin, tolonglah. Kamu butuh istirahat. Aku sudah telepon beberapa kenalan, dan mereka menyarankan... kamu harus menemui psikiater secepatnya."

Mendengar kata "psikiater" membuat Arini muak. "Kau anggap aku gila?!"

"Bukan begitu, Rin! Tapi gejala-gejala ini... bisikan, sentuhan, barang berpindah, sampai merasa ada yang menyentuhmu. Ini semua ciri-ciri depresi berat dan halusinasi. Kamu sendirian di rumah besar ini, Rin. Pikiranmu kacau."

Arini merasa darahnya mendidih. "Aku tidak gila, Lina! Aku tidak gila! Ada seseorang di rumah ini, dan dia adalah Raka Santosa. Dia seorang psikopat!"

Lina menghela napas panjang. "Baiklah, Rin. Kalau kamu tetap bersikeras, ayo kita ke kantor polisi. Tapi aku sudah peringatkan kamu, mereka mungkin tidak akan menanggapimu serius."

Dan benar saja. Di kantor polisi, Arini menceritakan semua kejadian itu kepada seorang polisi muda. Dari bisikan, jejak kaki, rekaman kamera yang hilang, hingga bunga melati kering di tempat tidurnya dan surat-surat neneknya. Ia menunjukkan foto Raka dan berita lama tentang penghilangannya.

Polisi itu mendengarkan dengan sabar, kadang mencatat di buku kecilnya. Namun, di matanya, Arini melihat keraguan yang sama seperti di mata Lina.

"Nona Arini," kata polisi itu akhirnya, setelah Arini selesai bercerita, "kami memahami kekhawatiran Anda. Tapi laporan Anda... agak sulit untuk kami tindak lanjuti."

"Sulit bagaimana? Ada penyusup di rumah saya! Dia seorang psikopat!" Arini hampir berteriak.

"Kami tidak menemukan bukti adanya pembobolan. Kunci Anda tidak rusak, jendela tidak pecah. Mengenai barang yang berpindah atau suara-suara, rumah tua memang sering begitu. Dan rekaman kamera yang hilang... bisa saja kesalahan teknis."

"Lalu bunga melati itu? Sentuhan itu?"

Polisi itu terdiam sejenak. "Nona Arini, dengan segala hormat, mungkin Anda sedang mengalami tekanan psikologis yang berat. Tinggal sendirian di rumah besar dengan sejarah seperti ini, wajar jika pikiran Anda bermain-main."

"Jadi, Anda menganggap saya gila?" Arini menatapnya tajam.

"Kami menyarankan Anda untuk mencari bantuan profesional, Nona. Mungkin psikolog atau psikiater dapat membantu Anda mengatasi stres ini. Untuk saat ini, kami akan mencatat laporan Anda, tapi tanpa bukti fisik yang kuat, kami tidak bisa melakukan penyelidikan lebih lanjut."

Arini merasa hancur. Lina benar. Tidak ada yang percaya padanya. Ia berdiri, merasa putus asa. "Baiklah," katanya dingin. "Kalau begitu, saya akan mengurus ini sendiri."

Ia keluar dari kantor polisi dengan Lina mengekor di belakangnya, merasa lebih terisolasi dari sebelumnya. Tidak ada tempat untuk mencari bantuan. Ia sendirian. Raka Santosa bebas berkeliaran di rumahnya, bermain-main dengannya, sementara dunia menganggapnya gila. Perasaan tak berdaya itu mencekik Arini.

Penolakan dari polisi menghempaskan Arini ke jurang keputusasaan yang lebih dalam. Lina, meskipun berusaha menghibur, masih diliputi keraguan, dan itu membuat Arini merasa semakin terisolasi. Mereka berdua kembali ke rumah dalam keheningan yang mencekam, hanya suara ban mobil Lina yang memecah kesunyian jalanan Makassar. Arini tahu, ia sendirian dalam perang ini.

Malam harinya, Lina memutuskan untuk menginap lagi, khawatir meninggalkan Arini sendirian dalam kondisi mental yang rapuh. Arini menghargai kehadiran Lina, tapi ia tahu itu tidak cukup. Rasa aman semu itu hanya bertahan selama ada Lina di dekatnya.

Keesokan paginya, Lina harus kembali ke pekerjaannya. Sebelum pergi, ia memeluk Arini erat. "Rin, tolong pikirkan lagi saranku ya. Kamu butuh bantuan. Kalau ada apa-apa, langsung telepon aku, oke?"

Arini hanya mengangguk lemah, tanpa daya. Setelah Lina pergi, rumah itu kembali sunyi. Namun, kali ini, sunyi itu terasa lebih berat, lebih menekan. Arini merasakan tatapan tak terlihat itu kembali, mengawasinya dari setiap sudut.

Permainan pikiran Raka kini semakin intens dan personal. Ia tidak lagi hanya menggeser barang atau meninggalkan jejak. Ia mulai meninggalkan pesan-pesan singkat.

Pesan pertama Arini temukan di dapur, tergantung di pintu kulkas dengan magnet. Tulisan tangan itu rapi, tapi entah mengapa terasa dingin dan mengerikan.

"Aku selalu bersamamu, Arini."

Arini menjerit, langsung mencabut kertas itu, meremasnya, lalu membuangnya ke tempat sampah. Jantungnya berdebar kencang. Ia segera memeriksa setiap sudut dapur, setiap jendela, setiap pintu. Tidak ada tanda-tanda pembobolan. Bagaimana dia masuk? Kapan dia meletakkannya?

Beberapa jam kemudian, saat Arini mencoba membaca buku di ruang tamu untuk mengalihkan pikiran, ia menemukannya lagi. Sebuah potongan kertas kecil diselipkan di antara halaman buku yang sedang ia baca.

"Kau tak bisa lari."

Kali ini, Arini tidak berteriak. Ia hanya membeku, tatapan matanya kosong. Ia sudah tahu. Ia tidak bisa lari. Rumah ini adalah jebakannya, dan Raka adalah sang penjerat.

Pesan ketiga datang saat ia mencuci muka. Di cermin kamar mandi, tepat di sudut, ia melihat tulisan samar yang terukir di uap air.

"Aku tahu semua rahasiamu."

Arini terhuyung mundur. Rahasia apa? Neneknya? Masa lalu Raka? Atau rahasia Arini sendiri? Rasa takutnya semakin menjadi-jadi, dicampur dengan rasa jijik yang dalam. Ia merasa telanjung, setiap pikirannya, setiap gerakannya, diawasi.

Ia mencoba menelepon Lina lagi, tapi Lina tidak mengangkatnya. Ia telepon berkali-kali, tapi hanya suara operator yang menjawab. Lina mungkin sedang sibuk, atau mungkin Lina mulai menghindarinya, menganggapnya terlalu bermasalah.

Perasaan isolasi itu kini mencekik Arini. Ia sendirian. Tidak ada yang percaya padanya. Tidak ada yang bisa membantunya. Hanya ada dia dan sang psikopat di rumah tua ini.

Setiap malam, ia mendengar bisikan-bisikan itu lagi, lebih jelas. Mereka menyebut namanya, mengejeknya, mengulang-ulang kalimat dari pesan-pesan yang ia temukan. Ia mulai merasa paranoid. Ia melihat bayangan di setiap sudut. Ia mulai ragu apakah ia benar-benar melihat Raka, atau apakah Raka telah berhasil merusak kewarasannya, membuatnya melihat dan mendengar hal-hal yang tidak ada.

Tapi ia tahu, jauh di lubuk hatinya, bahwa semua ini nyata. Raka ada di sini. Dan dia sedang menikmati setiap momen dari permainan kucing dan tikus ini. Permainan pikiran yang perlahan-lahan mengikis jiwa Arini, membuatnya merasa seperti tahanan di rumahnya sendiri.

Malam itu, rasa lelah Arini sudah mencapai puncaknya. Ia memutuskan untuk tidur di kamar tamu, berharap jauh dari bisikan di kamar utamanya, jauh dari jejak-jejak keberadaan Raka. Lina, meskipun sempat meragukan Arini, tetap memutuskan untuk menemaninya lagi, tak tega melihat sahabatnya sendirian. Namun, rasa kantuk yang teramat sangat membuatnya tertidur lebih awal.

Arini terbaring di ranjang, mencoba memejamkan mata. Otaknya terus berputar, mengulang-ulang pesan Raka: "Kau tak bisa lari," "Aku tahu semua rahasiamu." Ia merasa seperti sedang gantung diri di ambang batas kewarasan.

Tiba-tiba, lampu di kamar tamu berkedip. Bukan kedipan biasa. Ini kedipan yang parah, seperti konslet. Arini langsung terjaga penuh. Jantungnya berdebar-debar. Lina menggeliat dalam tidurnya, tidak terpengaruh.

Kedipan itu semakin intens, lalu lampu padam. Gelap gulita. Arini menahan napas. Ia tahu ini bukan kebetulan. Ini disengaja.

Ia mendengar suara di lantai bawah. Sebuah suara gesekan pelan, menyeret, seperti ada sesuatu yang berat ditarik atau didorong. Suara itu datang dari ruang tamu, tepat di bawah kamar mereka. Lalu, disusul bunyi dentuman samar, seolah ada sesuatu yang jatuh atau ditumbuk.

Arini menepuk lengan Lina. "Lin! Bangun! Ada sesuatu di bawah!"

Lina hanya menggumam tidak jelas, membalikkan badan. Arini mencoba membangunkan Lina lagi, kali ini lebih keras, tapi Lina tampak tidur sangat pulas, seperti dihipnotis. Arini merasakan kepanikan yang luar biasa. Ia sendirian menghadapi ini.

Suara gesekan itu berlanjut. Kali ini, seolah bergerak, melangkah ke arah dapur. Arini bisa mendengar dentingan pelan, seperti benda-benda logam yang saling beradu. Ini bukan tikus. Ini suara yang disengaja. Suara seseorang yang sedang melakukan sesuatu di kegelapan.

Ia merangkak turun dari ranjang, tangannya meraba-raba di kegelapan, mencari ponselnya yang ia letakkan di nakas. Ia harus menyalakan senter.

Ketika tangannya menyentuh ponsel, suara gesekan itu berhenti. Hening.

Arini membeku. Ia tidak berani bergerak. Ia menahan napas. Kegelapan di sekelilingnya terasa hidup, mengawasinya.

Lalu, ia mendengarnya. Langkah kaki itu. Bukan gesekan atau seretan. Ini langkah kaki yang jelas, berat, dan disengaja. Melangkah dari dapur, melewati ruang makan, menuju ruang tamu. Semakin dekat dengan tangga.

Arini merasakan keringat dingin membasahi punggungnya. Ia merangkak pelan di lantai, menjauhi pintu kamar, menuju lemari pakaian yang besar di sudut. Ia membuka pintu lemari, menyelinap masuk, dan menarik pintu itu agar sedikit tertutup, menyisakan celah kecil untuk mengintip.

Langkah kaki itu mulai menaiki tangga. Satu per satu, derit yang mengerikan. Setiap derit terasa seperti palu yang menghantam gendang telinganya. Arini bisa mendengar napasnya sendiri yang memburu di telinganya.

Langkah kaki itu semakin dekat. Sangat dekat.

Sampai akhirnya, langkah kaki itu berhenti. Tepat di depan pintu kamar tamu.

Arini mengintip dari celah lemari. Dalam kegelapan yang pekat, ia bisa melihat sebuah siluet tinggi dan kurus berdiri di ambang pintu. Siluet yang sama seperti yang ia lihat di mimpi buruknya. Siluet tanpa wajah, tanpa detail, hanya bayangan hitam pekat yang mengerikan.

Aroma manis dan memuakkan itu kembali, kali ini begitu kuat hingga membuat Arini mual. Ia menutupi mulutnya, berusaha menahan napas.

Siluet itu tidak bergerak. Hanya berdiri di sana, mengamati ruangan. Arini merasakan tatapan itu, seolah menembus kegelapan, menembus dinding lemari, langsung ke arahnya. Ia tahu, Raka tahu ia ada di sana.

Beberapa detik berlalu, terasa seperti keabadian. Lalu, siluet itu bergerak. Ia melangkah masuk ke dalam kamar. Suara langkahnya kini berada di dalam. Semakin dekat dengan ranjang tempat Lina tidur pulas.

Arini merasakan keputusasaan yang luar biasa. Lina dalam bahaya. Ia harus melakukan sesuatu. Tapi tubuhnya kaku, lumpuh oleh teror.

Langkah kaki itu berhenti. Tepat di samping ranjang Lina.

Dan kemudian, Arini mendengar bisikan. Sangat pelan, tapi jelas.

"Selamat tidur, Lina..."

Arini menutup matanya rapat-rapat, air mata membasahi pipinya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia terjebak dalam kegelapan, mendengar predator itu bermain-main dengan nyawa Lina. Malam itu, untuk pertama kalinya, Arini merasa ia akan mati.

Malam itu berakhir dengan keheningan yang menyesakkan. Saat fajar menyingsing, dan lampu di kamar kembali menyala secara otomatis, Arini merangkak keluar dari lemari. Tubuhnya kaku, jiwanya terkoyak. Lina masih terlelap pulas, seolah tidak terjadi apa-apa. Arini mendekat, memastikan Lina baik-baik saja. Napasnya teratur, detak jantungnya normal. Tidak ada luka, tidak ada tanda-tanda Raka menyentuhnya. Atau, mungkin, Raka hanya memainkan permainan yang lebih keji.

Arini tidak berani menceritakan kejadian semalam pada Lina. Ia tahu Lina tidak akan percaya, mungkin justru akan semakin khawatir dan bersikeras membawanya ke psikiater. Ia memutuskan untuk memendam kengerian itu sendiri, merasakan beban yang semakin berat di dadanya.

Namun, kejadian malam itu adalah titik baliknya. Raka sudah melewati batas. Ia sudah masuk ke dalam kamar tidur, berada begitu dekat, bahkan berbisik di samping Lina. Arini tahu ia tidak bisa terus-menerus hidup dalam teror ini. Ia harus menemukan cara untuk menghentikannya.

Beberapa hari berikutnya, Arini hidup dalam ketakutan konstan. Ia tidak bisa lagi berkonsentrasi pada pekerjaannya. Sketsa desainnya kosong, pikirannya dipenuhi bayangan Raka. Ia tidak berani sendirian, selalu mencoba berada di dekat Lina sebisa mungkin, meski Lina masih belum menyadari ancaman yang mengintai.

Suatu malam, saat Arini akhirnya berhasil terlelap setelah berjam-jam ketakutan, ia terbangun lagi. Bukan karena sentuhan, atau bisikan, melainkan karena rasa kasurnya bergoyang. Guncangan pelan, ritmis, seolah ada seseorang yang duduk di sisi ranjangnya.

Arini membuka matanya perlahan. Kegelapan masih menyelimuti kamar, tapi tidak sepenuhnya pekat. Cahaya bulan samar-samar menembus celah tirai, menciptakan siluet remang-remang di dalam kamar.

Dan ia melihatnya.

Di samping tempat tidurnya, berdiri sesosok pria tinggi dan kurus. Ia mengenakan topeng hitam polos, menutupi seluruh wajahnya, seperti yang ia lihat dalam mimpi-mimpinya. Pria itu memakai sarung tangan gelap, dan tangannya yang ramping terlihat jelas di kegelapan. Ia tidak bergerak, hanya berdiri di sana, menunduk, menatap Arini yang sedang terbaring.

Jantung Arini mencelos. Ini nyata. Bukan mimpi. Bukan halusinasi. Sosok di mimpinya kini berdiri di hadapannya. Raka Santosa.

Ia mencoba berteriak, tapi suaranya tercekat. Rasa takut mencekiknya. Matanya terpaku pada topeng hitam itu, pada lubang kosong yang seharusnya menjadi matanya. Ia bisa merasakan tatapan dingin yang menusuk jiwanya.

Sosok itu mengangkat tangan kanannya. Perlahan, sangat perlahan, tangannya bergerak ke arah Arini. Arini bisa melihat jari-jari ramping itu mendekat, siap meraihnya.

Ketakutan itu akhirnya meledak. Arini berteriak sekuat tenaga, sebuah jeritan histeris yang merobek keheningan malam. Ia mengayunkan tangannya, memukul ke arah sosok itu secara membabi buta.

Sosok itu terhuyung mundur sedikit, terkejut dengan reaksinya. Lalu, dengan gerakan yang cepat dan tangkas, ia berbalik. Arini melihat siluetnya melompat ke arah jendela yang tertutup. Jendela itu terbuka lebar, seolah tidak pernah terkunci. Sosok itu melompat keluar, menghilang ke dalam kegelapan malam.

Lina, yang terbangun karena jeritan Arini, segera menyalakan lampu kamar. "Rin! Ada apa? Kamu kenapa?!"

Arini histeris, tubuhnya gemetar hebat. Ia menunjuk ke arah jendela yang kini terbuka lebar, tirainya berkibar-kibar karena angin malam. "Dia! Dia di sini! Dia... dia berdiri di sana! Dengan topeng! Dia melompat keluar!"

Lina memeluk Arini erat-erat, mencoba menenangkan. Ia melihat ke arah jendela. "Tidak ada siapa-siapa, Rin. Jendela ini kan memang sering macet, mungkin terbuka sendiri karena angin."

"Tidak! Bukan angin! Dia melompat! Aku melihatnya! Ada seseorang!" Arini terus meracau, air matanya membanjiri wajahnya.

Lina menghela napas, menatap sahabatnya dengan tatapan khawatir yang bercampur putus asa. Kondisi Arini sudah sangat parah. Ia benar-benar membutuhkan bantuan.

"Oke, Rin, oke. Tenang. Ayo kita tutup jendelanya." Lina menutup jendela itu, menguncinya rapat. "Sekarang kamu butuh istirahat. Aku akan tidur di sini bersamamu."

Arini hanya bisa memeluk Lina erat-erat, menggigil. Ia tahu Lina tidak percaya. Lina mungkin berpikir ia sudah benar-benar kehilangan akal. Namun, apa yang baru saja terjadi begitu nyata. Ia tidak berhalusinasi. Raka Santosa telah menyerangnya, secara langsung, untuk pertama kalinya. Dan ia tahu, ini hanyalah permulaan.

Setelah insiden di jendela, Lina tidak bisa lagi mengabaikan betapa parahnya kondisi Arini. Meski masih diliputi keraguan tentang "sosok bertopeng" itu, ia melihat sendiri jendela yang terbuka dan histeria Arini yang tak terkendali. Lina mencoba meyakinkan Arini untuk meninggalkan rumah itu, setidaknya untuk sementara waktu, tapi Arini menolak. "Kalau aku pergi, dia menang," bisiknya, matanya kosong. "Dia akan menguasai rumah ini sepenuhnya."

Lina memutuskan untuk tinggal lagi malam itu. Ia tidak bisa membiarkan Arini sendirian. Ia menelepon kantornya, mengajukan cuti darurat. "Ada masalah keluarga," alasannya, merasa bersalah karena berbohong, tapi ia tahu ini lebih penting.

Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, meski cuaca Makassar tetap lembap. Hujan gerimis mulai turun, rintiknya menampar jendela, menambah suasana mencekam. Arini dan Lina duduk di ruang tamu, di sofa yang sama tempat Arini pertama kali mendengar bisikan. Arini memaksakan diri untuk makan malam yang dibeli Lina dari luar, meski perutnya terasa mual. Ia terus melirik ke setiap sudut ruangan, ke setiap bayangan yang menari karena pantulan cahaya lampu.

"Rin, mungkin kita harus mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Raka itu," Lina mencoba mengalihkan perhatian, berpura-pura tenang. "Siapa tahu ada kerabat yang masih hidup, yang bisa kita hubungi."

Arini hanya mengangguk pelan. Ia sudah terlalu lelah untuk berbicara.

Tiba-tiba, suara "klik" yang pelan tapi jelas terdengar dari arah pintu utama. Jantung Arini mencelos. Ia dan Lina berpandangan. Pintu utama yang semula terkunci rapat, kini... terkunci dari luar.

"Siapa itu?" Lina berbisik, suaranya tercekat. Ia meraih kunci di meja kecil di samping sofa, berlari ke pintu. Ia mencoba membukanya, memutar gagang, mendorong, menarik, tapi pintu itu tidak bergerak. "Terkunci!" serunya, suaranya panik.

Pada saat yang sama, lampu di seluruh rumah padam total. Gelap gulita menyelimuti mereka berdua, hanya diterangi oleh kilatan petir yang sesekali menembus celah jendela. Suara hujan di luar terdengar semakin deras, seolah alam semesta ikut berkonspirasi.

Arini dan Lina panik. Mereka saling berpegangan tangan di kegelapan.

Dan kemudian, mereka mendengarnya. Sebuah tawa pelan dan serak, tawa yang sangat dikenal Arini dari mimpi buruknya, menggaung dari suatu tempat di luar. Tawa itu terdengar dekat, seolah ada seseorang berdiri tepat di luar pintu utama.

Tawa itu diikuti oleh bisikan yang sangat jelas, menembus suara hujan.

"Aku akan bermain dengan kalian."

Darah Arini membeku. Ia menunjuk ke arah pintu utama, suaranya bergetar hebat. "Dia... dia ada di sana! Dia mengunci kita!"

Lina menarik Arini menjauh dari pintu. "Sial! Kita harus cari jalan keluar lain!" Mereka berdua berlari ke dapur, mencoba membuka pintu belakang, tapi pintu itu juga terkunci rapat. Jendela-jendela dapur juga terkunci dari dalam.

"Handphone! Mana handphone kita?" Lina meraba-raba sakunya. "Tidak ada sinyal! Sial!"

Keputusasaan melanda mereka. Mereka terperangkap. Arini sudah terlalu ketakutan, ia mulai menangis histeris. Lina mencoba menenangkan, tapi suaranya sendiri bergetar. Mereka tahu, di luar sana, atau mungkin bahkan di dalam rumah ini, ada seseorang yang berbahaya. Seseorang yang telah memainkan permainan keji ini dari awal. Dan kini, permainan itu mencapai puncaknya.

Mereka berdua meringkuk di sudut dapur, saling berpelukan, mendengar suara hujan dan tawa pelan yang sesekali terdengar dari luar. Mereka tahu mereka telah jatuh ke dalam perangkap.

Kepanikan menguasai Arini dan Lina. Terjebak dalam kegelapan pekat, dengan tawa serak yang mengiang di luar, mereka merangkak di lantai dapur, mencari celah. Jendela dan pintu terkunci rapat. Hujan di luar semakin deras, memukul atap dan dinding seperti drum raksasa.

"Kita harus cari cara keluar!" Lina berbisik, suaranya putus asa.

Arini teringat gudang kecil di belakang dapur, tempat neneknya menyimpan perkakas. Dindingnya retak di beberapa bagian. Mungkin ada lubang di sana.

"Gudang!" Arini menarik tangan Lina. "Ada gudang di belakang sini!"

Mereka merangkak menuju gudang, meraba-raba dinding dalam kegelapan. Arini menyalakan senter ponselnya, cahayanya menari di dinding kotor. Lina menemukan sebuah lubang yang cukup besar di dinding, tersembunyi di balik tumpukan kotak. Lubang itu mungkin dulunya adalah bagian dari fondasi yang rapuh, kini menganga cukup untuk tubuh seseorang merangkak keluar.

Sebuah harapan kecil menyala.

"Kamu duluan, Lin!" Arini mendorong Lina. Lina tidak banyak berpikir. Ia segera merangkak masuk ke dalam lubang itu, berusaha keluar secepat mungkin. Tubuhnya yang kurus meluncur dengan susah payah. Arini mendorongnya dari belakang.

Lina berhasil. Ia jatuh terjerembap di tanah basah di belakang rumah. "Ayo, Rin! Cepat!" seru Lina, suaranya parau karena panik.

Kini giliran Arini. Ia mulai merangkak masuk ke dalam lubang. Tanah basah menempel di pakaiannya. Ia bisa merasakan napas lega saat kepalanya berhasil keluar. Tinggal sedikit lagi.

Tiba-tiba, ia merasakan tarikan kuat di kakinya. Sebuah tangan dingin dan kekar mencengkeram pergelangan kakinya, menariknya mundur ke dalam.

Arini menjerit. "Tidak! Lina! Tolong!"

Lina yang melihat itu berteriak histeris. Ia mencoba meraih tangan Arini, tapi tarikan itu terlalu kuat. Arini ditarik kembali ke dalam lubang, ke dalam kegelapan gudang yang pengap.

"ARINIIIII!" jerit Lina, suaranya pecah di tengah deru hujan. Ia tidak bisa melihat siapa yang menarik Arini. Hanya bayangan gelap yang melintas cepat. Lina terus menjerit, berlari kalang kabut di kebun belakang, menembus rimbunnya semak belukar, menuju jalan raya, menjerit meminta tolong.

Beberapa jam kemudian, polisi datang. Mereka menemukan Lina yang sudah pingsan di tepi jalan, basah kuyup dan histeris. Ia dibawa ke rumah sakit.

Polisi memasuki rumah tua itu. Semua pintu dan jendela terkunci rapat dari dalam, kecuali lubang di gudang yang jelas-jelas baru dilewati. Ada jejak lumpur dan noda darah samar di lantai.

Arini menghilang. Tanpa jejak.

Penyelidikan polisi tidak menemukan apa-apa. Lina, yang masih trauma, memberikan keterangan yang tidak konsisten tentang "pria bertopeng" dan "psikopat" bernama Raka Santosa. Tanpa bukti fisik, polisi menganggapnya sebagai bagian dari halusinasi dan trauma parah akibat kondisi mental Arini yang tidak stabil.

Kasus Arini ditutup sebagai "orang hilang tanpa jejak". Lina dihantui rasa bersalah dan kengerian setiap malam. Ia tahu kebenarannya, tapi tidak ada yang percaya.

Rumah itu kembali kosong, diselimuti keheningan apek dan rahasia kelam. Arini tidak pernah ditemukan. Cerita ini berakhir tanpa penyelesaian, meninggalkan pembaca dengan rasa takut yang menggerogoti, frustrasi yang mendalam, dan kebenaran yang tak akan pernah terungkap sepenuhnya.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)